Anda di halaman 1dari 89

-AFIFUDDIN MUHAJIR-

Negara Kesatuan Republik


Indonesia (NKRI) dalam
Timbangan Syariat
(Kajian Pancasila dari Aspek Nushūsh dan Maqāshid)

Negara ini menderita oleh deretan episode penjajahan dalam


rentang waktu yang panjang setelah mayoritas penduduknya
memeluk agama Islam. Setelah proklamasi kemerdekaan,
didirakanlah republik dan pemerintahan nasional. Dan untuk
pertama kalinya setelah tiga ratus tahun bangsa ini merasakan
nikmatnya kemerdekaan. Setelah melewati perbedaan pendapat
yang tajam, para pendiri bangsa akhirnya sepakat menjadikan
Pancasila sebagai dasar bagi Negara yang baru didirikan.
Saya berpandangan bahwa Pancasila dalam hubungannya
dengan syariat berkisar di antara tiga kemungkinan. Pertama, ia
tidak bertentangan dengan syariat karena berdasarkan istiqrā’

NEGARA KESATUAN REPULIK INDONESIA (NKRI)


tidak ditemukan sama sekali ayat maupun hadis yang bertentangan
dengan lima silanya. Kedua, ia sesuai dengan syariat karena
berdasarkan istiqrā’ juga ditemukan sejumlah ayat dan hadis yang
selaras dengan kelima silanya. Ketiga, ia adalah syariat itu sendiri.
Saya memiliki kesimpulan beberapa poin berikut. Pertama,
NKRI yang berdasarkan Pancasila adalah bersifat syar‘iy, yakni
sesuai dengan syariat Islam baik dalam nashūsh maupun maqāshid.
Kedua, Pancasila bukan penghalang (māni‘) untuk menerapkan
aturan syariat di negara yang berlandaskan atasnya. Ketiga,
Konsekuensi menjadikan Pancasila sebagai dasar negara adalah
seluruh undang-undang negara tidak boleh bertentangan dengan
salah satu dari sila Pancasila. Keempat, Republik Indonesia adalah
negara kesepakatan yang berdiri di atas asas yang mendapatkan
kesepakatan.
Kata Kunci: Indonesia, Pancasila, Nushūsh, dan Maqāshid.
|1
-AFIFUDDIN MUHAJIR-

Sekilas Sejarah Pancasila

Gerakan kemerdekaan Indonesia menunjukkan polarisasi bipolar.


Gerakan nasional sekuler yang berdasarkan patriotisme ansih, dan
gerakan nasional Islam yang berdasarkan Islam dan patriotisme.
Kedua ideologi ini mewarnai sidang pertama Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang
berlangsung dari tanggal 29 Mei hingga 1 Juni 1945.

Ada demarkasi yang jelas antara mereka yang menginginkan


negara sekuler dengan mereka yang menginginkan negara Islam.
Kekuatan Islam meminta agar Islam dan syariahnya menjadi dasar
negara ini. Kekuatan sekuler menolaknya dan meminta sekularisme
yang menjadi dasarnya. Itu adalah dua prinsip yang tidak dapat
dikumpulkan karena keduanya berlawanan. Perselisihan ini sangat
berbahaya. Sebab seandainya tidak menemukan kesepakatan,
negara ini tidak akan pernah ada. Masing-masing kelompok
bersikeras mewujudkan apa yang menjadi impiannya. Sementara
air mata, darah, harta, dan jiwa semua telah dikorbakan.

NEGARA KESATUAN REPULIK INDONESIA (NKRI)


Bahtiar Effendy mengatakan, “Tuntutan ideologis perjuangan
politik untuk sebuah negara Islam pada awal kemerdekaan bangsa
Indonesia hingga setidaknya tahun 1950-an adalah logis dan
masuk akal, karena kondisi politik membuka peluang terjadinya
persaingan aktif baik bagi kelompok Islam maupun nasionalis. Titik
pusat perjuangan Islam adalah bentuk negara dan konstitusinya,
karena Islam adalah agama dan sistem politik sekaligus. Oleh
karena itu, jika Islam dipaksakan menjadi agama substansial pada
masa itu, maka ini berarti Islam hanya terkait dengan nilai-nilai
ajarannya, padahal negara yang dibentuk masih mencari wujud
dasar negara, maka Islam wajib dipandang dan dipraktikkan pada
tataran ideologis dan simbolik”.
Tanggal 1 Juni 1945, hari terakhir sidang pertama, Soekarno
menyampaikan pidato yang mengajukan lima prinsip yang
disebutnya Pancasila sebagai dasar negara, yaitu (1) kebangsaan,
(2) internasionalisme, (3) demokrasi, (4) kesejahteraan sosial, dan
|3
(5) ketuhanan. Soekarno menegaskan, dengan prinsip demokrasi,
|4

