QUR’AN DAN
Dalam buku tersebut, Sahiron memberikan penawaran metode baru dalam penafsiran
AlQur’an yakni ma’na cum maghza, metode ini bertujuan untuk menggali makna historis
suatu ayat yang ditafsirkan dan mengembangkannya dalam ranah dinamis (kontekstual).
Karena menurut beliau klasifikasi dan elaborasi Saeed terhadap model dan pendekatan
penafsiran Al-Qur’an kedalam tiga macam, yakini tekstual, semi-tekstual dan kontekstual
belum mampu meng-cover seluruhnya. Melihat kekurangan tersebut, Sahiron berpendapat
bahwa ada tiga macam aliran tafsir Al-Qur’an yang bisa dilihat dari segi pemaknaan.
Yakni;
Maksud dari aliran ini adalah bahwasannya suatu pandangan bahwa ajaran-ajaran Al-
Qur’an harus dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada masa kini, sebagaimana
dipahami, ditafsiri dan diaplikasikan pada situasi dimana Al-Qur’an diturunkan kepada
Nabi Muhammad dan disampaikan kepada generasi muslim awal. Pandangan ini
mempunyai tedensi utama memegangi pemahaman literal terhadap Al-Qur’an. ketetapan
hukum yang tertera secara tersurat dalam Al-Qur’an dipandangnya sebagai esensi pesan
Tuhan yang harus diaplikasikan oleh umat islam dimanapun dan kapanpun. Sesuai dengan
motto Al-Qur’an salih li kulli zaman wa makan.
2. Aliran Subyektivis
Aliran ini mewajibkan penafsir untuk menggali makna asal dengan menggunakan
seperangkat metode tafsir dan metode-metode yang lain dan dikontekstualisasikan dengan
masa kini. Kemudian makna di balik pesan literal inilah yang harus diimplementasikan
pada masa kini dan mendatang.
Dari tiga aliran penafsiran diatas, pandangan yang lebih dapat diterima adalah quasi
obyektivis progresif dalam rangka memproyeksikan pengembangan metode pembacaan
Al-Qur’an pada masa kini. Pandangan ini memberikan perhatian yang sama terhadap
makna asal literal (makna asli) dan pesan utama (signifikansi) di balik makna literal. Akan
tetapi dalam hal ini kelompok quasi obyektifis progresif tidak menjelaskan secara detail
terkait dengan signifikansi yang dimaksud, apakah signifikansi tersebut adalah
signifikansi pada masa nabi atau pada saat ayat itu diinterpretasikan? Kemudian hal ini
dijelaskan lebih lanjut oleh Sahiron, bahwasannya signifikansi yang dimaksud terdapat
dua macam. Pertama, signifikansi fenomenal yakni pesan utama yang dipahami dan
diaplikasikan secara kontekstual dan dinamis mulai pada masa nabi hingga saat ayat
ditafsirkan dalam periode tertentu. Dari penjelasan ini signifikansi fenomenal kemudian
terbagi menjadi dua yakni signifikansi fenomenal historis dan signifikansi fenomenal
dinamis. Kedua, signifikansi Ideal yakni akumulasi ideal dari pemahaman-pemahaman
terhadap signifikansi ayat. Akumulasi pemahaman ini akan diketahui pada akhir atau
tujuan peradaban manusia yang dikehendaki oleh Allah Swt. Dari sini kemudian dapat
diketahui bahwasannya sesuatu yang dinamis dari penafsiran bukan terletak pada makna
literal teks melainkan pada pemaknaan terhadap signifikansi (pesan utama) teks.
B. Langkah-langkah Metodis Penafsiran Berbasis Ma’na Cum Maghza
Pengantar
Pada bagian ini penulis menjelaskan mengenai klaim kebenaran agama yang ekslusif.
