Anda di halaman 1dari 153

1

ISLAM , MUSLIM, DAN PERILAKU POLITIK


(KONSEP NATION STATE DI DUNIA ISLAM KONTEMPORER)
Oleh :Ida Zahara Adibah
1


Abstrak
Setiap individu yang terdapat di muka bumi ini tidak terlepas dari sebuah
negara dimana ia berafiliasi kepadanya, sehingga ia berkewajiban untuk
menghormati dan bahkan membelanya dengan segala kemampuannya walaupun
harus mengorbankan seluruh jiwa dan raga.
Konsep negara bangsa (nation state) merupakan salah satu konsep politik
dari sebuah state ( negara) atau kelompok masyarakat yang secara bersama-sama
terikat dengan loyalitas dan solidaritas umum. Pengertian ini menjelaskan nation
state merupakan sebuah entitas teritorial dimana negara sama besarnya atau
coextensive dengan bangsa.
Nation state di dunia islam kontemporer ditegakkan dengan semangat
nasionalisme atau semangat yang disertai dengan kesadaran tinggi untuk
membangun sebuah negara bangsa. Perdebatan tentang nation state terdengar
asing ketika dibenturkan dengan etik Al-Quran dan latar historis Islam (Rahman
menyebutnya Islam Sejarah).
Fakta historis menunjukkan bahwa sepanjang hidup Nabi Muhamad SAW
seperti yang disimpulkan Rahman, Rasulullah adalah Nabi Penguasa hampir
seluruh semenanjung Arabia, namun Beliau tidak pernah menyebut dirinya
sebagai penguasa. Pada masa itu istilah negara Islam (daulat al-Islam) belum
dikenal. piagam Madinah merupakan cikal bakal terbentuknya Negara Bangsa
(nation state) dan menempatkan Nabi Muhammad SAW tidak sekedar sebagai
pemimpin agama, tetapi juga sebagai pemimpin negara. Oleh karena itu
nasionalisme dalam perspektif khasanah Islam klasik sebenarnya dapat dilihat
pada pembentukan Piagam Madinah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW
bersama penduduk Madinah.


Keyword : Nation State, Islam Kontemporer, Piagam Madinah



I. PENDAHULUAN
Sistem yang dibangun oleh Rasulullah SAW dan kaum mukminin yang
hidup bersama beliau di Madinah jika dilihat dari segi praksis dan diukur
dengan variabel-variabel politik di era modern tidak disangsikan lagi dapat

1
Ida Zahara Adiba, M.S.I adalah Dosen Universitas Darul Ulum Islamic Centre Sudirman
(Undaris) Semarang
2

dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem politik Par Excellenc. Dalam waktu
yang sama, juga tidak menghalangi untuk dikatakan bahwa sistem itu adalah
sistem religius, jika dilihat dari tujuan-tujuannya, motif-motifnya dan
fundamental maknawi tempat sistem itu berpijak. Kejanggalan antara
nasionalisme dan Islam dalam sejarah masa lampau hampir tidak pernah
terdengar, baik di era diutusnya Rasul SAW maupun setelahnya. Umat Islam
dalam sejarahnya yang gemilang selalu berada dalam kehidupan yang nyaman dan
tenang, walaupun mereka hidup bersama komunitas yang tidak seagama seperti
Yahudi dan Nasrani. Keselarasan tersebut lahir dari adanya kegamblangan sikap
dan muamalah (perlakuan) agama Islam terhadap non muslim. Karena mereka
tahu bagaimana ajaran Islam akan memperlakukannya dan mereka tahu bahwa
setiap muslim kala itu selalu berpegang teguh pada agamanya, dan berusaha
untuk mempersembahkan Islam kepada dunia dalam bentuk yang sangat indah,
sehingga Islam dapat diterima dan bahkan dijadikan sebagai pedoman hidup.
Akan tetapi dewasa ini, perihal tersebut telah menjadi sebuah problem yang cukup
rumit dan bahkan telah berubah menjadi bahan perdebatan yang cukup panas.
Perdebatan tentang nation state terdengar asing ketika dibenturkan dengan etik
Al-Quran dan latar historis Islam (Rahman menyebutnya Islam Sejarah). Fakta
historis menunjukkan bahwa sepanjang hidup Nabi Muhamad SAW seperti yang
disimpulkan Rahman, Rasulullah adalah Nabi-Penguasa hampir seluruh
semenanjung Arabia, namun Beliau tidak pernah menyebut dirinya sebagai
penguasa. Pada masa itu istilah negara Islam (daulat al-Islam) belum dikenal.
Agama dan negara pada masa Nabi bukanlah saudara kembar atau satu
sama lain saling bekerjasama. Menurut Rahman, negara adalah pantulan dari
nilai-nilai moral dan spiritual serta prinsip-prinsip yang disebut Islam. Negara
bukan perpanjangan dari agama tetapi sebagai instrumen Islam. Hal senada di
ungkapkan oleh Karen Amrstrong :"Ketika mulai berdakwah di Makkah,
Muhammad hanya memiliki konsep yang sangat sederhana tentang perannya. Dia
tidak pernah bermimpi akan membangun teokrasi dan mungkin sama sekali tidak
mengetahui apa teokrasi itu: dia sendiri tak mesti memiliki fungsi politik di
dalam pemerintahan kecuali seorang nadzir, pemberi peringatan.
2
Bahwa Nabi
Muhammad tidak pernah berfikir bahwa Dia akan membangun sebuah teokrasi".
Namun ada temuan lain yang ditulis oleh Harun Nasution,selama kurang lebih 13
tahun di Mekah, Nabi Muhammad dan umat Islam belum mempunyai kekuatan
dan kesatuan politik yang menguasai suatu wilayah.
3
Umat Islam menjadi satu
komunitas yang bebas dan merdeka setelah pada tahun 622 M hijrah ke Madinah.
Jika di Mekkah mereka sebelumnya merupakan umat lemah yang tertindas,
maka di Madinah mereka mempunyai kedudukan yang baik, kuat dan dapat

2
KarenArmstrong, , 2006, Sejarah Tuhan, Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh
orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam selama 4.000 Tahun, Bandung, Mizan, cet.X.hal 197
3
HarunNasution, , 1985, Islam ditinjau dari beberapa Aspek, Jakarta, UI, hal 92
3

berdiri sendiri
4
. Selama di Makkah Nabi berfungsi sebagai kepala agama dan
tidak mempunyai fungsi kepala pemerintahan, sedangkan di Madinah, selain
sebagai kepala agama juga sebagai kepala pemerintahan. Beliaulah yang
mendirikan kekuasaan politik yang dipatuhi dikota ini. Penulis sepakat dengan
pernyataan ini, karena piagam Madinah lahir dari inisiatif Nabi. Sarjana barat
yang berfikir demikian adalah R.Strothman. Beliau mengatakan bahwa Islam
sendiri disamping sistem agama juga sistem politik. Dan Nabi Muhammad
disamping Rasul telah pula menjadi seorang ahli agama.
Fakta sejarah sangat berbeda dengan Islam yang diterjemahkan kaum
muslim lebih kurang 14 abad. Kekuasaan Islam diteruskan oleh para khalifah.
Setelah runtuhnya kekhalifahan Turki Ustmani pada tahun 1924, kaum muslim
masih mengidolakan kejayaan kekhalifahan di muka bumi. Di Indonesia, slogan
Hizbut Tahrir adalah tegakkan khilafah.Abu Ala Al Maududi dalam Tarjuman
Al-Quran menyuarakan bahwa Negara Islam adalah yang sangat ideal dan Ali
bin Muhamad Habib al-Bisri al-Mawardi masih memikirkan bahwa imamah
adalah untuk harasat ad din dan harasat ad-dunya. Referensi dasar keduanya juga
kekhalifahan. Bahkan Rasyid Ridho dan muridnya yaitu Hassan al-Bana
menyebutkan keharusan mendirikan khilafah. Alasannya karena khawatir terjadi
sekularisme seperti yang dialami agama Kristen . Dari paparan di atas, menjadi
menarik membincangkan nation state dalam perspektik Al-Quran. Bagaimana
sejarah masuknya nasionalisme di dunia Islam ? Bagaimana konsep Negara dalam
Al-Quran ? Bagaimana Konsep Negara dalam Piagam Madinah ? Bagaimana
reaksi kaum muslim terhadap nation state ?.

II. SEJARAH MASUKNYA NASIONALISME DI DUNIA ISLAM
Nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia
5
, kata bangsa memiliki arti: (1) kesatuan orang yang
bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya serta berpemerintahan
sendiri; (2) golongan manusia, binatang, atau tumbuh-tumbuhan yang
mempunyai asal-usul yang sama dan sifat khas yang sama atau bersamaan; dan
(3) kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan
kebudayaan dalam arti umum, dan yang biasanya menempati wilayah tertentu di
muka bumi. Beberapa makna kata bangsa di atas menunjukkan arti bahwa bangsa
adalah kesatuan yang timbul dari kesamaan keturunan, budaya, pemerintahan,
dan tempat. Pengertian ini berkaitan dengan arti kata suku yang dalam kamus
yang sama diartikan sebagai golongan orang-orang (keluarga) yang seturunan;
golongan bangsa sebagai bagian dari bangsa yang besar
6
. Beberapa suku atau ras
dapat menjadi pembentuk sebuah bangsa dengan syarat ada kehendak untuk
bersatu yang diwujudkan dalam embentukan pemerintahan yang ditaati bersama.

4
MunawirSjadzali,1993, Islam dan Tata Negara,:Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta:UI,
hal 10
5
Ali Lukman Dkk. 1994.Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, hal 89
6
Ibid hal 970
4

Kata bangsa mempunyai dua pengertian: pengertian antropologis-
sosiologis dan pengertian politis. Menurut pengertian antropologis-sosiologis,
bangsa adalah suatu masyarakat yang merupakan persekutuan-hidup yang berdiri
sendiri dan masing-masing anggota masyarakat tersebut merasa satu kesatuan
suku, bahasa, agama, sejarah, dan adat istiadat. Pengertian ini memungkinkan
adanya beberapa bangsa dalam sebuah negara dan sebaliknya satu bangsa tersebar
pada lebih dari satu negara. Kasus pertama terjadi pada negara yang memiliki
beragam suku bangsa, seperti Amerika Serikat yang menaungi beragam bangsa
yang berbeda. Kasus kedua adalah sebagaimana yang terjadi pada bangsa Korea
yang terpecah menjadi dua negara, Korea Utara dan Korea Selatan. Sementara
dalam pengertian politis, bangsa adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama
dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan
tertinggi ke luar dan ke dalam. Bangsa (nation) dalam pengertian politis inilah
yang kemudian menjadi pokok pembahasan nasionalisme
7
.
Secara historis, kaum muslimin sesungguhnya tak pernah mengenal
paham nasionalisme dalam sejarahnya yang panjang selama 10 abad (1000 tahun),
hingga adanya upaya imperialis untuk memecah-belah negara Khilafah pada abad
ke-17 M. Mereka melancarkan serangan pemikiran melalui para misionaris dan
merekayasa partai-partai politik rahasia untuk menyebarluaskan paham
nasionalisme dan patriotisme. Banyak kelompok misionaris -sebagian besarnya
dari Inggris, Perancis, dan Amerika-- didirikan sepanjang abad ke-17, 18, dan 19
M untuk menjalankan misi tersebut. Namun hinga saat itu upaya mereka belum
berhasil. Barulah pada tahun 1857, penjajah mulai memetik kesuksesan tatkala
berdiri Masyarakat Ilmiah Syiria (Syrian Scientific Society) yang menyerukan
nasionalisme Arab. Sebuah sekolah misionaris terkemuka --dengan nama Al-
Madrasah Al-Wataniyah-- lalu didirikan di Syiria oleh Butros Al-Bustani, seorang
Kristen Arab (Maronit). Nama sekolah ini menyimbolkan esensi missi Al-Bustani,
yakni paham patriotisme (cinta tanah air, hubb al-wathan). Langkah serupa terjadi
di Mesir, ketika Rifa'ah Badawi Rafi' At Tahtawi (w. 1873 M)
mempropagandakan patriotisme dan sekularisme. Setelah itu, berdirilah beberapa
partai politik yang berbasis paham nasionalisme, misalnya partai Turki Muda
(Turkiya Al Fata) di Istanbul. Partai ini didirikan untuk mengarahkan gerak para
nasionalis Turki. Kaum misionaris kemudian memiliki kekuatan riil di belakang
partai-partai politik ini dan menjadikannya sebagai sarana untuk menghancurkan
Khilafah.
Sepanjang masa kemerosotan Khilafah Utsmaniyah, kaum penjajah
berhimpun bersama, pertama kali dengan perjanjian Sykes-Picot tahun 1916
ketika Inggris dan Perancis merencanakan untuk membagi-bagi wilayah negara
Khilafah. Kemudian pada 1923, dalam Perjanjian Versailles dan Lausanne,
rencana itu mulai diimplementasikan. Dari sinilah lahir negara-negara dengan
konsep nation-state yaitu Irak, Syria, Palestina, Lebanon, dan Transjordan.

7
BadriYatim, 2001. Soekarno, Islam, Dan Nasionalisme, Bandung: Nuansa hal.57-58

5

Semuanya ada di bawah mandat Inggris, kecuali Syria dan Lebanon yang ada di
bawah Perancis. Hal ini kemudian diikuti dengan upaya Inggris untuk merekayasa
lahirnya Pakistan. Jadi, semua negara-bangsa (nation state) ini tiada lain adalah
buatan kekuatan-kekuatan Barat yang ada di bawah mandat mereka.

III. NATION STATE DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN
Konsep negara-bangsa (selanjutnya menggunakan istilah nation-state)
merupakan salah satu konsep politik yang cukup sentral dan penting dalam
pendiskusian wacana politik modern. Dalam kajian ilmu politik, ia menarik untuk
ditelaah dengan serius. Sebuah nation (bangsa) merupakan sinonim dari sebuah
state (negara) atau sebuah kelompok masyarakat yang secara bersama-sama
terikat dengan loyalitas dan solidaritas umum. Pengertian ini menjelaskan bahwa
nation-state merupakan sebuah entitas teritorial di mana negara sama besarnya
atau coextensive dengan bangsa. Nation-state ditegakkan dengan semangat
nasionalisme atau semangat yang disertai dengan kesadaran tinggi untuk
membangun sebuah negara-bangsa.Nasionalisme menjadi faktor penentu untuk
mempertahankan loyalitas dan memperjelas identitas politik.Semula nasionalisme
merupakan sebuah doktrin politik yang digagas di Eropa yang mana umat
manusia terbagi ke dalam berbagai bangsa dan masing-masing bangsa ditentukan
berdasar sejarahnya, bahasanya dan lain sebagainya, untuk membangun negara-
bangsa (nation-state) yang berdaulat.
Bagaimana nation-state dalam perspektif Al-Quran, maka kita perlu
melihat beberapa ayat yang selama ini populer berkaitan dengan
pemerintahan.Dalam Al-Quransetidaknya ada 3 ayat terkait negara, yaitu :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An-Nisa:59).

Pada ayat pertama ini, tidak ditemukan kata-kata tentang daulah atau negara
Islam.Ayat pertama hanya berbicara tentang ketaatan kita pada ulil amri yang
ditafsirkan oleh banyak orang sebagai ketaatan terhadap pemerintah.Ulil amri bisa
juga dimaknai orang yang memegang amanah/urusan kemasyarakatan.Memang
yang umum dimaknai pemerintah.Zaman orde baru ayat ini sering dikutip oleh
para jurkam partai politik.
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah
lembut terhadap mereka, sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati
kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada
6

Allah.Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya.(AliImron:159).

Ayat kedua, memberi kebebasan untuk melakukan musyawarah dalam urusan-
urusan politik, ekonomi dan hal-hal duniawiyah lainnya.Pada ayat kedua juga
tidak kita temukan bahasan tentang negara.Namun tafsir musyawarah memang
lebih dekat dengan sistem demokrasi saat ini. Beberapa pemikir muslim
menyatakan Islam tidak bertentangan dengan demokrasi, yang didasarkan pada
ayat ini. Maka apa yang dilakukan Kemal Attaturk diamini oleh Ali abd Raziq
karena Islam tidak menggariskan sebuah bentuk Negara. Nabi Muhamad juga
tidak pernah berbicara soal bentuk Negara.
Disisi lain, menurut penulis, penamaan Madinah dengan Madinatun Nabi
memang ada kemiripan dengan ide Plato tentang Negara Kota. Namun konteks
Madinatun Nabi memang terkait erat dengan bentuk masyarakat yang
berkeadaban.Yang kemudian diterjemahkan oleh Nurcholis Majid sebagai
masyarakat madani atau civil society atau tamadun Islam.Namun pandangan
Ismail Razi al-Faruqi menyatakan Islamic State. "The Islamic state the Prophet
Muhammad has founded at the hijrah was not only a state but a world order. The
political systems which the world had known until then were know to him. The
Empire model was embodied in Byzantium and Persia and the tribal model
throughout Arabia. Beyond them, sea farers and travelers must have brought
accounts of the other states living in isolation from the rest of the world. The
Prophets Muhammad saw bought a new definition of man and citizens that neither
the empire nor tribal model presented",.
Menurut Karpansky, Islam lebih dekat ke sistem theokrasi daripada
demokrasi meskipun Nabi Muhamad tidak melakukan sistem theokrasi.
Karpansky melihat bahwa khalifah adalah perpaduan antara raja dan ahli agama.
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara
mereka;
dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan
kepada mereka.(As-Syuro:38)

Pada ayat ketiga, jelaslah bahwa urusan duniawiyah diserahkan pada umat
manusia. Tentu dengan asas utama musyawarah. Seperti yang dilakukan Nabi
Muhamad dalam menengahi pertentangan suku-suku arab ketika meletakkan
Kabah.
Kalau dicermati tulisan Dr. Yusuf Qardhawy tentang negara Islam, maka
menjadi sangat aneh ketika menuliskan negara Islam bukan negara pengumpul
harta namun negara petunjuk
8
.Memang ada ayat tentang imamah dalam surat Al-
Baqarah : 124, namun dalam konteks yang berbeda dengan Negara.

8
YusufQardhawy,1997,Fiqih Negara, Jakarta, Robbani Press, hal.43

7

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa
kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah
berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi
seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari
keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang
yang zalim". (Al-Baqarah : 124).

Al-Baqarah ayat 124 diatas menegaskan bahwa Nabi Ibrahim adalah bapaknya
agama Monoteis seperti tercatat dalam bukunya Karen Armstrong. Jadi kata Imam
bukan dalam konteks Ibrahim sebagai pemimpin negara. Maksud ayat ini menjadi
jelas ketika kita baca ayat selanjutnya.
Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang
yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh kami Telah
memilihnya di dunia dan Sesungguhnya dia di akhirat benar-benar
termasuk orang-orang yang saleh.(Al-Baqarah:130).

Dari bahasan diatas, penulis berkesimpulan bahwa konsep negara sangat
multiinterpretasi.Meskipun banyak orientalis dan pemikir Islam seperti Maududi
yang berpendapat bahwa Islam adalah agama dan negara namun pernyataan
tersebut disarikan dari (meminjam istilah Rahman) Islam Sejarah. Al-Quran
memberikan tuntutan global tentang negara berupa prinsip- prinsip tentang
musyawarah dan tafsirnya diserahkan pada kaum muslim untuk mewujudkanya
dalam dunia kontemporer.
Penerimaan konsep nation-state oleh Dunia Islam setidaknya dikarenakan
tiga hal; pertama, teori politik Islam klasik dan pertengahan tidak memberikan
konsep yang jelas dan detail tentang penyelenggaraan negara secara modern yang
lebih mengedepankan pluralisrne politik sehingga memberikan reinterpretasi
yang varian bagi para pihak baik yang menerima atau yang menolak konsep
nation-state. Konsep nation-state merupakan sebuah pilihan yang tak
terhindarkan dan sebagai kenyataan yang harus dihadapi dalam politik
modern.Kedua, praktek dunia Islam pascakolonialisme yang kemudian
memproklamirkan diri sebagai negara yang berdaulat dengan mengakui
pluralisme politik dalam wilayah teritorial tertentu, menjadi sebuah konsensus
dan kesadaran bersama dalam penerimaannya terhadap konsep nation-
state.Ketiga, banyaknya para 'ulama' dan pemimpin-pemimpin Islam yang
mendukung penerapan nation-state secara menyeluruh atau sebagian sebagai
sesuatu yang alami dalam institusi politik yang bersifat duniawi
9
.


IV. KONSEP NEGARA DALAM PIAGAM MADINAH
Menurut Montgomery Watt(1988) dan Bernard Lewis (1994) dalam
bukunya piagam Madinah merupakan cikal bakal terbentuknya Negara Bangsa

9
P. James Piscatori, 1994, Islam in a World of Nation States, New York: Cambridge,hal.40
8

(nation state) dan menempatkan Nabi Muhammad SAW tidak sekedar sebagai
pemimpin agama, tetapi juga sebagai pemimpin negara. Oleh karena itu
nasionalisme dalam perspektif khasanah Islam klasik sebenarnya dapat dilihat
pada pembentukan Piagam Madinah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW
bersama penduduk Madinah. Pada waktu itu, Madinah tidak hanya dihuni oleh
umat Islam saja, akan tetapi juga dihuni oleh golongan selain Islam, seperti
Yahudi, Nasrani dan bahkan mereka yang masih menyembah berhala
(musyrikin), serta mereka yang mempunyai kepercayaan lainya. Dari
kemajemukan komunitas yang ada di Madinah waktu itu, disatukan oleh Nabi
dengan piagam Madinah. Tidak dengan sentimen agama atau kepercayaan, akan
tetapi mereka disatukan dengan sentimen kepemilikan bersama, yakni bagaimana
mempertahankan Madinah dari segenap ancaman yang datang dari luar apapun
ancamannya.
Terdapat banyak pendapat dan ulasan para pakar terhadap isi piagam
Madinah, pertama, A. Guillaume, seorang guru besar bahasa arab dan penulis
The Life of Muhammad, menyatakan bahwa piagam yang telah dibuat
Muhammad itu adalah suatu dokumen yang menekankan hidup berdampingan
antara orang-orang Muhajirin di satu pihak dan orang-orang Yahudi di pihak lain.
Kedua, H.R. Gibb dalam komentarnya menyatakan bahwa isi Piagam Madinah
pada prinsipnya telah meletakkan dasar-dasar sosial politik bagi masyarakat
Madinah yang juga berfungsi sebagai undang-undang, dan merupakan hasil
pemikiran serta inisiatif Muhammad sendiri. Ketiga, Montgomery Watt lebih
tegas lagi menyatakan bahwa piagam Madinah tidak lain adalah suatu konstitusi
yang menggambarkan bahwa warga Madinah saat itu bisa dianggap telah
membentuk satu kesatuan politik dan satu persekutuan yang diikat oleh
perjanjian yang luhur di antara para warganya. Keempat, lebih terperinci lagi
disimpulkan oleh Hasan Ibrahim Hasan, bahwa Piagam Madinah secara resmi
menandakan berdirinya suatu negara, yang isinya bisa disimpulkan menjadi 4
pokok: (1) mempersatukan segenap kaum muslimin dari berbagai suku menjadi
satu ikatan; (2) menghidupkan semangat gotong royong, hidup berdampingan,
saling menjamin diantara warga negara; (3) memetapkan bahwa setiap warga
masyarakat mempunyai kewajiban memanggul senjata, mempertahankan
keamanan dan melindungi Madinah dari serbuan luar; (4) menjamin persamaan
dan kebebasan bagi kaum Yahudi dan pemeluk-pemeluk agama lain dalam
mengurus kepentingan mereka
10
.
Menurut penulis, dari sekian banyak pendapat itu pada dasarnya
mempunyai substansi yang sama, yaitu bahwa keberadaan piagam tersebut telah
mempersatukan warga Madinah yang heterogen itu menjadi satu kesatuan
masyarakat dalam pemenuhan hak dan penunaian kewajiban, saling menghormati
terhadap suku dan agama. Piagam tersebut dianggap merupakan suatu
pandangan jauh ke depan dan suatu kebijaksanaan politik yang luar biasa dari

10
MuhammadLatif Fauzi, , Konsep Negara dalam Perspektif Piagam madinah dan Piagam
Jakarta ( Jurnal Al-Mawarid) , Edisi XIII, 200, hal.90
9

Nabi Muhammad dalam mengantisipasi masyarakat yang beraneka ragam latar
belakangnya, dengan membentuk komunitas baru yang disebut Ummah. Mengacu
pada konsep ummah inilah, penulis mengeksplorasi lebih jauh tentang konsep
negara dalam Piagam Madinah.
Dalam al-Quran, istilah ummah disebut 64 kali dalam 24 surat. Dalam
frekwensi sebanyak itu, ummah mengandung sejumlah arti, umpamanya bangsa
(nation), agama (religion) atau kelompok keagamaan (religious community),
waktu (time) atau jangka waktu (term), juga pemimpin sinonim dengan imam.
Sementara itu, didalam al-Quran sendiri terdapat istilah-istilah lain yang
menunjuk pada konsep-konsep yang hampir serupa. Istilah Inggris nation atau
bangsa umpamanya (disebut dengan ummah ; klan disebut dengan Asyirah dan
Syab , rakyat dirujukkan dengan kata ahl, unas, al-abd, nas, qawm, dan
syuub)
11
.
Ali Syariati (1990:36) mengartikan kata ummat dengan jalan yang lurus,
yakni sekelompok manusia yang bermaksud menuju jalan yang tidak lepas
dari kata akarnya, amma. Kata ini ia artikan menuju dan berniat yang
mengandung tiga arti, yaitu gerakan, tujuan dan ketetapan kesadaran
12
. Oleh
karena itu, amma pada dasarnya bermakna kemajuan maka ia tersusun dari empat
arti, yaitu ikhtiar, gerakan, kemajuan dan tujuan. Dalam Piagam Madinah
ketetapan (pasal 1) ini merupakan pernyataan yang mempersatukan orang-orang
mukmin dan muslim yang berasal dari dua golongan besar, Muhajirin dan
Anshar, dari berbagai suku dan golongan sebagai umat yang satu. Dasar yang
mengikat adalah akidah Islam, yang membedakan mereka dari umat lain.
Konsep ummat menurut Syariati dan pasal satu ini bersifat ekslusif , hanya
bagi umat Islam. Artinya, segolongan manusia yang tidak beraqidah sama, tidak
dapat disebut sebagai umat yang satu. Dengan demikian, konsep ummah dalam
pengertian khusus berlaku disini.
Dilihat dari konsep ummah khusus ini, jelas bahwa kedudukan Piagam
Madinah adalah untuk menyatukan suku-suku dalam umat Islamuntuk
menegakkan Hukum Allah. Ini berarti bahwa bentuk negara yang dibentuk masa
nabi melalui konstitusi Madinah adalah negara teokrasi, yakni teokrasi Islam
13
.
Ummah yang dikehendaki oleh Piagam Madinah adalah umat Islam saja sebab di
pasal lain kaum yahudi dan sekutunya di sebut sebagai anggota umat. Hal ini
dibuktikan dalam pasal 25-35. Pasal 25 misalnya menerjemahkan:
Kaum yahudi Bani Auf bersama dengan warga yang beriman
adalah satu umah. Kedua belah pihak, kaum yahudi dan kaum

11
DawamRahardjo, 2002, Ensiklopedi Al-Quran (Tafsir sosial Berdasarkan konsep- konsep
kunci), Jakarta, Paramadina, hal.483.
12
AliSyariati, 1990, Ummah wa al-Ummah, terj. M. Faishol Hasanudin, Jakarta, Penerbit
yapi, hal.36
13
Sukarja, Ahmad, 1995, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian
tentang Perbandingan tentang dasar hidup Bersama dalam masyarakat yang majemuk, Jakarta,
Penerbit universitas Indonesia, hal 91

10

Muslimin, bebas memeluk agama masing-masing. Demikian pula
halnya dengan sekutu dan diri mereka sendiri. Bila diantara mereka
ada yang melakukan aniaya dan dosa dalam hal ini, maka
akibatnya akan ditanggung oleh diri dan warganya.

Dari ketetapan pada pasal 25 itu dapat dikatakan bahwa organisasi umat
yang dibentuk Nabi bersifat terbuka. Beliau menghimpun semua golongan
penduduk Madinah. Perbedaan keyakinan mereka tidak menjadi alasan untuk
tidak bersatu dalam kehidupan bermasyarakat bernegara. Dalam hal ini berlaku
konsep ummah yang bersifat umum. Dari perkataan ummah inilah tercermin
paham kebangsaan dan negara yang dalam konteks teori negara lebih cenderung
pada bentuk negara demokrasi. Walaupun secara historis istilah state dan nation
timbul berabad-abad kemudian, tapi jiwa dan semangatnya telah tercermin dalam
terminologi Ummah, suatu istilah yang sangat tepat digunakan Rasulullah untuk
mempersatukan masyarakat Madinah menjadi suatu komunitas dengan
menekankan kerjasama seerat mungkin dari masing-masing warganya demi
keamanan dan kesejahteraan mereka bersama. Mereka sangat menyadari perlunya
hidup bersama didalam koeksistensi yang damai.

V. REAKSI KAUM MUSLIM TERHADAP NATION STATE
Menurut Taha Jabir, ada tiga bentuk reaksi dalam menghadapi meresapnya
pemikiran dunia barat kedalam negara-negara Islam,yaitu :1)Kaum Traditional;
2)Kaum Modernis; 3)Kaum Konservatif. Kaum modernis pada awalnya
mempertahankan konsep dan ide tentang negara Islam.Muhammad Abduh (1894-
1905) dan Muhammad Rashid Rida (1865-1935) misalnya.Menurut mereka Islam
tidak bisa dipisahkan dari negara.Murid Rasyid Rida yang paling lantang adalah
Hassan al-Bana yang berbicara tentang perlunya Khilafah Islamiah.
Menurut Mulkhan, memang ada pemahaman yang berbeda antara kaum
tradisionalis dan modernis serta golongan santri tentang negara Islam
14
.Perbedaan
tersebut terletak pada pemahaman bentuk negara Islam dan strategi dakwah.
Dengan kata lain apakah Islam diwujudkan dalam bentuk politik atau budaya
?Kalau politik maka perlu didirikan negara Islam.Kalau stategi budaya maka
negara menjadi instrumen perwujudan nilai-nilai Islam.Namun dekade terakhir,
perdebatan tentang konsep dan ide tentang negara Islam sudah mulai tabu
dibicarakan, menurut Mulkhan. Negara-bangsa (nation-state) merupakan
kenyataan sejarah yang tidak bisa dihindari oleh bangsa manapun, termasuk
bangsa Indonesia. Selain karena tuntutan global, negara-bangsa merupakan
konsep negara modern yang menjanjikan penyelesaian bagi setiap bangsa dalam
menghadapi kenyataan pluralisme.
Menguraikan hubungan antara agama dan negara dalam perspektif Islam
bukanlah pekerjaan mudah. Jalinan hubungannya ternyata begitu rumit dan

14
Abduk MunirMulkhan, 1994, Runtuhnya Mitos Politik santri; stategi Kebudayaan dalam
dakwah Islam, Yogyakarta, Sipress, Cet.1, hal.33
11

kompleks.Pokok soal ini telah cukup lama memancing debat dan sengketa
intelektual, baik dalam pemikiran keislaman klasik maupun dalam kajian politik
Islam kontemporer
15.
Sejauh yang dapat ditangkap dari perjalanan diskursus
intelektual dan historis pemikiran dan praktik politik Islam, ada banyak pendapat
yang berbeda, beberapa bahkan saling bertentangan, mengenai hubungan yang pas
antara agama dan negara.
Pengalaman umat Islam di pelbagai belahan dunia, terutama semenjak
berakhirnya perang dunia kedua menunjukkan adanya hubungan yang canggung
antara Islam dan negara
16
. Kecangungan ini kemudian berimplikasi pada lahirnya
berbagai jenis eksperimentasi untuk menjuktaposisikan antara konsep dan kultur
politik masyarakat Muslim; dan secara ipso facto eksperimen-eksperimen itu
dalambanyak hal sangat beragam. Tingkat penetrasi Islam ke dalam negara juga
berbeda-beda.
Oleh karena itu, tidak bisa lain kecuali harus dilakukan pengkajian dan
penelitian ilmiah yang serius tentang bagaimana sesungguhnya Islam
mengkonsepsi negara; bagaimana hubungan antara Islam dan negara; apakah
Islam sebagai agama tidak membutuhkan negara, oleh karena keduanya memang
merupakan dua entitas yang berbeda; Selanjutnya, adakah sesungguhnya negara
Islam (dawlah islmiyah) itu. Negara manakah yang dapat disebut sebagai negara
yang betul-betul prototype Islam;Arab Saudi, Iran ataukah Pakistan sebagai
representasi negara Islam
17
, Atau mungkin dalam pertanyaan yang berbeda,
bisakah negara yang hanya mengimplementasikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip
dasar ajaran Islam dikatakan sebagai negara Islam.
Dari sejumlah pertanyaan di atas, upaya intelektual untuk penyelidikan
doktrinal dan empirik terus dilakukan. Secara sederhana, paling tidak
penyelidikan tentang negara mengandung dua maksud. Pertama, penelitian itu
mencoba untuk menelusuri dan menentukan sejauhmana Islam menggariskan
konsep secara clear-cut tentang negara, politik, dan sistem pemerintahan.
Penghampiran yang menekankan dimensi formalisme dan skripuralisme ini
bertunjang pada sebuah premis bahwa Islam memiliki konsep tentang
negara.Kedua, penelusuran dilakukan untuk mengidentifikasi sebuah idealitas
dari perspektif Islam terhadap proses penyelenggaraan negara. Tujuan yang
kedua ini agaknya lebih beraksentuasi pada ranah praksis-substansial, yakni
mencoba menjawab pertanyaan bagaimana isi negara menurut Islam.
Pendekatan ini didasarkan pada asumsi bahwa Islam tidak memiliki konsep
kenegaraan, tetapi hanya menawarkan prinsip-prinsip dasar berupa etik-moral
tentang kenegaraan. Bentuk negara yang ada pada suatu masyarakat Muslim
dapat diterima sejauh tidak menyimpang dari prinsip-prinsip pokok ajaran Islam.

15
OpcitSadzali, hal 34
16
AzyumardiAzra,1996,Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme,
Hingga Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina, hal.1
17
MusdahMulia,2001,Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal, Jakarta: Paramadina,
hal.3

12

Persoalannya adalah data historis tentang relasi Islam dan negara sering
menampilkan fenomena kegamangan, kesenjangan sekaligus pertentangan secara
frontal-diametral. Membaca sejumlah referensi kesejarahan, fenomena itu dapat
disederhanakan bersumber pada dua sebab, yaitu; Pertama, adanya perbedaan
konseptual antara Islam dan negara yang menimbulkan problem untuk
mensinergikan secara praksis di lapangan. Dari sudut teks ajaran, Islam adalah
agama multi interpretasi yang dengan mudah membuka peluang bagi terjadinya
pluralitas tafsir. Konsekuensinya sudah bisa diduga, tidak akan pernah ada
pandangan tunggal mengenai bagaimana seharusnya Islam dan negara dikaitkan
secara pas; Kedua adanya anomali praktik politik dari etika dan moralitas agama.
Pemandangan yang ditayangkan dalam sejarah kemanusiaan ternyata justru
tidak berkelindan dengan acuan normatif Islam.

VI. PARADIGMA RELASI ISLAM-NEGARA
Para ahli merumuskan beberapa teori untuk menganalisa relasi antara
negara dan agama yang antara lain dirumuskan dalam 3 (tiga) paradigma, yaitu
paradigma integralistik, paradigma simbiotik, paradigma sekularistik.

1) Paradigma Integralistik (Unified Paradigm)
Secara umum teori integralistik dapat dinyatakan sebagai kesatuan yang
seimbang dan terdiri dari berbagai entitas. Entitas disini memiliki sifat yang
berbeda satu sama lain. Perbedaan itu tidak berarti saling menghilangkan
justru saling melengkapi, saling menguatkan dan bersatu.Dalam kaitannya
dengan relasi negara dan agama, menurut paradigma integralistik, antara
negara dan agama menyatu (integrated). Negara selain sebagai lembaga
politik juga merupakan lembaga keagamaan.
Menurut paradigma ini, kepala negara adalah pemegang kekuasaan
agama dan kekuasaan politik. Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar
kedaulatan ilahi (divine sovereignty), karena pendukung paradigma ini
meyakini bahwa kedaulatan berasal dan berada di tangan Tuhan.
Agama (Islam) dan negara tidak dapat dipisahkan (integrated). Islam
adalah din wa dawlah.Apa yang merupakan wilayah agama juga otomatis
merupakan wilayah politik atau negara.
Negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Antara
keduanya merupakan totalitas utuh dan tidak dapat dipisahkan. Menurut
pendekatan integralistik, Islam diturunkan sudah dalam kelengkapan yang
utuh dan bulat. Dengan ungkapan lain, Islam telah memiliki konsep-konsep
lengkap untuk tiap-tiap bidang kehidupan. Pandangan ini telah mendorong
pemeluknya untuk percaya bahwa Islam mencakup cara hidup yang
komprehensif. Bahkan, sebagian kalangan melangkah lebih jauh dari itu;
mereka menekankan bahwa Islam adalah sebuah totalitas yang padu yang
menawarkan pemecahan terhadap semua masalah kehidupan.
Pada spektrum ini, beberapa kalangan Muslim terutama kalangan
fundamentalisnya beranggapan bahwa Islam harus menjadi dasar negara;
13

bahwa syariah Islam harus diterima sebagai konstitusi negara; bahwa
kedaulatan politik ada di tangan Tuhan; bahwa gagasan tentang negara
bangsa (nation-state) bertentangan dengan konsep ummah (komunitas Islam)
yang tidak mengenal batas-batas politik dan teritorial
18
. Singkatnya, model
yang pertama ini merefleksikan adanya kecenderungan untuk menekankan
aspek-aspek legalformal idealisme Islam. Konsekuensi dari paradigma ini
adalah sistem politik modern diletakkan dalam posisi vis a vis dengan ajaran-
ajaran Islam.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa inti landasan teologis paradigma
pertama ini adalah keyakinan akan watak holistik Islam.Premis keagamaan
ini dipandang sebagai petunjuk bahwa Islam menyediakan ajaran yang
lengkap mengenai semua aspek kehidupan. Bahkan, sudut pandang khusus ini
menjadi basis utama pemahaman bahwa Islam tidak mengakui pemisahan
antara agama dan negara, antara yang transendental dan yang profan.
Model pandangan holistikal ini dianut oleh dua kelompok Islam, yaitu:
[1] Islam tradisional, yakni mereka yang tetap mempertahankan tradisi,
praktik dan pemikiran politik Islam klasik, semisal Rasyid Ridla (1865-1935),
dan [2] Islam fundamentalis, yakni mereka yang ingin melakukan reformasi
sistem sosial dengan kembali kepada ajaran Islam dan tradisi Nabi secara
total dan menolak sistem yang dibuat manusia, seperti Khurshid
Ahmad,Muhammad Asad,Muhammad Husayn Fadhlallah,Sayyid Quthb
(1906-1966),Abu al-Ala Mawdudi (1903-1979),dan Hasan Turabi.
Model pemikiran pertama ini mempunyai beberapa implikasi. Salah
satu di antaranya, pandangan ini telah mendorong lahirnya sebuah
kecenderungan untuk memahami Islam dalam pengertiannya yang literal
yang hanya menekankan dimensi eksteriornya. Kecenderungan literalistik ini
telah dikembangkan sedemikian rupa sehingga menyebabkan terabaikannya
dimensi kontekstual dan interior dari prinsip-prinsip Islam. Karena itu, apa
yang mungkin tersembunyi di belakang penampilan-penampilan
tekstualnya hampir terabaikan, jika bukan terlupakan maknanya. Paradigma
integralistik ini memunculkan paham negara agama atau Teokrasi. Dalam
paham teokrasi, hubungan Negara dan Agama digambarkan sebagai dua hal
yang tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan Agama, karena
pemerintahan dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan, segala tata
kehidupan dalam masyarakat, bangsa, dan negara dilakukan atas titah
Tuhan
19
. Menurut Roeslan Abdoelgani, sebagaimana dikutip oleh Kaelan
(2009: 9), menegaskan bahwa negara Teokrasi, menurut ilmu kenegaraan dan
filsafat kenegaraan mengandung arti bahwa dalam suatu negara kedaulatan
adalam berasal dari Tuhan. Dalam perkembangannya, paham teokrasi terbagi
ke dalam dua bagian, yakni paham teokrasi langsung dan paham teokrasi
tidak langsung. Menurut paham teokrasi langsung, pemerintahan diyakini

18
QamaruddinKhan, 1995,Pemikiran Politik Ibnu Taymiyah, Bandung: Pustaka, hal.172
19
http://cakwawan.wordpress.com/2007/09/25/jalan-tengah-relasi-agama-dan-negara/
14

sebagai otoritas Tuhan secara langsung pula. Adanya Negara di dunia ini
adalah atas kehendak Tuhan, dan oleh karena itu yang memerintah adalah
Tuhan pula. Sementara menurut pemerintahan teokrasi tidak langsung yang
memerintah bukanlah Tuhan sendiri, melainkan yang memerintah adalah raja
atau kepala Negara atau raja yang diyakini memerintah atas kehendak Tuhan.

2) Paradigma Simbiotik (Symbiotic Paradigm)
Secara umum, teori simbiotik dapat didefinisikan sebagai hubungan
antara dua entitas yang saling menguntungkan bagi peserta hubungan. Dalam
konteks relasi negara dan agama, bahwa antara negara dan agama saling
memerlukan.Dalam hal ini, agama memerlukan negara karena dengan negara,
agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara juga memerlukan agama,
karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan
moral-spiritual, Karena sifatnya yang simbiotik, maka hukum agama masih
mempunyai peluang untuk mewarnai hukum-hukum negara, bahkan dalam
masalah tertentu tidak menutup kemungkinan hukum agama dijadikan
sebagai hukum negara
20

Marzuki Wahib dan Rumadi membagi Paradigma Simbiotik ini menjadi
tiga jenis, yaitu: Agama dan negara mempunyai keterkaitan namun aspek
keagamaan yang masuk ke wilayah negara sedikit, sehingga negara demikian
lebih dekat ke negara sekular; Aspek agama yang masuk ke wilayah negara
lebih banyak lagi, sehingga sekitar 50% konstitusi negara diisi oleh ketentuan
agama; Aspek agama yang masuk ke wilayah negara sekitar 75%, sehingga
negara demikian sangat mendekati negara agama.
Dalam konteks paradigma simbiotik ini, Ibnu Taimiyah mengatakan
bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan
kewajiban Agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan Negara, maka
Agama tidak bisa berdiri tegak. Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut
melegitimasi bahwa antara Negara dan Agama merupakan dua entitas yang
berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku
dalam paradigma ini tidak saja berasal dari adanya social contract, tetapi bisa
saja diwarnai oleh hukum Agama
21
. Dalam kaitan ini, agama membutuhkan
negara. Sebab, melalui negara, agama dapat berbiak dengan baik. Hukum-
hukum agama juga dapat ditegakkan melalui kekuasaan negara. Begitu juga
sebaliknya, Negara memerlukan kehadiran agama, karena hanya dengan
agama suatu negara dapat berjalan dalam sinaran etik-moral.

20
Adi Sulistyono, 2008. Kebebasan Beragama dalam Bingkai Hukum. Makalah
Seminar Hukum Islam dengan Tema Kebebasan Berpendapat VS Keyakinan Beragama ditinjau
dari Sudut Pandang Sosial, Agama, dan Hukumyang diselenggarakan oleh FOSMI Fakultas
Hukum UNS, Surakarta, tanggal 8 Mei 2008, hal.2
21
Thohir , Agus, 2009. Relasi Agama dan Negara.Makalah Diskusi Kajian Spiritual
yang diselenggarakan oleh HMI Komisariat FPBS IKIP PGRI, Semarang, tanggal 4 November
2009, hal.4
15

Paradigma kedua ini memandang bahwa Islam tidak meletakkan suatu
pola baku tentang teori negara yang harus dijalankan oleh ummah.Meskipun
terdapat berbagai ungkapan dalam al-Qur`an yang seolah-olah merujuk pada
kekuasaan politik dan otoritas, ungkapan-ungkapan ini hanya bersifat
insidental dan tidak ada pengaruhnya bagi teori politik. Bagi mereka, jelas
bahwa al-Qur`an bukanlah buku tentang ilmu politik. Menurut aliran
pemikiran ini, istilah dawlah yang berarti negara tidak dijumpai dalam al-
Qur`an. Istilah dawlah memang ada, tapi bukan bermakna negara. Istilah ini
dipakai secara figuratif untuk melukiskan peredaran atau pergantian tangan
dari kekayaan. Hanya dalam perjalanan waktu, makna harfiyah ini telah
berkembang untuk menyatakan kekuasaan politik karena kekuasaan itu selalu
berpindah tangan.
Sungguhpun demikian, penting untuk dicatat bahwa pendapat kedua ini
mengakui bahwa al-Qur`an mengandung nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang
bersifat etis yang kemudian menjadi landasan bagi aktivitas sosial dan politik
umat manusia. Ajaran-ajaran ini mencakup prinsip-prinsip keadilan (al-
adlah), kesamaan (al-muswah), persaudaraan (al-ukhuwwah) dan
kebebasan (al-hurriyah). Untuk itu, bagi kalangan yang berpendapat
demikian, sepanjang negara berpegang pada prinsip-prinsip seperti itu, maka
mekanisme yang diterapkannya adalah sesuai dengan ajaran Islam (islmy).
Dengan alur argumentasi semacam ini, menurut pandangan kedua,
pembentukan sebuah negara Islam dalam pengertiannya yang formal dan
ideologis tidaklah begitu penting. Sebagai kebalikan aliran dan model
pemikiran yang pertama, maka yang kedua ini menekankan substansi
daripada bentuk negara yang legal-formal. Bagi pendapat ini, yang pokok
adalah negarakarena posisinya yang bisa menjadi instrumen dalam
merealisasikan ajaran-ajaran agama--dapat menjamin tumbuhnya nilai-nilai
dasar seperti itu.Para pendukung pemikiran ini, di antaranya adalah Mohamad
Husayn Haykal (1888-1956),Muhammad Abduh (1849-1905),Fazlurrahman
(1919-1988),dan Qamaruddin Khan.

3) Paradigma Sekularistik (Secularistic Paradigm)
Paradigma ini menolak kedua paradigma diatas.Sebagai gantinya,
paradigma sekularistik mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas negara
dan pemisahan negara atas Agama
22
. Negara dan Agama merupakan dua
bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya masing-
masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama
lain melakukan intervensi. Berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini,
maka hukum positif yang berlaku adalah hukum yang betul-betul berasal dari
kesepakatan manusia melalui social contract dan tidak ada kaitannya dengan

22
Marzuki Wahid & Rumaidi. 2001. Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam
Di Indonesia. Yogyakarta: LKiS, hal.28
16

hukum Agama
23
.Paradigma ini memunculkan negara sekuler.Dalam Negara
sekuler, tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan dengan agama.Dalam
paham ini, Negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain,
atau urusan dunia.Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan
Tuhan.Dua hal ini, menurut paham sekuler tidak dapat disatukan. Dalam
konteks Islam, paradigma sekularistik menolak pendasaran negara pada
Islam, atau menolak determinasi Islam pada bentuk tertentu dari negara.
Agama bukanlah dasar negara, tetapi agama lebih bersifat sebagai persoalan
individual semata. Dengan perkataan lain, aliran ini berpendirian bahwa Islam
adalah agama dalam pengertian Barat yang tidak bertali temali dengan urusan
kenegaraan. Para pemikir politik yang masuk dalam kategori paradigma
ketiga menurut adalah Ali Abdurraziq (1888-1966), Thaha Husein (1889-
1973),Ahmad Luthfi Sayyid (1872-1963),kemudian disusul belakangan oleh
Muhammad Sa.id al-Asymawi (Mesir, lahir 1932).
Dalam Negara sekuler, sistem dan norma hukum positif dipisahkan
dengan nilai dan norma Agama. Norma hukum ditentukan atas kesepakatan
manusia dan tidak berdasarkan Agama atau firman-firman Tuhan, meskipun
mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma Agama.
Sekalipun ini memisahkan antara Agama dan Negara, akan tetapi pada
lazimnya Negara sekuler membebaskan warga negaranya untuk memeluk
Agama apa saja yang mereka yakini dan Negara tidak intervensif dalam
urusan urusan Agama (Syariat)
24
.

Kesimpulan
Dari uraian diatas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan:
1. Dalam Al-Quran tidak ada penegasan untuk mendirikan Negara Islam. Al-
Quran berbicara tentang prinsip-prinsip umum bermasyarakat.
2. Reaksi kaum muslim menghadapi serbuan nation state terbagi menjadi3
kelompok yaitu :
a. Tradisionalis
b. Modernis
c. Konservatif
3. Piagam Madinah adalah sebuah konstitusi yang mendasari penyelenggaraan
sebuah negara-kota yang bernama Madinah. Komponen bentuk negara
terlihat pasal 2 (didasarkan pada pembagian pasal oleh A.Guillaume dalam
bukunya The Life of Muhammad) yang menjelaskan Madinah adalah negara
di suatu wilayah unik dan spesifik. Dalam pasal-pasal berikutnya maupun
berdasarkan pada dokumen-dokumen tertulis tentang praktek Piagam
Madinah, dapat dianalisis bahwa Madinah adalah negara berstruktur federal
dengan otoritas terpusat. Praktek bentuk federasi mini ini adalah membagi

23
OpcitThohir, hal.4
24
http://cakwawan.wordpress.com/2007/09/25/jalan-tengah-relasi-agama-dan-negara.

17

Madinah dalam 20 distrik yang masing dipimpin oleh seorang Naqib, Kepala
Distrik, dan Arif, sebagai wakilnya.
Komponen pengaturan sistem pemerintahan, pembagian kekuasaan,
dan wewenang badan-badan pemerintahan terlihat dengan pemberian
otonomi penuh (kecuali dalam masalah pertahanan dan ketahanan negara)
pada masing-masing suku dan golongan (terutama suku-suku Yahudi yang
cukup dominan di Madinah ketika itu) untuk menjalankan hukumnya sendiri.
Ini mirip dengan kebebasan untuk mengatur perda di negara kita dan bahkan
jauh lebih bebas seperti halnya undang-undang federal di negara-negara
federasi modern. Hanya masalah-masalah pelik yang tidak bisa diselesaikan
oleh pihak-pihak federal bisa langsung diputuskan oleh Muhammad. Ini
tergambar dalam suatu peristiwa yang dicatat ketika kaum Yahudi
kebingungan untuk memutuskan hukuman pada dua orang yang terbukti
berzina. Kemudian mereka pun mendatangi Muhammad untuk meminta
keputusan, tetapi Muhammad menyerahkan keputusan tersebut kembali
merujuk pada kitab suci Yahudi sendiri, dan akhirnya hukuman rajam
diberikan pada dua orang pasangan yang berzina itu dengan dilakukan oleh
kaumnya sendiri.




DAFTAR PUSTAKA


Abdillah, Masykuri, 1999, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons
Intelektual Muslim Indonesia terhadap Demokrasi (1966-1993),
Yogyakarta: Tiara Wacana

Al- Alwani, Taha Jabir, 1996, Krisis Pemikiran Moderen, IIIT.PJ.

