Prolog
Pertama-tama kami tekankan bahwa kelahiran ilmu tafsir sangat erat hubungannya
dengan cara para ulama dalam merespon kemu`jizatan Al-Qur’an, sekira
kemu`jizatan Al-Qur’an dapat dilihat dari dua metode:
1- Metode ‘intuisi’ kebahasaan yang alamiah bagi para pemilik cita rasa
keAraban yang kuat; para sahabat, mereka adalah yang hidup dalam waktu
turunnya Al-Qur’an yang kuat rasa kebahasaannya, sebab itu mereka
merasakan kemu`jizatan secara naluriah bahwa yang didengarkan dari Al-
Qur’an bukanlah perkataan manusia.
2- Metode ‘semantik’ yang menghantarkan orang yang merenungkan kepada
pemahamannya dan analisanya serta perenungan makna-maknanya dalam
bingkai pengetahuan manusia dan ilmu-ilmu yang berbeda-beda yang mana
sinyal-sinyalnya sesuai dengan kenyataan-kenyataan alam semesta dan hasil
akal manusia.1
Al-Qur’an, jika dilihat sebagai mu`jizat dan tanda, dapat dilihat dari dua metode
tersebut dan ketika orang-orang zaman sekarang tidak dapat merasakan
kemu`jizatannya secara natural, mereka dapat menemukan kemu’jizatannya secara
ilmiah dan semantik yang semakin bertambah jelas bersamaan dengan tingkat
kemajuan manusia. Sebab Al-Qur’an dapat membangkitkan akal manusia beserta
potensi yang dimilikinya agar dapat melihat alam secara lengkap, tersusun dan
terdesain rapi.
Kesimpulan ini berangkat dari keberadaan Al-Qur’an tidak sebagai hasil historis
suatu kondisi historis sebab teksnya terkungkung oleh kaidah-kaidah sosial dan
manusia serta lingkungan yang menjadi tempat munculnya atau interaksi
dengannya. Bahasa dan makna-maknanya meskipun dapat dipahami secara pasti
dan tidak membutuhkan penafsiran dan penjelasan tambahan dalam kondisi
lingkungannya, tetap memiliki sifat kebahasaan Arab yang merupakan sisi
historisnya atau sisi kemanusiaannya, maka dengan semantiknya yang jauh dan
komprehensif yang berdiri di atas ilmu global tetap saja membutuhkan
pembumian nilai-nilainya dalam spectrum pemikiran manusia yang sesuai dengan
pendekatan dan penjelasan serta kesamaan antara makna dan pemahaman-
pemahaman pemikiran.
Ketika Al-Fadhil ibn ‘Asyur (1917-1970 M.) berbicara tentang Al-Qur’an yang
memerlukan suatu wacana tafsir maka beliau meringkas sebab-sebabnya kepada
dua sebab saja:
Pertama, Al-Qur’an tidak turun sekali waktu dan sekaligus, akan tetapi ia turun
dan disampaikan dalam kondisi waktu yang membentang lebih dari dua puluh
tahun, Al-Qur’an turun secara gradual sesuai dengan batasan-batasan waktu yang
berjarak antara bagian-bagiannya. Dan turunnya ada sebagian yang diawalkan dan
ada yang diakhirkan sesuai dengan urutan kronologis yang berbeda dengan urutan
1 Lihat Dr. Muhammad Al-Kattani, Jadal Al-‘Aql Wa An-Naql Fi Manâhij At-Tafkîr Al-Islami
(Casablanca: Dâr Ats-Tsaqâfah, cet. 1 1992) hlm. 499
ta`abbudi, sebab urutan sesuai turunnya memperhatikan konteks kondisional dan
kejadian. Sebuah konteks yang menjadi dasar sebuah perkataan yang sesuai
dengan konteks pembicaraan. Susunan pembacaan atau ta`abbudi melihat
keserasian makna dan urutan bagian-bagian pembicaraan dari satu ke yang lain.
Hal itu mengacu kepada prinsip “Keserasian perkataan dengan konteks
pembicaraan”. Kedua susunan itu kembali kepada wahyu dan keduanya memilki
nilai tantangan kemu`jizatan. Yang pertama bersifat temporal dan hilang dengan
hilangnya konteks-konteks dan kejaidan-kejadian serta zaman dan tempatnya.
Susunan yang lain adalah susunan ta`abbudi tetap ada sebab itu berada di dalam
perkataan yang dapat ditemukan oleh orang yang mau merenungkan dan
membacanya dari generasi-generasi yang saling menyusul, sementara urutan
historis tidak dapat ditemukan kecuali oleh yang menyaksikan konteks turunnya
dari generasi yang menyaksikan turunnya Al-Qur’an dari orang-orang yang
memiliki dalil-dalil dengan tanda-tanda yang dikehendaki yang dapat disimpulkan
dalam susunan Al-Qur’an. Jadi hilangnya konteks yang temporal perlu diketahui
secara nakliyah agar orang yang datang kemudian dapat menggunakan tanda-
tanda yang dapat digunakan sebagai petunjuk pada makna-makna Al-Qur’an yang
diketahui oleh orang yang mendahuluinya.
Mereka mengambil pengetahuan yang diambil dari sejarah turunnya ayat dan
tempatnya serta konteks yang digunakan sebagai alat memperjelas makna-makna
yang dimaksud dari susunan-susunannya saja. Sebab setiap susunan memiliki
maknanya sendiri-sendiri yang tidak terbatas dan tidak menentukan konteks
meskipun ia membantu menjelaskan makna. Dan itu adalah yang berhubungan
dengan berita-berita yang berhubungan dengan semua bagian Al-Qur’an;
penjelasan sejarahnya, tempatnya, dan menggambarkan kejadian yang
berhubungan dengannya. Itu adalah wawasan yang disebut dengan asbâb nuzûl
yang sejatinya adalah konteks-konteks saja bukan sebab dalam arti yang
sesungguhnya. Meskipun ia juga kadang disebut dengan istilah ‘sebab’ secara
umum dan bebas, namun tidak menghilangkan konteks-konteks kondisional yang
berhubungan dengan sejarah turunnya Al-Qur’an. Itulah maksud dari ungkapan
para ulama: al-`ibrah bi ‘umum al-lafdz lâ bi khushûs as-sabab (melihat
keumuman lafadz bukan sebab yang khusus).
Adapun sebab yang kedua adalah bahwa makna semantik Al-Qur’an yang asli
yang mana ia adalah sangat jelas berdasarkan kejelasan makna yang ditimbulkan
lafadz dan susunannya dan kemudian diikuti makna-makna semantik yang
menjadi tempat penggelobalan atau tempat penyamaran, sebab susunan itu layak
diulang-ulang karena ada makna-makna yang berbeda yang dapat menjadi makna
asli sementara makna yang dikehendaki tidak jelas, sebagaimana jika ingin
mengungkapkan dzat dengan mengucapkan sifat-sifatnya atau membuat kinayah
dari makna hakikat dengan salah satu kekhususannya dan salah satu keharusannya
(lawâzim) melalui jalan-jalan yang bersifat penjelasan yang biasa di dalam ilmu
bahasa Arab dan bahasa yang lain. Sehingga di sana muncul keterangan global
yang menuntut penjelasan, atau kesamaran yang menuntut penjelasan,
sebagaimana yang terjadi dalam konteks pembicaraan secara umum.2
Derajat pertama itulah yang disebut Al-Qur’an dengan istilah Muhkam dan derajat
kedua itu yang disebut dengan istilah Mutasyabihat. Allah Swt berfirman: Dia-lah
yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-
ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada
kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk
menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang
mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya
berkata:"Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi
Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-
orang yang berakal. (Q.s. Ali Imrân: 7)
Kebutuhan yang ketiga selain kebutuhan yang telah disebutkan Ibnu ‘Asyur adalah
kebutuhan kepada Takwil, tetapi bukan Takwil dalam disiplin fiqh atau ushul fiqh
akan tetapi dalam maknanya yang sesuai ilmu kalam dan makna epistemologis.
2 Muhammad al-Fadhil ibn ‘Asyur, At-Tafsîr wa Rijâluhu, (Tunis: Dâr Sahnûn Li An-Nasyr wa At-
Tawzî`, 1999) hlm.18
3 Lihat Jadal Al-‘Aqli wa An-Naql Fi Manahij At-Tafkir Al-Islami, hlm.502
kemu`jizatannya dan yang mungkin dari kemu`jizatan itu serta sesuai dengan luasnya
pandangan dia terhadap alam dan kehidupan kemanusian dan tujuan dari hidup ini,
hal yang dapat disingkap melalui ilmu pengetahuan dan metode-metode yang berupa
kebenaran-kebenaran dan pengetahuan-pengetahuan.4
Umat Islam di setiap zaman mendapati kitab yang dapat menjadi hujjah bagi makhluk
dan menjadi saksi di hadapan akal manusia serta menjadi kabar gembira dan
peringatan yang menyeluruh bagi seluruh semesta alam, haruslah menjadi sebuah
kitab yang ditujukan kepada semua zaman dalam bentuk yang dapat membuktikan
bahwa ia adalah hujjah dan menjadi bentuk sebuah kabar gembira dan peringatan
yang sesuai dengan pemahaman berbagai generasi dan zaman yang terus berkembang.
