Anda di halaman 1dari 8

1.

Bagaimana perwujudan ‘menuntun’ yang saya lihat dalam konteks sosial budaya di
daerah saya? Perubahan konkret apa yang dapat saya lakukan untuk mewujudkannya?
Menuntun, di sekolah saya budaya menuntun sudah mendarah daging. Para pendidik
terutama para guru, mengarahkan siswa tanpa kesan memaksa. Tetapi dengan memberi
pemahaman yang baik. Walaupun cara ini tidak efektif untuk sebagian kecil siswa.
Pendidikan yang menghamba pada sudah mulai saya terapkan. Pembelajaran saya
laksanakan berpusat pada anak. Saya sebagai guru memfasilitasi dan menuntun mereka
untuk mencapai tujuan.
Menuntun yang saya lihat dari konteks sosial budaya daerah saya adalah among,
ngemong. Menuntun dengan sabar agar anak bisa memahami dirinya dan berkembang
sesuai kemampuan dan keunikannya.
2. Mengapa Pendidikan perlu mempertimbangkan kodrat alam dan kodrat zaman?
Dasar pendidikan anak berhubungan dengan kodrat alam dan kodrat zaman. Kodrat alam
berkaitan dengan sifat dan bentuk lingkungan di mana anak berada, sedangkan kodrat
zaman berkaitan dengan isi dan irama. Artinya bahwa setiap anak sudah membawa sifat
atau karakternya masing-masing, jadi sebagai guru kita tidak bisa menghapus sifat dasar
tadi, yang bisa dilakukan adalah menunjukan dan membimbing mereka agar muncul
sifat-sifat baiknya sehingga menutupi/mengaburkan sifat-sifat jeleknya.

Kodrat zaman bisa diartikan bahwa kita sebagai guru harus membekali keterampilan
kepada siswa sesuai zamannya agar mereka bisa hidup, berkarya dan menyesuaikan diri.
Dalam konteks pembelajaran sekarang, ya kita harus bekali siswa dengan kecakapan
Abad 21. Budi pekerti juga harus menjadi bagian tak terpisahkan dari pendidikan dan
pengajaran yang kita lakukan sebagai guru. Guru harus senantiasa memberikan teladan
yang baik bagi siswa-siswanya dalam mengembangkan budi pekerti. Kita juga bisa
melakukan kegiatan-kegiatan pembiasaan di sekolah untuk menanamkan nilai-nilai budi
pekerti/akhlak mulia kepada anak.
3. Apa relevansi pemikiran KHD “Pendidikan yang berhamba pada anak” dengan peran
saya sebagai pendidik?
Saya pendidik untuk memberi tuntunan sesuai dengan tahap-tahap perkembangan anak
secara budi (cipta, rasa, karsa) dan pekerti (tenaga), sesuai dengan kodratnya sang anak.
Pendidikan yang "ekologis," ibarat petani yang menanam berbagai macam bibit tanaman
dan memelihara tanaman tersebut sesuai dengan kodratnya. Tuntunan ini bersifat holistik,
tak boleh lepas dari pendidikan sosial dan kultural.
Menghantarkan anak tidak hanya pada ketajaman pikiran, kehalusan rasa, dan kekuatan
kemauan, namun juga pada kebulatan jiwa dan kebijaksanaan.
Sebagai guru saya tidak hanya menekankan pendidikan pikiran saja dan menomorduakan
pendidikan social saja, tetapi harus berjalan seirama.
4. Bagaimana gambaran proses pembelajaran yang merefleksikan (mencerminkan)
pemikiran Ki Hadjar Dewantara (KHD)?
Konsep Student Centered Leaning/ Menghamba pada anak, siswa diharapkan sebagai
peserta aktif dan mandiri dalam proses belajarnya, yang bertanggung jawab dan
berinisiatif untuk mengenali kebutuhan belajarnya, menemukan sumber-sumber
informasi untuk dapat menjawab kebutuhannya, membangun serta mempresentasikan
pengetahuannya berdasarkan kebutuhan serta sumber-sumber yang ditemukannya. Dalam
batas-batas tertentu siswa dapat memilih sendiri apa yang akan dipelajarinya.
Pendidikan yang menghamba pada anak menekankan pada minat, kebutuhan dan
kemampuan individu, menjanjikan model belajar yang menggali motivasi intrinsik untuk
membangun masyarakat yang suka dan selalu belajar. Model belajar ini sekaligus dapat
mengembangkan kualitas sumber daya manusia yang dibutuhkan masyarakat seperti
kreativitas, kepemimpinan, rasa percaya diri, kemandirian, kedisiplinan, kekritisan dalam
berpikir, kemampuan berkomunikasi dan bekerja dalam tim, keahlian teknis, serta
wawasan global untuk dapat selalu beradaptasi terhadap perubahan dan perkembangan.
Pendidikan dapat diartikan sebagai bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja
terhadap anak didik oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Dalam perkembangan
selanjutnya, pendidikan berarti usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang
untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang agar menjadi dewasa atau mencapai
tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi (mental). Dengan demikian pendidikan berarti
segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan
jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.