aturan-aturan Islam mungkin untuk dikodifikasi melalui badan


perwakilan rakyat. Pidato kompromi Sukarno ini ternyata efektif
meredam runcing perselisihan.
Akhirnya, kedua kelompok sepakat setelah memuncaknya
konflik dengan kesepakatan bahwa Pancasila lah yang menjadi dasar
negara, bukan Islam seperti yang diinginkan oleh kaum Islamis,
juga bukan sekularisme seperti yang dicita-citakan oleh kaum
sekuler. Pancasila dalam hal ini lebih merupakan kontrak sosial
dan kompromi politik daripada sebagai dasar dan falsafah negara.
DALAM TIMBANGAN SYARIAT

Demikianlah pendapat Sutan Takdir Ali Shahbana. Meski demikian,


dia tetap memilih Pancasila karena mampu menyelamatkan rakyat
Indonesia di saat krisis. Nasionalis Islam seperti Hamka, Saifuddin
Zuhri, dan Muhammad Nasir juga memiliki pandangan yang sama.
Sementara itu, sub-komite beranggotakan delapan orang
dibentuk untuk membahas, bersama Soekarno, masalah yang
muncul. Panitia Sembilanbelas menyelesaikan Piagam Jakarta
dan ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945. Piagam tersebut
mencakup lima prinsip berikut:
1. Ketoehanan, dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam
bagi pemeloek-pemeloeknja.
2. Kemanoesiaan jang adil dan beradab
3. Persatoean Indonesia
4. Kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat, kebidjaksanaan
dalam permoesjawaratan/perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seloeroeh rakjat Indonesia
Sehari setelah kemerdekaan yaitu pada tanggal 18
Agustus 1945, Pancasila dideklarasikan sebagai dasar negara,
dan ditempatkan pada pembukaan konstitusinya. Itu setelah
penghapusan frasa “dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam
bagi pemeloek-pemeloeknja.”, sehingga sila pertama berubah
menjadi “Ketuhanan Yang Esa”. Alasan penghapusan adalah
warning dari umat Kristiani di wilayah timur Indonesia untuk
memisahkan diri dan membentuk negara merdeka bila frasa
tersebut tidak dihilangkan. Tentu kekuatan Islam berkeberatan,
tetapi setelah musyawarah dan istikharah, mereka akhirnya mantap
menghapusnya. Mereka menilai ketiadaannya tidak seserius dan
seberbahaya disintegrasi negara. Lagi pula, masih menurut mereka,
disintegrasi berarti mempersempit medan dakwah karena tidak ada
kebebasan memasuki negara lain untuk kepentingan da‘wah ila
Allāh .
Singkatnya, Pancasila melewati tiga tahapan. Pertama,
tahap 1 Juni 1945, ketika Soekarno dalam pidatonya mengajukan
lima prinsip yang dirumuskannya sendiri. Soekarno menamainya
Pancasila. Benarlah pendapat yang menyatakan bahwa Pancasila
lahir untuk pertama kalinya pada rentang waktu ini dengan
pertimbangan bahwa Soekorno lah yang menamainya Pancasila di
sela-sela pidatonya.
Kedua, tahap 22 Juni 1945, ketika Panitia Sembilan
menetapkan lima prinsip yang dikenal dengan Piagam Jakarta.
Ketiga, tahap 18 Agustus, di mana disepakati penghapusan frasa
“dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-
pemeloeknja”, dan menambahkan Yang Maha Esa sebagai gantinya.
Inilah fase terakhir Pancasila. Dengan pertimbangan ini dan dengan
melihat bahwa kesepakatan ini tercapai setelah Negara berdiri,
benar juga pendapat yang menyatakan bahwa Pancasila lahir pada
masa ini (18 Agustus 1945). Adjektiva “keesaan” untuk nomina
“ketuhanan” mengungkapkan kehendak sebagian besar penduduk,
yakni umat Muhammad ` yang mengimani bahwa Allah  adalah
Esa.
Terbetik dalam pikiran bahwa kesepakatan yang kita capai