Bukti yang paling kongkrit atas kebutuhan terhadap penafsiran ini adalah karya
kepustakaan tafsir Al-Qur’an. Perpustakaan yang amat besar ini, meskipun ada
banyak pengulangan-pengulangan substansi pengetahuan, adalah bukti pembacaan-
pembacaan Al-Qur’an yang beragam.
Sesungguhnya ilmu Tafsir adalah lapangan yang luas yang memuat berbagai segi dan
bidang yang bermacam-macam: pertama, Tafsir sebagai sebuah proses penjelasan dan
penakwilan yang dilakukan oleh penafsir dalam hubungannya yang langsung dengan
ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga terjadilah “penyingkapan makna-makna Al-Qur’an dan
penjelasan maksudnya” seperti yang dikatakan Ar-Raghib Al-Ashfahani (502 H)6 atau
“mencari penjelasan makna lafadz-lafadz Al-Qur’an dan yang dapat disimpulkan
darinya baik secara ringkas maupun luas”, seperti yang diungkapkan oleh al-Thahir
ibn ‘Asyur (1879-1973 M).7 Kedua, sejarah Tafsir yang membahas pergerakan Tafsir
sesuai dengan sejarahnya yang panjang. Pembahasan ini membicarakan tentang
kehidupan para penafsir dan kulturnya serta kontribusinya, yang biasa dibahas dalam
“ilmu thabaqât al-mufassirîn” yang dianggap sebagai salah satu cabang dari cabang
ilmu sejarah juga.8 Ketiga, di sana ada bidang pembahasan tentang metode-metode
para mufassir untuk mengetahui pemikiran yang menjadi kecenderungan dan
pemahaman mereka yang beragam tentang ilmu yang dikuasainya dan dalam
menyampaikan hasil-hasil yang telah mereka gapai. Disini kita diingatkan kepada
sebagian besar buku yang mengulas metodologi para pakar pemikir Islam dahulu dan
sekarang di bidang Tafsir seperti Ath-Thabari atau Az-Zamakhsyari, Ar-Razi, Al-
4 Lihat Jadal Al-Aqli wa An-Naql Fi Manahij At-Tafkir Al-Islami, hlm.503
5 Ibid., hlm.504
6 Lihat Al-Itqân, vol.2/450
7 Lihat At-Tahrîr wa At-Tanwîr, vol.1/11-12
8 Lihat Thasy Kubri Zâdah, Miftâh Dâr As-Sa`âdah, vol.1/261, dan Al-Qanûji, Abjad Al-‘Ulûm,
vol.2/363 dan As-Suyuthi dalam Al-Itqân ketika dia membuat satu pembahasan khusus bagian ke
delapan puluh di dalamnya tentang tingkatan-tingkatan para mufassir mulai dari zaman sahabat sampai
Fakhrul Razi, vol.2/479-488
Qurthubi, Ibnu Taymiyah, Muhamamd Abduh, atau Sayyid Quthub.
Ketika pengkaji mulai membuat perbandingan secara global atau terperinci antara dua
metode dari sekian metode para mufassirin yang berbeda, baik dahulu maupun
sekarang, baik dalam hal visi, kerangka, dan terminologi, maka kita sebenarnya telah
merambah bidang yang baru, yang disebut dengan istilah "ilmu tafsir muqârin"
(perbandingan ilmu tafsir). Sekira kita juga menemukan gema perbandingan dalam
sela-sela usaha para pengkaji terhadap berbagai metode-metode penafsiran yang
berbeda atau metode penafsiran tertentu.
Diawal sudah saya sampaikan bahwa para ahli yang menggeluti Tafsir dan ilmu-ilmu
Al-Qur’an dahulu sudah memahami dengan sebaik-baiknya karakter jenjang-jenjang
yang telah dilewati oleh Tafsir, mereka juga mengetahui perbedaan-perbedaan yang
menjadikan masing-masing metode berbeda dengan yang lain dan mempunyai sikap
terhadap petanda-petanda umum yang dapat digunakan sebagai judul-judul besar yang
menunjukkan secara kuat terhadap apa yang membedakan setiap jenjang-jenjang
usaha penafsiran menurut ulama tafsir.
Ini akan tampak jelas dengan membaca analisa Ibnu Taymiyah (661-728 H, 1263-
1328 M) dan Az-Zarkasyi (745-794 H, 1344-1392 M) serta As-Suyuthi (849-911 H,
1445-1505 M) tentang tema yang akan menjadi sandaran para peneliti kontemporer di
dalam pembagian bab-bab perjalanan Tafsir mulai dari zaman RasulAllah Saw hingga
zaman kita yang modern seperti Dr. Adz-Dzahabi, Dr. 'Iffat Asy-Syarqawi, Dr. Fahd
Ar-Rumi, dan yang lain. Demikianlah saya telah memberikan catatan para pendahulu.
Dan saya akan mengakhiri pembahasan ini dengan membicarakan pembagian-
pembagian para pemikir kontemporer terhadap perjalanan wacana tafsir Al-Qur’an.
***
Saat menjelaskan gerakan Tafsir di era Tabi`in, As-Suyuthi mengutip perkataan Ibnu
9 Lihat Al-Itqân, vol.2/479
10 Lihat At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn, vol.2/27
Taimiyah yang menyatakan, "orang yang paling mengetahui tentang Tafsir adalah
penduduk Makkah sebab mereka adalah murid-murid Abdullah bin Abbas (w 68 H,
687 M) seperti Mujahid ( w 104 H, 722 M) Atha` bin Rabbah (w 104 H) ‘Ikrimah -
hamba sahaya Ibnu Abbas- (w 105 H, 723 M) dan Said bin Jubair (w 95 H) Thawus
(w 106 H) dan lain sebagianya, begitu juga di Kufah para murid Ibnu Mas’ud dan
ulama ahli Madinah dalam masalah Tafsir seperti Zaid bin Aslam (w 136 H ) dan
putranya Abdur Rahman bin Zaid (w 182 H) yang meriwayatkan tafsir dari ayahnya,
Malik bin Anas (93-179 H).11 Hal paling penting yang menjadikan era ini berbeda –
seperti yang sudah saya kutip dari perkataan Ibnu Taimiyah adalah bahwa para
Tabi`in menerima Tafsir dari para sahabat, sebagaimana mereka juga mengambil ilmu
hadits dari mereka, meskipun mereka sudah mulai berbicara berdasarkan pendapatnya
sebagaimana mereka juga mulai berbicara tentang hadits berdasarkan
penyimpulannya.12
Artinya, kontribusi sahabat dalam Tafsir telah dihafal dan diriwayatkan oleh Tabi`in
sehingga sebagian kerja mereka adalah periwayatan dan menukil tanpa
menggugurkan kemungkinan ditemukannya konteks-konteks yang disitu ada kerja
akal dan perenungan serta pembuktian dalil. Dan karena Tafsir Tabi`in, pada dasarnya
dianggap sebagai penukilan dari sahabat maka perselisihan di antara mereka tidak
begitu banyak dibandingkan dengan perselisihan yang ada setelahnya. Dan selama
zaman diisi oleh orang-orang mulia, maka persatuan dan ilmu serta penjelasan akan
lebih memungkinkan.13 Perbedaan diantara mereka adalah perbedaan variatif bukan
perbedaan kontradiktif, sebagaimana sebagian mengungkapkan sebuah maksud
dengan ungkapan yang berbeda dari ungkapan orang lain.14
Di dalam teks-teks yang lain kita menemukan sifat yang detail seputar keistimewaan
kerja Tafsir yang dapat menjadi bukti bahwa mereka sangat memahami kemungkinan
membagi Tafsir ke dalam jenjang-jenjang dan aliran-aliran. Ibnu Taimiyah mengakui
bahwa Mutazilah adalah sekte yang paling besar bicara dan debatnya dalam dunia
penafsiran Al-Qur’an, mereka telah banyak mengarang Tafsir sesuai dengan madzhab
alirannya. Beliau menyebut sebagian contohnya, seperti tafsir Abdur Rahman bin
Kaisan Al-Asamm (w 279 H), at-Tafsir al-Kabîr yang dikarang Qadhi Abdul Jabbar
Ahmad Al-Hamadani (w 415 H, 1025 M), dan Al-Kasysyaf karya Az-Zamakhsyari
(w 538 H, 1143 M).15 Mereka menjadikan madzhab sebagai landasan dalam
mentakwil sekaligus sebagai ciri khas yang penting dalam tafsir-tafsirnya. Disi lain,
mereka lemah dalam mengambil periwayatan dari sahabat, sebab mereka tidak
memiliki orang salaf dari para sahabat dan tabi`in yang baik dan juga tidak para imam
muslimin, tidak dalam pendapatnya tidak pula dalam tafsirnya.16
Pakar nahwu, maka akan anda lihat, tidak memiliki tujuan dalam menafsirkan Al-
Qur’an kecuali tentang i`rab, akan memperbanyak kemungkinan i`rab-i`rab yang
berbeda-beda serta menukil kaidah-kaidah nahwu, baik yang detail maupun yang
dasar, begitu juga perbedaan-perbedaannya seperti Az-Zajjaj (w 311 H), Al-Wahidi
(w 468 H) dalam kitab Al-Basith dan Abu Hayyan (654-745 H) dalam kitab Al-Bahr
dan An-Nahr.