Al-Jawi, M.Shiddiq, KH, Nation State dan Khilafah, Makalah pada 4 Desember
2006.

Ali Maschan Moesa, 2007, Nasionalisme Kiai Konstruksi Sosial Berbasis Agama,
Jogjakarta:LKIS

Al-Quran dan Terjemahannya,1971, Departemen Agama Republik Indonesia,
Jakarta.

Armstrong, Karen, 2006, Sejarah Tuhan, Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan
oleh orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam selama 4.000 Tahun,
Bandung, Mizan, cet.X.
18

Azra, Azyumardi, 1996, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme,
Modernisme, Hingga Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina

Dahlan, Juwairiyah, 1999, Piagam Madinah dan konsep Ummah, Jurnal
Paramedia (Jurnal Informasi Komunikasi dan Informasi Keagamaan ) Edisi
XV ,Surabaya,IAIN Sunan Ampel.

Diauddin Rais, 2001, Teori Politik Islam, Jakarta; Gema Insani Press.

Din Syamsuddin,1992, Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah
Pemikiran Politik Islam, dalam Jurnal Ulumul Qur`an, Nomor 2, Vol. IV

FazlurRahman, 1965, Internal Religious Development in Islam, Mentor Book,
cet 1

Fazlurrahman, 1982, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual
Tradition, Chicago: University of Chicago Press

Kaelan. 2009. Relasi Negara dan Agama Dalam Perspektif Filsafat Pancasila.
Makalah. Yogyakarta

Khan, Qamaruddin, 1995, Pemikiran Politik Ibnu Taymiyah, Bandung: Pustaka.

Latif Fauzi, Muhammad, Konsep Negara dalam Perspektif Piagam madinah dan
Piagam Jakarta ( Jurnal Al-Mawarid) , Edisi XIII, 2005

Lukman Ali, Dkk. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
M.Shiddiq, KH, Nation State dan Khilafah, 4 Desember 2004

Marzuki Wahid & Rumadi. 2001. Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Politik
Hukum Islam Di Indonesia. Yogyakarta: LKiS.

Mulia, Musdah, ,2001, Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal, Jakarta:
Paramadina

Mulkhan, Abduk Munir, 1994, Runtuhnya Mitos Politik santri; stategi
Kebudayaan dalam dakwah Islam, Yogyakarta, Sipress, Cet.1

Nasution, Harun, 1985, Islam ditinjau dari beberapa Aspek, Jakarta, UI

Piscatori, P. James ,1994, Islam in a World of Nation States, New York:
Cambridge

Qardhawy, Yusuf, 1997, Fiqih Negara, Jakarta, Robbani Press
19


Rahardjo, Dawam2002, Ensiklopedi Al-Quran (Tafsir sosial Berdasarkan
konsep- konsep kunci), Jakarta, Paramadina

Sadzali, Munawir, 1990, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,
Jakarta: UI Press

Sjadzali, Munawir, 1993, Islam dan Tata Negara,:Ajaran, Sejarah, dan
Pemikiran, Jakarta:UI

Sukarja, Ahmad, 1995, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945:
Kajian tentang Perbandingan tentang dasar hidup Bersama dalam
masyarakat yang majemuk, Jakarta, Penerbit universitas indonesia

Sulistyono,Adi , 2008. Kebebasan Beragama dalam Bingkai Hukum. Makalah
Seminar Hukum Islam dengan Tema Kebebasan Berpendapat VS Keyakinan
Beragama ditinjau dari Sudut Pandang Sosial, Agama, dan Hukum yang
diselenggarakan oleh FOSMI Fakultas Hukum UNS, Surakarta, tanggal 8
Mei 2008.

Syafii Maarif, Ahmad, 1983, Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic
Political Ideas as Reflekcted in the Constituent Assembly Debates in
Indonesia, disertasi doktor, University of Chicago

Syariati, Ali, 1990, Ummah wa al-Ummah, terj. M. Faishol Hasanudin, Jakarta,
Penerbit yapi

Thohir , Agus, 2009. Relasi Agama dan Negara. Makalah Diskusi Kajian
Spiritual yang diselenggarakan oleh HMI Komisariat FPBS IKIP PGRI,
Semarang, tanggal 4 November 2009.

Yatim, Badri, 2001. Soekarno, Islam, Dan Nasionalisme, Bandung: Nuansa.




20

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DI SD/MI
Rahmat Kamal
1


Abstrak
Konsep dasar pendidikan karakter sekaligus implementasinya pada
tingkat Sekolah Dasar (SD) / Madrasah Ibtidaiyah (MI) dengan berbagai
karakteristik perkembangan psikis para peserta didik di lingkungan SD/MI tentu
berbeda dengan perkembangan psikis peserta didik pada jenjang berikutnya.
Pendidikan karakter menjadi sangat penting untuk dibahas melihat
kondisi moral bangsa yang semakin hari semakin memprihatinkan. Pendidikan
mempunyai peran dan tanggung jawab yang besar dalam menyelesaikan segala
persoalan bangsa, terlebih persoalan yang terkait dengan karakter bangsa itu
sendiri. Oleh karenanya, pendidikan karakter harus mampu menjadi ruh dari misi
pendidikan secara keseluruhan dan harus terus ditumbuhkembangkan pada
generasi bangsa sedini mungkin.
Usia anak adalah usia yang sangat vital dalam menentukan perkembangan
berikutnya, sehingga orang tua termasuk para pendidik sudah semestinya
membekali anak-anak mereka dengan karakter yang baik dan budi pekerti yang
mulia, sehingga mereka mampu menjadi generasi yang cerdas, unggul, dan mulia
di masa yang akan datang.
Dalam artikel ini, lingkup pembahasan terpusat pada tiga hal; pertama,
konsep dasar pendidikan karakter secara umum; dua, karakteristik siswa SD/MI;
dan yang ketiga, adalah implementasi pendidikan karakter bagi siswa SD/MI.
Perlu adanya inspirasi bagi kita para orang tua sekaligus pendidik untuk
memaksimalkan kembali pendidikan karakter dan budi pekerti sedini mungkin,
harapannya tiada lain adalah agar putra-putri kita tumbuh menjadi pribadi yang
cerdas tidak hanya secara intelektual akan tetapi juga secara moral dan sosial,
amin.

Kata Kunci : Pendidikan Karakter, Siswa SD/MI

I. PENDAHULUAN
Pendidikan adalah fenomena utama dalam kehidupan manusia untuk
membantu perkembangan dan pertumbuhan peserta didik menjadi dewasa. Sesuai
dengan visi dan misi pendidikan nasional, tujuan pendidikan haruslah
mencerminkan kemampuan sistem pendidikan nasional untuk mengakomodasi
berbagai tuntutan sakaligus tantangan zaman dengan berbagai fenomena sosial
yang mengikutinya.
Dalam riset yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) dan
Pusat Penelitian Universitas Indonesia (UI) terungkap bahwa biaya ekonomi dan

1
Rahmat Kamal adalah dosen di STAIN Pekalongan
21

sosial penyalahgunaan narkoba di Indonesia pada tahun 2004 mencapai 23,6
triliun, dengan rincian 1,5 persen penduduk Indonesia merupakan pemakai
narkoba, dan 78% korban tewas akibat narkoba berusia antara 19-21 tahun.
Menurut data terbaru BNN terungkap bahwa untuk kasus narkoba di daerah
provinsi Jawa Tengah saja jumlah kasusnya semakin bertambah menjadi 1485
kasus di tahun 2011, dibandingkan tahun sebelumnya pada tahun 2010 yang
mencapai angka 1105 kasus. Belum lagi kehidupan seksual yang bebas dan tidak
mencerminkan budaya timur ikut memperkeruh moral bangsa yang sedang
mengalami dekadensi. Sumber BKKBN tahun 2010 menyebutkan bahwa angka
kehamilan diluar nikah mencapai 17% pertahun dengan rincian 2,4 juta jiwa
pertahun terjadi kehamilan diluar nikah.
2

Seperti yang dilansir surat kabar harian umum Kompas tertanggal 21
Desember 2011 memberitakan bahwa kekerasan antar pelajar di Jabodetabek
semakin melonjak sepanjang tahun 2011 dibandingkan tahun sebelumnya.
Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat pada tahun 2010 angka tawuran
sebanyak 128 kasus dengan korban 40 orang meninggal dunia. Setahun
kemudian, ditahun 2011 angka tawuran melonjak lebih dari dua kali lipat menjadi
339 kasus dengan jumlah korban 82 meninggal dunia.
3

Fenomena sosial yang serba memprihatinkan di atas adalah sebuah
renungan dan evaluasi bagi pendidikan kita selama ini, karena secara umum
pendidikan harus mampu menghasilkan manusia sebagai individu dan sebagai
anggota masyarakat yang sehat dan cerdas dengan (1) kepribadian yang kuat dan
religius serta mampu menjunjung tinggi budaya luhur bangsa, (2) kesadaran
demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegra, (3)
kesadaran moral hukum yang tinggi dan (4) kehidupan yang makmur dan
sejahtera.
4

Oleh karenanya pendidikan adalah proses pembelajaran yang harus paling
bertanggung jawab untuk menjadikan seseorang tidak hanya sekedar mengenal
dan paham semata akan nilai-nilai kebaikan, melainkan sadar dan mengamalkan
nilai-nilai kebaikan tersebut dalam kehidupan sehari-hari sebagai karakter yang
positif atau kepribadian yang mulia, karena pada dasarnya hakikat pendidikan
bukan hanya sekedar transfer of knowledge akan tetapi juga transfer of values,
dalam arti penanaman dan pengamalan nilai-nilai akan sangat berarti dalam
kehidupan sehari-hari dibandingkan hanya sekedar hapal dan tahu.
Revitalisasi pendidikan karakter sudah selayaknya bahkan seharusnya
masuk dalam sebuah desain kurikulum pembelajaran di tingkat satuan
pendidikan, sehingga pendidikan bangsa ini tidak kehilangan ruh dari hakikat

2
Sukro Muhab, Makalah Desain Pendidikan Karakter Berbasis Pendidikan Berakhlak
Mulia dalam Seminar Nasional Pendidikan Karakter 10 Mei 2011 di Hotel Quality Yogyakarta.
3
Kompas, Rabu 21 Deseember 2011, hlm.1.
4
Jalal F & Supriyadi D, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah,
(Yogyakarta: Adi Citra Karya Nusa, 2001), hlm. 67.
22

tujuan yang sebenarnya seperti yang diamanatkan UUD 45 pasal 31 ayat 3 yang
berbunyi:
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang
diatur dengan undang-undang
5


Hal serupa juga ditegaskan dalam UU Sisdiknas pasal 3 yang berbunyi:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab
6


Fungsi dan tujuan seperti di atas harus menjadi bahan renungan bagi kita
selaku para pendidik atau orang yang memberikan perhatian lebih di bidang
pendidikan, sehingga baik madrasah maupun sekolah dengan berbagai jenjang
dan tingkat pendidikan dari mulai MI/SD sampai dengan jenjang yang lebih
tinggi di atasnya, diharapkan mampu menghasilkan sebuah lulusan yang tidak
hanya cerdas secara kognitif intelektual akan tetapi juga afektif spiritual.

II. PEMBAHASAN
A. PENDIDIKAN KARAKTER
1. Pengrtian Karakter
Dari segi kata, karakter dan akhlak secara bahasa mengandung makna
yang sama yakni , kebiasaan, tabi'at, watak, sifat-sifat kejiwaan. Dan secara
istilah, karakter dan akhlak mempunyai arti sama juga yaitu suatu kehendak
yang sudah biasa dan sering dilakukan secara spontan. Maka maksud dan
tujuan pendidikan karakter dan pendidikan akhlak semakna dan sejalan,
yakni suatu usaha sadar untuk membantu individu mempunyai kehendak
untuk berbuat sesuai dengan nilai dan norma (baik dalam agama maupun di
masyarakat) serta membiasakan perbuatan tersebut dalam kehidupannya.
Pendidikan karakter menurut Doni Koesoema merupakan sebuah
struktur antropologis yang terarah pada proses pengembangan dalam diri
manusia secara terus menerus untuk menyempurnakan dirinya sebagai
manusia yang berkeutamaan, yakni dengan mengaktualisasikan nilai-nilai
keutamaan seperti keuletan, tanggung jawab, kemurahan hati, dan lain-lain.


5
UUD 45 dan Amandemen Lengkap, (Yogyakarta: Aditya Pustaka), hlm. 25.
6
Depdiknas, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Jakarta: CV Eka Jaya, 2003), hlm. 7.
23

Sedangkan pendidikan karakter atau akhlak bagi Ibnu Miskawaih adalah
sebuah struktur teologis untuk melakukan keutamaan dengan tanpa berfikir
dan pertimbangan, dan untuk itu diperlukan pembiasaan dan latihan dengan
cara diberikan pendidikan.
7


2. Unsur-unsur Karakter
Fathul Muin mengatakan, bahwa karakter memiliki beberapa unsur
baik secara psikologis maupun sosiologis, yaitu:
a. Sikap
Sikap seseorang merupakan bagian dari karakternya, bahkan dianggap
sebagai cerminan dari karakter orang tersebut. Tentu tidak sepenuhnya
benar, tetapi dalam hal tertentu sikap seseorang terhadap sesuatu yang
dihadapinya menunjukkan bagaimana karakter dirinya. Bahkan para
psikolog banyak mengembangkan perubahan diri menuju sukses melalui
perubahan sikap.
Oskamp dalam Fathul Muin mengemukakan bahwa sikap dipengaruhi
oleh proses evaluatif yang dilakukan individu, dan beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi proses evaluatif tersebut adalah: faktor genetik dan
fisiologik, pengalaman personal, pengaruh orangtua, pengaruh kelompok
sebaya atau masyarakat, dan media massa. Oskamp menambahkan, bahwa
ada dua hal yang secara khusus berpengaruh dalam membentuk sikap
seseorang, yaitu: pertama, peristiwa yang memberikan kesan kuat pada diri
seseorang (salient incident), yaitu peristiwa traumatik yang mengubah secara
drastis kehidupan individu, misalnya kehilangan anggota tubuh karena
kecelakaan. Kedua, munculnya objek secara berulang-ulang (repeated
exposure), misalnya tingginya frekuensi seseorang bertemu dalam berbagai
hal dan pekerjaan dengan lawan jenisnya, kemungkinan akan menimbulkan
antara satu dan lainnya, atau dikenal juga dengan istilah dalam bahasa Jawa
witing tresno jalaran soko kulino.
8


b. Emosi
Kata emosi diadopsi dari bahasa Latin emovere (e berarti luar dan
movere artinya bergerak). Sedangkan dalam bahasa Prancis adalah emouvoir
yang artinya kegembiraan. Emosi adalah gejala dinamis dalam situasi yang
dirasakan manusia, yang disertai dengan efeknya pada kesadaran, perilaku,
dan juga merupakan proses fisiologis. Misalnya, saat kita merespon sesuatu
yang melibatkan emosi, dan kita juga megetahui makna apa yang kita hadapi
(kesadaran). Saat kita marah dan tegang, jantung kita berdebar-debar dan
akan berdetak cepat (fisiologis), maka kita pun akan segera melakukan
reaksi terhadap apa yang menimpa kita (perilaku).

7
Heni Zuhriyah. Pendidikan Karakter ; Studi Perbandingan Antara Konsep Doni
Koesoema dan Ibnu Miskawaih, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2010)
8
Fathul Muin, Pendidikan Karakter; Konstruksi Teoretik dan Praktik (Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media, 2011), hlm. 168-170.
24

Kata emosi umumnya mendapatkan konotasi negatif, mengingat orang
yang sering emosional atau terlalu berperasaan cenderung kelihatan sebagai
orang yang lemah, pemarah, dan keadaan psikologisnya tidak stabil. Akan
tetapi sesungguhnya emosi itu jauh dari hal-hal yang jelek seperti itu. emosi
tidak segalanya negatif, dan kita lah yang harus senantiasa merawat dan
memelihara emosi kita masing-masing
9
.

c. Kepercayaan
Kepercayaan merupakan komponen kognitif manusia dari faktor
sosiopsikologis. Kepercayaan bahwa sesuatu itu benar atau salah atas
dasar bukti, sugesti otoritas, pengalaman dan intuisi sangatlah penting untuk
membangun watak dan karakter manusia. Jadi, kepercayaan itu
memperkukuh eksistensi diri dan memperkukuh hubungan dengan orang
lain.
Kepercayaan memberikan perspektif pada manusia dalam memandang
kenyataan dan ia memberikan dasar bagi manusia untuk mengambil pilihan
dan menentukan keputusan. Jadi, kepercayaan salah satunya dibentuk oleh
pengetahuan. Apa yang kita ketahui membuat kita menentukan pilihan
karena kita percaya apa yang kita ambil berdasarkan yang kita ketahui.
10


d. Kebiasaan dan kemauan
Kebiasaan adalah faktor konatif manusia dari faktor sosiopsikologis.
Kebiasaan adalah aspek perilaku manusia yang menetap, berlangsung secara
otomatis, tidak direncanakan. Ia merupakan hasil pelaziman yang
berlangsung pada waktu yang lama atau sebagai reaksi khas yang diulangi
berkali-kali. Kebiasaan memberikan pola perilaku yang dapat diramalkan.
11


e. Konsepsi diri.
Hal penting lainnya yang berkaitan dengan pembangunan karakter
adalah konsepsi diri. Konsepsi diri penting karena biasanya tidak semua
orang cuek pada dirinya. Orang yang sukses biasanya adalah orang yang
sadar bagaimana dia membentuk wataknya. Dalam hal kecil saja, kesuksesan
sering didapat dari orang-orang yang tahu bagaimana bersikap di tempat-
tempat yang penting bagi kesuksesannya.
Proses konsepsi diri merupakan proses totalitas baik sadar maupun
tidak, tentang bagaimana karakter dan diri kita dibentuk. Konsepsi diri
adalah bagaimana saya harus membangun diri, dan bagaimana saya
harus menempatkan diri dalam kehidupan.
12

Kelima aspek inilah yang kemudian menjadi unsur dari sebuah karakter
yang ada pada diri kita. Sehingga ketika seseorang mampu membangun dan
mengembangkan kelima unsur ini dengan baik maka dia akan memiliki
karakter yang baik pula, dan begitupun sebaliknya.

9
Ibid, hlm. 171-173
10
Fathul Muin, Pendidikan Karakter...., hlm. 176-178
11
Ibid, hlm. 178-179
12
Ibid, hlm. 179
25

3. Pendekatan dan Metode dalam Pendidikan Karakter
Mendidik karakter berarti mendidik nilai. Dalam pendidikan nilai
terdapat beberapa pendekatan yang bisa dilakukan, antara lain: penanaman
nilai (inculcation approach), pendekatan analisis nilai (values analysis
approach), pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach), dan
pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach).
13

Dalam bahasa yang lebih mudah Ryan dan Bohlin menyatakan bahwa
agar bisa tumbuh dan berkembangnya sebuah karakter yang baik dari
seseorang, maka paling tidak ada tiga tahapan metode yang harus dilalui
seseorang kaitannya dengan proses pendidikan karakter, yakni: pertama,
mengetahui kebaikan (knowing the good); kedua, mencintai kebaikan (loving
the good); dan ketiga, melakukan kebaikan (doing the good). Dalam
pendidikan karakter, kebaikan itu seringkali dirangkum dalam sederet sifat-
sifat baik.
14

Sementara Doni Koesoema lebih khusus menyampaikan lima
metodologi pendidikan karakter yang bisa diterapkan di sebuah lembaga
pendidikan (sekolah atau madrasah) yakni: pertama, mengajarkan
pengetahuan tentang nilai (kebaikan) yang disarikan dari semua mata
pelajaran; dua, memberikan keteladanan terhadap nilai (kebaikan) yang telah
disampaikan; tiga, menentukan prioritas nilai (kebaikan) yang harus
didahulukan; empat, praksis prioritas yakni wujud dari nilai (kebaikan) yang
telah diprioritaskan guru kepada para siswa; dan lima, adanya refleksi
sebagai bagian dari evaluasi terhadap berbagai nilai (kebaikan) yang telah
disampaikannya kepada siswa. Semua metode tersebut dilaksanakan dalam
setiap momen di sekolah, yang kemudian diaktualisasikan ke dalam lingkungan
masyarakat supaya lebih bisa terkontrol dan terjaga dengan baik.
15



B. Karakteristik Perkembangan Siswa Sekolah Dasar (SD/MI)
Menurut Nasution (2004) dalam Haryu (2012), bahwa masa usia sekolah dasar sebagai
masa kanak-kanak akhir berlangsung dari usia enam tahun hingga sebelas atau dua belas tahun.
Usia ini ditandai dengan mulainya anak masuk sekolah dasar, dan dimulainya sejarah baru
dalam kehidupan yang kelak akan mengubah sikap-sikap dan tingkah lakunya.
16





13
Zaim El Mubarok, Membumikan Pendidikan Nilai; Mengumpulkan yang
terserak,Menyambung yang Terputus, dan Menyatukan yang Tercerai (Bandung: Alfabeta, 2006),
hlm. 61-73.
14
http://www.inilahguru.com//34-pendidikan/65-apa-yang-beda-dalam-pendidikan karakter.
html, di akses pada tanggal 3 Oktober 2011 pukul 12.30 WIB.
15
Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global,
(Jakarta: PT. Grasindo, Cet.III, 2011), hlm. 212-217
16
Haryu Islamudin, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 39
26

1. Karakteristik Sifat Khas
Menurut Suryabrata (1984) masa usia sekolah ini disebut dengan masa intelektual atau
masa keserasian bersekolah, pada masa ini anak lebih mudah untuk dididik daripada masa
sebelumnya dan sesudahnya. Freud memberi nama fase ini sebagai fase latent, di mana
dorongan-dorongan seakan-akan mengendap (latent), tidak semenggelora masa-masa
sebelumnya dan sesudahnya. Masa ini dapat dirinci lagi menjadi dua fase, yaitu: pertama, fase
kelas rendah sekolah dasar (6;0/7;0 9;0/10;0); dan kedua, fase kelas tinggi sekolah dasar
(9;0/10;0 12;0/13;0).
Adapun beberapa sifat khas yang dimiliki anak pada fase kelas rendah sekolah dasar,
antara lain:
a. Adanya korelasi yang tinggi antara keadaaan jasmani dan prestasi sekolah sebagai bukti harus
tercukupinya kebutuhan-kebutuhan biologis.
b. Sikap tunduk kepada peraturan-peraturan permainan yang tradisional
c. Adanya kecendrungan memuji diri sendiri
d. Suka membanding-bandingkan dirinya dengan anak lain, kalau hal itu menguntungkan;
dalam hubungannya dengan ini juga ada kecendrungan untuk meremehkan anak-anak lain.
e. Kalau tidak dapat menyelesaikan suatu soal, maka soal itu dinggapnya tidak penting.
f. Pada masa ini anak menghendaki nilai-nilai (angka rapor, skor) yang baik, tanpa mengingat
apakah prestasinya pantas diberi nilai baik tersebut atau tidak.
Sedangkan beberapa sifat khas yang dimiliki anak pada fase kelas tinggi sekolah dasar,
antara lain:
a. Adanya perhatian kepada kehidupan praktis sehari-hari yang konkret, hal ini membawa
kecendrungan untuk membantu pekerjaan-pekerjaan yang praktis.
b. Amat realistik, ingin tahu, ingin belajar. Kenyataan inilah kiranya yang mendasari pendapat
O. Kroh yang memberi penafsiran pada masa ini sebagai masa realisme, yaitu realisme naif
(8;0- 10;0) dan realisme kritis (10;0 12;0).
c. Menjelang akhir masa ini telah ada minat pada hal-hal dan mata-mata pelajaran khusus, yang
oleh para ahli pengikut teori faktor ditafsirkan sebagai mulai menonjolnya faktor-faktor s.
d. Sampai kira-kira umur 11;0 anak membutuhkan bantuan guru atau orang-orang dewasa
lainnya untuk menyelesaikan tugasnya dan memenuhi keinginannya, setelah kira-kira
berumur 11;0 anak menghadapi tugas-tugas dengan bebas dan berusahamenyelesaikannya
sendiri.
e. Pada masa ini anak memandang nilai (angka rapor) adalah ukuran yang tepat mengenai
prestasi sekolahnya.
f. Anak-anak pada masa ini gemar membentuk kelompok-kelompok sebaya, biasanya untuk
dapat berain-main bersama. Dalam permainan tersebut anak-anak kerap sekali tidak terikat
pada peraturan-peraturan permainan tradisional, sehingga mereka membuat peraturan sendiri.


27

Masa keserasian bersekolah ini diakhiri dengan suatu masa yang biasanya disebut
dengan masa pueral. Masa ini demikian khasnya, sehingga menarik perhatian para ahli, dan
karenanya juga banyak dilakukan penyelidikan dan pembahasan mengenai masa ini.
17


2. Karakteristik Tahap Perkembangan Agama
Apabila dilihat dari tahap perkembangan agama anak, maka Fowler merincinya menjadi
dua masa, yaitu masa anak-anak awal dan masa anak-anak akhir. Adapun karakteristik tahap
perkembangan agama anak-anak masa awal menurut teori Fowler antara lain:
a. Kebaikan dan kejahatan lebih bersifat intuitif dalam pandangannya
b. Antara fantasi dan kenyataan dianggapnya sama dan tidak berbeda.

Sementara karakteristik perkembangan masa anak-anak akhir menurut Fowler, antara
lain:
a. Pemikiran sudah lebih logis dan konkrit tidak lagi bersifat intuisi.
b. Kisah-kisah agama diinterpretasikan secara harfiyah; dan Tuhan digambarkan sebagai figur
orangtua.
18


3. Karakteristik Tahap Perkembangan Kognitif
Seiring dengan masuknya anak ke sekolah dasar, maka kemampuan kognitifnya turut
mengalami perkembangan yang pesat. Karena dengan masuk sekolah, berarti dunia dan minat
anak bertambah luas, dan dengan meluasnya minat maka bertambah pula pengertian tentang
manusia dan objek-objek yang sebelumnya kurang berarti bagi anak. Dalam keadaan normal,
pikiran anak usia sekolah berkembang secara berangsur-angsur. Kalau pada masa sebelumnya
daya pikir anak masih bersifat imajinatif dan egosentris, maka pada usia sekolah dasar ini daya
pikir anak berkembang ke arah berpikir konkrit, rasional dan objektif. Menurut teori Piaget,
pemikiran anak-anak usia sekolah ini disebut dengan pemikiran operasional konkrit (concrete
operational thought) yaitu aktivitas mental yang difokuskan pada objek-objek dan peristiwa-
peristiwa nyata atau konkrit dapat diukur.
Dalam upaya memahami alam sekitarnya, anak-anak tidak lagi mengandalkan informasi
yang bersumber dari pancaindra, karena ia mulai mempunyai kemampuan untuk membedakan
apa yang tampak oleh mata dengan kenyataan yang sesungguhnya, dan antara yang bersifat
sementara dengan yang bersifat menetap. Misalnya mereka akan tahu bahwa air dalam gelas
besar pendek dipindahkan ke dalam gelas kecil tinggi, jumlahnya akan tetap sama karena tidak
setetes pun air yang tumpah. Hal ini adalah karena mereka tidak lagi mengandalkan persepsi
penglihatannya, melainkan sudah mampu menggunakan logikanya. Mereka dapat mengukur,
menimbang, dan menghitung jumlahnya, sehingga perbedaan yang nyata tidak
membodohkan mereka.
19




17
Sumadi Suryabrata. Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 204-206
18
Desmita. Psikologi Perkembangan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet VII, 2012),
hlm. 209
19
Desmita. Psikologi....., hlm. 156
28

4. Karakteristik Tahap Perkembangan Moral
Menurut hasil penelitiannya, Kohlberg mengklasifikasikan perkembangan moral atas tiga
tingkatan (level), yang kemudian dibagi lagi menjadi enam tahap (stage). Adapun ketiga
tingkatan perkembangan moral tersebut adalah:
a. Prakonvensional. Pada level ini anak mengenal moralitas bedasarkan dampak yang
ditimbulkan oleh suatu perbuatan, yaitu menyenangkan (hadiah) atau menyakitkan
(hukuman). Sehingga dari sini anak tidak melanggar aturan karena takut akan ancaman
hukuman dari otoritas.
b. Konvensional. Suatu perbuatan dinilai baik oleh anak apabila mematuhi harapan otoritas atau
kelompok sebaya.
c. Pasca-konvensional. Pada level ini aturan dan institusi dari masyarakat tidak dipandang
sebagai tujuan akhir, tetapi diperlukan sebagai subjek. Sehingga pada kondisi ini anak
mematuhi aturan lebih karena menghindari hukuman kata hati.
Tingkatan yang ketiga ini, menurut Piaget disebut dengan autonomous morality atau
morality of cooperation yaitu tahap moral yang terjadi pada anak-anak usia kira-kira 9 hingga 12
tahun. Pada tahap ini anak mulai sadar bahwa aturan-aturan dan hukum-hukum merupakan
ciptaan manusia dan dalam menerapkan suatu hukuman atas suatu tindakan harus
mempertimbangkan maksud pelaku serta akibat-akibatnya.
20


C. Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah/Madrasah
Konsep dasar pendidikan karakter di sekolah atau madrsah tentunya harus
dilandaskan pada visi, misi, dan tujuan sekolah atau madrasahnya masing-masing
yang selanjutnya diimplementasikan ke dalam: 1) kurikulum dan mata pelajaran,
2) budaya madrasah baik di lingkungan guru maupun siswa, dan 3)
pengembangan diri melalui program pembiasaan dan pengembangan minat dan
bakat siswa. Hal ini sesuai dengan prinsip implementasi pengembangan
pendidikan budaya dan karakter bangsa yang dirangcang oleh kemendiknas tahun
2010.
1. Kurikulum/Mata Pelajaran
Adapun pengembangan kurikulum yang bisa dilakukan adalah :
a. Memaksmimalkan kembali proses integrasi nilai-nilai karakter ke dalam
semua mata pelajaran, baik mata pelajaran yang secara konten mengajarkan
nilai-nilai karakter dan kebajikan seperti halnya mata pelajaran PAI, maupun
materi yang tidak secara konten mengajarkan nilai-nilai karakter seperti
Matematika dan lain sebagainya. Terlebih ketika kurikulum 2013
mengintegrasikan materi IPA-IPS ke dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia
dan PKN untuk tingkat SD/MI (baca Dokumen Kurikulum 2013), maka hal
ini memberikan kesempatan lebih kepada para guru yang bersangkutan untuk
memaksimalkan kembali proses integrasi nilai-nilai karakter tersebut ke
dalam materi yang diintegrasikan. Oleh karenanya desain RPP berkarakter
akan sangat membantu para guru dalam merefleksikan nilai-nilai karakter ke

20
ibid hlm. 151-152
29

dalam sebuah materi pelajaran. Formulasi silabus dan rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP) berbasis karakter berfungsi sebagai pengingat para guru
dalam mengembangkan tiga kompetensi pembelajaran (kognitif, afektif, dan
psikomotorik) secara seimbang sebagai salah satu dasar dalam pembentukan
karakter siswa. Sehingga pada akhirnya memberikan kesempatan kepada
semua guru dalam setiap mata pelajaran, baik mata pelajaran rumpun PAI
maupun mata pelajaran umum lainnya untuk tidak melupakan diri dalam
menyampaikan dan menanamkan nilai-nilai karakter (inculcation approach)
yang ada di balik materi selama proses pembelajaran.
b. Memaksimalkan kembali program pembiasaan baik yang bersifat ritual
maupun non ritual selama proses pembelajaran. Kebaikan yang selalu
diulang-ulang dan dibiasakan setiap hari, akan jauh lebih membekas dalam
hati serta jiwa para siswa dibanding kegiatan yang sekedar insidental semata.
Namun tidak juga hanya sekedar pembiasaan yang pada akhirnya terhenti
dalam simbol-simbol rutinitas formal, melainkan pembiasaan yang harus
disertai dengan penuh pemaknaan. Ketika guru menajalankan rutinitas
kegiatan kelas misalnya tadarus bersama di setiap awal pembelajaran, maka
tugas guru disamping memberikan pendampingan juga memberikan
pemaknaan terhadap kegiatan tersebut, siswa diberikan pemahaman tentang
arti penting dari apa yang mereka lakukan.
c. Memberikan penekanan kembali kepada para pengajar PAI dan PKN untuk
tidak terjebak pada materi-materi yang sifatnya kognitif dan hafalan semata,
karena pada dasarnya materi pelajaran PAI dan PKN secara subtantif lebih
pada penanaman (inculcation approach) dan pengamalan nilai-nilai karakter
(action learning approach) sehingga jangan sampai ada siswa yang secara
kognitif nilai ulangan PAI dan PKNnya tinggi akan tetapi tidak diimbangi
dengan perilaku dan akhlak yang terpuji.Karakteristik sifat khas anak sekolah
dasar seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa mereka lebih menganggap
nilai rapor sebagai prestasi segala-galanya harus dikikis secara bertahap
dengan memberikan penekanan bahwa nilai berbentuk angka bukanlah
segalanya ketika tidak diimbangi dengan perilaku dan akhlak yang terpuji.
Salah satu cara yang bisa digunakan untuk memaksimalkan kembali
mata pelajaran PAI dalam memberikan penanaman nilai adalah dengan
membuat program renungan/intropeksi diri (muhasabah) secara berkala.
Program sekolah atau kelas yang bisa dilakukan berkala ini sangatlah besar
peranannya dalam proses internalisasi nilai-nilai karakter, karena target utama
dari program ini adalah mengasah kepekaan bathin atau afeksi para siswa
yang selama ini mungkin hampa karena dipenuhi dengan muatan kognisi
tanpa refleksi, dan ketika sisi ruang bathin siswa mulai terasah dengan
mampu menyadari akan kekurangan dan kealfaannya, maka lambat laun
keterasahan bathin ini akan membentuk sebuah karakter yang positif
dikemudian hari
30

d. Memaksimalkan kembali proses pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif,
efektif, dan menyenangkan (PAIKEM) dalam setiap mata pelajaran. Dengan
pembelajaran seperti ini, harapannya akan memberikan kesan yang
mendalam, sehingga nilai-nilai karakter yang disampaikan dengan mudahnya
terinternalisasi menjadi sebuah sikap dan karakter yang kuat pada diri dan
jiwa para siswa. Seperti yang telah disampaikan Oskamp (1991) sebelumnya,
bahwa salah satu hal yang secara khusus berpengaruh dalam membentuk
sikap seseorang, adalah adanya peristiwa yang memberikan kesan kuat pada
diri seseorang (salient incident).
e. Memaksimalkan kembali proses komunikasi antara guru dengan orangtua
siswa untuk memantau sejauh mana perkembangan siswa sekaligus putra-
putri mereka baik di lingkungan sekolah dengan menggunakan buku
anecdotal recard yaitu buku seluruh kejadian selama di kelas atau di sekolah,
maupun perkembangan siswa selama di rumah dengan menggunakan buku
mutabaah yaitu buku evaluasi tentang sejumlah kegiatan siswa selama di
rumah baik itu proses belajar, maupun ibadah ritual keseharian siswa.
Sehingga dari data ini bisa dijadikan salah satu bahan refleksi
sekolah/madrasah maupun para orangtua siswa tentang kemajuan
perkembangan karakter putra-putrinya selama ini, seperti apa yang telah
disampaikan Doni Koesoema di atas tentang metodologi pendidikan karakter
yang terakhir.
f. Memaksimalkan kembali reward (hadiah) terhadap sejumlah prestasi siswa
tidak hanya dalam bidang akademik akan tetapi juga dalam bidang ibadah
dan akhlak keseharian dengan cara mengolah sejumlah data dari buku
mutabaah (evaluasi) siswa dan juga data dari hasil komunikasi aktif dengan
para orang tua tentang laporan ibadah dan akhlak keseharian siswa. Sehingga
setiap pertengahan semester atau akhir semester para siswa tidak hanya
diberikan bintang prestasi akademik bagi mereka yang mendapatkan nilai
rapor tertinggi dalam satu kelas, akan tetapi juga bintang prestasi akhlak
mulia bagi mereka yang paling rajin melaksanakan shalat serta tidak pernah
tercatat dalam buku anecdotal record pada masing-masing kelas. Hal ini
sesuai dengan tahap perkembangan moral siswa yakni pra-konvensional dan
konvensional seperti yang telah dijelaskan di atas. Dan untuk meningkatkan
menjadi pasca-konvensional, maka dalam perjalanannya para guru harus
mampu memberikan penyadaran diri terhadap para siswa bahwa tujuan dari
semua prestasi dan kebaikan yang dilakukannya adalah semata-mata untuk
kebaikannya sendiri di mata Allah Swt, dan bukan karena sekedar
mendapatkan materi dari reward atau hadiah yang telah diterimanya.

2. Budaya Sekolah atau Madrasah
Anak akan belajar dari lingkungan terdekatnya, inilah yang kemudian harus
semakin kita sadari untuk menciptakan sebuah budaya dan kultur sekolah atau
madrasah yang positif bagi perkembangan karakter siswa. Hal ini sesuai dengan
31

apa yang pernah dikatakan oleh Thomas Lickona bahwa budaya moral sekolah
akan berpengaruh pada fungsi moral siswa. the schools moral culture affects
students moral functioning. Beliau menambahkan:
We want students to become the kind of people who will do whats
right even when they are surrounded by a rotten moral culture. But
forming that sort of character is much easier in a moral
environment where being honest, decent, and caring is perceived
to be the norm
21


Menciptakan budaya di sekolah atau madrasah tentu harus diawali dengan
adanya keteladanan (uswah) dari guru dan orang-orang yang berada di dalam
lingkungan sekolah atau madrasah. Artinya keteladanan tidak hanya ditunjukkan
oleh para guru akan tetapi juga seluruh karyawan yang ada di sekolah, mengapa
hal ini dilakukan? karena siswa akan belajar dari lingkungan terdekatnya, ketika
seorang karyawan petugas kebersihan menjalankan tugasnya menjaga kebersihan
disetiap sudut dan ruangan sekolah diikuti dengan peran guru yang ikut menjaga
kebersihan sekolah, maka siswa akan mulai mengamati, merasakan dan pada
akhirnya akan ikut menjaga kebersihan serta merasa memiliki sekolah dimana
tempat mereka belajar. Ketika disatu sekolah diadakan program pembiasaan yang
bersifat ritual misalnya shalat dhuha, maka kemudian guru dan seluruh karyawan
ikut mengawal program tersebut dengan membersamai para siswa dalam
menjalankan program shalat dhuha, dan disaat lingkungan telah membersamainya
secara positif maka dengan sendirinya sikap dan karakter positif itupun akan
terbangun dari dalam diri seorang siswa dengan menjadikan guru dan lingkungan
sekitar sebagai figur dan cerminannya.
Namun tidak juga hanya sekedar pembiasaan yang pada akhirnya terhenti
dalam simbol-simbol rutinitas formal, melainkan pembiasaan yang harus disertai
dengan penuh pemaknaan. Ketika guru menajalankan rutinitas kegiatan sekolah
misalnya jumat bersih, maka tugas guru disamping memberikan pendampingan
juga memberikan pemaknaan terhadap kegiatan tersebut, siswa diberikan
pemahaman tentang arti penting dari apa yang mereka lakukan. Ketika disatu
sekolah diadakan kegiatan peringatan hari besar agama, maka guru dan pihak
sekolah tidak hanya sekedar menjalankan rutinitas semata yang pada akhirnya
terkesan formalitas, akan tetapi lebih dari itu guru mampu menyadarkan para
siswa dengan makna dibalik agenda acara.



21
Kita menginginkan baha para siswa bisa menjadi jenis prbadi yang akan melakukan
sesuatu kebaikan (kebenaran) bahkan ketika mereka dikelilingi oleh budaya moral yang busuk,
akan tetapi membentuk semacam karakter jauh lebih mudah dalam lingkungan moral yang jujur,
layak, dan peduli dengan sesuatu yang dianggap norma. Thomas Lickona, Educating For
Character; How Our Scools Can Teach Respect and Responsibility, (USA: Bantam Book, 1991),
hlm. 324-325
32

3. Pengembangan Diri
Implementasi dari konsep dasar pendidikan karakter selanjutnya adalah
melalui program pengembangan diri. Yang di maksud dengan program
pengembangan diri adalah berbagai macam program tambahan atau
pengembangan (di luar proses pembelajaran reguler) yang diselenggarakan oleh
pihak sekolah atau madrasah guna menunjang terwujudnya karakter dan budi
pekerti siswa. Program pengembangan ini terdiri dari berbagai macam kegiatan
rutin madrasah seperti halnya upacara bendera hari senin, peringatan hari besar
Islam (PHBI), peringatan hari besar nasional (PHBN), program pembiasaan
ibadah dan budaya Islami, serta kegiatan pengembangan minat dan bakat siswa.
Program pengembangan minat dan bakat siswa dalam bentuk kegiatan
ekstrakulikuler adalah dimaksudkan untuk mengembangkan seluruh potensi yang
dimiliki siswa yang tentunya berbeda antara siswa satu dengan siswa yang
lainnya. Oleh karenanya alangkah lebih bijaksana sekolah dan madrasah
mengakomodir semua potensi yang dimiliki siswa. Hal ini sesuai yang
disampaikan oleh Howard Gardner, seorang professor ilmu syaraf (neurology)
dari Universitas Harvard pada tahun 1984 bahwa ada delapan kecrdasan yang
dimiliki manusia, yaitu: kecerdasan lingusitik (bahasa), kecerdasan visual-spasial
(gambar), kecerdasan logis-matematis (perhitungan angka dan logika), kecerdasan
musikal (musik), kecerdasan kinestetik (gerak fisik), kecerdasan intra-personal
(memahami dan memenej diri sendiri), kecerdasan interpersonal (memahami dan
memotivasi orang lain), serta kecerdasan naturalis (alam).
22

Kegiatan pengembangan minat dan bakat siswa ini menjadi sebuah sarana
sekaligus wahana yang lebih luas bagi para guru dan pihak sekolah/madrasah
dalam usahanya menanamkan kembali nilai-nilai karakter para siswa melalui
berbagai kegiatan ekstrakulikuler yang beraneka ragam sesuai dengan karakter
dan jenis kecerdasannya masing-masing.
Program pengembangan diri selanjutnya adalah program latihan berbuat
kebajikan (riyadhah / action learning approach) , misalnya guru dan pihak
sekolah/madrasah memberikan waktu dan ruang kepada siswa untuk berlatih jujur
dengan mendirikan kantin kejujuran, atau dilatih untuk memiliki kepekaan sosial
yang tinggi dengan cara pembentukan organisasi siswa di bidang bencana,
sehingga dari sini siswa mampu dan bisa belajar berempati terhadap dunia sosial
yang ada disekitarnya. Hal ini sesuai dengan apa yang pernah disampaikan Ryan
dan Bohlin di atas bahwa tahapan terakhir agar bisa tumbuh dan berkembangnya
sebuah karakter yang baik dari seseorang adalah melakukan kebaikan itu sendiri
(doing the good). Dari sini, kita berharap segala kegiatan dan aktivitas positif itu
ketika terus dilakukan dan dibiasakan akan berubah menjadi sebuah karakter
positif yang kita dambakan bersama.



22
Suparlan, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, Dari Konsepsi Sampai Dengan
Implementasi, (Yogyakarta: Hikayat, 2004), hlm. 198.
33

III. PENUTUP
Pembinaan karakter bangsa harus dilakukan sedini mungkin mengingat
globalisasi semakin mengancam moral putera-puteri kita dengan merambah
dalam berbagai aspek kehidupan. Oleh karenanya revitalisasi pendidikan karakter
sudah selayaknya bahkan seharusnya masuk dalam sebuah desain kurikulum dan
proses pembelajaran, budaya sekolah/madrasah, dan sejumlah program
pengembangan diri siswa.
Semua itu dilakukan agar pendidikan bangsa ini tidak kehilangan ruh dari
hakikat tujuan yang sebenarnya seperti yang diamanatkan UUD 45 pasal 31 ayat 3
yakni meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Fungsi dan tujuan pendidikan tersebut harus kemudian menjadi bahan
renungan selaku para pendidik khususnya di tingkat SD/MI untuk tidak
melupakan misi dari tugasnya menghasilkan sebuah lulusan yang tidak hanya
cerdas secara kognitif intelektual akan tetapi juga afektif spiritual.





DAFTAR PUSTAKA


Depdiknas, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: CV Eka Jaya, 2003

Desmita. Psikologi Perkembangan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet VII,
2012

Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman
Global, Jakarta: PT. Grasindo, Cet.III, 2011

Fathul Muin, Pendidikan Karakter; Konstruksi Teoretik dan Praktik,
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011

Haryu Islamudin, Psikologi Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013

Heni Zuhriyah. Pendidikan Karakter ; Studi Perbandingan Antara Konsep Doni
Koesoema dan Ibnu Miskawaih (Tesis), Surabaya: IAIN Sunan
Ampel, 2010

Http://www.inilahguru.com//34-pendidikan/65-apa-yang-beda-dalam-pendidikan
karakter. html
34

Jalal F & Supriyadi D, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah,
Yogyakarta: Adi Citra Karya Nusa, 2001
Kompas, Rabu 21 Deseember 2011
Sukro Muhab, Makalah Desain Pendidikan Karakter Berbasis Pendidikan
Berakhlak Mulia dalam Seminar Nasional Pendidikan Karakter 10
Mei 2011 di Hotel Quality Yogyakarta.

Sumadi Suryabrata. Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers, 2012

Suparlan, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, Dari Konsepsi Sampai Dengan
Implementasi, Yogyakarta: Hikayat, 2004

Thomas Lickona, Educating For Character; How Our Scools Can Teach Respect
and Responsibility, USA: Bantam Book, 1991

UUD 45 dan Amandemen Lengkap, Yogyakarta: Aditya Pustaka

Zaim El Mubarok, Membumikan Pendidikan Nilai; Mengumpulkan yang
terserak,Menyambung yang Terputus, dan Menyatukan yang Tercerai,
Bandung: Alfabeta, 2006

35

RESTRUKTURISASI PENDIDIKAN MENUJU
BANGSA BERKARAKTER
Mustofa Kamal
1



Abstrak

Prioritas pembangunan nasional sebagaimana yang dituangkan dalam
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Tahun 2005 2025 (UU
No. 17 Tahun 2007) antara lain adalah dalam mewujudkan masyarakat yang
berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah
Pancasila. Salah satu upaya untuk merealisasikannya adalah dengan cara
memperkuat jati diri dan karakter bangsa melalui pendidikAKan.
Pendidikan karakter menjadi kunci terpenting kebangkitan Bangsa
Indonesia dari keterpurukan untuk menyongsong datangnya peradaban baru.
Krisis multidimensi yang menjadi persoalan bangsa. Hal ini terjadi karena bangsa
ini tidak percaya diri dalam membangun dan mengkonsep untuk kemajuan
bangsa.
Menjadi bangsa yang berdiri di atas kaki sendiri, akan mengembalikan
kedaulatan, menjagi bangsa yang berbudaya dan bermartabat. Pendidikan yang
didesign bukan lagi pendidikan yang meniru Negara lain. Konsep pendidikan
dibuat berdasarkan karakter masyarakat dengan mengedepankan norma, nilai, dan
budaya yang berkembang.

Kata Kunci : Pendidkan, Karakter, Budaya.


A. Latar Belakang
Salah satu mewujudkan visi dan misi bangsa Indonesia pada masa
mendatang telah termuat dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara yaitu
mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu
guna memperteguh akhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan,
cerdas, sehat, berdisplin dan bertanggung jawab,berketerampilan serta menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka mengembangkan kualitas manusia
Indonesia. Prioritas pembangunan nasional sebagaimana yang dituangkan dalam
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Tahun 2005 2025 (UU
No. 17 Tahun 2007) antara lain adalah dalam mewujudkan masyarakat yang
berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah
Pancasila. Salah satu upaya untuk merealisasikannya adalah dengan cara
memperkuat jati diri dan karakter bangsa melalui pendidikan.



1
Mustofa Kamal, M.Ag. adalah Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) pemalang
36

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.Pendidikan
merupakan bagian penting dari kehidupan manusia yang tak pernah bisa
ditinggalkan. Pendidikan juga merupakan salah satu sarana terpenting dalam
usaha pembangunan sumber daya manusia dan penanaman nilai-nilai
kemanusiaan, yang pada gilirannya akan menciptakan suasana dan tatanan
kehidupan masyarakat yang beradab dan berperadaban.
2

Pendidikan bisa dianggap sebagai proses yang terjadi secara sengaja,
direncanakan, didesain, dan diorganisasi berdasarkan aturan yang berlaku
terutama perundang-undangan yang dibuat atas dasar kesepakatan
masyarakat.Pendidikan sebagai sebuah kegiatan dan proses aktivitas yang
disengaja merupakan gejala masyarakat ketika sudah mulai disadari pentingnya
upaya untuk membentuk, mengarahkan, dan mengatur manusia sebagaimana
dicita-citakan masyarakat.
Indonesia pada era sebelum reformasi dikenal dengan sebutan macan Asia.
Bangsa ini banyak memberikan kontribusi dan keberadaanya sangat
diperhitungkan bangsa lain, sebagai motor penggerak sekaligus penggagas
Gerakan Non Blok (GNB), menjadi salah satu negara pendiri ASEAN, serta
berperan aktif menjaga perdamaian dunia. Pada saat yang sama, Indonesia
menjadi salah satu negara tujuan pengembangan ilmu pengetahuan. Banyak
mahasiswa luar negeri yang menjadi mahasiswa di berbagai kampus yang
tersebar di Indonesia. Banyak Guru dan Dosen yang diperbantukan di luar negeri
untuk menjadi dosen tamu.
Saat ini, Indonesia adalah negara besar yang gemuk, namun tidak bisa
memberikan kontribusi apapun bagi warganya. Tidak ada lagi mahasiswa luar
yang tertarik dengan kampus-kampus nasional. WNI yang ada diluar negeri,
bukan lagi para guru, dosen ataupun tenaga ahli, namun tenaga rendahan, pekerja
bangunan, dan para pembantu rumah tangga yang sering mendapatkan perlakuan
kasar majikan.
Berdasarkan data dari Litbang Kompas (dalam
http://www.pendidikankarakter.com/pentingnya-pendidikan-karakter-dalam-
dunia-pendidikan/) disebutkan beberapa data yang mencengangkan terkait
korupsi sebagai berikut 158 kepala daerah tersangkut korupsi sepanjang 2004-
2011, 42 anggota DPR terseret korupsi pada kurun waktu 2008-2011, 30 anggota
DPR periode 1999-2004 terlibat kasus suap pemilihan DGS BI, Kasus korupsi

2
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme. Alih bahasa oleh Khalif
Muammar, Usep Muhammad Ishaq, dkk. (Bandung: Institut Pemikiran Islam dan Pengembangan
Insan PIMPIN, 2010), hlm. 23
37

terjadi diberbagai lembaga seperti KPU,KY, KPPU, Ditjen Pajak, BI, dan
BKPM.
Apa yang bisa diharapkan dengan bangsa dan negara ini. Media informasi
mulai media cetak sampai elektronik tiap harinya tak pernah kehabisan bahan
untuk pemberitaan. Kriminal dan kejahatan tak ubahnya air, terus mengalir tanpa
henti. Belum usai satu kasus kriminal, datang lagi kasus lain. Karena seringnya,
rasa-rasanya kita muak mendengar pemberitaan semacam itu. Hukum menjadi
sangat tajam bagi rakyat biasa, sementara untuk para pejabat menjadi semakin
tumpul. Hati nurani menjadi tidak berdaya menemukan kebenaran apabila norma-
norma yang biasanya dipakai sebagai landasan pertimbangan menjadi tidak
pasti.
3

Pertanyaan yang muncul dalam pikiran kita adalah bagaimana dengan
pendidikan nasional kita, sudah berhasilkah mencetak para sarjana yang berilmu
pengetahuan, beriman dan bertakwa, atau justru sebaliknya. Pendidikan nasional
telah gagal mengantarkan generasi bangsa sesuai yang diharapkan para pejuang
dan leluhur bangsa ini.
Langkah yang diambil bangsa Indonesia dalam menghadapi persoalan
krisis multidimensi ini adalah rekonstruksi moral secara total dengan membangun
kembali karakter dan jati diri bangsa.