NEGARA KESATUAN REPULIK INDONESIA (NKRI)


untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara bukanlah
alternatif ideal, melainkan degradasi aspirasi dari apa yang
diupayakan oleh kedua kelompok. Betul memang, ini adalah
penurunan dari langit idealitas ke bumi realitas. Hal seperti ini
acapkali terjadi, terutama dalam kehidupan kontemporer kita.
Para ahli Fikih menyatakan bahwa di antara syarat hakim adalah
memunyai kapasitas berijtihad, yakni menggali hukum langsung
dari dalil-dalil terperinci (al-adillat al-tafshīliyyah). Sudah cukup
lama umat Islam tidak menemukan hakim yang mencapai level
kapasitas ini. Seandainya kita berkomitmen kaku pada syarat ini
serta tidak mengabsahkan putusan hakim yang bukan mujtahid,
barang pasti permasalahan-permasalahan hukum terbengkalai
tanpa putusan dan masyarakat berada dalam krisis.
|5
Kondisi demikian tidak direstui oleh syarī‘ah ħanafiyah yang
|6

toleran, ia tidak membebani seseorang di luar kemampuannya. Allah


 berfirman, “Tuhan tidak membebani jiwa di luar kekuatannya.”
Al-Bukhari  meriwayatkan bahwa Rasulullah  bersabda: “Jadi
jika saya melarang kalian sesuatu, hindarilah, dan jika saya
memerintahkan Anda untuk melakukan sesuatu, lakukan semampu
kalian”. Sabdanya lagi, “Tuhan senang bahwa hukum rukhsah
(dispensasi) dipilih hamba-Nya, sesenang hukum ‘azīmah yang
dipilih.” Bisa dikatakan bahwa kesepakatan menjadikan Pancasila
sebagai dasar negara menjadi hal ideal karena telah menjadi satu-
satunya cara menyelesaikan perselisihan dan pertentangan. Tanpa
DALAM TIMBANGAN SYARIAT

kehadirannya, semua akan merasakan kekecewaan karena harapan


tidak berbuah kenyataan. Pada dimensi ini, realitas menjadi
idealitas. Sebab mara bahaya harus dihindarkan, mengusir mafsadat
diutamakan daripada mengundang maslahat, dan apa yang tidak
mungkin diraih seutuhnya jangan sampai ditinggalkan sepenuhnya.
-AFIFUDDIN MUHAJIR-

Sekilas tentang
Nushūsh al-Syarī‘ah

Sudah diketahui oleh hampir semua santri bahwa yang dimaksud


dengan nushūsh al-syarī‘ah adalah teks-teks suci Alkitab yang
diturunkan Allah kepada Rasul-Nya  untuk membimbing
manusia dan membawa mereka keluar dari kegelapan menuju
terang, sebagaimana juga dimaksudkan teks-teks Sunnah yang
dituturkan, dilakukan, dan diikrarkan Rasulullah . Nabi
menasehati umatnya supaya mematuhi Alquran dan Sunnah dan
agar sentiasa berpegangan pada muatan keduanya dalam urusan
diniyah dan duniawiyah. Sabdanya menegaskan kalau kesesatan
dapat dihindari dengan berpedoman kepada Alquran dan Sunnah,
“Wahai manusia, aku tinggalkan untuk kalian sesuatu yang kalau
kalian teguh memegangnya, kalian tidak akan tersesat, yaitu
Kitabullah dan Sunnah nabi-Nya.”
Dari keduanya lahir hukum, kaidah, dan sistem untuk