Pakar riwayat tidak mempunyai kesibukan kecuali dengan yang berkaitan tentang
kisah-kisah serta melengkapinya serta menceritakan dari pendahulunya baik itu cerita
yang benar (sahih) maupun yang salah (batil) seperti Ats-Tsa’alibi (w 876 H).
Pakar fiqh hampir dipastikan dalam tafsirnya hanya menyebutkan masalah fiqh mulai
dari bab bersuci sampai kepada akar dan cabangnya, dan bahkan ada yang
memperpanjang dengan mencarikan dalil-dalil masalah furu’, yang sama sekali tidak
berhubungan dengan ayat, serta menjawab dalil-dalil pendapat mazhab yang bebeda,
seperti Al-Qurthubi (w 671 H).
Pemilik ilmu rasional, terutama Fakhr Ar-Razi (w 606 H) telah memenuhi tafsirnya
dengan perkataan para ahli hikmah dan filsafat atau yang sejenisnya.
Orang ahli bid`ah tidak memiliki tujuan dalam tafsirnya kecuali mengubah ayat-ayat
Al-Qur’an dan menjadikannya sesuai dengan madzhabnya yang rusak.20
Keterangan ini telah memuat perincian sifat yang penting mengenai corak tafsir-tafsir
klasik berupa tafsir kebahasaan, tafsir nahwu dan tafsir fiqh, tafsir atsari (riwayat),
dan tafsi rasional. Para pengkaji kontemporer mulai memanfaatkan sinyal terperinci
itu untuk menentukan karakter tafsir-tafsir dan alirannya baik madzhab dan seninya,
kemudian membaginya kepada jenjang-jenjang tafsir.21
18 Ibid., hlm.190
19 Ibid., hlm.190
20 Lihat Al-Itqân, vol.4/487-488
21 Lihat misalnya Kasyf Adh-Dhunûn karya Haji Khalifah vol.1/431, dia telah meringkas permasalahan
secara baik kemudian menyebutkan sebagian perkataan As-Suyuthi.
Demikian juga kita lihat Dr. Muhammad Husain Adz-Dzahabi (1915-1977 M)
membagi jenjang tafsir berdasarkan periodisasi yang akhirnya menjadi urutan seperti
berikut ini:
Jenjang ini kemudian berhenti, untuk kemudian memasuki era baru bersama era
Tabi`in, mereka adalah murid-murid sahabat yang ikhlas, dan menukil sebagian besar
riwayat tafsir dari para sahabat. Ciri khas paling penting tafsir era ini adalah bahwa
tafsir:
1- Mulai disusupi kisah-kisah isra`iliyyat.
2- Menjadi bentuk ilmu yang diajarkan langsung dan diriwayatkan.
3- Tampak mulai muncul bibit-bibit perbedaan madzhab.
4- Mulai dikenal perbedaan-perbedaan tafsir yang sebelumnya tidak dikenal di
era sahabat.24
Adapun jenjang ketiga maka ia dimulai dengan kemunculan masa kodifikasi tafsir
seperti yang dikatakan oleh Adz-Dzahabi. Itu terjadi di akhir pemerintahan Bani
Umayyah dan awal masa pemerintahan Abbasiyah.25 Yang menarik dalam jenjang ini
adalah bahwa periode itu meringkas dua jenjang sebelumnya dan memiliki unsur-
unsur baru yang menjadikan Tafsir mengalami beberapa periode yang terbatas, yaitu:
1- Periode Tafsir naqli secara keseluruhan dan pada saat itulah Tafsir terpisah
Adapun Dr. Muhammad Iffat Asy-Syarqawi telah membagi periodisasi Tafsir, sesuai
standar yang terbentuk dari hasil kerja dan perenungan yang dikandung berbagai
usaha para penafsir Al-Qur’an mulai dari zaman RasulAllah Saw, hingga sampai pada
tingkat yang paling maju dari Tafsir rasional-kontemplatif yang dimotori oleh Ar-Razi
(w 606 H, 1210 M) sehingga ia menulis periodisasi Tafsir itu sebagai berikut:
Periode tafsir praktis-aplikatif, ini adalah ciri khas tafsir RasulAllah Saw,
para sahabat dan tabi`in. Karakter ilmiah itu muncul dari kenyataan bahwa
generasi ini berpegang teguh kepada dasar yang berupa keinginan menjelaskan
ayat-ayat dan surah-surah secara praktis, gamblang dan sederhana. Di dalam
jenjang ini seorang pengkaji mampu membedakan antar dua generasi:
pertama, generasi yang selalu ‘diam’ berkenaan dengan ayat yang tidak pernah
ada riwayatnya dari RasulAllah Saw. Dan kedua, generasi yang berpegang
kepada ‘penukilan’ dari RasulAllah Saw. dan sahabat akan tetapi dia kadang
menggunakan syair pra-Islam sebagai alat bantu atau terkadang berijtihad
dalam hal yang belum diketahuinya. Ibnu Abbas (w 68 H, 687 M) ditengarai
adalah pionir aliran ini.27 Dalam pandangan Asy-Syarqawi, Tafsir Ath-Thabari
(w 310 H) Jami` Al-Bayân `An At-Ta`wîl Al-Qur`ân" dianggapnya sebagai
bentuk yang sempurna dari jenjang tafsir ilmiah ini jika dilihat dari segi
penukilannya, kebahasaannya, dan pembukuannya. Sebab ia adalah memang
benar-benar kitab kompilasi (jami`) dan dianggap karya puncak tafsir bil
ma`tsûr yang menggantikan usaha-usaha penafsiran pertama yang telah hilang
dari peredaran umat.28
Periode takwil-teoritis: apabila jenjang yang dahulu perhatian terhadap
lafadz, sehingga merupakan tafsir atas kosa kata, maka jenjang ini sudah
mulai mencari makna kompleksitas susunan kalimat dan konteks Al-Qur’an,
sebab itulah kita punya alasan menjadikan tiga abad pertama berikutnya
sebagai jenjang yang baru sekira pemikiran yang terkumpulkan dan jumlah
yang tersusun serta makna secara umum menjadi perhatian penting dalam
jenjang takwil teoretis ini.29 Disini Asy-Syarqawi menjadikan usaha Ibnu
‘Arabi (w 638 H), Az-Zamakhsyari (w 538 H) dan Ar-Razi (w 606 H) sebagai
contoh bagaimana pentakwilan menjadi sangat bebas, begitu juga pemikiran
rasional yang sangat berkembang pada periode kedua ini. Sebab yang
26 Ibid., vol.1/132-133
27 Lihat Al-Fikr Ad-Dîni Fî Muwâjahat Al-Ashr, (Kairo: Maktabah Asy-Syabâb, 1976) hlm.23-24
28 Ibid., hlm.34
29 Ibid., hlm.36
melatarbelakangi kemunculan unsur-unsur baru dalam usaha-usaha para
penafsir ini adalah pada dasarnya kembali kepada zaman-zaman berikutnya
yang mengenal perkembangan intelektual dan menyaksikan pengetahuan-
pengetahuan baru yang mendorong seorang penafsir untuk menyambut
tantangan itu dan memahami teks sesuai dengan pengetahuan yang beragam.
