Anda di halaman 1dari 8

HUBUNGAN NU DENGAN NKRI

D alam lintasan sejarah, Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah mengalami
beberapa kali ujian untuk tetap bertahan sebagai ideologi dan bentuk negara. Upaya-upaya
yang yang terstruktur ataupun tidak terstruktur terus mengalami kegagalan dalam
merongrong Pancasila dan NKRI. Sebut saja misalnya Partai Komunis Indonesia(PKI) sebagi partai
besar pada zamannya telah dua kali mencoba mengkhianati bangsa Indonesia. Pertama,
pemberontakan Madiun yang dikomandoi oleh Muso pada 1948 berhasil ditumpas oleh pemerintah
dan rakyat. Banyak korban yang jatuh akibat pemberontakan PKI di Madiun ini termasuk warga NU,
yang kedua adalah pemberontakan pada tahun 1965 yang ditumpas habis oleh pemerintah dengan
organ militernya serta bantuan rakyat. Bukan hanya PKI, kekuatan-kekuatan sparatis lainpun pernah
muncul untuk merongrong Pancasila dan NKRI seperti gerakan Negara Islam Indonesia dan DI/ TII
yang muncul dari kelompok yang ingin mendirikan negara Islam di Indonesia. Semua mengalami
kegagalan dengan bukti Indonesia masih dapat mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara
hingga saat ini.

Tercatat juga dalam sejarah bagaimana Nahdlatul Ulama sebagai organisasi besar selalu bersama
dengan pemerintah yang sah selalu memberikan kontribusi aktif dalam setiap upaya perongrongan
Pancasila dan NKRI. Ini terjadi dari awal adanya pemerintahan Indonesia pasca kemerdekaan hingga
sekarang. Tidak mengherankan mengapa NU berjihad untuk selalu mengamankan eksistensi
Pancasila dan NKRI disebabkan Pancasila sendiri lahir dari kontribusi yang diberikan oleh NU melalui
KH. Wachid Hasyim sebagai bagian tidak terpisahkan dalam merumuskan Pancasila. NU memiliki
tanggung jawab besar untuk membelanya sebagai bagian penting dari kesepakatan dari founding
fathers negara besar ini.

Konsistensi NU dalam Mengawal Pancasila dan NKRI

Dari awal pembentukan organisasi, Nahdlatul Ulama sudah memliki sikap tegas tentang konsep NKRI
(Negara Kesatuan Republik Indonesia), bentuk inisudah final didasarkan hasil  perjuangan seluruh
komponen masyarakat Indonesia --termasuk umat Islam di dalamnya–dalam mendirikan negara.
NKRI adalah negara yang sah menurut hukum Islam, yang menjadi wadah berkiprah melaksanakan
dakwah yang akomodatif dan selektif, serta bertaqwa sesempurna mungkin,  dan tidak diperlukan
negara yang baru. Fakta historis atas ketegasan sikap dan tanggung jawab mengawal NKRI adalahNU
mengumandangkan Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, mempertahankan dan menegakkan NKRI
menurut hukum Agama Islam adalah wajib, termasuk sebagai satu kewajiban bagi tiap-tiap muslim,
dan jihad fi sabilillah. Karena itu, NU mempunyai tanggung jawab terhadap kehidupan kebangsaan
dan kenegaraan, baik dahulu, sekarang, maupun masa mendatang.Muktamar ke-29 di Cipasung
Tasikmalaya pada 1 Rajab 1415 H/ 4 Desember 1994 M, NU juga mengeluarkan Keputusan
Muktamar Nahdlatul Ulama No. 02/MNU-29/1994 tentang Pengesahan Hasil Sidang Komisi
Ahkam/Masail Diniyah, yang di antaranya terkait dengan Pandangan dan Tanggung Jawab NU
Terhadap Kehidupan Kebangsaan dan Kenegaraan yang semakin mengukuhkan dukungan kongkret
NU terhadap eksistensi NKRI.

1 |H u b u n g a n N U d e n g a n N K R I
Sebelum Muktamar Cipasung, terselenggara Muktamar Situbondo pada tahun 1983. Pada
momentum tersebut dilaksanakan juga Musyawarah Nasional Alim Ulama NU yang merumuskan
sebuah deklarasi penting “Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila dengan Islam”. Deklarasi ini
memuat lima butir penegasan sikap nahdlatul Ulama dalam menafsirkan salah sila pertama Pancasila
“Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Berikut bunyi deklarasi secara lengkap:

Bismillahirrahmanirrahim,

1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesi bukanlah agama, tidak dapat
menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.

