Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

Setelah lebih dari 70 tahun merdeka, Indonesia telah banyak meraih


kemajuan dibidang politik, ekonomi, sosial-budaya, dan keagamaan. Hal ini
ditunjukkan dengan perkembangan demokrasi, peningkatan pendapatan per
kapita, penguatan integritas sosial, pemerataan pendidikan, dan kesemarakan
kehidupan keagamaan. Kemajuan tersebut juga ditandai oleh pengakuan
internasional. Stamina spiritual dan intelektual bangsa ini tidaklah kalah jika
dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Namun energi positif itu sampai batas
tertentu terbuang sia-sia karena ketidaksungguhan dan berbagai masalah kolektif,
yang terkait melemahnya visi dan karakter bangsa.
Kekaburan visi dan kelemahan karakter bangsa menjadi beban nasional
yang berat ketika berakumulasi dengan berbagai persoalan internal yang kompleks
pada tubuh bangsa ini, seperti kemiskinan, pengangguran, kebodohan,
keterbelakangan, korupsi, kerusakan lingkungan, utang luar negeri, dan perilaku
elite yang tidak menunjukkan keteladanan selaku negarawan. Beban nasional
semakin berat dengan adanya faktor eksternal seperti intervensi kepentingan asing
dan dampak krisis global dalam berbagai aspek kehidupan. Akibatnya, bangsa ini
kehilangan daya tahan dan kemandiriannya. Jika dibiarkan, keadaan tersebut
menjadi gumpalan masalah yang besar, Indonesia tidak hanya kehilangan peluang
untuk tumbuh menjadi bangsa dan negara yang sukses mengukir kejayaan
peradaban, tetapi sebaliknya akan semakain terpuruk dihadapan bangsa-bangsa
lain[1].
Saat ini wajah bangsa Indonesi sudah coreng-moreng dengan berbagai
peristiwa, seperti kasus korupsi yang sudah menjadi tradisi para pemegang
kekuasaan dan pembuat kebijakan, baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif,
tawuran pelajar yang sudah membudaya dalam demokrasi kanibal, pergaulan
bebas yang kian marak dikalangan pelajar, kesadaran berbudaya yang semakin
melemah di masyarakat, kerusuhan berlandaskan SARA dan perbedaan aliran
1 PP.Muhammadiyah, Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa: Agenda Indonesia ke Depan,
(Yogyakarta: PPM, 2009),1-2.
serta madzhab yang mengorbankan banyak anak bangsa, rakyat yang
termarginalkan di riuh rendah hiruk pikuk politik yang menunjukkan aksi
kemiskinannya di keramaian kota, kondisi alam kian lesu dan pucat akibat
penebangan hutan dan pencemaran lingkungan, dan penguasa yang dengan leluasa
menunjukkan perilaku minus keteladanan dihadapan rakyatnya.
Bangsa Indonesia saat ini lemah karakter. Karakter sebuah bangsa adalah
sekumpulan karakter individu di sebuah negara. Sebuah bangsa melalui
pemimpinnya dapat membentuk karakter individu yang mumpuni, yang akan
membawa bangsa dalam mewujudkan kesejahteraan sebagai cita-cita paling ideal.
Secara kontekstual, karakter setiap individu disuatu bangsa sangat bergantung
pada pemimpin yang ada diatasnya. Sikap pemimpin menjadi cermin bagi
rakyatnya. Pemimpinlah yang harus memiliki energi ekstra untuk menjernihkan
mata air di muara, sebab bersih atau kotornya mata air dimuara bergantung pada
hulunya. Dan kelemahan karakter sebagai bangsa berakibat fatal pada proses
bernegara.
Kemelut Indonesia yang semakin kacau ini diyakini karena ketiadaan
karakter. Solusi dari krisis karakter bangsa Indonesia tidak cukup hanya menjadi
penyesalan. Ikhtiar bangkit untuk kembali menata karakter bangsa yang unggul
dan berjiwa kepemimpinan menjadi prasyarat bagi kejayaan bangsa. Kita harus
sama-sama berikhtiar mengembalikan dan membentuk karakter bangsa melalui
pendidikan karakter. Pendidikan karakter yang dimaksud adalah pendidikan bagi
kaum pelajar, mahasiswa, dan masyarakat umum. Para terpelajar mempunyai
tanggung jawab moral untuk menata kembali karakter bangsa dengan
menunjukkan karakter unggul dan karakter kepemimpinan.
Kaum terpelajar merupakan aset masa depan bangsa Indonesia.
Menyiapkan mereka dengan karakter unggul dan berjiwa kepemimpinan berarti
menyiapkan sosok manusia yang berkatrakter kuat yang dapat memberi contoh
dan teladan bagi rakyat yang dipimpinnya. Apabila para pelajar dan mahasiswa
diabaikan pendidikan karakternya, kegagalan bangsa ini semakin dekat. Karena
bangsa ini akan dipimpin oleh pemimpin yang berkarakter buruk.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendidikan Berbasis Karakter