Hal itu berangkat dari prinsip yang disepakati bahwa semakin bertambah
banyak pengetahuan penafsir tentang rahasia wujud dan jiwa manusia maka
akan bertambah pula kemampuan mengeksplorasi teks Al-Qur’an dan bidang-
bidangnya yang sungguh subur.30
Periode stagnasi tafsir: Asy-Syarqawi memberikan penanggalan ini mulai
abad ketujuh hijriyah sampai kebangkitan zaman modern; hal ini disebabkan
kejadian-kejadian besar yang bertubi-tubi menimpa umat Islam telah
menghentikan kreatifitas mereka dalam berbagai bidang, setidaknya menurut
mayoritas para ahli sejarah. Akibatnya, ilmu Tafsir, sastra dan seni hanyalah
pengulangan atas hal yang sudah berlalu, atau sekedar kompilasi atas yang
masih tercecer atau memerinci yang masih global.31 Demikian, kita bisa
percaya bahwa mayoritas yang ditulis pada zaman Mongol dan Utsmani tidak
lebih berupa ‘ringkasan’ karya tafsir yang lalu atau ‘penjelasan’, atau
‘komentar’ sehingga aktifitas tafsir juga terperosok ke dalam alur repetitif dan
berhenti pada pengulangan riwayat yang dinukil. Kebanyakan yang ditulis
pada masa ini adalah berupa hasyiyah (catatan pinggir), dan penjelasan atas
penjelasan, sehingga zaman ini bisa disebut "periode hasyiyah dan syuruh".32
Ia memberikan contoh untuk zaman ini dengan karya Ibnu Katsir (w 774 H)
(yang mana Ibnu Hajar berkomentar atas karangannya: dia sibuk dengan
hadits, muthala’ah (kajian) tentang matan, perawi, dan mengumpulkan tafsir,
sehingga dengan ini ia lebih layak disebut seorang pakar hadits dari pada
pakar tafsir) dan Ats-Tsa`alibi (w 876 H) (yang dikomentari oleh Adz-
Dzahabi, sesungguhnya Ats-Tsa`alibi dalam tafsirnya tidak melakukan
sesuatu kecuali usaha dan pemikiran yang sederhana dan sedikit setelah dia
mengumpulkan dan menertibkan) dan As-Suyuthi (w 911 H) (sebagai seorang
kompilator dan ensiklopedian dari para salaf dalam kitabnya Ad-Durr Al-
Mantsûr Fi At-Tafsîr Bi Al-Ma`tsûr) dan Al-Baidhawi (w 691 H) (meskipun
dia memilki karakter yang berbeda namun dia tetap saja berhenti pada Al-
Kasysyaf untuk meringkasnya dan meninggalkan pemikiran mu`tazilah. Dia
juga mengambil bahan tafsirnya dari Mafâtih Al-Gaib karangan Ar-Razi dan
juga tafsir Ar-Raghib Al-Ashfahani) dan An-Nasafi (w 701 H) (dalam tafsir
Madârik At-Tanzîl sebagai ringkasan dari Al-Baidhawi dan Al-Kasysyaf) serta
Al-Khazin (w 741 H) (dalam karangannya Lubâb At-Ta`wîl Fî Ma`âni At-
Tanzîl yang meringkas Ma`âlim At-Tanzîl karangan Al-Baghawi) dan An-
Naisaburi (termasuk ulama tahun delapan ratusan hijriyah, dengan tafsirnya
berjudul Gharâ`ib Al-Qur`ân wa Raghâib Al-Furqan sebagai ringkasan At-
Tafsîr Al-Kabîr dan Al-Kasysyaf).33
Periode tafsir era modern: dalam pandangan Asy-Syarqawi, gerakan tafsir di
era modern ini berbeda dari periode sebelumnya yang sungguh-sungguh ingin
menjawab berbagai problem-problem kemanusiaan modern yang aktual. Dia
30 Ibid., hlm.45
31 Ibid., hlm.46-47
32 Ibid., hlm.47
33 Ibid., hlm.48-49 dan Qadhâya Insâniyyah Fî A`mâl Al-Mufassirîn (Beirut: Dar An-Nahdhah Al-
Arabiyyah, 1980) hlm.76-77
mencatat perbedaan dalam menangani permasalahan Al-Qur’an antara penafsir
klasik dan penafsir modern. Penafsir klasik, dalam menghadapi gejolak
zamannya yang selalu baru, dalam banyak kesempatan, mereka lebih condong
kepada penyelesaian dengan penelitian kontemplatif-filosofis terhadap
permasalahan-permasalahan yang dihadapkan kepadanya, sehingga
pergolakan hanya terjadi dalam dunia pemikiran teoretis saja.34 Adapun
penafsir modern mulai condong kepada usaha-usaha kongkrit dan memberikan
solusi praktis untuk menghadapi bagian yang paling banyak diderita umat
untuk membawa mereka kembali kepada jalan benar. Penafsir modern secara
umum lebih banyak menyadari kondisi umatnya dibanding penafsir klasik,
bahkan dia sampai lupa untuk menjelaskan rincian-rincian tentang
kebahasaan, lazimnya usaha para mufasir klasik. Hal itu dilakukan “demi
untuk langsung bisa mencapai tujuan reformasi dan langkah edukasi
mereka”.35 Pemikir keagamaan modern lebih tertarik dengan upaya
menjelaskan nilai-nilai Al-Qur’an secara kemasyarakatan demi menancapkan
akidah dan Al-Qur’an untuk kehidupan masyarakat manusia sesuai dengan
perbedaan generasi dan daerahnya. Kenyataan ini terungkap dalam dua aliran
yang jelas dari berbagai aliran di masa modern ini:
1- Tren yang ingin menghidupkan kembali pemahaman sosiologis tentang
kosa kata Al-Qur’an, tujuan mereka adalah mencapai "standar Islami" yang
dapat digunakan para intelektual muslim dalam menetapkan hukum bagi nilai-
nilai baru yang datang dari luar dan mengambil manfaatnya serta
menyeleksinya tanpa harus mengunci diri dari perkembangan dunia. Inilah
yang kemudian hari dikenal dengan sebutan “Tren Tafsir Sosial” yang
dimotori oleh Syaikh Muhammad Abduh (1266-1323 H, 1849-1905 M) dan
muridnya Sayyid Rasyid Ridha (1282-1354 H, 1865-1935 M) dari madrasah
pemikiran tafsir Al-Manâr.
2- Tren yang berkeinginan menghubungkan teori-teori sains modern dengan
teks Al-Qur’an. Tujuannya adalah berusaha menemukan tunggangan
intelektual yang dapat menghimpun identitas peradaban muslim setelah
terpecah belah. Inilah yang kemudian dikenal dengan “Tren Tafsir Saintifik”.
Pertama, mereka memilih pemikiran dari sekian banyak pemikiran yang sudah
dihadirkan oleh para pendahulu. Kedua, menguatkan pilihan tersebut dengan argumen
yang jelas. Ketiga, menerapkan idealita teks untuk disesuaikan dengan konteks zaman
modern. Keempat, menghubungkannya dengan kondisi masyarakat modern dan
memperhatikan kondisi faktual yang mana mereka hidup di dalamnya.36 Dengan
34 Hemat penulis, salah satunya juga karena Negara-negara Islam dahulu tidak mengenal penjajahan
dan intervensi dari luar yang menetap dalam Negara Islam seperti yang dihadapi oleh para penafsir
modern dan hal itu untuk mengatur usaha-usaha melawan kekuatan Barat di bidang kemiliteran,
ekonomi, intelektual, dan lahirlah dari itu, kesibukan pemikir keagamaan dengan tujuan-tujuan jangka
dekat yang berupa undang-undang kemasyarakatan sehingga mulai berkuranglah jawaban yang bersifat
filosofis murni dari dalam penafsiran-penafsiran modernis.
35 Lihat Qadhâya Insâniyyah, hlm.80-81
36 Ibid., hlm.84
unsur-unsur inilah mereka berusaha mengirimkan pesan kemasyarakatan tentang
agama setelah umat Islam hidup berabad-abad memisahkan antara agama dan
kehidupan karena dorongan berbagai faktor yang baragam seperti kemunduran ilmiah,
ekonomi dan politik.
Dalam menilai perkembangan aliran kedua, Asy-Syarqawi mencatat bahwa tren itu
berhubungan dengan "perasaan penafsir modern yang ingin menghubungkan jiwa
masa lampaunya dengan capaian inovasi sains dan teknologi modern yang
menggambarkan puncak peradaban Barat. Dalam pandangan penafsir, ini cocok
dengan keinginan terpendam yang tidak terlampaui kecuali dengan berpegang kepada
kultur intelektual-spiritual yang tergambar dalam Al-Qur’an".37 Oleh sebab itu seorang
penafsir modern giat membangun kendaraan intelektual yang menjembatani antara
Al-Qur’an dan sains sebagaimana para ahli ilmu kalam dahulu giat menghubungkan
antara agama dan filsafat atau antara naql dan akal.
Disinilah aliran ilmiah modern ini seakan sebagai ‘Ilmu Kalam Baru’ seperti yang
dikatakan Asy-Syarqawi dan kemudian muncul setelah itu konvergensi sains dan
agama sebagai tawaran alternatif sains dan filsafat yang terkenal itu.38
Di samping aliran kemasyarakatan dan aliran saintifik dalam tafsir, peneliti juga
menemukan tren ketiga yang berbeda dari kedua tren sebelumnya, yaitu ‘metode
susastra’ dalam tafsir, yang kaidah-kaidahnya ditanamkan oleh Prof. Amin Al-Khuli
(1895-1966 M) dalam proyek pembaharuannya di bidang Nahwu, Balaghah, Tafsir
dan Sastra.39
37 Ibid., hlm.95
38 Lihat Goldziher, Fî Madzâhib At-Tafsîr Al-Islami, (Dar Al-Firdaus Li At-Thiba`ah) hlm.114
39 Kami akan menjelaskan unsur-unsur metode dan langkah-langkah kerjanya menurut penganut
metode ini dalam pembahasan tersendiri dalam pembahasan kedua pada pasal ketiga dalam tesis ini
dengan izin Allah Swt.