2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut
pengertian keimanan dalam Islam.

3. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah akidah dan syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia
dengan Allah dan hubungan antarmanusia.

4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia
untuk menjalankan syari’at agamanya.

5. Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian
yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.

Deklarasi ini sebetulnya mengakhiri perdebatan paradigmatik tentang hubungan agama dan negara
di Indonesia, sekaligus memperkuat basis teologis penerimaan NU atas kenyataan negara-bangsa
(nation state) yang pluralistik dan demokratik. NU mendukung kenyataan ini sebagai ijtihad politik
yang tepat. KH Achmad Siddiq, tokoh intelektual di balik Deklarasi tersebut, mengemukakan bahwa
Pancasila dan Islam sebagai dua kesatuan yang terpisah, namun tidak saling bertentangan: Pancasila
adalah ideologi, sedangkan Islam adalah agama.  Kyai Achmad lebih lanjut mengatakan:

"Dasar negara (Pancasila) dan agama Islam adalah dua hal yang dapat sejalan dan saling menunjang.
Keduanya tidak bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan. Keduanya tidak harus dipilih salah
satu dengan sekaligus membuang yang lain." Keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama
Nahdlatul Ulama tahun 1983 kembali menegaskan pemikiran politik keagamaan NU
dalam merekonsiliasi Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara dengan Islam sebagai agama dan
aqidah. NU secara eksplisit menjelaskan dasar negara yang dimaksud, yakni Pancasila yang
ber"Ketuhanan Yang Maha Esa" tanpa tambahan "dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya.""Mengenai Pancasila, NU berpendapat bahwa sesungguhnya rumusan nilai-
nilai yang dijadikan dasar negara Republik Indonesia sudah tuntas dengan ditetapkannya UUD 1945
pada tanggal 18 Agustus 1945. Semua pihak harus hanya memahami (memiliki persepsi tentang)
dasar negara menurut bunyi dan maknanya yang terkandung dalam UUD 1945 (pembukaan, batang
tubuh dan penjelasannya) itu.

2 |H u b u n g a n N U d e n g a n N K R I
Satu tahun setelah deklarasi Situbondo NU menggelar Muktamar NU ke-27 tahun 1984 di Situbondo,
Jawa Timur. Muktamar ini adalah muktamar NU yang menjadi catatan sejarah penting yang
menandai hubungan antara NU dan Pancasila. Dalam muktamar ini, di samping memutuskan NU
kembali ke Khittah 1926, NU secara tegas menerima pancasila sebagai asas organisasi.

Ketika memutar ulang sejarah panjang yang evolutif tentang kontribusi besar NU dalam
mempertahan Pancasila dan NKRI, tergambar keistiqamahan organisasi ini menjalankan peran garda
terdepan sebagai pembela Pancasila dan NKRI meski selalu dengan risiko berhadapan dengan
kekuatan-kekuatan besar lain.

A.    PERAN NU PADA MASA PENJAJAHAN

Pesantren sebagai front perlawanan terhadap penjajah merupakan kenyataan sejarah yang terjadi
disetiap tempat dan sembarang zaman. Perlawanan digerakkan dari pesantren dan karenanya
pesantren menjadi basis perlindungan kaum pejuang kemerdekaan. Demikian halnya yang terjadi di
pesantren Demangan Bangkalan yang dipimpin Kiai Cholil yang sangat kharismatik. Suatu ketika, ada
beberapa pejuang dari Jawa yang bersembunyi dikompleks Pesantren Demangan yang jauh dari
keramaian kota itu.

Lama-kelamaan tentara penjajah mencium gelagat itu, maka tidak ada pilihan lain kecuali harus
mengerahkan tentara yang cukup besar untuk mengobrak-abrik  kompleks pesantren. Mereka begitu
yakin para pejuang bersembunyi di pesantren, tetapi mereka terkejut dan  marah ketika dalam
setiap penggerebekan tak menemukan apa-apa. Tidak seorang pun yang dicurigai sebagai pejuang
kemerdekaan ditemukan, di antara sekian santri yanag sedang mengaji. Karena jengkel, akhirnya
mereka menahan Kiai Cholil sebagai sandera. Mereka Berharap, dengan menyandera Kiai Cholil yang
sudah sepuh itu, para pejuang mau menyerahkan diri.

