Anda di halaman 1dari 5

Benarkah Pancasila Sudah Final?

Oleh RISKI RAMDANI

Ada yang menarik dalam diskusi publik yang diselenggarakan USINDO (Persahabatan
Amerika Indonesia) di National Press Club, Washington DC, Jumat (28/4) lalu. Saat itu,
Ketua Umum Muhammadiyah, Prof. Dr. Dien Syamsuddin, menyampaikan ceramah yang
intinya menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan
Pancasila adalah bentuk final dan ideal bagi rakyat Indonesia yang majemuk atas dasar
agama, suku, dan bahasa. Pernyataan itu Dien sampaikan ketika menjawab pertanyaan dalam
diskusi tentang ide negara Islam atau negara syariah Islam yang diajukan sejumlah kalangan
umat Islam Indonesia, Kompas (1/5).
Pertanyaannya, jika memang Indonesia saat ini sudah dianggap final dan ideal,
mengapa kehidupan rakyat masih terpuruk? Mengapa konflik (antaragama, antarsuku, antar
para pendukung calon kepala daerah dalam Pilkada, antara buruh dan majikan, dan lain-lain)
di tengah-tengah masyarakat masih sering terjadi? mengapa bumi Indonesia yang kaya raya
rakyatnya bergelimang kemiskinan? Mengapa masih banyak rakyat yang sulit mengecap
pendidikan walau hanya pendidikan dasar? Mengapa korupsi masih merajalela? Mengapa
kerusakan moral makin tak terbendung? Mengapa berbagai kasus perzinaan, pelacuran, dan
pemerkosaan makin menjamur? Mengapa tingkat kejahatan makin meningkat?
Realitas sosiologis di atas, tampaknya tidak merangsang sebagian besar masyarakat
kita untuk mengaji ulang Pancasila yang katanya sebuah ”ideologi khas”. Betapa tidak,
Pancasila yang dibuat dalam waktu singkat dan pernah mengalami beberapa kali perubahan
itu, dianggap sebagai ”barang suci”, sakral dan bebas dari kesalahan. Ironisnya, ramai orang
menyangka bahwa Pancasila digali dari Islam. Padahal, bila mengaji Pancasila baik dari sisi
konsep ataupun historisnya, tak ada satu pun alasan untuk menjadikan Pancasila seolah wahyu
Tuhan.

Panitia Sembilan
Bagi mereka yang mau membaca dan menggali sedikit sejarah lahirnya pancasila,
dalam waktu kurang dari satu bulan pancasila telah diubah. Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritzu Zunbi Cosakai yang terdiri dari
62 anggota dengan ketuanya Dr Rajiman Widiodiningrat dibentuk dan dilantik oleh Jenderal
Hagachi Seisiroo seorang jenderal Angkatan Darat Jepang. BPUPKI bersidang dari tanggal 28
Mei sampai dengan 1 juni 1945.
Tanggal 1 juni 1945 Bung Karno menyampaikan pidatonya yang berisikan konsepsi
usul tentang dasar falsafah negara yang diberi nama dengan Pancasila yang berisikan 1.
Kebangsaan Indonesia atau Nasionalisme, 2. Perikemanusiaan atau Internasionalisme, 3.
Mufakat atau Demokrasi, 4. Kesejahteraan Sosial, 5. Ketuhanan yang Maha Esa.
Hasil sidang ini dirumuskan oleh Panitia Sembilan yaitu Soekarno, Hatta, Maramis,
Abikusno Cokrosuyoso, Agus Salim, Kahar Muzakkir, Wahid Hasyim, Ahmad Subardjo, dan
Mohammad Yamin. Pada tanggal 22 juni 1945 lahirlah dari hasil rumusan ini yang oleh
Mohammad Yamin disebut dengan Piagam Jakarta yang berisikan rumusan lima dasar yang
asalnya diambil dari usul pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945. Dalam Piagam Jakarta
ini dinyatakan, bahwa Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluknya.