Lebih lanjut, Pendidikan menurut Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (SISDIKNAS) adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Pendidikan adalah sesuatu yang universal dan berlangsung terus dan tak terputus dari generasi ke
genarasi di manapun di dunia ini. Upaya memanusiakan manusia melalui pendidikan itu
diselenggarakan sesuai dengan pandangan hidup dan dalam latar sosial-kebudayaan setiap
masyarakat tertentu. Keberhasilan anak dalam pendidikan sangat bergantung pada orang dewasa,
yaitu orang tua dan guru yang merupakan lingkungan sosial utama mereka yang menuntun dalam
hidupnya.

Pendidikan merupakan faktor penting dalam kemajuan negara. Namun sayangnya, masyarakat
dan pemerintah belum sepenuhnya sadar dengan penerapannya. Masyarakat Indonesia masih
terngiang oleh model pendidikan kolonial yang hanya memeras keringat rakyat untuk
kepentingan sepihak dan sesaat. Akhirnya, pandangan masyarakat Indonesia selalu ‘menghamba’
kepada perintah. Padahal, Indonesia adalah bangsa dengan sejarah yang besar. Kebesaran sejarah
itu lenyap oleh kependudukan pemerintah kolonial yang membuat strata sosial dan lapisan
lapisan masyarakat semakin tebal.

Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan
bahwa: Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk serta
peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (Oemar Hamalik: 2009, h.131-132)
Tujuan pendidikan di atas diwujudkan melalui proses pendidikan. Oleh karena itu pendidikan
memegang peranan penting dalam mengembangkan potensi yang telah dimiliki oleh manusia
dan pendidikan merupakan wahana mendapatkan ilmu pengetahuan. Tujuan pendidikan dapat
menjadikan peserta didik beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta menjadi diri
yang bertanggung jawab, setiap pendidikan akan membekali peserta didik dengan ilmu untuk
masa depan yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia melalui olah batin (aspek
transendensi), olah pikir (aspek kognisi), olah rasa (aspek afeksi), dan olah kinerja (aspek
psikomotoris) agar memiliki daya saing dalam menghadapi tantangan global. Pendidikan
merupakan tolak ukur kemajuan suatu bangsa bahkan pendidikan merupakan alat untuk
menguasai dunia.

Pendidikan yang menghamba pada anak juga dikenal dalam pembelajaran dalam istilah
pembelajaran berbasis Student Centered Learning (SCL). Siswa belajar dari apa yang dilakukan
bukan dari apa yang disampaikan guru. Pendekatan pembelajaran yang berpusat kepada peserta
didik atau anak merupakan sistem pembelajaran yang menunjukkan dominasi peserta didik
selama kegiatan pembelajaran dan guru hanya sebagai fasilitator, pembimbing dan pemimpin.
Pembelajaran berpusat pada anak dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanakan kegiatan
pembelajaran berpusat kepada anak.

