Anda di halaman 1dari 15

REVIEW PENDEKATAN MA’NA CUM MAGHZA ATAS AL-

QUR’AN DAN

HADIS: MENJAWAB PROBLEMATIKA SOSIAL


KEAGAMAAN DI ERA KONTEMPORER
Sela Safitri Siregar (21105030070), Alisya Muthia Sari (21105030067), Abdurrohman
Arroisiy (21105030021) Fajrur Rahman Marzuki (21105030123) Nawang Kurniawati
(21105030073) Muhammad Rasyidin (21105030051)

Metode Penafsiran dengan Pendekatan Ma’na Cum Maghza

A. Pendahuluan: Tipologi Pemikiran Tafsir Al-Qur’an Pada Masa


Kontemporer

Dalam buku tersebut, Sahiron memberikan penawaran metode baru dalam penafsiran
AlQur’an yakni ma’na cum maghza, metode ini bertujuan untuk menggali makna historis
suatu ayat yang ditafsirkan dan mengembangkannya dalam ranah dinamis (kontekstual).
Karena menurut beliau klasifikasi dan elaborasi Saeed terhadap model dan pendekatan
penafsiran Al-Qur’an kedalam tiga macam, yakini tekstual, semi-tekstual dan kontekstual
belum mampu meng-cover seluruhnya. Melihat kekurangan tersebut, Sahiron berpendapat
bahwa ada tiga macam aliran tafsir Al-Qur’an yang bisa dilihat dari segi pemaknaan.
Yakni;

1. Aliran quasi-obyektivis konservatif

Maksud dari aliran ini adalah bahwasannya suatu pandangan bahwa ajaran-ajaran Al-

Qur’an harus dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada masa kini, sebagaimana
dipahami, ditafsiri dan diaplikasikan pada situasi dimana Al-Qur’an diturunkan kepada
Nabi Muhammad dan disampaikan kepada generasi muslim awal. Pandangan ini
mempunyai tedensi utama memegangi pemahaman literal terhadap Al-Qur’an. ketetapan
hukum yang tertera secara tersurat dalam Al-Qur’an dipandangnya sebagai esensi pesan
Tuhan yang harus diaplikasikan oleh umat islam dimanapun dan kapanpun. Sesuai dengan
motto Al-Qur’an salih li kulli zaman wa makan.

2. Aliran Subyektivis

Aliran ini menegaskan bahwa setiap penafsiran sepenuhnya merupakan subyektivis


penafsir. Atas dasar ini, setiap generasi mempunyai hak untuk menafsirkan Al-Qur’an
sesuai dengan perkembangan ilmu kontemporer . Sesuai dengan adagium; sabat al -nass
wa harakat al muhtawa.

3. Aliran quasi-obyektivis progresif

Aliran ini mewajibkan penafsir untuk menggali makna asal dengan menggunakan
seperangkat metode tafsir dan metode-metode yang lain dan dikontekstualisasikan dengan
masa kini. Kemudian makna di balik pesan literal inilah yang harus diimplementasikan
pada masa kini dan mendatang.

Dari tiga aliran penafsiran diatas, pandangan yang lebih dapat diterima adalah quasi
obyektivis progresif dalam rangka memproyeksikan pengembangan metode pembacaan
Al-Qur’an pada masa kini. Pandangan ini memberikan perhatian yang sama terhadap
makna asal literal (makna asli) dan pesan utama (signifikansi) di balik makna literal. Akan
tetapi dalam hal ini kelompok quasi obyektifis progresif tidak menjelaskan secara detail
terkait dengan signifikansi yang dimaksud, apakah signifikansi tersebut adalah
signifikansi pada masa nabi atau pada saat ayat itu diinterpretasikan? Kemudian hal ini
dijelaskan lebih lanjut oleh Sahiron, bahwasannya signifikansi yang dimaksud terdapat
dua macam. Pertama, signifikansi fenomenal yakni pesan utama yang dipahami dan
diaplikasikan secara kontekstual dan dinamis mulai pada masa nabi hingga saat ayat
ditafsirkan dalam periode tertentu. Dari penjelasan ini signifikansi fenomenal kemudian
terbagi menjadi dua yakni signifikansi fenomenal historis dan signifikansi fenomenal
dinamis. Kedua, signifikansi Ideal yakni akumulasi ideal dari pemahaman-pemahaman
terhadap signifikansi ayat. Akumulasi pemahaman ini akan diketahui pada akhir atau
tujuan peradaban manusia yang dikehendaki oleh Allah Swt. Dari sini kemudian dapat
diketahui bahwasannya sesuatu yang dinamis dari penafsiran bukan terletak pada makna
literal teks melainkan pada pemaknaan terhadap signifikansi (pesan utama) teks.
B. Langkah-langkah Metodis Penafsiran Berbasis Ma’na Cum Maghza

Sahiron menengaskan kembali bahwa pendekatan ma’na cum maghza adalah


pendekatan di mana seseorang menggali makna dan pesan utama historis.