NEGARA KESATUAN REPULIK INDONESIA (NKRI)


menegakkan kehidupan yang adil dan mewujudkan pengabdian
kepada Allah Yang Maha Esa. Hukum, kaidah, dan sistem inilah
yang disebut syariah yang Dia perintahkan untuk kita ikuti. Firman-
Nya, “Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat
(peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu.”
Ibn Ashur berkata dalam Al-Taħrīr, “Syariah, adalah agama
yang dianut, derivasi kata al-syar‘, berarti membuat jalan untuk
ditempuh.” Qatadah berkata, “Syariah adalah perintah, larangan,
ħudūd, dan farāidh.”Al-Qurtubi menulis, “Syariah menurut bahasa
adalah jalan menuju mata air.” Syariah menurut istilah adalah
agama yang Allah tetapkan untuk hamba-hamba-Nya.”
Sinonim syariah adalah syir‘at yang termaktub dalam firman,
“‫للك جعلنا منكم رشعة ومنهاجا‬/untuk tiap-tiap umat diantara kamu,
Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” Al-Qurtubi berkata,
“Syir‘ah dan syarī‘ah adalah jalan nyata yang ditempuh untuk
|7
mencapai keselamatan.” Definisi-definisi ini pada dasarnya memiliki
|8

substansi yang sama dengan apa yang telah saya kemukakan.


Syariat Islam dalam pengertian luasnya semakna dengan
agama Islam. Dalam pengertian sempitnya, ia adalah bagian
dari Islam, yaitu hukum-hukum praktis yang berkaitan dengan
perbuatan mukallaf. Selajutnya, untuk memahami nushūsh al-
syarī‘ah secara komprehensif dibutuhkan beberapa hal berikut:
1. Memerhatikan detail gaya bahasa arab, metode
signifikasinya, dan arti denotasi dan konotasinya baik
kata, frasa, maupun kalimat. Yang demikian hanya mudah
DALAM TIMBANGAN SYARIAT

dilakukan oleh orang yang mengusai kaidah-kaidah bahasa.


2. Menghubungkan nashsh dengan nashsh. Maka perlu
mengaitkan antara satu ayat dengan ayat lainnya, hadis
yang satu dengan hadis yang lain, ayat dengan hadis, atau
hadis dengan ayat. Hal ini karena nushūsh al-syarī‘ah
adalah satu kesatuan yang tidak terlepaskan antara yang
satu dengan yang lain. Interkoneksi ini tercermin antara
lain dengan bayān al-mujmal, takhshīsh al-āmm, taqyīd
al-mutlaq, atau taudhīħ al-musykil.
Kita tidak akan mengerti apa yang dimaksud dengan
firman, “‫أحلت لكم بهيمة األنعام إال ما يتىل عليكم‬/Dihalalkan
bagimun binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan
kepadamu.”, seandainya tidak menghubungkannya dengan
ayat yang menjelaskan dan menafsirkan apa yang dimaksud
firman tersebut, yaitu firman-Nya, “‫حرمت عليكم امليتة وادلم وحلم‬
‫اخلزنير‬/Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,
daging babi..”
Sementara orang menduga bahwa mark up dari
pokok harta dalam hutang dan kredit bukan riba yang
diharamkan asal tidak berlipat ganda. Itu berpedoman
pada firman, “‫ال تأكلوا الربا أضعافا مضاعفة‬/Jangankalah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda.” Salah paham ini
dikoreksi oleh firman di akhir surat al-Baqarah, “‫وإن تبتم فلكم‬
‫رءوس أموالكم ال تظلمون وال تظلمون‬/Dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu
tidak menganiaya dan (pula) dianiaya.”
Ayat terakhir menjelaskan bahwa kreditur hanya berhak
mengambil kembali pokok harta, tidak boleh lebih atau
kurang. Dengan demikian, semua mark up dalam hutang-
piutang adalah riba yang haram walaupun kecil.
Imam al-Rāziy ketika menafsirkan ayat ini menulis,
“‫”ال تظلمون وال تظلمون‬, yakni kalian tidak menzalimi debitur
dengan meminta lebih dari pokok harta, juga tidak dizalimi
dengan yang kurang dari pokok harta. Sedangkan firman
“‫ ”أضعافا مضاعفة‬secara sintaksis adalah adverbial yang tidak
bisa disimpulkan mafhūm mukhālafah-nya karena ia
dicantumkan semata untuk mendeskripsikan kenyataan (li
muwāfaqat al-wāqi‘).
Syeikh al-Islam Zakariya al-Anshari menulis dengan
singkat tentang syarat kevalidan mafhūm mukhālafah,
“Syarat mafhūm mukhālafah adalah tiada tujuan lain
dari disebutkannya manthūq selain untuk menegasikan
hukum maskūt ‘anh.” Penyebutan “‫ ”أضعافا مضاعفة‬tidak
bertujuan untuk menafikan riba dari yang mark up yang
tidak berlipat-ganda, tetapi untuk menjelaskan kenyataan
semata. Demikian juga al-Alusi dan Ibn ‘Asyur mengatakan
yang serupa dalam kitab tafsir mereka.
Berdasarkan hadis “‫من بدل دينه فاقتلوه‬/siapa yang
mengganti agamanya, bunuhlah dia,” orang murtad,