1. Konsep Pendidikan Menurut Ki Hajar Dewantara

Menurut Ki Hadjar Dewantara pendidikan adalah daya-upaya untuk memajukan bertumbuhnya


budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek) dan tubuh anak, dalam rangka
kesempurnaan hidup dan keselarasan dengan dunianya.Pendidikan itu membentuk manusia yang
berbudi pekerti, berpikiran (pintar, cerdas) dan bertubuh sehat.

Pertama, manusia Indonesia yang berbudi pekerti adalah yang memiliki kekuatan batin dan
berkarakter. Artinya, pendidikan diarahkan untuk meningkatkan citra manusia di Indonesia
menjadi berpendirian teguh untuk berpihak pada nilai-nilai kebenaran. Dalam tataran praksis
kehidupan, manusia di Indonesia menyadari tanggungjawabnya untuk melakukan apa yang
diketahuinya sebagai kebenaran. Ekspersi kebenaran itu terpancarkan secara indah dalam dan
melalui tutur kata, sikap, dan perbuatannya terhadap lingkungan alam, dirinya sendiri dan
sesamanya manusia.Jadi, budi pekerti adalah istilah yang memayung perkataan, sikap dan
tindakan yang selaras dengan kebenaran ajaran agama, adat istiadat, hukum positif,dan tidak
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal.

Kedua, manusia di Indonesia yang maju pikirannya adalah yang cerdas kognisi (tahu banyak dan
banyak tahu) dan kecerdasannya itu membebaskan dirinya dari kebodohan dan pembodohan
dalam berbagai jenis dan bentuknya (misalnya: karena rekayasa penjajah berupa indoktrinasi).
Istilah maju dalam pikiran ini menunjukkan meningkatnya kecerdasan dan kepintaran. Manusia
yang maju pikirannya adalah manusia yang berani berpikir tentang realitas yang membelenggu
kebebasannya, dan berani beroposisi berhadapan segala bentuk pembodohan.
Ketiga, manusia di Indonesia yang mengalami kemajuan pada tataran fisik atau tubuh adalah
yang tidak semata sehat secara jasmani, tapi lebih-lebih memiliki pengetahuan yang benar
tentang fungsi-fungsi tubuhnya dan memahami fungsi-fungsi itu untuk memerdekakan dirinya
dari segala dorongan ke arah tindakan kejahatan. Manusia yang maju dalam aspek tubuh adalah
yang mampu mengendalikan dorongan-doroangan tuntutan tubuh. Dengan dan melalui tubuh
yang maju itu pula, pikiran yang maju dan budi pekerti yang maju memperoleh dukungan untuk
mendeklarasi kemerdekaan diri dari segala bentuk penindasan ego diri yang pongah dan serakah
di satu sisi dan memiliki kemampuan untuk menegaskan eksistensi diri secara beradab sebagai
manusia yang merdeka (secara jasmani dan ruhani) di sisi lain. Dalam praksis kehidupan,
kemajuan dalam tubuh bisa dipahami sebagai memiliki kekuatan untuk memperjuangkan
kemerdekaan dan keterampilan untuk mengisi kemerdekaan itu dengan segala pembangunan
yang humanis. Dalam konteks penalaran atas konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara di atas,
pendidikan adalah upaya pemanusiaan manusia secara manusiawi secara utuh dan penuh ke arah
kemerdekaan lahiriah dan batiniah. Maka pendidikan harus bersentuhan dengan upaya-upaya
konkret berupa pengajaran dan pendidikan. Menurut Ki Hadjar Dewantara pengajaran adalah
upaya memerdekakan aspek badaniah manusia (hidup lahirnya). Apa arti ungkapan tersebut?
Hemat kami yang hendak ditekankan Ki Hadjar Dewantara adalah bahwa: aktivitas pengajaran
itu berupa tindakan informatif tetapi sekaligus formatif. Pada tataran informatif pengajaran
adalah aktivitas membangun otonomi intelektual secara disengaja, yang dampaknya adalah
mencerdaskan kognisi seseorang sehingga ia terbebaskan dari belenggu “kebodohan” kognisi.
Sementara pada tataran formatif, ia membangun otonomi eksistensial dalam arti membangun
kesadaran akan hak-hak asasinya sebagai manusia yang bermartabat luhur. Signifikanisnya
adalah bersikap kritis terhadap realitas yang membelenggu kondisi eksistensialnya sebagai
manusia. Dalam praksis kehidupan, otonomi intelektual dan eksistensial itu terekspresi dalam
hidup yang tidak mengalami disorientasi dan tidak teralienasi secara personal dan sosial.
Singkatnya, kemerdekaan lahiriah itu di satu sisi bermuara pada kejelasan orientasi hidup, dan di
sisi lain hak-haknya mendapat pengakuan dan penghormatan. Jadi, istilah “memerdekakan
lahiriah” di sini mengandung makna bahwa pengajaran adalah daya upaya yang singnifikan
untuk membangun otonomi intelektual seseorang yang kemudian menyadarkan dirinya untuk
menegaskan otonomi eksistensialnya (badaniahnya) yang secara kodrati merupakan anugerah
dari Allah. Kedua otonomi itu merupakan wilayah kodrati yang penegasannya bisa direkayasa
melalui aktivitas pengajaran manusia secara beradab. Sementara pendidikan adalah upaya
memerdekakan aspek batiniahnya.