40 Lihat Al-Muqaddimah Ibnu Khaldun, anotasi: ‘Ali Abdur Rahman Wafi (Dar an-Nahdhah al-
Mishriyah, cet.3) vol.1/300
41 Muhammad Fathi Ad-Duraini, Dirâsat wa Buhûts Fi Al-Fikr Al-Islami Al-Mu`ashir, (Dar Qutaibah
Beirut, 1988) vol.1/300
dalamnya periwayatan dari Nabi Saw dan para sahabat sebagai pembatas dasar dalam
proses penafsiran.42
Kondisi yang sudah saya paparkan di atas terus berlanjut, dengan tingkat keberhasilan
yang berbeda-beda, hingga datang era kesadaran dan kebangkitan ummat. Kemudian
para pakar spesialis membahasnya dengan kemasan yang baru atau mereka
membingkainya dengan bentuk yang baru atau mereka membersihkannya atau
sekedar mengeluarkan kembali secara lebih baru. Mengawali era baru kesadaran
ummat, efek kultural dan ilmiah yang ditimbulkan oleh Ekspedisi Militer Napoleon
Bonaparte ke Mesir (1798-1799 M) dan obsesi sebagian rezim Mesir yang
tercerahkan seperti Muhammad Ali Pasha (1805- 1848 M) di Mesir beserta efek
‘domino’ gerakan pembaharuan itu di Syiria, Libanon dan negara-negara Arab di
Afrika Utara, turut membedakan jenjang yang menuntut penafsiran Al-Qur’an untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru. Akan tetapi di sana tidak ada perbedaan yang
mendasar antara tafsir Al-Qur’an klasik dan tafsir Al-Qur’an modern meskipun
berabad-abad telah memisahkannya. Tafsir-tafsir modern memang mensasar
masyarakat yang lebih luas, akan tetapi ia tidak sama sekali berbeda dengan tafsir-
tafsir klasik dari segi kandungannya. Ia secara umum menghormati pandangan-
pandangan mufassir klasik seperti Ath-Thabari, Az-Zamakhsyari dan Ibnu Katsir.
Dari sisi lain kita melihat adanya interaksi positif di antara berbagai aliran penafsiran
sesuai dengan perhatian pemiliknya yang pada umumnya mereka membela Islam
meskipun kadang menggunakan instrumen politik, sosial, ekonomi, sains atau yang
lain. Oleh karena itu klasifikasi berikut ini tidak akan dapat dilakukan kecuali secara
sederhana saja.
Pada bagian ini patut kiranya disebutkan bahwa tafsir-tafsir modern yang berbeda-
beda ukuran dan keluasannya43 dari satu pengarang ke pengarang lain telah dikarang
dalam berbagai bahasa yang beragam, akan tetapi bahasa Arab tetap menjadi bahasa
utama, oleh sebab itu saya akan fokuskan daerah yang menggunakan bahasa Arab.
Dalam bagian tafsir modern ada yang berangkat dari keinginan untuk pembaruan
tafsir-tafsir klasik (seperti tafsir Ruh Al-Ma`ani karangan Al-Alusi (1217-1270 H,
1802-1854 M) dan memasyarakatkan berbagai data tafsir kepada kalangan umum dan
sekuler (seperti tafsir beberapa juz Al-Qur’an yang dikarang Muhammad Mustafa Al-
Maraghi 1881-1945 M) yang sampai satu abad belakangan ini hanya dimonopoli oleh
para pakar spesialis dan elit ilmuan muslim. Aliran ini juga ditemukan dalam gerakan
pembaharuan Islam, karena Syaikh Muhammad Abduh (1849-1905 M) yang telah
melewatkan satu baris besar dalam hidupnya untuk dakwah melancarkan usaha
perbaikan sosial dan pendidikan, dia telah mengarang pada akhir episode
kehidupannya sebuah tafsir Al-Qur’an yang kemudian dikenal dengan tafsir Al-
Manar, yang kemudian disempurnakan oleh muridnya Rasyid Ridha (1865-1935 M).
Alur pemikiran tafsir ini tidaklah jauh berbeda dari alur pemikiran yang sebelumnya,
setelah Abduh menulis pembukaan yang singkat untuk surat yang ingin ditafsirkan dia
42 At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn, vol.2/678
43 Seperti tafsir Al-Manar karya Rasyid Ridha (Kairo: 1901-1935), Mushaf Al-Mufassar karangan
Muhammad Farid Wajdi (Kairo: 1905), Tafsir Syaikh Muhammad Mustafa Al-Maraghi (Kairo: 1945),
Fi Zhilâl Al-Qur`an karya Sayyid Quthb (Kairo: 1950-1960), At-Tafsîr Al-Hadits karya Muhammad
Izzah Darwazah (Kairo: 1960), dan Tafsir Al-Qur’an Al-Karîm 10 Juz Pertama karya Syaikh Mahmud
Syaltut (Kairo: 1966).
menyebutkan sejumlah ayat yang memiliki kesatuan makna lalu mengaitkannya,
kemudian menjadikan ayat-ayat itu ke dalam potongan-potongan kecil untuk
menjelaskannya dengan penjelasan tertentu. Penjelasan kontekstual seperti ini sangat
mendapat tempat yang jelas, sebab ia condong menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-
Qur’an atau yang biasa dikenal dengan "Tafsir Al-Qur`an bi Al-Qur`an".44
Adapun berkaitan dengan ayat-ayat yang mutasyâbihât maka seorang penafsir harus
mengakui kelemahannya untuk tidak menafsirkannya agar masalah itu dikembalikan
kepada Allah Swt. Konsekuensinya adalah menjauhi Takwil dengan segala
bentuknya, sebab itulah sikap pembaharuan secara umum yang diterapkan oleh
Muhammad ‘Abduh dan Rasyid Ridha (kedua-duanya dari Mesir) dan ‘Abdul Hamid
bin Badis (1889-1940 M di Aljazair); mereka melihat bahwa Takwil adalah bid`ah.45
Demikianlah, tampak jelas tujuan Muhammad Abduh dan segenap para pembaharu
dalam Islam, sewajarnya tafsir harus menjadi sebuah kegiatan yang aktual,
maksudnya menggunakan tafsir untuk memenuhi kebutuhan pembaharuan, yang
tentunya masih dalam koridor batasan-batasan yang ditetapkan oleh Islam. Untuk
memahami jenis tafsir ini dengan baik, ia harus diletakkan dalam tempatnya secara
historis. Tafsir para pembaharu secara umum dan Muhammad Abduh secara khusus
adalah sesuai dengan masanya. Ini adalah segi bagaimana usaha menempatkan diri
44 Pondasi ini dapat dilihat hasilnya dalam judul sebagian tafsir-tafsir modern, antara lain: Tafsir Al-
Qur`ân Bi Al-Qur`ân karangan Abdul Hakim Khan (1901 M), Al-Hidâyah wa Al-Irfân Fî Tafsîir Al-
Qur`ân bi Al-Qur`ân karangan Muhammad Abu Zaid (1903 M) kemudian Adhwâ Al-Bayân Fî Tafsîir
Al-Qur`âan bi Al-Qur`ân karangan Muhammad Amin As-Sinqithi.
45 Lihat A. Merad , art. Islah, in Encyclopedia of Islam, III, hlm.152-153
46 J.J.G Jansen, The Interpretation of the Koran in Modern Egypt, 1974, hlm.29-30
dengan dunia baru yang telah menghentak kesadaran ummat dalam hal akidah, dan
memikirkan kembali nilai-nilai baru secara mendadak yang berasal dari peradaban di
luar mereka. Dari sisi lain, ini adalah suatu cara untuk membela diri dari kekurangan
dan keyakinan mitos dan membela diri dari tekanan dunia yang baru ini yang semakin
diperparah oleh kekuatan kolonialisme Barat yang sadis di negara muslim.
Selain untuk tujuan pembaharuan tafsir klasik dan massifikasi tafsir untuk khalayak
umum, tren kebahasaan juga memerankan peran penting. Para ahli bahasa meneliti
bahasa Al-Qur’an secara mendalam agar dapat menyimpulkan makna yang
menyeluruh dan dalam bidang ini sejumlah pakar dikenal menjadi motornya, akan
tetapi yang paling berpengaruh adalah Prof. Amin Al-Khuli bersama sang istri Dr.
Aisyah ‘Abdur-Rahman Bintu Syathi`.
Amin Al-Khuli tidak menulis tafsir dalam arti yang sebenarnya terhadap Al-Qur’an,
akan tetapi dia mengarang beberapa karangan yang berkaitan dengan tafsir Al-Qur’an,
antara lain: “At-Tafsîr Ma`âlim Hayâtih wa Manhajuhu Al-Yawm" (1944 M) dan
"Manâhij At-Tajdîd Fi An-Nahwi wa Al-Balâghah wa At-Tafsîr wa Al-Adab" (1961
M). Dalam pandangannya tafsir Al-Qur’an harus melampaui dua tahap: tahap
pembacaan eksternal terhadap Al-Qur’an. Ini dapat diisi oleh metode historisitas.47
Dan tahapan kajian internal, yaitu dengan mengumpulkan paragraf yang berkaitan
yang berhubungan dengan tema yang sedang dikaji, dengan cara melihat setiap makna
sebuah kalimat dimana ia disebutkan dalam Al-Qur’an di tempat yang berbeda-beda
dan terakhir dengan mengkaji urutan kalimat-kalimat ini secara global dan efek
psikologisnya bagi pendengar.
