Anda di halaman 1dari 4

MEMAHAMI MAKNA FILOSOFI PUASA

Puasa Ramadhan adalah salah satu dari rukun islam. Biasanya disebut bahwa rukun islam

yang ketiga adalah puasa, namun dalam beberapa riwayat puasa disebutkan setelah syahadat,

shalat zakat, baru puasa dan haji. Di antara haditsnya bersumber dari Umar ibn Khattab tentang

seorang malaikat yang datang dan bertanya kepada Rasulullah SAW tentang apa itu iman, islam

dan ihsan. Kelima hal ini kemudian disebut sebagai rukun islam. Namun kata islam dalam rukun

islam di sini tidak semaksud dengan Islam dalam pengertian Dinul Islam atau agama Islam,

sebab iman, islam dan ihsan sebagaimana hadits bagian dari Dinul Islam dan Dinul Islam itu

sendiri dibagi kepada tiga aspek yaitu aqidah, syariah dan akhlak meskipun memang keduanya

mempunyai arti etimologi yang sama, yaitu tunduk dan pasrah.

Tunduk dan pasrah adalah sebuah manifestasi dari sesuatu, dalam hal ini adalah iman.

Karena iman letaknya di hati, maka ia butuh kepada bukti dalam bentuk realisasinya.

Maksudnya, ia butuh bukti kongkrit dalam bentuk perilaku. Akibatnya sikap pasrah dan tunduk

hanya bisa dipahami jika diberikan dan dibuktikan dalam contoh- contoh langsung dan dalam

bentuk tindakan langsung. Jika tidak, iman akan menjadi sebuah omong kosong belaka. Untuk

itu agama Islam memberikan tuntunan praktik tentang pasrah dalam bentuk ritual peribadatan,

yaitu berupa syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji dalam rangka membuktikan keimanan.

Terkait dengan puasa Ramadhan, karena hal itulah Allah memanggil orang- orang beriman untuk

membuktikan keimanannya dengan berpuasa (Q.S Albaqarah:183).

Puasa adalah sebuah ritus ibadah yang mengorbankan fisik untuk tunduk dan patuh

kepada penciptanya. Membuktikan keimanan dengan berpuasa bukanlah hal yang mudah,

karena harus mengorbankan dua hal yang azasi, primer dan fitrah dari manusia yaitu kebutuhan

makan-minum dan naluri seksualitas. Mungkin, jika bukan sang Pencipta yang mewajibkannya,
tiada manusia yang mau berlapar- lapar dan menahan rasa haus sepanjang hari di bulan

Ramadhan yang mempunyai arti leksikal panas dan membakar itu. Namun karena puasa adalah

sebentuk bukti iman dari seorang hamba kepada pencipta maka orang- orang beriman mau

melaksanakannya, begitu juga dengan umat dari nabi- nabi terdahulu.

Puasa Umat Terdahulu

Dalam surah Albaqarah ayat 183 Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman,

diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar

kamu bertakwa”. Ayat ini setelah menetapkan kewajiban berpuasa dan tujuannya juga

menjelaskan bahwa umat terdahulu juga diwajibkan berpuasa. Di dalam kitab- kitab tafsir

berbeda pendapat dalam memahami maksud frasa ini. Ada yang menafsirkan kata “sebagaimana

diwajibkan atas umat-umat sebelum kamu” sebagai sebuah taukid (penekanan) atas perintah

puasa itu. Namun ada juga yang menyanggah itu sebagai sebuah taukid namun memang untuk

menjelaskan bahwa umat terdahulu juga berpuasa.

Dalam banyak riwayat disebutkan variasi puasa umat terdahulu, bahkan ada pula yang

dilakukan oleh Rasulullah, seperti puasa Asyura. Dari ‘Abdullah bin Abbas berkata:. “Nabi

SAW tiba di Madinah, maka beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa Asyura. Beliau

bertanya kepada mereka: “Ada apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah hari yang baik. Pada hari

ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka. Maka Nabi Musa berpuasa pada hari

ini.” Kemudian Nabi SAW bersabda, “Saya lebih layak dengan Nabi Musa dibandingkan

kalian”. Maka beliau berpuasa Asyura dan memerintahkan shahabat untuk berpuasa (H.R.

Bukhari dan Muslim).

Selain itu ada puasa Nabi Daud, hal mana Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik shalat di sisi

Allah adalah shalatnya Nabi Daud. Dan sebaik-baik puasa di sisi Allah adalah puasa Daud. Nabi
Daud dahulu tidur di pertengahan malam dan beliau shalat di sepertiga malamnya dan tidur lagi

di seperenamnya. Adapun puasa Daud yaitu puasa sehari dan tidak berpuasa di hari berikutnya.”

(HR. Bukhari ).

Memahami Hikmah Puasa

Pelaksanaan puasa hendaknya didekati dengan dua pendekatan; secara fikih dan secara

hikmah al-tasyri’. Dalam pendekatan fikih pembahasan puasa akan berbicara tentang hukum

puasa, syarat rukun dan sah batalnya puasa. Misalnya manakala seseorang telah menahan lapar

dan haus serta hasrat seksualitasnya dari terbit fajar hingga terbenam matahari, maka secara fikih

telah gugurlah taklif puasa atasnya. Ilmu fikih mengajarkan cara-cara menjalankan puasa agar

pengamalannya benar, apa yang harus dilakukan dan apa saja yang harus ditinggalkan dari hal-

hal yang membatalkan puasa. Dengan ilmu Fikih ini dapat kita ketahui, apakah puasa yang

dilakukan seseorang itu sah ataukah batal. Apabila terpenuhi syarat dan rukunnya dan tidak

melanggar hal- hal yang membatalkannya, maka puasa seseorang itu sah. Maka sah atau batalnya

puasa seseorang, dapat diketahui dengan ukuran ilmu fikih.

Adapun urusan apakah puasa itu diterima oleh Allah ataukah tidak, hal itu sudah bukan

urusan ilmu fikih, dan manusia tidak berhak menentukannya kecuali ada penjelasan dari Syari’,

karena diterima atau tertolaknya ibadah puasa seseorang adalah hak Allah SWT secara mutlak.

Puasa yang tidak sah sudah tentu tidak diterima oleh Allah SWT., karena sama saja dengan tidak

melakukan puasa. Sedangkan agar puasa yang sah menurut ukuran ilmu fikih dapat diterima dan

mendapatkan balasan pahala dari Allah, harus bersih dari perbuatan-perbuatan yang tercela,

sebab hanya puasa yang sah dan bersih dari perbuatan-perbuatan yang tercela yang akan diterima

dan memperoleh pahala dari Allah SWT. Sehingga di dalam hal ini Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah

tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari). Dan hadis “Puasa bukanlah

hanya menahan makan dan minum saja, akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari

perkataan sia-sia dan kotor (HR. Ibnu Majah dan Hakim). Ada juga hadis lain yang senada

seperti: “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya

tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Thabrani).

Di sinilah letak urgensi memahami puasa melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan fikih

dan hikmah tasyri’nya sehingga puasa yang dilakukan diketahui sah secara hukum dan

memperoleh pahala dari sisi Allah SWT. Dua pendekatan ini juga bisa diaplikasikan dalam

mengevaluasi ibadah- ibadah lain, seperti shalat, zakat dan haji. Apakah sejumlah ritus ibadah

tersebut hanya dikerjakan sebatas sahnya saja atau dikerjakan dengan memahami hikmahnya,

sehingga mampu membuahkan efek lebih pada diri seseorang pasca melakukan sebuah ritual

ibadah.

Anda mungkin juga menyukai