Persoalannya adalah apakah yang dimaksudkan Ki Hadjar Dewantara dengan aspek batiniah?
Bila istilah tersebut ditilik dari penalaran atas konsep pendidikannya di atas, maknanya lantas
bersentuhan dengan konsepsi budi pekerti. Artinya, istilah batiniah sama sekali tidak merujuk
secara langsung pada wilayah spiritualitas sebagai mana dikonsepsikan dalam dan melalui
agama-agama. Selaras dengan penalaran atas makna budi pekerti, istilah batiniah di sini
bernuansa kesahajaan sebagai pribadi yang mengalami kecerdasan. Maka manusia yang
mengalami kemerdekaan batiniah adalah yang menjadi subyek realitas dalam arti seluas-luasnya.
Pendidikan membentuk dan menghantar seseorang menjadi subyek realitas. Ia memiliki otonomi
intelektual, otonomi eksistensial, dan otonomi sosial sebagai anggota masyarakat. Ketiga
wilayah otonomi itu menjadi bagian integral identitas diri atau jati diri.Manusia yang terdidik
mampu menyikapi tuntutan-tuntutan dan tantangan-tantangan kehidupan dengan sikap bersahaja.
Ia tidak lagi terperangkap dalam kepentingan-kepentingan diri dan golongan yang temporal dan
duniawi sifatnya. Praksis kehidupannya sarat dengan permenungan atas nilai-nilai kemanusiaan
universal dan sekaligus disertai dengan daya upaya untuk mewujudkannya dalam kehidupan
nyata. Manusia yang merdeka batiniahnya adalah manusia pintar tapi sekaligus benar
tindakannya, maju penalaran akalnya dan sekaligus bermoral perilakunya (tindakannya
berlandaskan rasa hormat kepada martabat manusia), beragama dan sekaligus beriman (Allah
dihayati sebagai prioritas tuntutan-tuntutan dalam kehidupan). Dalam praksisnya, pengajaran
dan pendidikan harus disesuaikan dengan kondisi hidup dan kehidupan rakyat.

Kondisi rakyat yang terjajah tidak cukup menguntungkan dunia pendidikan manakala prosesnya
berorientasi pada perolehan keuntungan material. Maka yang hendak disasar Ki Hadjar dalam
dan melalui pendidikan adalah tumbuhnya kesadaran akan pentingnya menghormati nilai-nilai
kemanusiaan, baik dalam kehidupan personal maupun kehidupan sosial. Artinya, kesadaran akan
pentingnya hormat pada martabat kehidupan yang diimani sebagai hormat pada pencipta
kehidupan. Di situlah dasar daya upaya memerdekakan badaniah dan batiniah dibangun.