Ketika Kiai Cholil dimasukkan ke dalam tahanan, Belanda direpotkan oleh  berbagai kejadian yang
aneh-aneh. Mula-mula, semua pintu tahanan tak bisa ditutup, hal itu membuat semua aparat
penjajah harus berjaga siang dan malam, agar tahanan yang lain melarikan diri. Sementara itu para
pejuang ditunggu-tunggu tidak kunjung menyerahkan diri, walaupun pimpinan mereka ditangkap.

Melihat kiainya ditahan, maka setiap hari ribuan orang dari berbagai penjuru Pulau Madura, bahkan
juga dari Jawa berdatangan untuk menjenguk dan mengirim makanan kepada Kiai Cholil yang sangat
mereka hormati. Tentu saja hal itu juga memusingkan pihak penjajah, karena penjara menjadi ramai
seperti pasar. Akhirnya mereka mengeluarkan larangan mengunjungi Kiai Cholil. Tapi ini juga tidak
menyelesaikan masalah. Masyarakat yang berbondong-bondong itu berkerumun, berjejal di sekitar
rumah tahanan, bahkan ada yang minta ikut ditahan bersama Kiai Cholil. Melihat kenyataan itu
akhirnya Belanda membuat pertimbangan. Dari pada dipusingkan dengan hal-hal yang tak bisa
diatasi, maka akhirnya pihak penjajah membebaskan  Kiai Cholil tanpa syarat.

Penghormatan masyaraakat Jawa dan Madura pada kiai yang satu ini sangat besar, selain menjadi
guru hampir dari keseluruhan kiai Jawa, sejak Kiai Hasyim Asy’ari, Wahab Hasbullah, Kiai As’ad dan
sebagainya, Kiai itu juga dipercaya sebagai waliyullah yangs angat makrifat. Sang Kiai memang orang
yang alim dalam ilmu nahwu, fiqh dan tarekat. Ia tidak hanay menghafal Al-qur’an, tetapidan
menguasai segala ilmu Al-qur’an, termasuk qira’ah sab’ah (tujuh macam seni baca Al-qur’an).

3 |H u b u n g a n N U d e n g a n N K R I
Sebagai seorang wali maka ia dimintai restu oleh berbagai kalangan, termasuk salah satu ulama yang
melegitimasi lahirnya NU adalah Kiai Cholil, sebab sebelum mendapat isyarah dari Kiai Cholil, Kiai
Hasyim Asy’ari masih menunda gagasan yang dilontarkan oleh Kiai Wahab Hasbullah untuk
mendirikan jam’iyah ulama itu. Baru setelah mendapat restu Kiai Cholil, melalui Kiai As’ad Syamsul
Arifin, Kiai Hasyim Asyari segera mendeklarasikan NU, sebagai organisasi sosial, yang segera
disambut oleh seluruh ulana Jawa, Maduran bahkan luar Jawa dan dari luar naegeri. (Mun’im Dz dari
berbagai sumber)

B.     PERAN NU PADA MASA KEMERDEKAAN

Nadhlatul Ulama (NU) yang berdiri 31 Januari 1926 berdasarkan semangat kebangkitan nasional,
memegang peranan penting dalam kemerdekaan Republik Indonesia (RI). Warga NU baik dari
kalangan Kiai maupun santrinya tercatat pernah ikut memperjuangkan kemerdekaan negara tercinta
ini.Perjuangan mereka dilakukan sesaat setelah peringatan kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945,
karena sebulan setelah Indonesia merdeka (pertengahan September 1945) Inggris kembali datang ke
Indonesia untuk menjajah kembali. Berangkat dari peristiwa tersebut, warga NU tergerak hatinya
ikut dalam gerakan melawan para penjajah, terutama saat Inggris ingin mengusai Jawa Timur setelah
sebelumnya menguasai berbagai daerah di Indonesia. Pada bulan Oktober pasukan Inggris yang
tergabung dalam NICA (Netherland Indies Civil Administration) telah menguasai Medan, Padang,
Palembang, Bandung dan semarang,sedangkan kota-kota besar di Indonesia Timur diduduki oleh
Australia.Pembesar NU dan anggotanya melakukan perlawanan kepada pasukan Inggris.