Amin Al-Khuli juga menjadi pembimbing disertasi seorang mahasiswa yang menjadi
titik tolak aliran baru dalam tafsir. Yang kami maksud adalah Muhammad Ahmad
Khalafullah (1916-1998 M) dalam disertasi berjudul “Al-Fann Al-Qashashsi Fî Al-
Qur`ân” (1951-1952 M), dia berusaha menerapkan “metode seni susastra” kepada
teks-teks Al-Qur’an yang berbau mitos. Ia berpendapat bahwa kisah-kisah yang
berhubungan dengan nabi-nabi sebelum Muhammad Saw. adalah bisa jadi tidak benar
bila dilihat dari aspek sejarahnya. Hal ini menurut Khalfallah tidak akan
47 Demikianlah Amin Al-Khuli telah mengembalikan anggapan tentang sejarah Al-Qur’an dalam
pengertian khusus dalam bahasa Jerman (Geschichte des Qorans) yang diusulkan oleh orientalis
ternama Noldekhe, sementara itu pakar-pakar Islam yang wara`merasa keberatan dengan penerapan
metode-metodenya terhadap teks Al-Qur’an yang suci sebab pemilik teks adalah Allah Swt. sendiri.
Jansen memberikan sinyal dalam kitabnya yang telah disebutkan di atas bahwa salah satu murid Amin
Al-Khuli telah menerjemahkan buku Noldekhe itu ke dalam bahasa Arab, tetapi ia tidak mencetaknya.
Dia juga melirik kajian-kajian yang serupa dengan kajian ini yang dicetak dalam bahasa Arab seperti
kajian Abi Abdillah Az-Zanjani Tarikh Al-Qur’an (1935 M) dan kajian Abdus Sabur Syahin, Târîkh
Al-Qur`ân (1966 M).
48 Lihat Prof. Jansen, hlm.69-70, dan juga Muhammad Rajab Al-Bayumi, At-Tafsîr Al-Bayâni `Inda
Al-Mu`âshirîn (Kairo: 1972)
membahayakan absolusitas kebenaran Al-Qur’an sebab tugas Al-Qur’an adalah untuk
memberikan petunjuk kepada manusia menuju jalan yang lurus, dan tidak merinci
unsur sejarah. Reaksi yang menyambutnya cukup keras. Seperti yang sudah diduga
para ulama Al-Azhar berang dan membantah analisis dan kesimpulan disertasi
Khalafullah sehingga dia terpaksa menariknya kembali dan memperbaikinya sebelum
sempat dicetak di Beirut.
Tren lain yang menjadi perhatian adalah aliran tafsir yang sama sekali berbeda dengan
aliran-aliran sebelumnya, yaitu tafsir ‘ilmi (saintifik) yang mana para pendukungnya
berusaha mencocokkan antara kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dengan penemuan-
penemuan ilmiah modern. Aliran ini muncul dan berkembang karena dua sikap
defensif: pertama, pembelaan terhadap sains modern yang berasal dari kaum kolonial
asing, kedua, membela Islam dan Al-Qur’an yang merupakan kitab yang diwahyukan
untuk seluruh zaman, dan tidak mungkin ia dipahami kecuali melalui perspektif
penemuan yang paling baru49 seperti kuman-kuman, nuklir, telefon, gesekan listrik,
U.F.O dan lain sebagainya. Aliran ini berusaha membuktikan bahwa dasar-dasar ilmu
pengetahuan sudah ada di dalam Al-Qur’an, semuanya harus mengambil landasannya
dari Al-Qur’an, firman Allah: Tiadalah Kami alpakan sesuatu apapun di dalam Al-
Kitab (Q.s. Al-An`âm: 38). Dalam belantika tafsir klasik, unsur-unsur aliran ini
ternyata kita temukan di dalam karya Muhammad ibn Abdullah Al-Mursi (w 655 H,
1257 M) bahkan karya-karya Al-Ghazali sendiri yang dijuluki ‘Hujjatul Islam’ (w
505 H, 1111 M) dalam kitab "Jawâhir Al-Qur`ân" dan Fakhrud Din Ar-Razi (w 606
H, 1210 M). Banyak sekali pengarang yang menempuh jalan ini namun berbeda
kadarnya, termasuk dari mereka adalah Muhammad ibn Ahmad Al-Iskandari (w 1889
M), Abdur Rahman Al-Kawakibi (w 1903 M), Muhammad Abduh (w 1905 M) dan
Rasyid Ridha (w 1935 M). Perlu disebutkan juga bahwa Syaikh Muhammad Abduh
dan Rasyid Ridha bukan termasuk pengikut setia aliran ini, akan tetapi mereka hanya
ingin mengukuhkan peran akal dalam penafsiran Al-Qur’an. Bisa kita sebutkan juga
Taufiq Shidqi (w 1920 M) dan Muhammad Farid Wajdi (w 1940 M) yang mana sisi-
sisi tafsir saintifik cukup melekat dalam dirinya. Demikian pula Hanafi Ahmad patut
disebut.
Namun dengan cepat masyarakat akhirnya menyadari bahwa tafsir model ini telah
melewati batasan sewajarnya, sehingga Rasyid Ridha dan Amin Al-Khuli serta yang
lain kemudian mengkritik cukup pedas. Tak tanggung-tanggung, Muhammad Kamil
Husain memberikan cap bid`ah yang tolol kepada tafsir model ini.50 Sambil
menitikberatkan karakter Al-Qur’an yang bersifat keagamaan dan moral. Sehingga
para penggiat tafsir sains ini akhirnya terpaksa mengurangi sedikit demi sedikit
kefanatikannya terhadap model ini setelah mendapat serangan bertubi-tubi, sehingga
49 Kecuali sikap pasif terhadap ilmu dalam karya Ibrahim Ar-Rawi Ar-Rifa`i Shuwar Asy-Syari`ah Fi
Intiqâd Nadhariyyât Ahli Al-Hai`ah wa Ath-Thabî`ah, (1923)
50 Dalam Kitab Adz-Dzikr Al-Hakîm, Kairo 1971 M.
akhirnya mereka hanya mengakui bahwa Al-Qur’an mengandung kebenaran-
kebenaran ilmiah akan tetapi ia bukan lah kitab sains modern. Meskipun demikian
tafsir saintifik ini mempunyai dampak bagi sisi kamu`jizatan Al-Qur’an. Sebagian
pengarang berpendapat orang Arab sekarang sudah tidak mampu lagi menemukan
kemu`jizatan Al-Qur’an dengan semestinya sebab berbagai halangan kebahasaan yang
menjauhkan mereka dari bahasa Al-Qur’an, oleh sebab itulah mereka mulai melirik
tafsir ini agar mereka menemukan bukti-bukti baru tentang kemu`jizatan Al-Qur’an.51
Oleh sebab itu sebagian pengarang punya perhatian terhadap sejauh mana Islam dapat
diaplikasikan dalam kehidupan modern ini. Hasan Sa`ab misalnya mulai berangkat
dari ayat-ayat Al-Qur’an untuk mengukuhkan kemungkinan aplikasi ini dalam
kitabnya "Al-Islâm Wa Tahaddiyât Al-Ashri".52 Selain itu ada Hasan Hanafi yang
ingin berangkat dari kondisi riil sekarang untuk sampai kepada penafsiran Al-Qur’an
yang diambilnya sebagai suri tauladan dalam dua bukunya "At-Turâts wa At-Tajdîd"
dan "Fî Fikrinâ Al-Mu`âshir".53
Cara pandang semacam ini melontarkan ide untuk ijtihad yang dilakukan demi
memberikan solusi atas permasalahan yang disebabkan oleh imbas hubungan dengan
dunia Barat. Seperti itulah Qasim Amin (1863-1908 M) menyerang hijab yang
diwajibkan kepada wanita muslimah dan Abdul Aziz Fahmi yang melarang poligami,
serta ‘Ali Abdur Raziq (1888-1966 M) yang telah menjelaskan bahwa menegakkan
khilafah bukan suatu kewajiban agama. Akan tetapi orang-orang yang beriman dan
memiliki rasa cemburu kepada agamanya tidak diam dan mengkonter pandangan-
pandangan ini dan membuktikan kelemahannya.
Sebagian pengarang lain ada yang tidak fokus terhadap ijtihad individual dan tidak
merambah masalah detail sehingga mereka serius dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang
memilki makna fiqh lalu mengarang tafsir yang menganalisis aspek hukum di dalam
Al-Qur’an seperti Syaikh Muhammad ‘Ali As-Sayis di dalam tafsirnya "Tafsîr Ayât
Al-Ahkâm".54
Di sini harus diberikan sebuah pargraf khusus tentang keterlibatan para orientalis
dalam kajian-kajian Al-Qur’an di era modern ini, baik itu berhubungan dengan
penerjemahan Al-Qur’an atau permasalahan yang dilontarkan oleh teks Al-Qur’an
atau kajian seputar kosa katanya, atau tema-tema Al-Qur’an (Iman, kondisi-kondisi
hari akhir (eskatologi), Ibrahim, Isa dll.) seperti yang kita dapatkan secara jelas dalam
51 Lihat Salahuddin Al-Khaththab, Al-Jânib Al-`Ilmi Fî Al-Qur`ân, (Kairo: 1970); Muhammad Kamil
Dhuw, Al-Qurân Al-Karîm wa Al-Ulûm Al-Hadîtsah, (Kairo: 1955); Prof. Jansen Ibid., hlm.51-52
52 Beirut, cet.4, 1979
53 Akan tetapi dia telah melenceng dari kebenaran, seperti yang akan kita singkap pada waktunya nanti
dalam pembahasan ketiga dari fasal kedua di dalam buku ini.