NEGARA KESATUAN REPULIK INDONESIA (NKRI)


konversi agama dari Islam ke agama lain, wajib diadili dan
dituntut dengan hukuman mati. Tetapi, adalah bijaksana
bila menghubungkannya dengan hadis lain, yaitu hadis “‫ال‬
،‫ اثليب الزاين‬:‫حيل دم امرئ مسلم يشهد أن ال هلإ إال اهلل وأين رسول اهلل إال باحدى ثالث‬
‫ واتلارك دلينه املفارق للجماعة‬،‫وانلفس بانلفس‬/tidak halal darah seorang
muslim yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah 
dan bahwa aku adalah rasulullah kecuali karena tiga
perkara: pezina muhshan, pembunuh, dan meninggalkan
agamanya lagi memisahkan diri jamaah.”
Dengan hadis terakhir ini dipahami bahwa tuntutan
hukuman mati untuk orang murtad tidak berlaku mutlak,
tetapi masih dihubungkan dengan sikap separatis dan
subversif. Jadi, semata pindah agama tidak bisa dituntut
hukuman mati. Ini termasuk membawa lafal muthlaq ke
lafal muqayyad.
|9
3. Menghubungkan nushūsh dengan maqāshid. Memahami
| 10

nushūsh secara tekstual belaka dan mencabutnya dari akar


maqāshid al-syarī‘ah menyebabkan syariat mustahil dan
sukar berpadu dengan realitas kehidupan, padahal syariat
mengklaim dirinya padu-padan untuk setiap tempat dan
zaman. Penjelasan dan contoh-contoh akan dikemukakan
dalam sub bab maqāshid al-syarī‘ah.
4. Menghubungkan nushūsh dengan asbāb al-nuzūl (konteks).
Mayoritas mufassir, fuqaha, dan ushūliy berpendapat
bahwa apabila ada teks universal yang turun menyikapi
kasus parsial, maka yang diperhatikan adalah dimensi
DALAM TIMBANGAN SYARIAT