Klaim keberagamaan eksklusif (exclusivist religious truth claim) yang merupakan salah satu
faktor penyebab munculnya intoleransi dalam berinteraksi antar umat beragama adalah suatu
sikap yang menunjukan bahwa kebenaran hanya dimiliki satu agama saja, dan bahwa agama
lain yang berbeda darinya adalah salah dan sama sekali tidak mengandung kebenaran
sedikitpun. Penulis juga menjelaskan bahwa klaim kebenaran esklusif yang seperti itu,
beberapa kelompok tertentu mempercayai jika hanya yang mengikuti kelompok mereka saja
yang akan diselamatkan oleh Allah di akhirat kelak, sementara mereka beranggapan
kelompok lain berada pada jalan yang salah dan tidak akan diselamatkan. Bahkan sikap
seperti itu sudah menyebar dalam masyarakat kita dan menjadi tantangan yang perlu
diperhatikan bagi masyarakat yang plural dari segi agama saat ini. Sikap tersebut juga dapat
membawa dampak negatif bagi sosial politik karena bisa dipergunakan untuk melegitimasi
tindakan diskriminatif terhadap orang lain yang menganut agama berbeda.
Umat Islam meyakini bahwa Al-Qur’an berisi tuntunan dan petunjuk (hidayah) untuk
kehidupan sehari-hari, dan karena itu, berusaha berperilaku sesuai dengan pemahaman
mereka tentang Al-Qur’an. Para sarjana dalam Kajian Al-Qur’an membantu kita dalam
memahami isi kandungannya, khususnya tentang klaim kebenaran agama yang esklusif.
Kemudian penulisan juga memberikan contoh dari beberapa ayat Al-Qur’an yaitu surat al-
Baqarah ayat 111-113 dengan menggunakan pendekatann ma’na cum maghza.
َو َقاُلْو ا َلْن َّيْدُخ َل اْلَج َّنَة ِااَّل َم ْن َك اَن ُهْو ًدا َاْو َنٰص ٰر ىۗ ِتْلَك َاَم اِنُّيُهْم ۗ ُقْل َهاُتْو ا ُبْر َهاَنُك ْم ِاْن ُكْنُتْم ٰص ِدِقْيَن
Mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, “Tidak akan masuk surga kecuali orang Yahudi atau
Nasrani.”35) Itu (hanya) angan-angan mereka. Katakanlah (Nabi Muhammad), “Tunjukkan
bukti kebenaranmu jika kamu orang-orang yang benar.”
ࣖ َبٰل ى َم ْن َاْس َلَم َو ْج َهٗه ِهّٰلِل َو ُهَو ُم ْح ِس ٌن َفَلٓٗه َاْج ُر ٗه ِع ْنَد َر ِّبٖۖه َو اَل َخ ْو ٌف َع َلْيِهْم َو اَل ُهْم َيْح َز ُنْو َن
Tidak demikian! Orang yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah serta berbuat ihsan,
akan mendapat pahala di sisi Tuhannya, tidak ada rasa takut yang menimpa mereka, dan
mereka pun tidak bersedih.
َو َقاَلِت اْلَيُهْو ُد َلْيَسِت الَّنٰص ٰر ى َع ٰل ى َش ْي ٍۖء َّو َقاَلِت الَّنٰص ٰر ى َلْيَسِت اْلَيُهْو ُد َع ٰل ى َش ْي ٍۙء َّو ُهْم َيْتُل ْو َن اْلِكٰتَۗب َك ٰذ ِلَك َق اَل اَّل ِذ ْيَن اَل َيْع َلُم ْو َن ِم ْث َل
َقْو ِلِهْم ۚ َفاُهّٰلل َيْح ُك ُم َبْيَنُهْم َيْو َم اْلِقٰي َم ِة ِفْيَم ا َكاُنْو ا ِفْيِه َيْخ َتِلُفْو َن
Orang Yahudi berkata, “Orang Nasrani itu tidak menganut sesuatu (agama yang benar)” dan
orang-orang Nasrani (juga) berkata, “Orang-orang Yahudi tidak menganut sesuatu (agama
yang benar),” padahal mereka membaca Kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak
berilmu (musyrik Arab) berkata seperti ucapan mereka itu. Allah akan memberi putusan di
antara mereka pada hari Kiamat tentang apa (agama) yang mereka perselisihkan.