1. Pendidikan
Membahas masalah pendidikan karakter, tidak terlepas dari
pengertian pendidikan secara umum sehingga akan diperoleh pengertian
pendidikan secara jelas. Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional No. 20 tahun 2003 Pasal 1 butir 1, pendidikan adalah: “Usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.” Pendidikan adalah suatu usaha
sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik.
Pendidikan juga merupakan pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan
kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi
berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian. Pendidikan sering
terjadi di bawah bimbingan orang lain, tetapi juga memungkinkan secara
otodidak.
Pendidikan nasional bertujuan: “Untuk mengembangkan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab” (UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 Pasal 3). Pendidikan yang
bertujuan melahirkan insan cerdas dan berkarakter kuat pernah dikatakan
Martin Luther King, yaitu “kecerdasan yang berkarakter adalah tujuan akhir
dari pendidikan yang sebenarnya.”[2]

2. Karakter

2 Anas Salahudin, Pendidikan karakter: Pendidikan Berbasis Agama & Budaya Bangsa, (Bandung:
Pustaka Setia, 2013), 42.
Karakter atau watak adalah sifat batin yang memengaruhi segenap
pikiran, perilaku, budi pekerti, dan tabiat yang dimiliki manusia atau
makhluk hidup lainnya. Lebih lengkap lagi Karakter adalah nilai-nilai yang
khas, baik watak, akhlak atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari
hasil internalisasi berbagai kebijakan yang diyakini dan dipergunakan
sebagai cara pandang, berpikir, bersikap, berucap dan bertingkah laku dalam
kehidupan sehari-hari.
Karakter merupakan ciri khas seseorang atau sekelompok orang yang
mengandung nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam
menghadapi kesulitan dan tantangan.[3]
3. Pendidikan Karakter
Dalam hubungannya dengan pendidikan, pendidikan karakter dapat
dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan
moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan
siswa untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara kebaikan,
mewujudkan dan menebar kebaikan dalam kehidupan sehari-hari dengan
sepenuh hati.
Pendidikan Karakter adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana serta proses pemberdayaan potensi dan pembudayaan
peserta didik guna membangun karakter pribadi atau kelompok yang unik
baik sebagai warga negara. Dalam kamus lain Pendidikan
Karakter merupakan bentuk kegiatan manusia yang di dalamnya terdapat
suatu tindakan yang mendidik diperuntukkan bagi generasi selanjutnya.
Menurut D. Yahya Khan, pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara
berfikir dan berperilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja
sama sebagai keluarga, masyarakat, dan bangsa. Serta membantu orang lain
untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata
lain, pendidikan karakter mengajarkan anak didik berpikir cerdas,
mengaktivasi otak tengah secara alami.[4]

3 Anas Salahudin, Pendidikan karakter: Pendidikan Berbasis Agama & Budaya Bangsa, (Bandung:
Pustaka Setia, 2013), 42.
Pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan
pendidikan moral dan akhlaq. Lebih lanjut, pendidikan karakter adalah
segala sesuatu yang dilakukan oleh guru untuk mempengaruhi karakter
peserta didik.[5] Guru membantu dalam membentuk watak peserta didik
dengan cara memberi keteladanan, cara berbicara atau menyampaikan
materi yang baik, toleransi, dan berbagai hal yang terkait lainnya.

