Anda di halaman 1dari 2

Membaca Islam Pasca 212

Dunia sedang bergerak ke Kanan?

"Pemilu Belanda dibayang-bayangi populisme," begitu bunyi berita di tv.


Bahkan, kata berita itu, hasil Pemilu di Belanda ini akan bisa digunakan
untuk membaca kecenderungan, warna dan arah politik Eropa. Belakangan
--- setelah diserbu imigran dan terorisme --- rasialisme, intoleransi, juga
islamic phobia meningkat di Eropa. Populisme sayap kanan banyak
mendapat tempat di negara-negara Eropa dan Amerika.

Popularitas tokoh sayap kanan pengusung anti migran dan UE, seperti
Marine le Pen (Prancis), Geert Wilders (Belanda) dan Frauke Petry (Jerman)
semakin menguat dan mendapat banyak simpati dan dukungan - (kompas
27/12/16). Puncaknya adalah Brexit dan terpilihnya Trump.

Apakah di Indonesia mengalami hal serupa? Ada yang menyebut, pasca


"212" Indonesia mulai mengikuti trend yang sama seperti di Eropa:
menguatnya populisme sayap kanan. Bahkan, ada yang mengkhawatirkan
terpilihnya calon tertentu dalam Pilkada Jakarta pun akan semakin
memperkuat fundamentalisme, radikalisme, bahkan terorisme (seperti ISIS)
di Indonesia. Saya kira terlalu serampangan dan berlebihan

"Para kiai dan ulama di NU dan Muhammadiyah sudah tidak lagi menjadi
rujukan utama bagi mayoritas masyarakat dalam menjalankan kehidupan
keagamaan," kata Ahmad Najib Burhani, peneliti LIPI

Menurutnya, keterlibatan beragam elemen umat Islam (dalam aksi beberapa


waktu lalu) menunjukkan bahwa pengaruh NU dan Muhammadiyah mulai
terkikis. (Kompas, 20/01)

Kesimpulan Najib ini, bagi saya, terlalu simplifistik, terlampau


menyederhanakan persoalan. Najib ibarat sedang melihat isi rumah dari
lubang kuci pintu rumah.

Peristiwa "Bela Islam" (1,2,3) tidak lantas menghasilkan sebuah kesimpulan,


bahwa: pertama, fundamentalisme Islam sedang dipuncak kejayaan
mengalahkan kelompok moderat.

Pertanyaan saya, apakah seluruh umat Isam yang mengikuti aksi semuanya
"islamis"? (fundamentalis, ekstrimis, radikalis, atau kategori apapun untuk
menyebut kelompok "kanan")

Fakta di lapangan menunjukkan, saya punya banyak kawan yang ikut aksi,
tetapi dalam soal paham kebangsaan sudah "clear" (NKRI, Pancasila, dan
UUD 45). Alasan mereka mengikuti aksi karena mereka tersinggung ucapan
Ahok soal al-Maidah itu.

Hanya saja, orang-orang NU yang ikut aksi itu kebanyakan tak paham peta
idelogi politik-keagamaan bahwa pemimpin dan penggerak aksi demo itu
kebanyakan tokoh-tokoh neo-Masyumi yang sejak dulu memusuhi NU.
(mereka nyinyir terhadap kiai-kiai NU)

Najib, dalam hal ini, hanya melihat "massa", kerumunan, tapi melupakan
"individu" sebagai sama-sama sebuah fakta. Ada baiknya Najib membaca
dulu artikel Greg Fealy soal aksi ini.

2) Riziek Syihab sebagai "man of the year" atau "imam besar" umat Islam.
Riziek Syihab bukanlah aktor tunggal dalam aksi ini. Orang-orang datang
bergelombol membanjiri Jakarta bukan karena Riziek Syihab. Mungkin hanya
FPI dan simpatisannya saja. Itu pun tak seberapa. Bukankah selama ini
Riziek Syihab sendiri tak pernah dihitung oleh Jokowi (Jangankan ditemui,
disalami pun tak pernah).

Riziek Syihab secara kebetulan bertemu dengan momentum yang pas ---
sejak dulu dia anti dan beberapa kali mendemo Ahok. Kali ini isunya menjual
dan memantik sentimen umat Islam.

Apakah NU perlu show of force dengan menggerakkan simpul-simpul


pesantren dan jaringan ulama, kiai, dan habaib di seluruh Indonesia untuk
menunjukkan pada dunia dan Najib Burhani bahwa NU tak bisa diremehkan?

Jika hanya untuk merespon "aksi belas Islam", terlalu kerdil NU melakukan
aksi kekanak-kanakan seperti yang ditunjukkan Aliansi Nasional Bhineka
Tunggal Ika (ANBTI) kemarin.

Peristiwa kemarin, meminjam istilah Gus Yahya, hanyalah asap dari duit
yang dibakar. Ketika duitnya habis, asapnya pun pasti hilang.

Sekali lagi, janganlah mengatakan telah mengetahui isi rumah kalau hanya
melihatnya dari lubang kunci pintu rumah. Biasakan mata melihat realitas
bukan hanya dari televiso, koran atau gadget. Wallahu a'lam bi sawab

Anda mungkin juga menyukai