B. Pembahasan
1. Krisis Karakter Menjadi Realitas Nyata
Dalam kasus Indonesia, krisis karakter, mengakibatkan bangsa Indonesia
kehilangan kemampuan untuk mengerahkan potensi masyarakat guna mencapai
cita-cita bersama. Krisis karakter ini seperti penyakit akut yang terus menerus
melemahkan jiwa bangsa, sehingga bangsa kita kehilangan kekuatan untuk
tumbuh dan berkembang menjadi bangsa yang maju dan bermartabat di tengah-
tengah bangsa lain di dunia.Krisis karakter di Indonesia tercermin dalam banyak
fenomena sosial ekonomi yang secara umum dampaknya menurunkan kualitas
kehidupan masyarakat luas.
Korupsi, mentalitas peminta-minta, konflik horizontal dengan kekerasan,
suka mencari kambing hitam, kesenangan merusak diri sendiri, adalah beberapa
ciri masyarakat yang mengalami krisis karakter. Korupsi, korupsi adalah salah
satu bentuk krisis karakter yang dampaknya sangat buruk bagi bangsa Indonesia.
Korupsi menjadi penghambat utama kemajuan ekonomi bangsa ini, dan pada
gilirannya menjadi sumber dari berkembangnya kemiskinan di Indonesia. Dalam
pergaulan internasional, posisi Indonesia sebagai salah satu negara yang terkorup
di dunia telah menyebabkan bangsa ini kehilangan martabat di tengah-tengah
bangsa lain. Korupsi terjadi karena orang-orang kehilangan beberapa karakter
baik, terutama sekali kejujuran , pengendalian diri (self regulation), dan tanggung
jawab sosial.

3
Purwo Hardiwaroyo, Moral dan Masalahnya, (Yogyakarta : Kanisius, 1990), hlm. 9
38

Indonesia dipandang sebagai salah satu negara dengan tingkat korupsi
tertinggi di dunia. Namun, di pihak lain masyarakat Indonesia nampaknya adalah
masyarakat yang sangat rajin melakukan kegiatan keagamaan. Bahkan tidak
jarang orang Indonesia membanggakan diri sebagai masyarakat yang hidupnya
sangat religius, dan sepanjang yang saya ketahui, tindakan korupsi, atau
mengambil yang bukan haknya atau milik orang lain, seperti juga mencuri,
dilarang oleh semua agama. Sungguh sebuah keganjilan bahwa masyarakat
yang merasa riligius namun negaranya penuh korupsi.
Lebih memprihantinkan lagi adalah bahwa menurut salah seorang penjabat
KPK, lembaga negara yang paling korup adalah Departemen Agama . Apabila
pernyataan tersebut didasarkan pada data yang dapat dipercaya, maka hal ini
adalah contoh yang paling nyata dari hipokrisi di Indonesia, di samping sekian
banyak contoh yang lain. Hipokrisi atau kemunafikan mengandung arti kepura-
puraan atau menyuruh atau menasihati orang lain melakukan hal yang baik
namun dia sendiri melakukan hal sebaliknya. Lebih parahnya lagi, hampir semua
tahanan memiliki nama yang berbau religious.
Kesenangan mencari kambing hitam. Kebiasaan menimpakan kesalahan
kepada orang lain, merupakan salah satu karakter yang menghambat kemajuan.
Ini bukan kekuatan, namun kelemahan. Di masa lalu kita masih sering mendengar
banyak orang menyatakan bahwa sulitnya Indonesia mencapai kemajuan lama
sesudah kemerdekaan adalah akibat ulah penjajah Belanda.
Dalam mencari penyebab rusaknya ekonomi Indonesia sekarang kita punya
kambing hitam baru, konpirasi Amerika Serikat, IMF, World Bank, dan akibat
dominasi golongan minoritas. Seandainya sinyalemen itu benar, sebenarnya ada
cara bertanya yang lain: Apa yang salah dengan bangsa kita yang menyebabkan
kita beratus-ratus tahun bisa dijajah oleh Belanda -kerajaan yang sangat kecil dari
jumlah penduduk dan luas wilayah; bisa menjadi korban konspirasi Amerika
Serikat, IMF dan World Bank, dan kelompok mayoritas belum bisa menguasai
sebagaian besar kegiatan ekonomi di Indonesia ? Pertanyaan terakhir ini jarang
sekali dikemukakan, karena adanya arogansi bahwa kami selalu benar.
Akibatnya, bangsa kita kurang bisa belajar dari pengalamannya sendiri, dan
kurang mampu berubah ke arah yang lebih baik karena merasa bahwa tak ada
yang perlu diperbaiki pada diri kita.
Disengagement atau ketidakpedulian telah menjadi bagian penting dari
ekspresi sosial publik sebagai respons atas ketidakpastian yang dialami. Sikap ini
juga merupakan pernyataan tentang hilangnya harapan masyarakat akan terjadinya
perbaikan dalam hidup mereka. Bentuk-bentuk ekspresi masyarakat tersebut
merupakan tanda perlunya perenungan yang seksama tentang orientasi
pembangunan nasional selama ini.
4



4
Sujarwadi, Reorientasi Pembangunan Nasional: Menuju Indonesia Yang Berdaulat dan
Bermartabat, Orasi Ilmiah Peringatan Dies Natalis ke-58 UGM, Yogyakarta, 19 Desember 2007,
hlm. 9

39


2. Pentingnya Pendidikan Karakter
Kata karakter (Inggris: character) berasal dari bahasa Yunani (Greek),
yaitu charassein yang berarti to engrave. Kata to engrave bisa
diterjemahkan mengukir, melukis, memahatkan, atau menggoreskan
5
. Dalam
Kamus Bahasa Indonesia kata karakter diartikan dengan tabiat, sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang
lain, dan watak. Karakter juga bisa berarti huruf, angka, ruang, simbul khusus
yang dapat dimunculkan pada layar dengan papan ketik. Manusia berkarakter
berarti orang yang berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, atau berwatak.
Dengan makna seperti ini berarti karakter identik dengan kepribadian atau
akhlak. Kepribadian merupakan ciri atau karakteristik atau sifat khas dari diri
seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari
lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan sejak lahir.
6

Pengertian karakter secara istilah dikemukakan oleh Thomas Lickona.
Menurutnya karakter adalah A reliable inner disposition to respond to situations
in a morally good way. Selanjutnya Lickona menambahkan, Character so
conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral
behavior.
7
Menurut Lickona, karakter mulia (good character) meliputi
pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap
kebaikan, dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan. Dengan kata lain,
karakter mengacu kepada serangkaian pengetahuan (cognitives), sikap (attitides),
dan motivasi (motivations), serta perilaku (behaviors) dan keterampilan (skills).
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa karakter identik dengan
akhlak, sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal
yang meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan
Tuhannya, dengan dirinya, dengan sesama manusia, maupun dengan
lingkungannya, yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan
perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, dan adat
istiadat. Dari konsep karakter ini muncul konsep pendidikan karakter (character
education).
Untuk melengkapi pengertian tentang karakter ini akan dikemukakan juga
pengertian akhlak, moral, dan etika. Kata akhlak berasal dari bahasa Arab al-
akhlaq yang merupakan bentuk jamak dari kata al-khuluq yang berarti budi
pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat
8
. Sedangkan secara terminologis,
akhlak berarti keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan

5
Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia,
1987), Cet. XV, hlm. 214
6
Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global,
(Jakarta: Grasindo, 2007), Cet. I. Hlm. 80.
7
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and
Responsibility, ( New York, Toronto, London, Sydney, Aucland: 1991), hlm. 51.
8
Hamzah Yaqub, Etika Islam: Pembinaan Akhlaqulkarimah (Suatu Pengantar),
(Bandung: CV Diponegoro, 1988), Cet. IV, hlm. 11
40

dengan tidak menghajatkan pikiran. Inilah pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu
Maskawaih. Sedang al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai suatu sifat yang
tetap pada jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah,
dengan tidak membutuhkan kepada pikiran.
9

Pendidikan karakter menjadi kunci terpenting kebangkitan Bangsa
Indonesia dari keterpurukan untuk menyongsong datangnya peradaban baru. Di
Indonesia, akhir-akhir ini menjadi isu yang sangat hangat sejak Pendidikan
Karakter dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada
saat Peringatan Hari Pendidikan Nasional, pada tanggal 2 mei 2010 lalu.Tekad
Pemerintah tersebut bertujuan untuk mengembangkan karakter dan budaya
bangsa sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan Nasional yang
harus didukung secara serius.Karakter bangsa dapat dibentuk dari program-
program pendidikan atau dalam proses pembelajaran yang ada di dalam kelas.
Akan tetapi, apabila pendidikan memang bermaksud serius untuk membentuk
suatu karakter generasi bangsa, ada banyak hal yang harus dilakukan, dan
dibutuhkan penyadaran terhadap para pendidik dan juga terhadap pelaksana
kebijakan pendidikan.
Berkaitan dengan proses kebudayaan yang secara umum sedang berjalan,
dan juga memliki kemampuan untuk mengarahkan kesadaran,membentuk cara
pandang, dan juga membangun karakter generasi muda.Artinya, karakter yang
menyangkut cara pandang dan kebiasaan siswa, remaja, dan juga kaum muda
secara umum sedikit sekali yang dibentuk dalam ruang kelas atau sekolah, akan
tetapi lebih banyak dibentuk oleh proses sosial yang juga tak dapat dilepaskan
dari proses ideoogi dan tatanan material-ekonomi yang sedang berjalan.
Mendidik budaya dan karakter bangsa adalah mengembangkan nilai-nilai
Pancasila pada diri peserta didik melalui Pendidikan hati, otak, dan
fisik.Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam
mengembangkan potensi peserta didik.Pendidikan adalah suatu usaha masyarakat
dan bangsa dalam mempersiapkan generasi muda bagi keberlangsungan
kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa
depan.Keberlangsungan tersebut dapat ditandai oleh pewarisan budaya dan
karakter yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa.Oleh karena itu, pendidikan
merupakan proses pewarisan budaya dan karakter bangsa bagi generasi muda dan
juga proses pengembangan budaya karakter bangsa untuk meningkatkan kualitas
kehidupan masyarakat dan bangsa di masa mendatang.
Dalam proses pendidikan budaya dan karakter bangsa, secara aktif peserta
didik mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses interalisasi, dan
penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian dalam bergaul di masyarakat,
mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta
mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat. Pendidikan budaya dan
karakter bangsa dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai

9
Rachmat Djatnika, Sistem Etika Islami, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996), hlm. 27
41

budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga memiliki nilai dan
karakter sebagai karakter diri, yang menerapkan nilai-nilai tersebut dalam
kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan warga Negara yang religius,
nasionalis, produktif dan kreatif.Atas dasar pemikiran itu, pengembangan
pendidikan budaya dan karakter sangat strategis bagi keberlangsungan dan
keunggulan bangsa di masa mendatang.
Perkembangan tersebut harus dilakukan melalui perencanaan yang baik,
pendekatan yang sesuai, dengan metode belajar serta pembelajaran yang
efektif.Sesuai dengan sifat suatu nilai, pendidikan budaya dan karakter bangsa
adalah usaha bersama sekolah oleh karenanya harus dilakukan secara bersama
oleh semua guru dan pemimpin sekolah, melalui semua mata pelajaran, dan
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya sekolah.
Fungsi Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa adalah perkembangan
potensi peserta didik agar menjadi berperilaku baik, dan bagi peseta didik yang
telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan budaya dan karakter
bangsa, untuk memperkuat pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam
perkembangan potensi peserta didik yang bermartabat, dan juga untuk menyaring
budaya bangsa sendiri dengan bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.
Atas dasar itulah maka pendidikan karakter menjadi amat penting.
Pendidikan karakter menjadi tumpuan harapan bagi terselamatkanya bangsa dan
negeri ini dari jurang kehancuran yang lebih dalam. Meski hingga saat ini belum
ada rumusan tunggal tentang pendidikan karakter yang efektif, tetapi barangkali
tidak ada salahnya jika kita mengikuti nasihat dari Character Education
Partnership bahwa untuk dapat mengimplementasikan program pendidikan
karakter yang efektif, seyogyanya memenuhi beberapa prinsip berikut ini:
10

1. Komunitas sekolah mengembangkan dan meningkatkan nilai-nilai inti etika
dan kinerja sebagai landasan karakter yang baik.
2. Sekolah berusaha mendefinisikan karakter secara komprehensif, di
dalamnya mencakup berpikir (thinking), merasa (feeling), dan melakukan
(doing).
3. Sekolah menggunakan pendekatan yang komprehensif, intensif, dan proaktif
dalam pengembangan karakter.
4. Sekolah menciptakan sebuah komunitas yang memiliki kepedulian
tinggi.(caring)
5. Sekolah menyediakan kesempatan yang luas bagi para siswanya untuk
melakukan berbagai tindakan moral (moral action).
6. Sekolah menyediakan kurikulum akademik yang bermakna dan menantang,
dapat menghargai dan menghormati seluruh peserta didik, mengembangkan

10
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2011/07/31/degradasi-moral-dan-prinsip-
pendidikan-karakter
42


karakter mereka, dan berusaha membantu mereka untuk meraih berbagai
kesuksesan.
7. Sekolah mendorong siswa untuk memiliki motivasi diri yang kuat
8. Staf sekolah ( kepala sekolah, guru dan TU) adalah sebuah komunitas belajar
etis yang senantiasa berbagi tanggung jawab dan mematuhi nilai-nilai inti
yang telah disepakati. Mereka menjadi sosok teladan bagi para siswa.
9. Sekolah mendorong kepemimpinan bersama yang memberikan dukungan
penuh terhadap gagasan pendidikan karakter dalam jangka panjang.
10. Sekolah melibatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam
upaya pembangunan karakter
11. Secara teratur, sekolah melakukan asesmen terhadap budaya dan iklim
sekolah, keberfungsian para staf sebagai pendidik karakter di sekolah, dan
sejauh mana siswa dapat mewujudkan karakter yang baik dalam kehidupan
sehari-hari.

3. Identifikasi dan Solusi
Persoalan karakter yang muncul di Negara kita ini bukan sebuah persoalan
yang sederhana dan tentu tidak dapat dianggap sebagai suatu kewajaran. Krisis
karakter ini bahkan sekarang sudah menjalar ke berbagai sektor dan semua lini
kehidupan, mulai dari birokrat, pengusaha, pegawai, pejabat sampai rakyat kecil,
semuanya sangat berpotensi melakukan hal-hal yang tidak terpuji. Apabila ada
kesempatan, disitu pasti terjadi praktek KKN.
Melihat hal tersebut sebenarnya ada jalan keluar yang mampu menjadi
solusi yang tepat untuk permasalahan ini. Solusi yang paling tepat untuk masalah
ini bukan dengan meminta bantuan utang atau tenaga ahli sebanyak-banyaknya
dari negara lain. Karena berapa pun bantuan dan utang yang dikucurkan oleh
lembaga keuangan dunia serta berapa pun tenaga ahli yang dikirimkan tidak akan
mampu menjadi solusi yang baik bahkan sia-sia jika tidak didukung oleh
character and nation building oleh bangsa Indonesia. Jadi , solusi itu adalah
dengan membangun dan menata kembali karakter dan watak bangsa kita sendiri.
Namun hal ini dirusak oleh bangsa Indonesia sendiri sejak dulu, sejak jatuhnya
masa orde baru yaitu ketika kehidupan politik, budaya dan ideologi bangsa juga
mengalami krisis. Hal ini juga makin diperparah dengan terpecah belahnya
kesatuan wilayah dan hati bangsa Indonesia. Itu menyebabkan upaya perbaikan
nasib rakyat menjadi lebih buruk di bandingkan sebelumnya.
Membangun karakter bangsa adalah satu-satunya solusi yang tepat dalam
menghadapi krisis ini. Hal yang menakjubkan ini hanya pernah di terapkan oleh
presiden pertama kita yaitu Bung Karno pada saat itu bangsa Indonesia masih
memiliki kebanggan sebagai bangsa Indonesia dengan karakternya sendiri, yaitu
kesatuan seluruh wilayah dan hati bangsa Indonesia serta kepercayaan diri bangsa
Indonesia yang tinggi sehingga mampu menjadi bangsa yang patut dibanggakan.
Namun, fondasi karakter itu telah rusak karena tidak di teruskan semangatnya
oleh penerus selanjutnya sehingga fondasi karakter bangsa ini rusak. Sehingga
43

yang ada pada saat ini utang semakin membumbung korupsi merajalela, pejabat
bias di beli, rasa persatuan berkurang, dan konflik antar bangsa Indonesia sudah
makin luntur. Namun, semua hal itu bias ditanggulangi kembali dengan memupuk
dan membangun rasa persatuan di berbagai bidang. Rasa persatuan ini memicu
bangsa Indonesia untuk terus bekerja sama dalam menghadapi krisis
multidimensial ini. Dan persatuan itulah yang menjadi karakter kita.
Konsep pendidikan yang dibuat tidak lagi mengacu pada konsep barat
namun mengedepankan karakter dan budaya bangsa Indonesia, yang bermartabat
dan berbudi luhur. Jadilah bangsa yang percaya diri, bangsa yang berdiri di atas
kaki sendiri, termasuk mendesain konsep pendidikan nasional.

C. Penutup
1. Kesimpulan
Pendidikan nasional tidak dapat dipisahkan dari usaha bangsa kita untuk
membangun suatu masyarakat Indonesia baru dengan berdasarkan kebudayaan
nasional. Berbagai krisis yang terjadi menunjukkan bahwa masih sangat banyak
kepincangan dalam perubahan yang terjadi. Pendidikan Indonesia dewasa ini
telah terlempar dari kebudayaan, dan telah menjadi alat dari suatu orde ekonomi,
atau alat sekelompok penguasa untuk mewujudkan cita-citanya yang tidak selalu
sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Krisis multidimensi yang menjadi persoalan bangsa. Hal ini terjadi karena
bangsa ini tidak percaya diri dalam membangun dan mengkonsep untuk
kemajuan bangsa. Menjadi bangsa yang berdiri di atas kaki sendiri, akan
mengembalikan kedaulatan, menjagi bangsa yang berbudaya dan bermartabat.
Pendidikan yang didesign bukan lagi pendidikan yang meniru Negara lain.
Konsep pendidikan dibuat berdasarkan karakter masyarakat dengan
mengedepankan norma, nilai, dan budaya yang berkembang.

2. Saran
Peran pendidikan seharusnya dipahami bukan saja dalam konteks mikro,
namun juga dalam konteks makro, yaitu kepentingan masayarakat yang dalam hal
ini termasuk masyarakat bangsa, negara dan masyarakat dunia. Hubungan
pendidikan dengan masyarakat mencakup hubungan pendidikan dengan
perubahan sosial, tatanan ekonomi, politik, dan negara. Oleh karena pendidikan
terjadi di masyarakat, dengan sumber daya masyarakat, dan untuk masyarakat,
maka pendidikan dituntut untuk mampu memperhitungkan dan melakukan
antisipasi terhadap perkembangan sosial, ekonomi, politik, dan kenegaraan secara
silmultan.






44

DAFTAR PUSTAKA


Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam dan Sekularisme. Alih bahasa oleh
Khalif Muammar, Usep Muhammad Ishaq, dkk. Bandung: Institut
Pemikiran Islam dan Pengembangan Insan PIMPIN, 2010

Djatnika, Rachmat, Sistem Etika Islami, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996

Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta:
Gramedia, 1987

Fachtul Muin, Pendidikan Karakter Konstruksi Teoritik dan praktik.Yogyakarta :
Arr-ruzz Media, 2011

Hardiwaroyo, Purwo, Moral dan Masalahnya, Yogyakarta : Kanisius, 1990

Koesoema A, Doni, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman
Global, Jakarta: Grasindo, 2007

Lickona, Thomas, Educating for Character: How Our School Can Teach Respect
and Responsibility, New York, Toronto, London, Sydney, Aucland: 1991

Rachman, Maman, Reposisi, Reevaluasi, dan Redefinisi Pendidikan Nilai Bagi
Generasi Muda Bangsa. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Tahun Ke-7,
2000.

Suhartono, Suparlan, Filsafat Pendidikan, Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2009

Sujarwadi, Reorientasi Pembangunan Nasional: Menuju Indonesia Yang
Berdaulat dan Bermartabat, Orasi Ilmiah Peringatan Dies Natalis ke-58
UGM, Yogyakarta, 19 Desember 2007

Toer, Pramoedya Ananta, Anak Semua Bangsa.Jakarta : Lentera Dipantar, 2006.

Yaqub, Hamzah, Etika Islam: Pembinaan Akhlaqulkarimah (Suatu Pengantar),
Bandung: CV Diponegoro, 1988

Zuriah, Nurul, Pendidikan Moral & Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan,
Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2011/07/31/degradasi-moral-dan-prinsip-
pendidikan-karakter

Depdiknas, Undang-undang No. 20 tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional,
www.depdiknas.go.id
45

PENANAMAN PENDIDIKAN AQIDAH PADA ANAK USIA DINI
Khaerudin
1

khaerudin77@yahoo.com


Abstrak


Penanaman Aqidah harus mendapatkan perhatian besar dari para guru.
Menanamkan ke dalam jiwa anak tentang ke-Esaan Allah SWT, dan menjauhkan
mereka dari perbuatan syirik. Ini dilakukan dengan menunjukkan dalil-dalil logis
dan bukti-bukti yang masuk akal bagi anak-anak tentang keberadaan Allah.
Pendidikan anak usia dini yang berbasis aqidah bertujuan untuk
membentuk anak yang berkepribadian Islam, yaitu memiliki aqidah Islam sebagai
landasan ketika berpikir dan bersikap didalam menjalani kehidupan.
Anak yang memiliki kepribadian Islam adalah anak yang memiliki
kelebihan dalam banyak hal, sehingga mereka bisa dikatakan sebagai anak
unggul. Anak unggul adalah anak yang terarah cara berpikir dan bersikapnya
berdasarkan aqidah Islam dan memiliki kemampuan serta keterampilan yang bisa
ia gunakan untuk kehidupannya sendiri maupun kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.
Tujuan pendidikan aqidah kepada anak adalah untuk, (1) memperkokoh
keyakinan anak bahwa Allah-lah satu-satunya Tuhan pencipta alam, sehingga dia
terhindar dari perbutan syirik, (2) agar anak mengetahui hakikat keberadaannya
sebagai manusia makhluk Allah, dan (3) mencetak tingkah laku anak menjadi
tingkah laku yang Islami yang berakhlaq mulia.


Kata Kunci: Pendidikan Aqidah, Anak Usia Dini



A. Pendahuluan
Pendidikan kita saat ini, terkadang hanya terfokus pada pengembangan
kecerdasan intelektual (IQ) saja dan memisahkan antara ilmu agama dan ilmu
pengetahuan. Sehingga menghasilkan manusia-manusia cerdas tapi kosong dari
nilai-nilai spiritual. Inilah masalah substansial yang terjadi pada saat sekarang ini,
yaitu paradigma yang memandang kecerdasan intelektual (IQ) sebagai satu-


1
Khaerudin, S.Pd.I. M.Pd. adalah Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Pemalang

46

satunya tolak ukur kecerdasan manusia. Sehingga keberhasilan pendidikan diukur
hanya dengan pencapaian tingkat IQ dalam bentuk nilai-nilai ujian. Tim Peneliti
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama.
2

IQ (Intellectual Quotient)/kecerdasan intelektual yang sejak awal hingga
saat ini diagungkan oleh orang tua dan praktisi pendidikan, dalam kenyataanya
tidak sepenuhnya mendukung kesuksesan seseorang, banyak orang secara
intelektual berhasil dibuktikan dengan nilai rapor dan hasil ujian yang bagus akan
tetapi setelah dewasa kehidupanya tidak berhasil secara sosio emosionalnya.
Karena itulah kecerdasan lain yang ada pada manusia perlu dikembangkan.
Temuan terakhir riset ilmiah menunjukkan bahwa kecerdasan manusia, di
samping intelektual, juga terdiri dari kecerdasan emosional dan kecerdasan
spiritual.
3

Kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali perasaan kita sendiri
dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan
mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan
orang lain. Sedangkan kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang bertumpu
pada bagian diri kita yang berhubungan dengan kearifan di luar ego, atau jiwa
sadar. Inilah kecerdasan yang kita gunakan untuk mengetahui nilai-nilai yang ada.
Kecerdasan ini berkenaan dengan penghayatan pada Tuhan dan nilai-nilai
ketuhanan.
4
dalam Islam disebut dengan aqidah.
Untuk itu dalam proses pendidikan harus ditanamkan aqidah yang benar
untuk menggabungkan tiga unsur kecerdasan yakni kecerdasan intelektual,
kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual. Sehingga mampu menciptakan
generasi intelektual yang beradab karena memiliki akhlaqul karimah, dan itu
harus dimulai sedini mungkin, karena pada saat anak berumur 0-8 tahun, saat
itulah landasan keberhasilan seorang anak dibangun.
Rasulullah SAW bersabda:

yang artinya tuntutlah


ilmu dari buaian sampai ke liang lahat. Hadits tersebut menekankan betapa
pentingnya seseorang belajar sedini mungkin, bahkan sejak dalam buaian. Inilah
peletak dasar pentingnya pendidikan usia dini dalam Islam. Sejak dini anak harus
diberikan berbagai ilmu (dalam bentuk berbagai rangsangan/stimulan). Mendidik
anak pada usia dini ibarat mengukir di atas batu yang tidak akan mudah hilang,
bahkan akan melekat selamanya. Artinya, pendidikan pada anak usia dini akan
melekat dalam jiwa anak hingga ia dewasa. Pendidikan pada usia ini adalah
peletak dasar bagi pendidikan anak selanjutnya. Keberhasilan pendidikan usia
dini sangat berperan besar bagi keberhasilan anak di masa-masa selanjutnya.
Anak usia dini merupakan individu yang berbeda, unik, dan memiliki
karakteristik tersendiri sesuai dengan tahapan usianya. Masa usia dini merupakan

2
Tim Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, Paradigma Baru Pembelajaran
Keagamaan di Madrasah Ibtidaiyah (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta,
2008), p. 92.
3
Ibid., p. 93.
4
. Ibid., pp. 95-114.
47

masa keemasan (golden age) dimana stimulasi seluruh aspek perkembangan
berperan penting untuk tugas perkembangan selanjutnya. Perlu disadari bahwa
masa-masa awal kehidupan anak merupakan masa terpenting dalam rentang
kehidupan seseorang anak. Pada masa ini pertumbuhan otak sedang mengalami
perkembangan yang sangat pesat (eksplosif). Perkembangan pada tahun-tahun
pertama sangat penting menentukan kualitas anak di masa depan. Perkembangan
intelektual anak usia 4 tahun telah mencapai 50%, pada usia 8 tahun mencapai
80% dan pada saat mencapai sekitar 18 tahun perkembangan telah mencapai
100%. Tim Balai Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan
Nasional.
5

Aqidah tidak boleh hanya dipahami sebagai keyakinan pada Rukun Iman
saja, yaitu iman pada Allah, malaikat Allah, Kitab-kitab Allah, nabi, hari akhir,
dan qadla-qadar saja, tetapi aqidah juga harus dipahami sebagai bagaimana kita
menjalankan semua yang telah diperintahkan oleh Allah dan beribadah
kepadanya, serta bagaimana menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam
aqidah yang kita yakini. Karena aqidah akan menuntun kita untuk senantiasa taat
pada Allah, dan yakin bahwa aturanNya adalah benar.
Aqidah akan menuntun kita untuk senantiasa taat pada Allah, dan yakin
bahwa aturanNya adalah benar. Maka dari sinilah konsep pendidikan harusnya
ada. Pendidikan bertujuan untuk mewujudkan insan-insan yang tidak hanya
qualified di bidang Iptek saja sementara kosong moral, tapi insan-insan yang
qualified dalam Imtaq dan Iptek.
Pendidikan anak usia dini yang berbasis aqidah bertujuan untuk membentuk
anak yang berkepribadian Islam, yaitu memiliki aqidah Islam sebagai landasan
ketika berpikir dan bersikap didalam menjalani kehidupan. Anak yang memiliki
kepribadian Islam adalah anak yang memiliki kelebihan dalam banyak hal,
sehingga mereka bisa dikatakan sebagai anak unggul. Anak unggul adalah anak
yang sholeh/sholehah, cerdas, sehat dan pemimpin. Anak unggul adalah anak
yang terarah cara berpikir dan bersikapnya berdasarkan aqidah Islam dan
memiliki kemampuan serta keterampilan yang bisa ia gunakan untuk
kehidupannya sendiri maupun kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sehingga
mereka siap menjadi pemimpin di masa mendatang yang akan memberi
sumbangan yang besar bagi kemajuan peradab suatu bangsa di mana mereka
hidup. Fatimah Arif Susila.
6

Pendidikan aqidah berfungsi menanamkan keimanan pada diri anak
sebagai bekal kehidupannya di masa depan. Keimanan adalah modal utama untuk
mengembangkan apa yang disebut Howard Gardner sebagai Kecerdasan Spiritual
(Spiritual Quotient) yang menjadi salah satu dari ragam kecerdasan majemuk

5
Tim Balai Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional, Konsepsi
Pengembangan Kurikulum Inovatif Penerapan Pembelajaran Berbasis Alam Pendidikan Anak Usia
Dini Formal Dan Nonformal (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2005), p. 1.
6
Fatimah Arif Susila, Kurikulum PAUD Berbasis Islam,
http://paudanakceria.wordpress.com/ (diakses pada tanggal 1 Desember 2010), p. 3.
48

(multiple intelligence). Kecerdasan spiritual tidak boleh dianggap remeh dalam
kehidupan. Ia berfungsi sebagai semacam life-skill (kecakapan hidup) untuk
membangun kehidupan berkualitas. Howard Gardner.
7


B. Pendidikan Aqidah
Dalam era otonomi daerah dan disentralisasi pendidikan, perwujudan
pendidikan berbasis masyarakat (Community Based Education) telah membaur
dan menjadi gerak langkah para pendidik dan tenaga kependidikan di seluruh
wilayah Indonesia, walaupun dalam perwujudannya masih dalam pencarian
bentuk yang sesuai dengan kondisi daerah dan pola dasar pengembangan
pendidikan kota masing-masing.
Undang-undang Pendidikan Nasional menyuratkan tentang pendidikan
berbasis masyarakat yang didalamnya disebutkan bahwa Pendidikan Berbasis
Masyarakat adalah Penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama,
sosial, budaya, aspirasi dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan
dari, oleh dan untuk masyarakat.
Konsep tersebut sangat mendukung dan merupakan pilar penyangga
pengembangan pendidikan anak usia dini baik di Kelompok Bermain maupun di
Taman Kanak-kanak, namun belum tentu konsep pendidikan berbasis aqidah
dapat dilaksanakan kalau kebutuhan masyarakat menganut nilai-nilai budaya
yang berbeda dengan Islam.
Pengembangan pendidikan Kelompok Bermain maupun di Taman Kanak-
kanak sangat membutuhkan pemberdayaan peran serta masyarakat baik dalam
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pembinaan, pengawasan dan
evaluasi berbagai penyelenggaraan program pendidikan maupun dalam
penyediaan sumber daya pendukung pengadaan keberlangsungan program
pendidikan, sehingga daya serap lembaga pendidikan Kelompok Bermain dan
Taman Kanak-kanak terhadap anak kelompok umur 4-6 tahun secara bertahap
dapat ditingkatkan. Di samping itu, penerapan konsep pendidikan anak usia dini
tersebut, kalau tidak didasari dengan aqidah akan menjadi gersang dan akan
melahirkan anak didik besar kepala, sehat jasmani namun buta hati nurani.
Pendidikan dalam arti luas berarti sebuah proses untuk mengembangkan
semua aspek kepribadian manusia, yang mencakup pengetahuan, nilai dan sikap
serta keterampilannya untuk mencapai kepribadian individu yang lebih baik. Nilai
tersebut mencakup nilai-nilai religi, kebudayaan, sains dan teknologi, seni, dan
keterampilan, yang ditransformasikan dalam rangka mempertahankan bahkan
kalau perlu mengubah kebudayaan yang dimiliki masyarakat. Uyoh Saadullah.
8

Di dalam Islam, M. Yusuf Qardhawi memberikan pengertian bahwa
pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani

7
Howard Gardner, Frame of Mind: the Theory of Multiple Inte igences (New York: Basic
Books. 1993), p. 5.
88
Uyoh Saadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan (Jakarta: Alfabeta, 2003), p. 57.
49

dan jasmaniahnya, akhlak dan keterampilannya. Karena itu, pendidikan Islam
bertujuan untuk menyiapkan manusia hidup lebih baik dalam keadaan apapun.
9

Sementara itu, Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai
satu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan ilmu
pengetahuan dan nilai-nilai Islam, diselaraskan dengan fungsi manusia untuk
beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.
10

Manusia menurut Islam adalah makhluk Allah yang paling mulia, yang
terdiri dari jiwa dan raga dan masing-masing mempunyai kebutuhan tersendiri.
Manusia adalah makhluk rasional sekaligus mempunyai hawa nafsu kebinatangan,
ia mempunyai organ-organ kognitif semacam hati (qalb), akal, kemampuan-
kemapuan fisik, intelektual,pandangan kerohanian, pengalaman dan kesadaran.
Dengan berbagai macam potensi tersebut, manusia dapat menyempurnakan
kemanusiaannya sehingga menjadi pribadi yang dekat dengan Tuhan. Tetapi
sebaliknya, ia dapat pula menjadi makhluk yang paling hina karena dibawa oleh
kecenderungan hawa nafsu dan kebodohannya.
11

Oleh karena itu, pendidikan yang pertama kali diajarkan dalam Islam
adalah pendidikan tentang ketauhidan atau aqidah. Seperti yang tertera dalam
Alquran tentang hal yang pertama kali diajarkan Luqmanul Hakim kepada
anaknya untuk tidak menyekutukan Allah. Disinilah urgensi aqidah dalam
pendidikan Islam, yaitu sebagai dasar dari semua proses pendidikan.
Kata aqidah dalam kamus Lisaanul Arab, al-Qaamuusul Muhiith dan al-
Mujamul Wasiith diambil dari kata dasar al-aqdu yang bermakna ikatan,
ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan.
Sedang pengertian aqidah dalam agama maksudnya adalah berkaitan dengan
keyakinan bukan perbuatan atau apa yang telah menjadi ketetapan hati seorang
secara pasti baik itu benar ataupun salah. Abdullah Abdul Hamid.
12

Secara terminologi aqidah dapat diartikan sebagai perkara yang wajib
dibenarkan oleh hati dan jiwa menjadi tenteram karenanya, sehingga menjadi
suatu kenyataan yang teguh dan kokoh, yang tidak tercampuri oleh keraguan dan
kebimbangan. Dengan kata lain, keimanan yang pasti tidak terkandung suatu
keraguan apapun pada orang yang menyakininya, dan harus sesuai dengan
kenyataannya; yang tidak menerima keraguan atau prasangka. Jika hal tersebut
tidak sampai pada singkat keyakinan yang kokoh, maka tidak dinamakan aqidah.
Dinamakan aqidah, karena orang itu mengikat hatinya diatas hal tersebut.
Aqidah Islamiyyah maknanya adalah keimanan yang pasti teguh dengan
Rububiyyah Allah Taala, Uluhiyyah-Nya, para Rasul-Nya, hari Kiamat, takdir
baik maupun buruk, semua yang terdapat dalam masalah yang ghaib, pokok-

9
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru
(Jakarta: Logos, 2000), p. 5.
10
Ibid.,p.5.
11
Ibid.,p.7.
12
Abdullah Abdul Hamid, Definisi Aqidah, http://abuamincepu. wordpress. Com /2008
/02/19/ pengertian-akidah/, (diakses pada tanggal 10 Desember 2010), p. 1.
50

pokok agama dan apa yang sudah disepakati oleh Salafush Shalih dengan
ketundukkan yang bulat kepada Allah Taala baik dalam perintah-Nya, hukum-
Nya maupun ketaatan kepada-Nya serta meneladani Rasulullah SAW.
13

Tetapi aqidah tidak boleh hanya dipahami sebagai keyakinan pada Rukun
Iman saja, yaitu iman pada Allah, malaikat Allah, Kitab-kitab Allah, Rasul-
rasulnya, hari akhir, dan qadla-qadar saja, tetapi aqidah juga harus dipahami
sebagai bagaimana kita menjalankan semua yang telah diperintahkan oleh Allah
dan beribadah kepadanya, serta bagaimana menerapkan nilai-nilai yang
terkandung dalam aqidah yang kita yakini. Karena aqidah akan menuntun kita
untuk senantiasa taat pada Allah, dan yakin bahwa aturanNya adalah benar. Maka
dari sinilah konsep pendidikan harusnya ada. Pendidikan bertujuan untuk
mewujudkan insan-insan yang tidak hanya qualified di bidang Iptek saja
sementara kosong moral, tapi insan-insan yang qualified dalam Imtaq dan
Iptek.
Dari segi IQ anak didik harus dirangsang terus untuk semakin
meningkatkan pengetahuan dan keahliannya, dari segi emosional mereka menjadi
orang-orang yang senantiasa mampu mengendalikan diri mereka dan memiliki
daya juang yang tinggi, dan dari segi spiritual mereka adalah orang-orang yang
senantiasa beraktivitas dengan menjadikan aturan Islam sebagai standarnya.
Anak-anak didik harus diberikan pemahaman bahwa dalam kehidupan ini
ada yang menciptakan yaitu Allah, yang juga senantiasa memberi perlindungan,
menyayangi, dan mengawasi mereka. Dan mereka juga harus senantiasa tunduk
dengan aturanNya. Sehingga dalam menjalani pendidikanpun mereka akan
menjadi sosok-sosok yang cerdas dan ber Imtaq yang tangguh dalam menjalani
hidup dan mampu memberikan kreatifitas mereka untuk masyarakat. Menjadi
sosok yang kreatif, inovatif, percaya diri, dan yang lebih penting lagi senantiasa
tawakkal dan istiqamah.
Pendidikan berbasis aqidah adalah sebuah pendekatan religi terhadap
pendidikan, yang artinya suatu ajaran religi dari agama tertentu dijadikan sumber
inspirasi untuk menyusun teori atau konsep-konsep pendidikan yang dapat
dijadikan landasan untuk melaksanakan pendidikan. Ajaran religi yang berisikan
kepercayaan dan nilai-nilai kehidupan, dapat dijadikan sumber dalam
menentukan tujuan pendidikan, materi pendidikan, metode, bahkan sampai pada
jenis-jenis pendidikan.
14

Pendidikan bukan hanya bertujuan menciptakan manusia-manusia cerdas di
bidang sains dan teknologi, cerdas di sisi intelektualitasnya, tetapi juga harus
mampu menumbuhkembangkan sikap dan semangat keagamaan yang terbuka
(inklusif), karena keduanya tidak dapat dipisahkan. Keduanya diharapkan dapat

13
Syaikh Fuhaim Mustafa, Kurikulum Pendidikan Anak Muslim, terjemahan Wafi Marzuqi
Ammar (Surabaya: Pustaka Elba, 2009), p. 19.
14
Ibid.,p.10
51

tumbuh dan berkembang secara bersama-sama agar terjadi keseimbangan hidup
dalam diri anak didik.
15

Materi yang digunakan dalam menyusun teori/konsep pendidikan religi
adalah tesis deduktif. Dikatakan tesis karena bertolak belakang dari dalil-dalil
atau aksioma-aksioma agama yang tidak dapat kita tolak kebenarannya. Dan
dikatakan deduktif karena teori pendidikan disusun dari prinsip-prinsip yang
berlaku umum, diterapkan untuk memikirkan masalah-masalah khusus. Ajaran
agama yang berlaku umum, dijadikan dasar untuk memikirkan prinsip-prinsip
pendidikan yang khusus.
16

Nilai-nilai religi atau agama adalah salah satu nilai yang ditransformasikan
dalam proses pendidikan. Tapi apa itu agama? Tidak mudah untuk menentukan
definisi agama, karena sikap terhadap agama bersifat batiniah, subjektif dan
individualistis, walaupun nilai-nilai yang terkandung dalam agama bersifat
universal.
Kalau kita membicarakan agama, maka kita akan dipengaruhi oleh agama
yang kita anut sendiri. Saadullah mengutip pendapat Bozman yang mengatakan
bahwa agama dalam arti luas merupakan suatu penerimaan terhadap aturan-
aturan dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dengan jalan melakukan hubungan
yang harmonis dengan realitas yang lebih agung dari dirinya sendiri, yang
memerintahkan untuk melakukan ibadah, pengabdian, dan pelayanan yang
setia.
17
Agama bertolak dari adanya suatu kepercayaan terhadap sesuatu yang
lebih berkuasa, lebih agung dari manusia, dan dianggap sebagai pencipta manusia
dan jagat raya ini. Agama berhubungan dengan masalah aqidah, atau kepercayaan
kita terhadap Tuhan, di mana, manusia yang mempercayainya harus
menyerahkan diri kepadanya.
Pengetahuan dan kebenaran agama dapat dijadikan sumber untuk
menyusun teori-teori dalam aspek kehidupan. Pengetahuan dan kebenaran agama
yang berisikan kepercayaan dan nilai-nilai kehidupan, dapat dijadikan sumber
dalam menentukan tujuan dan pandangan hidup manusia, serta sampai pada
perilaku manusia itu sendiri. Pengalaman agama bukanlah suatu pengalaman yang
bersifat teoritis, melainkan penghayatan yang mendalam tentang manusia dan
tuhannya, serta pengalaman semua yang telah digariskan oleh agama dalam
agama tersebut.
Nilai-nilai agama tidak hanya sekedar menunjukkan hubungan manusia
dengan penciptanya, tetapi juga menunjukkan hubungan manusia dengan
sesamanya. Nilai dalam agama menunjukkan bahwa tidak akan sempurna
penghayatan dan keimanan seseorang dihadapan tuhannya, sebelum manusia
berbuat baik dengan sesamanya.

15
YB. Mangunwijaya, Menumbuhkan Sikap Religiusitas Anak, dikutip langsung oleh
Heribertus Joko Warwanto, et al., Pendidikan Religiositas-Gagasan, Isi dan Pelaksanaanya
(Yogyakarta: Kanisius, 2009), p. 13.
16
Saadullah, op. cit., p. 10.
17
Ibid.,p.49
52

Ilmu pengetahuan harus didampingi oleh agama, karena agama lah yang
memiliki kebenaran dan nilai-nilai hidup yang mutlak. Jika manusia terbenam
dalam dunia fisik, maka ia akan hampa dari makna dalam hidup yang pernuh arti
ini. Menurut Albert Einsten yang dikutip oleh Saadullah, science without
religion is lame, religion without science is blind, ilmu pengetahuan tanpa
agama lumpuh dan agama tanpa ilmu pengetahuan adalah buta.
18


1. TK Islam
Dalam Undang-undang RI nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pasal 28 menyebutkan bahwa Taman Kanak-kanak (TK)
merupakan bentuk pendidikan anak usia dini jalur formal yang menyelenggarakan
pendidikan bagi anak usia empat tahun sampai enam tahun yang
diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. Undang-undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
19
(Sejalan dengan
pengertian TK secara umum, TK Islam juga merupakan sebuah pendidikan anak
usia dini yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan menambahkan
pendidikan keagamaan Islam di dalamnya.
Definisi TK Islam hampir sama dengan definisi Raudhatul Athfal (RA),
perbedaan mendasar antara TK Islam dengan RA adalah institusi yang menaungi
lembaga pendidikan tersebut. TK Islam berada di bawah naungan Kementrian
Pendidikan Nasional, sedangkan RA berada di bawah naungan Kementrian
Agama. Pembentukan TK Islam sangat dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakat
setempat, di mana dalam Pendidikan Berbasis Masyarakat dijelaskan bahwa
pendidikan dapat dilaksanakan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya,
aspirasi dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh dan
untuk masyarakat.
Sebagai sebuah lembaga pendidikan pra sekolah bagi anak usia dini,TK
mengemban tiga fungsi utama dalam pendidikan yaitu mengembangkan potensi
kecerdasan anak, penanaman nilai-nilai dasar, dan pengembangan kemampuan
dasar. Dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional juga mengatur tentang tujuan pendidikan Anak usia dini ini. Disebutkan
dalam pasal 1 ayat 14 bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya
pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam
tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk
membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak
memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
20

Masa usia dini merupakan periode awal yang paling penting dan mendasar
dalam sepanjang rentang pertumbuhan serta perkembangan kehidupan manusia.
Pada masa ini ditandai oleh berbagai periode penting yang menjadi pondasi

18
ibid., p.48.
19
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional 2003), p. 9.
20
Ibid., p. 2.
53

dalam kehidupan anak selanjutnya sampai periode akhir perkembangannya. Salah
satu periode yang menjadi penciri masa usia dini adalah the Golden Ages atau
periode keemasan. Banyak konsep dan fakta yang ditemukan memberikan
penjelasan periode keemasan pada masa usia dini. Beberapa label konsep
disandingkan pada masa anak usia dini seperti masa eksplorasi, masa
identifikasi/imitasi, masa peka, masa bermain dan masa trozt alter 1 atau masa
membangkang tahap pertama. Balai Penelitian dan Pengembangan Departemen
Pendidikan Nasional.
21

PAUD sebagai pendidikan yang diselenggarakan sebelum jenjang
pendidikan dasar, memiliki kelompok sasaran anak usia 0-6 tahun yang sering
disebut sebagai masa emas perkembangan. Disamping itu, pada usia ini anak-
anak masih sangat rentan yang apabila penanganannya tidak tepat justeru dapat
merugikan anak itu sendiri. Oleh kerena itu penyelenggaraan PAUD harus
memperhatikan dan sesuai dengan tahap-tahap perkembangan anak. Program
PAUD tidak dimaksudkan untuk mencuri start apa yang seharusnya diperoleh
pada jenjang pendidikan dasar, melainkan untuk memberikan fasilitasi
pendidikan yang sesuai bagi anak, agar anak pada saatnya memiliki kesiapan baik
secara fisik, mental, maupun sosial/emosionalnya dalam rangka memasuki
pendidikan lebih lanjut.

2. Pendidikan Berbasis Aqidah pada TK
Pendidikan Taman kanak-kanak adalah salah satu layanan pendidikan anak
usia dini pada jalur formal yang menyelenggarakan program pendidikan umum
dan pendidikan keagamanan Islam bagi anak berusia empat sampai enam tahun.
Dalam Pendidikan Berbasis Aqidah, penanaman Aqidah harus
mendapatkan perhatian besar dari para guru. Menanamkan ke dalam jiwa anak
tentang ke-Esaan Allah SWT, dan menjauhkan mereka dari perbuatan syirik. Ini
dilakukan dengan menunjukkan dalil-dalil logis dan bukti-bukti yang masuk akal
bagi anak-anak tentang keberadaan Allah. Di samping mengenalkan kekuasaan
Allah SWT, anak-anak juga dapat diajarkan Rukun Iman lainnya. Keyakinan
kepada malaikat-malaikat Allah serta tugas mereka masing-masing. Keyakinan
kepada Rasul-rasul Allah, khususnya Nabi Muhammad SAW, keyakinan terhadap
Kitab-kitab Allah dan menanamkan cinta kepada Alquran, keyakinan kepada Hari
Kiamat agar selalu berbuat baik, karena akan adanya pembalasan bagi orang yang
ingkar kepada Allah, serta keyakinan akan Takdir yang telah ditetapkan oleh
Allah terhadap makhluknya.
22

Selain penanaman aqidah, para guru juga harus mengajarkan ibadah-
ibadah yang harus dilakukan oleh seorang muslim dan menjelaskan kepada anak
urgensi ibadah beribadah kepada Allah. Seperti makna mengerjakan shalat yang

21
Balai Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional, Konsepsi
Pengembangan Kurikulum Inovatif Penerapan Pembelajaran Berbasis Alam Pendidikan Anak Usia
Dini Formal dan Nonformal (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2008), p. 1.
22
Mustafa, op. cit., p.25.
54

dilakukan di awal waktu yang bermanfaat untuk melatih sikap disiplin, makna
zakat, makna puasa, serta makna pelaksanaan ibadah haji. Pengenalan terhadap
Al-Quran dan menumbuhkan kecintaan kepadanya juga harus mulai diberikan.
Disamping anak juga diajarkan cara membaca Alquran seperti dengan metode
Iqra dan lainnya, anak-anak juga diajarkan untuk menghapal surat-surat pendek
yang terdapat dalam Juz 30 dan doa sehari-hari beserta tujuannya.
Nilai-nilai moral juga tak luput dari tujuan pelaksanaan pendidikan
berbasis aqidah, anak harus diajarkan bagaimana bersikap dengan orang tua
sendiri, guru, orang yang lebih tua, teman sebaya, dan sesama muslim lainnya,
serta makhluk Allah lainnya termasuk binatang dan lingkungan. Sikap santun,
bahasa yang baik serta kalimat-kalimat thayyibah harus dapat dicontohkan
seorang guru terhadap anak didik. Dengan menceritakan sejarah Nabi Muhammad
sebagai contoh teladan yang baik, atau cerita-cerita keteladan lainnya yang dapat
menjadi inspirasi bagi anak dalam berbuat.