Berangkat dari uraian di atas, kita dapat menangkap pemikiran Ki Hadjar Dewantara mengenai
pendidikan, yakni upaya konkret untuk memerdekakan manusia secara utuh dan penuh. Baginya,
pendidikan adalah pintu masuk menuju kemerdekaan lahiriah dan batiniah manusia, baik sebagai
makhluk individual maupun sebagai anggota masyarakat dan warga dunia. Dengan demikian,
pendidikan menjadi wadah untuk membangun otonomi intelektual, otonomi eksistensial, dan
otonomi sosial. Pendidikan adalah cara untuk sampai pada kesadaran akan pentingnya memiliki
ketiga otonomi diri di atas. Dengan demikian, kemerdekaan badaniah dan batiniah yang
dimaksudkan Ki Hadjar Dewantara adalah keadaan dimana manusia di Indonesia mampu
menegaskan secara serentak otonomi eksistensi dirinya sebagai warga Indonesia dan warga
dunia. Pendidikan menghantar seseorang memiliki otonomi diri secara utuh dan penuh dalam
wilayah kognisi, afeksi, spiritual, social sehingga eksistensinya mampu berdiri sendiri, tidak
tergantung pada orang lain, dan dapat mengatur dirinya sendiri.

2. Pendidikan yang Berhamba Pada Anak

Filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara adalah student-centered. Istilah yang beliau pergunakan
adalah "berhamba pada sang anak,". Metode Among, tercermin di semboyan Tut Wuri
Handayani, adalah metode yang berhamba pada sang anak. Bapak Pendidikan kita sejak tahun
1922 sudah mengenalkan dan mengajarkan kita pada filosofi pendidikan yang berpusat pada
siswa. Hal seharusnya tidak asing bagi semua pemangku kepentingan pendidikan Indonesia.
Filosofi pendidikan ini mensyaratkan pendidik untuk memberi tuntunan sesuai dengan tahap-
tahap perkembangan anak secara budi (cipta, rasa, karsa) dan pekerti (tenaga), sesuai dengan
kodratnya sang anak. Ki Hajar Dewantara sendiri menggambarkan tuntunan pendidikan yang
"ekologis," ibarat petani yang menanam berbagai macam bibit tanaman dan memelihara tanaman
tersebut sesuai dengan kodratnya. Tuntunan ini bersifat holistik, tak boleh lepas dari pendidikan
sosial dan kultural.

Ia menghantarkan anak tidak hanya pada ketajaman pikiran, kehalusan rasa, dan kekuatan
kemauan, namun juga pada kebulatan jiwa dan kebijaksanaan. Ki Hajar Dewantara mengkritik
keras sistem pendidikan yang hanya menekankan pendidikan pikiran saja dan menomorduakan
pendidikan sosial. Ki Hajar Dewantara juga mengkritik keras sistem pendidikan yang
mengkultuskan ujian. Dalam sistem tersebut pelajar tidak akan belajar untuk perkembangan
hidup kejiwaannya, tapi untuk nilai tinggi, rapor, dan ijazah. Sistem seperti ini, menurut Ki Hajar
Dewantara, harus diberantas.

Sepertinya praktik pendidikan Indonesia saat ini jauh dari filosofi sang Bapak Pendidikannya
sendiri: terlalu menekankan kognitif (ujian), tidak memberi tuntunan sesuai kodrat dan tahap
perkembangan anak, tidak holistik, menomorduakan pendidikan sosial dan kultural. Jika
ekosistem pendidikan Indonesia berniat menghadirkan filosofi Ki Hajar Dewantara secara
substansi, bukan sekedar seremonial, kita perlu kerja komprehensif. Semua kebijakan mulai dari
sektor input, proses, dan output, harus bertanya, sejauh mana ia mendukung filosofi berhamba
pada sang anak.