1. Penggalian Makna Historis (al-ma’na al-tarikhi) dan Signifikansi Fenomenal Historis


(al-maghza al-tarikhi)
a. Penafsir menganalisa bahasa teks Al-Qur’an, baik kosa kata maupun strukturnya.
Al-Syāṭibī menegaskan bahwa untuk memahami Al-Qur’an seseorang harus
mencermati bagaimana bahasa Arab saat itu digunakan oleh bangsa Arab. Menurut
para ahli bahasa, bahasa apapun, termasuk Bahasa Arab itu mengalami diakroni
(perkembangan dari masa ke masa), baik dalam hal struktur maupun makna lafal.
Karena itu, ketika menerjemahkan atau menafsirkan kosakata dari Al-Qur’an,
seseorang harus memperhatikan penggunaan dan makna kosakata tersebut saat
diturunkannya.
Sebagai contoh, kata Arab ikhlāṣ yang mempunyai makna dasar “memurnikan
sesuatu” mengalami diakroni atau perkembangan makna. Dalam tradisi pra-Islam,
kata tersebut merujuk pada tindakan membuat sesuatu secara murni, tidak
bercampur dengan yang lain, dalam konteks sekuler. Sementara itu, dalam
AlQur’an ia digunakan dengan tetap membawa makna dasar tersebut, baik dalam
konteks sekuler maupun dalam konteks agama. Dalam konteks keagamaan, ia
berarti ‘keyakinan pada satu Tuhan’ (monoteisme), sehingga maknanya sama
dengan tawḥīd (keesaan Allah), yang belum digunakan untuk makna tersebut pada
saat diturunkannya Al-Qur’an. Salah satu bukti yang dapat mendukung hal ini
adalah bahwa surat yang ayat-ayatnya berbicara tentang tauhid disebut dengan
Sūrat al-Ikhlāsh.
b. Untuk mempertajam analisa ini penafsir melalukan intratektualitas, dalam arti
membandingkan dan menganalisa penggunaan kata yang sedang ditafsirkan itu
dengan penggunaannya di ayat-ayat lain.
Sebagai contoh, Kata mukhliṣ lahū al-dīn di Q.S. al-Zumar: 2, misalnya, dapat
bisa dipastikan berarti “orang yang memurnikan penyembahan hanya kepada
Allah” dengan memperhatikan hubungan ayat tersebut dengan ayat-ayat
berikutnya (yakni: Q.S. al-Zumar: 3-6) yang berbicara tentang ketauhidan dan
larangan syirik (menyekutukan Allah).
Selanjutnya, bila diperlukan, penafsir mengelaborasi sejauh mana kosa kata
dalam Al-Qur’an itu memiliki makna dasar (basic meaning) dan mengalami
dinamisasi makna (dalam bentuk relational meaning).
Penting juga bahwa setiap kata/istilah yang sedang ditafsirkan dianalisa secara
sintagmatik dan paradigmatic
- Analisa sintagmatik adalah analisa linguistik dimana seorang penafsir
dalam menafsirkan sebuah kata/istilah memperhatikan makna kata/istilah
yang ada sebelum dan sesudahnya dalam sebuah kalimat atau lebih yang
masih berhubungan (kitab: al wujuh wa anzair)
c. Penafsir juga melakukan analisa intertekstualitas (apabila diperlukan), yakni
analisa dengan cara menghubungkan dan membandingkan antara ayat Al-Qur’an
dengan teks-teks lain yang ada di sekitar Al-Qur’an
d. Penafsir memperhatikan konteks historis pewahyuan ayat-ayat AlQur’an, baik itu
yang bersifat mikro ataupun bersifat makro.
- Konteks historis makro adalah konteks yang mencakup situasi dan kondisi
di Arab pada masa pewahyuan Al-Qur’an,
- konteks historis mikro adalah kejadian-kejadian kecil yang
melatarbelakangi turunnya suatu ayat, yang biasa disebut dengan sabab al-
nuzūl
Tujuan utama memperhatikan konteks historis penurunan ayat tertentu adalah
memahami makna historis dari kosa kata dalam ayat tertentu dan maksud
utama ayat ketika diturunkan.
e. Penafsir mencoba menggali maqṣad atau maghzā al-āyah terkadang disebutkan
secara eksplisit di dalam ayat dan sering sekali tidak disebutkan

2. Membangun/Kontruksi Signifikansi Fenomenal Dinamis


Seorang penafsir berusaha mengembangkan definisi dan kemudian
mengimplementasi signikansi ayat untuk konteks ketika teks Al-Qur’an itu ditafsirkan.