3. Tujuan Pendidikan Aqidah
Dalam pendidikan Islam ada tiga prinsip yang menjadi perhatian serius
bagi umat beragama, yaitu aqidah, ibadah dan akhlak. Dari ketiga prinsip ini, yang
menjadi fondasi dasar adalah mengenai aqidah. Atas dasar tersebut, maka
pendidikan aqidah sangat diperlukan dan sangat perlu untuk terus dikaji. Syaikh
Fuhaim Mustafa dalam bukunya menyebutkan bahwa tujuan pendidikan aqidah
kepada anak adalah untuk, (1) memperkokoh keyakinan anak bahwa Allah-lah
satu-satunya Tuhan pencipta alam, sehingga dia terhindar dari perbutan syirik, (2)
agar anak mengetahui hakikat keberadaannya sebagai manusia makhluk Allah,
dan (3) mencetak tingkah laku anak menjadi tingkah laku yang Islami yang
berakhlaq mulia.
23

Pendidikan formal perlu, Pendidikan Aqidah dan Akhlak jauh lebih
penting. Pendidikan aqidah bisa dilakukan dengan berbagai metode. Ibn Thufayl
menggunakan metode kisah dalam menyampaikan pesan-pesan pendidikan Islam.
Kisah ini berisi tentang perjalanan manusia bernama Hayy Bin Yaqzan dalam
menjemput hidayah aqidah dari Allah. Tahap pengembangan potensi aqidah
dimulai dengan tahap pengembangan pengetahuan inderawi. Tahap ini dilakukan
dengan metode eksperimen dan eksperience terhadap alam semesta. Tahap kedua
adalah tahap pengembangan pengetahuan akali. Tahap ini dilakukan dengan
penyimpulan rasional baik deduktif maupun induktif sehingga akal sampai pada
kesimpulan tentang adanya kekuatan di balik alam semesta, ada wujud di balik
wujud benda. Pada tahap ini manusia mampu menyimpulkan adanya ruh sebagai
esensi benda dan Tuhan sebagai esensi kehidupan. Tahap ketiga adalah tahap
pengembangan pengetahuan batin. Tahap ini dilakukan dengan metode Dahruri.
Tahap ini manusia mulai berusaha mendekati-Nya bahkan bertemu dengan-
Nya. Pada tahap terakhir ini manusia dapat menghasilkan keyakinan yang

23
Mustafa, ibid., p.66.
55

mengakar kuat dalam dirinya. Dari pembahasan tentang proses pengembangan
potensi aqidah dalam kisah Hayy Bin Yaqzan, terdapat implikasi-implikasi
terhadap faktor-faktor pendidikan. Pertama tujuan, tujuan pendidikan aqidah
adalah mengaktualkan potensi aqidah. Kedua pendidik, pendidik bisa include
dalam media pendidikan. Ketiga peserta didik, secara filosofis peserta didik
memiliki aspek tauhid untuk dikembangkan. Keempat alat-alat, dalam konteks
pengembangan potensi aqidah adapat dilakukan dengan metode eksperimen dan
eksperience terhadap alam ciptaan Tuhan. Hal ini bisa dilakukan dengan
mengajak peserta didik melakukan tadabur alam di luar agar peserta didik melihat
secara langsung bukti kongkrit adanya Tuhan. Kelima milieu, milieu bersifat luas.
Artinya tidak terikat oleh ruang dan waktu. Dimanapun peserta didik berada
lingkungan tempat ia hidup sangat mempengaruhi perkembangannya.
24



C. Kesimpulan
Proses pendidikan pada anak usia dini harus ditanamkan aqidah yang benar
untuk menggabungkan tiga unsur kecerdasan yakni kecerdasan intelektual,
kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual. Sehingga mampu menciptakan
generasi intelektual yang beradab karena memiliki akhlaqul karimah, dan itu
harus dimulai sedini mungkin, karena pada saat anak berumur 0-8 tahun, saat
itulah landasan keberhasilan seorang anak dibangun. Aqidah tidak boleh hanya
dipahami sebagai keyakinan pada Rukun Iman saja, yaitu iman pada Allah,
malaikat Allah, Kitab-kitab Allah, nabi, hari akhir, dan qadla-qadar saja, tetapi
aqidah juga harus dipahami sebagai bagaimana kita menjalankan semua yang
telah diperintahkan oleh Allah dan beribadah kepadanya, serta bagaimana
menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam aqidah yang kita yakini. Karena
aqidah akan menuntun kita untuk senantiasa taat pada Allah, dan yakin bahwa
aturanNya adalah benar.
Pendidikan bukan hanya bertujuan menciptakan manusia-manusia cerdas
di bidang sains dan teknologi, cerdas di sisi intelektualitasnya, tetapi juga harus
mampu menumbuhkembangkan sikap dan semangat keagamaan yang terbuka
(inklusif), karena keduanya tidak dapat dipisahkan. Keduanya diharapkan dapat
tumbuh dan berkembang secara bersama-sama agar terjadi keseimbangan hidup
dalam diri anak didik.
Pendidikan formal perlu, Pendidikan Aqidah dan Akhlak jauh lebih
penting Pendidikan aqidah bisa dilakukan dengan berbagai metode. Ibn Thufayl
menggunakan metode kisah, metode eksperimen dan experience, metode dahruri.
Pada tahap terakhir ini manusia dapat menghasilkan keyakinan yang mengakar
kuat dalam dirinya. Dari pembahasan tentang proses pengembangan potensi
aqidah dalam kisah Hayy Bin Yaqzan, terdapat implikasi-implikasi terhadap

24
Ari Fatmawati, Pendidikan Aqidah untuk anak kita, http://etd.eprints.ums.ac.id/464/
(diakses pada tanggal 19 Juni 2013)
56

faktor-faktor pendidikan. Pertama tujuan. Kedua pendidik, Ketiga peserta didik.
Keempat alat-alat. Kelima milieu, milieu bersifat luas.




Daftar Pustaka


Azra, Azyumardi. 2000. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju
Millenium Baru. Jakarta: Logos.

Balai Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional.
2008. Konsepsi Pengembangan Kurikulum Inovatif Penerapan
Pembelajaran Berbasis Alam Pendidikan Anak Usia Dini Formal dan
Nonformal. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Gardner, Howard. 1993. Frame of Mind: the Theory of Multiple Inte igences.
New York: Basic Books.

Mustafa, Syaikh Fuhaim. 2009. Kurikulum Pendidikan Anak Muslim.
terjemahan Wafi Marzuqi Ammar (Surabaya: Pustaka Elba.

Saadullah, Uyoh. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. Jakarta: Alfabeta.

Tim Balai Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan
Nasional. 2005. Konsepsi Pengembangan Kurikulum Inovatif Penerapan
Pembelajaran Berbasis Alam Pendidikan Anak Usia Dini Formal Dan
Nonformal. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Tim Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Agama. 2008. Paradigma
Baru Pembelajaran Keagamaan di Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Balai
Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional 2003.

Warwanto, Heribertus Joko, et al. 2009. Pendidikan Religiositas-Gagasan, Isi dan
Pelaksanaanya. Yogyakarta: Kanisius




Internet :

Abdul Hamid, Abdullah. Definisi Aqidah,
http://abuamincepu.wordpress.com/2008/02/19/pengertian-akidah/

57

Fatmawati, Ari. Pendidikan Aqidah untuk anak kita,
http://etd.eprints.ums.ac.id/464

Susila, Fatimah Arif. Kurikulum PAUD Berbasis Islam,
http://paudanakceria.wordpress.com.
58
EVALUASI AFEKTIF DALAM PEMBELAJARAN
Oleh: Purnama Rozak
1



ABSTRAK

Dalam taksonomi Benjamin S.Bloom ada tiga ranah pendidikan, yaitu
ranah berpikir (cognative domain), ranah nilai atau sikap (affective domain),
dan ranah keterampilan (psychomotor domain)
Tiga ranah pendidikan ini yang menjadi tujuan dari pendidikan di
Indonesia, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang RI nomor 20 tahun
2003 tentang sistem pendidikan nasional bertujuaan untuk mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab,
jadi dapat kita simpulkan ranah kognitifnya adalah berilmu. Ranah afektifnya
adalah beriman dan bertaqwa, berahlak mulia, mandiri, demokratis,
bertanggung jawab. Ranah psikomotoriknya adalah sehat, cakap, kreatif.
Ketiga ranah ini harus dijadikan sasaran dalam setiap kegiatan evaluasi belajar.
Dalam mengukur hasil belajar kawasan afektif termasuk sukar karena
menyangkut kawasan sikap dan apresiasi. Evaluasi afektif berkaitan dengan
pembentukan dan perubahan sikap.


Kata Kunci: Evaluasi, Afektif, Pembelajaran



A. PENDAHULUAN
Evaluasi pendidikan merupakan satu kesatuaan dengan pengendaliaan mutu
pendidikan sekolah, karena untuk mengetahui pelaksanaan dan hasil-hasil
pengendaliaan mutu perlu diadakan evaluasi, Evaluasi pendidikan mencakup:
evaluasi hasil, proses pelaksanaan, dan faktor- faktor manajerial pendidikan
pendukung proses pendidikan
2
. Dengan tujuaan untuk mengetahui bagaiman
pelaksanaannya dan sudah sejauh mana keberrhasilan hasil pengendalian
pendidikan tersebut.

1
Purnama Rozak. M.S.I adalah dosen STIT Pemalang
2
Nana Syaodih, Sukmadinata, 2008. Pengendaliaan Mutu Pendidikan Sekolah Menengah,
Refika Aditama,Bandung, hal. 108.
59
Dalam dunia pendidikan kita, evaluasi hasil belajar mencakup tiga ranah,
yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Tiga ranah ini merupakan tujuan
pendidikan nasional. Dalam Undang-Undang RI nomor 20 tahun 2003 tentang
sistem pendidikan nasional bertujuaan untuk mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman, dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab
3
, jadi dapat kita
simpulkan ranah kognitifnya adalah berilmu. Ranah afektifnya adalah beriman
dan bertaqwa, berahlak mulia, mandiri, demokratis, bertanggung jawab. Ranah
psikomotoriknya adalah sehat, cakap, kreatif. Ketiga ranah ini harus dijadikan
sasaran dalam setiap kegiatan evaluasi belajar.
4

Sikap merupakan suatu konsep psikologi yang kompleks. tidak ada satu
definisi yang diterima bersama oleh semua pakar psikologi. para pakar psikologi
telah mengemukakan berbagai definisi tentang sikap. Satu hal yang dapat diterima
bersama bahwa sikap berakar dalam perasaan.perasaan bukanlah satu-satunya
komponen dari sikap.
Ranah Afektif menentukan keberhasilan belajar siswa, artinya ranah
afektif sangat menentukan keberhasilan siswa untuk mencapai ketuntasan dalam
proses pembelajaran
5
. Untuk mengetahui ketuntasan maka diperlukan evaluasi.
Dalam dunia pendidikan evaluasi memegang peranan penting. Maka evaluasi
pembelajaran dalam bentuk apapun sangat bermanfaat bagi pendidik maupun
peserta didik itu sendiri
6
, termasuk evaluasi afektif. Evaluasi tidak berdiri sendiri
ada materi dan metode dan ketiganya mempunyai hubungan yang saling
mempengaruhi.
7

Berdasarkan hal tersebut, tanggung jawab guru sebagai pengajar dan
pendidik maka kosekuensinya seorang guru selain membantu semua siswa belajar,
guru harus mampu membangkitkan siswa belajar. Selain itu juga ikatan emosional
diperlukan untuk membangun karakter kebersamaan, rasa sosialis, nasionalis,
persatuaan dll, maka sekolah (guru) dalam merancang program pembelajaran
harus memperhatikan ranah afektif
Dari uraian diatas memunculkan pertanyaan Apa dan Bagaimana
Evaluasi efektif dalam pembelajaran ?




3
Depdiknas, 2003. Undang Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas, Jakarta.
4
Anas, Sudijono, 1996. Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: RajaGrafindo Persada,
hal.49
5
Mimin, Haryati, 2007. Model Dan Teknik Penilaian Pada Tingkat Satuaan Pendidikan,
Jakarta,Gaung Persada Press, hal.36.
6
Ainurrafiq, Dawam, 2005. Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren, Jakarta Listafariska
Putra, hal.99.
7
Suke, Silverius, 1991. Evaluasi Hasil Belajar Dan Umpan Balik, Jakarta, Grasindo, hal. 2
60


B. Pembahasan
1. Pengertian Evaluasi Afektif
Menurut bahasa (etimologi) istilah evaluasi berasal dari bahasa Inggris
evaluation yang berarti penilaian atau penaksiran, dari akar kata Value yang
berarti nilai.sedangkan secara istilah (terminologi) sebagaimana dikemukakan
oleh Edwin Wandt dan Gerald W.Brown yang dikutip Sudijono evaluation refer
to the act or proses to determining the value of something, yang artinya suatu
tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai sesuatu
8
. Proses evaluasi
umumnya berpusat pada siswa. Ini berarti evaluasi di maksudkan untuk
mengamati hasil belajar siswa dan berupaya menentukan bagaimana menciptakan
kesempatan belajar. Evaluasi juga dimaksudkan untuk mengamati peranan guru,
strategi pembelajaran khusus, mteri kurikulum, dan prinsip-prinsip belajar untuk
ditapkan pada pengajaran. Fokusnya adalah bagaimana dan mengapa siswa
bertindak dalam pengajaran serta apa yang mereka lakukan. Tujuan evaluasi
untuk memperbaiki pengajaran dan penguasaan tujuan tertentu dalam kelas.
Ada beberapa istilah yang sering diserupakan dengan evaluasi, meskipun
pada dasarnya berbeda, yakni measurement atau pengukuran, assessment atau
penaksiran dan test. Pengukuran adalah suatu usaha untuk mengetahui keadaan
sesuatu seperti adanya yang dapat dikuantitaskan, hal ini dapat diperoleh dengan
jalan tes dan cara lain. Pengertian assessment tidak sampai ke taraf evaluasi,
melainkan sekadar mengukur dan mengadakan estimasi terhadap hasil
pengukuran. Sedangkan pengertian tes lebih ditekankan pada penggunaan alat
pengukuran.
9

Adapun Afektif berasal dari bahasa inggris affective yang berarti ranah
yang berkaitan dengan sikap dan nilai, jadi dapat disimpulkan evaluasi afektif
adalah suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai sikap.
Dalam perkembangan yang paling akhir, sebagiaan pakar sependapat
bahwa sikap terdiri dari tiga komponen, yakni: Komponen afektif, komponen
kognitif, komponen konatif. Komponen afektif adalah perasaan yang dimiliki oleh
seseorang terhadap sesuatu objek. Komponen kognitif adalah kepercayaan atau
keyakinan yang menjadi pegangan seseorang. Adapun komponen konatif adalah
kecenderungan untuk berperilaku atau berbuat dengan cara-cara tertentu terhadap
sesuatu objek. Maka dengan demikiaan penilaian sikap dalam proses
pembelajaran di sekolah dapat diartikan upaya sistematis dan sistemik untuk
mengukur dan menilai perkembangan siswa sebagai hasil dari proses
pembelajaran yang telah dijalaninya.
10


8
Opcit Sudijono, hal 1
9
M. Chabib, Thoha, 2003. Teknik Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
hal.2-3.
10
Opcit,Depag, hal 51
61
Dalam mengukur hasil belajar kawasan afektif termasuk sukar karena
menyangkut kawasan sikap dan apresiasi, disamping itu Kawasan afektif juga
sulit dicapai pada pendidikan formal, karena pada pendidikan formal perilaku
yang nampak dapat diasumsikan timbul sebagai akibat dari kekakuan aturan,
disiplin belajar, waktu belajar dan norma-norma lainnya. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa perilaku seperi itu timbul bukan karena siswa telah sadar dan
menghayati betul tentang kebutuhan akan sikap dan perilaku tersebut, tetapi
dilakukan karena sekedar untuk memenuhi aturan dan disiplin saja agar tidak
mendapat hukuman. evaluasi afektif berkaitan dengan pembentukan dan
perubahan sikap.

a. Pembentukan Sikap
Ada tiga model belajar dalam rangka pembentukan sikap,
11
tiga model itu
adalah:
1) Mengamati dan meniru
Pembelajaran model ini berlangsung melalui pengamatan dan peniruan.
proses pembelajaran ini dengan pembelajaran melalui model (learnigthrough
modeling), kebanyakan perilaku manusia dipelajari melalui model, yakni
dengan mengamati dan meniru perilaku atau perbutan orang lain, terutamanya
orang orang yang berpengaruh .melalui proses pengamatan dan peniruan
akan akan terbentuk pula pola sikap dan perilaku yang sesuai dengan orang
yang ditiru
Bagi para siswa disekolah, orang - orang yang berpengaruh terutama
adalah orang tua dan guru. Bagi masyarakat pada umumnya orang - orang
yang berpengaruh dan dapat menjadi model antara lain: bintang film,
politikus dan tokoh-tokoh masyarakat.
2) Menerima penguatan
Pembelajaran model ini berlangsung melalui pembiasan operan, yakni
dengan menerima atau tidak menerima penguatan atas suatu respon yang
ditunjukan. Penguatan juga dapat berupa ganjaran (penguatan positif) dan
dapat berupa hukuman (penguatan negatif). Individu dengan cepat akan
mengekspresikan pandangan tertentu, jika diberi ganjaran untuk
perbuatannya. Dari waktu ke waktu respon yang diberi ganjaran tersebut akan
bertambah kuat, dengan demikian sikap anak akan terbentuk.
3) Menerima informasi verbal
Informasi tentang berbagai hal dapat diperoleh melalui lisan atau
tulisan. Informasi tentang sesuatu objek yang diperoleh oleh seseorang akan
mempengaruhi pembentukan sikapmya terhadap objek yang bersangkutan,
misalnya penyakit AIDS, informasi ini telah membentuk sikap tertentu
dikalangan warga masyarakat terhadap penyakit AIDS, pembawa virusnya
dan orang yang terkena penyakit tersebut.

11
Ibid, hal 56-58.
62
b. Teori perubahan sikap
Para pakar psikologi sosial telah mengemukakan berbagai teori tentang
perubahan sikap
12
, Diantara teori- teori itu adalah:
1) Teori pembelajaran (learning theory)
Teori ini meluihat perubahan sikap sebagai suatu proses pembelajaran.
Teori ini tertarik pada hubungan antara stimulus dan respon dalam suatu
proses komunikasi. Hovlan janis dan kalley dengan program komunikasi dan
perubahan sikapYale (The Yale Communication And Attitude Change
Program). Pada program Yale ini ada empat unsur dalam proses pembujukan
yang dapat mempengaruhi terhadap perubahan sikap yaitu: (1) penyampai
(sebagai sumber informasi baru), (2) komunikasi (informasi yang
disampaikan), (3) penerima, (4) situasi.
2) Teori fungsional (functional theory)
Teori fungsional mengasumsikan bahwa manusia mempertahankan
sikap yang sesuai dengan kebutuhan dirinya sendiri. perubahan sikap terjadi
dalam rangka mendukung suatu maksud atau tujuan yang ingin dicapainya.
Berdasarkan teori ini, sikap merupakan alat untuk mencapai tujuan, oleh
karena itu untuk merubah sikap seseorang terlebih dahulu harus dipelajari dan
diketahui kebutuhan khusus atau tujuan khusus yang ingin dicapainya.
3) Teori pertimbangan sosial (social judgment theory)
Teori ini merupakan suatu pendekatan yang lebih bersifat kognitif
tentang perubahan sikap. teori ini memberikan penekanan pada presepsi dan
pertimbangan individu tentang objek, orang, atau ide yang di evaluasinya
Perubahan sikap menurut teori ini merupakan sutu penafsiran kembali
terhadap objek Proses perubahan sikap tertgantung kepada keteguhan
individu dalam berpegang pada suatu pandangan. seandainya individu
berpegang pada pandangan yang ekstrim dalam suatu hal maka ruang gerak
penerimaaannya adalah sempit, oleh karena itu kemungkinan terjadinya
Perubahan sikap bagi individu yang bersangkutan kecil.
4) Teori konsistensi (consistency theory)
Teori ini dikembangkan asumsi bahwa manusia akan berusaha untuk
mewujudkan keadaaan yang serasi dalam dirinya. Jika terjadi suatu keadaan
yang tidak serasi, miasalnya terjadi pertentangan antara sikap dan perilaku,
maka manusia akan berusaha untuk menghilangkan realita tersebut dengan
merubah salah satu sikap atau perilaku. Tokohnya Heider dengan teorinya
(balance theory)

c. Sikap dan objek sikap yang perlu dinilai
Secara umum, objek sikap yang perlu dinilai dalam proses pembelajaran
berbagai mata pelajaran sebagai berikut:


12
Ibid, hal 59
63
1) Sikap terhadap materi pelajaran.
Siswa perlu memiliki sikap positif dalam diri siswa akan tumbuh dan
berkembang minat belajar, akan lebih mudah diberi motivasi dan akan lebih
mudah menyerap materi pelajaran yang diajarkan. jadi guru perlu menilainya.
2) Sikap terhadap guru pengajar .
Siswa perlu memiliki sikap positif terhadap guru. Siswa yang tidak
memilikinya cenderung mengabaikan hal-hal yang diajarkan mka siswa akan
sukar menyerap materi pelajaran yang diajarkan oleh guru tersebut.
3) Sikap terhadap proses pembelajaran.
Siswa perlu memiliki sikap positif terhadap proses pembelajaran yang
berlangsung. proses pembelajaran disini mencakup suasana pembelajaran,
strategi, metodelogi, dan teknik pembelajaran yang digunakan .
4) Sikap terhadap kasus tertentu berhubungan dengan suatu materi pelajaran.
Misalnya kasus atau masalah lingkungan hidup berkaitan dengan materi
biologi atau materi geografi. siswa juga perlu memiliki sikap yang tepat
terhadap kasus masalh lingkungan tertentu (kegiatan pelestarian atau kasus
perusakan lingkungan hidup) positif atau negatif. Misalnya siswa memiliki
sikap positif terhadap porogram perlindungan satwa liar. Dalam kasus lain
siswa memiliki sikap negatif terhadap kegiatan ekspor kayu glondongan ke
luar negeri.
5) Sikap berhubungan dengan nilai-nilai lingkungan tertentu yang ingin
ditanamkan dalam diri siswa melalui materi pokok bahasan dalam suatu mata
pelajaran. Contoh koperasi dalam pelajaran IPS, nilai luhur yang relevan
misalnya kerja sama kekeluargaan hemat dsb.

2. Evaluasi Afektif
Dalam taksonomi Benjamin S.Bloom ada tiga ranah pendidikan, yaitu
ranah berpikir (cognative domain), ranah nilai atau sikap (affective domain), dan
ranah keterampilan (psychomotor domain)
Bloom menawarkan konsepnya di Boston pada tahun 1948, perkembangan
selanjutnya, ia sendiri mengembangkan cognitive domain pada tahun 1956,
sedangkan affective domain dikembangkan Bloom bersama David R. Krathwohl
dan Bertram B. Masia pada 1964, selanjutnya psycho-motor domain oleh
Simpson pada 1972.
13

Kawasan afektif merupakan tujuan yang berhubungan dengan perasaan
emosi sistem nilai dan sikap hati (attitude) yang menunjukan penerimaan atau
penolakan terhadap sesuatu, apresiasi (penghargaan) dan penyesuaian perasaan
sosial.
14
We attempt evaluating affective outcome when we encourage students to

13
Opcit,Thoha, hal 27.
14
Popham,W.James, 1992. Educational Evaluaton, Los Angeles, University Of California,
hal.151.
64
express their feeling,attitudes,and values about the topics discussed in class.
15

Tujuan afektif disebut sebagai minat, sikap hati nurani, sikap menghargai,sistem
nilai, dan kecenderungan emosi
Tingkatan ranah afektif menurut taksonomi Krathwohl ada lima yaitu
receiving(attending), responding, Valuing, Organization, dan characterization by
a value or value comlex.
16
Penjelasan kelima jenjang kemampuan yang harus
ditempuh tersebut menurut Peter F. Oliva yaitu :
1) Menerima (receiving)
The student express in class an awareness of friction among ethnic groups in
this school.
Jenjang ini berhubungan dengan kesediaan atau kemauan siswa untuk
ikut dalam fenomena atau stimuli khusus (kegiatan dalm kelas, musik, baca
buku dll.) Hasil belajar dalam jenjang ini berjenjang dari mulai kesadaran
bahwa sesuatu itu ada sampai kepada minat khusus dari pihak siswa.
Menerima disini adalah diartikan sebagai proses pembentukan sikap
dan perilku dengan cara membangkitkan kesadaran tentang adanya stimulus
tertentu yang mengandung estetika. sebagai contoh guru memotivasi siswa
untu membaca buku, mengerjakan tugas memberi motivasi belajar dst.
2) Menjawab (responding)
The student volunteers to serve on human relation committee in the school
Kemampuan ini berkaitan dengan partisipasi aktif siswa. hasil belajar
dalm jenjang ini diperolehnya respon,keinginan memberi respon atau
kepuasan dalam memberi respon,
3) Menilai (Valuing)
The student expresses a desire to achieve a positive school climate,
Jenjang ini berhubungan dengan nilai yang dikenakan siswa terhadap
suatu objek, fenomena atau tingkah laku tertentu. Jenjang ini berjenjang dari
mulai hanya sekedar penerimaan nilai sampai ke tingkat komitmen yang lebih
tinggi,
4) Organisasi (Organization)
The student controls his or her temper when driving
Jenjang ini berhubungan dengan menyatukan nilai-nilai yang berbeda,
menyelesaikan atau memecahkan konflik diantara nilai-nilai itu dan mulai
membentuk suatu sistem nilai yang konsisten secara internal. Jadi
memberikan penekanan pada membandingkan, menghubungkan,dan
mensistensiskan nilai-nilai.

15
Peter, F Oliva, Developing The Curiculum,Bostontoronto,Little Brown And Company
1982, hal.419
16
Opcit, Sadijono, hal.54
65
Responding merupakan partisipasi aktif peserta didik yaitu sebagai bagiaan
dari perilakunya. Pada tingkatan ini peserta didik tidak saja memperhatikan
fenomena khusus tetapi ia juga bereaksi.
17

Hasil belajar bertaliaan dengan konseptualisasi suatu nilai (mengakui
tanggung jawab individu untuk memperbaiki hubungan-hubungan manusia)
atau dengan organisasi suatu sistem nilai.
5) Karakterisasi dengan suatu nilai atau kompleks nilai (characterization).
The student expresses and axamplifies in his or her behavior a positive
outlook on life
Pada jenjang ini individu memiliki sistem nilai yang mengontrol
tingkah lakunya untuk suatu waktu yang cukup lama sehingga membentuk
karakteristik, pola hidup
Hasil belajar lebih besar diletakan pada diri khas atau karakteristik
siawa itu menjadi ciri khas siswa itu.


3. Perangkat Evaluasi Afektif
a. Pengukuran Afektif
Menurut Andersen, ada dua metode yang dapat digunakan untuk
mengukur ranah afektif, yaitu :metode observasi dan metode laporan diri
18
.
1) Metode observasi
Penggunaan metode observasi berdasarkan pada asumsi bahwa
karakteristik afektif dapat dilihat dari perilaku atau perbutan yang
ditampilkan dan atau reaksi psikologi.
Sikap Perilaku manusia (perbutan manusia) menurut kajian
psikologi :
a) Aliran Behaviorisme
Inilah aliran ilmu jiwa yang tidak peduli dengan jiwa. Menafikan
aspek jiwa. karena aliran ini hanya memandang perbutan yang nampak
secara kasat mata atau sikap perilaku yang tercermin pada bentuk
lahiriah, yang nampak oleh mata.
Tokohnya Pavlov muncul pada ahir abad 19. Perbuatan manusia
bersifat biologis. contoh marah maka hormon yang membuat marah naik,
sex maka hormon sex naik.






17
Zaenal, Arifin, 2009. Evaluasi Pembelajaran: Prinsip, teknik, Prosedur, Remaja
Rosdakarya, Bandung, hal. 22.
18
Lorin. W, Andersen, 1981. Assessing Affective Characteristic In The Schools, Boston:
Allyn and Bacon, hal. 4.
66
Kelemahan aliran ini menurut Danah Zohar
19
:
1. Gagal dalam memahami pengalaman subjektif contoh kesadaran diri,
mimpi,
2. Gagal dalam memahami dimensi perilaku manusia yang berasifat
komplek, contohnya: cinta, keberanian, keimanan, harapan, putus asa,
haji orang rela mengeluarkan uang banyak, bahkan yang sudah haji
ingin lagi.
3. Gagal dalam memahami masalah nilai dan makna. contoh harga diri
4. Memahami motivasi

b) Aliran Psikoanalisis
Psikoanalisis disebut juga depth psychology, karena mencari
sebab-sebab perilaku manusia pada dinamika jauh didalam dirinya pada
alam tak sadarnya. mengatakan bahwa perbuatan hasil dari konflik dari
pengalaman lalu pengalaman terbagi menjadi dua yaitu: sadar (ego) dan
tidak sadar (id dan super ego) dalam manusia yang terbanyak adalah
yang tidak sadar. Tokohnya sigmund freud : Id adalah sistem
kepribadiaan yang orisinil. Ego memiliki kontak dengan dunia eksternal
dari kenyataan.
Ego adalah eksekutif dari kepribadiaan yang memerintah,
mengendalikan dan mengatur. Superego adalah cabang moral atau
hukum dari kepribadiaan.
20
contohnya: ketika anda jatuh cinta kepada
turkiyem, id berkata peluklah dia, Ego berkata cek, apakah dia juga suka
padamu, dan super ego menegur Haram anda melakukannya.

c) Aliran humanistik.
Muncul pada pertengahan abad ke dua puluh, sebagai reaksi
terhadap kedua aliran tersebut. Mengapa orang bisa hidup bahagia
ditengah penderitaan yang dialaminya, orang yang bahagia dalam situasi
dan kondisi apapun.
Perbuatan yang mendatangkan perasaaan susah, bahagia
dikarenakan pemenuhan kebutuhan.kebutuhan fisiologis maupun makna.
tokohnya moslow. psikoterapinya disebut logoterapi, (logos=makna).
logoterapi memandang manusia sebagai totalitas yang terdiri dari tiga
dimensi yaitu: fisik, psikologis, dan spiritual.
Kapan kita menemukan makna:
1. Ketika kita menemukan diri kita (self discovery)
2. Ketika kita menentukan pilihan
3. Ketika kita merasa istimewa
4. Ada tanggung jawab

19
Danah, Zohar, 2001. SQ, Mizan, Bandung, hal. xvii
20
Gerald, Corey, 1999. Konseling dan Psikoterapi, Refika Aditama, Bandung, hal. 14-15
67
BUKU CATATAN HARIAN TENTANG SISWA
(NAMA SISWA)

Mata pelajaran :
Nama guru :
Tahun pelajaran :


Pemalang, 2014
.................................
5. Makna tercuat dalam situasi transendensi, pengalaman batiniah.

Setiap tingkah laku manusia merupakan manufestasi dari beberapa
kebutuhan dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut
Dengan kata lain setiap tingkah laku manusia itu selalu terarah
pada satu objek atau suatu tujuaan pemuasan kebutuhan, yang
memberikan arah pada setiap gerak aktifitasnya. adapun kebutuhan
manusia dapat dibagi menjadi 3 yaitu
21
:
1) tingkat biologis atau vital contoh makan minum, udara dll
2) tingkat human (manusia, sosio budaya, sosio kultural, dan
psikologis
3) tingkat metafisis dan religius

d) Aliran Transpersonal
Mengantarkan pada kesadaran spiritualitas agama, non material.
tokohnya cortright. menurut khalil khavari kecerdasan spiritual adalah
fakultas dari dimensi non material kita ruh manusia.
22

Tidak disangkal bahwa perbuatan manusia mempunyai sifat- sifat
bawaan misalnya: kecerdasan dan temperament. Faktor-faktor ini
mempunyai pengaruh terhadap pembentukan sikap. Sikap turunan yang
terbentuk dengan kuat dalam keluarga misalnya sentimen kefamilian,
keagamaan dan sebagainya, Namun secara umum kebanyakan pakar
psikologi sosial berpendapat bahwa sikap manusia terbentuk melalui
proses pembelajaran dan pengalaman.
Observasi perilaku disekolah dapat dilakukan dengan
menggunakan buku catatan khusus tentang kejadian - kejadian berkaitan
dengan siswa selama disekolah (critical insidentism record), ini dibuat
dan di isi oleh pengamat ( guru ) contoh formatnya:

Contoh halaman sampul :











21
Kartini, Kartono, 2000. Hygiene Mental, Mandar Maju, Bandung, hal.37
22
Opcit, Danah Zohar, :xxvii.
68
Contoh halaman dalam :


No

Hari atau tanggal

Nama siswa

Kejadiaan (positif atau
negatif)





Dalam observasi ini kita juga dapat menanyakan secaara langsung
tentang sikap siswa berkaitan dengan suatu hal. contah bagaimana
tanggapan siswa tentang kebijakan yang baru diberlakukan disekolah
mengenai peningkatan ketertiban.

2) Metode laporan diri atau laporan pribadi
Siswa diminta membuat ulasan yang berisi pandangan atau
tanggapan tentang suatu masalah, keadaan, atau hal yang menjadi objek
sikap. misalnya kerusuhan antar etnis. Dari ulasan yang dibuat siswa
tersebut dapat dibaca dan dipahami kecenderungan sikap yang
dimilikinya.
Metode laporan diri beransumsi bahwa yang mengetahui keadaan
afektif seseorang adalah dirinya sendiri. Namun hal ini menuntut
kejujuran dalam mengungkapkan karakteristik afektif diri sendiri.

b. Instrumen Evaluasi Afektif
Ada 5 (lima) tipe karakteristik afektif yang penting, yaitu sikap, minat,
konsep diri, nilai dan moral.
23
Ada 11 (sebelas) langkah dalam
mengembangkan instrumen penilaian afektif, yaitu
24
:



23
Andersen, Lorin. W, 1981. Assessing Affective Characteristic In The Schools, Boston:
Allyn and Bacon,.hal.4
24
Depdiknas, 2003. Undang Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas, Jakarta,
hal.9-18.
69
1) Menentukan spesifikasi Instrumen
Instrumen penilaian afektif meliputi lembar pengamatan sikap,
minat, konsep diri, nilai, dan moral
a. Instrumen sikap, bertujuan untuk mengetahui sikap peserta didik
terhadap suatu objek, misalnya terhadap kegiatan sekolah, mata
pelajaran, pendidik dan sebagainya. Sikap terhadap mata pelajaran bisa
positif bisa negatif. Hasil pengukuran sikap berguna untuk menentukan
strategi pembelajaran yang tepat.
b. Instrumen minat, bertujuan untuk memperoleh informasi tentang minat
peserta didik terhadap mata pelajaran, yang selanjutnya digunakan untuk
meningkatkan minat peserta didik terhadap mata pelajaran.
Minat menurut kamus besar bahasa indonesia, minat atau keinginan
adalah kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Secara umum
minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki intensitas tinggi
25


c. Instrumen konsep diri, bertujuan untuk mengetahui kekuatan dan
kelemahan diri sendiri. Peserta didik melakukan evaluasi secara objektif
terhadap potensi yang ada dalam dirinya. Karakteristik potensi peserta
didik sangat penting untuk menentukan jenjang karirnya. Informasi
kekuatan dan kelemahan peserta didik digunakan untuk menentukan
program yang sebaiknya ditempuh.
d. Instrumen nilai, bertujuan untuk mengungkap nilai dan keyakinan peserta
didik. Informasi yang diperoleh berupa nilai dan keyakinan yang positif
dan yang negatif. Hal-hal yang bersifat positif diperkuat sedangkan yang
bersifat negatif dikurangi dan akhirnya dihilangkan.
e. Instrumen moral, bertujuan untuk mengungkap moral. Informasi moral
seseorang diperoleh melalui pengamatan terhadap perbuatan yang
ditampilkan dan laporan diri melalui pengisian kuesioner. Hasil
pengamatan dan hasil kuesioner menjadi informasi tentang moral
seseorang.











25
Depdikbud, 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,Jakarta, hal.583

70
2) Penulisan Instrumen

Tabel 1. Kisi-Kisi Instrumen Afektif

No Indikator Jumlah Butir
Pertanyaan /
Pernyataan
Skala
1
2
3
4


3) Penggunaan skala sikap
Model skala sikap antara lain :
a. Skala Diferensiasi Semantik
Selesaikan tugas ini dengan cara memberi tanda cek (V) pada
posisi skala yang sesuai dengan pandangan anda sendiri.


SIKAP TERHADAP PENGHIJAUAN LINGKUNGAN SEKOLAH

Menarik ____________________________________ Membosankan

Penting ____________________________________ Tidak penting

Mudah Sukar dilaksanakan

Menyenangkan Tidak menyenangkan



71
b. Skala Likert
Berilah tanda cek (V) untuk setiap pernyataan pada kolom
pilihan sikap

No Pernyataan SS S N TS STS
1 Usaha penghijauan pekarangan sekolah
menyenangkan

2 Usaha penghijauan pekarangan sekolah kurang
bermanfaat

3 Kerja bakti untuk penghijauan itu perlu
didukung semua pihak

4 Kerja bakti untuk penghijauan itu meresahkan
5 Kerja bakti untuk penghijauan sekolah
sebaiknya digalakkan

5 Tanaman bunga- bunga diperkarangan sekolah
kurang bermanfaat




Keterangan:
SS = sangat setuju TS = tidak setuju
S = setuju STS = sangat tidak setuju
N = netral

c. Penskoran dan interpretasi
1. untuk pernyataan positif : SS=5 , S=4, N=3, TS=2, STS=1. pernyataan
positif no 1,3,5
2. untuk pernyataan negatif : SS=1, S=2, N=3, TS=4, STS=5. pernyataan
negatip no 2,4,6

Dengan demikian skor maksimum nya 30 dan minimumnya 6,
perbedaan jumlah angka yang dicapai siswa dapat ditafsirkan sebagai
perbedaan sikap positif atau negatif terhadap penghijauan sekolah.

d. Skala Thurstone;
Skala ini mirip dengan skala Likert karena merupakan suatu
instrumen yang pilihan jawabannya menunjukkan tingkatan. Perbedaan
skala Thurstone dengan skala Likert, pada skala Thurstone rentang
skala yang disediakan lebih dari lima pilihan dan disarankan sekitar
sepuluh pilihan jawaban (misalnya dengan rentang angka 1 s/d 11 atau
72
a s/d k). Jawaban di tengah adalah netral, semakin ke kiri semakin tidak
setuju, sebaliknya semakin ke kanan semakin setuju.

Contoh Skala Thurstone:

Minat terhadap akidah ahlak :

Saya senang belajar akidah ahlak 7 6 5 4 3 2 1
Pelajaran akidah ahlak bermanfaat
Saya berusaha hadir setiap ada akidah
ahlak



e. Skala Guttman
Skala ini sama dengan yang disusun oleh Bogardus, yaitu
berupa tiga atau empat buah pertanyaan yang masing-masing harus
dijawab ya atau tidak. Pernyataan-pernyataan tersebut menunjukkan
tingkatan yang berurutan sehingga bila responden setuju pernyataan
nomor 2, diasumsikan setuju nomor 1, selanjutnya jika responden
setuju dengan pernyataan nomor 3, berarti setuju penyataan
nomor 1 dan 2.
Contoh:
1) Saya mengizinkan anak saya bermain ke tetangga.
2) Saya mengizinkan anak saya pergi ke mana saja ia mau.
3) Saya mengizinkan anak saya pergi kapan saja dan ke mana saja.
4) Anak saya bebas pergi ke mana saja tanpa minta izin terlebih dahulu.

f. Skala Pilihan Ganda
Skala ini dikembangkan oleh Inkels, seorang ahli penilaian di
Stanford University. Skala ini bentuknya seperti soal bentuk pilihan
ganda, yaitu terdiri dari sejumlah pertanyaan yang diikuti oleh
sejumlah alternatif jawaban.


4) Penskoran dan interprestasi
Penskoranan nya dapat dilakukan dalam rentang 1 sampai dengan 5.
Arah paling kiri adalah paling besar yakni diskor 5, karena menunjukan
sikap paling positif terhadap objek sikap. Arah paling kanan adalah paling
kecil karena menunjukan paling negatip terhadap objek sikap.
73
Skor maksimum dalam skala tersebut adalah 4X5=20.dan skor
paling terendah adalah 4X1=4, angka 20, dapat di interprestasikan bahwa
sikap siswa terhadap objek sikap ini semakin positif.
Apabila siswa memilih sikap netral terhadap mata pelajaran ini, siswa akan
memberi cek pada interval tengah pada skala, skornya adalah 3. jadi jika
siswa memilih sikap netral untukn semua pernyataaan sikap maka nilainya
12. skala tersebut dapat di interprestasikan sebagai berikut :
Skor 12 = sikap siswa adalah netral
Skor >12 = sikap siswa adalah positif
Skor <12 = sikap siswa adalah negatif

5) Telaah Instrumen
Kegiatan pada telaah instrumen adalah menelaah apakah: (a) butir
pertanyaan / pernyataan sesuai dengan indikator, (b) bahasa yang digunakan
komunikatif dan menggunakan tata bahasa yang benar, (c) butir peranyaaan
/ pernyataan tidak bias, (d) format instrumen menarik untuk dibaca, (e)
pedoman menjawab atau mengisi instrumen jelas, dan (f) jumlah butir
dan/atau panjang kalimat pertanyaan/pernyataan sudah tepat sehingga tidak
menjemukan untuk dibaca/dijawab.
Telaah dilakukan oleh pakar dalam bidang yang diukur dan akan
lebih baik bila ada pakar penilaian. Telaah bisa juga dilakukan oleh teman
sejawat bila yang diinginkan adalah masukan tentang bahasa dan format
instrumen. Bahasa yang digunakan adalah yang sesuai dengan tingkat
pendidikan responden. Hasil telaah selanjutnya digunakan untuk
memperbaiki instrumen.

6) Merakit Instrumen
Setelah instrumen diperbaiki selanjutnya instrumen dirakit, yaitu
menentukan format tata letak instrumen dan urutan pertanyaan/ pernyataan.
Format instrumen harus dibuat menarik dan tidak terlalu panjang, sehingga
responden tertarik untuk membaca dan mengisinya. Setiap sepuluh
pertanyaan sebaiknya dipisahkan dengan cara memberi spasi yang lebih,
atau diberi batasan garis empat persegi panjang. Urutkan
pertanyaan/pernyataan sesuai dengan tingkat kemudahan dalam menjawab
atau mengisinya.

7) Ujicoba Instrumen
Setelah dirakit instrumen diujicobakan kepada responden, sesuai
dengan tujuan penilaian apakah kepada peserta didik, kepada guru atau
orang tua peserta didik. Untuk itu dipilih sampel yang karakteristiknya
mewakili populasi yang ingin dinilai. Bila yang ingin dinilai adalah
peserta didik SMA, maka sampelnya juga peserta didik SMA. Sampel yang
diperlukan minimal 30 peserta didik, bisa berasal dari satu sekolah atau
74
lebih. Pada saat ujicoba yang perlu dicatat adalah saran-saran dari responden
atas kejelasan pedoman pengisian instrumen, kejelasan kalimat yang
digunakan dan waktu yang diperlukan untuk mengisi instrumen. Waktu
yang digunakan disarankan bukan waktu saat responden sudah lelah.
Selain itu sebaiknya responden juga diberi minuman agar tidak lelah.
Perlu diingat bahwa pengisian instrumen penilaian afektif bukan
merupakan tes, sehingga walau ada batasan waktu namun tidak terlalu
ketat. Agar responden mengisi instrumen dengan akurat sesuai harapan,
maka sebaiknya instrumen dirancang sedemikian rupa sehingga waktu
yang diperlukan mengisi instrumen tidak terlalu lama. Berdasarkan
pengalaman, waktu yang diperlukan agar tidak jenuh adalah 30 menit atau
kurang.

8) Analisis Hasil Uji Coba
Analisis hasil ujicoba meliputi variasi jawaban tiap butir
pertanyaan/pernyataan. Jika menggunakan skala instrumen 1 sampai 7
dan jawaban responden bervariasi dari 1 sampai 7, maka butir
pertanyaan/pernyataan pada instrumen ini dapat dikatakan baik. Namun
apabila jawabannya hanya pada satu pilihan jawaban saja, misalnya pada
pilihan nomor 3, maka butir instrumen ini tergolong tidak baik. Indikator
yang digunakan adalah besarnya daya beda. Bila daya beda butir
instrumen lebih dari 0,30 butir instrumen tergolong baik. Indikator lain
yang diperhatikan adalah indeks keandalan yang dikenal dengan indeks
reliabilitas. Batas indeks reliabilitas minimal 0,70. Bila indeks ini lebih
kecil dari 0,70 kesalahan pengukuran akan melebihi batas. Oleh karena itu
diusahakan agar indeks keandalan instrumen minimal 0,70.

9) Perbaikan Instrumen
Perbaikan dilakukan terhadap butir-butir pertanyaan/pernyataan
yang tidak baik, berdasarkan analisis hasil ujicoba. Bisa saja hasil telaah
instrumen baik, namun hasil ujicoba empirik tidak baik. Untuk itu butir
pertanyaan/pernyataan instrumen harus diperbaiki. Perbaikan termasuk
mengakomodasi saran-saran dari responden ujicoba. Instrumen sebaiknya
dilengkapi dengan pertanyaan terbuka.

10) Pelaksanaan Pengukuran
Pelaksanaan pengukuran perlu memperhatikan waktu dan ruangan
yang digunakan. Waktu pelaksanaan bukan pada waktu responden sudah
lelah. Ruang untuk mengisi instrumen harus memiliki cahaya
(penerangan) yang cukup dan sirkulasi udara yang baik. Tempat duduk
juga diatur agar responden tidak terganggu satu sama lain. Diusahakan
agar responden tidak saling bertanya pada responden yang lain agar
75
jawaban kuesioner tidak sama atau homogen. Pengisian instrumen dimulai
dengan penjelasan tentang tujuan pengisian, manfaat bagi responden, dan
pedoman pengisian instrumen.

11) Penafsiran Hasil Pengukuran
Hasil pengukuran berupa skor atau angka. Untuk menafsirkan
hasil pengukuran diperlukan suatu kriteria. Kriteria yang digunakan
tergantung pada skala dan jumlah butir pertanyaan / pernyataan yang
digunakan. Misalkan digunakan skala Likert yang berisi 10 butir
pertanyaan / pernyataan dengan 4 (empat) pilihan untuk mengukur sikap
peserta didik.
Skor untuk butir pertanyaan / pernyataan yang sifatnya positif:

Sangat setuju - Setuju - Tidak setuju - Sangat tidak setuju.
(4) (3) (2) (1)

Sebaliknya untuk pertanyaan/pernyataan yang bersifat negatif

Sangat setuju - Setuju - Tidak setuju - Sangat tidak setuju.
(1) (2) (3) (4)

Skor tertinggi untuk instrumen tersebut adalah 10 butir x 4 = 40,
dan skor terendah 10 butir x 1 = 10. Skor ini dikualifikasikan misalnya
menjadi empat kategori sikap atau minat, yaitu sangat tinggi (sangat
baik), tinggi (baik), rendah (kurang), dan sangat rendah (sangat kurang).
Berdasarkan kategori ini dapat ditentukan minat atau sikap.

4. Kegunaan dan Manfaat
Proses evaluasi bukan sekedar mengukur sejauh mana tujuan itu tercapai
tetapi digunakan untuk membuat keputusan
26
.Adapun keputusan yang dapat
diambil dari penilaian sikap antara lain:
a. Pembinaan siswa.
pembinaan siswa dapat dilakukan secara pribadi maupun secara klasikal
b. perbaikan proses pembelajaran
c. peningkatan profesionalisme guru
Dengan kata lain manfaatnya adalah untuk mencari dan menemukan
faktor-faktor penyebab keberhasilan dan ketidakberhasilan siswa dalam mengikuti

26
Suharsimi, Arikunto, 2003. Dasar- Dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta, Bumi Aksara,
hal.3

76
program pendidikan seahingga dapat dicari dan ditemukan jalann keluar atau cara-
cara memperbaikinya
27



C. Kesimpulan Dan Penutup
Ranah afektif sangat menentukan keberhasilan siswa untuk mencapai
ketuntasan dalam proses pembelajaran. karena jika siswa tidak memilki minat
terhadap mata pelajaran tertentu maka akan kesulitan untuk mencapai ketuntasan
dalam proses pembelajaran. Sikap dan objek sikap yang perlu dinilai selain minat
terhadap mata pelajaran tertentu, sikap terhadap guru pengajar, Sikap terhadap
proses pembelajaran dan sikap, Sikap berhubungan dengan nilai-nilai lingkungan
tertentu yang ingin ditanamkan dalam diri siswa melalui materi pokok bahasan
dalam suatu mata pelajaran. Jadi penilan afektif juga penentu pada aspek kognitif
dan psikomotorik.
Dalam sebuah karya tidak ada kesempurnaan karena itu hanya milik
Allah SWT. Untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan.terima kasih.







DAFTAR PUSTAKA


Andersen, Lorin. W, Assessing Affective Characteristic In The Schools, Boston:
Allyn and Bacon, 1981.