Kemudian dalam memahami tiga hal diatas penulis menggunakan beberapa langkah berikut.
Analisis Linguistik
Wa qalu lan yadkhulana l-jannata illa man kana hudan aw nasara (Q.S. al-
Baqarah:111)
Kata ganti jamak dalam kata kerja qalu (mereka mengatakan) merujuk pada orang-
orang Yahudi dan Kristen di Madinah. Referensi ini dapat dipahami dari ungkapan illä man
kana hüdan aw nasarā (kecuali ia adalah seorang Yahudi atau seorang Kristen’). Jadi,
pernyataan di atas dapat diterjemahkan sebagai berikut: ‘Mereka [yaitu: orang-orang Yahudi
dan orang-orang Nasrani] berkata, “Tidak seorang pun akan masuk surga kecuali orang
Yahudi atau Nasrani.” Pernyataan mereka merupakan klaim kebenaran eksklusif. Namun,
tidak jelas, apakah hal ini dimaksudkan untuk saling mempermalukan di antara kaum Yahudi
dan Nasrani, atau mempermalukan umat Islam. Menurut Fakhr al-Din al-Razi, kemungkinan
pertama tampaknya lebih dekat dengan makna teks, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat 113
yang akan dibahas. Dia mengatakan bahwa Q.S. al-Baqarah: 113 merupakan penjelasan yang
lebih rinci tentang Q.S. al-Baqarah: 111 dengan menyebutkan pernyataan orang Yahudi
terhadap orang Kristen dan sebaliknya.
Tilka amaniyyuhum (Q.S. al-Baqarah: 111)
Kata amani adalah bentuk jamak dari umniyyah, yang berarti berharap untuk sesuatu.
Kata itu memiliki arti yang sama dengan kata munyah (tunggal) atau muna (jamak).
Ungkapan ini ditafsirkan oleh Muqatil ibn Sulayman sebagai tamannaw ‘ala Allah (mereka
berharap pada Tuhan’) Berdasarkan keterangan tersebut, kata ini diterjemahkan oleh Abdul
Haleem dengan ‘wishful thinking (angan-angan) Ungkapan tilka amaniyyuhum kemudian
diterjemahkan dengan Ini angan-angan mereka saja. Arti yang sama dapat ditemukan dalam
terjemahan Jerman: ‘Das sind jedoch nur ihre Wünsche. Ini menunjukkan bahwa klaim
kebenaran mereka dibantah oleh Allah.
Wa qalat al-yahudu laysat al-nasara ‘ala syay’in wa qalat al-naşără laysat al-yahudu
‘ala syay’ (Q.S. 2:113)
Menurut al-Zamakhsyari, kombinasi antara partikel negatif/kata kerja laysa dan kata
syay’ menunjukkan arti negasi yang sangat kuat (al- mubalaghah fi al-nafy). Pernyataan di
atas menunjukkan bahwa orang Yahudi dan Kristen di Madinah pernah berkonflik dan
masing-masing kelompok menuduh kelompok lain tersesat. Sikap menuduh orang lain sesat
semacam ini dikecam oleh Al-Qur’an.
Konteks Historis Mikro: Asbab al-Nuzul
Salah satu contoh ayat yang perlu dipahami dalam konteks historis mikro adalah
Surah Al-Imran (3:64), yang mengatakan, “Katakanlah, ‘Hai Ahli Kitab, marilah kepada
suatu kata yang sama antara kami dan kamu, bahwa kami hanya menyembah Allah, dan tidak
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan tidak (mengambil) seorang yang lain sebagai
tuhan selain Allah.’ Jika mereka berpaling, maka katakanlah, ‘Saksikanlah, bahwa kami
adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).’” Ayat ini menunjukkan upaya dialog
antara umat Islam dan Ahli Kitab, yang pada konteks historisnya adalah orang-orang Kristen
Najran dan para rabi Yahudi di Madinah.