Adapun langkah-langkah metodisnya adalah sebagai berikut:


a. Penafsir menentukan kategori ayat. Sebagian ulama membagi kategori ayat
menjadi tiga bagian besar, yakni: (1) ayat-ayat tentang ketauhidan, (2) ayat-ayat
hukum, dan (3) ayat-ayat tentang kisah-kisah nabi dan umat terdahulu.
Kategorisasi ini sangat penting dalam rangka menentukan sejauhmana seseorang
bisa melakukan kontekstualisasi dan merekonstruksi ‘signifikansi fenomenal
dinamis’.
b. Penafsir mengembangkan hakekat/definisi dan cakupan “signifikansi fenomenal
historis” atau al-maghzā al-tārikhī untuk kepentingan dan kebutuhan pada konteks
kekinian (waktu) dan kedisinian (tempat), signifikansi fenomenal dinamis ini akan
terus berkembang pada setiap masa dan bisa saja bervariasi implementasinya. Di
sinilah terdapat sisi subyektivitas penafsir dalam mengkomunikasikan apa yang
terdapat di dalam teks Al-Qur’an dengan realita kehidupan dan nilai sosial yang
ada. Yang pasti adalah bahwa hal ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa teks
Al-Qur’an itu ṣāliḥ li kulli zamān wa makān (sesuai untuk segala zaman dan
tempat) dan kitab suci ini diturunkan untuk kemaslahatan manusia dan alam
semesta
c. Penafsir menangkap makna-makna simbolik ayat Al-Qur’an. Sebagian ulama
berpandangan bahwa makna lafal dalam Al-Qur’an itu memiliki empat level
makna: (1) ẓāhir (makna lahiriah/literal), (2) bāṭin (makna batin/simbolik), (3)
ḥadd (makna hukum), dan (4) maṭla‘ (makna puncak/spiritual).
d. Penafsir mengembangkan penafsiran dengan mengunakan perspektif yang lebih
luas. Seorang penafsir selanjutnya memperkuat argumentasinya dengan
menggunakan ilmu-ilmu bantu lain, speprti Psikologi, Sosiologi, Antroplogi dan
lain sebagainya dalam batas yang cukup dan tidak terlalu berpanjang lebar.

Klaim Kebenaran Agama yang Eksklusif Menurut Al-Qur’an: Aplikasi Pendekatan


Ma’na Cum Maghza pada Q.S. al-Baqarah:111-113

Pengantar
Pada bagian ini penulis menjelaskan mengenai klaim kebenaran agama yang ekslusif.
Klaim keberagamaan eksklusif (exclusivist religious truth claim) yang merupakan salah satu
faktor penyebab munculnya intoleransi dalam berinteraksi antar umat beragama adalah suatu
sikap yang menunjukan bahwa kebenaran hanya dimiliki satu agama saja, dan bahwa agama
lain yang berbeda darinya adalah salah dan sama sekali tidak mengandung kebenaran
sedikitpun. Penulis juga menjelaskan bahwa klaim kebenaran esklusif yang seperti itu,
beberapa kelompok tertentu mempercayai jika hanya yang mengikuti kelompok mereka saja
yang akan diselamatkan oleh Allah di akhirat kelak, sementara mereka beranggapan
kelompok lain berada pada jalan yang salah dan tidak akan diselamatkan. Bahkan sikap
seperti itu sudah menyebar dalam masyarakat kita dan menjadi tantangan yang perlu
diperhatikan bagi masyarakat yang plural dari segi agama saat ini. Sikap tersebut juga dapat
membawa dampak negatif bagi sosial politik karena bisa dipergunakan untuk melegitimasi
tindakan diskriminatif terhadap orang lain yang menganut agama berbeda.

Umat Islam meyakini bahwa Al-Qur’an berisi tuntunan dan petunjuk (hidayah) untuk
kehidupan sehari-hari, dan karena itu, berusaha berperilaku sesuai dengan pemahaman
mereka tentang Al-Qur’an. Para sarjana dalam Kajian Al-Qur’an membantu kita dalam
memahami isi kandungannya, khususnya tentang klaim kebenaran agama yang esklusif.
Kemudian penulisan juga memberikan contoh dari beberapa ayat Al-Qur’an yaitu surat al-
Baqarah ayat 111-113 dengan menggunakan pendekatann ma’na cum maghza.