Arikunto, Suharsimi, Dasar- Dasar Evaluasi Pendidikan,Jakarta , Bumi Aksara
2003

Arifin, Zaenal, Evaluasi Pembelajaran: Prinsip, teknik, Prosedur, Remaja
Rosdakarya Bandung, 2009

Corey, Gerald, Konseling dan Psikoterapi, Refika Aditama, Bandung, 1999

Dawam Ainurrafiq, Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren, Jakarta
Listafariska Putra, 2005

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,Jakarta, 1994

27
Sudijono, Anas, 2007. Pengantar Efaluasi Pendidikan , Jakarta, Rajawali Press, hal.17

77
Depdiknas, Undang Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas, Jakarta,
2003

Depag, Standar Penilaian Di Kelas , jakarta, 2003

Haryati, Mimin, Model Dan Teknik Penilaian Pada Tingkat Satuaan Pendidikan,
Jakarta,Gaung Persada Press, 2007

Kartono, Kartini, Hygiene Mental, Mandar Maju, Bandung 2000

Oliva,Peter.F, Developing The Curiculum,Bostontoronto,Little Brown And
Company 1982

Popham,W.James, Educational Evaluaton, Los Angeles, University Of California,
1992

Silverius, Suke,Evaluasi Hasil Belajar Dan Umpan Balik,Jakarta,Grasindo 1991

Sudijono, Anas, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1996.
____________,Pengantar Efaluasi Pendidikan , Jakarta, Rajawali Press,2007

Syaodih, Sukmadinata,Nana,pengendaliaan mutu pendidikan sekolah menengah,
Refika Aditama,Bandung, 2008

Thoha, M. Chabib, Teknik Evaluasi Pendidikan, Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2003

Zohar, Danah,SQ,Mizan, Bandung, 2001

78

SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
BERDASARKAN TAUHID ILMU
Hafiedh Hasan
1

e-mail :hasanhafiedh@yahoo.com

ABSTRAK

Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar kebudayaan bangsa
dan berdasarkan Pancasila dan UUD 45. tujuannya adalah mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya...(UUN
o.2/1989 tentang UUSPN). Dalam GBHN 1999 dituliskan tiga misi utama sistem
pendidikan nasional yang ternyata hasilnya tidak sesuai target. Kebanyakan para
pelajar lulusan sekolah yang sekarang ini dipercaya rakyat mengatur Negara
berakhlak kurang baik sehingga menyebabkan Negara kita mengalami
kemunduran seperti saat ini. Bahkan para pelajar yang belum lulus pun ada yang
bersikap negatif seperti tawuran, memakai dan menjual narkoba, melawan guru
dan orang tua, merusak fasilitas umum dan sebagainya. Kegagalan lainnya
terlihat pada kualitas pelajar Indonesia yang kemampuannya sekarang jauh
tertinggal dibanding pelajar dari negara serta standar kelulusan Indonesia yang
jauh dari standar internasional
Pendidikan berbasis tauhid merupakan salah satu solusi untuk pendidikan
di Indonesia, Pendidikan berbasis tauhid adalah keseluruhan kegiatan pendidikan
yang meliputi pembimbingan, pembinaan dan pengembangan potensi diri manusia
sesuai dengan bakat, kadar kemampuan dan keahlian masing-masing yang
bersumber dan bermuara kepada Tuhan, Allah SWT. Selanjutnya ilmu dan
keahlian yang dimilki diaplikasikan dalam kehidupan sebagai realisasi kokret
pengabdian dan kepatuhan kepada Allah. Upaya ke arah itu diawali dari
menanamkan nilai-nalai akhlaq al karimah (budi pekerti, tatakrama, (menurut
istialah lokal kita di indonesia) dalam diri setiap peserta didik kemudian
diimplementasikan kelak melalui peran kekhalifahan sebagai pemakmur dan
pemelihara kehidupan didunia ini.
Sedangkan konsep dasar dari Kurikulum Berbasis Tauhid adalah
menerapkan sebuah kurikulum pendidikan yang muatan maupun metode
pembelajarannya mengarah kepada pembentukan karakter Islami untuk
meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT. dan yang lebih prinsip dalam KBT
akan menghadirkan Allah pada semua materi pelajaran yang dipelajari siswa jadi
tidak ada pemisahan antara agama dengan kehidupan. Kehidupan di dunia adalah
sarana mencapai kesuksesan di akherat, kehidupan akherat merupakan kontrol
kehidupan kita di dunia

Kata kuci: Sistem Pendidikan, Tauhid Ilmu

1
Hafiedh Hasan, SpdI, MM adalah Dosen STIT Pemalang

79

A. Pendahuluan
Dalam Pembukaan UUD 1945 termaktub kalimat mencerdaskan
kehidupan bangsa, mengandung makna bahwa negara dengan segala upayanya
melahirkan patron, yakni undang-undang tentang sisten pendidikan nasional agar
rakyatnya cerdas intelektual dan spiritual. Negara berkewajiban memberi arah dan
tujuan sesuai dengan amanat pembukaan UUD 1945 dengan mengusahakan dan
menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan
keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia
dan memiliki ilmu pengetahuan sebagai modal untuk mengembangkan dirinya. Di
samping itu sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan
kesempatan pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi untuk menghadapi
tantangan zaman.
Untuk mencapai tujuan tersebut dibuat Undang-Undang tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) nomor 20 tahun 2003, yang pada intinya adalah
pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
dengan tujuan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat
jasmani dan rohani, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara
yang demokrasi serta bertanggungjawab.
Undang-Undang pendidikan tersebut memberikan fungsi pendidikan bagi
warga masyarakat agar memiliki ketangguhan iman sebagai benteng pertahanan
negara yang paling kuat, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai pakaian
kesalehan, berakhlak mulia sebagai tindakan yang harus selalu dijaga, sehat
jasmani dan rohani, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokrasi serta bertanggungjawab.
Undang Undang Pendidikan ini memberi arah yang jelas bagi
terselenggaranya Sistem Pendidikan Nasional yang mantap. Undang-undang
pendidikan nasional memuat aturan dan patron agar dapat menghantarkan negara
pada kemajuan, kesejahteraan, dan keadilan. Kader pemimpin negara masa depan
adalah putra/putri bangsa yang merupakan hasil produksi dari pada pendidikan
nasional kita.
Sistem pendidikan kita telah diuji dengan perkembangan zaman. Hari ini
semua orang menyalahkan sistem pendidikan yang belum membawa hasil yang
memuaskan, belum dapat meluluskan sarjana yang siap pakai. Kita patut bangga
karena tidak sedikit anak-anak indonesia yang meraih beberapa prestasi di dunia
internasional. Segudang prestasi mereka raih di bidang akademik seperti biologi,
fisika, matematika dan non akademik seperti di bidang musik. Anak-anak
indonesia mampu mengalahkan peserta dari negara maju lain. Namun di
balik kesuksenan tersebut banyak pelajar dan lulusan yang menunjukan sikap
yang tidak terpuji. Banyak pelajar yang terlibat tawuran, melakukan tindakan

80

kriminal pencurian penodongan,penyimpangan seksual, menyalah gunakan obat-
obatan terlarang dan sebagainya.
Keadaan ini semakin menambah potret pendidikan kita tidak menarik dan
tidak sedap dipandang makin menurunkan kepercayaan masayarakat terhadap
wibawa dunia pendidikan kita. Jika keadaan yang demikian tidak segera dicari
solusinya, maka akan sulit mencari alternatif yang lain yang paling efektif untuk
membina moralitas masyarakat. Berbagai solusi untuk memperbaiki dunia
pendidikan dan mencari sebab-sebabnya merupakan hal yang tidak dapat ditunda
lagi
Dilihat dari sudut pandang tujuannya, tujuan nabi ada dua. Pertama,
menyampaikan segala sesuatu yang menyangkut kehidupan akhirat dan yang
kedua adalah menyampaikan segala sesuatu yang menyangkut kesuksesan
manusia di dunia atau disebut dengan tauhid sosial. Tauhid sosial merupakan
sarana dalam mendekatkan diri pada Allah SWT. Manusia tidak dapat
mendekatkan diri pada Allah jika sistem yang berlaku disekitarnya adalah sistem
yang tidak adil. Nilai-nilai seperti keadilan, kejujuran, hak, cinta dan kasih sayang
merupakan contoh hal-hal yang dapat memuluskan jalan manusia pada kesejah
teraan dan keselamatan dunia akhirat.
Begitu pula ilmu pengetahuan. Dengan adanya ilmu, manusia dapat saling
berinteraksi dan bekerja sama demi mewujudkan tauhid sosial dalam masyarakat
karena puncak taqwa manusia adalah saat dia dapat mencintai orang lain seperti
dia mencintai dirinya sendiri.
Sesungguhnya kami telah mengutus Rasul-rasul kami dengan membawa
bukti yang nyata, dan telah kami turunkan bersama mereka kitab-kitab dan neraca
(keadilan) supaya manusia dapat menegakkan keadilan.

B. Pembahasan
Tauhid ilmu berasal dari dua kata yang berbeda yang masing-masing kata
tersebut memiliki konsep tersendiri. Tauhid bermakna kesatuan atau menyatukan.
Hal ini lebih ditujukan pada ke-Esaan Allah SWT. Sedangkan ilmu didefinisikan
oleh al-Jurjani sebagai keyakinan yang tetap, sesuai dengan peristiwa.
2
Ilmu
merupakan salah satu nikmat dari Allah diantara nikmat-nikmat Allah yang lain.
Ilmu yang diberi oleh Allah berdasarkan wahyuNya yaitu al-Kitab (studi yang
berkaitan dengan pengembangan rohani manusia yang dikembangkan melalui al-
dzikir kepada Allah SWT) dan al-Hikmat (studi yang berkaitan dengan
perkembangan potensi manusia melalui al-fikr kepada alam disekitarnya), jadi
tidak mungkin menjadi malapetaka tetapi melainkan sangat bermanfaat bagi
kehidupan manusia. Jadi tauhid ilmu merupakan kesatuan hubungan diantara
berbagai ilmu yang dikembangkan manusia agar dapat dimanfaatkan semaksimal
mungkin bagi kemanusiaan.

2
Http://www.islamlib.com/id/litdex. (Jaringan Islam Liberal).


81

Berdasarkan Al Quran, ada dua macam tauhid, yaitu Tawhid al-Allah dan
Insa-niyat. Terdapat lima tauhidullah yang saling berkaitan yaitu :
Rububiyat,Uluhyah, dan Mulukiyat. Sedangkan insaniyat mengandung beberapa
komponen, yang meliputi : musawat (persamaan) ukhuwat (persaudaraan),
tasamuh (toleran), musyawarat ( demokrasi), taawun (tolong-menolong),
ijtihat/jihat dan amal shaleh, takaful al-ijtima ( solidaritas), amar maruf nahyi
munkar dan istiqamat (teguh pendirian). Bila seseorang sudah memiliki sikap-
sikap diatas, maka ia termasuk orang-orang yang berada pada kualifikasi
kepribadian tazktyat (suci diri).
Tujuan beribadah dalam syari'at Islam adalah sehat dan bersih dari kotoran
jasmani rohani serta berakhlak mulia. Hal-hal inilah yang membedakan manusia
dengan makhluk lainnya, yaitu sebagai makhluk berakal yang mengabdi kepada
Allah (habl min al-Allah) dan makhluk sosial (habl min an-nas). Tuntutan
manusia sebagai makhluk berbudaya dan pengemban amanat khilafah membuat
manusia dianjurkan untuk memiliki ilmu pengetahuan demi terwujudnya tauhid
sosial dalam masyarakat.

.

Dan janganlah engkau mengikuti apa yang engkau tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya, karena sesunggunhnya
pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan dimintai
pertangguang jawabannya. Qs. Al-Isra (17) : 36


1. Tauhid Ilmu dalam Sistem Pendidikan Nasional
Sumber-sumber pengetahuan adalah A1 Qur'an dan alam. Al Qur'an
merupakan kitab suci umat Islam yang diturunkan Allah SWT kepada rasulNya
Muhammad SAW. Kitab ini berfungsi sebagai pedoman hidup, nasihat,
penyembuh berbagai penyakit hati, petunjuk dan rahmat umat manusia, juga
sebagai inspirator perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan di dunia.
5
Segala
pengetahuan yang berasal dari alam tidak mungkin bertentangan dengan Al
Qur'an dan tidak mungkin bersifat salah.
3
Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar kebudayaan bangsa
dan berdasarkan Pancasila dan UUD 45. tujuannya adalah mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya...(UUN
o.2/1989 tentang UUSPN). Dalam GBHN 1999 dituliskan tiga misi utama sistem
pendidikan nasional yang ternyata hasilnya tidak sesuai target. Kebanyakan para
pelajar lulusan sekolah yang sekarang ini dipercaya rakyat mengatur Negara
berakhlak kurang baik sehingga menyebabkan Negara kita mengalami
kemunduran seperti saat ini. Bahkan para pelajar yang belum lulus pun ada yang

3
Drs.H. Ayat Dimyati,M.dkk. 2000. Tauhid Ilmu dan Implementasinya dalam pendidikan.
Nuansa: Bandung. Hal.40

82

bersikap negatif seperti tawuran, memakai dan menjual narkoba, melawan guru
dan orang tua, merusak fasilitas umum dan sebagainya. Kegagalan lainnya
terlihat pada kualitas pelajar Indonesia yang kemampuannya sekarang jauh
tertinggal dibanding pelajar Malaysia serta standar kelulusan Indonesia yang jauh
dari standar internasional.
Pendidikan berbasis tauhid adalah salah satu ide besar Hidayatullah dalam
berbagi solusi pendidikan Islam dalam mempersiapkan generasi Islam masa
depan. Sehingga diperlukan sebuah identitas yang jelas dalam eksistensinya. Ada
pilar pilar penumpu pendidikan tauhid, yang mana di dalamnya dikembangkan
sistem nilai sebagai berikut sebagai pilar dasarnya:

1) Berpegang Teguh Pada Nilai-nilai Tauhid
Siswa/siswa harus memiliki kesadaran sebagai hamba dari Al Khaliq,
makhluk dari Sang Pencipta, dan posisi manusia yang dibekali akal oleh
Allah SWT, dilebihkan dari yang lain. Konskuensi dari kesadaran itu, setiap
individu yang ada memiliki pemahaman bahwa setiap aktivitasnya diatur oleh
yang Maha Mengetahui, yaitu Allah SWT. Dari pemahaman ini diharapkan
pula santri-santri yang dihasilkan memiliki landasan keimanan yang kuat
yang dihasilkan/terlahir dari proses berpikir secara jernih dan mendalam.
Dengan budaya ini, maka tindakan-tindakan harian/perilaku sehari-hari akan
mencerminkan dan dilandasi nilai-nilai keimanan/tauhid sebagai penampakan
pemahaman wajibnya terikat pada aturan Sang Pencipta.

2) Ketaatan ang Tinggi (budaya Samina wa athona)
Implikasi dari tingkat keimanan yang kuat dan keterikatan dengan
syariat Allah SWT adalah ketaatan yang tinggi. Baik ketaatan pada Allah
SWT, seruan Rasul-Nya, Ulil Amri yang menjalankan perintah Allah dan
Rasul-Nya, maupun ketaatan pada pimpinannya. Ketaatan ini bisa dipahami
sebagai wujud kepercayaan dan pengabdian seseorang kepada sesuatu yang di
luar dirinya sesuai dengan aturan-aturan Allah SWT. Dalam prakteknya,
konsep ketaatan ini akan terwujud dalam kehidupan sehari-hari siswa/siswa
seperti ibadah, pakaian, tingkah laku, proses belajar mengajar, ujian,
termasuk ketaatan pada pimpinan dan aturan-aturan pesantren.

3) Ukhuwah Islamiyyah dan silaturrahim
Sifat khas dari kaum muslimin adalah tertanamnya semangat dan
nilai-nilai ukhuwah Islamiyyah yang tinggi pada mereka. Nilai-nilai ini juga
akan ditanamkan pada siswa i sebagai wujud proses penyadaran bahwa
mereka adalah bagian dari kaum muslimin yang harus mengetahui apa
ituUkhuwah dan UkhuwahIslamiyyah. Semangat Ukhuwah Islamiyyah
muncul dalam sikap saling membantu dalam kebenaran dan taqwa dan tidak
saling bantu dalam kejahatan dan dosa, serta saling menasehati dalam
kebenaran dan kesabaran,


83

4) Kerja Keras (mujahadah dan saI)
Saswa/siswa diharapkan memiliki semangat untuk bekerja keras dan
semangat pantang menyerah. Semangat ini perlu ditanamkan sejak dini
sebagai upaya untuk mendidik para siswa/siswa agar mereka siap untuk
mengadapi realitas/kenyataan hidup di masa depan, tantangan-tantangan,
hambatan-hambatan, dan segala macam problema hidup yang akan ditemui.
Semangat ini dilandasi dari sirah Rasul dimana Rasul sangat senang dan
memuji para shahabat yang telapak tangannya keras sebagai wujud
kerja keras mereka. Jadi etos kerja harus menjiwai semangat hidup para
santri.

5) Belajar terus (budaya Iqro)
Sebagai seorang muslim kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan
adalah mencari ilmu, baik ilmu yang termasuk fardhu ain (tsaqofah Islam),
maupun ilmu yang termasu fardhu kifayah (ilmu kehidupan). Yang pertama
diperlukan seorang muslim agar menjadi orang yang kuat imannya dan tinggi
keshalehannya. Sedang ilmu yang kedua diperlukan untuk meraih kemajuan
material bagi diri dan masyarakat dalam rangka pelaksanaan tugas
kekhilafahan. Sikap kecintaan dan kegairahan menuntut ilmu harus menjiwai
setiap siswa. Untuk itulah siswa harus memiliki konsep-konsep dasar
keilmuan yang cukup sebagai pilarrujukan dari masyarakat. Dalam hal
keilmuan ini tentu tsaqofah Islam harus menjadi pemahaman yang lebih dari
ilmu-ilmu yang lain. Artinya pemahaman tentang tsaqofah Islam dalam
segala aspek akan menjadi modal yang sangat potensial dan cemerlang untuk
proses interaksi dan perubahan tatanan masyarakat sesuai syariat Islam.

6) Perjuangan dan Pengorbanan (Jihad dan hijrah)
Yang tidak pernah lepas dari para shahabat Rasul adalah semangat
juang dan semangat tempur yang tinggi dalam membela Islam. Semangat
juang ini juga akan menjadi semangat para santri/siswa dalam kehidupan
sehari-hari. Santri/siswa harus memilki kesadaran bahwa Islam memerlukan
perjuangan, kerja keras dan pengorbanan. Semangat untuk berjuang juga
ditanamkan dari sisi bahwa mereka akan terjun dengan kehidupan nyata yang
sangat keras, jahiliyah, dan brutal, untuk itu para santri/siswa ditanamkan
untuk selalu memiliki semangat perjuangan yang tinggi dan pantang
menyerah.

7) Keikhlasan
Sebagai seorang muslim, sudah selayaknya seorang santri/siswa
memiliki sifat-sifat yang mulia seperti yang pernah dicontohkan oleh Rasul
SAW. Salah satu sifat yang selalu dicontohkan oleh Rasul adalah sikap
ikhlas. Sikap ikhlas ini merupakan salah satu syarat supaya amal diterima
oleh Allah SWT.


84

8) Kejujuran (Shidiq)
Sifat dan karakteristik yang juga harus dimiliki oleh santri adalah sifat
jujur. Jujur bukan semata-mata norma yang berlaku di masyarakat, namun
sikap jujur yang memang dilandasi oleh perintah syara. Sifat ini akan
menanamkan image dan pandangan pada masyarakat bahwa santri/siswa yang
dihasilkan memang orang-orang yang memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan
pandangan Islam. Dari sikap ini akan muncul kepercayaan dari masyarakat,
sikap simpati, dan kerjasama berlandaskan kejujuran sebagai salah satu
landasan moril yang ada di masyarakat.

9) Kemandirian dan Ulet
Siswa/santri dibekali dengan semangat dan tekad untuk memiliki
kemandirian dalam hidupnya. Artinya dalam menghadapi segala
permasalahan hidup sangat ditekankan untuk bersikap dan berbuat
semaksimal dan seoptimal mungkin dengan kekuatan dan sumberdaya
sendiri. Selama siswa/santri sendiri mampu mengatasi maka diprioritaskan
untuk diselesaikan dengan sumberdayanya sendiri. Sikap mandiri merupakan
modal dasar bagi santrinya untuk sukses dalam berwirausaha apabila telah
selesai masa pendidikan mereka.

10) Keteladanan (Uswatun Hasanah)
Apabila telah berbaur dan menyatu dengan masyarakat, maka yang
dibutuhkan adalahistiqomah dan suri teladan. Begitu bagi para siswa/santri,
sikap untuk selalu istiqomah berpegang teguh dengan aturan Allah, dan
mengaplikasikan dalam perbuatan sehari-hari akan memberikan citra positif
di masyarakat. Keteladan ini perlu ditanamkan pada para santri, karena
mereka adalah unsur dari masyarakat yang notabene memiliki pemahaman
Islam yang cukup, dan telah dididik untuk menjadi uswah bagi masyarakat.
11) Kebersihan, Kerapihan, dan Keindahan
Siswa/santri sejak dini harus diberikan kesadaran dan pemahaman tentang
kewajiban untuk memelihara kebersihan, menjaga kerapihan, dan mengatur
lingkungannya agar selalu indah. Karena dengan demikian maka ia akan
mendapatkan pahala dari Allah SWT. di satu sisi, mendapat berkah sehat
disisi lain, dan mendapat simpati masyarakat karena kebersihan dan
kerapihannya.

12) Kedisiplinan
Salah satu kunci keberhasilan Rasul dan para sahabat dalam
membangun masyarakat Madinah adalah kedisiplinan Rasul mendidik para
shahabat. Rasul memberikan suri tauladan dengan contoh akhlak-akhlak
mulia berupa menepati janji, jujur dan tepat waktu. Untuk itu santri/siswa

85

sejak awal dididik untuk memiliki sifat disiplin yang tinggi, tepat waktu dan
selalu berpegang teguh pada akad yang dibuat. Kedisiplinan akan membawa
santri/siswa pada pekerjaan dan hasil yang optimal.Secara manajerial
dipahami bahwa kedisiplinan merupakan awal dari suatu keberhasilan.

13) Inovatif dan Kreatif
Inovatif adalah suatu suatu daya upaya yang dilakukan untuk
menemukan hal-hal baru yang sebelumnya belum ada. Sedangkan kreatif
adalah suatu upaya untuk mengembangkan sesuatu yang sudah ada menjadi
sesuatu yang lain yang lebih baik. Sikap inovatif dan kreatif juga ditanamkan
pada santri/siswa sejak dini, agar para santri/siswa mampu menciptakan karya
baru, serta mampu mengembangkan teknologi yang ada agar memilki nilai
yang lebih dari nilai sebelumnya.
4


Undang-undang pendidikan kita selalu ketinggalan dengan pesatnya
perkembangan teknologi dan ekonomi dan Undang Undang pendidikan juga
belum mampu memproduk hasil yang sesuai dengan tuntutan zaman apalagi
untuk menciptakan SDM yang handal untuk menyelesaikan selaksa problematika
hidup. Jika substansi yang terdapat dalam batang tubuh Undang-undang tersebut
ditelaah secara seksama, tampak bahwa secara keseluruhan cukup ideal. Namun
ideal ini belum tampak dalam realitas. Seluruh pakar berpendapat bahwa dasar
pendidikan Islam adalah tauhid. Kurikulum Pendidikan Islam harus dirancang
berdasarkan konsep tauhid dalam hubungannya dengan pengembangan ilmu
pengetahuan. Fungsi pendidikan Islam harus berfungsi sebagai penyiapan kader-
kader khalifah. Sifat dan syarat seorang pendidik.
Ada beberapa sifat dan syarat seorang pendidik diantaranya:
1. Setiap pendidik harus memiliki sifat rabbani. Seorang guru hendaknya
menyempurnakan sifat rabaniahnya dengan keikhlasan. Ketka menyampaikan
ilmunya kepada anak didik, seorang pendidik harus memiliki kejujuran
dengan menerapkan apa yang dia ajarkan dalam kehidupan pribadinya
2. Seorang guru harus senantiasa meingkatkan wawasan, pengetahuan, dan
kajiannya.
3. Seorang pendidik hendaknya mengajarkan ilmunya dengan sabar.
4. Seorang pendidik harus cerdik dan terampil dalam menciptakan metode
pengajaran yang variatif serta sesuai dengan situasi dan materi pelajaran.
5. Seorang guru harus mampu bersikap tegas dan meletakkan sesuatu sesuai
proposinya sehingga dia mampu mengontrol dan menguasai siswa.
6. Seorang guru dituntut untuk memahami psikologi anak, psikologi
perkembangan, dan psikologi pendidikan
7. Seorang guru dituntut untuk peka terhadap fenomena kehidupan
5



4
Tim editor, Orientasi Nilai Dasar Islam, (Yogyakarta : UII Press, 2004), hlm.22

86

Salah satu ciri masyarakat Indonesia adalah religius. Sedangkan nilai
keagamaan yang paling mendasar adalah nilai ketauhidan. Termasuk dalam dunia
pendidikan. Tujuan pendidikan hendaknya tidak direduksi hanya pada aspek
material semata. Pendidikan seharusnya justru mengintegrasikan kekuatan besar
manusia, yaitu akal dan jiwa. Akal membutuhkan informasi, dan jiwa sangat
membutuhkan petunjuk (wahyu). Oleh karena itu kita perlu satu konsep
pendidikan yang berbasis tauhid. Sebuah konsep pendidikan yang mengantarkan
peserta didik mengenal dirinya sekaligus mengenal Allah, tumbuh spirit
belajarnya, tampil dengan semangat etos kerja yang membanggakan, dengan niat
semata-mata karena Allah demi umat Islam.
Karena itu sistem pendidikan bangsa kita haruslah berlandaskan
ketauhidan. Pengembangan kurikulum berasaskan tauhid yang kondusif dan
memudahkan para peserta didik biasanya dikembangkan dalam isi materi,
sehingga para pengembang kurikulum haruslah orang yang tidak hanya pakar
dalam ilmu mereka masing-masing tetapi juga orang yang memiliki kepakaran
dalam bidang agama. Kurikulum berasaskan tauhid adalah kurikulum yang dalam
penyampaiannya tidak lepas dari keesaan Tuhan, keesaan manusia, dan
keesaan alam.
5

Efektifitas dan implementasi makna tauhid ilmu dalam kurikulum
pendidikan nasional tergantung pada para pelaksana pendidikan di lapangan.
Karena itu kurikulum dalam arti luas tidak hanya mengenai isi materi tetapi juga
terdapat komponen-komponen lain yang mendukung seperti :
1. Sarana dan prasarana pendidikan misalnya : lingkungan, situasi dan kondisi,
gedung, ruang kelas, audio visual aid, perpustakaan dan lain-lain.
2. komponen pelaksana pendidikan seperti : guru/dosen, petugas administrasi,
petugas kebersihan, dan lain-lain

Guru atau dosen berfungsi sebagai ujung tombak pendidikan. Mereka
bukan hanya berfungsi sebagai pentransfer ilmu pengetahuan tetapi juga
berfungsi sebagai pendidik yang bertanggung jawab terhadap pembentukan
kepribadian pelajar.
Dengan demikian yang di maksud pendidikan berbasis tauhid adalah
keseluruhan kegiatan pendidikan yang meliputi pembimbingan, pembinaan dan
pengembangan potensi diri manusia sesuai dengan bakat, kadar kemampuan dan
keahlian masing-masing yang bersumber dan bermuara kepada Tuhan, Allah
SWT. Selanjitnya ilmu dan keahlian yang dimilki diaplikasikan dalam kehidupan
sebagai realisasi kokret pengabdian dan kepatuhan kepada Allah. Upaya ke arah
itu diawali dari menanamkan nilai-nalai akhlaq al karimah (budi pekerti,
tatakrama, menurut istialah lokal kita di indonesia) dalam diri setiap peserta didik
kemudian diimplementasikan kelak melalui peran kekhalifahan sebagai

5
Drs.H.Ayat Dimyati,M.dkk. 2000. Tauhid Ilmu dan Implementasinya dalam Pendidikan.
Nuansa Bandung. Hal.78

87

pemakmur dan pemelihara kehidupan didunia ini. Sebab pada dasarnya tujuan
akhir pendidikan menurut islam adalah:
1. Terbentuknya insan kamil ( manusia universal,conscience) berwajah Qurani
2. Terciptanya insan kaffa yang memilki dimensi-dimensi religius, budaya, dan
ilmiah
3. Penyadaran terhadap eksistensi manusia sebagai abd ( hamba ), khalifah,
pewaris perjuangan risalah para Nabi atau Rosul Allah SWT.
6


Konsep pendidikan berbasis ketuhanan, mengharuskan setiap orang baik
dalam kapasitas sebagai sebyek maupun obyek yang memasuki kehidupan yang
kaffa ( Q.s. Al-Baqarah/2:208). Seseorang mencapai derajat yang sempurna.
Kesempurnaan seorangmanusia memilki hubungan erat dengan unsu-unsur
keutamaan ( al fadhil ) atau berfungsinya semua daya yang dimiliki oleh setiap
orang sesuai dengan tuntunan kesempurnaan yang dimilki oleh manusia.
Sebaliknya daya-daya yang tidak berfungsi sesuai dengan tuntunan
kesempurnaan, maka ia akan melahirkan keburukan atau al-razail.
Perwujudan kepribadian yang selalu menampilkan keutamaan atau
kebaikan itu merupakan suatu sikap utuh yang mencerminkan nilai-nilai
ketuhanan dan kemanusiaan yang diketahui melalui sikap dan perilaku yang
semakin humanis, toleran, dan bijak dalam pandangan dan kebijakan serta
mendatangkan berbagai nilai guna yang dapat membahagiakan pihak lain dalam
kehidupan bersama.
7


2. Kurikulum Pendidikan Berdasarkan tauhid Ilmu
Kalau kita mau berbicara mengenai KBT kita mulai dari landasan berfikir
kita, firman Allah dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar
mereka beribadah kepada-Ku ...(QS Al-Dzariyat (51):56). Sungguh telah ada
pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (QS Al-Ahzab (33): 21)
"Tuhanku mendidikku dengan sebaik-baiknya, maka sungguh baiklah
pendidikan-ku." (HR Ibn Sam'ani).
Dari sini kita harus menyadari bahwa tujuan penciptaan manusia adalah
untuk beribadah kepada Allah dalam arti luas, cara beribadah kita kepada Allah
telah dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Jadi konsep dasar dari
Kurikulum Berbasis Tauhid adalah menerapkan sebuah kurikulum pendidikan
yang muatan maupun metode pembelajarannya mengarah kepada pembentukan
karakter Islami untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT. dan yang
lebih prinsip dalam KBT akan menghadirkan Allah pada semua materi pelajaran
yang dipelajari siswa jadi tidak ada pemisahan antara agama dengan kehidupan.
Kehidupan di dunia adalah sarana mencapai kesuksesan di akherat, kehidupan
akherat merupakan kontrol kehidupan kita di dunia.

6
Ismail Faruqi Razy, Tauhid, (Bandung: Pustaka, 1988), hlm. 27
7
Muhammad Ismail Yusanto, Menggagas pendidikan Islam, (Jakarta: Al Azhar Press, 2004), hlm. 57

88

Kurikulum merupakan materi yang harus diajarkan pada para peserta didik
dalam suatu program pendidikan. Secara luas, kurikulum dapat diartikan sebagai
keseluruhan pengalaman belajar para peserta didik yang dapat mendukung proses
perkembangan dirinya kearah perwujudan sesuai dengan tujuan pendidikan.
Dengan adanya kedua pengertian tersebut dapat dipahami bahwa pada
kenyataannyam, materi saja tidak akan cukup dalam membentuk sebuah
kepribadiaan bagi peserta didik, tetapi juga harus dapat dipadukan dengan
kegiatan-kegiatan positif yang saling berinteraksi satu sama lain sehingga
menimbulkan suatu pengalaman belajar yang berarti. Sehingga berdasarkan
pengalaman-pengalaman tersebut terjadilah suatu proses perubahan tingkah laku.
Kurikulum Berbasis Tauhid, Kurikulum ini berlandaskan Aqidah Islam, sifat dan
kandungan kurikulum bertujuan mencetak karakter Islami pada diri siswa untuk
mewujudkan kehidupan Islami berdasar Al Qur'an dan Sunnah. Prinsip dasarnya
manusia hadir di dunia tidaklah bebas sekehendaknya, namun lengkap dengan
aturan Allah yang melekat pada dirinya. Seluruh perbuatan diukur dari halal dan
haram, syari atau tidak syari, Allah ridho apa tidak.
Dalam prosesnya, pendidikan keilmuan harus terpadu dengan pendidikan
ketauhidan. Perkembangan pendidikan yang berasaskan tauhid dapat dilakukan
sedini mungkin. Dimulai dari pndidikan dasar 9 tahun dimulailah penanaman ilmu
tauhid yang berorientasi syariah praktis. Dengan kemampuan daya absorbsi
perkembangan psikologis dan kondisi sosiologisnya serta dengan pendekatan
interdisipliner maka penanaman tauhid ilmu pada usia dini akan sangat mudah.
Seiring dengan perkembangan sifat psikologisnya, sifat-sifat sosial dan
lingkungan juga perlu diarahkan untuk memancing respon nalar almiah peserta
didik. Praktik etika dan moral sesuai dengan usia dan pergaulannya perlu
diimbangi dengan penanaman sifat-sifat istiqamah, toleransi, dan penghargaaan
atas hal-hal orisinil.
Dalam jenjang pendidikan tinggi mulai dilakukan penekanan pada proses
disipliner dengan tauhid-tauhid ilmu yang lebih nalariah, kritis, kreatif, namun
tetap imaniah. Melalui pendidikan akademik maupun pendidikan profesional
dibangun jalur-jalur pendidikan yang memperhatikan mobilitas mahasiswa dalam
memilih bidang studi. tauhid tidak sekadar dijadikan mata pelajaran tetapi lebih
sebagai sistem filsafat yang mendasari keseluruhan sistem pendidikan. Dalam
bahasa Prof. Dr. H Mastuhu, M.Ed (2000) tauhid akan menjadi payung yang
akan menaungi keseluruhan proses pendidikan agar tetap berada dalam
bingkainya. Pengayaan materi pelajaran dalam proses belajar mengajar harus
merupakan cerminan dari tauhid. Karena subyek utama dalam pendidikan adalah
manusia, maka dengan tauhid ini pendidikan hendak mengarahkan anak didik
menjadi manusi tauhid, dalam arti memiliki komitmen yang tinggi terhadap
Tuhannya dan menjaga hubungan baik dengan sesama dan lingkungannya.
Dengan kalimat lain, pendidikan dalam perspektif tauhid hendak mengarahkan

89

manusia pada tiga pola hubungan fungsional: hubungan dengan Tuhan (aspek
teologis), manusia (antropologis) dan alam (kosmologis).
8
Pendidikan islam merupakan aktivitas bimbingan yang disengaja untuk
mencapi kepribadian muslim, baik berkenaan dengan jasmani, rohani, maupun
akhlak. Salah satu komponen operasional pendidikan dalam sistem belajar adalah
kurikulum pendidikan. dalam Konferensi Pendidikan Islam Pertama Sedunia
kurikulum pendidikan islam dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu :
1. Pengetahuan abadi. Pengetahuan ini diberikan berdasarkan wahyu Illahi yang
diturunkan dalam Al Qur'an dan Sunnah.
2. Pengetahuan yang diperoleh. Yaitu ilmu-ilmu sosial alam dan terapannya.
Dari dua kelompok tersebut maka disusun kurikulum sebagai berikut:
a. Pengetahuan abadi
kajian tentang kitab suci Al Qur'an dan Sunnah
studi fiqih (hukum Islam)
studi syanah
kebudayaan lslam
studi naskah-naskah langka
bahasa-bahasa
b. pengetahuan yang diperoleh
sastra
seni dan keterampilan
ilmu-ilmu sosial
ilmu-ilmu terapan
9


Dengan mempertimbangkan orientasi kurikulum dan prinsip integralisasi,
sistematik, ekologik dan fleksibilitas, kurikulum disusun dan dikembangkan untuk
memenuhi kebutuhan peserta didik, paling tidak memenuhi beberapa hal
mendasar sebagai berikut :
1) Materi kurikulum harus merupakan integtasi ilmu (Tauhid Ilmu/Ilmu Islam)
2) Materi yang disusun tidak menyalahi fitrah manusia
3) Adanya relevansi dengan tujuan pendidikan Islam, yaitu sebagai upaya dalam
rangka ibadah kepada Allah;
4) Disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan usia anak didik
5) Perlunya membawa anak didik kepada objek emperis, sehingga anak didik
mempunyai keterampilan-keterampilan yang memenuhi kebutuhan-
kebutuhan masyaraka, dan dapat mencari penghidupan yang layak; Materi
yang diajarkan tidak hanya bersifat teoritis tetapi juga bersifat praktis
6) Adanya penyusunan kurikulum yang integral, terorganisasi, dan terlepas dari
segala kontradiksi antara materi satu dengan materi lainnya
7) Materi yang disusun memiliki relevansi dengan masalah-masalah aktual

8
H.Ayat Dimyati, M.dkk, Tauhid Ilmu dan Implementasinya dalam Pendidikan, (Nuansa:
Bandung, 2000), hlm.
9
Syafaruddin. 2009. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Hijri Pustaka Utama hal 20

90

8) Adanya metode yang mampu menghantarkan tercapainya materi pelajaran
dengan memperhatikan perbedaan masing-masing individu
9) Materi yang disusun mempunyai relevansi dengan tingkat perkembangan
anak didik dan aspek-aspek sosial dan mempunyai pengaruh positif serta
pragmatis
10) Memperhatikan kepuasan pembawaan fitrah
11) Memperhatikan pendidikan kejuruan untuk mencari penghidupan dan adanya
ilmu alat untuk mempelajari ilmu-ilmu lain
12) Setiap jenis dan jenjang pendidikan harus mengandung muatan yang bersifat
Tauhid Ilmu (Integrasi Ilmu Islami), sehingga ilmu apa saja yang
dikembangkan selalu berorientasi pada ajaran Islam (pengembangan Ilmu
Islam).
10


Demi kelancaran kurikulum sistem pendidikan yang telah ditetapkan,
maka pemerintah telah menyusun Arah Kebijakan Pendidikan Nasional 5 tahun
untuk menyusun program pembangunan nasional. Butir-butir kebijaksanaanya
adalah sebagai berikut:
a. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh
pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat demi terciptanya manusia
Indonesia yang berkualitas tinggi.
b. Meningkatkan kemampuan akademik dan professional serta meningkatkan
jaminan kesejahteraan tenaga pendidikan sehingga tenaga pendidik mampu
berfungsi secara optimal.
c. Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk penyusunan kurikulum
yang berlaku nasional dan local sesuai kepentingan setempat. Serta
diversifikasi jenis pendidikan secara professional.
d. Memberdayakan lembaga pendidikan, baik sekolah maupun non sekolah
sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan
partisipasi masyarakat yang di dukung sarana dan prasarana yang memadai.
e. Melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan nasional
berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen.
f. Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan untuk memantapkan sistem
pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni.
g. Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara
terarah, terpadu, dan menyeluruh agar generasi muda dapat berkembang
secara optimal disertai dengan hak lingkungan dan perlindungan sesuai
dengan Potensinnya.
Tetapi kita juga harus maklum bahwa semua kehidupan berawal dari
keluarga. Disamping lembaga pendidikan yang harus diikuti sedini mungkin,
keluarga adalah pusat segala pendidikan yang menjadi inti dari segala upaya
pendidikan. Maka dari itu, sebuah keluarga harus dibangun dengan landasan

10
S. Nasution, Asas-asas Kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 34

91

agama yang kokoh sehingga terwujud keluarga sakinah. Dan dengan adanya dasar
keimanan yang kuat diharapkan kelak akan menghasilkan sumber daya manusia
yang tangguh dalam menghadapi kemajuan zaman.
11

C. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas maka selanjutnya dapat diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:
1. Bermujahadah dalam mentadabburi, mentafakkuri kandungan kitab suci al-
Quran dan mengamalkannya secara massal bahkan kolossal. Tidak bisa
hanya pribadi, atau kelompok semata. Tetapi harus serempak dan sinergis
berkesinambungan.
2. Meninggalkan paham anthroposentris dan segera menuju pada paham tauhidi.
Sebagaimana atsar sayyidina Ali bahwa, akal dan wahyu ibarat dua tanduk
yang tidak bisa dipisahkan apalagi dipertentangkan.
3. Seluruh umat Islam berkewajiban meningkatkan kepekaan atau sensitivitas
terhadap kondisi umat Islam secara menyeluruh, sehingga lahir kepedulian
yang tinggi untuk bersama-sama mengambil peran dalam menjawab
tantangan zaman.
4. Mulailah satu gerakan walau kecil untuk mencintai dan memakmurkan
masjid. Setidaknya dengan cara meramaikan pelaksanaan sholat jamaah di
masjid lima waktu, meningkatkan kuantitas dan kualitas kegiatan keilmuan di
masjid, bahkan mungkin kegiatan ekonomi di masjid.
5. Setiap muslim hendaknya meningkatkan kualitas diri dengan mempertajam
bekal keilmuan ukhrowi dan duniawi sekaligus. Kita tidak boleh hanya
paham satu ilmu dan lupa terhadap ilmu yang lain






DAFTAR PUSTAKA



Ayat Dimyati, M. dkk, Tauhid Ilmu dan Implementasinya dalam Pendidikan,
Nuansa : Bandung, 2000.

Faruqi, Ismail Razy, Tauhid, Bandung: Pustaka, 1988.

Http://www. Islamlib.com/id/index. (Jaringan islam Liberal). di akses pada
tanggal 11 juni 2013.


11
Ibid, hlm 45

92

Nasution. S, Asas-asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

, Pengembangan Kurikulum, Bandung: Bumi Aksara, 1993.

Surya, Muhammad, Integrasi Tauhid I1mu dalam Sistem Pendidikan Nasional,
dalam Hendar Riyadi (ed.), Tauhid Ilmu dan Implementasinya dalam
Pendidikan, Bandung: Penerbit Nuansa, 2000.

Syafaruddin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2009.

Tim editor, Orientasi Nilai Dasar Islam, Yogyakarta: UII Press, 2004.

Yossi Suparyo, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, Yogyakarta: Media
Abadi, 2005.

Yusanto, Muhammad Ismail, Menggagas pendidikan Islami, Jakarta: Al Azhar
Press, 2004.
93

Novel Lauh Mahfuz:
Agama dan Harmonisasi Keberagamaan
Arif Hidayat
1


Abstrak

Manusia memang beragam, penuh perbedaan, unik, dan punya jalan pikir
masing-masing, selalu ada sisi-sisi yang tersembunyi di dalamnya, sudut-sudut
gelap yang harus dibaca dengan teliti dan cermat untuk menuju pada makna
sebenarnya karena semuanya memiliki kemungkinan untuk diinterpretasi.dan
menarik untuk diapresiasi.
Demikianpun Novel Lauh Mahfuz karya Nugroho Suksmanto, yang penuh
dengan pesan-pesan bermakna terkait dengan cara memahami agama, mengatasi
perbedaan, dan harmonisasi dalam keberagaman.
Perlu untuk diketahui dan dipahami bahwa untuk memahaminya tidak
hanya dibangun melalui susunan peristiwa, tetapi juga dapat dimunculkan
melalui tokoh yang melatarbelakangi sistem sosial dan budaya tertentu. Dalam
novel Lauh Mahfuz, tokoh menjadi artikulasi ganda atas keperibadian yang
memiliki pandangan, juga tindakannya adalah proyeksi dari wacana. Adanya
tokoh Syekh Abu Salaf dan Syekh Ibnu Khalaf misalnya, dapat kita identifikasi
sebagai dua tokoh yang memiliki dua pandangan besar yang dalam konteksnya
dapat kita hubungkan dengan keberadaan kaum Salaf dan Khalaf.
Novel Lauh Mahfuz memberikan kita seberkas cahaya untuk menyadari
hakikat perbedaan yang penuh dengan konflik. Kita serasa diajak masuk pada
ruang yang punya banyak pintu untuk menyalakan cahaya di dalam hati dan
memahami hidup beragama secara humanis dan terbuka pada perbedaan.

Kata Kunci : Agama, Harmonisasi, Keberagaman

Pengantar
Sebuah kabar yang menggembirakan dari langit itu dipahaminya melalui
bahasa, maka bacalah. Begitulah wahyu pertama yang turun di gua Hira,
melalui perantara Malaikat Jibril, yang disampaikan dengan Bahasa Arab. Dan
al-Quran adalah al-Quran, Kitab Suci yang diturunkan Allah untuk
keselamatan umat manusia, yang mana Nabi Muhammad Saw sebagai utusan-
Nya. Sebagaimana bahasa al-Quran yang estetis, ia memiliki tujuh tingkatan
makna, dari yang sangat mudah dipahami sampai hanya yang diketahui oleh
Allah. Saat dipahami lebih mendalam, al-Quran kaya makna, yang memiliki

1
Arif Hidayat, M.Hum adalah Dosen LB di STAIN Purwokerto dan di Sekolah Tinggi
Teknik Telematika Telkom Purwokerto
94

pengaruh besar dari saat turun sampai waktu-waktu yang akan datang. Hanya saja,
pasca Nabi Muhammad Saw wafat, mulai banyak penafsiran sehingga
muncul perbedaan dengan klaim-klaim kebenaran subjektif.
Manusia memang beragam, penuh perbedaan, unik, dan punya jalan pikir
masing-masing, seperti yang saya temukan saat membaca novel berjudul Lauh
Mahfuz karya Nugroho Suksmanto. Novel yang cukup menyita waktu itu,
akhirnya selesai saya baca, dan menarik untuk diapresiasi terkait dengan cara
memahami agama, mengatasi perbedaan, dan harmonisasi dalam keberagaman.
Sebelumnya, bolehlah saya berasumsi bahwa novel tak hanya terdiri dari
sederet susunan cerita saja, jauh lebih dari itu, novel menawarkan pada kita ruang-
ruang peristiwa yang kompleks tentang sebuah dunia yang dipandang secara
partikular dan unik oleh pengarang. Realitas ditampilkan dalam sudut pandang
yang berbeda dengan prinsip permainan bahasa, penuh kotradiksi. Begitulah
asumsi yang ditawarkan oleh kalangan postuktural semacam Barthes dan Foucault
misalnya, terkait cara menyikapi teks, tak terkecuali juga novel yang
menggunakan bahasa sebagai medium. Tentunya, kita harus membuka tanda dusta
yang direka oleh pengarang. Melalui kemungkinan yang terbuka, kita dapat
memasuki tatanan sosial yang dikonstruk dalam proses dialektika panjang antara
yang nyata dan yang fiktif, antara yang real dan simbolik. Resikonya, tak jarang
pula harus berhadapan dengan kode konotasi yang dibangun dalam cerita
sehingga kita serasa bertualang dalam persepsi tokoh, situasi, dan konflik-konflik
yang membuat dimensi emosi kita muncul sebagai respons. Kombinasi yang
kompleks itu dapat kita cermati melalui sistem tanda yang ada di dalamnya,
kemudian kita serasa terbang mengelilingi gugusan wacana, tentunya dengan
membaca entitas berkabut yang ada di sekitarnya.
Novel berjudul Lauh Mahfuz memiliki kompleksitas semacam itu: seperti
sebuah bangunan dengan konsekuensi sastrawi untuk memusatkan cerita pada
sudut pandang tertentu, namun tersedia banyak pintu dan jendela untuk
memasukinya. Novel ini bercerita tentang tokoh Panji dalam memahami esensi
hidup, yang ditemukan melalui jalan beragama, kemudian mendaki tujuh langit
menuju Lauh Mahfuz untuk mengubah nasib agar tidak banyak korban tak
berdosa berjatuhan di muka bumi. Tokoh Panji mengalami berbagai macam
persoalan, dari proses kehidupan sehari-hari yang sangat sepele, sampai memasuki
alam metafafisik yang penuh dengan fenomena kontradiktif. Dia, sejak kecil, telah
terhubung dengan dimensi ruh sehingga bisa berkelana pada alam ghaib dan
terhubung dengan beberapa orang yang memiliki kekuatan mistis. Maka itulah,
tokoh Panji dapat melakukan perjalanan spiritual (dengan berbagai macam
rintangan) setahap demi setahap dengan bimbingan Syekh Abu Salaf
menuju puncak tertinggi (yang digambarkan sebagai Lauh Mahfuz).
Pertanyaan yang muncul kemudian: apakah hanya cerita seperti itu yang
hendak ditawarkan dari sebuah novel? Seperti yang telah saya katakan
sebelumnya bahwa novel memiliki ruang yang sangat lebar dan bervariasi, maka
yang perlu untuk dicermati secara mendalam pada novel Lauh Mahfuz adalah
95

pada proses dialektika cerita itu sendiri dan usaha menemukan kemungkinan
tersembunyinya sebagai entitas yang berada di sekitar teks karena selalu ada
kode, semacam celah bagi kita untuk memasuki ruang itu. Kita pun dihadapkan
pada pandangan yang ideal dan faktual, dengan proyek panjang tentang agama
yang menimpa manusia, yang tak kunjung selesai. Kira-kira semacam kematian
masal yang pecah di dalam ingatan, atau semacam konsep-konsep yang membuat
kita tercengang pada sebuah kemuliaan dengan seakan-akan tiada batas lagi dunia
ini, yang dapat membuat kita keluar masuk pada sebuah rahasia.
Namun saya tekankan, bahwa selalu ada sisi-sisi yang tersembunyi di
dalam teks: sudut-sudut gelap yang harus dibaca dengan teliti dan cermat untuk
menuju pada makna teks karena semuanya memiliki kemungkinan untuk
diinterpretasi. Tak ada yang di luar teks, kata Derrida. Pada wilayah itu, saya
pikir, kita dapat memasuki kedamaian dan kedalaman makna melalui retorika
imaji dari novel Lauh Mahfuz atas cerita yang cukup keramat. Maka itu, hasrat
untuk memburu entitas pun harus kita redam-terkendali, kita telusuri dengan
pelan-pelan agar tidak tersesat ataupun terjebak dalam perangkap yang kita buat
sendiri.