Saat itu, pasukan Inggris berjumlah sekitar 6.000 orang yang terdiri dari jajahan India. NU juga
mendeklarasikan perang suci, berjihad melawan penjajah bersama masyarakat lainnya. ''Ribuan kiai
dan santri NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya pada tanggal 21-22 Oktober 1945,
dipimpin oleh Rois Akbar NU Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari. Mereka mendeklarasikan resolusi
dengan sebutan 'resolusi jihad' yang isinya antara lain mempertahankan Kemerdekaan RI, 17
Agustus 1945,'' tulis MC Ricklefs (1991).Menurut Rickleft, resolusi jihad itu merupakan fatwa tentang
kewajiban perang melawan para kaum imprealis. Berdasarkan fatwa tersebut, seluruh masyarakat
Islam membentuk laskar perang. Para sejarahwan mengakui bahwa pengaruh resolusi jihad.

C.    PERAN NU PADA MASA ORDE LAMA

NU dalam setiap penyelenggaraan pemilu menjadi gadis molek yang diperebutkan semua kekuataan
politik sejak Orde Lama sampai dengan paska Orde baru. NU mulai berpolitik sejak bergabung
dengan entitas organisasi masyarakat keislaman lain membentuk Masyumi, pada zaman demokrasi
liberal paska kemerdekaan. Akibat konflik internal dan merasa tidak diakomodir oleh faksi Islam
modernis dalam Masyumi, NU kemudian mendirikan partai politik tersendiri dan ikut pemilu
legislatif dan konstituante pada 1955 dengan menjadikan sebagai kekuataan terbesar ketiga setelah
PNI dan Masyumi. Pada zaman orde lama paska kembalinya ke UUD 45 dan pembekuan partai PSI
dan Masyumi, presiden Soekarno membentuk Nasakom dengan pilar Nasionalis (PNI), Agama (NU),
dan Komunis (PKI).Soeharto memaksa NU berfusii dengan faksi Islam lain dengan membentuk PPP
paska pemilihan umum 1971 di mana NU meraih suara terbesar kedua setelah Golkar. Pembentukan
PPP ini mengulang kejadian pembentukan Masyumi di mana peran NU termarjinalkan oleh faksi
Islam modern. Puncaknya pada Muktamar NU Situbondo pada 1984 dengan dimotori Gus Dur
mencoba “menetralkan” NU dari politik praktis dengan kembali ke khitah 1926.

4 |H u b u n g a n N U d e n g a n N K R I
Selama 14 tahun Gus Dur mencoba menjaga jarak dengan kekuasaan dan bermain politik bebas aktif
dengan bermain di dua kaki, ikut gerakan pro demokrasi dengan salah satunya mendirikan Fordem
tapi di sisi lain berdampingan dengan lingkar kekuasaan. Masih ingat pernyataan Gus Dur tentang
Mbak Tutut sebagai calon pemimpin masa depan Indonesia dan menemani safari politik Tutut ke
kantong-kantong NU.

Aktivitas Gus Dur membuat gerah Soeharto sehingga pada Muktamar di Cipasung Tasik Malaya
1994, mencoba didongkel dengan pencalonan Abu Hasan namun ternyata gagal. Tumbangnya
Soeharto, menjadi masa bulan Madu NU dengan politik, 1999-2004, dengan kendaraan PKB, NU
mampu mengoptimalkan basis masa sarungan dengan mendapatkan suara 10 persen. Sejak 2004,
polarisasi politik baik di NU dan PKB makin mengental, faksi Ketua Umum Hasyim Muzadi yang
mencalonkan diri wapres dengan masuk ke kubu Mega, sebaliknya Faksi Gus Dur yang mencalonkan
Gus Soleh bersama Wiranto. Paska pemilu 2004, faksi Gus Dur pecah dengan terbentuknya
kepemimpinan ganda antara faksi Gus Dur dengan Faksi Muhaimin yang akhirnya dimenangkan
Muhaimin. Perpecahan PKB ini menggerus suara PKB yang turun drastis hanya mendapat setengah
dari perolehan 1999 dan 2004.