 Q.S. al-Baqarah ayat 111-113:

‫َو َقاُلْو ا َلْن َّيْدُخ َل اْلَج َّنَة ِااَّل َم ْن َك اَن ُهْو ًدا َاْو َنٰص ٰر ىۗ ِتْلَك َاَم اِنُّيُهْم ۗ ُقْل َهاُتْو ا ُبْر َهاَنُك ْم ِاْن ُكْنُتْم ٰص ِدِقْيَن‬

Mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, “Tidak akan masuk surga kecuali orang Yahudi atau
Nasrani.”35) Itu (hanya) angan-angan mereka. Katakanlah (Nabi Muhammad), “Tunjukkan
bukti kebenaranmu jika kamu orang-orang yang benar.”

‫ࣖ َبٰل ى َم ْن َاْس َلَم َو ْج َهٗه ِهّٰلِل َو ُهَو ُم ْح ِس ٌن َفَلٓٗه َاْج ُر ٗه ِع ْنَد َر ِّبٖۖه َو اَل َخ ْو ٌف َع َلْيِهْم َو اَل ُهْم َيْح َز ُنْو َن‬

Tidak demikian! Orang yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah serta berbuat ihsan,
akan mendapat pahala di sisi Tuhannya, tidak ada rasa takut yang menimpa mereka, dan
mereka pun tidak bersedih.

‫َو َقاَلِت اْلَيُهْو ُد َلْيَسِت الَّنٰص ٰر ى َع ٰل ى َش ْي ٍۖء َّو َقاَلِت الَّنٰص ٰر ى َلْيَسِت اْلَيُهْو ُد َع ٰل ى َش ْي ٍۙء َّو ُهْم َيْتُل ْو َن اْلِكٰتَۗب َك ٰذ ِلَك َق اَل اَّل ِذ ْيَن اَل َيْع َلُم ْو َن ِم ْث َل‬
‫َقْو ِلِهْم ۚ َفاُهّٰلل َيْح ُك ُم َبْيَنُهْم َيْو َم اْلِقٰي َم ِة ِفْيَم ا َكاُنْو ا ِفْيِه َيْخ َتِلُفْو َن‬
Orang Yahudi berkata, “Orang Nasrani itu tidak menganut sesuatu (agama yang benar)” dan
orang-orang Nasrani (juga) berkata, “Orang-orang Yahudi tidak menganut sesuatu (agama
yang benar),” padahal mereka membaca Kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak
berilmu (musyrik Arab) berkata seperti ucapan mereka itu. Allah akan memberi putusan di
antara mereka pada hari Kiamat tentang apa (agama) yang mereka perselisihkan.

 Penafsiran atas Q.S. al-Baqarah 111-113


Disini penulis menerangkan mengenai penafsiran menggunakan interpretasi pendekatan
ma’na cum maghza yang mempertimbangkan aspek bahasa dari ayat-ayat yang dibahas dan
konteks sosio-historisnya dalam rangka memahami
1) Makna historis (al-ma’na al-tarikhi) atau makna aslinya (al-ma’na al-asli)
2) Signifikasi/pesan utama historis (al-maghza al-tarikhi)
3) Pesan utama kontemporer (al-maghza al-mu’sirah) pada masa reinterpretasi.

Kemudian dalam memahami tiga hal diatas penulis menggunakan beberapa langkah berikut.
Analisis Linguistik

 Wa qalu lan yadkhulana l-jannata illa man kana hudan aw nasara (Q.S. al-
Baqarah:111)
Kata ganti jamak dalam kata kerja qalu (mereka mengatakan) merujuk pada orang-
orang Yahudi dan Kristen di Madinah. Referensi ini dapat dipahami dari ungkapan illä man
kana hüdan aw nasarā (kecuali ia adalah seorang Yahudi atau seorang Kristen’). Jadi,
pernyataan di atas dapat diterjemahkan sebagai berikut: ‘Mereka [yaitu: orang-orang Yahudi
dan orang-orang Nasrani] berkata, “Tidak seorang pun akan masuk surga kecuali orang
Yahudi atau Nasrani.” Pernyataan mereka merupakan klaim kebenaran eksklusif. Namun,
tidak jelas, apakah hal ini dimaksudkan untuk saling mempermalukan di antara kaum Yahudi
dan Nasrani, atau mempermalukan umat Islam. Menurut Fakhr al-Din al-Razi, kemungkinan
pertama tampaknya lebih dekat dengan makna teks, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat 113
yang akan dibahas. Dia mengatakan bahwa Q.S. al-Baqarah: 113 merupakan penjelasan yang
lebih rinci tentang Q.S. al-Baqarah: 111 dengan menyebutkan pernyataan orang Yahudi
terhadap orang Kristen dan sebaliknya.
 Tilka amaniyyuhum (Q.S. al-Baqarah: 111)
Kata amani adalah bentuk jamak dari umniyyah, yang berarti berharap untuk sesuatu.
Kata itu memiliki arti yang sama dengan kata munyah (tunggal) atau muna (jamak).
Ungkapan ini ditafsirkan oleh Muqatil ibn Sulayman sebagai tamannaw ‘ala Allah (mereka
berharap pada Tuhan’) Berdasarkan keterangan tersebut, kata ini diterjemahkan oleh Abdul
Haleem dengan ‘wishful thinking (angan-angan) Ungkapan tilka amaniyyuhum kemudian
diterjemahkan dengan Ini angan-angan mereka saja. Arti yang sama dapat ditemukan dalam
terjemahan Jerman: ‘Das sind jedoch nur ihre Wünsche. Ini menunjukkan bahwa klaim
kebenaran mereka dibantah oleh Allah.

