Disusun oleh :
ICHWANDI AZMIR (201725008)
RESUME BUKU
1. PANCASILA
a. SEJARAH PANCASILA
Pada tanggal 28 Mei 1945, didirikan BPUPKI yang beranggotakan 62 orang
yang dipimpin oleh Dr. Radjiman Wedyodiningrat. Sidang pertama digelar tanggal 29
Mei s/d 1 Juni 1945 yang membahas dasar negara Indonesia. Ir. Soekarno
mengusulkan 5 dasar negara yang disebut Pancasila. Selain Soekarno, M. Yamin dan
Soepomo pun mengusulkan 5 Dasar Negara tanpa menggunakan istilah Pancasila.
Sidang berjalan alot dan BPUPKI terpecah menjadi 2 golongan, yaitu Islam dan
Sekuler. Setelah itu terbentuklan Panitia Sembilan untuk merumuskan bentuk dan
dasar negara Indonesia. Panitia sembilan berhasil merumuskan Piagam Jakarta pada
tanggal 22 Juni 1945 yang menetapkan Lima Dasar Negara, yaitu: 1. Ketuhanan,
dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya 2.
Kemanusiaan yang adil dan beradab 3. Persatuan Indonesia 4. Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan 5. Keadilan
sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Inilah
yang disebut “Pancasila Piagam Jakarta”.
Hasil keputusan ini dibawa kedalam sidang BPUPKI tanggal 10 s/d 16 Juli
1945. Setelah melalui perdebatan sengit, akhirnya BPUPKI secara aklamasi sepakat
Piagam Jakarta sebagai Dasar Negara Indonesia yang akan dideklarasikan saat
kemerdekaan.
b. Pengkhianatan Pancasila
Menurut Bung Hatta, setelah kemerdekaan pada danggal 17 Agustus 1945,
sore harinya beliau didatangi oleh Opsir Kaigun (Admiral Angkatan Laut Jepang)
yang meminta agar Syariat Islam dihapus dalam Dasar Negara dengan alasan Tokoh
Kristen dari Indonesia Timur merasa keberatan. Akhirnya keesokan harinya pada
tanggal 18 Agustus 1945, sidah PPKI dilaksanakan untuk tujuan mengakomodir
“apresiasi tersebut”. Dalam sidang tersebut tidak satupun tokoh Islam dari Panitia
Sembilan yang menghadirinya. Dalam sidang tersebut, terjadi 4 perubahan dalam
Dasar Negara yang salah satunya berubahnya sila pertama menjadi “Ketuhanan Yang
Maha Esa”.
Usul tersebutpun dengan mudahnya “diterima” ,dan dengan demikian
Syariat Islam dihapuskan dari Dasar Negara Indonesia. Ironisnya, Syariat Islam
dihapus dengan dalih meredam kemarahan kalangan Indonesia Timur agar tidak
keluar dari Republik Indonesia, namun faktanya Indonesia Timur masih bergejolak
hingga saat ini.RMS dan OPM tetap menuntut kemerdekaan dan Timor Lestepun
telah keluar dari NKRI.
Penghianatan terhadap Pancasila Piagam Jakarta melahirkan perdebatan
berkepanjangan hingga saat ini. Bahkan mengakibatkan bemberontakan oleh beberapa
pihak, salah satunya adalah GAM yang masih eksis hingga saat ini. Hasilnya
perubahan Pancasila bukan saya tidak bisa meredam pergolakan di Indonesia Timur,
tapi juga melahirkan pemberontakan daei kalangan mayoritas muslim di seluruh
Indonesia. Persatuan NKRI dipertaruhkan hanya untuk memuaskan kaum minoritas
yang tidak jelas loyalitasnya terhadap NKRI.
c. Pemitosan Pancasila
Di Era Orde Baru, terjadi pemitosan Pancasila secara besar-besaran.
Pancasila disakralkan, sehingga tidak boleh dikritik sama sekali. Pada masa ini,
Pancasila dijadikan sebagai ideologi dan filsafat, bahkan dijadikan seperti kitab suci
jan diposisikan sebgai agama. Karenanya, Pancasila dijadikan sumber dari segala
sumber hukum di Indonesia. Pada masa Orde Baru, Pancasila disandingkan dengan
Agama Islam, sehingga beberapa Peraturan Daerah dibatalkan karena bernuansakan
Syariat Islam. Inilah pengkhianatan Orba terhadap Pancasila Dekrit Presiden Tahun
1959 dengan jiwa Piagam Jakarta yang bernuasakan Syariat Islam.
d. Pancasila dan Islam
Dari kisah yang dipaparkan sebelumnya, telah jelas siapa yang menghianati
siapa. Alhamdulillah, hingga saat ini tidak ada satupun golongan umat Islam yang
mengkhianati Konsensus Nasional berupa Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Pancasila
Dekrit Presiden 5 Juli 1959. DI/TII di zaman Orla tidak berontak terhadap Pancasila ,
tetapi berontak terhadap kaum Sekuler yang telah merubah secara sepihak Kosensus
Nasional yang telah menyepakati Piagam Jakarta sebagai Dasar Negara. Tokoh umat
Islam di jaman Orba tidak membangkang terhadap Pancassila, tetapi membela
Pancasila agar tidak dijadikan mitologi yang menjurus kepada kemusyrikan.
d. Implikasi Sistem
Penegasan bahwa Indonesia adalah Negara Musyawarah bukan Negara
Demokrasi merupakan persoalan yang sangat seriusdan mendasar, karena memiliki
implikasi hukum dalam bermua’amalah dengan sistem tersebut. Jika Indonesia
disebut sebagai Negara Demokrasi berarti semua umat Islam Indonesia sedang
berada dalam “kubangan” Dosa Besar, karena Sistem Demokrasi adalah sistem
kafir yang bertentangan dengan ajaran Islam. Akibatnya umat Islam akan
berhadapan dengan suatu situasi yang dilematis. Situasi yang dilematis tersebut
telang melahirkan perselisihan antar umat Islam di Indonesia. Ada yang
mengharamkan secara mutlak, ada yang membolehkan dengan syarat hanya
sebagai “tunggangan” Sistem Demokrasi untuk kemaslahatan umat, dan ada yang
membolehkan secara mutlak bahwa Sistem Demokrasi sesuai dengan Sistem
Musyawarah dalam Islam.
Sebaliknya jika Indonesia dikatakan sebagai Negara Musyawarah, maka
koridor kenegaraan Indonesia sudah benar, hanya tinggal diisi dengan pelaksanaan
Syariat Islam secara “Kaffah”. Dalam Negara Musyawarah, umat Islam dengan
leluasa bisa melakukan kegiatan kenegaraan dari berbagai bidang. Selama tidak
bertentangan dengan Syariat Islam.