Diawali dengan Pilkada Jatim 2008, dengan dimenangkannnya Sukarwo-Gus Ipul, menjadi
pertarungan pemanasan menuju Pilpres 2009. Pilkada Jatim menunjukkan “pemenangnya” adalah
NU, karena 4 kandidat memiliki perwakilan NU. Setahun kemudian pertarungan tiga faksi terbesar di
NU, yaitu faksi Gus Dur yang akan cenderung Golput atau cenderung masuk ke Faksi Mega-Prabowo,
kemudian Kiai NU struktrural di KH Hasyim Muzadi yang lima tahun lampau bertautan dengan Mega
akan beralih peran dengan masuk ke kandang JK Wiranto terkait, kemudian faksi adalah pendukung
SBY-Budiono dengan motor Muhaimin Iskandar, Gus Ipul dengan GP Anshornya didukung oleh kiai-
kiai yang berada di belakang Muhaimin saat konflik PKB.

Jawa Timur sebagai kandang NU terbesar di Indonesia akan menjadi pertarungan 3 koalisi Capres
dan Wapres, JK sudah tidak bisa berharap dengan daerah Mataraman yang akan menjadi basis
Politik SBY-Budi dan Mega Prabowo, sekarang medan tempur sesungguhnya akan terjadi di daerah
tapal kuda dan madura yang menjadi ceruk perebutan ketiganya. Pertarungan sesungguhnya akan
terjadi antara Kubu JK Win yang “didukung” oleh Hasyim Muzadi dan Kubu SBY Budiono yang
didukung oleh Gus Ipul, Muhaimin dan kiai-kiai desa pendukungnya. 40 juta massa NU yang tersebar
di seluruh Indonesia menjadi lahan pertarungan ketiga kubu. NU dengan struktur organisasi yang
cair dan berbentuk federasi ulama-ulama dibandingkan ikatan organisasi yang dikuasai satu patron
pemimpin. Setiap faksi tidak mampu mengikat massa NU secara keseluruhan. NU sejak 1950an
masih tetap sama, menjadi arena pertarungan politik untuk meraih massa sarungan.

Di era tahun 1990-an semakin banyak anak-anak muda NU yang belajar di Timur Tengah. Pasca
pendidikan di pesantren-pesantren, mereka melanjutkan pendidikannya di negara asal agama Islam.
Berkat hubungan baik antara pesantren dan lembaga pendidikan di Timur Tengah, selain semakin
meningkatnya kesejahteraan dan kesadaran pendidikan formal di kalangan orang NU, maka banyak
anak muda NU yang dikirim belajar ke sana.

5 |H u b u n g a n N U d e n g a n N K R I
Dalam dekade akhir, sudah banyak di antara mereka yang menempati posisi strategis di dalam tubuh
NU di hampir seluruh Indonesia. Sebagai alumni Pendidikan Timur Tengah, terutama Arab Saudi,
maka corak pemikiran keagamaannya cenderung ke arah Islam formal, artinya Islam harus menjadi
simbol dalam segala hal, tak terkecuali simbol negara. Makanya, banyak di antara mereka yang
cenderung berpikir bahwa NKRI dengan Pancasila dan UUD 1945 bisa saja berubah asalkan sesuai
dengan tataran realitas politik masyarakat.

Ajaran Islam sudah memberikan pedoman dalam segala hal. Islam mengandung ajaran syumuliyah
(komprehensif) dan universal. Hubungan antara politik dan negara lebih cenderung integrated.
Mereka kurang sepakat dengan adagium minyak onta cap babi, apalagi minyak babi cap onta. Sebab
seharusnya adalah minyak onta cap onta. Antara substansi dan simbol harus sama. Di dalam
studinya, Ali Maskan (2007) menyatakan bahwa elite NU juga ada yang dikategorikan sebagai Elite
NU Fundamentalis, selain yang Moderat dan Fragmatis. Mereka yang beranggapan bahwa Islam
mengandung ajaran yang syumuliyah, Pan Islamisme, Universalisme dan formalisasi syariat
ditipologikan sebagai Elite NU Fundamentalis.