Novel, Kode, dan Wacana
Kalau sudah begitu, acuan macam mana yang mesti digunakan untuk
berburu makna dengan membuka per lembar halaman? Sekiranya, mula-mula,
kita bisa bercermin pada novel-novel dengan tema agama yang pernah ada dulu:
yang menyinggung tentang agama. Sebutlah misalnya, novel Anak-anak
Gebelawi karya Naguib Mahfouz (novelis asal Mesir) yang banyak mendapatkan
kritik pedas dari para ekstrimis Islam. Atau, novel Ayat-ayat Setan karya Salman
Rushdie yang membuatnya harus bersembunyi karena banyaknya orang yang
ingin membunuh (karena dinilai telah melecehkan agama). Namun, pujian
terhadap novel yang bertema agama juga ada, semisal novel-novel karya
Rabindranath Tagore, yang kemudian membawanya meraih nobel. Sementara itu,
di Indonesia, kita bisa melihat pada novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja
terbitan Balai Pustaka, 1949, yang menimbulkan pembahasan cukup panas
dengan penolakan dari beberapa tokoh agama, tetapi juga ada sambutan baik pada
novel-novel karya Kuntowijoyo dengan semangat profetik ataupun pada novel-
novel Habiburahman El Shirazi yang cukup popular.
Lantas, bagaimanakah kondisi terakhir novel Indonesia? Faruk
memandang bahwa novel Indonesia mutakhir berada dalam pergumulan antara
totalisasi dan detotalisasi.
2
Maksud dari pernyataannya, bahwa novel Indonesia
mutakhir berusaha untuk mengungkap nilai-nilai pada wilayah yang terdegradasi
atas realitas yang telah terdegradasi. Realitas dimodifikasi dengan sedemikian
rupa untuk menyampaikan pesan-pesan humanis atas peristiwa yang mengalami

2
Faruk. Beyond Imagination: Sastra Mutakhir dan Ideologi. Yogyakarta: Gama Media,
2001, hlm. 34-35
96

ketimpangan. Pendapat Faruk tentang totalisasi dan detotalisasi mencapai titik
temu dalam jejak transisi yang saling terhubung antara realitas yang ideal,
subjektif, dan dimensi ketuhanan.
3
Tampaknya, begitu pula dengan novel Lauh
Mahfuz yang berusaha untuk menyampaikan pandangan tentang agama dalam
menyikapi perbedaan cara pandang karena banyaknya perselisihan tentang agama.
Ada hubungan yang dialogis antara yang ideal, subjektif, dan dimensi ketuhanan,
dengan memuat fenomena paradoks atas agama yang seharusnya mengarahkan
pada kesejahteraan, kedamaian, keselarasan dan harmonisasi hidup, tapi justru
menjadi akar masalah atas perselisihan hanya demi pencapaian klaim
kebenaran. Nah, sampai di sini, sedikitnya, kita telah memahami gambaran ruang
yang penuh dengan alegori tersebut, beserta tatanan Imajiner yang dilingkari oleh
konsep refleksi dari realitas.
Adapun dalam memahami sistemisasi kode yang dibangun di dalam novel
Lauh Mahfuz karya Nugroho Suksmanto harus dipahami secara bertingkat, yakni
dari denotasi ke konotasi dan seluruh perangkat kode menjadi wacana dalam
pemunculan masalah dan penyelesaian realitas-simbolik. Kita dapat memasukinya
dengan retorika imaji yang dibungkus oleh bahasa. Roland Barthes pernah
menjelaskan tentang retorika imaji: Imaji dipahami sebagai batas dari makna dan
imaji memungkinkan adanya penghargaan atau pengakuan sungguh-sungguh
terhadap ontologi pertandaan.
4
Retorika imaji dalam novel Lauh Mahfuz dapat
dicermati oleh pembaca dalam susunan cerita bertingkat di alam ghaib. Padepokan
as-Salaf, Burung-burung Ababil, Sidratul Muntaha, Isra Mikraj, dan Lauh Mahfuz
adalah realitas yang hanya bisa ditangkap oleh pembaca dengan imaji. Ada
susunan mitos, baik bersumber dari al-Quran, Kitab, maupun dari buku-buku
yang menuliskan keberadaanya. Eksistensi itu dapat kita baca dalam realitas
Imajiner sebagai dimensi yang dipercaya keberadaanya. Alam-alam imajinal
(yang selama ini menjadi teka-teki bagi orang awam) dapat dinarasikan dan
dideskripsikan dengan jelas dalam Lauh Mahfuz dan semua itu seakan tampak
dalam bentangan mata kita. Novel ini menjadi semacam visioner,
sekalipun realitas semacam itu bukan sebagai inti utama yang hendak
diwacanakan, namun wilayah ini menjadi bagian dari sistematisasi kode yang
cukup penting untuk menuju pada entitas yang saling berimplikasi.
Perlu untuk diketahui dan dipahami bahwa kode tidak hanya dibangun
melalui susunan peristiwa, tetapi juga dapat dimunculkan melalui tokoh yang
melatarbelakangi sistem sosial dan budaya tertentu. Dalam novel Lauh Mahfuz,
tokoh menjadi artikulasi ganda atas keperibadian yang memiliki pandangan,
juga tindakannya adalah proyeksi dari wacana. Adanya tokoh Syekh Abu Salaf

3
Ibid, hlm 45-47
4
Roland Barthers. Mitologi (Mythologies) diterj. oleh Nurhadi dan A. Sihabul Milah.
Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2006, hlm. 19-20

97

dan Syekh Ibnu Khalaf misalnya, dapat kita identifikasi sebagai dua tokoh yang
memiliki dua pandangan besar yang dalam konteksnya dapat kita hubungkan
dengan keberadaan kaum Salaf dan Khalaf. Pada bagian LII Pertempuran
Pamungkas, kedua tokoh itu memiliki perbedaan tafsir atas pilihan tindakan yang
dilakukan oleh tokoh Panji kerena menyembunyikan pencuri, berbohong, melukai
santri, dan dianggap menentang perintah yang ditegaskan Kitab Suci. Dari
permasalahan itu, dua tokoh besar harus bersitegang untuk mengokohkan
pendapatnya masing-masing secara subjektif, apalagi mereka mendapatkan
bisikan setan. Perdebatan benar dan salah dalam hal sudut pandang tafsir sering
muncul dalam Islam antara kaum salaf dan khalaf. Dua tokoh tersebut (Syekh
Abu Salaf dan Syekh Ibnu Khalaf) adalah representasi, yang memiliki identitas
tersendiri.
Tokoh-tokoh yang ada di dalam novel Lauh Mahfuz adalah tokoh yang
beridentitas dengan latarbelakang yang beragampenuh dengan perbedaan.
Tokoh Maria Secunda mulanya bernama Menik, yang pergi karena keluarganya
dibantai (baca: rumahnya dibakar) karena menjadi aktivis PKI. Dia mengalami
hilang ingatan ketika tidur di bis membentur kursi, kemudian datang ke gereja dan
mendapat sambutan ramah dari Suster Kepala dari Biara Gereja Katolik Santa
Ursula. Dia diberi nama baru, bernama Maria Secunda, memiliki identitas baru,
(seakan baru dilahirkan, atas ingatannya yang hilang), yakni dengan beragama
Kristen. Selain itu, ada tokoh lain, yakni tokoh Pak Ranuwisid yang merupakan
proyeksi dari aliran kebatinan, dan sebagai pengurus Paguyuban Ngesti Tungga.
Dari dua contoh itu saja, kita dapat mengidentifikasi peranan tokoh yang sengaja
dikonstruks oleh pengarang untuk menampilkan wacana berdasarkan keberbedaan
identitas yang mereka miliki.
Bagi Foucault (2002), wacana senantiasa menampilkan praktik sosial dan
objek material atas kedirian subjek. Adanya keterlibatan karakterisasi tokoh
(sebagai kedirian subjek) dalam struktur dan sistem sosial, juga bagian dari
wacana. Pembentukan wacana adalah pola peristiwa-peristiwa diskursif yang
mengacu, atau melahirkan, suatu objek umum pada berbagai arena.
5
Wacana
muncul melalui bahasa, dan novel menggunakan bahasa untuk menceritakan,
sementara kita membaca keadaan tokoh juga melalui bahasa. Dan perlu untuk
dicermati bahwa wacana di dalam novel tidak hanya muncul berdasarkan cerita itu
sendiri, namun situasi kejiwaan seorang tokoh juga dapat menjadi kode yang
terkait dengan struktur sosial. Sebagai contoh adalah situasi kejiwaan yang
dialami oleh tokoh Menik dalam kutipan berikut ini.
Selagi dalam otaknya berkecamuk pikiran-pikiran kesangsian,
tiba-tiba Menik dikejutkan oleh dentang lonceng gereja yang sayup-
sayup terdengar merdu seakan memanggil-manggil dirinya. Dan
ketika mentap tanda salib di atasnya menaranya, terbayang salib itu


5
Chris Barker. Cultural Studies: Teori dan Praktik (Cultural Studies: Theory and Practic)
diterj. oleh Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008, hlm. 83
98

berada di dada seorang perempuan yang mengulurkan tangan. Tanda
keikhlasan yang ditawarkan.
Menik sempat sejenak terkesima, kemudian tersadarkan
bahwa dia tak perlu ragu-ragu menyambut tawaran dari penampakan
itu.
.
Kemudian dia membiarkan berlama-lama perasaannya
terbuai dalam kenikmatan itu. Kenikmatan yang memberikan
ketenangan batin dan kesegaran lahiriah.
6

`Narasi tentang situasi kejiwaan yang dialami oleh tokoh Menik membuka
sebauh wacana atas situasi yang terpinggirkan. Tokoh Menik mengalami dilema
akibat goncangan mental atas keluarganya yang terbakar satu rumah karena
terlibat PKI. Situasi kejiwaan dari tokoh Menik juga menjadi metafor perubahan
sosial dengan menemukan identitas lain, yakni dengan masuk agama Kristen.
Situasi kejiwaan dari tokoh Menik ketika mendapatkan identitas baru mengalami
ketenangan batin dan kesegaran lahiriah karena masa lalunya terkubur dalam
amnesia. Begitulah, sebuah situasi kejiwaan yang tampaknya semu, ternyata
terhubung dengan ruang sosial yang begitu pelik.
Satu hal yang perlu untuk dicermati dengan seksama, yakni beberapa
wacana yang dimunculkan di dalam novel Lauh Mahfuz ditampilkan dalam
dialog-dialog antartokoh. Dialog tersebut berbentuk narasi yang panjang, yang
kadang-kadang terasa menggurui karena banyaknya muatan ideologis yang
ditawarkan. Terkait dengan permasalahan seperti itu, Paul Riceour pernah
menjelaskan bahwa diskursus yang memang dapat diucapkan, tetapi dia ditulis
kerena tidak diucapkan.
7
Ucapan menjadi teks. Artinya, bahwa ketika seorang
tokoh di dalam novel Lauh Mahfuz sedang membicarakan sesuatu, memproduksi
ujaran kepada tokoh lain, sesungguhnya itu juga bagian dari teks yang berpotensi
untuk dimaknai. Pada ranah itu, ada kode yang dapat kita ambil sebagai petunjuk
untuk terhubung dengan fragmen lain.
Kita pun dapat memasuki beberapa pengetahuan yang diterima oleh tokoh
Panji saat berdialog dan mendapat pengarahan dari tokoh-tokoh lain yang telah
berpengetahuan. Tokoh Panji banyak mendapatkan pengarahan dari Syaikh Abu
Salaf dan mendapat bisikan dari Pak Ranuwisid. Kata-kata dari mereka adalah
wacana. Kualitas komunikasinya dapat dicerap oleh pembaca sebagai
pengetahuan.
Bararti?
Kehidupan itu ilusi!
Iya
Kesimpulannya?

6
Nugroho Suksmanto. Lauh Mahfuz. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012, hlm.
42-43
7
Paul Riceour. Hermeneutika Ilmu Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 197

99

Selagi Menuk terdian, Syekh Abu Salaf melanjutkan, ang
kamu sebut ilusi itu tidak datang sendiri. Pasti ada yang
menciptakan atau memiliki. Kalau ilusi manusia hanyalah sebatas
dua dimensi, seperti mimpi misalnya, sedangkan ilusi dari Yang
Mahakuasa dapat terjadi dalam tiga dimensi, berwujud jagat raya
dan seisinya. Ini tentu dilahirkan berlandaskan sebuah konsep
yang menghadirkan makna. Ternyata ada logika lain dari Yang
Mahakuasa yang tak terbayangkan oleh otak manusia.
8


Dari dialog itu, tidak hanya tokoh Panji dan Menuk yang mendapatkan
pengetahuan, tetapi juga pembaca mendapat informasi, wawasan, dan cara
pandang. Ada kebenaran tentang dimensi ketuhanan yang diutarakan oleh tokoh
Syekh Abu Salaf. Kita serasa mendapatkan informasi mengenai hakikat ilusi
(sebagai peristiwa) yang pada akhirnya tertuju pada Tuhan Mahakuasa. Dalam
mengungkapan hal semacam itu, pengarang dengan mudah menyampaikan
pengetahuan-pengetahuan melalui tokoh yang telah disiapkan sebagai yang
menguasai pengetahuan tersebut. Syekh Abu Salaf adalah seorang kiai dari
padepokan as-Salaf, yang dianggap memiliki kesucian jiwa dan memancarkan
kejernihan aura. Wajarlah, bila Syekh Abu Salaf mengetahui dimensi kehidupan
dunia, jiwa, dan ruh, yang kemudian diceritakan kepada tokoh Panji. Dari tokoh-
tokoh yang telah dipersiapkan itulah, ada kebebasan untuk memainkan wacana
dengan sebuah ide yang lurus sebagai benang yang mengikat beberapa fragmen.
Tampak sekilas bahwa cerita dari novel Lauh Mahfuz terasa begitu liar; seolah-
olah bermain dengan banyak sekali wacana, dengan mencakup beberapa aspek,
namun semua itu berada dalam konstituitif narasigaris lurus dari tema mayor
yang ada dalam struktur narasi.

Agama: Sebuah Pilihan atas Kebebasan
Konstituitif narasi yang dimunculkan di dalam novel Lauh Mahfuz karya
Nugroho Suksmanto dibangun pada garis paralel yang erat dengan tema agama
dan perbedaan untuk dipahami secara humanis. Ada kritik, sekaligus ada anjuran
(pesan), yang lebih tepatnya kita sebut sebagai wacana. Berwacana dan
membicarakan agama perlu kehati-hatian karena rawan menjadi perdebatan dan
ketersingungan beberapa pihak yang merasa dilecehkan. Dan begitulah
konsekuensi yang perlu untuk dipilih, ditindaklanjuti, demi keselarasan atas
hidup yang harmonis dalam beragama, bersosial, dan bernegara. Bagaimanapun
juga, novel (sebagai salah satu genre karya sastra) berbicara dari sisi
kemanusiaan, dari realitas yang termarginal, terdegradasari, dan berjuang atas
ketimpangan, entah apapun latar belakangnya. Berangkat dari banyaknya
pertikaian berlatarbelakang agama, baik intern maupun antarumat beragama,
yang menyebabkan korban berjatuhan, novel Lauh Mahfuz memberikan kita
seberkas cahaya untuk menyadari hakikat perbedaan yang penuh dengan konflik.

8
Nugroho Suksmanto. Lauh Mahfuz,hlm 62-63.
100

Kita serasa diajak masuk pada ruang yang punya banyak pintu untuk menyalakan
cahaya di dalam hati dan memahami hidup beragama secara humanis dan terbuka
pada perbedaan.
Kita dibawa masuk pada sebuah ruang yang penuh dengan pilihan hidup.
Dan memang, harus diakui bahwa memeluk agama adalah sebuah pilihan, seperti
yang termaktub di dalam surat al-Kafirun.


Artinya: 1) Katakanlah: Hai orang-orang kafir. 2) Aku tidak akan
menyembah apa yang kamu sembah. 3) Dan kamu bukan
penyembah Tuhan yang aku sembah. 4) Dan aku tidak pernah
menjadi penyembah apa yang kamu sembah. 5) Dan kamu tidak
pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. 6)
Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.

Dalam hal ini. Tuhan telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk
beragama sesuai dengan pilihannya, sesuai dengan keyakinan dan pandangannya.
Ada hak asasi dari Tuhan untuk setiap orang dalam memeluk agama, tanpa
mempermasalahkan. Esensi mengenai pilihan, hak azasi, dan kebebasan itulah,
yang ingin ditekankan kembali dari novel Lauh Mahfuz. Jalan menuju Tuhan
adalah sebanyak jumlah ciptaan-Nya. Masyarakat modern dengan pandangan
rasionalisasi yang kaku telah melakukan kekeliruan dalam menginterpretasikan
teks agama yang suci dan sakral. Mereka memandang interpretasi sebagai satu-
satunya kebenaran jawaban atas zaman, padahal mereka adalah manusia: tempat
salah dan lupa. Konsep rasionalitas dipahami dan diterapkan bagi umat secara
mutlak, dan yang tidak mengikuti adalah salah. Interpretasi itu pun menjadi
belenggu bagi kita semua. Kita perlu sadar, bahwa memeluk agama perlu
dilandasi oleh spiritualitas dari hati si pemeluk itu sendiri. Ketika Sachiko Murata
melakukan studi naskah klasik di Cina, dia menemukan bahwa esensi religiusitas
yang dibangun oleh Tao, Budhism, Konfusian, dan Islam terbentuk dari hati tiap-
tiap pemeluknya itu sendiri. Memeluk agama perlu dilandasi keikhlasan dalam
bingkai spiritualitas, tanpa paksaan, tanpa ancaman, tanpa tekanan ataupun tanpa
kekangan dari pihak manapun.
9

Setiap orang memiliki keyakinan masing-masing, dengan spiritualitas
yang terkandung di dalam hatinya. Tokoh Menik dan Menuk dalam novel Lauh
Mahfuz diceritakan sebagai saudara kembar, namun pilihan atas agama dan
keyakinan mereka berbeda. Dan mereka tidak dipaksakan, tanpa ancaman, tanpa

9
Sachiko Murata. Kearifan Sufi Cina (Chinese Gleams of Sufi Light; Wang Tai-yus
Great Learning of the Pure anda Real and Liu Chihs Displaying the Concealment of the Real
Realm) diterj. oleh Susilo Adi. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003
101

tekanan ataupun tanpa kekangan dari pihak manapun dalam memeluk agama.
Lebih karena kesadaran diri yang mendorong untuk memahami hidup dengan
konsep iman.
Menik sempat terkesima, kemudian tersadarkan bahwa dia tak
perlu ragu-ragu menyambur tawaran penampakan itu.
Itukah Bunda Maria? Dia tidak tahu. Yang jelas wajahnya
begitu lembut dan memukau. Kesan tulus dengan kasih dan cinta
terlihat memancar dari raut mukanya. Tak kuasa Menik menolak
uluran tangannya. Maka bergegaslah dia menghampiri gereja itu.
Dalam perjalanan menuju gereja, Menik tak henti-henti
merasa takjub akan pengalaman spiritual yang baru saja dia
rasakan. Ketakjuban itu membasuk dirinya dengan sebuah
kesejukan jiwa, yang tak pernah dia rasakan sebelumnya. Yang
membuat dia melangkah lebih ringan, menatappenuh percaya diri,
dan membuahkan harapan bahwa hidupnya takkan sia-sia, bahkan
berguna nantinya. Bahwa pada suatu saat, ketika nanti
diamelangkah ke alam kekal, pasti perempuan yang ada dalam
penampakannya tadi, akan menjemputnya. Bukankah itu esensi
kehidupan, sebuah perjalanan meraih kebahagiaan. Kebahagiaan
yang lahir bukan dari benda, atau dari sebuah ideology, tetapi
kebahagiaan yang lahir dalam perasaan seorang hamba dari Yang
Mahakuasa.
10

Dari kutipan tersebut, dapat dicermati bahwa tokoh Menik mendapat
bimbingan spiritual dari roh Bunda Maria. Kegalauan dan kekalutan dalam
ketaksadaran atas masa lalu tokoh Menik yang menyertai dirinya, kemudian
mendapat petunjuk dan ketenangan jiwa hingga tergerak menuju gereja.
Instrument ini karena dorongan dalam batin yang begitu kuat sehingga
menggerakan seluruh tubuh secara operasional. Tentang peranan jiwa dan
spiritualitas, Imam ar-Razi mengatakan mengenai pengaruhnya pada tubuh, ia
mengharuskan adanya dominasi jiwa atas tubuh dan tampilnya emansipasi di
dalamnya.
11

Maka itu, lain halnya dengan tokoh Menuk yang menyatukan keseluruhan
jiwa secara komprehensif, yakni ketika mendapatkan pengetahuan dari Syekh Abu
Salaf sebagai petunjuk, seperti yang ada dalam kutipan di bawah ini.
Akhirnya Menuk Memohon, Syekh, boleh aku mengikuti
jejak Syekh, memeluk Islam. Rasanya aku ingin lebih memahami
rahasia alam serta kehidupan yang digelar Tuhan dan bersikap serta
berprilaku sebagaimana yang Dia kehendaki.



10
Nugroho Suksmanto. Lauh Mahfuz, hlm 42
11
Ar-Razi, Imam. Ruh dan Jiwa; Tinjauan Filosofis dalam Prespektif Islam (Imam Razis
Ilm al-Akhlaq) diterj. oleh H. Mochtar Zoerni dan Joko S Kahhar. Surabaya: Risalah Gusti, 2000,
hlm 105
102


Syekh Abu Salaf langsung menjawab, Ucapkanlah Syahadat!
Itu petanda engkau telah menjadi seorang muslim. Karena itu,
merupakan Rukun Islam yang pertama
12

Dalam kutipan tersebut, petunjuk yang datang pada tokoh Menuk adalah
pengetahuan yang diresapi, dihayati, dan dipersepsi dengan pikiran. Ranah ini
membuka instrument mengenai manifestasi jalan jiwa untuk menelusuri ranah-
ranah yang lain. Pada konteks seperti itu, menurut Imam ar-Razi bahwa:
semakin tumbuh berkembang pengetahuan jiwa, semakin sempurna keadaan
untuk sadar. Tidak mengherankan, dalam kondisi semacam itu menjadikan
seseorang memiliki penyatuan dan internalisasi nilai-nilai dengan agama dapat
mengkristal dengan cepat.
Kendati tokoh Menik dan Menuk adalah saudara kembar, tumbuh dalam
lingkaran ideologi komunis, namun petunjuk bagi datangnya iman berada dalam
jalan yang berbeda. Jiwa menjadi tempat tinggal spiritualitas manusia, dan dari
situlah keyakinan mengenai benar dan salah muncul. Tokoh Menik mendapatkan
petunjuk dalam goncangan mental dan berada dalam ketaksadaran sehingga
spiritualitas keberagamannya adalah laku. Sedangkan tokoh Menuk mendapatkan
petunjuk dengan pengetahuan terus-menerus dengan cara mendengar sehingga
transformasinya terwujud dalam tindakan kreatif. Namun, perlu untuk dipahami,
bahwa kedua tokoh tersebut telah mendapatkan keyakinan berdasar pada
pengetahuan masing-masing. Dari pengetahuan itulah, mereka memiliki
kesadaran praktis (sistem nilai) terhadap realitas: dengan segenap struktur sosial-
budaya yang melingkari. Keyakinan seseorang terbentuk tanpa paksaan, tanpa
tekanan, dan tanpa ancaman, yakni lebih melalui kesadaran tiap-tiap diri untuk
beriktikad dan bertindak dalam dorongan jiwa yang bijak dan suci.
Keyakinan dan kekuatan spiritual untuk mendalami agama sebagai pilihan
juga dimiliki oleh tokoh Panji tanpa ada paksaan dari siapapun, seperti yang
tertera dalam kutipan di bawah ini.
Apa yang ingin kamu lakukan di sini, Panji? Menuk
membuka pembicaraan.
Aku tidak tahu. Aku hanya memiliki kerinduan untuk
bertemu nabi besar junjunganumat Islam, Muhammad sallallahu
alaihi wasalam, kalau diizinkan.
Kerinduan itu yang mungki membawamu ke sini. Tetapi
bertemu Nabi adalah sesuatu yang tak mungkin dilakukan. Beliau
berada di tingkatan langit yang tak dapat dikunjungi oleh manusia,
sesuci apa pun. Kecuali beliau sendiri yang mengndangnya, itu
mungkin .
13

Dari kutipan itu, kita dapat mencermati bahwa yang dilakukan oleh tokoh
Panji adalah pilihan hidup. Segala yang termanifestasi di dalam dirinya adalah

12
Nugroho Suksmanto. Lauh Mahfuz, hlm 66
13
Nugroho Suksmanto. Lauh Mahfuz, hlm 52
103

embun yang sangat halus, yang mengurai kekosongan dalam setiap waktu.
Beragama yang baik adalah dengan menjaga kehalusan budi, menjalin kerukunan
dengan sesama manusia, dan menjadi pemimpin yang baik bagi alam semesta.
Dalam pandangan Muhammad Iqbal sesungguhnya cara yang dipakai al-Quran
dengan kata wahyu menunjukkan, bahwa al-Quran memandangnya sebagai
sesuatu milik universal, yakni ditujukan untuk keselamatan dan kesejahteraan
umat. Nabi Muhammad Saw menyarankan pada umatnya bahwa apabila mereka
ingin selamat, berpeganglah pada dua tuntunan, yakni al-Quran dan Hadis.
Adapun yang banyak terjadi setelah Nabi Muhammad Saw wafat, justru al-
Quran dan Hadis menjadi perdebatan di kalangan pemikir, intelektual, pengkaji,
maupun pengkritik dengan klaim kebenaran subjektif atas interpretasi masing-
masing. Jika hal ini berlanjut terus-menerus, akan dapat memicu perpecahan di
dalam Islam, bahkan kehancuran, hanya disebabkan oleh perbedaan tafsir
semata.
14



Kebenaran Absolut, Peperangan
Setiap orang meyakini kebenaran berdasarkan pengetahuan yang
dimilikinya. Menurut Muhammad, besarnya kekuasaan manusia dalam
menguasai alam telah memberikan suatu kepercayaan baru dan menimbulkan
perasaan lebih tinggi di atas semua kekuatan yang membentuk lingkungannya.
15

Begitulah sebuah pengetahuan yang dimiliki oleh manusia, yang berpotensi
membentuk kekuasaan. Yang menjadi masalah adalah manakala ejek-mengejak
terjadi atau salah satu pihak menyerang (menantang perang). Dalam novel Lauh
Mahfuz, perebuatan untuk menjadi yang paling benar dimunculkan dalam konflik
antara dua tokoh dalam satu agama, yang diwakili oleh Syekh Abu Salaf dan
Syekh Ibnu Khalaf, seperti yang ada dalam kutipan berikut ini.
Ketika Syekh Abu Salaf berbalik arah menghampiri, Syekh
Ibnu Khalaf menegur sambil mengangkat punggung Panji.
Pandu, apa dosa anak ini?
Jangan Tanya saya. Tanya anak murtad itu. Berikan hukuman
yang pantas untuknya. Dia telah menodai misi suci yang kita
persiapkan untuk menyelamatkan umat kita dari bencana. Dengan
berbohong dan menentang perintah yang ditegaskan Kitab Suci, dia
telah melawan kehendak Tuhan! Kamu ingat Pandu, dalam
Alquran dinyatakan, laknat Allah itu ditimpakanatas orang-
orang dusta.
Pandu, jangan membawa nama Tuhan untuk memperdaya
seseorang. Tuhan bukanlah monster atau berhala yang bayang-

14
Muhammad Iqbal. Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam (The Reconstruction of
Religious Thought in Islam diterj. oleh Ali Audah, Taufik Ismail, dan Goenawan Mohamad.
Yogyakarta: Jalasutra, 2002, hlm. 206
15
Ibid., hlm. 34
104

bayangnya dapat kau pakai menakut-nakuti dan dijadikan alasan
untuk sewenang-wenang menghakimi.
Pandito, ketentuan Tuhan yang tertuang dalam Alquran tidak
kupaka untuk menakut-nakuti atau menghakimi, tetapi untuk
ditegakkan mengatur kehidupan agar umat menapak jalan yang
diridai.
16


Perdebatan dua tokoh besar itu dimulai dengan adanya salah paham dan
perbedaan sudut pandang mengenai kebenaran. Mereka sama-sama berdasar pada
al-Quran sebagai dasar. Namun, esensi al-Quran yang mereka gunakan hanya
sebagai pembenaran atas pendapat subjektif mereka saja. Pertaruangan antara
ilmu dan agama hampir tidak sebatas pada intelektualitas belaka, tetapi pada cara-
cara menafsirkan dunia di sekitar kita.
17
Pertarungan itu adalah pertarungan
subjektif, dengan mewacanakan ideologi masing-masing untuk kepentingan
golongan, dan keterakuian sebagai pemenang atas capaian kebenaran.
Klaim kebenaran terhadap teks agama selolah-olah membuka cakrawala
manusia untuk mendapatkan nilai-nilai intrinsik yang lebih banyak, yang semua
itu, tentunya, didukung dengan dalil-dalil sebagai pembenaran agar cukup
meyakinkan. Tentu saja, dalam ranah ini, siapapun yang mampu menjangkau
dataran rasionalitas secara profesional, maka dialah yang mampu meyakinkan
pihaknya, dan akan mendapat dukungan lebih banyak untuk diikuti. Doktrin
mengenai agama selalu menuju etika. Begitulah yang sering digembar-
gemborkan dalam ceramah. Dalam pandangan Jurgen Habermas, ranah itu berada
dalam wilayah nilai yang menjadi induk bagi ide-ide yang berpengaruh secara
sosial dan terbangun dalam struktur norma tindakan. Di balik itu, ada
dinamika kepentingan. Nah, pada saat itulah itulah, perselisihan tidak terelakan
lagi.
18

Tokoh Syekh Abu Salaf dan Syekh Ibnu Khalaf dalam novel Lauh
Mahfuz karya Nugroho Suksmanto adalah kode dari kaum salaf dan khalaf. Salaf
diartikan sebagai ulama yang hidup pada masa tiga abad pertama setelah Nabi
hijrah, sedangkan Khalaf adalah ulama yang hidup sesudahnya, ketika orang
mulai kehilangan kefasihan berbahasa Arab. Mereka sering berdebat tentang
kebenaran di dalam Islam. Mereka sering berdebat ikhwal al-Quran dan Hadis,
maupun pandangan-pandangan dalam kisah-kisah religius. Tidak jarang pula, dua
pandangan itu saling mengejek dengan mengambil al-Quran dam Hadis sebagai
sumber. Sebenarnya, adanya perbedaan itu wajar, namun, sifat pengetahuan
manusia adalah konseptual, dan dengan bersenjatakan koseptual inilah manusia
berkenalan dengan aspek kebenaran yang bisa diselidiki.
19
Cara meereka dalam

16
Nugroho Suksmanto. Lauh Mahfuz, hlm 447-448
17
Skolimowski, Henryk.2004. Filsafat Lingkungan. Yogyakarta: Bentang, hlm. 60
18
Jurgen Habermas. Teori Tindakan Komunikatif I: Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat
(Theorie des Kommunikativen Handelns, Band I: Handlungsrationalitat und Gesellschaftliche
Ratioonalisierung) diterj. oleh Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007, hlm. 239
19
Muhammad Iqbal. Rekonstruksi, hlm. 42
105

menyikapi kebenaran itulah, yang seharusnya diluruskan agar tidak bertentangan
dengan hak orang lain: dalam memahami kebenaran secara subjektif. Hal ini
karena di dalam keyakinan terhadap kebenaran akan memuncul kuasa pada pihak
lain. Terlebih lagi, ketika dalam menyampaikan kebenaran itu menyinggung
perasaan dari salah satu pihak, maka perselisihan hanya ikhwal penentuan lebaran
atau ikhwal tata cara shalat Subuh saja dapat menjadi konflik. Pedebatan itu
banyak yang sepele, namun dalam emosi yang labil (dipenuhi amarah), setan
senantiasa berbisik:
Seketika setan punya celah untuk menghasut. Dia
menggunakan sosok wanita, Ummu Zinnirah, ibu kandung Syaikh
Ibnu Khalaf.
Dengan halus ia menyampaikan bisikan, Pandito, sekarang
saatnya kamu membalaskan kepedihan Ibu, yang merasakan betapa
sakit hati seorang istri tatkala dimadu. Bunuh dia Pandito, lempar
mayatnya ke pangkuan ibunya yang telah merampas kebahagiaan
Ibu.
Syekh Ibnu Khalaf membalas dengan menghunus replika
pedang Nabi Al-Rashub di pinggangnya. Muncul suasana seteruan
yang menjadi semakin sengit ketika setan lain melontarkan
hasutan.
Menggunakan sosok Hajar Marwah, ibu kandung Syekh Abu
Salaf, iblis mengembuskan bisikan, Pandu, kini saatnya kamu
membalas cercaan dan hinaan yang selalu Ibu terima sebagai istri
kedua. Habisi nyawanya, lempar jenazahnya ke hadapan ibunya!
Terjadilah pertempuran dua pendekar mahasakti dan
digdaya.
20

Kita dapat mencermati bahwa era legitimasi dan gengsi selalu muncul
pada setiap orang, tak terkecuali orang yang beriman sekalipun. Dinamika
kepentingan bergerak dalam arus bawah sadar. Benturan ideologi dari sebuah
penafsiran itu pun menjadi konflik, yang dalam ranah lebih jauh dapat memicu
perpecahan. Novel Lauh Mahfuz karya Nugroho Suksmanto mewacanakan
tentang pentingnya kesadaran atas konflik yang berlatarbelakang agama (terutama
yang seagama, dalam hal ini Islam), yakni dengan melalui strategi umpan balik.
Tepatnya, dengan himah di bailk kisah itu. Hikmah yang muncul dari
pertengkaran Syekh Abu Salaf dan Syekh Ibnu Khalaf adalah kesadaran diri
untuk: mengajarkan bahwa Tuhan itu tunggal, tetapi keagungan-Nya terletak dari
keberagaman ciptaan-Nya.
21

Pertikaian mengenai perbedaan sudut pandang dan penafsiran, dalam hal
ini, dapat diselesaikan dengan pandangan luhur, dengan tetap tenang dan tidak
terbawa emosi sehingga jalan tengah dapat diambil. Tokoh yang mampu
menjalankan itu adalah Pak Ranuwisid, yakni kode dari orang yang masih
memegang pada tradisi dan budaya, dengan ajaran kebatinan Islam. Dengan

20
Nugroho Suksmanto. Lauh Mahfuz, hlm 450-451
21
Ibid., hlm 452
106

memahami hubungan antara manusia dengan manusia, dia membawa pesan
kenabian (profetik), yang dikenakan sebagai jubah. Jubah adalah pakaian, yang
dapat kita pahami sebagai sesuatu yang melingkari (menutup) tubuh. Jubah adalah
simbol dari aura, sesuatu yang memancar ke luar dan mengelilingi tubuh. Aura
muncul dari jiwa. Aura muncul berdasarkan pada amal perbuatan seseorang.
Memakai jubah nabi berarti menjalankan perintah nabi. Dari rangkaian itu, kita
bisa memaknai bahwa dengan memahami hakikat Islam yang diajarkan oleh Nabi
Muhammad Saw adalah kedamaian. Mencintai sesama manusia berada dalam
puncak kebaikan, sebagaimana arti dari Islam itu sendiri, yakni selamat. Agar
seseorang tetap berada dalam kebaikan, ia harus senantiasa sadar diri dengan
sekitarnya.
Kesadaran berada di dalam hati. Maka itu, hati perlu untuk dijernihkan.
Rendra, pernah mengatakan bahwa lumut rasa iri dan benci di dalam jiwa, apabila
disinari kesadaran, bisa berubah menjadi padang rumput cinta kasih yang segar
dan darmawan.
22
Untuk melatih kesadaran tentunya dengan menahan (baca:
bersabar) atas fenomena yang muncul dalam realitas. Dalam sebuah sajak,
Rendra menegaskan Kesadaran adalah matahari/Kesabaran adalah bumi.
Bersabar yang dimaksudkan di sini, bukan berarti diam tanpa memberikan
perlawanan. Tentu adakalanya melawan. Pada masa Nabi Muhammad Saw,
dilakukannya berperang adalah untuk mempertahankan diri dari serangan musuh.
Berikut ini, paparan dari Sachiko Murata dan William C. Chittick tentang agama
dan pesan kedamaian:
23

Titik balik datang pda tahun 622 M. satu delegasi datang
kepada Muhammad dari kota Yastrib, sekitas dua ratus mil utara
Mekkah. Mereka mencari juru damai untuk menghentikan
perselisihan internalnya, dan mereka mendengar hal-hal baik
tentang kebijaksanaan Muhammad.
Konsolidasi Islam yang berlangsung selam periode Madinah
berarti fokus ayat-ayat al-Quran yang diwahyukan berubah dari
ancaman kesengsaraan dan janji keselamatan menjadi instruksi
konkrit bagaimana hidup semestinya dijalani dalam upaya mendapat
perlindungan dari Allah. Muhammad bertindak sebagai nabi, raja,
hakim, dan pembimbing spiritual bagi seluruh masyarakat. Oleh
karena beliau merupakan penerima pesan ilahi, beliau
menyampaikan perintah mengenai masalah politik dan sosial,
menyelesaikan dan memberi hukuman atau ampunan bagi para

22
Rendra. 1999. Memberi Makna pada Hidup yang Fana. Jakarta: Pabelan Jayakarta,
hlm. 104
23
Murata, Sachiko dan William C. Chittick. 2005. The Vision of Islam diterj. oleh
Suharsono. Yogyakarta: Suluh Press, 2005, hlm. xxvii-xxviii

107

pelanggar hukum Allah, dan beliau menasihati dalam upaya
personalnya untuk mencapai kedekatan dengan Allah.
Nabi Muahammad Saw. telah memberikan contoh tentang esensi ajaran
Islam yang disebarkan untuk keselamatan dan perdamaian umat manusia.
Pesan-pesan kedamaian dalam novel Lauh Mahfuz karya Nugroho
Suksmanto ditampilkan dalam indeksial. Misalnya, kita dapat membaca bahwa
setelah tokoh Panji menunaikan tugas dalam mengapai langit demi langit menuju
Lauh Mahfuz dengan mengunakan senjata yang diberi Syekh Abu Salaf, maka
senjata itu dihancurkan ke langit. Dari kronologi ini, fragmen narasi ingin
member penekanan bahwa senjata hanya digunakan seperlunya saja, yakni untuk
membela diri, bukan untuk membunuh. Begitulah pesan penting yang hendak
disuarakan pada bangsa Indonesia, yang dalam akhir-akhir ini bermunculan
konflik antarumat beragama maupun konflik dalam seagama.
Dari pesan itu. perlu kita catat, dalam hal ini, novel tidak hanya sekadar
bahasa tulis yang berimajinatif, tetapi novel memuat suara dan sudut pandang
yang telah diperhitungkan. Umpan balik moral ini untuk dipahami sebagai
wacana yang akan bergerak ke dalam praktik sosial. Kritik sentralnya, terutama
tertuju pada benturan di dalam Islam yang dapat memicu perpecahan, yakni antara
kaum Salaf dan Khalaf, dengan klaim-klaim kebenaran atas teks-teks suci
dan sakral, baik paa al-Quran maupun Hadis. Dalam sebuah dialog antara tokoh
Panji dengan Gus Dur, muncul wacana menarik sebagai tawaran solusi atas
benturan sosial tersebut, yang dapat dicermati dalam petikan berikut ini.
Benturan ini mungkin bisa dihindari bilamana kaum
pembaharu yang menamakan diri kaum khalaf, sebelum
melakukantafsir, menyuguhkan konsep (dengan kehati-hatian
tentunya) namun tetap menjalin silaturahmi dengan ulama-ulam
besar salafis. Sebenarnya bisa dirancang bayangan atau gambaran
seperti apa menurut persepsi atau penghayatan mereka akan
dihadirkan, sehingga perbedaan tafsir isa disikapi sebagai sebuah
perbedaan pendekatan semata, tanpa mengurangi kesakralan sebuah
teks. Juga tetap memberikan kesempatan kaum salaf berpijak pada
keyakinan tafsir mereka, tanpa memaksakan perubahan tafsir yang
lebih didasari oleh kepentingan berpikir secara logis yang
menghilangkan aspek romantismeinstingtif dan intuitif yang
berlandaskan pada nash agama.
Ini dirasakan penting bagi pemenuhan kebutuhan spiritual
mereka. Kaum salaf lebih mengandalkan kedalaman hati dalam
mengamalkan ajaran agama dan transendensinya.
Dengan semangat persaudaraan dan menghilangkan segala
bentuk prasangka, kehadiran dua kubu atau aliran yang dilandasi
perbedaan pendekatan itu akan melahirkan kesadaran bahwa Tuhan
memang ternyata sengaja memberikan opsi atau pilihan menjadi
salaf atau khalaf. Dan ini, dari karakter dominasi salah satu bagian
108

otak manusia saja, sangat dimungkinkan. Belum lagi aspek
penetingan lain.
24

Dengan adanya tawaran untuk perdamaian semacam itu adalah
terciptanya kerukunan dan harmonisasi dalam beragama. Kita perlu menunjung
tinggi sikap saling menghargai, saling menghormati, tenggang rasa, dan toleransi
dalam beragama. Perbedaan yang ada di muka bumi bukan untuk diperdebatkan,
melainkan adanya perbedaan adalah untuk melengkapi kekurangan dari yang
lainnya. Begitulah keagungan dan kebesaran Tuhan dalam membuat sistem di
alam semesta melalui perbedaan. Pada kaitan ini, perlu kiranya saya ambil
pendapat dari Yusuf Qardhawi, bahwa cinta kasih adalah ruh kehidupan dan pilar
bagi lestarinya umat manusia.
25
Dalam jalinan cinta kasih yang tumbuh dari hati
itulah, kedamaian dapat tercipta. Relasi manusia dengan manusia adalah saudara,
apapun jenis ras, suku, bangsa, maupun agamanya. Setiap manusia adalah
bersaudara, yakni sebagai keturunan Adam yang diperintahkan untuk menjadi
khalifah bagi alam semesta.


Harmonisasi Keberagaman
Wacana mengenai harmonisasi dalam keberagaman, dan kerukunan telah
dipersiapkan dengan baik oleh pengarang. Dia awal cerita (di bagian I Gelisah)
dari novel Lauh Mahfuz telah dipaparkan sederet fragmen tentang kekisruhan
yang membuat manusia tidak berdosa harus menjadi korban. Dari kasus G 30 S
yang menelan korban kira-kira 2.000.000 orang, kasus Gedung Menara Kembar
(World Trade Center) di Amerika yang kemudian memicu peperangan dan
menelan banyak sekali korban. Fenomena itu menjadi akar wacana mengenai hak
setiap manusia untuk hidup layak sebagaimana mestinya. Bahkan, hak untuk
hidup layak tidak hanya dimiliki oleh manusia saja, tetapi juga semua makhluk
hidup sebagai ciptaan Tuhan. Bahkan, iktikad dari tokoh Panji menggapai Lauh
Mahfuz bertujuan untuk merubah suratan takdir agar bencana tidak terjadi. Takdir
tetaplah takdir. Bencana tetap terjadi, hanya berpindah tempat, yakni di Lautan
Pasifik mendekat ke Kepulauan Jepang dan di Laut Atlantik dekat Teluk
Meksiko. Dalam kedustaan semacam itu, sebenarnya yang hendak diwacanakan
lebih pada keselamatan umat manusia. Hanya saja, cara yang dipakai oleh
pengarang dalam berwacana melalui mutasi-realitas, yakni dengan memindahkan
realitas yang fakta menjadi fiktif (rekaan di dalam novel).
Dalam pembacaan seperti ini, kita harus cermat dan tidak boleh
memahami yang tersurat. Kita memang harus membaca tanda yang berada di
balik peristiwa itu. Di dalam novel ini, sengaja ditekankan bahwa pencapaian
spiritualitas tokoh Panji dari tahap ke tahap menuju Lauh Mahfuz, semata-mata

24
Nugroho Suksmanto. Lauh Mahfuz, hlm 259
25
Yusuf Qardhawi. Merasakan Kehadiran Tuhan. Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2005, hlm.
149

109

karena perbuatan baik kepada makhluk hidup di dunia ini. Moralitas para
peghuni langit adalah moralitas yang mengedepankan hak asasi manusia dan
kesejahteraan sosial (human right and social welfare morality).
26
Selain itu,
dikatakannya bahwa: Moralitas para peghuni langit adalah prinsip-prinsip etika
universal (universal ethical principles). Kita dapat melihat dari perbuatan baik
yang dilakukan tokoh Panji dan terhubung pada alam lain dalam tabel berikut ini.


Tabel Kebaikan


No.
Tokoh yang
Ditolong
Jenis Perbuatan Hikmah
1. Kucing Penebus kesalahan karena
tak sengaja meracuninya
Mempertemukan Tokoh Panji
dengan tokoh Menuk

2. Menik Menolong dari sergapan
warga yang ingin
melenyapkan PKI hingga
ke anak cucunya
Kembaran dari tokoh Menik, yaitu
tokoh Menuk menjadi pendamping
spiritual dalam menuju Lauh
Mahfuz
3. Anjing (Nyuk-
Nyuk)
Menolong saat terluka
parah di jalan karena
tertabrak kendaraan, yang
kemudian dipelihara
yang membujuk Malaikat
Hafazhah agar Panji mendaki
langit pertama menuju Lauh
Mahfuz

4. Pak Somad
(tukang becak)
Menolong saat terlindas
truk di Jalan Indraprasta
orang yang mengusulkan kepada
Malaikat Hafazhah agar tokoh
Panji untuk mendaki langit kedua
menuju Lauh Mahfuz

5. Jauhari Memberi makan saat jadi
teman masih kecil,
menolong keluarganya
saat Jauhari meninggal.
orang yang meminta kepada
Malaikat Hafazhah agar tokoh
Panji mendaki langit ketiga
menuju Lauh Mahfuz

6. Pamanya Membebaskan menjalani
karma karena sering
menembak burung-burung
di atas kuburan
orang yang meminta kepada
Malaikat Hafazhah agar tokoh
Panji mendaki langit keempat
menuju Lauh Mahfuz

7. Kakek dan
Nenek
Melalui permainan catur,
tokoh Panji yang menjalin
hubungan kakek nenek
yang terpisah.
orang yang mengusulkan kepada
Malaikat Hafazhah agar tokoh
Panji mendaki langit kelima
menuju Lauh Mahfuz

8. Siregar dan Mengasuh (membesarkan) Siregar yang mengusulkan kepada

26
Nugroho Suksmanto. Lauh Mahfuz, hlm 273
110

Anak Yatim anak yatim, dan
membahagiakan orang-
orang miskin saat lebaran
Malaikat Hafazhah agar tokoh
Panji mendaki langit keenam
menuju Lauh Mahfuz
9. Ibunya Berbakti, dan memenuhi
permintaan terakhirnya
sebelum meninggal dunia
Tokoh ibu yang menyampaikan
permohonan kepada Malaikat
Hafazhah agar tokoh Panji
disetujui menggapai Lauh Mahfuz


Perjalanan melewati tujuh langit menuju Lauh Mahfuz adalah alegori
yang cukup sulit untuk ditebak. Setiap langit memiliki gambaran peristiwa
sendiri-sendiri, dengan penghubung yang berbeda berdasarkan pada amal
perbuatan tokoh Panji. Tingkat pertolongan yang paling rendah adalah menolong
bintang (sekalipun binatang itu najis), sendangkan tingkat pertolongan paling
tinggi adalah berbakti pada ibu kandung. Nilai-nilai semacam itu mulai memudar
pada masyarakat perkotaan yang individual, yang mana orang-orang lebih
percaya pada sistem abstrak buah perkembangan dari teknologi. Keadaan
menyedihkan lain, tergambar dalam ras, suku, dan agama yang primordialisme
akibat penolakan interaksi dengan budaya dari luar. Ini menekankan bahwa
interaksi kita dalam ranah sosial harus dibangun dalam kerangka persaudaraan
dan dalam balutan cinta kasih, tanpa harus membeda-bedakan. Dengan nada yang
polisemik, kiranya perlu adanya sifat terbuka, sopan santun bersosialisasi, dan
toleran kepada orang lain secara berdampingan.
Untuk bisa bersosialisasi dengan baik agar tercipta kerukunan perlu ada
iman kepada Tuhan. Dengan beriman, mata akan terbuka pada nilai-nilai,
bentangan alam semesta, gejala alam yang dipahami sebagai keberadaan Tuhan.
Nilai-nilai luhur transendental perlu untuk dipegang untuk mewujudkan konsep
muamalah secara kaffah. Transendensi menjadi dasar bagi humanisasi dan
liberasi. Dalam kerangka itu, kita dapat mewujudkan amar makruf dan nahi
mungkar, agar mewujud perbuatan baik kepada sesama manusia, alam semesta
dan Tuhan sehingga dapat mencegah kemungkaran.
Sebenarnya, bila dicermati dengan seksama, wacana yang diusung dalam
novel Lauh Mahfuz hampir senafas dengan konsep sastra profetik yang pernah
dituliskan oleh Kuntowijoyo, dengan humanisme, liberasi, dan transendensi.
Tautologies yang dibangun oleh Kuntowijoyo di dalam karya-karyanya lebih
mengedapankan eksistensi diri: manusia untuk menemukan jati diri di tengah
realitas. Sedangkan transformasi yang diusung Nugroho Suksmanto lebih
mengupayakan humanisasi dalam menyikapi pluralisme agar konsep muamalah
berjalan dengan baik. Pesan dari novel Lauh Mahfuz agar terjadinya kerukunan
dalam keberbedaan, yang dimunculkan pada hak setiap individu untuk bebas
memilih.



111

Ketika Romo Warih Permadi, Syekh Ibu Klahaf Al-Ahmad,
Pak Ranuwisid, Bu Rekso Bergowo, Panji dan Menuk berada
dalam satu meja untuk menikmati hidangan pesta perkawinan,
Romo Warih membuka pembicaraan, Bu Rekso, putrid-putri Ibu
sekarang sudah memiliki keyakinan. Menik memilih Katolik,
sedang Menuk memeluk Islam. Tinggal Ibu yang belum
menentukan, ikut bergabung dengan Romo Warih atau bergabung
dengan Syekh Ibnu Khalaf.
Apakah itu suatu keharusan? Bu Rekso mempertanyakan.
Oh, tidak. Agama lain juga ada. Hanya bangsa kita telah
menetapkan Pancasila sebagai falsafah Negara. Mengacu pada sila
pertamanya, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, setiap warga Negara
diharuskan memeluk agama sebagai manifestasi percaya adanya
Tuhan, jawab Romo Warih Permadi
27

Dalam kutipan tersebut, setiap tokoh mengekspresikan kebenaran dalam
cara pandang masing-masing, namun mereka menerima dengan terbuka. Tak ada
kemarahan. Kebenaran dari tiap-tiap tokoh sama-sama sah. Semua agama
memiliki kebenarannya sendiri-sendiri. Tidak untuk dipaksakan kepada agama
lain. Begitulah, yang seharusnya dipahami dalam realitas yang penuh dengan
perbedaan. Adapun tingkat keimanan dalam menjalani agama diukur pada cara
menghayati spiritualitas masing-masing. Dengan kata lain, beribadah adalah
konsekuensi manusia dengan Tuhan yang tak perlu dipamerkan ataupun sebagai
yang paling benar, sementara itu dalam kehidupan bermasyarakat, kita harus siap
dengan berbagai macam keberbedaan pada masyarakat global.
Wacana mengenai harmonisasi keberagaman, juga dimunculkan dalam
bagian Dialog Mantan Presiden. Dalam cerita itu, Presiden Soekarno, Soeharto,
dan Gus Dur saling berdialog tentang masa lalu ketika hidup di dunia. Mereka
saling meminta maaf atas kesalahan yang telah diperbuat, dengan mengakui
kesalahan masing-masing. Mereka memaafkan. Soeharto meminta maaf karena
telah karena telah menggulingkan Soekarno dengan rasa kesepian di penjara
setelah turun jabatan dan mengalami depresi bera. Sedangkan Soekarno juga
meminta maaf karena lengsernya Soeharto juga ada Peran Megawati (putri
Soekarno). Mereka berdua berdialog dengan saling menyesal telah
menyengsarakan rakyat Indonesia. Kendati cerita tersebut seperti anekdot, tetapi
lebih dari itu, makna muncul dalam representasi: yakni suasana perdamaian yang
harmonis. Kesan itulah yang ingin ditampilkan.
Dan dialog mereka diakhiri dengan sebuah kesimpulan dari Gus Dur
Jilbab, dengan demikian merupakan pilihan bagi wanita muslim yang
pemakaiannya dilandasi keyakinan masing-masing penggunanya. Gitu aja kok
repot! yang menandakan bahwa sesunguhnya dalam perbedaan itu ada pilihan
bagi setiap orang. Pilihan itu sendiri didasari oleh keyakinan dari setiap individu.

27
Nugroho Suksmanto. Lauh Mahfuz, hlm 472
112

Perbedaan bukan untuk diperdebatkan karena merupakan keyakinan dari setiap
orang, dan setiap keyakinan dalam diri adalah hak asasi yang paling hakiki, yang
dimiliki oleh manusia.
Dalam satu titik pertalian dari novel Lauh Mahfuz, hendak
mempertanyakan konsep humanisme, yang kemudian ditawarkan melalui
pemahaman agama untuk bisa menghargai hak-hak setiap individu: ada pesan
kedamaian yang bermukim dalam kode-kode. Pesan itu dimaksudkan sebagai
respons terhadap fenomena pada belakangan ini kita sering melihat berita di layar
kaca maupun dalam bentuk tulisan mengenai berbagai fenomena perselisihan
antarumat beragama mapupun perselisihan di kalangan intern umat beragama itu
sendiri. Api menyala dan darah mengalir dari jiwa yang tak berdosa, yang dipicu
dari permasalah kecil. Permasalahanya hanya satu, yakni terkait pada pandangan
benar dan salah antarpemimpin. Keseimbangan dari bhineka tunggal ika
menjadi tergoyahkan melalui konflik yang beradar dari perbedaan cara pandang.
Imbasnya dapat perpecahan, dan memudarnya nilai-nilai kemanusiaan. Ranah
itulah yang harus dibenahi agar pandangan terhadap agama tidak menjadi
paradok dan belenggu bagi kemajuan peradaban.
Tentu saja, dalam relasi sosial yang semakin terbukamenjadi
globalisasidengan perambahan pada teknologi dan informasi yang begitu cepat,
kita akan berhadap-hadapan dengan begitu banyak perbedaan di muka bumi,
manusia yang makin individual, dan akan muncul begitu banyak interpretasi pada
kebenaran. Pemujaan pada kebenaran tanpa perenungan yang mendalam akan
membuat jiwa tertutup, dan terbatas pada komersialisasi eksistensi. Novel Lauh
Mahfuz membuka mata kita pada seberkas cahaya pagi untuk menyikapi
perbedaan, mewujudkan harapan kedamaian, dan mendapatkan hak-hak asasi
tanpa kekangan ataupun tekanan.