Selain itu, Fakhr al-Din al-Razi juga memberikan perspektif serupa mengenai situasi
tersebut, mencatat bahwa ketika delegasi Kristen Najran datang kepada Nabi Muhammad,
terjadi perdebatan antara mereka dan para rabi Yahudi. Dalam perdebatan tersebut, muncul
tuduhan masing-masing pihak terhadap keyakinan agama lawan. Orang-orang Kristen
menuduh orang-orang Yahudi tidak memahami ajaran Musa dan Taurat, sementara orang-
orang Yahudi tidak mempercayai ajaran Yesus dan Injil.
Ketika kita melihat ayat-ayat Al-Qur’an seperti di atas, pemahaman konteks historis
mikro menjadi kunci untuk mengerti bahwa Al-Qur’an merespons dinamika sosial dan dialog
antar agama yang terjadi pada saat itu. Ini membantu penafsir untuk menafsirkan ayat-ayat
tersebut dengan lebih tepat, mengetahui bahwa mereka tidak hanya bersifat universal tetapi
juga merespons situasi konkret yang melibatkan orang Kristen dan Yahudi pada masa itu.
Dalam konteks pembaca tafsir modern, pemahaman ini juga memberikan pelajaran penting
tentang toleransi, dialog antaragama, dan pentingnya memahami konteks historis sebab nuzul
nya ayat untuk memahami teks suci dengan benar.
Pada bab ini, penulis memberikan gambaran konteks historis makro mengenai Madinah
sebelum dan setelah kedatangan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Sebelum
kedatangan Islam, Madinah adalah komunitas yang plural, terdiri dari orang-orang kafir Arab,
suku-suku Yahudi seperti Aus dan Khazraj, serta sejumlah kecil orang Kristen. Kedatangan
Nabi Muhammad dan pengikutnya melalui migrasi (hijrah) sehingga mengubah dinamika
kota ini.
Konteks historis makro merinci bahwa dalam ayat Al-Quran, Qs Al Baqarah ayat :62,
menyebutkan hubungan dengan komunitas-komunitas beragama yang ada di Madinah. Ayat-
ayat tersebut mencerminkan interaksi, diskusi, dan bahkan konflik yang terjadi antara
komunitas-komunitas ini dalam hal keagamaan. Penafsiran tentang istilah “sabi’in” menjadi
perdebatan di kalangan sarjana Muslim, yang mengilustrasikan kompleksitas hubungan antar
kelompok agama di Madinah.
Selain itu,konteks historis makro menyoroti konflik dan klaim kebenaran yang muncul
dalam interaksi antar komunitas beragama, yang kemudian dikritik oleh Allah dalam ayat-
ayat tertentu. Ini menggaris bawahi pesan penting mengenai pentingnya toleransi, dialog, dan
pemahaman antar komunitas agama.
Dalam penafsiran ma’nacum maghza Penulis menguraikan dengan rinci pesan utama
yang dapat diambil dari beberapa ayat dalam Al-Quran, khususnya Q.S. 2:111-113 dan Q.S.
2:135-136. Pesan utama yang disampaikan adalah tentang penolakan klaim eksklusif atas
kebenaran agama, menekankan bahwa mereka yang tunduk kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan melakukan perbuatan baik akan mendapatkan keselamatan di akhirat, terlepas dari agama
mereka.
Penulis mengkritik pandangan beberapa umat Islam yang mungkin masih memegang
klaim eksklusif terhadap keselamatan dan surga. Mereka menunjukkan bahwa pandangan
semacam itu bertentangan dengan pesan yang disampaikan dalam Al-Quran, yang secara
tegas menekankan inklusivitas dan pluralisme dalam menerima orang-orang yang tunduk
kepada Allah.