Mereka juga sangat antusias dalam mengapresiasi berbagai macam konsepsi yang dikembangkan
oleh MUI terkait dengan pelarangan terhadap aliran sesat, liberalisme dan pluralisme. Kelompok ini
dianggapnya akan dapat menggerogoti terhadap keaslian Islam. Islam yang suci murni harus
dijauhkan dari doktrin yang bertentangan dengannya. Islam harus tetap genuine sebagaimana
sumber aslinya.

NU memang dikenal sebagai organisasi keagamaan yang mengusung moderatisme yang rahmatan lil
alamin. KH Hasyim Muzadi di dalam berbagai forum mendengungkan tentang Islam dalam coraknya
seperti ini. Dan NU memang diapresiasi oleh banyak kalangan juga berkat konsep tawazunisme,
i’tidalisme, dan tawasutisme, namun dinamis dan kontekstual. Islam tidak hanya ramah terhadap
sesama umat Islam tetapi juga terhadap lainnya, bahkan terhadap seluruh lingkungan. Islam sebagai
mayoritas dapat menjadi pelindung bagi kaum minoritas. Makanya harus terdapat formulasi yang
tepat untuk semuanya itu. Di dalam sistem kenegaraan, maka pilihannya adalah NKRI dengan asas
Pancasila dan UUD 1945.

D.    PERAN NU PADA MASA ORDE BARU

Setelah Kabinet Ampera terbentuk (25 Juli 1966). Menyusul tekad membangun dicanangkan UU
Penanaman Modal Asing (10 Januari 1967), kemudian Penyerahan Kekuasaan Pemerintah RI dari
Soekarno kepada Mandataris MPRS (12 Februari 1967), lalu disusul pelantikan Soeharto (12 Maret
1967) sebagai Pejabat Presiden sungguh merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Gerakan Pemuda
Ansor.  Luapan kegembiraan itu tercermin dalam Kongres VII GP Ansor di Jakarta. Ribuan utusan
yang hadir seolah tak kuat membendung kegembiraan atas runtuhnya pemerintahan Orde Lama,
dibubarkannya PKI dan diharamkanya komunisme, Marxisme dan Leninisme di bumi Indonesia.

Bukan berarti tak ada kekecewaan, justru dalam kongres VII itulah, rasa tak puas dan kecewa
terhadap perkembangan politik pasca Orla ramai diungkapkan. Seperti diungkapkan Ketua Umum GP
Ansor Jahja Ubaid SH, bahwa setelah mulai rampungnya perjuangan Orde Baru, diantara partner
sesama Orba telah mulai melancarkan siasat untuk mengecilkan peranan GP Ansor dalam
penumpasan G-30 S/PKI dan penumbangan rezim Orde Lama. Bahwa suasana Kongres VII, dengan
demikian, diliputi dengan rasa kegembiraan dan kekecewaan yang cukup mendalam.

6 |H u b u n g a n N U d e n g a n N K R I
Kongres VII GP Ansor berlangsung di Jakarta, 23-28 Oktober 1967. hadir dalam kongres tersebut
sejumlah utusan dari 26 wilayah (Propinsi) dan 252 Cabang (Kabupaten) se-Indonesia. Hadir pula
menyampaikan amanat; Ketua MPRS Jenderal A.H.Nasution; Pejabat Presiden Jenderal Soeharto;
KH. Dr Idham Chalid (Ketua PBNU); H.M.Subchan ZE (Wakil Ketua MPRS); H. Imron Rosyadi, SH
(mantan Ketua Umum PP.GP Ansor) dan KH.Moh. Dachlan (Ketua Dewan Partai NU dan Menteri
Agama RI).

Kongres kali ini merupakan moment paling tepat untuk menjawab segala persoalan yang timbul di
kalangan Ansor. Karena itu, pembahasan dalam kongres akhirnya dikelompokan menjadi tiga tema
pokok: (1) penyempurnaan organisasi; (2) program perjuangan gerakan; dan (3) penegasan politik
gerakan.

Dalam kongres ini juga merumuskan Penegasan Politik Gerakan sbb: (1) Menengaskan Orde Baru
dengan beberapa persyaratan: (a). membasmi komunisme, marxisme, dan leninisme. (b) menolak
kembalinya kekuasaan totaliter/Orde Lama, segala bentuk dalam manifestasinya. (c)
mempertahankan kehidupan demokrasi yang murni dan (d) mempertahankan eksistensi
Partijwezen; (2) Toleransi Agama dijamin oleh UUD 1945. Dalam pelaksanaannya harus
memperhatikan kondisi daerah serta perasaan penganut-penganut agama lain; (3) Mempertahankan
politik luar negeri yang bebas aktif, anti penjajahan dan penindasaan dalam menuju perdamaian
dunia.