 Qul hatu burhanakum (Q.S. al-Baqarah: 111)


Ungkapan hátú burhanakum berarti “Tunjukkan bukti kebenaranmu Kata hati,
menurut al-Zamakhsyari, memiliki arti yang sama dengan ahdir (datangkanlah atau
tunjukkanlah) Muqatil ibn Sulayman menafsirkan kata burhanakum dengan hujjatakum min
al-tawrat wa al-injil (bukti kebenaran kalian dari Taurat dan Injil). Untuk menolak klaim
kebenaran seperti itu, Nabi Muhammad diperintahkan untuk menantang mereka untuk
memberikan bukti (burhan). Hal ini sulit bagi mereka karena masuk surga adalah salah satu
aspek eskatologis yang hanya diketahui oleh Allah.

 Bala man aslama wajhahu li Allahi wa huwa muhsinun (Q.S. al-Baqarah:112)


Menurut al-Zamakhsyari, kata bala disebutkan di sini agar Nabi Muhammad menolak
klaim kebenaran orang-orang Yahudi dan Kristen di Madinah. Ungkapan man aslama
wajhahu li Allahi ditafsirkan oleh al- Zamakhsyari dengan man akhlaşa nafsahu lahu la
yusyriku bi-hi ghayrahu (siapapun yang menyucikan dirinya untuk Tuhan dan tidak
mensekutukan- Nya dengan yang lain). Ungkapan itu berarti bahwa dia percaya pada Tuhan
yang Esa dan Satu-satunya. Demikian pula, al-Tabari menafsirkan ungkapan itu dengan
“orang-orang yang berserah diri kepada Tuhan dengan cara yang tulus.” Al-Razi memiliki
interpretasi yang serupa. Dia menegaskan bahwa makna man aslama wajhahu adalah ‘mereka
yang menyerahkan diri mereka untuk ketaatan kepada Allah (islám al nafs li ta’at Allah).
Seorang penafsir modern, Ibn ‘Asyur, mengatakan dalam al-Tahrir wa al-Tanwir, bahwa arti
dari kata islam adalah “taslim al-zat li awamir Allah” (kepatuhan total orang terhadap
perintah-perintah Allah’). Karena itu, ia berkata, “Surga tidak akan menjadi monopoli bagi
siapapun, tetapi surga akan dimiliki oleh semua orang yang tunduk kepada Tuhan. Semua
penafsir itu sepakat dalam hal bahwa kata aslama tidak berarti ‘masuk Islam’ secara
eksklusif, tetapi tunduk kepada Tuhan, terlepas dari kenyataan apakah seseorang itu seorang
Yahudi. Kristen atau Muslim.
Terkait dengan ungkapan wa-huwa muhsinun, para penafsir berbeda pendapat.
Menurut al-Tabari, ia berarti bahwa penyerahan seseorang kepada Tuhan harus tulus. Tidak
seperti al-Tabari, al-Razi mengatakan bahwa ungkapan itu berarti bahwa “kepatuhan
seseorang kepada Tuhan harus diikuti oleh perbuatan baik kepada orang lain, bukan
perbuatan buruk.” Ibn ‘Asyur mencoba untuk menggabungkan dua pendapat tersebut dengan
mengatakan bahwa muhsin tidak cukup hanya menyerahkan hati seseorang kepada Allah dan
melakukan perbuatan baik, melainkan juga dengan ikhlas (pengabdian tulus).”

 Fa lahu ajruhu ‘inda rabbihi wa la khawfun ‘alayhim wa la hum yaḥzanina (Q.S.