Mengubah Pancasila
BPUPKI mengadakan sidangnya lagi yang kedua dari tanggal 10 Juli sampai 16 Juli
1945 untuk membicarakan Rancangan Undang-Undang Dasar (RUUD). Pada tanggal 7
Agustus 1945 terbentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). RUUD
mengalami perubahan-perubahan oleh PPKI. RUUD inilah yang disahkan dan ditetapkan
menjadi UUD 1945 dengan rumusan terakhir Pancasila yang tercantum dalam preambule
(pembukaan) UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, di mana bunyi dari pembukaan UUD
1945 adalah "Berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ke Tuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."
Ternyata, sila pertama hasil pemikiran Panitia Sembilan yang menyatakan:
"Ketuhanan dengan menjalankan Syariat Islam bagi para pemeluknya" telah diubah atas usul
sekelompok orang Kristen yang berasal dari Sulawesi Utara, tanah kelahiran A.A. Maramis.
Melalui Muhammad Hatta yang memimpin rapat PPKI, setelah berkonsultasi dengan Teuku
Muhammad Hassan dan Kasman Singodimedjo (keduanya bukan anggota Panitia Sembilan),
tujuh kata dari Piagam Jakarta dihapus. Sebagai gantinya, atas usul Ki Bagus Hadikusumo
(yang kemudian menjadi ketua gerakan pembaharu Islam Muhammadiyah), ditambahkan
sebuah ungkapan  baru dalam sila  Ketuhanan itu, sehingga berbunyi Ketuhanan Yang Maha
Esa dan di cantumkan dalam preambule (pembukaan) UUD'45 sampai sekarang dan tidak ada
seorang pun yang berani mengubahnya.
Dengan jelas dan gamblang, sejarah telah mencatat, bahwa dalam jangka waktu 24
hari, Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya, diubah
menjadi Ketuhanan Yang maha Esa, sampai sekarang, dan tidak ada seorang pun yang berani
untuk mengubahnya kembali. Fakta sejarah ini membabat habis alasan-alasan orang yang
menyakralkan Pancasila yang mengatakan bahwa pancasila tidak mungkin dan tidak bisa
diubah atau sudah final.