B. Landasan Filosofis Pendidikan Karakter


Dalam filsafat ada tiga kerangka besar teori: teori pengalaman, teori
hakikat dan teori nilai. Pada teori nilai ada dua cabang filsafat yaitu filsafat
etika dan filsafat estetika. Filsafat etika biasanya membicarakan persoalan
dalam kerangka baik-buruk, sedangkan estetika membicarakan keindahan atau
ketidak indahan. Pada dasarnya etika dan estetika memiliki titik kesamaan
yaitu keduanya adalah masuk ke dalam teori nilai.[6] Maka pendidikan etika
yang dapat juga diistilahkan dengan pendidikan karakter, berarti proses
pendidikan yang menjadikan manusia dapat membedakan baik dan buruk.
Lebih detail lagi secara filosofis pendidikan adalah sebuah tindakan
yang mendasar/fundamental yang memiliki tujuan memanusiakan manusia.
Pendidikan harus menyentuh akar-akar mendasar dari kehidupan manusia. Jadi
pendidikan adalah sebuah upaya dasar yang mengubah dan membentuk masa
depan manusia. Pendidikan bukan bertujuan untuk sekolahan, terlebih hanya
untuk memenuhi ambisi dari rezim pemerintahan. Jadi pendidikan adalah
murni bertujuan membelajarkan manusia untuk menjadi hakikat dirinya dalam
menjalankan kehidupan di alam dunia.
Dalam pendidikan untuk kehidupan, hal utama yang dilakukan adalah
menenamkan karakter dan nilai-nilai kehidupan. Pendidikan karakter bukan
saja perlu karena dapat mengembalikan filosofi dasar pendidikan yang selama
ini tercerabut dari misi dasar pendidikan, namun pendidikan karakter wajib