54 Diterbitkan pada tahun 1953 M
tulisan-tulisan berikut ini:
1) Ignaz Goldziher, Die Richtungen der Islamichen Koranauslegung, Leiden, 1920.
2) J.M.S. Baljon, Modern Muslim Koran Interpretation (1880-1960), Leiden, 1961.
3) J.J.G. Jansen, The Interpretation of the Koran in Modern Egypt, Leiden, 1974.
4) T. Noldeke, F. Schwally, G. Bergstrasser, O. Pretzl, Geschichte des Qorans, Leipzig,
1919-1938, 3 vol.
5) R. Bell, Introduction to the Qur’an, Edinbourgh, 1953.
6) R. Blachere, Introduction au Coran, Paris, 1959.
7) Sauvaget et Cahen, Introduction a l’histoire de l’orient musulman, Paris, 1961, p. 122-
124.
8) Carra de Vaux et Rudi Paret, Tafsir and Ta’wil, in Encyclopedie de l’Islam (premiere
edition), vol. IV, p. 633-740.
Kita akan berhenti dalam pembicaraan kita tentang perkembangan kehidupan tafsir
Al-Qur’an pada pembahasan "metode-metode Barat" yang digunakan untuk
mentakwil dan membaca ulang Al-Qur’an pada era modern ini yang disebut dengan
era kontemporer.
Perlu saya tekankan bahwa penggunaan metode-metode Barat secara umum masih
dipandang sebagai fenomena yang baru, meskipun ia memiliki hubungan yang erat
dengan penelitian filologi naskah-naskah Islam oleh kaum orientalis.55
Setelah sejarah fenomena ini, belum dikaji tentang fenomena metode-metode Barat
dalam kajian Al-Qur’an dan Takwilnya, sebuah kajian yang akhirnya dikenal dengan
"pembacaan kontemporer". Seorang peneliti dari Syria, ‘Abdur Rahman Al-Hajj telah
memberikan kontribusi ilmiah awal seputar sejarah fenomena yang berbahaya ini.
Pada tahun 1999 dalam artikel yang berjudul “Zhahirah al-Qira’at al-Mu’ashirah wa
Idiyulujiya al-Hadatsah” (Fenomena Pembacaan Kontemporer dan Ideologi
Modernisme)56 dia berkesimpulan bahwa gerakan ini bermula sejak tahun 1950 M
ketika seorang ahli orientalis Jepang Thoshiko Izutsu (1914-1993 M) menulis sebuah
kajian berjudul "Binyah Al-Mushthalahât al-Akhlâqiyyah Fî Al-Qur`ân" dalam bahasa
Inggris, dan terus beranjut hingga kini. Akan tetapi harus diingat bahwa metode-
metode Barat modern yang digunakan untuk mentakwil Al-Qur’an pada mulanya
adalah berlandaskan kepada linguistik modern, dan selanjutnya berdasarkan metode
historisitas. Berikut ini saya akan paparkan sedikit kedua metode itu serta tokoh
representatifnya dalam kaijian Al-Qur’an secara ringkas seperti yang juga dilakukan
oleh peneliti tersebut:
1. Metode-metode Linguistik Kontemporer (lisâniyyât)
Lisâniyyat adalah ilmu tentang bahasa yang berusaha menjadikan penelitian bahasa
berlandaskan kepada eksperimen murni seperti penelitian praktis dalam ilmu-ilmu
sains terapan. Bagaimanapun, ia lahir dan berkembang dalam situasi supremasi
metode positivisme Barat terutama di dalam lingkup ilmu humaniora. Oleh sebab itu,
55 Filologi adalah kajian bahasa yang historis dan komparatif atau kajian bahasa terlebih khusus lagi
bahasa sebagai alat pengungkapan dalam sastra dan termasuk sebuah bidang dari bidang-bidang
penelitian yang memberikan titik terang tentang sejarah kultur. Lihat Kamus Al-Mawrid (Beirut: Dâr
Ilm Lil Al-Malayîn, 1999 M) hlm.681
56 Dicetak dalam Jurnal Al-Multaqa, edisi 1- (Beirut: Al-Multaqa Al-Fikri li Al-Ibdâ`)
ilmu ini (lisâniyyât) dibangun di atas pijakan filsafat dan epistemologi positivis, oleh
sebab itu ia tidak sepenuhnya ilmu yang netral. Hal ini menyebabkan penggunaannya
memilki sejumlah titik rawan dan bahaya ketika objek terapannya adalah Al-Qur’an.
Tujuan yang ingin dicapai ilmu ini adalah: memahami logika yang menjadi dasar
bahasa untuk dapat menangkap makna atau semantiknya. Ia akan banyak
bersinggungan dengan semua ilmu humaniora dan ilmu yang mengkaji teks-teks
Islami, wa bil khusus ilmu ushul fiqh, ilmu yang spesifik mengkaji teks kebahasaan
dan teks bahasa Arab secara khusus.
Saya katakan kajian pionir yang memanfaatkan linguistik modern adalah yang
dilakukan orientalis Jepang, Toshihiko Izutsu dalam bukunya "Binyah Al-
Mushthalahat Al-Akhlaqiyah Fî Al-Qur`ân" pada tahun 1950 M, kemudian sejumlah
orientalis Perancis juga menulis (Alard dan yang lain) sebuah kajian yang
menerapkan ilmu semantik kebahasaan (lisâniyah) dalam buku "Tahlîl Mafhûmi Li
Al-Qur`ân" (Analyse conceptuelle du perforees Coran surtes) pada tahun 1963 M.
Selang kemudian pada tahun 1964 Institut Kyoto untuk Kultur dan Kajian
Kebahasaan di Tokyo menerbitkan buku yang ditulis oleh orientalis Toshihiko Izutsu
berjudul "Allah wa al-Insân Fî Al-Qur`ân: Ilm Dilâlah At-Tasawwur Al-Qur`âni Li
Al-Âlam.57 (God and Man in the Kuran: Semantic of Kuranic Weltausnchung)
Pada waktu itu ilmu linguistik masih dalam taraf pengkristalan, khususnya ilmu
semantik dan ilmu tanda semiotika. Izutsu menggarisbawahi keunikan Al-Qur’an dan
bahasanya yang menunjukkan bahwa ia bersumber dari Tuhan dan menemukan
kecocokan karakter dasar ilmu linguistik itu. Oleh karena itu dia berusaha
menundukkan teori-teori linguistik untuk menganalisa Al-Qur’an, dengan tujuan
menemukan teori Al-Qur’an yang komprehensif tentang alam, kehidupan dan
manusia. Sejak awal Izutsu sudah menyadari problem yang paling berbahaya dalam
menerapkan kajian linguistik terhadap teks-teks keagamaan. Sehingga meskipun
Izutsu seorang pakar orientalis tapi dia berhasil menyimpulkan lebih dari 103 terma
teologis di dalam Al-Qur’an yang hampir cocok dengan konsepsi mayoritas umat
Islam. Bahkan tampaknya yang menulis kajian ini adalah seorang yang beragama
Islam.58
Hal yang penting sekali adalah bahwa kajian Izutsu dapat membuktikan bahwa kajian
linguistik untuk Al-Qur’an tidak selamanya melawan Al-Qur’an seperti yang akan
kita saksikan dalam penerapan metodologi humaniora di Arab terhadap linguistika Al-
Qur’an.
Kajian seorang pemikir Sudan Muhammad Abu Al-Qasim Haj Hamd “Al-‘Alamiyyah
Al-Islamiyyah Ats-Tsaniyah” yang terbit pada tahun 1979 M adalah awal penerapan
itu. Sebab waktu itu adalah titik awal mulai meresapnya kajian linguistik ke dalam
semua bidang pengetahuan manusia, dan awal masuknya ke dunia Arab, sebagaimana
kajian seorang insinyur asal Syria, Muhammad Syahrur dengan buku yang
57 Kajian ini tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, hal ini semakin memperkuat bahwa
penerapan linguistik terhadap Al-Qur’an yang datang belakangan setelah 20 tahun di dalam dunia Arab
terjadi tanpa adanya kajian terhadap apa yang ditulis di Barat.
58 Kita dapat menyimpulkan bahwa hal itu disebabkan Izutsu adalah orang Jepang, dia tidak Kristen
Eropa atau Amerika, oleh sebab itu dia tidak membawa ideologi Barat untuk melawan umat Islam,
sehingga dia akhirnya dapat menghasilkan kajian yang obyektif dan netral. Dari sisi yang lain, Izutsu
belajar bahasa Arab selama dua tahun penuh di dunia Arab untuk tujuan itu, dan dia berusaha
memahami pemikiran umat Islam, inilah yang membuat dia lebih dekat kepada obyektifitas.
kontroversial “Al-Kitab wa Al-Qur`an” tahun 1990 M menjadi sebuah tonggak
penting bagi kajian semacam itu, pada waktu itulah pembacaan kontemporer untuk
Al-Qur’an mulai menjadi fenomena yang jelas dan berulang-ulang.