Penulis juga mengutip tafsir dari Ibn Kasir, yang menunjukkan pandangan eksklusif, dan
kemudian menekankan perlunya menghindari pandangan semacam itu dan merujuk kepada
penafsiran yang lebih inklusif. Mereka merujuk kepada penafsir seperti Muhammad Syahrur,
yang mengusulkan model penafsiran yang pluralistik dengan memahami “muslimin” sebagai
orang-orang yang tunduk kepada Allah, yang dapat mencakup orang-orang Yahudi, Kristen,
dan yang beriman pada kenabian Muhammad.
Dalam konteks ini, penulis mencoba untuk mengingatkan bahwa Islam memiliki pesan
inklusif yang mendorong keragaman keyakinan dan menghormati keyakinan orang lain yang
tunduk kepada Tuhan. Ini adalah pandangan yang relevan untuk masa kini di mana toleransi
agama dan keragaman menjadi semakin penting dalam masyarakat global.
Di dunia sekarang ini umat Islam membutuhkan teologi Islam baru yangjuga
membicarakan masalah klaim kebenaran agama. Klaim kebenaran agama yang eksklusif
telah membuat komunitas beragama bertingkah buruk, tidak toleran dan bahkan menciptakan
konflik sosial. Karena itu, sangat penting bagi kita untuk secara kritis meninjau kembali
klaim kebenaran tersebut. OS 2: mi-1ng3 dapat menjadi landasan teologis untuk mencegah
klaim kebenaran agama yang eksklusif. Meskipun ayat-ayat ini berbicara tentang klaim
kebenaran antara orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen di Madinah, tetapi pesan
utama mereka (signifikansi, maghza) adalah bahwa semua orang yang berserah diri kepada
Allah Yang Maha Esa, beriman pada Hari Akhir dan melakukan perbuatan baik akan
diselamatkan di akhirat nanti, dan oleh karena itu, orang beriman seharusnya tidak memiliki
klaim kebenaran agama yang eksklusif.
Artikel ini menjelaskan bahwa dalam menafsirkan suatu ayat Sahiron Syamsuddin,
memulai dengan menjelaskan sabab an-nuzul, kemudian memberikan pendapat dari berbagai
mufassir klasik dan modern disertai dengan analisis. Setelah itu memberikan reinterpretasi
dari penafsir yang memunculkan pesan inti dan pengembangan makna.
Dalam penafsiran ma’na cum magzha, mendapati respon dari kalangan sarjana islam. Ada
beberapa yang menolak atau merespon negative dan sebagian lain merespon positif terhadap
pendekatan dan hasil penafsiran yang ditawarkan oleh Sahiron Syamsuddin. Adapun yang
menolak model penafsiran ma’na cum maghza adalah Asep Setiawan, menurutnya model
penafsiran ini memiliki konsekuensi negartif, yakni dengan mengdekontruksi hukum-hukum
yang terkandung dalam Al-Qur’an dan menjungkirbalikkan struktur epistomologi islam.
Menurut penulis artikel ini, ia belom bisa memahami model pendekatan ma’na cum maghza
secara baik dan benar serta memiliki paradigma yang berbeda dengan Sahiron Syamsuddin.
Adapun yang memberikan respon positif salah satunya yakni Abdul Muniz Amir, ia
menerangkan bahwa jenis hermeneutika ma’na cum maghza salah satu jenis hermeneutika
yang tidak keluar dari koridor kaidah-kaidah penafsiran Al-Qur’an. Sebab teori ini dapat
mengkombinasikan antara kaidah tafsir klasik dan hermeneutika yang mengarahkan pada
kontekstualisasi makna yang mampu melahirkan makna kontekstual. Kemudian Mustahidin
Malula juga memberikan respon positif mengenai model pendekatan Ma’na cum Maghza
dengan penjelasan singkat, bahwa model ini dapat digunakan untuk memahami hadis-hadis
musykil.