Penutup
Demikian, kiranya, sebuah teks memuat kode-kode kultural secara
konotatif. Novel Lauh Mahfuz dipenuhi dengan kode yang dapat kita telusuri
jejaknya sebagai entitas. Nugroho Suksmanto memilih bernarasi dalam bentuk
alegoris, dan berwacana melalui mutasi-realitas. Dari penelusuran kode itulah,
terungkap wacana yang terhubung dengan beberapa praktik sosial. Pertama,
agama sebagai sebuah pilihan untuk dijalani dengan kedalaman spiritualitas yang
dicapai melalui tahap-tahap tertentu berdasarkan amal dan perbuatan dalam
kehidupan sehari-hari. Kedua, peranan agama bukan untuk diyakini sebagai
kebenaran absolut yang lebih benar daripada agama lain, tetapi agama dipahami
dan dijalani untuk kedamaian dan keselarasan bagi setiap umat. Ketiga, hakikat
adanya perbedaan di muka bumi ini bukan untuk diperdebatkan ataupun
diunggul-unggulkan salah satu pihak, namun keberagaman lebih merupakan
keagungan dan kebesaran Tuhan atas ciptaanya. Keempat, keberbedaan
hendaknya dipahami secara plural agar setiap individu mendapatkan hak-haknya
113

sebagai manusia dan tercipta harmonisasi hidup dengan sikap saling menghargai
dan toleransi. Kelima, dalam keberagaman, Tuhan adalah satu-satunya Kebenaran.



Daftra Pustaka


Al-Fayyadl, Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta: LKiS.

Al-Quran dan Terjemahannya. 1983/1984. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci
al-Quran Departemen Agama RI.

Ar-Razi, Imam. 2000. Ruh dan Jiwa; Tinjauan Filosofis dalam Prespektif Islam
(Imam Razis Ilm al-Akhlaq) diterj. oleh H. Mochtar Zoerni dan Joko S
Kahhar. Surabaya: Risalah Gusti.

Barker, Chris. 2008. Cultural Studies: Teori dan Praktik (Cultural Studies:
Theory and Practic) diterj. oleh Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Barthes, Roland 2006. Mitologi (Mythologies) diterj. oleh Nurhadi dan A. Sihabul
Milah. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

. 2010. Imaji, Musik, Teks (Image/Music/Text, Essay Selected and
Translated by Stephe Heath diterj. oleh Agustinus Hartono. Yogyakarta:
Jalasutra.

Faruk. 2001. Beyond Imagination: Sastra Mutakhir dan Ideologi. Yogyakarta:
Gama Media.

Foucault, Micheal. 1971. What Is An Author? Cambridge, Eng.: Cambridge
University Press

. 2002. Power/Knowledge: Wacana Kuasa/Pengetahuan
(POWER/KNOWLEDGE Selected Interview and Other Writing 1972-
1977) diterj. oleh Yudi Santosa. Yogyakarta: Bentang Budaya.

Habermas, Jurgen. 2007. Teori Tindakan Komunikatif I: Rasio dan Rasionalisasi
Masyarakat (Theorie des Kommunikativen Handelns, Band I:
Handlungsrationalitat und Gesellschaftliche Ratioonalisierung) diterj.
oleh Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

114

Iqbal, Muhammad. 2002. Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam (The
Reconstruction of Religious Thought in Islam diterj. oleh Ali Audah,
Taufik Ismail, dan Goenawan Mohamad. Yogyakarta: Jalasutra.

Kuntowijoyo. 2005. Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika, dan Struktur
Sastra, dalam Majalah Horison, No. 5, Mei 2005, hal. 8.

Murata, Sachiko. 2003. Kearifan Sufi Cina (Chinese Gleams of Sufi Light; Wang
Tai-yus Great Learning of the Pure anda Real and Liu Chihs Displaying
the Concealment of the Real Realm) diterj. oleh Susilo Adi. Yogyakarta:
Kreasi Wacana.

Murata, Sachiko dan William C. Chittick. 2005. The Vision of Islam diterj. oleh
Suharsono. Yogyakarta: Suluh Press.

Qardhawi, Yusuf. 2005. Merasakan Kehadiran Tuhan. Yogyakarta: Mitra
Pustaka.

Rendra. 1999. Memberi Makna pada Hidup yang Fana. Jakarta: Pabelan
Jayakarta.

Riceour, Paul. 2006. Hermeneutika Ilmu Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Skolimowski, Henryk.2004. Filsafat Lingkungan. Yogyakarta: Bentang.

Suksmanto, Nugroho. 2012. Lauh Mahfuz. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
115

Kesenian Sintren dalam tarikan Tradisi dan Modernitas
Puji Dwi Darmoko
1



Abstrak

Di tengah derasnya tekanan modernitas, produk budaya sebagai budaya
adiluhung kreasi anak bangsa dipertahankan eksistensi dan keberlangsungannya.
Salah satunya adalah kesenian daerah Sintren yang berkembang di sepanjang
wilayah Pantura Jawa Tengah bagian barat khususnya di Kabupaten Pemalang.
Kesenian Sintren diawali dari cerita rakyat/legenda yang dipercaya oleh
masyarakat tentang kisah percintaan Sulasih dan R. Sulandono, seorang putra
Bupati Mataram Joko Bahu atau dikenal dengan nama Bahurekso dan Rr.
Rantamsari.
Kesenian tari Sintren dianggap unik, karena banyak yang mengatakan
gerakannya di luar kesadaran akal sehat, diiringi lagu dan beberapa alat musik
sederhana. Seiring dengan perkembangan zaman sintren sebagai suatu seni
adalah salah satu dari bagian kebudayaan yang terkena imbas arus modernitas.
Bentuk-bentuk modernitas, misalnya tempat-tempat hiburan yang bersifat
modern antara lain: bioskop, caf, karaoke, mall, dan sebagainya menggusur
keberadaan kesenian sebagai alternativ hiburan yang mengandung unsur-unsur
pendidikan dan pencerahan, khususnya kesenian tradisional.
Kesenian Sintren kehilangan pamornya antara lain karena masyarakat
sendiri sudah tidak peduli pada kesenian Sintren. Mereka beranggapan,
pementasan kesenian Sintren sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman.
Namun demikian keberdayaan seni Sintren tetap eksis karena adanya
semangat para pelaku seni Sintren yang berusaha menghidupkan kesenian Sintren
lebih dari sebuah "pengabdian" untuk melestarikan budaya warisan nenek
moyang, atau ingin mempertahankan nilai-nilai kearifan yang tersimpan di
dalamnya, sebagaimana yang dilakukan oleh anggota Paguyuban Sintren Slamet
Rahayu Dusun Sirau Kelurahan Paduraksa.

Kata kunci : sintren, modernitas, keberdayaan

A. Pendahuluan
Perubahan kebudayaan pada suatu masyarakat merupakan keniscyaan dan
tidak dapat dielakkan. Masyarakat tidak pernah statis, selalu dinamis berubah dari
satu keadaan ke keadaan lainnya yang disebabkan oleh berbagai faktor. Perubahan

1
Puji Dwi Darmoko, M.Hum adalah Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Pemalang
(STIT) Pemalang
116

ini dimaksudkan sebagai wujud tanggapan manusia terhadap tantangan
lingkungannya.
Diakui atau tidak suatu masyarakat tidak akan pernah terbebas dari gejala
perubahan yang berjalan sangat pesat, sehingga justru membingungkan
manusia itu sendiri. Gejala perubahan yang terjadi memiliki intensitas kuat
memunculkan kekhawatiran bagaimana ketangguhan daya tangkal nilai-nilai
masyarakat yang telah mapan menjadi goyah dan perlahan-lahan mengalami
pemudaran.
Namun demikian adanya dinamika masyarakat memberikan kesempatan
kebudayaan untuk berkembang, sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada
kebudayaan tanpa masyarakat, dan tidak ada masyarakat tanpa kebudayaan
sebagai wadah pendukungnya.
Di tengah derasnya tekanan modernitas, produk budaya sebagai budaya
adiluhung kreasi anak bangsa dipertahankan eksistensi dan keberlangsungannya,
salah satunya adalah kesenian daerah Sintren yang berkembang di sepanjang
wilayah pantura Jawa Tengah bagian barat khususnya di Kabupaten Pemalang.
Sintrenpun sebagai salah satu kesenian daerah Kabupaten Pemalang tidak
bebas dari pengaruh modernitas. Keberadaannya kini semakin langka ditekan
derasnya modernisasi.


B. Kesenian Sintren
Dari segi asal usul bahasa (etimologi) Sintren merupakan gabungan dua
suku kata Si dan tren. Si dalam bahasa Jawa berarti ia atau dia dan tren
berarti tri atau panggilan dari kata putri. Sehingga Sintren adalah Si putri
yang menjadi pemeran utama dalam kesenian tradisional Sintren.
2

Sintren adalan kesenian tari tradisional masyarakat Jawa Tengah di
wilayah pantai utara, khususnya di Pemalang. Kesenian ini terkenal di pesisir
utara Jawa Tengah dan Jawa Barat, antara lain di Pemalang, Pekalongan, Brebes,
Banyumas, Kuningan, Cirebon, Indramayu, dan Jatibarang. Kesenian Sintren
dikenal sebagai tarian dengan aroma mistis/magis yang bersumber dari cerita cinta
kasih Sulasih dengan Sulandono.
Herusatoto mengemukakan bahwa Sintren adalah seni pertunjukan rakyat
Jawa-Sunda; seni tari yang bersifat mistis, memiliki ritus magis tradisional
tertentu yang mencengangkan.
3


1. Legenda Sintren
Kesenian Sintren diawali dari cerita rakyat/legenda yang dipercaya oleh
masyarakat dan memiliki dua versi, Pertama, berdasar pada legenda cerita
percintaan Sulasih dan R. Sulandono seorang putra Bupati di Mataram Joko Bahu

2
Sugiarto, A ; et al.. Naskah deskripsi Tari Sintren.(Semarang : Proyek Pembinaan
Kesenian Jawa Tengah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989), hlm. 15.
3
Budiono Herusatoto, Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak, (Yogyakarta:
LKiS Pelangi Aksara, 2008), hlm. 207.
117

atau dikenal dengan nama Bahurekso dan Rr. Rantamsari. Percintaan Sulasih dan
R. Sulandono tidak direstui oleh orang tua R. Sulandono. Sehingga R. Sulandono
diperintahkan ibundanya untuk bertapa dan diberikan selembar kain (sapu
tangan) sebagai sarana kelak untuk bertemu dengan Sulasih setelah masa
bertapanya selesai. Sedangkan Sulasih diperintahkan untuk menjadi penari pada
setiap acara bersih desa diadakan sebagai syarat dapat bertemu R. Sulandono.
Tepat pada saat bulan purnama diadakan upacara bersih desa diadakan
berbagai pertunjukan rakyat, pada saat itulah Sulasih menari sebagai bagian
pertunjukan, dan R. Sulandono turun dari pertapaannya secara sembunyi-
sembunyi dengan membawa sapu tangan pemberian ibunya. Sulasih yang menari
kemudian dimasuki kekuatan spirit Rr. Rantamsari sehingga mengalami "trance"
dan saat itu pula R. Sulandono melemparkan sapu tangannya sehingga Sulasih
pingsan. Saat sulasih "trance/kemasukan roh halus/kesurupan" ini yang disebut
"Sintren", dan pada saat R. Sulandono melempar sapu tangannya disebut sebagai
"balangan". Dengan ilmu yang dimiliki R. Sulandono maka Sulasih akhirnya
dapat dibawa kabur dan keduanya dapat mewujudkan cita-citanya untuk bersatu
dalam mahligai rumahtangga.
Kedua, Sintren dilatar belakangi kisah percintaan Ki Joko Bahu
(Bahurekso) dengan Rantamsari, yang tidak disetujui oleh Sultan Agung Raja
Mataram. Untuk memisahkan cinta keduanya, Sultan Agung memerintahkan
Bahurekso menyerang VOC di Batavia. Bahurekso melaksanakan titah Raja
berangkat ke VOC dengan menggunakan perahu Kaladita (Kala-Adi-Duta). Saat
berpisah dengan Rantamsari itulah, Bahurekso memberikan sapu tangan sebagai
tanda cinta.
Tak lama terbetik kabar bahwa Bahurekso gugur dalam medan
peperangan, sehingga Rantamsari begitu sedihnya mendengar orang yang dicintai
dan dikasihi sudah mati. Terdorong rasa cintanya yang begitu besar dan tulus,
maka Rantamsari berusaha melacak jejak gugurnya Bahurekso. Melalui perjalan
sepanjang wilayah pantai utara Rantamsari menyamar menjadi seorang penari
Sintren dengan nama Dewi Sulasih. Dengan bantuan sapu tangan pemberian
Ki Bahurekso akhirnya Dewi Rantamsari dapat bertemu Ki Bahurekso yang
sebenarnya masih hidup.
Karena kegagalan Bahurekso menyerang Batavia dan pasukannya banyak
yang gugur, maka Bahurekso tidak berani kembali ke Mataram, melainkan pulang
ke Pekalongan bersama Dewi Rantamsari dengan maksud melanjutkan
pertapaannya untuk menambah kesaktian dan kekuatannya guna menyerang
Batavia lain waktu. Sejak itu Dewi Rantamsari dapat hidup bersama dengan Ki
Bahurekso hingga akhir hayatnya.


2. Bentuk Penyajian Sintren
Sebelum pertunjukan, biasanya diawali dengan tabuhan gamelan sebagai
tanda akan dimulainya pertunjukan kesenian Sintren dan dimaksudkan untuk
mengumpulkan massa atau penonton. Penonton biasanya datang bergelombang
118

dan menempatkan diri dengan mengelilingi arena, disambut dengan koor lagu-
lagu dolanan anak-anak Jawa, seperti lir-ilir, Cublek-cublek suweng, Padang
Rembulan dan sebagainya.
4

Setelah itu dilakukan pembakaran dupa, yaitu acara berdoa bersama-
sama diiringi membakar kemenyan dengan tujuan memohon perlindungan
kepada Tuhan Yang Maha Esa agar selama pertunjukan terhindar dari mara
bahaya. Bahkan sebelumnya perlu dilakukan acara ritual selama 40 hari terhadap
penari Sintren untuk mencapai kesempurnaan penampilannya.
5

Berikutnya adalah tahapan menjadikan Sintren yang akan dilakukan oleh
Pawang dengan membawa calon penari Sintren bersama dengan empat orang
pemain. Dayang sebagai lambang bidadari (Jawa: Widodari patang puluh) sebagai
cantriknya Sintren. Kemudian Sintren didudukkan oleh Pawang dalam keadaan
berpakain biasa dan didampingi para dayang/cantrik. Pawang segera menjadikan
penari Sintren secara bertahap, melalui tiga tahapan. Tahap Pertama, pawang
memegang kedua tangan calon penari Sintren, kemudian diletakkan di atas asap
kemenyan sambil mengucapkan mantra, selanjutnya mengikat calon penari
Sintren dengan tali melilit ke seluruh tubuh. Tahap Kedua, calon penari Sintren
dimasukkan ke dalam sangkar (kurungan) ayam bersama busana Sintren dan
perlengkapan merias wajah. Beberapa saat kemudian kurungan dibuka, Sintren
sudah berdandan dalam keadaan terikat tali, lalu Sintren ditutup kurungan
kembali. Tahap Ketiga, setelah ada tanda-tanda Sintren sudah jadi (biasanya
ditandai kurungan bergetar/bergoyang) kurungan dibuka, Sintren sudah lepas dari
ikatan tali dan siap menari. Selain menari adakalanya Sintren melakukan
akrobatik diantaranya ada yang berdiri diatas kurungan sambil menari. Selama
pertunjukan Sintren berlangsung, pembakaran kemenyan tidak boleh berhenti.
Kesenian Sintren disajikan secara komunikatif antara seniman dan
seniwati dengan penonton menyatu dalam satu arena pertunjukan.
6
Tetapi ada
juga yang menuturkan bahwa asal usul Sintren adalah upacara pemanggilan ruh.
Ini jika dilihat dari lagu-lgunya yang masih memiliki sifat magis religius dengan
adanya adegan kesurupan (trance) yang dialami seorang pemain intren. Juga
dilihat dari sifat permainannya yang masih dipimpin oleh seorang pawang
sebagai shaman atau dukun.
Keunikan dalam pertunjukan Sintren adalah penari yang berpakaian biasa
dalam keadaan tubuh dan tangan terikat mampu menjelma di dalam kurungan
ayam jago yang di dalamnya telah disediakan berbagai alat rias seperti cermin,
bedak, gincu, seperangat pakaian tari dan kaca mata hitam menjadi gadis cantik
dan mengenakan pakaian indah dengan hiasan wajah yang begitu sempurna dan

4
Ibid
5
Wawancara dengan bapak Basuki, ketua Rt. 08 Dusun Sirau Kelurahan Paduraksa,
penasehat Paguyuban Sintren Slamet Rahayu.
6
Hasil observasi melihat langsung pertunjukan Sintren hari Sabtu, tanggal 19 Mei 2012 di
halaman seorang penduduk di Dusun VI Desa Banjaran Kecamatan Taman Kabupaten Pemalang).

119

memakai kacamata hitam. Setelah beberapa waktu kurang lebih antara 20 menit
sampai 60 menit penari keluar dari kurungan sudah dalam tampilan yang berbeda
saat masuknya. Kaca mata hitam yang dimaksudkan untuk menutupi posisi biji
mata sewaktu trance/kesurupan.
7


3. Balangan atau Temohan
Balangan yaitu pada saat penari Sintren sedang menari maka dari arah
penonton ada yang melempar (Jawa : mbalang) sesuatu ke arah penari Sintren.
Setiap penari terkena lemparan maka Sintren akan jatuh pingsan (bila mengenai
kepala). Pada saat itu, pawang dengan menggunakan mantra-mantra tertentu
kedua tangan penari Sintren diasapi dengan kemenyan dan diteruskan dengan
mengusap wajah penari Sintren dengan tujuan agar roh bidadari datang lagi
sehingga penari Sintren dapat melanjutkan menari lagi.
Sedangkan temohan adalah penari Sintren dengan nyiru/tampah atau
nampan mendekati penonton untuk meminta tanda terima kasih berupa uang ala
kadarnya.
Lagu-lagu yang dilantunkan dalam pertunjukan seni Sintren umumnya
bersifat memanggil bidadari, kekuatan ruh yang dipercayai dapat mendatangkan
kekuatan tertentu, seperti tercermin dalam lagu yang penulis masih ingat yaitu
Turun Sintren, yang kurang lebih syairnya sebagai berikut:
Turun-turun Sintren, turune widodari
nemu kembang neng ayunan, kembange wijaya endah
podho temuruno neng sukmo, ono Sintren jejogetan
bul-bul kemenyan, widodari kang sukmo, podho temuruno
podho sinuyudhan, podho lenggak-lenggok surake keprok rame-
rame
sing nonton podho mbalang lendang karo Sintrenne, njaluk bayar
saweran sa lilane.

Arti dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut:
Turun-turunnya Sintren, turunnya bidadari
Menemukan bunga di depan rumah, bunganya bunga Wijaya indah
Semua turun ke jiwa, ada Sintren menari-nari
Asap-asap kemenyan membumbung, bidadari yang merasuk ke jiwa,
semua turunlah
Semua bekerjasama, semua menari bersama, tepuk tangan bersama
dengan ramai sekali
Semua yang melihat melempar selendang kepada Sintren, Sintrennya
meminta dibayar seikhlasnya
Tarian Sintren sangat unik, karena banyak yang mengatakan gerakannya
di luar kesadaran akal sehat, diiringi lagu dan beberapa alat musik sederhana

7
Wawancara dengan Ibu Hj. Tunut, anggota paguyuban Sintren Slamet Rahayu, sebagai
cantrik sang Sintren.
120

yaitu ; buyung, lodong bambu, kecrek (terbuat dari sapulidi), dan hihid (kipas).
Sekarang hihid diganti dengan karet bahan sandal., namun menggugah selera
untuk terus menari. Tua muda melihatnya penuh antusias mengikuti, semua mata
tertuju pada gerakan yang melambangkan kesederhanaan.


4. Tahap Pemulihan Sintren
Tahap pertama, penari Sintren dimasukkan ke dalam kurungan bersama
pakain biasa (pakaian sehari-hari). Tahap kedua, pawang membawa anglo berisi
bakaran kemenyan mengelilingi kurungan sambil membaca mantra sampai
dengan busana Sintren dikeluarkan. Tahap ketiga, kurungan dibuka, penari
Sintren sudah berpakain biasa dalam keadaan tidak sadar. Selanjutnya pawang
memegang kedua tangan penari Sintren dan meletakkan di atas asap kemenyan
sambil membaca mantra sampai Sintren sadar kembali, pertunjukan Sintren
selesai.
Dahulu pertunjukan Sintren sering dilakukan oleh para juragan padi sesaat
setelah panen, sebagai ungkapan rasa syukur atas keberhasilan pertaniannya atau
pada musim kemarau untuk meminta hujan, maka dalam pertunjukannya akan
dilantunkan lagu yang syairnya memohon agar diturunkan hujan. Namun kini
pertunjukan Sintren sangat jarang. Penulis teringat saat kecil pada periode waktu
tahun 1975-1990-an masih sering menjumpai di desa dan desa tetangga banyak
dijumpai warga yang menanggap pertunjukan Sintren, kini sangat sulit
menjumpainya. Pertunjukan Sintren kini dilakukan secara berkeliling dari satu
tempat ke tempat lain oleh pelaku seni Sintren.
Bahkan berdasar pengetahuan penulis, saat ini hanya ada satu desa yang
masih mempunyai grup kesenian Sintren yang tetap eksis yaitu di dusun Sirau
Kelurahan Paduraksa dan Kabupaten Pemalang yaitu Paguyuban Sintren
Lintang Kemukus dan Paguyuban Sintren Slamet Rahayu yang diketuai oleh
Radin Anom dengan jumlah pengurus 15 orang, selain itu kesenian sintren dapat
juga dijumpai di Desa Banjarmulya Kecamatan Pemalang.

C. Modernisasi
Dalam tulisan ini akan dikaji bagaimana keberdayaan seni daerah Sintren
dalam tarikan antara tradisi dan modernitas melalui pendekatan fenomologi
dengan menggunakan teori modernisasi dan fungsional. Hal tersebut berdasar
asumsi bahwa setiap unsur budaya tidak akan pernah terbebas dari perubahan
yang disebaban oleh arus modernisasi.
Di mana salah satu teori yang muncul dalam menjawab perubahan sosial
masyaraat menuju modern adalah teori modernisasi. Teori ini mendasarkan pada
konsep evolusionisme. Teori modernisasi ini dipelopori oleh Karl Marx, Max
Weber dan Emile Durkhiem.
8


8
Ravik Karsidi, Sosiologi Pendidikan, (Surakarta: UNS Press, 2011), hlm.139
121

Secara historis makna modernitas mengacu pada transformasi sosial,
politik, ekonomi, cultural, dan mental yang terjadi di Barat sejak abad ke-16 dan
mencapai puncaknya pada abad 19 dan 20.
9
Dari sudut pandang ini
perkembangan masyarakat terjadi melalui proses peralihan dari masyarakat
tradisional ke masyarakat modern.
Dalam teori modernisasi klasik masih berasumsi bahwa negara Dunia
ketiga merupakan negara terbelakang dengan masyarakat tradisionalnya.
Sementara negara-negara Barat (Eropa dan Amerika Serikat) dilihat sebagai
negara modern, sehingga gejala dan kondisi yang terjadi dalam masyarakat
diukur menurut pandangan Barat dalam menentukan tingkat modernitas. Tidak
salah jika Gramsci mengatakan telah terjadi hegemoni budaya terhadap negara
Dunia ketiga. Masyarakat kemudian lebih banyak mengadaptasi nilai-nilai gaya
hidup Barat sebagai identitas modern, kecenderungan ini dilihat sebagai
westernisasi.
Paling tidak pengertian umum tentang modernisasi adalah proses sejarah
pada transformasi perubahan besar-besaran dari pertanian tradisional ke
masyarakat industri modern sejak masa revolusi industri abad XVIII. Proses
modernisasi berlangsung revolusioner, kompleks, sistematik, global, jangka
panjang dan progresiv, sehingga akan menghasilkan kristalisasi dan difusi
modernitas klasik.
Teori ini memandang bahwa perubahan bergerak secara linear dari
masyarakat primitif menuju masyarakat maju. Sedangkan teori fungsionalisme
memandang bahwa masyarakat sebagai sebuah sistem selalu berada dalam
keseimbangan dinamis. Perubahan yang terjadi dalam unsur sistem itu akan
diikuti oleh unsur sistem lainnya dan membentuk keseimbangan baru. Perubahan
sosial dalam pandangan modernisasi klasik, menitikberatkan kemajuan
masyarakat modern terbentuk melalui suatu proses yang sama.
Aliran baru teori modernisasi tersebut mengandung pemikiran bahwa nilai
tradisional dapat berubah oleh karena dalam dirinya mengalami proses perubahan
yang digerakkan oleh perkembangan berbagai faktor kondisi setempat misalnya,
faktor pertumbuhan penduduk, teknik, dan apresiasi nilai budaya.


D. Pembahasan
1. Antara tradisi dan modernitas
Sintren sebagai suatu seni adalah salah satu dari bagian kebudayaan yang
terkena imbas arus modernitas, yang tidak tersaring secara ketat menyebabkan
proses akulturasi budaya berjalan lancar. Bentuk-bentuk modernitas, misalnya
tempat-tempat hiburan yang bersifat modern antara lain: bioskop, caf, karaoke,
mall, dan sebagainya menggusur keberadaan kesenian sebagai alternativ hiburan

9
Piotr Sztomka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada, 2008), hlm. 149



122

yang mengandung unsur-unsur pendidikan dan pencerahan, khususnya kesenian
tradisional.
Modernitas dalam bentuk teknologi hiburan, besar pengaruhnya terhadap
kesenian tradisional. Kesenian tradisional membutuhkan proses yang lama dalam
memahami dan menampilkan, berbeda dengan teknologi hiburan modern yang
bersifat instant. Di sinilah akan terjadi cultural lag dalam kebudayaan berkaitan
dengan keberadaan kesenian tradisional. Menurut Koentjaraningrat, bahwa
cultural lag adalah perbedaan antara taraf kemajuan berbagai bagian dalam
kebudayaan suatu masyarakat. Artinya ketinggalan kebudayaan, yaitu selang
waktu antara saat benda itu diperkenalkan pertama kali dan saat benda itu
diterima secara umum sampai masyarakat dapat menyesuaikan diri terhadap
benda tersebut.
Dalam kasus ini, benda yang dimaksud di atas dapat diterapkan sebagai
kesenian tradisional. Suatu culture lag terjadi apabila irama perubahan dari dua
unsur perubahan (mungkin lebih) memiliki korelasi yang tidak sebanding
sehingga unsur yang satu tertinggal oleh unsur lainnya.
Dari fakta tersebut menjadikan kesenian tradisional sebagai bentuk yang
ketinggalan zaman. Salah satu bentuk kesenian tradisional yang kentara terkena
imbasnya adalah kesenian tradisional Sintren.
Para pekerja seni Sintren sebagai aset sumber daya manusia harus
berjuang melawan modernitas, sebagai kaum minoritas yang menyampaikan
nilai-nilai egalitarian dalam pementasannya, mereka telah ikut andil dengan
caranya dalam pelaksanaan mengisi pembangunan, baik fisik maupun non
fisik/sosial demi kelangsungan hidup para seniman Sintren tersebut.
Dalam pertunjukan Sintren para penonton yang datang bukan hanya dari
desa setempat saja. Dari luar desapun banyak yang berdatangan untuk sekadar
menonton ataupun menginginkan romantisme lama atau ada juga yang
menghendaki supaya budaya setempat langgeng sampai anak cucu.
Dalam perspektif lain sebenarnya kehadiran Sintren justru dapat menjadi
alternatif bagi pelaku seni sintren maupun masyarakat yang terlibat di dalam
pertunjukan kesenian tersebut, untuk pemberdayaan ekonomi mikro, ditengah
himpitan modernitas dan globalisasi yang secara masif menghimpit rakyat kecil,
pementasan sintren menjadi sesuatu yang mendatangkan manfaat secara
ekonomi. Dibalik kesederhanaan, keikhlasan, kepolosan, seorang gadis penari
sintren ternyata sedikit banyak mampu mendongkrak susana sepi menjadi
keramaian penuh optimis penduduk suatu desa. Di mana sebagian penduduk
dapat memberdayakan eonomi skala mikro melalui usaha dagang seperti; krupuk
sambal, tahu aci, mainan anak-anak, pecel, serundeng lumping kerbau dan lain-
lain, yang dilakukan dengan selalu mengikuti pertunjukan keliling sintren dari
satu desa ke desa lain.




123

2. Keberdayaan kesenian tari Sintren
Opini masyarakat Pemalang terhadap kesenian Sintren sedikitnya ada tiga
kategori yang mewakili berbagai aliran opini yang berkembang di masyarakat.
Pertama, kelompok masyarakat yang secara tegas (tanpa kompromi)
menolak eksistensi kesenian Sintren karena berasumsi bahwa kesenian Sintren
tidak sejalan dengan nalar keagamaan (penuh nuansa mistis). Kedua, kelompok
yang mengakui eksistensi kesenian Sintren dan berusaha melestarikannya.
Kelompok ini terwakili oleh para seniman dan pemerhati seni etnik. Ketiga,
kelompok yang masa bodoh dan tidak ambil pusing tentang Sintren dan masa
depannya nanti.
Faktor yang membuat kesenian Sintren kehilangan pamornya antara lain
karena masyarakat sendiri yang sudah tidak peduli pada kesenian Sintren. Mereka
beranggapan, pementasan kesenian Sintren sudah tidak relevan dengan
perkembangan zaman.
Selain itu juga tidak adanya wadah (sanggar) tempat bertemu sesama
anggota dan para pemerhati seni tradisional. Lemahnya manajemen grup Sintren,
ditengarai juga ikut memengaruhi citra kesenian Sintren. Dahulu, kesenian
Sintren hanya dikelola secara musiman dan baru bergerak jika ada undangan
pentas ataupun festival namun kini pertunjukan Sintren dilakukan secara
berkeliling dari satu tempat ke tempat lain.
Dalam pandangan masyarakat pelaku seni tradisional. menghidupkan
kesenian Sintren seakan tidak lebih dari sebuah "pengabdian" untuk melestarikan
budaya warisan nenek moyang, atau hanya sekedar ingin mempertahankan nilai-
nilai kearifan yang tersimpan di dalamnya, sebagaimana yang dilakukan oleh
anggota Paguyuban Sintren Slamet Rahayu dusun Sirau Kelurahan Paduraksa.
Jadi, mempertahankan nilai-nilai seni budaya itulah agaknya yang
dijadikan pertimbangan. Memutuskan menjadi penari Sintren barangkali
merupakan sebuah keberanian dan secara moral patut dihargai sebagai bentuk
ketulusan menjaga nilai-nilai kesucian. Dalam prosesi pementasan Sintren ada
semacam persyaratan khusus, si penari harus benar-benar masih perawan (suci)
lahir batin, dalam arti secara fisik masih gadis (perawan) dan secara psikologis
belum terhegemoni oleh pengaruh modernitas (masih lugu). Karena itu umumnya
penari sintren berasal dari kalangan gadis cilik usia sekolah setingkat kelas 5 atau
6 Sekolah Dasar. Syarat lainnya hanya berkaitan dengan teknis, tentunya harus
bisa menari.
Kini Sintren di Pemalang sebagai sebuah tradisi disebabkan tekanan
modernitas hampir menjadi sepenggal kenangan sejarah. Meski masih ada pihak
yang berusaha melestarikannya, terbukti di salah satu desa masih terdapat group
Sintren yang tampil secara keliling. Sebagaimana paguyuban seni Sintren Slamet
Rahayu di dusun Sirau Kelurahan Paduraksa Kecamatan Pemalang.




124

E. Kesimpulan
Dari uraian tentang bagaimana pertunjukan Sintren di atas, dapat
disimpulkan bahwa ada beberapa makna yang terdapat di balik pertunjukan
Sintren, antara lain: pertama, makna mistis yang memiliki hubungan dengan
perolehan secara magis simpatetik. Ini tercermin lewat lagu-lagu yang dilantunkan
dengan monoton tapi sederhana dan mampu memberikan kekuatan tertentu,
sehingga pemain Sintren dari kondisi terikat kuat dapat lepas dan berpakaian
dalam hitungan menit. Kedua, makna teatrikal. Makna teatrikal ini digambarkan
dengan tampilnya pawang dengan pemain Sintren dan kurungan secara simultan.
Lalu Sintren berganti rupa dalam penampilannya sejak diikat dan dimasukkan ke
dalam kurungan dan keluar lagi serta masuk lagi dalam kurungan. Pertunjukan
semacam itu merupakan adegan teatrikal yang menarik bagi siapa pun yang
melihatnya. Ketiga, makna simbolik. Makna simbolik ini ditunjukan bahwa
pertunjukan Sintren dahulu hampir slalu ditampilkan pada saat selesai panen. Ini
menunjukan rasa syukur atas keberhasilan panen yang dimiliki oleh para petani
yang ingin berbagi kebahagiaan dan kebersamaan dengan warga sekitarnya, oleh
karena itu dalam pertunjukan Sintren juga dihidangkan berbagai macam makanan.
Dalam masa kinipun, seni sintren menunjukan pesan egalitarian dan
hubungan antara pencipta dengan yang dicipta. Pesan egalitarian, karena untuk
pertunjukkannya, segenap warga yang ditempati pertunjukan sintren melakukan
gotong royong mengumpulkan uang untuk menjamu dan sekedar memberi
transport anggota paguyuban sintren. Hubungan pencipta dan yang dicipta,
karena dalam pertunjukan sintren terdapat lagu-lagu yang berisi permohonan
kepada Sang Pencipta, kini bahkan dinyanyikan shalawat nabi.
Meski tekanan modernitas begitu kuat, tetapi sebagai seni tradisional
keberdayaan seni Sintren tetap eksis karena adanya semangat para pelaku seni
Sintren yang berusaha menghidupkan kesenian Sintren lebih dari sebuah
"pengabdian" untuk melestarikan budaya warisan nenek moyang, atau adanya
keinginan kuat mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal yang tersimpan di
dalamnya, sebagaimana yang dilakukan oleh salah satunya adalah anggota
Paguyuban Sintren Slamet Rahayu Dusun Sirau Kelurahan Paduraksa.
Pertunjukan Sintren juga bisa menjadi alternatif membangkitkan ekonomi
mikro rakyat kecil dalam mencari pengahasilan tambahan ekonomi rumah tangga
atas desakan kebutuhan ekonomi dan sebagai upaya mencoba bertahan hidup
sambil nguri-uri budaya sendiri.









125

DAFTAR PUSTAKA


Buku Deskripsi Kesenian Daerah terbitan Pemerintah Kabupaten Pemalang Tahun
2010.

Herusatoto, Budiono, Banyumas: sejarah, budaya, bahasa, dan watak,
Yogyakarta:LKiS Pelangi Aksara, 2008.

Karsidi, Ravik, Sosiologi Pendidikan, Surakarta: UNS Press, 2011.

Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Jakarta: Aksara Baru, 1985.

Sugiarto, A ; et al., Naskah deskripsi Tari Sintren. Semarang : Proyek Pembinaan
Kesenian Jawa Tengah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989.

Sztomka, Piotr, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta: Prenada, 2008

Internet :
http://www.Pekalongankab.go.id. Diunduh tanggal 19 Mei 2012.

Sumber Data:
Observarsi dengan menonton langsung pertunjukan Seni Sintren oleh Paguyuban
Sintren Slamet Rahayu Sirau di Dusun VI Desa Banjaran Kecamatan
Taman Kabupaten Pemalang, tanggal 17 & 19 Mei 2012.

Wawancara dengan bapak Basuki, selaku RT. 08 Dusun Sirau Kelurahan
Paduraksa, hari Sabtu tanggal 19 Mei 2012.

Wawancara dengan Ibu Hj. Tunut, anggota Pengurus Paguyuban Seni Sintren
Slamet Rahayu Paduraksa. hari Sabtu tanggal 19 Mei 2012






126

KARAKTER PENDIDIKAN ISLAM DAN PROBLEMATIKANYA
Oleh Wahyudin
1


Abstrak

Dewasa ini khususnya di Indonesia system pendidikan yang diterapkan di
sekolah-sekolah merupakan bentuk adopsi sistematik dari system pendidikan
Barat. Adalah pengembangan wawasan intelektual yang kreatif dan dinamis di
berbagai bidang dalam sinaran dan terintegrasi dalam Islam, merupakan kata
kunci yang harus di percepat prosesnya, baik pada dataran teoritis maupun
praktis.
Pendidikan Islam yakni pendidikan yang dipahami dan dikembangkan dari
ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya,
yaitu Alquran dan Sunnah. Pendidikan Islam dapat juga dipahami sebagai proses
pembudayaan dan pewarisan ajaran agama, budaya dan peradaban umat Islam
dari generasi ke generasi sepanjang sejarahnya.
Pendidikan Islam dituntut untuk menerapkan pendekatan dan orientasi baru
yang relevan dengann tuntutan zaman berprinsip dan nilai absolutisme yang
bersifat mengarahkan tren perubahan sosio-kultural.
Problem yang sering dihadapi oleh dunia pendidikan terutama pendidikan
Islam adalah masih berbaurnya unsur Barat,mulai dari lembaga pendidikan
hingga system pendidikannya, untuk itu sangat diperlukan sekali campur tangan
dari masyarakat Muslim menjadi agen perubahan social dengan mendorong
produktivitas intelektual yang kreativ dan dinamis dalam semua bidang usaha
yang terintegrasi dengan Islam.


Kata Kunci : Pendidikan Islam, Problematika dan Produktivitas

A. Latar Belakang
Berbicara mengenai perubahan tentu sudah dapat terbayangkan terjadinya
dari hal yang positif ke negatif atau sebaliknya dari negative ke positif,namun itu
semua tidak mudah tentunya akan mendapatkan hambatan dan sebuah tantangan.
Dalam konteks untuk menemukan konsep pendidikan Islam ideal, maka
menjadi tanggung jawab moral bagi setiap pakar muslim untuk membangun teori
Islam sebagai paradigma ilmu pendidikan. Islam sebagai paradigma pendidikan
mempunyai karakteristik yang berbeda dengan paradigma-paradigma lainnya
yang mendasari konsep-konsep pendidikan.

1
Wahyudin adalah Dosen Sekolah Tinggi Ilmu tarbiyah (STIT) pemalang
127

Dewasa ini khususnya di Indonesia system pendidikan yang diterapkan di
sekolah-sekolah merupakan bentuk adopsi sistematik dari system pendidikan
Baratsekuler2
Diantara belitan berbagai persoalan besar,ia dihadapkan pula pada
berbagai persoalan tantangan dan prospek ke depan. Mampukah Pendidikan
Islam keluar dari belitan permasalahn tersebut dan ikut ambil bagian secara aktif
dalam hiruk-pikuknya lalu-lintas perubahan intelektual dan Socio Cultural
Global Village dewasa ini. Adalah pengembangan wawasan intelektual yang
kreatif dan dinamis di berbagai bidang dalam sinaran dan terintegrasi dengan
Islam,merupakan kata kunci yang harus di percepat prosesnya,baik pada dataran
teoritis maupun praktis.Berbicara tentang Pendidikan Islam atau pendidikan yang
ada dan berkembang di Negara-negara Muslim pada abad XXI,baik
system,tujuan sampai pada dataran operasionalnya masih menjadi bahan kajian
di kalangan para ahli pendidikan Islam.
Ada beberapa faktor yang ditengarai menjadi penyebab munculnya silang
pemikiran tersebut.ialah:
1. Pendapat yang menyatakan bahwa pendidikan Islam yang sekarang
dikembangkan baik system maupun substansinya adalah cenderung diadopsi
dari Barat. Kalaupun muncul gagasan-gagasan baru yang lahir dari pemikir-
pemikir Muslim, hal tersebut dianggap hanya bersifat penutup belaka.
Dengan kata lain, melepaskan diri sama sekali dari pengaruh Barat
adalah suatu hal tidak mungkin.Harus diakui bahwa sebagia besar Negara
Islam masihmerupakan Negara Dunia ketiga (miskin atau masih
berkembang),yang saat ini masih tertinggal beberapa langkah dari kemajuan
yang dicapai oleh Negara-negara Barat,yang mau tidak mau jalur tersebut
harus dilalui oleh Negara Muslim.
2. Karya-karya klasik pada masa kejayaan Islam yang merupakan pemikiran
pendidikan Islam yang komprehensif cukup jarang dijumpai.
3



B. Permasalahan
Dalam makalah ini akan dibahas beberapa permasalahan, yakni:
1. Pengertian pendidikan Islam dan situasi social cultural saat ini
2. Problem-problem yang mewarnai dunia pendidikan Islam
3. Pengertian tantangan dan prospek


C. Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang
mendapat banyak perhatian dari para ilmuwan. Bagi mereka yang akan terjun ke

2
Ismail SM,,et al,Paradigma Pendidikan Islam,(Semarang:Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo,2001) hal,3
3
Ibid,hal.275
128

dalam bidang pendidikan Islam harus memiliki kemampuan untuk
mengembangkan sesuai dengan tuntutan zaman.
Dari segi bahasa pendidikan dapat diartikan perbuatan (cara,hal,dan
sebagainya) mendidik,dan bererti pula pengetahuan tentang mendidik atau
pemeliharaan badan,bathin dan sebagainya,
Dalam bahasa Arab,para pakar pendidikan pada umumnya menggunakan
kata tarbiyah untuk arti pendidikan. Adapun pengertian pendidikan menurut
istilah dapat merujuk kepada beerbagai sumber yang diberikan para ahli
pendidikan.Dalam undang-undang tentang System Pendidikan Nasional (UU RI
No.2 Th.1989) dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk
menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,pengajaran,dan latihan
bagi peranannya di masa yang akan datang.
Selanjutnya,Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara,
mengatakan bahwa pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan
pertumbuhan budi pekerti (kekuatan bathin,karakter),pikiran (intellect) dan tubuh
anak yang antara satu dan lainnya saling berhubungan agar dapat memajukan
kesempurnaan hidup,yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita
didik selaras dengan dunianya.
Dari dua definisi tersebut dapat diketahui bahwa pendidikan adalah
merupakan suatu usaha atau proses yang ditujukan untuk membina kwalitas
sumber daya manusia seutuhya agar dia dapat melakukan perannya dalam
kehidupan secara fungsional dan optimal.
Dengan demikian,pendidikan pada intinya menolong manusia agar dapat
menunjukkan eksistensinya secara fungsional di tengah-tengah kehidupan
manusia.
Adapun Islam berasal dari bahasa Arab aslama, yuslimu, islaman yang
berarti berserah diri, patuh dan tunduk. Kata aslama tersebut pada mulanya
berasal dari salima, yang berarti selamat, sentosa dan damai. Pengertian Islam
dari segi kebahasaan ini sudah mengacu kepada misi Islam itu sendiri yaitu
mengajak manusia agar hidup aman,damai dan selamat dunia akhirat dengan
cara patuh dan tunduk kepada Allah, yang selanjutnya upaya ini disebut ibadah.
Selanjutnya, jika pendidikan dan Islam disatukan menjadi Pendidikan
Islam, artinya secara sederhana adalah pendidikan yang berdasrkan ajaran Islam
dengan ciri-cirinya, yaitu memiliki ajaran tauhid dan persatuan,memuliakan
manusia,memandang hukum alam sebagai ketentuan Tuhan.
4

Secara sederhana,istilah pendidikan Islam dapat dipahami dalam
beberapa pengertia,yaitu:
1. Pendidikan menurut Islam atau Pendidikan Islami, yakni pendidikan yang
dipahami dan dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang
terkandung dalam sumber dasarnya,yaitu Alquran dan Sunnah. Dalam

4
Abuddin Nata,Metodologi Studi Islam,(Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada,1998),hal.333-339
129

pengertian yang pertama ini pendidikan Islam dapat berwujud pemikiran dan
teori pendidikan yang dibangun dan dikembangkan dari sumber-sumber
dasar tersebut.
Dalam realitasnya,pendidikan yang dibangun dan dikembangkan dari
kedua sumber tersebut terdapat beberapa visi,yaitu
a. Pemikiran,teori dan penyelenggaraannya melepaskan diri dan/atau
kurang mempertimbangkan situasi konkrit dinamika pergumulan
masyarakat muslim yang mengitarinya;
b. Pemikiran,teori dan praktikpenyelenggaraanya hanya mempertimbangkan
pengalaman dan khazanah intelektual ulama klasik;
c. Pemikiran teori dan praktik penyelenggaraannya hanya
mempertimbangkan situasi sosio-historis dan cultural masyarakat
kontemporer,dan melepaskan diri dari pengalam dan khazanah intelektual
ulama klasik;
d. Pemikiran,teori dan praktik penyelenggaraannya mempertimbangkan
pengalaman dan khazanah intelektual muslim klasik serta mencermati
situasi sosio-historis dan cultural masyarakat kontemporer.

2. Pendidikan keislaman atau Pendidikan Agama Islam, yakni upaya
mendidikkan agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya,agar menjadi
pandangan dan sikap hidup seseorang.Dalam pengertian yang kedua ini
pendidikan Islam dapat berwujud:
a. Segenap kegiatan yang dilakukan seseorang atau suatu lembaga untuk
membantu seorang atau kelompok peserta didik dalam menanamkan dan
menumbuhkembangan ajaran Islam dan nilai-nilainya;
b. Segenap fenomena atau peritiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih
yang dampaknya ialah tertanamnya atau tumbuh kembangnya ajaran
Islam dan nilai-nilainya pada slah satu atau beberapa pihak.
3. Pendidikan dalam Islam,atau proses dan praktik penyelenggaraan
pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah umat Islam.
Dalam arti proses bertumbuhkembangnya Islam dan umatnya, baik Islam
sebagai agama, ajaran maupun system budaya dan peradaban, sejak zaman
Nabi Muhammad saw sampai sekarang. Jadi, dalam pengertian yang ketiga
ini istilah Pendidikan Islam dapat dipahami sebagai proses pembudayaan
dan pewarisan ajaran agama,budaya dan peradaban umat Islam dari generasi
ke generasi sepanjang sejarahnya.

Walaupun istilah pendidikan Islam tersebut dapat dipahami secara
berbeda, namun pada hakikatnya merupakan satu kesatuan dan mewujud secara
operasional dalam satu sistem yang utuh,dengan demikian dapat dipahami bahwa
130

hakikat pendidikan Islam tersebut konsep dasarnya dapat dipahami dan dianalisis
serta dikembangkan dari Alquran dan As-sunnah.
5

Dan tujuan utama dari pendidikan Islam itu sendiri ialah untuk
memebentuk akhlak dan budi pekerti yang sanggup menghasilkan orang-orang
yang bermoral, laki-laki maupun wanita, jiwa yang bersih,kemauan yang keras,
cita-cita yang benar dan akhlak yang tinggi, tahu arti kewajiban dan
pelaksanaannya, menghormati hak-hak manusia, tahu membedakan buruk
dengan baik, memilih suatu fadhilah karena cinta pada fadhilah, menghin dari
suatu perbuatan yang tercela karena ia tercela,dan mengingat Tuhan dalam setiap
pekerjaannya yang dilakukan.
6



D. Situasi Socio-Kultural
Situasi dunia secara umum dapat digambarkan bahwa, muncul
perjuangan-perjuangan dan konflik dalam masyarakat dunia kita yang
mengambil bentuk-bentuk regional pada semua level, baik ekonomi, politik dan
budaya. Konflik yang secara luas terjadi antara budaya barat yang dominan
dengan trdisi ilmu pengetahuan dan teknologi,dengan kultur non-Barat yang
masih bersifat per-industrial, yang masih rendah tingkat penguasaannya terhadap
alam. Bagaikan obat pahit yang menyembuhkan,namun banyak yang tidak mau
menelannya. Karena itu diperlukan system dan metode yang menarik.
Dalam menghadapi pergeseran nilai-nilai cultural yang transisional dari
dunia kehidupan, belum menemukan pemukiman mapan. Pendidikan Islam
dituntut untuk menerapkan pendekatan dan orientasi baru yang relevan dengann
tuntutan zaman. Justru pendidikan Islam membawakan prinsip dan nilai
absolutisme yang bersifat mengarahkan tren perubahan sosio-kultural.
7



E. Problem-problem yang mewarnai Pendidikan
Beberapa problem utama yang mewarnai atmosfer dunia pendidikan
Islam pada umumnya dapat diklasifikasikan dalam lima hal. Jika di analisis,
maka dapat disimpulkan bahwa problem-problem tersebut merupakan rangkaian
yang saling terkait dan berjalan secara bersama. Persoalan-persoalan tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Dichotomic
Masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan Islam adalah dichotomy
dalam beberapa aspek yaitu;antara Ilmu Agama dengan Ilmu Umum,antara
Wahyu dengan Akal serta antara Wahyu dengan Alam

5
Muhaimin,M.A,et.al,Paradigma Pendidikan Islam (Bandung:PT Remaja Rosda
Karya,2001)hal.29-30
6
M.Athiyah Al-abrasyi,Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam (Jkarta:Bulan
Bintang,1969) hal.103
7
Muzayyin Arifin,Kapita Selekta Pendidikan Islam,(Jakarta:Bumu Aksara,2003),hal.7
131

Pandangan yang dikotomis tersebut pada giliran selanjutnya dikembangkan
dalam melihat dan memandang aspek kehidupan dunia dan akhirat, kehidupan
jasmani dan rohani sehingga pendidikan Islam hanya diletakkan pada aspek
kehidupan akhirat saja atau kehidupan rohani saja.
Munculnya masalah dikhotomi dengan segala perdebatannya telah
berlangsung sejak lama. Boleh dibilang gejala ini sudah mulai tampak pada
masa-masa pertengahan.
8
Pada periode pertengahan,lembaga pendidikan Islam
(terutama Madrasah sebagai pendidikan tinggi) tidak pernah menjadi universitas
yang di fungsikan semata-mata untuk mengembangkan tradisi penyelidikan
bebas berdasarkan nalar. Ia banyak diabdikan kepada ilmu-ilmu agama dengan
penekanan pada fiqh,tafsir dan hadist. Sementara ilmu-ilmu non agama
(keduniaan),terutama ilmu-ilmu alam dan eksakta sebagai akar pengembangan
sains dan teknologi, sejak awal perkembangan Madrasah dan al-Jamiah sudah
berada dalam posisi marginal.
Islam memang tidak pernah membedakan antara ilmu-ilmu agama dan
ilmu umum (keduniaan), dan/atau tidak berpandangan dikotomis mengenai ilmu
pengetahuan. Namun demikian, dalam realitas sejarahnya justru supremasi lebih
diberikan pada ilmu-ilmu agama sebagai jalan tol untuk menuju Tuhan. Untuk
itu dikhotomi dalam pendidikan Islam perlu dihapuskan, sebab dengan menerima
prinsip ini, maka pendidikan Islam hanya akan melahirkan manusia-manusia
Muslim yang terpecah kepribadiannya, di masjid atau di langgar mereka bersikap
alim, sementara di pasar, di pabrik dan di masyarakat luas mereka tampil sebagai
orang asing yang tidak punya orientasi moral,kepedulian social,kasih saying,
kejujuran dan tanggung jawab.
Menurut Maarif diterimanya prinsip dikhotomi antara ilmu-ilmu agama
dan ilmu-ilmu agama sebenarnya merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat
dipisah-pisahkan. Keduanya amat diperlukan dalam rangka penunaian tugas dan
peran manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi. Di sisi lain,
Islam adalah serangkaian pengetahuan yang dianugerahkan kepada manusia oleh
Allah sebagai sumber dari segala sumber pengetahuan.
9

Ketika membandingkan pendidikan Islam dengan pendidikan umum,Azra
menyebutkan ada tujuh karakteristik yang dimiliki pendidikan Islam :
a. Penguasaan ilmu pengetahuan Ajaran Islam mewajibkan umatnya mencari
ilmu pengetahuan
b. Pengembangan ilmu pengetahuan,ilmu yang telah dikuasai harus diberikan
dan dikembangkan kepada orang lain.