Di sini kita bisa bertanya: kita dapat memahami apabila para orientalis dan peneliti
Barat menerapkan metode-metode linguistik modern agar mereka dapat memahami
Al-Qur’an, baik dengan tujuan pengetahuan positifis atau tujuan imperialisme
pemikiran atau tujuan pengetahuan obyektif, karena mereka meyakini bahwa di dalam
ilmu-ilmu itu terdapat kekuatan hebat untuk dapat memahami kebenaran seperti yang
tidak dipahami oleh yang lain, dan itulah atap sebuah pengetahuan menurut mereka.
Lalu apa kemudian yang menjadi tujuan para peneliti Arab Muslim untuk memegangi
metode itu meskipun banyak permasalahan sementara alternatif turats juga tersedia
yang sangat penting sekali, yakni ushul fiqh? Jawabannya, hal itu disebabkan taklid
buta terhadap Barat. Ini adalah separuh jawaban, khususnya kita melihat perbedaan
waktu yang lebih dari 20 tahun antara penerapannya di dunia Arab dan dunia Barat.
Jawaban yang sempurna dapat kita jumpai dalam motif ideologis yang membentuk
kajian-kaijan itu, yang mana sering kali berupa marxisme atau sekularisme, dan
bagian inilah yang selalu ada pada setiap kajian yang menerapkan ilmu linguistik
terhadap Al-Qur’an.59
2. Metode Historisitas
Dari keduanya, meski sama-sama berbahaya, Muhammad Arkoun adalah yang paling
konsisten dalam menerapkan metode historisitas ini, maka saya akan sebutkan bahwa
Al-Qur’an di mata Arkoun telah menutupi historisitasnya dengan indah yaitu melalui
cara transendensi yang melampaui sejarah di dunia ini secara keseluruhan.62 Arkoun –
seperti yang dikatakan Khaled As-Saidani- ingin membentuk pengetahuan yang
melawan penipuan, mitologisasi, ideologisasi, dan sakralisasi teks.63 Sakralitas Al-
Qur’an bukan suatu yang asli melainkan suatu yang disusupkan, tidak fundamental
tetapi hanya atribut, tidaklah hakiki melainkan diada-adakan terjadi karena sebab-
sebab intelektual-politis dan permainan-permainan pemikiran yang dapat diungkap
oleh kritik. Kepalsuan itu jelas terbukti khususnya pada Taurat dan Injil. Sementara
Al-Qur’an sampai sekarang ia masih dianggap sebagai kitab suci yang sakral dan
mengandung sekian banyak hal-hal yang tak terpikirkan.64
Sebagai ringkasan paparan di atas, yaitu munculnya dua jenjang dalam Takwil
kontemporer, maka di sini saya sertakan analisis yang menjelaskan perbedaan-
perbedaan antara dua jenjang itu seperti yang ditulis Abdur Rahman:
Jenjang pertama: yaitu yang dimulai oleh Muhammad Abduh, kita dapat melihat
sebuah aktifitas tafsir dan takwil yang mengambil faedah perkembangan dan
kemajuan zamannya. Muhammad Abduh kerap mengkritik para ulama yang tidak
mengambil faedah dari ilmu-ilmu Barat modern. Ketika menafsiri Al-Qur’an dia
kerap mentakwil Al-Qur’an sesuai dengan teori-teori ilmiah modern sehingga tak
jarang dia memahami mu`jizat dengan takwil positifis, seperti yang akan kita temukan
kelanjutannya pada diri Thanthawi Jawhari dalam tafsir "Al-Jawâhir". Sebuah kitab
tafsir yang ingin membuktikan bahwa semua ilmu modern yang ada di Barat sudah
ada di dalam Al-Qur’an. Tren takwil semacam ini juga ditemukan pada diri Abu Zaid
Ad-Damanhuri dalam kitabnya "Al-Hidâyah wa Al-`Irfân Fi Tafsîr Al-Qur`ân bi Al-
Qur`ân", yang mana dia berusaha menjadikan Al-Qur’an berbicara sesuai dengan
semua pemikiran dunia kontemporer dalam masalah perempuan, hudud dan lain
sebagainya. Hingga terbit buku "Al-Qur’an Muhawalah li At-Tafsîr Al-Ashri"
karangan DR. Musthafa Mahmud di awal tahun 70-an.
Jenjang yang berlanjut sampai tahun tujuh puluhan ini memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
a. Tren takwil itu tidak keluar dari metode tafsir klasik, sebab itulah dia
tidak melampaui takwil-takwil "prosedural" yang hanya mengambil
potongan-potongan ayat yang sesuai dengan wacana modern yang
berkembang, meskipun takwil-takwil itu seringkali menerobos koridor
metodologis tafsir klasik sendiri. Bahkan kita juga akan menjumpai
dalam jenjang ini bagaimana tafsir menjadi sebuah perenungan yang
murni yang sangat sederhana dan simpel sekali.
b. Pemilihan dan pemilahan sangat jelas sekali tampak dalam model ini.
Takwil kontemporer hanya terkait dengan sejumlah ayat yang
berhubungan dengan problem-problem pemikiran kontemporer atau
ayat-ayat yang menyerupai penemuan-penemuan modern.
Jenjang kedua: dalam jenjang ini kita dihadapkan pada istilah "pembacaan" yang
mengacu kepada referensi-referensi kontemporer berupa metode kritik sastra dan
linguistik modern. Kita di sini berhadapan dengan penggunaan metode-metode dan
media-media baru dalam kajian Al-Qur’an, yang dapat kita perkirakan permulaannya
dimulai pada akhir tahun 70-an dan awal 80-an, yaitu ketika metode-metode sastra
dan linguistik sudah mengambil posisi di dunia Arab, dan kamudian mulai merembes
ke seluruh kajian. Kita telah menyaksikan pada tahun 1979 terbitnya buku
"Al-‘Alamiyyah Al-Islamiyyah Ats-Tsâniyah" karangan Abu Al-Qasim Haj Hamd
69 Lihat Abdur Rahman Al-Hajj, Al-Manâhij Al-Mu`âshirah Fî Tafsîr Al-Qur`ân Al-Karim wa
Ta`wîlih (diunduh dari internet di situs www.almutaka.net)
yang mana ia berpegangan pada doktrin-doktrin linguistik dan filsafat. Lalu pada
tahun 80-an mulai tampak usaha Arkoun dalam "pembacaan ulang" tradisi Islam
(turats) dan takwil teks keagamaan. M. Arkoun dianggap paling banyak
menggunakan metode-metode modern secara luas, khususnya linguistik. Selain itu
Hassan Hanafi juga berusaha membangun pondasi tafsir kontemporer berdasarkan
pada mazhab marxisme. Lalu muncul Muhammad Syahrur dengan buku “Al-Kitab
wa Al-Qur’an; Qira’ah Mu’ashirah” sebagai perpaduan antara metode strukturalisme
dan historisisme. Demikian halnya Nasr Hamid Abu Zaid yang mengusulkan dalam
"Mafhûm An-Nash" metode hermeneutika dengan melakukan kritik tradisi ilmu-ilmu
Al-Qur’an dan lain sebagainya.
Pembacaan kontemporer ini berbeda dengan jenjang takwil yang pertama dalam
beberapa hal berikut ini:
a. Terjadi keterputusan epistemologis antara metode-metode takwil
modern dengan tradisi (turats), sementara "tafsir kontemporer"
masih mempunyai hubungan dan bahkan masih sama persis. Ini
adalah sebuah lompatan yang membolehkan kita untuk melampaui
berbagai rambu ilmiah dalam tradisi klasik demi takwil-takwil
yang dipaksakan.
b. Di sini kita boleh merambah seluruh teks Al-Qur’an tanpa kecuali,
yaitu melalui contoh-contoh yang dapat diulang-ulangi atau usaha
yang komprehensif (dalam kasus Muhammad Syahrur). Sementara
dalam "tafsir kontemporer" ini sulit dilakukan. Jadi model ini
bukan sekedar pemilahan atau renungan-renungan, akan tetapi
lebih dekat disebut sebagai usaha penerapan dan penelitian
epistemologis yang berusaha dengan segenap naluri yang besar dan
teratur.70
c. Kajian konsepsi pokok dalam ushul fiqih dan ushul tafsir juga
menjadi sorotan dalam tafsir kontemporer. Tema-tema asbab nuzul,
nasikh-mansukh, nash-maslahat, maqashid syariah juga menempati
posisi penting bagi kubu ‘liberal’ untuk memaksakan penafsiran
ulang terhadap konsep-konsep final Al-Qur’an seputar ayat-ayat
hudud, qishash, jilbab, aurat, relasi gender, ahlul kitab, waris, dsb
yang mereka anggap problematic untuk diterapkan di masa kini.
70 Abdur Rahman Haj Ibrahim "Dhâhirat Al-Qirâ’ah Al-Mu’ashirah li Al-Qur`ân, Idiyulujiyyat Al-
Hadâtsah" (artikel yang disebarkan di situs www.almultaka.net).