2:112)
Pernyataan ini menegaskan bahwa mereka yang mengabdikan diri akan dihargai oleh
Allah, tidak ada rasa takut bagi mereka, dan bahwa mereka tidak akan bersedih di akhirat
nanti. Tidak ada kata-kata sulit di sini, kecuali perubahan struktural atau perubahan dari kata
ganti tunggal ke jamak.

 Wa qalat al-yahudu laysat al-nasara ‘ala syay’in wa qalat al-naşără laysat al-yahudu
‘ala syay’ (Q.S. 2:113)
Menurut al-Zamakhsyari, kombinasi antara partikel negatif/kata kerja laysa dan kata
syay’ menunjukkan arti negasi yang sangat kuat (al- mubalaghah fi al-nafy). Pernyataan di
atas menunjukkan bahwa orang Yahudi dan Kristen di Madinah pernah berkonflik dan
masing-masing kelompok menuduh kelompok lain tersesat. Sikap menuduh orang lain sesat
semacam ini dikecam oleh Al-Qur’an.
 Konteks Historis Mikro: Asbab al-Nuzul

Sebelum menyebutkan konteks historis dari ayat-ayat di atas,penulis mengutip


pandangan Angelika Neuwirt mengenai konteks historis mikro Al-Qur’an memberikan
wawasan yang penting untuk memahami ayat-ayat dalam Al-Qur’an. Neuwirth menyoroti
bahwa Al-Qur’an awalnya adalah komunikasi lisan yang ditujukan kepada pendengar pra-
Islam, terutama mereka yang memiliki latar belakang beragama yang beragam, termasuk
penyembah berhala, orang-orang yang mengikuti tradisi monoteistik, orang Yahudi, dan
Kristen. Dengan demikian, Al-Qur’an tidak hanya ditujukan kepada umat Islam, tetapi juga
kepada audiens yang beragam dalam praktik keagamaan mereka.

Salah satu contoh ayat yang perlu dipahami dalam konteks historis mikro adalah
Surah Al-Imran (3:64), yang mengatakan, “Katakanlah, ‘Hai Ahli Kitab, marilah kepada
suatu kata yang sama antara kami dan kamu, bahwa kami hanya menyembah Allah, dan tidak
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan tidak (mengambil) seorang yang lain sebagai
tuhan selain Allah.’ Jika mereka berpaling, maka katakanlah, ‘Saksikanlah, bahwa kami
adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).’” Ayat ini menunjukkan upaya dialog
antara umat Islam dan Ahli Kitab, yang pada konteks historisnya adalah orang-orang Kristen
Najran dan para rabi Yahudi di Madinah.

Selain itu, Fakhr al-Din al-Razi juga memberikan perspektif serupa mengenai situasi
tersebut, mencatat bahwa ketika delegasi Kristen Najran datang kepada Nabi Muhammad,
terjadi perdebatan antara mereka dan para rabi Yahudi. Dalam perdebatan tersebut, muncul
tuduhan masing-masing pihak terhadap keyakinan agama lawan. Orang-orang Kristen
menuduh orang-orang Yahudi tidak memahami ajaran Musa dan Taurat, sementara orang-
orang Yahudi tidak mempercayai ajaran Yesus dan Injil.

Ketika kita melihat ayat-ayat Al-Qur’an seperti di atas, pemahaman konteks historis
mikro menjadi kunci untuk mengerti bahwa Al-Qur’an merespons dinamika sosial dan dialog
antar agama yang terjadi pada saat itu. Ini membantu penafsir untuk menafsirkan ayat-ayat
tersebut dengan lebih tepat, mengetahui bahwa mereka tidak hanya bersifat universal tetapi
juga merespons situasi konkret yang melibatkan orang Kristen dan Yahudi pada masa itu.
Dalam konteks pembaca tafsir modern, pemahaman ini juga memberikan pelajaran penting
tentang toleransi, dialog antaragama, dan pentingnya memahami konteks historis sebab nuzul
nya ayat untuk memahami teks suci dengan benar.

 Konteks Historis Makro

Pada bab ini, penulis memberikan gambaran konteks historis makro mengenai Madinah
sebelum dan setelah kedatangan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Sebelum
kedatangan Islam, Madinah adalah komunitas yang plural, terdiri dari orang-orang kafir Arab,
suku-suku Yahudi seperti Aus dan Khazraj, serta sejumlah kecil orang Kristen. Kedatangan
Nabi Muhammad dan pengikutnya melalui migrasi (hijrah) sehingga mengubah dinamika
kota ini.