4 D. Yahya Khan, Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri; Mendongkrak Kualitas Pendidikan
(Yogyakarta: Pelangi Publising, 2010), 1-2.
5 Jamal Ma’mur Asmani, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah, (Jogjakarta: DIVA
Press, 2013), 31.
6 Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, (Jakarta: Prenada Media, 2005), 58-59.
dilaksanakan karena diharapkan dapat menanamkan nilai-nilai luhur seperti:
nilai kebersamaan, kejujuran, kesetiakawanan, kesopanan, kesusilaan, dan lain-
lain.
Nilai adalah sifat yang berharga dari suatu hal, benda, atau pribadi yang
memenuhi kebutuhan element manusia yang serba butuh atau
menyempurnakan manusia yang tak kunjung selesai dalam pengembangan
dirinya secara utuh, menyeluruh, dan tuntas. Nilai merupakan kebenaran atau
realitas sejati yang akan terus dicari oleh setiap individu.
Kebenaran sejati adalah sesuatu yang tak berubah dan tidak tergantung
pada ruang dan waktu serta bersifat universal. Jika sesuatu benar di sini, maka
ia pun harus benar di mana saja. Jika sesuatu benar hari ini, maka ia juga harus
benar besok. Jika ia benar besok, maka iapun harus benar lusa. Jika ia benar
100 tahun yang lalu, maka iapun harus benar 1000 tahun kemudian dan
seterusnya.[7]
Berpijak pada pola kandungan filsafat, maka Pendidikan karakter juga
mengandung tiga unsur utama yaitu Ontologis Pendidikan Karakter,
Epistemologis Pendidikan Karakter dan Aksiologis Pendidikan Karakter.
1. Dasar Ontologis Pendidikan Karakter
Pertama, pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari
pendidikan karakter. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan
pendidikan krakter melalui pengalaman panca indera adalah dunia
pengalaman manusia secara empiris. Objek materil pendidikan karakter
adalah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek
kepribadiannya. Objek formal pendidikan karakter dibatasi pada manusia
seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Di dalam situasi
sosial, manusia sering kali berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk
berperilaku individual dan atau mahluk sosial yang berperilaku kolektif.
Sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi
yang menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya
mendidik dan mengajar. Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang
7 Na-Ayudhya, Art-Ong Jumsai, Model Pembelajaran Nilai Kemanusian Terpadu (Human Values
Integrated Intructional Model), (Jakarta: Yayasan Pendidikan Sathya Sai Indonesia, 2008), 8-9.
berkepribadian sendiri secara utuh memperlakukan peserta didik secara
terhormat sebagai pribadi pula. Jika pendidik tidak bersikaf afektif utuh
demikian, maka akan menjadi mata rantai yang hilang (the missing link)
atas faktor hubungan peserta didik-pendidik atau antara siswa-guru.
Dengan begitu pendidikan hanya akan terjadi secara kuantitatif sekalipun
bersifat optimal, sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh.
2. Dasar Epistemologis Pendidikan karakter
Dasar epistemologis diperlukan oleh pendidikan karakter atau
pakar pendidikan karakter demi mengembangkan ilmunya secara produktif
dan bertanggung jawab. Pendidikan karakter memerlukan pendekatan
fenomenologis yang akan menjalin studi empirik dengan studi kualitatif
fenomenologis. Karena penelitian tidak hanya tertuju pada pemahaman
dan pengertian, melainkan untuk mencapai kearifan fenomena pendidikan.
Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahwa
dalam menjelaskan objek formalnya, telaah pendidikan karakter tidak
hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah
teori, dan pendidikan karakter sebagai ilmu otonom yang mempunyai
objek formal sendiri atau problematikanya sendiri sekalipun tidak hanya
menggunakan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental. Dengan
demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara
korespodensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau
pragmatis.
3. Dasar Aksilogis Pendidikan Karakter
Kemanfaatan teori pendidikan karakter tidak hanya perlu sebagai
ilmu yang otonom, tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang
sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses menjadikan manusia
sebagai manusia yang utuh dan pembudayaan manusia secara beradab.
Oleh karena itu nilai pendidikan karakter tidak hanya bersifat intrinsik
sebagai ilmu, seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik. Dan
ilmu digunakan untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam
praktek melalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan
pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan demikian pendidikan
karakter tidak bebas nilai, mengingat hanya terdapat batas yang sangat
tipis antar pekerjaan pendidikan karakter dan tugas pendidik sebagai
pedagok. Dalam hal ini, sangat relevan sekali untuk memperhatikan
pendidikan karakter sebagai bidang yang sarat nilai. Itulah sebabnya
pendidikan karakter memerlukan teknologi pula, tetapi pendidikan
bukanlah bagian dari iptek. Namun harus diakui bahwa pendidikan
karakter belum jauh pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan
ilmu sosial dan ilmu perilaku.

C. Teori-Teori Pendidikan Karakter


1. Pendidikan Karakter Menurut Thomas Lickona
Karakter menurut Lickona terbagi atas beberapa bagian yang
tercakup di dalamnya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lickona di
bawah ini:
“Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing,
moral feeling, and moral behavior. Good character consists of knowing
the good, desiring the good, and doing the good, habits of the mind,
habits of the heart, and habits of action. All three are necessary for
leading a moral life, all three make up moral maturity. When we think
about the kind of character we want for our children, it's clear that we
want them to be able to judge what is right, care deeply about what is
right, and then do what they believe to be right, even in the face of
pressure from without and temptation from within” (Lickona, 1991: 51).

Berdasarkan pendapat Lickona di atas dapat dijelaskan bahwa:


karakter terdiri atas tiga korelasi antara lain moral knowing, moral feeling,
dan moral behavior. Karakter itu sendiri terdiri atas, antara lain: mengetahui
hal-hal yang baik, memiliki keinginan untuk berbuat baik, dan
melaksanakan yang baik tadi berdasarkan atas pemikiran, dan perasaan
apakah hal tersebut baik untuk dilakukan atau tidak, kemudian dikerjakan.
Ketiga hal tersebut dapat memberikan pengarahan atau pengalaman moral
hidup yang baik, dan memberikan kedewasaan dalam bersikap.
Secara sederhana, pendidikan karakter dapat didefinisikan sebagai
segala usaha yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi karakter siswa.
Tetapi untuk mengetahui pengertian yang tepat, dapat dikemukakan disini
definisi pendidikan karakter yang disampaikan oleh Thomas Lickona.
Lickona menyatakan bahwa pengertian pendidikan karakter adalah suatu
usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat
memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti.
2. Pendidikan Karakter Menurut Suyanto
Suyanto mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan
berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja
sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun  negara.
Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat
keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusan
yang ia buat (Suyanto, 2009).
3. Pendidikan Karakter Menurut Kertajaya
Karakter adalah ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau
individu. Ciri khas tersebut adalah asli dan mengakar pada kepribadian
benda atau individu tersebut, serta merupakan “mesin” yang mendorong
bagaimana seorang bertindak, bersikap, berucap, dan merespon sesuatu
(Kertajaya, 2010).
4. Pendidikan Karakter Menurut Pusat Bahasa Depdiknas
Bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas,
sifat, tabiat, temperamen, watak. Adapun berkarakter adalah berkepribadian,
berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak.
5. Pendidikan Karakter Menurut Tadkiroatun Musfiroh (2008)
Karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku
(behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter
berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan
memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk
tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus
dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya,
orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan
berkarakter mulia.
Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang
potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya
diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat,
bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban,
pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu
berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih,
teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner,
bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu,
pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan
(estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran
untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak
sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi
perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika,
dan perilaku).
Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang
berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya,
sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada
umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan
disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai
karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan,
kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai
tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of
all dimensions of school life to foster optimal character development”.
Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku
pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu
sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan
atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas
atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan,
dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu,
pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang
dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.
6. Pendidikan Karakter Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D.
Pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education
is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon
core ethical values. When we think about the kind of character we want for
our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right,
care deeply about what is right, and then do what they believe to be right,
even in the face of pressure from without and temptation from within”.
7. Pendidikan Karakter Menurut T. Ramli (2003)
Pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan
pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk
pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan
warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga
masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat
atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak
dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu,
hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia
adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber
dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian
generasi muda.