Pancasila Tak Ada Hubungannya dengan Islam


Pancasila merupakan hasil rumusan dari usul pidato Bung Karno, yang telah diubah
oleh BPUPKI dan PPKI dalam sidangnya yang kedua dari tanggal 10 Juli - 16 Juli 1945. Saat
ini ramai orang mengatakan, bahwa Pancasila digali dari Islam. Padahal, orang yang
menyesuaikan Pancasila dengan Islam, sesungguhnya telah menjual Islam dengan harga yang
amat murah. Pancasila merupakan hasil rumusan manusia dan akhirnya dijadikan dasar
negara yang tidak ada kaitannya dengan Islam.
Ada masalah yang sangat mendasar yang perlu diketahui, mengapa Pancasila tidak
diterima oleh Islam? Pertama, kalaulah konsepsi Ketuhanan Yang Maha Esa menurut ajaran
Pancasila ini mencakup seperti apa yang telah difirmankan Allah "Katakanlah Dia-lah Allah,
Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak
beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia" (Al-
Ikhlash, 1-4), maka itulah yang disebut ajaran ketauhidan, kalau tidak, itulah ajaran Pancasila
yang semu, kabur dan lemah.
Kedua, berdasarkan kepada Bab XI tentang Agama pasal 29  UUD'45 yang berisikan
1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. 2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-
tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu. Sekarang, apa yang dimaksud dengan "Negara berdasar
kepada Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam Bab XI pasal 29 ayat 1 diatas itu ?
Jawabannya adalah, konsepsi Ketuhanan Yang Maha Esa yang bisa diterima oleh
seluruh agama, aliran kepercayaan dan adat istiadat yang ada di Indonesia. Artinya, konsepsi
Ketuhanan Yang Maha Esa yang fleksibel. Misalnya aliran kepercayaan yang percaya kepada
satu patung yang besar, maka konsepsi Ketuhanan Yang Maha Esa dapat diterima, karena satu
patung yang besar sama dengan Tuhan Yang Maha Esa (satu). Contoh lainnya, misalnya
aliran kepercayaan yang percaya kepada satu pohon beringin yang besar, maka konsepsi
Ketuhanan Yang Maha Esa dapat diterima, karena satu pohon beringin yang besar sama
dengan Tuhan Yang Maha Esa (satu).
Jadi, konsepsi Ketuhanan Yang Maha Esa menurut Pancasila berbeda dengan konsep
Tauhid dalam Islam yang menyatakan bahwa Allah itu satu, Dialah tempat bergantung
seluruh makhluk, Dia tidak beranak dan tidak diperanakan, dan tidak ada satu pun yang
menyamai-Nya.
Secara tegas, Islam tidak mengakui konsepsi Ketuhanan Yang Maha Esa dari aliran-
aliran kepercayaan yang menyembah satu patung yang besar atau satu pohon beringin yang
besar. Konsepsi ketuhanan yang maha esa ini bukanlah berdasarkan kepada konsepsi
ketuhanan yang maha esa yang berdasarkan ketauhidan yang bersumberkan dari akidah Islam.
Maka jelas, Islam secara terang-terangan tidak menerima konsepsi ketuhanan yang maha esa
yang tercantum dalam Bab XI pasal 29 ayat 1 UUD'45 yang berbunyi "Negara berdasar
kepada Ketuhanan Yang Maha Esa" dan sila Ketuhanan yang maha esa yang ada dalam
pancasila.
Mengutip pernyataan Kol. Purn. Y Herman Ibrahim, Pancasila itu sama dengan Five
Principles-nya Pakistan, Fiphina, dan Lima Rukun Negara Malaysia. Orang menyangka
bahwa Pancasila merupakan produk dalam negeri. Muhamad Yamin dan Sukarno mengatakan
bahwa pancasila digali dari budaya nenek moyang yang bersumber dari buku Negara
Kertagama.
Padahal—masih mengutip pernyataan Herman—Pancasila yang disebut sebagai
ideologi negara, sebenarnya hanya produk dari doktrin Homo Homini Deus yang merupakan
titik kulminasi dari kredo monotheisme, rasialis chauvinisme agama Yahudi dan teologi
trinitas kristiani. Kebohongan ditanamkan seakan-akan kita adalah negara yang memberikan
ruang bagi pengembangan Islam yang mayoritas. Padahal, doktrik Homo Homini Deus
sebenarnya adalah ajaran yang menempatkan ”Tuhan yang sesungguhnya adalah manusia itu
sendiri”. Paham ini melahirkan sistem sekulerisme.
Lebih mengejutkan lagi, dalam artikelnya berjudul “Terorisme Sebagai Instrumen
Konspirasi Global,” Herman mencoba memaparkan fakta, bahwa Sukemi, ayah kandung
Soekarno, Ki Hajar Dewantoro, Rajiman Wediodiningrat adalah anggota Loji Agung yang
merupakan nama lain dari gerakan Fremasonry di Indonesia. Herman menambahkan, simbol
Pancasila pun yang berupa burung Garuda, binatang bertanduk, bintang, pohon dan rantai
adalah simbol-simbol Yahudi. Garuda diambil dari dewa Horus – dewanya orang Mesir yang
disembah orang Yahudi- yang berwujud manusia berkepala burung dan berambut raksasa.