Konteks historis makro merinci bahwa dalam ayat Al-Quran, Qs Al Baqarah ayat :62,
menyebutkan hubungan dengan komunitas-komunitas beragama yang ada di Madinah. Ayat-
ayat tersebut mencerminkan interaksi, diskusi, dan bahkan konflik yang terjadi antara
komunitas-komunitas ini dalam hal keagamaan. Penafsiran tentang istilah “sabi’in” menjadi
perdebatan di kalangan sarjana Muslim, yang mengilustrasikan kompleksitas hubungan antar
kelompok agama di Madinah.

Selain itu,konteks historis makro menyoroti konflik dan klaim kebenaran yang muncul
dalam interaksi antar komunitas beragama, yang kemudian dikritik oleh Allah dalam ayat-
ayat tertentu. Ini menggaris bawahi pesan penting mengenai pentingnya toleransi, dialog, dan
pemahaman antar komunitas agama.

Secara keseluruhan, konteks historis makro memberikan wawasan berharga tentang


transformasi sosial dan agama yang terjadi di Madinah sehubungan dengan kedatangan Islam,
serta pentingnya pemahaman dan dialog antar beragama dalam konteks sejarah tersebut.
 Ma’nacum Maghza

Dalam penafsiran ma’nacum maghza Penulis menguraikan dengan rinci pesan utama
yang dapat diambil dari beberapa ayat dalam Al-Quran, khususnya Q.S. 2:111-113 dan Q.S.
2:135-136. Pesan utama yang disampaikan adalah tentang penolakan klaim eksklusif atas
kebenaran agama, menekankan bahwa mereka yang tunduk kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan melakukan perbuatan baik akan mendapatkan keselamatan di akhirat, terlepas dari agama
mereka.

Penulis mengkritik pandangan beberapa umat Islam yang mungkin masih memegang
klaim eksklusif terhadap keselamatan dan surga. Mereka menunjukkan bahwa pandangan
semacam itu bertentangan dengan pesan yang disampaikan dalam Al-Quran, yang secara
tegas menekankan inklusivitas dan pluralisme dalam menerima orang-orang yang tunduk
kepada Allah.

Penulis juga mengutip tafsir dari Ibn Kasir, yang menunjukkan pandangan eksklusif, dan
kemudian menekankan perlunya menghindari pandangan semacam itu dan merujuk kepada
penafsiran yang lebih inklusif. Mereka merujuk kepada penafsir seperti Muhammad Syahrur,
yang mengusulkan model penafsiran yang pluralistik dengan memahami “muslimin” sebagai
orang-orang yang tunduk kepada Allah, yang dapat mencakup orang-orang Yahudi, Kristen,
dan yang beriman pada kenabian Muhammad.

Dalam konteks ini, penulis mencoba untuk mengingatkan bahwa Islam memiliki pesan
inklusif yang mendorong keragaman keyakinan dan menghormati keyakinan orang lain yang
tunduk kepada Tuhan. Ini adalah pandangan yang relevan untuk masa kini di mana toleransi
agama dan keragaman menjadi semakin penting dalam masyarakat global.

Di dunia sekarang ini umat Islam membutuhkan teologi Islam baru yangjuga
membicarakan masalah klaim kebenaran agama. Klaim kebenaran agama yang eksklusif
telah membuat komunitas beragama bertingkah buruk, tidak toleran dan bahkan menciptakan
konflik sosial. Karena itu, sangat penting bagi kita untuk secara kritis meninjau kembali
klaim kebenaran tersebut. OS 2: mi-1ng3 dapat menjadi landasan teologis untuk mencegah
klaim kebenaran agama yang eksklusif. Meskipun ayat-ayat ini berbicara tentang klaim
kebenaran antara orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen di Madinah, tetapi pesan
utama mereka (signifikansi, maghza) adalah bahwa semua orang yang berserah diri kepada
Allah Yang Maha Esa, beriman pada Hari Akhir dan melakukan perbuatan baik akan
diselamatkan di akhirat nanti, dan oleh karena itu, orang beriman seharusnya tidak memiliki
klaim kebenaran agama yang eksklusif.

 Pendekatan Ma’na-cum-Maghza dalam Perbincangan Egi Tanadi Taufik,

Mida Hardianti dan Neny Muthiatul Awwaliyah UIN Sunan Kalijaga


Yogyakarta

Seperti yang kita ketahui pendekatan Ma’na-cum-Maghza merupakan pendekatan yang


dicanangkan oleh Sahiron syamsudin. Pendekatan ini dipahami sebagai metode interpretasi
al-qur’an yang concern pada aspek tekstual dan aspek kontekstual yang signifikan di Tengah
Masyarakat (maghza). Di Tengah cepatnya tranformasi al qur’an dan hadis dalam
kompleksitas masyarakat kontemporer yang dinamis, sahiron syamsudin hendak
mempersempit juraang pemisah antar dua tradisi studi agama. Yakni penelitian bercorak
tekstual-normatif-doktriner dan penilitian bercorak kontekstual-filosofis-kritis.