Rumusan penegasan politik tersebut tentu dilatarbelakangi kajian mendalam mengenai situasi politik
yang berkembang saat itu. Kajian atau analisis itu, juga mengantisipasi perkembangan berikutnya.
Memang begitulah yang dilakukan kongres. Perkara politik itu pula-lah yang paling menonjol dalam
kongres VII tersebut. Itulah sebabnya, dalam kongres itu diputuskan: Bahwa GP Ansor memutuskan
untuk ikut di dalamnya dalam penumpasan sisa-sisa PKI yang bermotif ideologis dan strategis.
Kepada yang bermotif Politis. Ansor menghadapinya secara kritis dan korektif. Sedangkan yang
bermotif terror, GP.Ansor harus menentang dan berusaha menunjukkan kepalsuannya. Atas dasar
itulah, GP Ansor mendukung dan ikut di dalamnya dalam operasi penumpasan sisa-sisa PKI di Blitar
dan Malang yang dikenal dengan operasi Trisula. Bahkan GP Ansor waktu itu sempat mengirim
telegram ucapan selamat kepada Pangdam VIII/Brawijaya atas suksenya operasi tersebut. Ansor ikut
operasi itu karena, operasi di kedua daerah tersebut bermotif ideologis dan strategis.

Sesungguhnya kongres juga telah memperediksi sesuatu bentuk kekuasaan yang bakal timbul.
Karena itu, sejak awal Ansor telah menegaskan sikapnya: menolak kembalinya pemerintahan tiran.
Orde Baru ditafsirkan sebagai Orde Demokrasi yang bukan hanya memberi kebebasan menyatakan
pendapat melalui media pers atau mimbar-mimbar ilmiah. Tapi, demokrasi diartikan sebagai suatu
Doktrin Pemerintahan yang tidak mentolerir pengendapan kekuasaan totaliter di suatu tempat.
Seperti kata Michael Edwards dalam buku Asian in the Balance, bahwa kecenderungan di Asia, akan
masuk liang kubur dan muncul authoritarianism. Pendeknya, demokrasi pada mulanya di salah
gunakan oleh pemegang kekuasaan yang korup hingga mendorong Negara ke arah Kebangkrutan.
Lalu, sebelum meledak bentrokan-bentrokan sosial, kaum militer mengambil alih kekuasaan, dan
dengan kekuasaan darurat itulah ditegakkan pemerintahan otoriter. Begitulah kira-kira Michael
Edwards.

7 |H u b u n g a n N U d e n g a n N K R I
KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas maka dapat Disimpulkan bahwa Pesantren sebagai front perlawanan
terhadap penjajah merupakan kenyataan sejarah yang terjadi disetiap tempat dan sembarang
zaman. Perlawanan digerakkan dari pesantren dan karenanya pesantren menjadi basis perlindungan
kaum pejuang kemerdekaan. Nadhlatul Ulama (NU) yang berdiri 31 Januari 1926 berdasarkan
semangat kebangkitan nasional, memegang peranan penting dalam kemerdekaan Republik
Indonesia (RI).

Warga NU baik dari kalangan Kiai maupun santrinya tercatat pernah ikut memperjuangkan
kemerdekaan negara tercinta ini. NU dalam setiap penyelenggaraan pemilu menjadi gadis molek
yang diperebutkan semua kekuataan politik sejak Orde Lama sampai dengan paska Orde baru. NU
mulai berpolitik sejak bergabung dengan entitas organisasi masyarakat keislaman lain membentuk
Masyumi, pada zaman demokrasi liberal paska kemerdekaan Luapan kegembiraan itu tercermin
dalam Kongres VII GP Ansor di Jakarta. Ribuan utusan yang hadir seolah tak kuat membendung
kegembiraan atas runtuhnya pemerintahan Orde Lama, dibubarkannya PKI dan diharamkanya
komunisme, Marxisme dan Leninisme di bumi Indonesia.

______________________________________demikian____________________________________

8 |H u b u n g a n N U d e n g a n N K R I

Anda mungkin juga menyukai