8
Op.cit.hal.278-279
9
Muhaimin,M.A,et.al Paradigma Pendidikan Islam,, (Bandung:PT.Remaja Rosda
Karya,2001),hal,41

132

c. Penekanan pada nilai-nilai akhlak dalam penguasaan dan pengembangan
ilmu pengetahuan tersebut itu hanyalah untuk pengabdian kepada Allah dan
kemaslahatan umum.
d. Penyesuaian pada perkembangan anak
e. Pengembangan kepribadian,pengembangan aspek ini berkaitan dengan
seluruh nilai dan system Islam sehingga peserta didik diarhkan untuk
mencapai tujuan pendidikan Islam.
f. Penekanan pada amal saleh dantanggung jawab.Setiap peserta didik
diberikan semangat dan dorongan untuk mengamalkan ilmunya sehingga
benar-benar bemanfaat bagi diri,keluarga dam masyarakat secara
keseluruhan.
10


2. To General Knowledge
Kelemahan dunia pendidikan Islam berikutnya adalah sifat
pengetahuannya yang masih terlalu general atau umum dan kurang
memperhatikan kepada upaya penyelesaian masalah. Syed H. Alatas
menyatakan bahwa kemampuan untuk mengatasi berbagai permasalahan,
mendefinisikan, menganalisis dan selanjutnya mencari jalan keluar/atau
pemecahan masalah tersebut merupakan karakter dan sesuatu yang mendasar
dari kualitas sebuah intelektual. Ia menambahkan ciri yang terpenting yang
membedakan dengan non-intelektual adalah tidak adanya kemauan untuk berfikir
dan ketidakmampauan untuk melihat konsekuensinya.

3. Lack of Spirit of Inquiry
Persoalan besar lainnya yang menjadi faktor penghambat kemajuan dunia
pendidikan Islam adalah rendahnya semangat untuk melakukan penelitian.
Pendidikan model Barat di masa kolonial merupakan suatu bentuk imitasi dari
Westernisasi. Dalam masyarakat Muslim dimana lembaga-lembaga pendidikan
tinggi memiliki akar kuat terhadap cara-cara belajar hafalan, isi ( content) dan
sains-sains positif yang diadopsi dari Eropa tetap diajarkan dengan model
hafalan.

4. Memorisasi
Kemerosotan secara gradual (perlahan) dari standar-standar akademis yang
berlansung selama berabad-abad tentunya terletak pada bahwa,karena jumlah
buku yang tertera dalam kurikulum sedikit sekali, maka waktu yang diperlukan
untuk belajar juga terlau singkat bagi siswa-siswa untuk dapat menguasai materi
yang seringkali sulit untuk dimengerti. Hal ini menimbulkan dorongan untuk

10
Muqowim,Jurnal Pendidikan Islam Tadib (Palembang:IAIN Raden Fatah
Press,2001)hal.100

133

belajar dengan system hafalan (memorizing) daripada pemahaman yang
sebenarnya.
Kenyataan menunjukkan bahwa abad-abad pertengahan yang akhir yang
menghasilkan jumlah besar karya-karya komentar dan bukan karya-karya yang
pada dasarnya orisinil. Fenomena ini berkembang secara fundamental dari
kebiasaan-kebiasaan berkonsentrasipada buku dan bukan pada pelajaran.

5. Certificate Oriented
Diantara semua atau masyarakat,orang-orang Islam memiliki keunikan
dalam mengembangkan sains (ilm) terhadap penyebarluasan tradisi keagamaan
(hadith). Bagi muslim yang saleh ilmu hadith telah menjadi ilmu yang par
excelence.Hal tersebut menjadi sesuatu yang mendasari tugas bagi mereka yang
disebut ilmuwan,dalam merespon salah satu hadist nabi yang cukup
kondang (Carilah ilmu walaupun di negeri Cina) menempuh
perjalanan jauh dan melelahkan hingga ke luar wilayah kekhalifahan.
Perjalanan tersebut memiliki derajat yang tinggi diantara perbuatan-
perbuatan yang saleh,barang siapa yang mati dalam perjalanan mencari ilmu
adalah seperti mereka yang mati syahid di medan perang suci.Semangat inilah
yang menjadi pola yang diterapkan dan dikembangkan pada masa-masa awal
Islam dalam pencarian,pengumpulan dan penyeleksian Hadith menjadi suatu
disiplin yang memenuhi kriteria-kriteria ilmiah.
11



F. Tantangan dan Prospek
1. Tantangan
Pendidikan diyakini merupakan salah satu agen perubahan social.
Pada satu segi pendidikan dipandang sebagai suatu variable modernisasi
atau pembangunan. Tanpa pendidikan yang memadai akan sulit bagi
masyarakat manapun untuk mencapai kemajuan.
Karena itu banyak ahli pendidikan yang berpandangan bahwa
pendidikan merupakan kunci yang membuka pintu kearah modernisasi.
Tetapi pada segi lain,pendidikan sering dianggap sebagai obyek modernisasi
atau pembangunan. Dalam konteks ini, pendidikan di Negara-negara yang
telah menjalankan program modernisasi pada umumnya dipandang masih
terbelakang dalam berbagai hal, dan arena itu sulit diharapkan bisa
memenuhi dan mendukung program pembangunan.
12

Pada era globalisasi proses pendidikan Islam semakin mendapat
tantangan yang cukup berat, terutama jika dikaitkan dengan situasi
masyarakat majemuk yang menuntut adanya kedewasaan berpikir dan saling
menghargai pendapat orang. Tampaknya jika pendidikan Islam ingin

11
Loc.cit,hal.282-286
12
Ismail SM,et.al,Paradigma Pendidikan Islam (Semarang:Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo,2001) hal.287
134

kontekstual dengan perkembangan zaman, maka paradigma pendidikan yang
selama ini dikembangkan harus dirubah.
Menurut Mastuhu,perubahan paradigma yang dimaksud adalah
mengubah cara belajar dari model warisan menjadi cara belajar pemecahan
masalah,dari hafalan ke dialog, dari strategi menguasai materi sebanyak-
banyaknya menjadi menguasai metodologi, dari mekanis ke kreatif, dari
memandang dan menerima ilmu dalam dimensi proses dan fungsi
pendidikan bukan hanya mengasah dan mengembangkan akal, namun
mengolah dan mengembangkan hati (moral) dan ketrampilan .
Pendidikan Islam dengan nuansa moral diharapkan mampu atau paling
tidak memenuhi harapan-harapan seperti berikut,
a. Pendidikan Islam harus menanamkan nilai-nilai agama kepada anak didik
dan membimbing peran sosialnya untuk membendung nilai-nilai budaya
luar yang mengarah kepada dehumanisasi.
b. Pendidikan Islam idealnya mampu memberikan pemahaman terhadap ide
pengintegrasian antara budaya agamis dan budaya duniawi.
c. Pendidikan Islam hendaknya mampu menjadikan tauhid sebagai titik
tumpu dari suatu wawasan yang mengintegrasikan pengetahuan umum
dan agama.
d. Pendidikan Islam harus mampu menjadi pilar dari perkembangan dan
perubahan social,
e. Pendidikan Islam hendaknya tidak memandang berbeda antara ilmu
agama dan ilmu umum
f. Pendidikan Islam harus mengarahkan peserta didik untuk memiliki etos
kerja yang tangguh berdasarkan semangat keimanan.

Ketika proses pendidikan Islam sudah diarahkan untuk membentuk
individu muslim yang mempunyai kesalehan individual dan kesalehan
social,maka berbagai persoalan yang dihadapi umat Islam relative mudah
dipecahkan dan kompleksitas persoalan modern beserta masyarakat majemuknya
dapat dijadikan sebagai sebuah potensi yang harus dikelola dengan baik.Tentu
semua ini sepenuhnya kembali pada umat Islam sendiri,mau tidak merubah pola
pikir yang selama ini sudah mentradisi turun temurun.
13

Karena itulah pendidikan harus diperbaharui,dibangun kembali atu
dimodernisasi sehingga dapat memenuhi harapan dan fungsi yang dipikulkan
kepadanya.Menurut 5 tokoh Muslim yaitu: Sayyid Ahmad Khan,Sayyid
AmirAli,Jamaluddin al-Afghani, Namik Kemal dan Muhammad Abduh
terhadap krisis yang melanda dunia pendidikan Islam. Bagian-bagian integral
dari penalaran mereka adalah:
a. Bahwa tumbuh suburnya perkembangan sains dan semangat ilmiah dari
semangat ilmiah dari abad kesembilan hingga kesepuluh di kalangan kaum

13
Muqowim,Jurnal Pendidikan Islam Tadib (Palembang:Raden Fatah
Press,2001)
135

Muslimin adalah buah dari usaha memenuhi seruan Alquran agar manusia
mengkaji alam semesta hasil karya Tuhan,yang diciptakan baginya.
b. Bahwa pada abad-abad pertengahan yang akhir semangat penyelidikan
ilmiah telah merosot dan karenanya masyarakat Muslim mengalami
kemerosotan
c. Bahwa Barat telah meggalakkan kajian-kajian ilmiah yang sebagian besarnya
telah dipinjamnya dari kaum Muslimin dan karenanya mereka mencap[ai
kemakmuran,bahkan selanjutnya menjajah negeri-negeri Muslim.
d. Bahwa karenanya kaum Muslim,dalam mempelajari kembali sains dari Barat
yang berkembang,berarti menemukan kembali masa lalu mereka dan
memenuhi kembali perintah Al-quran yang telah terabaikan.Pandangan ini
nampaknya dapat merekomendasikan menjadi semangat utama untuk
mengejar ketertinggalan kaum Muslimin.

Hal terpenting dan paling mendesak dari sudut pandang ini adalah
melepaskan kaitan secara mental dengan Barat serta menanamkan suatu sikap
yang independent namun penuh pengertian terhadapnya, sebagaimana terhadap
peradapan lain, meskipun lebih dikhususkan kepda Barat karena ia merupakan
sumber dari banyak perubahan social di seluruh dunia. Selama kaum Muslimin
tetap terbelenggu kepada Barat secara mental, bagaimanapun mereka tidak akan
mampu untuk bertindak secara independent dan otonom
Pokok permasalahan dari seluruh masalah modernisasi pendidikan, yang
diharapkan mampu menjadi agen perubahan social adalah membuatnya mampu
mencetak produk-produktivitas intelektual yang kreativ dan dinamis dalam
semua bidang usaha intelektual yang terintegrasi dengan Islam.
Sikap anti Barat yang berlebihan dan tidak realistis justru menggiring
dunia pendidikan Islam mengalami kemerosotan.Sikap tersebut terimplementasi
ke dalam penolakan ilmu-ilmu sekuler yang disinyalir merupakan produk
Barat,sehingga dari sinilah pangkal tolak munculnya dikotomi.Berpangkal dari
dikotomi inilah masalah terus bergulir bagaikan bola salju yang kian lama kian
membesar.
Upaya lain yang tak kalah penting untuk mendapatkan penanganan serius
adalah pembenahan lembaga-lembaga pendidikan Islam.Problem yang
menyelimuti pendidikan Islam adalah kesenjangan diantara jenjang
pendidikan.Pendidikan ditingkat dasar dan menengah kurang atau tidak mampu
menyediakan calon-calon mahasiswa yang memenuhi standar kualifikasi yang
diharapkan,untuk menempuh studi di perguruan tinggi.
Dan kasus lainnya bagi para mahasiswa baik dari negeri Muslim atau
berkembang lainnya yang menamatkan pendidikan di luar negeri, seringkali
tidak dapat diakomodir sekembali ketanah air. Supra struktur dalam hal ini
lapangan pekerjaan maupun untuk pengembangan keilmuan yang telah mereka
dapatkan seringkali mengalami kesulitan.Inilah pekerjaan rumah bagi
Pendidikan Islam untuk membenahi kelembagaannya,dengan satu penekanan
bahwa pembanahan itu tidak bias dilakukan secara sepenggal-sepenggal.
136

2. Prospek
Kaum Muslimin merupakan komunitas terbesar kedua yang ada di
bumi ini.Tentu merupakan sebuah potensi yang sangat besar bila hal itu
mampu digarap secara baik,dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Lebih
dari itu, jika dilihat,sebagian besar Negara Muslim merupakan Negara yang
memiliki potensi alam yang sangat kaya. Sehingga dua potensi,yaitu sumber
daya manusia dan sumber daya alam,jika mampu dipadukan secara simultan,
maka akan menjadi sebuah kekuatan besar di dunia ini.
Semakin terbukanya cakrawala pemikiran di antara sebagian intelektual
Muslim,salah satunya ditandai dengan semakin banyaknya pelajar atau
sarjana Muslim yang belajar di Barat merupakan angin segar bagi upaya
menemukan kejayaan masa lalu yang hilang.


G. Kesimpulan
Dalam menghadapi sebuah perubahan pastilah akan terdapat beberapa
masalah atau problematika,untuk itu diperlukan peran aktif dari semua
pihak.Begitu juga dengan Pendidikan Islam dalam menapak sebuah
perubahan,banyak sekali mengalami kendala dan tantangan.
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang mengajarkan tentang nilai-nilai
agama,di mana dia mempunyai tujuan tersendiri yaitu megajarkan manusia
tentang budi pekerti,makhluk yang saling mengasihi dll.
Problem yang sering dihadapi oleh dunia pendidikan terutama pendidikan
Islam adalah masih berbaurnya unsur Barat,mulai dari lembaga pendidikan
hingga system pendidikannya,untuk itu sangat diperlukan sekali campur tangan
dari masyarakat Muslim untuk membenahinya.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Abrasyi,Athiyah,Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam,Jakarta:Bulan
Bintang,1969.

Arifin,Muzayyin,Kapita Selekta Pendidikan Islam,Jakarta:Bumi Aksara,2003

Ismail,et.al.Paradigma Pendidikan Islam,Semarang:Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo,2001

Muhaimin,et.al,Paradigma Pendidikan Islam,Bandung:PT.Remaja Rosda
Karya,2001

Muqowim,Jurnal Pendidikan Islam Tadib,Palembang:IAIN Raden Fatah
Press,2001

Nata,Abuddin,Metodologi Studi Islam,Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada,1998
137

TOTAL QUALITY MANAGEMENT (TQM) PADA LEMBAGA
PENDIDIKAN ISLAM
Jasuri
1



Absrtak

Total Quality Management (TQM) menjadi signifikan diterapkan sebagai
solusi alternatif bagi peningkatan dan penjaminan mutu lembaga pendidikan.
Total Quality Management, yang juga dinamai Manajemen Mutu Terpadu,
merupakan paradigma tentang perbaikan secara terus menerus yang dapat
memberikan seperangkat alat praktis kepada setiap institusi pendidikan dalam
memenuhi kebutuhan dan harapan para pelanggannya pada masa kini dan masa
yang akan datang.
2

Dalam konteks keprihatinan dan upaya membangkitkan kondisi dunia
pendidikan di Indonesia pada umumnya dan pendidikan Islam pada khususnya,
terdapat fenomena nasional yang menarik dikaji dengan bersinarnya sebuah
lembaga pendidikan Islam di Indonesia.
Kelebihan sistem manajemen mutu ini terletak pada sistem perencanaan
yang matang, realistis dan terukur, dan pada tahap pelaksanaan sudah memiliki
pola kerja yang mengacu kepada prosedur-prosedur terbaik yang dipilih oleh
organisasi, sedangkan evaluasi dana pemantauan terhadap perbaikan
berkelanjutan dilakukan pada setiap tahap dan setiap lini proses organisasi untuk
menjamin mutu demi kepuasan pelanggan. Tulisan ini mencoba menawarkan
konsep TQM untuk diterapkan pada lembaga pendidikan Islam, baik lembaga
formal maupun non formal.


Kata kunci: Implementsi, Total Quality Management (TQM), Lembaga
Pendidikan Islam.

Pendahuluan
TQM atau Total Quality Management (manajemen kualitas menyeluruh)
merupakan strategi yang ditujukan untuk menanamkan kesadaran kualitas pada
semua proses dalam organisasi. Suatu pendekatan menejemen di lembaga yang
terfokus pada kualitas, berdasarkan partisipasi semua anggotanya dan bertujuan
untuk kesuksesan jangka panjang melalui kepuasan pelanggan serta memberi
keuntungan untuk semua anggota dalam organisasi serta masyarakat. Di

1
Jasuri adalah Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Walisongo Semarang.
2
Edward Sallis, Total Quality Management in Education, terj. Ahmad Ali Riyadi dan
Fahrurrozi (Jogjakarta: IRCiSoD, 2006), hlm. 73.
138

Indonesia penggunaan TQM di lembaga pendidikan Islam memang masih jarang
yang menerapkan konsep tersebut. TQM cukup populer di sektor swasta, diawali
penerapannya pada perusahaan-perusahaan terkemuka dan perusahaan milik
negara, sebagai bagian dari strategi untuk meningkatkan daya kompetitif yang
mengedepankan kualitas.
Dikarenakan TQM dianggap sebuah pendekatan yang cukup tepat, maka
lembaga pendidikan Islam mencoba mengadopsi dan mulai beradaptasi dengan
konsep ini, sebagai langkah strategis guna meningkatkan pelayanan maksimal
pada pelanggannya. Menurut hemat penulis, TQM perlu diterapkan pada setiap
satuan pendidikan Islam guna mendorong kualitas pelayanan prima kepada
stakeholders. Sebab, dalam dunia persaingan global yang sangat ketat saat ini,
orang lebih mengutamakan mutu, dengan pekerjaan yang menghasilkan produk
dan/atau jasa.
Suatu hasil dibuat karena ada yang membutuhkan, dan kebutuhan tersebut
berkembang seiring dengan tuntutan mutu penggunanya. Dunia pendidikan juga
tidak dapat terlepas dari sistem manajemen ini. Pada ranah pendidikan terdapat
beberapa kelemahan mendasar dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia,
antara lain yaitu bidang manajemen yang mencakup dimensi proses dan
substansi. Pada tataran proses, seperti perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
belum dilakukan dengan prosedur kerja yang ketat dan benar. Pada tataran
substantif, seperti personalia, keuangan, sarana dan prasarana, instrument
pembelajaran, layanan bantu, layanan perpustakaan, dan sebagainya, tidak hanya
substansinya belum komprehensif, melainkan kriteria keberhasilan untuk masing-
masingnya belum ditetapkan secara taat asas.
3

Agar mutu tetap terjaga dan agar proses peningkatan mutu tetap terkontrol,
maka harus ada standar yang diatur dan disepakati untuk dijadikan indikator
evaluasi keberhasilan peningkatan mutu tersebut (adanya titik acuan standar).
Maka bagaimanakah agar lembaga pendidikan Islam secara kualitas dapat terjaga
dan bagaimanakah cara mengaplikasikan TQM pada lembaga pendidikan Islam.


Pengertian Total Quality management (TQM)
Terdapat tiga konsepsi mutu yang paling populer yang telah dikembangkan
oleh tiga pakar mutu tingkat internasional, yaitu W. Edwards Deming, Philip B.
Crosby, dan Joseph M. Juran.
4
Deming mendefinisikan mutu adalah apapun yang
menjadi kebutuhan dan keinginan pelanggan. Crosby mendefinisikan mutu adalah
sebagai kesesuaian terhadap persyaratan. Sedangkan Juran mendefinisikan
mutu adalah kesesuaian terhadap spesifikasi. Meskipun ketiga pakar tersebut
berbeda dalam mempersepsikan mutu, tetapi ketiganya kemudian menjadi dasar
pemikiran dalam sistem manajemen mutu yang merupakan isu sentral dalam

3
Sudarwan, Danim. 2003. Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. hlm. 6
4
Zulian Yamit, Manajemen Kualitas: Produk dan Jasa (Yogyakarta: Ekonisia, 2001), hlm.
142.
139

aktivitas bisnis saat ini. Oleh karena itu, banyak perusahaan secara progresif
mencari sistem manajemen tidak terkecuali manajemen pendidikan untuk
menyiasati mutu dalam era globalisasi.
Edward Sallis mengatakan, total quality management is a philosophy of
continuous improvement, which can provide any educational institution with a set
of practical tools for meeting and exceeding present and future customers needs,
wants, and expectations.
5
TQM adalah sebuah filosofi tentang perbaikan secara
terus menerus, yang dapat memberikan seperangkat alat praktis kepada setiap
institusi pendidikan dalam memenuhi kebutuhan, keinginan, harapan para
pelanggannya, saat ini dan untuk masa yang akan datang.
Definisi lain, TQM is the integration of all functions and processes within
an organization in order to achieve continuous improvement of the quality of
goods and services. The goal is customer satisfaction.
6
TQM adalah integrasi
segenap fungsi dan proses dalam suatu organisasi demi meraih perbaikan mutu
barang dan jasa secara terus menerus. Tujuannya ialah kepuasan pelanggan.
Lebih lanjut, the essence of Total Quality Management is a common sense
dedication to understanding what the customer wants and then using people and
science to set up systems to deliver products and services that delight the
customer.
7
Esensi Total Quality Management adalah dedikasi penuh
pertimbangan untuk memahami apa yang diinginkan pelanggan dan kemudian
memanfaatkan orang maupun ilmu untuk membentuk sistem penyampaian produk
dan pelayanan yang menyenangkan pelanggan.
Penjabaran lain terkait definisi Total Quality Management dapat
memperhatikan pernyataan yang dikutip dari Witcher (1990) berikut. Total
Quality Management terdiri dari tiga istilah:
a. Total: meaning that every person is involved including customer and
suppliers. Istilah pertama ini berarti bahwa setiap orang dilibatkan, termasuk
pelanggan dan penyedia (layanan).
b. Quality: implying that customer requirements are met in accordance to
specification. Kualitas/mutu mengimplikasikan bahwa kebutuhan pelanggan
dipenuhi menurut spesifikasinya.
c. Management: indicating that senior executives are committed. Istilah ketiga
ini mengindikasikan bahwa pelaksana senior memiliki suatu komitmen.
8



5
Edward Sallis, Op Cit., hlm. 34.
6
Diambil dari http://www.au.edu.pk/qec/minutes/admin-TQM.ppt, diakses pada 29 Maret
2013.
7
Diambil dari http://www3.nd.edu/~kmatta/BAMG30700/Lectures/Lect-4-TQM-Basic-
Tenets.ppt, diakses pada 29 Maret 2013.
8
Sola Aina & Oyeyemi Kayode, Application of Total Quality Management in the Classroom,
British Journal of Arts and Social Sciences, Vol.11 No.I (2012), dari
http://www.bjournal.co.uk/paper/BJASS_11_1/BJASS_11_01_02.pdf, diakses pada 30 Maret
2013.
140

Selanjutnya Kanji (1990), sebagaimana diungkapkan kembali oleh Shari
M. Yusof dan Elaine Aspinwall, menerangkan bahwa TQM is the way of life of an
organisation committed to customer satisfaction through continuous
improvement. This way of life varies from organisation to organisation and from
one country to another but has certain principles which can be implemented to
secure market share, increase profits and reduce costs.
9
Total Quallity
Management didefinisikan sebagai cara hidup organisasi yang diupayakan untuk
kepuasan pelanggan melalui perbaikan terus menerus. Cara tersebut berbeda
antara organisasi satu dengan yang lain, antara negara satu dengan negara lain,
tetapi memiliki prinsip-prinsip tertentu yang dapat diterapkan untuk menjamin
penguasaan pasar, meningkatkan laba, dan mengurangi biaya (produksi).
Dari pemaparan di atas, dapat disarikan kemudian bahwa Total Quality
Management merupakan upaya memadukan segenap fungsi dan proses dalam
suatu organisasi untuk mencapai perbaikan mutu barang, jasa, ataupun layanan
secara terus menerus yang dilakukan demi kepuasan pelanggan berdasarkan
prinsip-prinsip tertentu.
Perbaikan terus menerus sebagai upaya pengembangan diri dilandasi oleh
kesadaran bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengubah keadaannya
menjadi lebih baik. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Ar-
Radu ayat 11, Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum
sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
10



Implementasi TQM dalam Pendidikan Islam
Penerapan Total Quality Management dalam pendidikan diharapkan dapat
memperkecil jurang kesenjangan mutu di segala lini dan mampu mencapai tujuan
meningkatkan mutu pendidikan secara berkelanjutan, terus-menerus, dan
terpadu.
11

Upaya peningkatan mutu pendidikan yang dimaksud berdasarkan pada
setiap komponen pendidikan yang dapat diwujudkan dengan prinsip-prinsip
sebagai berikut.
a. Fokus pada pelanggan (costumer focus)
Kunci keberhasilan budaya mutu terpadu yakni adanya suatu hubungan
efektif, baik secara internal maupun eksternal, antara pelanggan dengan
supplier. Semua jaringan dan komunikasi vertikal maupun horizontal perlu
dioptimalkan untuk membentuk iklim kondusif terciptanya budaya
komunikasi dengan memanfaatkan semua media secara multi arah dan secara

9
Shari M. usof dan Elaine Aspinwall, TQM implementation issues: review and case
study, International Journal of Operations & Production Management, Vol. 20 No. 6, 2000, pp.
634-655, dari http://www.fkm.utm.my/~shari/download/paper5.pdf, diakses pada 29 Maret 2013.
10
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya Juz 1-30
(Semarang: CV. Toha Putra, 1989), hlm. 370.
11
Marno dan Triyo Supriyanto, Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam (Bandung:
PT. Refika Aditama, 2008), hlm. 112.
141

harmonis yang setiap saat diperlukan untuk mengimplementasikan manajemen
terpadu dalam bidang pendidikan. Jadi kepuasan pelanggan merupakan faktor
penting dalam manajemen terpadu.
12

b. Peningkatan proses (process improvement)
Peningkatan kualitas pada proses merujuk pada peningkatan terus
menerus (kontinyu) yang dibangun atas dasar pekerjaan yang akan
menghasilkan serangkaian tahapan interelasi dan aktivitas yang pada akhirnya
akan menghasilkan output (keluaran).
c. Total Quality Management Keterlibatan total (total involvement).
13

Pelibatan semua komponen pendidikan dimulai dari aktifnya pemimpin
(kepala sekolah) hingga para guru dan tenaga kependidikan. Mereka harus
dilibatkan untuk mencapai keuntungan kompetitif di lingkungan pengguna
yang luas.
Prinsip-prinsip di atas senantiasa erat hubungannya dengan fungsi dan
tujuan. Pada dasarnya, Total Qualit Management berfungsi efektif dalam berbagai
organisasi, yakni sebagai sistem manajemen peningkatan kualitas produk atau
outcome sehingga dapat diterima oleh pelanggan dan dapat diarahkan untuk
menghindari timbulnya kesalahan fatal. Sementara tujuan Total Quality
Management adalah demi memberikan kepuasan terhadap pelanggan terkait
kebutuhannya seefisien mungkin.
14

Secara lebih detail, implementasi Total Quality Management dalam dunia
pendidikan dapat dilakukan dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a. Penanaman falsafah kualitas
Dalam hal ini manajemen dan karyawan harus mengerti sepenuhnya dan
yakin mengapa organisasi akan mencapai total quality, yaitu untuk menjamin
kelangsungan hidup organisasi dalam iklim kompetitif.
15
Setiap anggota dalam
organisasi perlu mempunyai pengertian yang sama terhadap istilah-istilah TQ,
seperti kualitas, kerusakan (defect), pelayanan yang baik, pelayanan yang
merugikan, customer dan lain-lainya.
16
Setiap organisasi harus dapat
memberikan apresiasi, mengantisipasi dan apabila perlu menerima sejumlah
pengorbanan pada tahap-tahap awal pengimplementasian Total Quality
Management.
b. Kepemimpinan pendidikan
Kepemimpinan merupakan salah satu penentu keberhasilan organisasi
dalam mewujudkan tujuannya. Kualitas kepemimpinan yang dimiliki oleh
suatu organisasi akan sangat mempengaruhi keberhasilan organisasi tersebut

12
Ibid., hlm. 114.
13
Ibid., hlm. 117.
14
Umi Hanik, Implementasi Total Quality Management dalam Peningkatan Kualitas
Pendidikan (Semarang: RaSAIL Media Group, 2011), hlm. 14.
15
Soewarso Hardjosoedarmo, Total Quality Management (Yogyakarta: Andi Offset, 2004),
hlm 39.
16
Ibid., hlm 40.
142

dalam kiprahnya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, dan memiliki
visi kedepan untuk kemajuan lembaga.
Berdasarkan falsafah mutu yang diterima pada langkah pertama,
manajemen puncak terutama CEO (Chief Executive Officer) harus mengambil
inisiatif dalam menunjukkan kepemimpinan yang teguh dalam gerakan mutu.
Manajemen puncak harus memberikan contoh dalam hal pola sikap, pola fikir
dan pola tindak yang mencerminkan falsafah mutu yang telah ditanamkan.
Dengan kata lain, manajemen puncak harus bersikap, berfikir dan bertindak
tentang mutu dalam semua keputusan dan aktivitasnya. Ini berarti bahwa
manajemen puncak harus bersedia menerima siapapun dalam organisasi yang
akan memberikan kontribusi dalam perbaikan mutu produk dan jasa
organisasinya.
17

c. Peningkatan secara terus-menerus
Total Quality Management adalah sebuah pendekatan praktis,
namun strategis dalam menjalankan roda organisasi yang memfokuskan
diri pada kebutuhan pelanggan dan kliennya.
18
Tujuannya adalah untuk
mencari hasil yang lebih baik. Total Quality Management bukan merupakan
sekumpulan slogan, namun merupakan suatu pendekatan sistematis dan hati-
hati untuk mencapai tingkatan kualitas yang tepat dengan cara yang konsisten
dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan. Total Quality
Management dapat dipahami sebagai filosofi perbaikan tanpa henti hingga
tujuan organisasi dapat dicapai dan dengan melibatkan segenap komponen
dalam organisasi tersebut.
Sebagai sebuah pendekatan, Total Quality Management mencari sebuah
perubahan permanen dalam tujuan sebuah organisasi, dari tujuan kelayakan
jangka pendek menuju tujuan perbaikan mutu jangka panjang. Institusi yang
melakukan inovasi secara konstan, melakukan perbaikan dan perubahan secara
terarah, dan mempraktekkan Total Quality Management, akan mengalami
siklus perbaikan secara terus-menerus. Semangat tersebut akan menciptakan
sebuah upaya sadar untuk menganalisa apa yang sedang dikerjakan dan
merencanakan perbaikannya. Untuk menciptakan kultur perbaikan terus-menerus,
seorang manajer harus mempercayai stafnya dan mendelegasikan keputusan pada
tingkatan-tingkatan yang tepat.
19
Hal tersebut bertujuan untuk memberikan staf
sebuah tanggung jawab untuk menyampaikan mutu dalam lingkungan mereka.
Staf membutuhkan kebebasan kerja dalam kerangka kerja yang sudah jelas dan
tujuan organisasi yang sudah diketahui.
d. Organisasi ke atas, samping-bawah
Kunci keberhasilan budaya Total Quality Management adanya suatu
hubungan efektif, baik secara internal maupun secara eksternal, antara pelanggan

17
Ibid.
18
Edward Sallis, Op. Cit., hlm. 76.
19
Edward Sallis, Op.Cit., hlm. 77.
143

dengan suplier. Semua jaringan dan komunikasi baik secara vertikal maupun
horizontal perlu dioptimalkan. Hal ini sangat diperlukan untuk membentuk iklim
kondusif bagi terciptanya budaya kualitas yang diharapkan. Oleh karena itu,
pimpinan perlu menciptakan budaya komunikasi dengan memanfaatkan semua
media secara multi arah secara harmonis setiap saat diperlukan untuk menerapkan
Total Quality Management dalam bidang pendidikan. Jika hal ini dapat dilakukan
dan disambut dengan baik berarti organisasi ini sudah siap memasuki abad
komunikasi dan informasi.
20

e. Perubahan kultur
Total Quality Management memerlukan perubahan kultur. Ini terkenal sulit
untuk diwujudkan dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Total Quality
Management membutuhkan perubahan sikap dan metode. Staf dalam institusi
harus memahami dan pelaksanakan pesan moral Total Quality Management agar
bisa membawa dampak. Bagaimanapun juga, perubahan kultur tidak hanya bicara
tentang merubah perilaku staf, tapi juga memerlukan perubahan dalam metode
mengarahkan sebuah institusi.
21

Perubahan metode tersebut ditandai dengan sebuah pemahaman bahwa
orang menghasilkan mutu. Ada dua hal penting yang diperlukan staf untuk
menghasilkan mutu.
22
Pertama, staf membutuhkan sebuah lingkungan yang
cocok untuk bekerja. Mereka membutuhkan alat-alat keterampilan dan
mereka harus bekerja dengan sistem dan prosedur yang sederhana dan
membantu pekerjaan mereka. Lingkungan yang mengelilingi staf memiliki
pengaruh yang sangat besar terhadap kemampuan mereka dalam mengerjakan
pekerjaannya secara tepat dan efektif. Di antara ciri-ciri lingkungan yang
membantu tersebut adalah sistem dan prosedur dalam suatu organisasi
memotivasi dan meningkatkan kerja mereka. Prosedur yang baik dan motivatif
memang tidak serta-merta akan menghasilkan mutu, namun prosedur yang tidak
baik dan salah-asuh justru akan membuat mutu menjadi sulit dicapai.
Kedua, untuk melakukan pekerjaan dengan baik, staf memerlukan
lingkungan yang mendukung dan menghargai kesuksesan dan prestasi yang
mereka raih. Mereka memerlukan pemimpiri yang dapat menghargai prestasi
mereka dan membimbing mereka untuk meraih sukses yang lebih besar. Motivasi
untuk melakukan pekeijaan yang baik adalah basil dari sebuah gaya kepemimpinan
dan dari atmosfir.

f. Peningkatan kualitas guru dan karyawan
Dengan telah diciptakannya lingkungan kerja yang kondusif sebagai
hasil perubahan budaya, seluruh anggota organisasi, termasuk para manajer,
harus siap mengikuti program pendidikan dan pelatihan mengenai Total
Quality. Program diklat ini merupakan langkah-langkah persiapan bagi

20
Marno & Triyo Supriyatno, Op. Cit., hlm. 118.
21
Edward Sallis, Op.Cit., hlm. 78.
22
Ibid., hlm. 79.
144

pemberdayaan kepada seluruh guru dan karyawan. Dalam pemberdayaan ini
seluruh guru dan karyawan diberi keprcayaan, tugas, wewenang dan tanggung
jawab untuk mengorganisasikan diri kedalam self-managing teams guna
memperbaiki proses dalam mencapai mutu prodek dan jasa.
23

g. Profesionalisme dan fokus pada pelanggan
Ada dimensi lain tentang tenaga kerja profesional dalam pendidikan yang
secara tradisional melihat diri mereka sendiri sebagai pelindung dari mutu dan
standar institusi. Penekanan Total Quality Management pada kedaulatan pelanggan
dapat menyebabkan konflik dengan konsep-konsep profesional tradisional. Ini
merupakan masalah yang rumit, dan menjadi sesuatu yang perlu dipertimbangkan
oleh institusi pendidikan yang menggunakan prosedur mutu terpadu.
24

Pelatihan guru dalam konsep-konsep mutu merupakan elemen penting dalam
upaya merubah kultur. Staf harus paham bagaimana mereka dan muridnya
dapat memperoleh manfaat dari fokus terhadap pelanggan. Mutu terpadu
bukan sekedar membuat pelanggan senang dan tersenyum. Mutu terpadu
adalah mendengarkan dan berdialog tentang kekhawatiran dan aspirasi
pelanggan. Aspek terbaik dari peran profesional adalah perhatian serta
standar akademi dan kejuruan yang tinggi. Memadukan aspek terbaik dari
profesionalisme dengan mutu terpadu merupakan hal yang esensial untuk
mencapai sukses.
25

h. Pengelolaan kurikulum
Kurikulum merupakan salah satu komponen pendidikan yang
memegang peranan penting dalam menentukan ke arah mana sasaran dan
tujuan peserta didik akan dibawa serta kemampuan minimal dan keahlian apa
yang harus dimiliki oleh peserta didik setelah selesai mengikuti program
pendidikan. Atas dasar itu, maka Perubahan yang menuntut adanya
penyesuaian-penyesuaian tertentu dalam bidang pendidikan merupakan suatu
hal yang harus dilakukan, sebagai upaya memperbaiki dan mengembangkan
kualitas pendidikan, menuju terciptanya kehidupan yang cerdas, damai,
terbuka, demokratis, dan mampu bersaing, baik tingkat nasional maupun
internasional. Dalam konteks pendidikan madrasah, agar lulusannya memiliki
keunggulan kompetitif dan komparatif, maka kurikulum dikembangkan
dengan pendekatan berbasis kompetensi. Hal ini dilakukan agar pendidikan
secara kelembagaan dapat merespon secara proaktif berbagai perkembangan
informasi, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta tuntutan
desentralisasi.
26




23
Soewarso Hardjosoedarmo, Op.Cit., hlm. 41.
24
Edward Sallis, Op.Cit., hlm. 85.
25
Ibid., hlm 86.
26
Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2004), hlm. 43.
145

i. Menjaga hubungan dengan pelanggan
Misi utama Total Qualit Management dalam lembaga adalah untuk
memenuhi kebutuhan pelanggan. Lembaga yang unggul akan selalu menjaga
kedekatan dengan pelanggan serta memiliki ketertarikan (obsesi) terhadap
kualitas. Oleh karena itu, pimpinan lembaga pendidikan perlu mengembangkan
paradigma baru bahwa yang semula kecenderungannya acuh dengan
pelanggan, di masa mendatang harus memprioritaskan dan memuaskan
pelanggan. Hal ini didasarkan pada ciri utama penentu kualitas versi Total
Quality Management bahwa pelangganlah yang akhirnya menentukan kualitas.
Agar transformasi Total Quality Management dalam dunia pendidikan
bisa tercapai, maka antara lembaga pendidikan dan pihak pengajar harus
bekerjasama, dengan kata lain semua yang berkaitan dengan lembaga
pendidikan harus bekerjasama dan benar-benar berupaya untuk mengadakan
perbaikan mutu pendidikan. Apabila penerapan Total Quality Management
tidak dibarengi dengan usaha yang memaksimalkan diri seluruh pihak
pengelola pendidikan (kepala sekolah, guru, karyawan, siswa, dan
masyarakat), maka upaya transformasi Total Quality Management tidak
terwujud dengan baik. Dengan mengacu pada organisasi industri, maka
instrumen Total Quality Management dalam pendidikan meliputi produk,
customer, model-model mutu, mutu pembelajaran, standar mutu dan
kepemimpinan pendidikan.
27

Masalahnya, ketika Total Quality Management masuk ke dalam ranah
pendidikan, istilah seperti learning dan curriculum, sebagaimana
diungkapkan oleh Fred C. Lunenburg, tidak ditemukan dalam 14 prinsip
Total Quality Management-nya Deming. Sebagian istilah harus
diterjemahkan menurut konteks persekolahan. Misalnya, pengawas dan
kepala sekolah dianggap sebagai manajemen. Guru sebagai majikan
atau manajer-nya para siswa. Sedangkan siswa sendiri adalah sebagai
karyawan, dan pengetahuan yang mereka cari dikatakan sebagai
produk. Selanjutnya orangtua atau masyarakat disebut sebagai
pelanggan.
28
Keempat belas prinsip yang dimaksud tersebut meliputi:
a) Create constancy of purpose for improvement of product and service
(ciptakan keteguhan tujuan demi kemajuan produk dan layanan). Dengan
kata lain, miliki tekad yang kuat dan terus menerus untuk memperbaiki
mutu produk dan jasa.

27
Khamim Zarkasih Putro dan M. Mahlan, Pendekatan Total Quality Management (TQM)
dalam Pendidikan, dari http://mahalaniraya.wordpress.com/2008/03/01, diakses pada 27 Maret
2013.
28
Fred C. Lunenburg, Total Quality Management Applied to Schools, Schooling, Volume
1, Number 1, 2010, hlm. 1, dari http://www.nationalforum.com/Electronic-Journal-
Volumes/Lunenburg,-Fred-C.-Total-Quality-Management-Applied-to-Schools-Schooling-V1-N1-
2010.pdf, diakses pada 27 Maret 2013.
146

b) Adopt the new philosophy (adopsi filosofi baru). Artinya, gunakan filosofi
yang tidak bisa menerima keterlambatan, kesalahan, cacat materi, dan
cacat pekerjaan.
c) Cease dependence on inspection to achieve quality (hentikan
ketergantungan terhadap pemeriksaan untuk mencapai mutu). Maksudnya,
ganti dengan adanya proses yang baik sejak awal hingga akhir guna
mendapatkan hasil bermutu.
d) End the practice of awarding business on the basis of price alone (akhiri
praktik bisnis berhadiah). Sederhananya, jangan terkecoh oleh besarnya
biaya saja. Yang mahal dan yang mudah belum pasti baik, dan sebaliknya.
e) Improve constantly and forever every activity in the organization, to
improve quality and productivity (lakukan perbaikan secara terus-menerus
baik kualitas maupun produktivitas).
f) Institute training on the job (adakan pelatihan) bagi semua orang, baik
pimpinan maupun staf, agar masing-masing dapat meningkatkan kualitas
kerjanya.
g) Institute leadership (bangun kepemimpinan) sehingga dapat membantu
memperbaiki kinerja.
h) Drive out fear (hilangkan ketakutan).
i) Break down barriers among staff areas (hadapi rintangan), termasuk
hambatan komunikasi antar individu.
j) Eliminate slogans, exhortations, and targets that demand zero defects and
new levels of productivity (hilangkan slogan, peringatan, dan target yang
menuntut kerusakan nol dan level produktivitas baru).
k) Eliminate numerical quotas for the staff and goals for management
(hilangkan kuota numerik staf dan tujuan demi kepentingan manajemen).
l) Remove barriers that rob people of pride in their work and remove the
barriers that rob people in leadership of their right to pride in their work
(hilangkan rintangan yang mengganggu kebanggaan kerja dan hak-hak
individu).
m) Institute a vigorous program of education and retraining for everyone
(adakan program penyemangat demi pengembangan diri).
n) Put everyone in the organization to work to accomplish the transformation
(ajak setiap orang untuk menyempurnakan perubahan).
29


Metode Total Quality Management
a. Metode W. Edwards Deming
W. E. Deming dinilai sebagai bapak gerakan Total Quality Management.
Metodenya dikenal dengan Deming Cycle (Siklus Deming). Siklus ini model
perbaikan berkesinambungan, terdiri atas empat komponen yang saling

29
Ibid., hlm. 2-5.
147

berkaitan, yakni plan-do-check-act (PDCA). Keempat elemen tersebut dapat
dideskripsikan sebagai berikut.


Siklus Deming

1. Mengembangkan rencana perbaikan (plan)
Rencana ini disusun berdasarkan prinsip 5W 1H (what, why, who,
when, where, dan how) yang dibuat secara jelas dan terperinci, serta
menetapkan sasaran maupun target yang musti dicapai.
2. Melaksanakan rencana (do)
Rencana yang telah tersusun dilaksanakan secara bertahap, mulai
dari skala kecil, dan pembagian tugas secara merata sesuai kapasitas dan
kemampuan dari setiap personil. Selama proses pelaksanaan harus ada
pengendalian, sebagai upaya agar seluruh rencana dilaksanakan dengan
sebaik mungkin dan sasarannya dapat dicapai.
3. Memeriksa hasil yang dicapai (check)
Elemen ini mengacu kepada penetapan apakah pelaksanaan Total
Quality Management berada pada jalur yang ditetapkan, sesuai dengan
rencana dan memantau kemajuan perbaikan yang direncanakan. Alat atau
perlengkapan yang dapat digunakan dalam memeriksa yaitu diagram,
histogram, dan diagram kontrol.
4. Melakukan tindakan penyesuaian bila diperlukan (action)
Penyesuaian dilakukan bila dianggap perlu, didasarkan pada hasil
analisis. Penyesuaian berkenaan dengan standardisasi prosedur baru guna
menghindari timbulnya kembali masalah yang sama atau menetapkan
sasaran baru bagi perbaikan berikutnya.
30


b. Metode Joseph M. Juran
Juran mengemukakan ada empat konsep dalam metode Total Quality
Management yaitu meliputi:
1. Jurans three basic steps to progress
Terkait konsep ini, Juran mengungkapkan bahwa terdapat hubungan
antara kualitas dengan daya saing. Tiga langkah yang dimaksudkan adalah: (a)
mencapai perbaikan terstruktur atas dasar kesinambungan yang
dikombinasikan dengan dedikasi dan keadaan mendesak; (b) mengadakan

30
Umi Hanik, Op. Cit., hlm. 22-23.
148

program pelatihan secara luas; dan (c) membentuk komitmen dan
kepemimpinan pada tingkat manajemen yang lebih tinggi.
2. Jurans ten steps to quality improvement
Pada konsep kedua ini, dikemukakan sepuluh langkah untuk
memperbaiki kualitas, yakni: (a) membentuk kesadaran terhadap kebutuhan
perbaikan dan peluang untuk melakukan perbaikan; (b) menetapkan tujuan
perbaikan; (c) mengorganisasikan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan; (d)
menyediakan pelatihan; (e) melaksanakan proyek-proyek untuk memecahkan
masalah; (f) melaporkan perkembangan; (g) memberikan penghargaan; (h)
mengomunikasikan hal-hal yang dicapai; (i) menyimpan dan mempertahankan
hasil yang dicapai; dan (j) memelihara momentum dengan melakukan
perbaikan dalam sistem reguler organisasi atau perusahaan.
3. The pareto principle
Juran, dalam konsep ini, menerapkan prinsip yang dikemukakan oleh
Pareto, yakni organisasi harus memusatkan energi pada penyisihan sumber
masalah yang sedikit namun vital (vital few sources) yang menyebabkan
sebagian besar masalah.
4. The Juran trilogy
Menurut konsep keempat ini, terdapat tiga fungsi utama manajerial, yaitu: (a)
perencanaan kualitas; (b) pengendalian kualitas; dan (c) perbaikan kualitas.
31



Kesimpulan
Pada dasarnya TQM adalah evaluasi untuk menemukan berbagai informasi
tentang perencanaan dan pengendalian mutu suatu lembaga. Juga tentang produk
yang dihasilkan, sehingga dapat dilakukan peningkatan mutu ataupun terobosan
baru dalam usaha perbaikan mutu. Diranah inilah TQM sebagai pendekatan yang
digunakan untuk mengembangkan kualitas lembaga pendidikan Islam yang
berorientasi pada kualitas proses dan hasil. Sehingga berbagai alat dan
instrumennya dapat diterapkan dalam membangun mutu manajemen pendidikan
Islam.
Aplikasi TQM dalam penyelenggaraan lembaga pendidikan Islam
diseluruh jenjang dituntut untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan
pelanggannya, melibatkan secara total semua komponen. Dengan mengadakan
pengukuran dan evaluasi diri atas kemajuan lembaga pendidikan yang
dikelolanya, peningkatan atau perbaikan mutu pendidikan melalui instrumen-
komponen/sub-sub sistem lembaga. Selalu mengadakan perbaikan mutu
pendidikan secara berkesinambungan untuk menjawab setiap tuntutan
perkembangan situasi jaman sesuai cita-cita, keinginan dan kebutuhan pengguna.



31
Ibid., hlm. 24-26.
149

DAFTAR PUSTAKA


Departemen Agama Republik Indonesia. (1989). Al-Quran dan Terjemahnya Juz
1-30. Semarang: CV. Toha Putra.

Depdiknas. (2004). Isu-isu Pendidikan: Lima Isu Pendidikan Triwulan Kedua.
Jakarta: Balitbang Diknas.

Danim, Sudarwan. (2003). Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar

Hanik, Umi. (2011). Implementasi Total Quality Management dalam Peningkatan
Kualitas Pendidikan. Semarang: RaSAIL Media Group.

Huberman, A. Michael & Milles, Mattew B. (1984). Data Management and
Analysis Methods. Amerika: New York Press.

Marno & Supriyanto, Triyo. (2008). Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan
Islam. Bandung: PT. Refika Aditama.

Sallis, Edward. (2006). Total Quality Management in Education, terj. Ahmad Ali
Riyadi dan Fahrurrozi. Jogjakarta: IRCiSoD.

Sukmadinata. (2004). Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.

Tim Penyusun. (2006). UURI No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS. Bandung:
Citra Umbara.

Yamit, Zulian. (2001). Manajemen Kualitas (Produk dan Jasa). Yogyakarta:
Ekonisia.



Internet

Aina, Sola & Kayode, Oyeyemi. Application of Total Quality Management in the
Classroom, British Journal of Arts and Social Sciences, Vol.11 No.I, dari
http://www.bjournal.co.uk/paper/BJASS_11_1/BJASS_11_01_02.pdf,
diakses pada 30 Maret 2013.

http://www.au.edu.pk/qec/minutes/admin-TQM.ppt, diakses pada 29 Maret 2013.

http://www.ban-sm.or.id, diakses pada 27 Maret 2013.

http://www3.nd.edu/~kmatta/BAMG30700/Lectures/Lect-4-TQM-Basic-
Tenets.ppt, diakses pada 29 Maret 2013.

150

Lunenburg, Fred C. (2010). Total Quality Management Applied to Schools,
Schooling, Volume 1, Number 1, dari
http://www.nationalforum.com/Electronic-Journal-Volumes/Lunenburg,-
Fred-C.-Total-Quality-Management-Applied-to-Schools-Schooling-V1-N1-
2010.pdf, diakses pada 27 Maret 2013.

Nurbayani K., Siti. Program Percepatan Kelas (Akselerasi) bagi Siswa yang
Memiliki Kemampuan Unggul: Sebuah Inovasi dalam pelaksanaan
pendidikan di persekolahan,
http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/197007111994032_SITI_NU
RBAYANI_K/Karya/Inovasi_dalam_pelaksanaan_pendidikan.pdf, diakses
pada 27 Maret 2013.

Putro, Khamim Zarkasih dan Mahlan, M. (2008). Pendekatan Total Quality
Management (TQM) dalam Pendidikan, dari
http://mahalaniraya.wordpress.com/2008/03/01, diakses pada 27 Maret
2013.

Saud, Udin S. Manajemen Mutu Terpadu/Total Quality Management dalam
Rangka Sukses UAN di Madrasah [Hand-out seminar], Banten: 2004,
diambil dari
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._ADMINISTRASI_PENDIDIKAN/19
5306121981031-
UDIN_SAEFUDIN_SAUD/TQM_Pontren_Serang_2004.pdf, diakses
pada 1 September 2013.

Yusof, Shari M. & Aspinwall, Elaine. (2000). TQM implementation issues:
review and case study, International Journal of Operations & Production
Management, Vol. 20 No. 6, 2000, pp. 634-655, diambil dari
http://www.fkm.utm.my/~shari/download/paper5.pdf, diakses pada 29
Maret 2013.

Anda mungkin juga menyukai