Artikel ini berusaha mengungkap praktik metodologis dalam konsep ma’na-cum-maghza


sahiron syamsudin. Dalam tulisan ini penulis berupaya merekontruksi akar Sejarah
intelektualitas sahiron syamsudin dan horizon yang terbentuk di dalamnya. Singkat kata,
tulisan ini diharapkan mampu memberikan gambaran sistematik mengenai metode penelitian
ma’na-cum-maghza yang holistik dan ideal.

Dalam mencari pemikiran beliau tersebut, penulis berusaha mengumpulkan pada


beberapa teori yang sering beliau gunakan. Beberapa teori beliau yang penulis dapat antara
lain :
- Fusion of horizons (asimilasi horison) dan effective historis (sejarah yang berpengaruh)
yang dikemukakan oleh Hans Georg Gadamer
- Al ahkam al marhaliyah (ketetapan hukum-hukum temporer dan lokal) yang diusung oleh
Muhammad shahrour
- Siyaq al Kalam yang ditegaskan oleh bint syathi’
- Double-movement (gerakan ganda) yang digagas oleh Fazlur Rahman
- Al tafsir al siyaqi (tafsir kontekstual) yang diusung oleh Nasr Hamid abu Zaid
- Maqashid al syariah jasser auda.

Selain merujuk pada pemikiran tokoh-tokoh kontemporer, sahiron Syamsudin juga


merujuk pada beberapa pemikir era perkembangan dan modern semisal
- Abu Ishaq al syatibi dengan konsep al ma’na al asli (original meaning)
- Muhammad al Zarkasyi dengan konsep murad al lafazh (intention if the text)
- Frederich scheleimacher dengan grammatical-psychologial hermeneutics.

Kemudian setelah menganalisa beberapa data, penulis menemukan setidaknya 7


pendekatan studi Al Qur’an dan Hadits yang dapat dikaitkan dengan Ma’na-cum-Maghza :
1. Strukturalisme linguistik
2. Studi tematik (intratekstual)
3. Filsafat hukum Islam
4. Asbab al nuzul al qadimah (mikro dan makro)
5. Asbab al jadidah (kontekstual)
6. Maqashid al syar’iah
7. Al ma’na al asli

Di sisi lain, penulis juga merumuskan setidaknya 14 akademisi yang sekiranya


memberikan signifikansi pada pemikiran sahiron Syamsudin, terutama pada proses
perumusan Ma’na-cum-Maghza.

Artikel ini menjelaskan bahwa dalam menafsirkan suatu ayat Sahiron Syamsuddin,
memulai dengan menjelaskan sabab an-nuzul, kemudian memberikan pendapat dari berbagai
mufassir klasik dan modern disertai dengan analisis. Setelah itu memberikan reinterpretasi
dari penafsir yang memunculkan pesan inti dan pengembangan makna.

Dalam penafsiran ma’na cum magzha, mendapati respon dari kalangan sarjana islam. Ada
beberapa yang menolak atau merespon negative dan sebagian lain merespon positif terhadap
pendekatan dan hasil penafsiran yang ditawarkan oleh Sahiron Syamsuddin. Adapun yang
menolak model penafsiran ma’na cum maghza adalah Asep Setiawan, menurutnya model
penafsiran ini memiliki konsekuensi negartif, yakni dengan mengdekontruksi hukum-hukum
yang terkandung dalam Al-Qur’an dan menjungkirbalikkan struktur epistomologi islam.
Menurut penulis artikel ini, ia belom bisa memahami model pendekatan ma’na cum maghza
secara baik dan benar serta memiliki paradigma yang berbeda dengan Sahiron Syamsuddin.

Adapun yang memberikan respon positif salah satunya yakni Abdul Muniz Amir, ia
menerangkan bahwa jenis hermeneutika ma’na cum maghza salah satu jenis hermeneutika
yang tidak keluar dari koridor kaidah-kaidah penafsiran Al-Qur’an. Sebab teori ini dapat
mengkombinasikan antara kaidah tafsir klasik dan hermeneutika yang mengarahkan pada
kontekstualisasi makna yang mampu melahirkan makna kontekstual. Kemudian Mustahidin
Malula juga memberikan respon positif mengenai model pendekatan Ma’na cum Maghza
dengan penjelasan singkat, bahwa model ini dapat digunakan untuk memahami hadis-hadis
musykil.

Anda mungkin juga menyukai