PENDAHULUAN
2. Karakter
2 Anas Salahudin, Pendidikan karakter: Pendidikan Berbasis Agama & Budaya Bangsa, (Bandung:
Pustaka Setia, 2013), 42.
Karakter atau watak adalah sifat batin yang memengaruhi segenap
pikiran, perilaku, budi pekerti, dan tabiat yang dimiliki manusia atau
makhluk hidup lainnya. Lebih lengkap lagi Karakter adalah nilai-nilai yang
khas, baik watak, akhlak atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari
hasil internalisasi berbagai kebijakan yang diyakini dan dipergunakan
sebagai cara pandang, berpikir, bersikap, berucap dan bertingkah laku dalam
kehidupan sehari-hari.
Karakter merupakan ciri khas seseorang atau sekelompok orang yang
mengandung nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam
menghadapi kesulitan dan tantangan.[3]
3. Pendidikan Karakter
Dalam hubungannya dengan pendidikan, pendidikan karakter dapat
dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan
moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan
siswa untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara kebaikan,
mewujudkan dan menebar kebaikan dalam kehidupan sehari-hari dengan
sepenuh hati.
Pendidikan Karakter adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana serta proses pemberdayaan potensi dan pembudayaan
peserta didik guna membangun karakter pribadi atau kelompok yang unik
baik sebagai warga negara. Dalam kamus lain Pendidikan
Karakter merupakan bentuk kegiatan manusia yang di dalamnya terdapat
suatu tindakan yang mendidik diperuntukkan bagi generasi selanjutnya.
Menurut D. Yahya Khan, pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara
berfikir dan berperilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja
sama sebagai keluarga, masyarakat, dan bangsa. Serta membantu orang lain
untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata
lain, pendidikan karakter mengajarkan anak didik berpikir cerdas,
mengaktivasi otak tengah secara alami.[4]
3 Anas Salahudin, Pendidikan karakter: Pendidikan Berbasis Agama & Budaya Bangsa, (Bandung:
Pustaka Setia, 2013), 42.
Pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan
pendidikan moral dan akhlaq. Lebih lanjut, pendidikan karakter adalah
segala sesuatu yang dilakukan oleh guru untuk mempengaruhi karakter
peserta didik.[5] Guru membantu dalam membentuk watak peserta didik
dengan cara memberi keteladanan, cara berbicara atau menyampaikan
materi yang baik, toleransi, dan berbagai hal yang terkait lainnya.
4 D. Yahya Khan, Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri; Mendongkrak Kualitas Pendidikan
(Yogyakarta: Pelangi Publising, 2010), 1-2.
5 Jamal Ma’mur Asmani, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah, (Jogjakarta: DIVA
Press, 2013), 31.
6 Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, (Jakarta: Prenada Media, 2005), 58-59.
dilaksanakan karena diharapkan dapat menanamkan nilai-nilai luhur seperti:
nilai kebersamaan, kejujuran, kesetiakawanan, kesopanan, kesusilaan, dan lain-
lain.
Nilai adalah sifat yang berharga dari suatu hal, benda, atau pribadi yang
memenuhi kebutuhan element manusia yang serba butuh atau
menyempurnakan manusia yang tak kunjung selesai dalam pengembangan
dirinya secara utuh, menyeluruh, dan tuntas. Nilai merupakan kebenaran atau
realitas sejati yang akan terus dicari oleh setiap individu.
Kebenaran sejati adalah sesuatu yang tak berubah dan tidak tergantung
pada ruang dan waktu serta bersifat universal. Jika sesuatu benar di sini, maka
ia pun harus benar di mana saja. Jika sesuatu benar hari ini, maka ia juga harus
benar besok. Jika ia benar besok, maka iapun harus benar lusa. Jika ia benar
100 tahun yang lalu, maka iapun harus benar 1000 tahun kemudian dan
seterusnya.[7]
Berpijak pada pola kandungan filsafat, maka Pendidikan karakter juga
mengandung tiga unsur utama yaitu Ontologis Pendidikan Karakter,
Epistemologis Pendidikan Karakter dan Aksiologis Pendidikan Karakter.
1. Dasar Ontologis Pendidikan Karakter
Pertama, pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari
pendidikan karakter. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan
pendidikan krakter melalui pengalaman panca indera adalah dunia
pengalaman manusia secara empiris. Objek materil pendidikan karakter
adalah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek
kepribadiannya. Objek formal pendidikan karakter dibatasi pada manusia
seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Di dalam situasi
sosial, manusia sering kali berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk
berperilaku individual dan atau mahluk sosial yang berperilaku kolektif.
Sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi
yang menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya
mendidik dan mengajar. Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang
7 Na-Ayudhya, Art-Ong Jumsai, Model Pembelajaran Nilai Kemanusian Terpadu (Human Values
Integrated Intructional Model), (Jakarta: Yayasan Pendidikan Sathya Sai Indonesia, 2008), 8-9.
berkepribadian sendiri secara utuh memperlakukan peserta didik secara
terhormat sebagai pribadi pula. Jika pendidik tidak bersikaf afektif utuh
demikian, maka akan menjadi mata rantai yang hilang (the missing link)
atas faktor hubungan peserta didik-pendidik atau antara siswa-guru.
Dengan begitu pendidikan hanya akan terjadi secara kuantitatif sekalipun
bersifat optimal, sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh.
2. Dasar Epistemologis Pendidikan karakter
Dasar epistemologis diperlukan oleh pendidikan karakter atau
pakar pendidikan karakter demi mengembangkan ilmunya secara produktif
dan bertanggung jawab. Pendidikan karakter memerlukan pendekatan
fenomenologis yang akan menjalin studi empirik dengan studi kualitatif
fenomenologis. Karena penelitian tidak hanya tertuju pada pemahaman
dan pengertian, melainkan untuk mencapai kearifan fenomena pendidikan.
Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahwa
dalam menjelaskan objek formalnya, telaah pendidikan karakter tidak
hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah
teori, dan pendidikan karakter sebagai ilmu otonom yang mempunyai
objek formal sendiri atau problematikanya sendiri sekalipun tidak hanya
menggunakan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental. Dengan
demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara
korespodensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau
pragmatis.
3. Dasar Aksilogis Pendidikan Karakter
Kemanfaatan teori pendidikan karakter tidak hanya perlu sebagai
ilmu yang otonom, tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang
sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses menjadikan manusia
sebagai manusia yang utuh dan pembudayaan manusia secara beradab.
Oleh karena itu nilai pendidikan karakter tidak hanya bersifat intrinsik
sebagai ilmu, seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik. Dan
ilmu digunakan untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam
praktek melalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan
pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan demikian pendidikan
karakter tidak bebas nilai, mengingat hanya terdapat batas yang sangat
tipis antar pekerjaan pendidikan karakter dan tugas pendidik sebagai
pedagok. Dalam hal ini, sangat relevan sekali untuk memperhatikan
pendidikan karakter sebagai bidang yang sarat nilai. Itulah sebabnya
pendidikan karakter memerlukan teknologi pula, tetapi pendidikan
bukanlah bagian dari iptek. Namun harus diakui bahwa pendidikan
karakter belum jauh pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan
ilmu sosial dan ilmu perilaku.