Anda di halaman 1dari 2

PELUNCURAN BUKU HAK ANAK DALAM ISLAM

Rumah KitaB didukung Oslo Coalition meluncurkan draft buku “Hak Anak dalam Islam:
Iktiar dari Hukum Positif, Fikih, Hadis dan Al-Quran”. Acara yang diikuti 74 peserta baik
luring maupun daring ini diadakan di Hotel Aston, Bogor, pada 8 Februari 2022. Acara yang
dimulai pukul 13.00 WIB ini menghadirkan banyak pembicara, yaitu Lies Marcoes dan Lena
Larsen sebagai perwakilan Rumah KitaB dan Oslo Coalition, Faqih Abdul Kodir selaku
peneliti dan penulis buku, serta sejumlah penanggap yaitu Rita Pranawati dari Komnas
Perempuan, Maria Ulfa Anshor perwakilan KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia),
dan Ulil Abshar Abdalah sebagai perwakilan kiai pesantren. Juga dihadiri perwakilan
kontributor buku ini, yaitu Rifa Tsamrotus Sa’adah, Achmat Hilmi dan Jamaluddin
Mohammad
Dalam sambutan pembuka acara ini, Direktur Rumah KitaB, Lies Marcoes Natsir
mengucapkan banyak terimakasih kepada Oslo Coalition yang telah mendukung
terselenggaranya acara ini.
“Sejak dua tahun lalu Oslo mendukung kami melakukan penelitian NDIT (New Directions in
Islamic thought) yang pada dasarnya sejalan dengan program yang sedang kami jalankan,
yaitu mendorong perlindungan terhadap hak-hak anak,” ujarnya.
Lies juga menegaskan bahwa sudah delapan tahun Rumah KitaB bekerjasama dengan Oslo
Coalition dan AIPJ dalam advokasi Pencegahan Perkawinan Anak. Namun, kata Lies, sejauh
ini isu Perkawinan anak masih abu-abu alias kurang tegas. Padahal, berdasarkan riset yang
kami lakukan di Rumah KitaB, sudah jelas dan tegas bahwa perkawinan anak adalah satu
bentuk kekerasan dan dalam realitasnya lebih banyak memunculkan mafsadat.
“Karena itu, melalui buku ini, kami ingin memiliki argumentasi bagaimana pencegahan
perkawinan anak didukung baik dalam hukum positif maupun hukum Islam. Buku yang kita
lauching hari ini adalah sebuah ikhtiar untuk mendukung dan menguatkan keinginan
tersebut,” kata Lies.
Lies menambahkan bahwa dalam perkembangannya terjadi dispute antara kelompok
konservatif dan progresif dalam kaitan dengan perlindungan anak. Penelitian kami
menunjukkan ada problem mendasar, yaitu subjek dalam perlindungan anak adalah orang
dewasa. Karena itu hak-hak anak hanyalah menjadi apendiks
Hal ini diakui oleh Lena Larsen sebagaimana dikatakan dalam sambutannya sebagai direktur
Oslo Coalition bahwa terjadi benturan keyakinan dan nilai-nilai yang dianut ketika melihat
realitas perkembangan dan kebutuhan manusia modern. Tugas tokoh agama adalah
menciptakan harmoni antara nilai-nilai agama yang dianut dengan semangat perkembangan
zaman yang menuntut kesetaraan, keadilan, dan pluralisme.
Sebagai penulis buku ini, Faqihuddin Abdul Kodir menawarkan sebuah konstruksi
bagaimana menemukan dan menegaskan hal-hal yang bersifat prinsip dalam pemenuhan hak-
hak anak, baik norma-norma dalam hukum positif maupun norma-norma lain bersifat kultur
berbasis hukum islam.
Sebelumnya, kata Faqih, kita melakukan refleksi dan bersikap terbuka terhadap hal-hal yang
selama ini menjadi kendala dan halangan dalam pemenuhan hak-hak anak, baik yang
ditemukan dalam hukum positif maupun hukum islam (fikih, al-Quran dan Hadis). Setelah
itu, tahap berikutnya melakukan kolaborasi secara konstruktif seluruh norma-norma yang
berlaku baik dalam hukum poitif maupun agama dengan mendasarkan pada hal-hal yang
prinsip, untuk menutupi kelemahan-kelemahan yang ada dalam norma manapun, melalui
inisiatif yang ada dari norma manapun, bagi ikhtiar komprehensif pemenuhan hak-hak anak.
Maria Ulfa Anshor selaku penanggap diskusi ini sangat mengapresiasi keseluruhan buku ini.
Hanya saja, menurutnya, kajiannya perlu diperluas lagi pada level meso dan makro.
Sebagaimana disebut dalam teori ekosistem perlindungan anak yang dikemukakan
Bronfenbrenner dalam The Ecological of human Development, bahwa perkembangan
hidup /tumbuhkembang anak terdiri dari mikro, meso dan makro. Kajian buku ini belum
masuk pada ranah meso dan makro. Karena, menurut teori ini, seluruh sub sistem (sub eko
sistem) dalam sistem lingkungan kehidupan manusia menjadi satu tarikan nafas yang saling
terkait dan saling mempengaruhi, sehingga perlu mengeksplorasi pada sub sistem meso dan
makro.
Sementara menurut Ulil Abshar Abdalah kita harus bisa menempatkan positioning kita
sebagai intelektual muslim ketika berhadapan dengan konvensi yang dibuat PBB. “Posisi kita
sebagai intelektual muslim tidak sekadar mengkonfirmasi konvensi yang dibuat PBB. Kita
juga harus bisa melampaui dan memberikan penafsiran baru terhadap konvensi tersebut.
Ketika kita menulis buku ini kita memeiliki otonomi intelektual. Dalam hal ini pengalaman-
pengalaman di luar negara maju juga memberikan sumbangan,” pungkasnya.
Seluruh peserta terlihat antusias dan setia mengikuti acara ini hingga berakhir pukul 15.30
WIB. [JM]

Anda mungkin juga menyukai