Menurut laporan The Future of Jobs dari World Economic Forum, dunia kerja di masa
mendatang akan sangat membutuhkan tenaga-tenaga kreatif yang memiliki kecerdasan emosi
yang baik. Mesin memang dapat bekerja sangat cepat dan efisien, namun ia tidak dapat bisa
kreatif seperti manusia dan tidak memiliki kecerdasan emosi.

Pendidikan Indonesia harus mempersiapkan benih-benih kebudayaan yang tengah berevolusi ini.
Pendidikan harus holistik dan memberi tuntunan sesuai kodrat anak dan zamannya. Karena itu,
dalam menjawab tantangan transformasi kebudayaan di era revolusi digital ini, sistem
pendidikan Indonesia harus kembali kepada filosofi Bapak Pendidikan Indonesia: sistem
pendidikan yang berhamba pada sang anak.

3. Aksi Nyata Yang Dilakukan

Penerapan dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang berhamba pada anak ini sangat sesuai
dengan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada anak atau dikenal dengan Student Centered
Learning (SCL). Dalam menerapkan konsep Student Centered Leaning, siswa diharapkan
sebagai peserta aktif dan mandiri dalam proses belajarnya, yang bertanggung jawab dan
berinisiatif untuk mengenali kebutuhan belajarnya, menemukan sumber-sumber informasi untuk
dapat menjawab kebutuhannya, membangun serta mempresentasikan pengetahuannya
berdasarkan kebutuhan serta sumber-sumber yang ditemukannya. Dalam batas-batas tertentu
siswa dapat memilih sendiri apa yang akan dipelajarinya.

Pendidikan yang menghamba pada anak menekankan pada minat, kebutuhan dan kemampuan
individu, menjanjikan model belajar yang menggali motivasi intrinsik untuk membangun
masyarakat yang suka dan selalu belajar. Model belajar ini sekaligus dapat mengembangkan
kualitas sumber daya manusia yang dibutuhkan masyarakat seperti kreativitas, kepemimpinan,
rasa percaya diri, kemandirian, kedisiplinan, kekritisan dalam berpikir, kemampuan
berkomunikasi dan bekerja dalam tim, keahlian teknis, serta wawasan global untuk dapat selalu
beradaptasi terhadap perubahan dan perkembangan.

Hasil dari Aksi Nyata yang Dilakukan

Dengan Pendidikan yang menghamba pada anak ini akan terjadi perubahan peran siswa dalam
proses pembelajaran sebagai berikut:

1. Siswa ikut bertanggungjawab dalam proses pembelajaran

2. Siswa belajar bagaimana belajar secara mandiri

3. Siswa secara aktif mencari pengetahuan dan melakukan konstruksi dan pemahaman terhadap
materi pembelajaran

Kesimpulan

Pembelajaran yang berhamba pada anak (student centered learning) dalam penerapannya dapat
memudahkan perancangan instruksi pembelajaran yang efektif untuk setiap siswa, memudahkan
penyerapan materi bagi siswa serta dapat meningkatkan kemandirian maupun kemampuan
komunikasi dan kolaborasi bagi siswa, dengan demikian pembelajaran yang berbasis student
centered learning adalah kunci keberhasilan dalam penerapan suatu proses pembelajaran yang.

Adapun keterbatasan dalam pelaksanaan kegiatan ini adalah ada sebagian siswa yang tidak
dapat menyelesaikan tugas dalam kelompoknya tepat waktu dan butuh waktu tambahan untuk
menyelesaikan tugasnya. Rencana perbaikan untuk pelaksanaan di masa mendatang adalah
mengidentifikasi kebutuhan atau gaya belajar masing-masing anak agar dapat melayani dengan
maksimal kebutuhan belajarnya.

Anda mungkin juga menyukai