Baju Kapitalisme Indonesia


Jika kita renungkan semua itu secara mendalam, Pancasila tak lebih dari sekedar baju
bagi ideologi Kapitalisme di Indonesia. Topeng manis yang mengelabui masyarakat yang
mayoritas adalah muslim. Pancasila sebenarnya tak lebih dari barang murahan yang
berlindung di balik slogan pluralitas. Dibanggakan, namun kenyataannya hanyalah falsafah
hidup yang menjadi simbol semata. Tengok saja, apa yang disebut dengan ”Ekonomi
Pancasila” atau ”Demokrasi Pancasila”, yang diharapkan bisa mengatur kehidupan ekonomi
dan politik masyarakat, sesungguhnya tidak pernah ada baik secara teori apalagi praktik.
Kenyataannya, sistem aturan yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat adalah aturan-
aturan yang bersumber dari kapitalisme.
Dalam wacana politik, sudah menjadi pemahaman umum bahwa sebuah ideologi akan
menegasikan ideologi lainnya. Tidak mungkin diterapkan sistem sosialisme dalam sebuah
negara yang menganut ideologi kapitalisme. Begitu juga kapitalisme tidak mungkin
diterapkan oleh negara yang berhaluan sosialisme. Pun juga sistem Islam tidak mungkin
diterapkan oleh negara yang berideologikan sosialisme. Hal itu wajar, karena masing-masing
ideologi mempunyai pemikiran mendasar yang menjadi asasnya, yang darinya terpancar
seperangkat aturan.
Bila kita mau jujur, Indonesia adalah negara yang menerapkan sistem kapitalisme.
Bagaimana tidak, kekayaan alam yang melimpah ruah dikuasai oleh segelintir orang.
Bukanlah rakyat yang menikmati kekayaan alamnya, namun para pemilik modal yang
menjelma dalam bentuk perusahaan-perusahaan raksasa internasional.
Adalah tepat, bila Thamrin Tomagola menyebut NKRI sebagai Negara Kavling
Republik Indonesia. Tengok saja kata Thamrin, kekayaan alam di jantung Papua sudah
menjadi milik Freeport, Teluk Bintuni di perairan Sorong sudah menjadi kavlingnya British
Petroleum. Sulawesi Utara milik Newmont, Sulawesi Selatan ada Monsanto, Nusa Tenggara
Barat kembali milik Newmont, Taman Burung di Bali milik Australia, Minyak di Cepu milik
Exon, Ukiran Jepara milik orang asing , Kelapa Sawit di Sumatera milik Malaysia, Minyak di
Sulsel punya Caltex, Gas di Arun milix Exon Mobile. Bergeser ke Kalimantan Timur ada
Primacoal dan Caltex. Belum lagi Angkasa luar kita yang sudah diambil alih orang asing,
tatkala Indosat di jual ke Singapura.
Adalah tidak beralasan, jika orang menolak pernyataan bahwa Indonesia
berideologikan kapitalisme. Realitas di atas merupakan bukti nyata bahwa Indonesia
menerapkan ideologi rusak ini. Alasannya, karena tidak mungkin sistem kapitalisme di
terapkan kalau bukan di negara yang berideologikan kapitalisme pula. Jika begitu
kenyataannya, benarkah Pancasila sudah final? Ataukah Pancasila boleh diubah, dihapus atau
bahkan dibuang?***

Penulis, mahasiswa S1 Jurusan Jurnalistik Semester VI, Fakultas Ilmu Komunikasi


(Fikom) Universitas Padjadjaran (Unpad) dan mantan aktivis Dewan Keluarga Masjid
(DKM) Universitas padjadjaran.

Nama : Riski Ramdani


Alamat : Jl. Raya Cinunuk, Perum Permata Biru Blok AM. 46, Kec.
Cileunyi, Kab. Bandung 40624. Telp. (022) 91155442/(022)
70795839
Pekerjaan : - Mahasiswa S1 Ekstensi Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom)
Jurusan Jurnalisitk Semester VI. Universitas Padjadjaran
(Unpad). NPM. KXO 03844
- Penyiar Radio Republik Indonesia (RRI) Bandung.

Foto :

Anda mungkin juga menyukai