D. Model Pengembangan Karakter Bangsa


Ada empat model pendekatan penyampaian pendidikan karakter.
1). Model Sebagai Mata Pelajaran Tersendiri (Monolitik)
Dalam model pendekatan ini, pendidikan karakter dianggap sebagai
mata pelajaran tersendiri. Oleh karena itu, pendidikan karakter memiliki
kedudukan yang sama dan diperlakukan sama seperti pelajaran atau bidang
studi lain. Dalam hal ini, guru bidang studi pendidikan karakter harus
mempersiapkan dan mengembangkan kurikulum, mengembangkan
silabus, membuat Rancangan Proses Pembelajaran (RPP), metodologi
pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. Konsekuensinya pendidikan
karakter harus dirancang dalam jadwal pelajaran secara terstruktur.
Kelebihan dari pendekatan ini antara lain materi yang disampaikan
menjadi lebih terencana matang/terfokus, materi yang telah disampaikan
lebih terukur. Sedangkan kelemahan pendekatan ini adalah sangat
tergantung pada tuntutan kurikulum, kemudian penanaman nilai-nilai
tersebut seolah-olah hanya menjadi tanggung jawab satu orang guru
semata, demikian pula dampak yang muncul, pendidikan karakter hanya
menyentuh aspek kognitif, tidak menyentuh internalisasi nilai tersebut.
2). Model Terintegrasi dalam Semua Bidang Studi
Pendekatan yang kedua dalam menyampaikan pendidikan karakter
adalah disampaikan secara terintegrasi dalam setiap bidang pelajaran, dan
oleh karena itu menjadi tanggung jawab semua guru (Washington, et.all,
2008). Dalam konteks ini setiap guru dapat memilih materi pendidikan
karakter yang sesuai dengan tema atau pokok bahasan bidang studi.
Melalui model terintegrasi ini maka setiap guru adalah pengajar
pendidikan karakter tanpa kecuali. Keunggulan model terintegrasi pada
setiap bidang studi antara lain setiap guru ikut bertanggung jawab akan
penanaman nilai-nilai hidup kepada semua siswa, di samping itu
pemahaman akan nilai-nilai pendidikan karakter cenderung tidak bersifat
informatif-kognitif, melainkan bersifat aplikatif sesuai dengan konteks
pada setiap bidang studi. Dampaknya siswa akan lebih terbiasa dengan
nilai-nilai yang sudah diterapkan dalam berbagai seting. Sisi
kelemahannya adalah pemahaman dan persepsi tentang nilai yang akan
ditanamkan harus jelas dan sama bagi semua guru. Namun, menjamin
kesamaan bagi setiap guru adalah hal yang tidak mudah, hal ini mengingat
latar belakang setiap guru yang berbeda-beda. Di samping itu, jika terjadi
perbedaan penafsiran nilai-nilai diantara guru sendiri akan menjadikan
siswa justru bingung.
3). Model di Luar Pengajaran
Penanaman nilai-nilai pendidikan karakter dapat juga ditanamkan
di luar kegiatan pembelajaran formal. Pendekatan ini lebih mengutamakan
pengolahan dan penanaman nilai melalui suatu kegiatan untuk dibahas dan
kemudian dibahas nilai-nilai hidupnya.Model kegiatan demikian dapat
dilaksanakan oleh guru sekolah yang diberi tugas tersebut atau
dipercayakan kepada lembaga lain untuk melaksanakannya. Kelebihan
pendekatan ini adalah siswa akan mendapatkan pengalaman secara
langsung dan konkrit. Kelemahannya adalah tidak ada dalam struktur yang
tetap dalam kerangka pendidikan dan pengajaran di sekolah, sehingga akan
membutuhkan waktu yang lebih lama dan biaya yang lebih banyak.
4). Model Gabungan
Model gabungan adalah menggabungkan antara model terintegrasi
dan model diluar pelajaran secara bersama. Model ini dapat dilaksanakan
dalam kerja sama dengan tim baik oleh guru maupun dalam kerja sama
dengan pihak luar sekolah. Kelebihan model ini adalah semua guru
terlibat, di samping itu guru dapat belajar dari pihak luar untuk
mengembangkan diri dan siswa. Siswa menerima informasi tentang nilai-
nilai sekaligus juga diperkuat dengan pengalaman melalui kegiatan-
kegiatan yang terencana dengan baik. Mengingat pendidikan karakter
merupakan salah satu fungsi dari pendidikan nasional, maka sepatutnya
pendidikan karakter ada pada setiap materi pelajaran. Oleh karena itu,
pendekatan secara terintegrasi merupakan pendekatan minimal yang harus
dilaksanakan semua tenaga pendidik sesuai dengan konteks tugas masing-
masing disekolah, termasuk dalam hal ini adalah konselor sekolah.
Namun, bukan berati bahwa pendekatan yang paling sesuai adalah dengan
model integratif. Pendekatan gabungan tentu akan lebih baik lagi karena
siswa bukan hanya mendapatkan informasi semata melainkan juga siswa
menggali nilai-nilai pendidikan karakter melalui kegiatan secara
kontekstual sehingga penghayatan siswa lebih mendalam dan tentu saja
lebih menggembirakan siswa.
BAB III
PENUTUP

Dari berbagai pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan


karakter berarti sebuah usaha sadar yang sitematis dan terprogram untuk melatih
dan mengambangkan potensi siswa secara utuh dan total, menanamkan dan
membiasakan kebiasaan-kebiasaan terpuji terhadap anak didik, hingga dapat
menjalankan secara continue dan secara spontan/ tanpa difikirkan. Pendidikan
karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah
yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan
untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai
sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal
character development”. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen
(pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen
pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian,
penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan
aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan,
dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan.
Dan sudah menjadi sifat dasar manusia bahwa ia akan selalu mencintai
kebaikan dan keindahan. Mencari kebenaran, dan cenderung untuk memilih hal-
hal yang indah dan baik. Atas dasar inilah pendidikan karakter wajib diterapkan
didalam proses pendidikan mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi.

Anda mungkin juga menyukai