universalitasnya. Kaidah popular mereka, “‫العربة بعموم اللفظ ال‬


‫خبصوص السبب‬/yang diperhatikan adalah universalitas teks
bukan kekhususan konteks”. Dalam makna yang sama
Algazali menulis, “‫ ورود العام ىلع سبب خاص ال يسقط دعوى العموم‬/
Bahwa teks universal turun untuk kasus parsial, itu tidak
menggugurkan universalitasnya.”
Sebagai contoh, firman “‫إن اهلل يأمركم أن تؤدوا األمانات إىل أهلها‬/
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya.” ayat ini turun
untuk menyikapi kasus perampasan kunci Kakbah oleh Ali
 dari Utsman bin Talhah al-Hajabiy, sang pelayan Kakbah,
pada tahun penaklukan Mekkah. Nabi  memerintahkan
Ali untuk mengembalikannya kepada Utsman. Sabdanya,
“‫هاك خادلة تادلة‬/ambillah ini, pegang selamanya turun-
temurun.” Ayat suci, sekalipun turun menyikapi kasus
khusus, universalitasnya tetap diperhitungkan karena
menggunakan bentuk plural. Oleh karena itu, ayat ini
adalah dasar bagi kewajiban menunaikan amanat apapun.
Kendatipun kaidah “ ‫العربة بعموم اللفظ‬/yang
diperhitungkan adalah universalitas teks” diterima,
namun konteks, indikasi, dan sabab al-nuzūl tetap
berdampak pada penentuan luas universalitas teks. Para
ulama sepakat perihal pentingnya mengetahui sabab
al-nuzūl dan kemestian mempertimbangkannya dalam
memahami teks, menafsirkannya, dan menggali makna
berikut hukum-hukumnya. Mereka merumuskan kaidah:
Pengetahuan tentang sebab mewariskan pengetahuan
tentang akibat. Dengan beda kata, lain Imam Al-Shatibi
menulis, “Mengetahui konteks penyebab wahyu mutlak
diperlukan bagi mereka yang hendak mendalami Alquran.”
Di sini, masalah muncul dari kontradiksi yang tampak antara
mempertimbangkan universalitas teks dan memperhatikan alasan
spesifik. Masalah ini dapat terjawab dengan prinsip pemaduan
berikut. Prinsip dasar dalam lafal universal adalah memperhatikan
universalitasnya kecuali bukti konteks, indikasi, dan sabab al-nuzūl
menunjukkan yang sebaliknya.
Dengan cara ini, pupus sudah kebingungan terkait firman
“‫ومن لم حيكم بما أنزل اهلل فأوئلك هم الاكفرون‬/Barangsiapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka
itu adalah orang-orang yang kafir.”
Muncul masalah krusial yang disulut pendapat yang
menghukumi kufur bagi siapa saja yang tidak memberikan putusan
berdasarkan hukum Allah, padahal itu, paling maksimal, adalah
dosa besar. Sementara dosa besar tidak sampai mengeluarkan
seseorang dari Islam ke kufur menurut pendapat ahl al-sunnah
wa al-jamā‘ah.
Sudah maklum, bahwa ayat ini seringkali dijadikan justifikasi
oleh kelompok takfīriy untuk mencap kafir semua orang orang
yang memberikan putusan atau bertindak, baik hakim, pengusa,

NEGARA KESATUAN REPULIK INDONESIA (NKRI)


dan seterusnya, bukan dengan hukum yang Allah turunkan. Hal
ini tercermin jelas dalam hukum-hukum positif dan perjanjian
internasional. Indonesia pun tidak luput dari stempel kafir. Mereka
menyebutnya: negara kafir, negara thāgūt.
Semua ini disebabkan pendekatan dan pemahaman teks
yang mengabaikan konteks, tujuan, dan sabab al-nuzūl ayat. Ayat
ini turun berkaitan dengan Yahudi yang mengganti hukum Taurat
dengan hukum cambukan dan mencoret wajah dengan warna
hitam. Al-Bukhari mengisahkan dari Ibn ‘Umar  bahwa orang-
orang Yahudi datang kepada Nabi membawa pria dan wanita yang
berzina. Nabi bertanya bagaimana mereka memperlakukan orang
yang berzina. “Kami mencoret-coret wajah dengan warna hitam
dan memukulinya.” Nabi menelisik lebih jauh, apakah mereka tidak
menemukan hukuman rajam dalam taurat. Mereka kompak jawab,
| 11
tidak sama sekali. Maka seketika Abdullah bin Salam menukas,
| 12

“Dusta kalian. Mari buka Taurat dan bacakan, kalau memang kalian
benar.”
Dalam ayat ini, universalitas terletak dalam “‫ ”ما‬dan “‫”من‬.
Mā mencakup semua hukum yang berhubungan dengan perbuatan
mukallaf. Sedangkan man mencakup semua orang yang memunyai
otoritas menetapkan hukum di berbagai level dan ruang lingkup,
seperti pemerintah, hakim, ulama, mufti, kepala sekolah, dan
seterusnya. Semua mukallaf yang tidak memutuskan berdasarkan
hukum Allah atau memberikan putusan bukan dengan hukum
DALAM TIMBANGAN SYARIAT

Allah adalah kafir, ini berdasarkan lahir teks ayat. Contohnya


adalah zalim dalam menghakimi, menghukum orang yang tidak
bersalah, membebaskan kriminalis, meluluskan siswa pada ujian
akhir padahal tidak memenuhi syarat kelulusan atau sebaliknya.
Mufassirin berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat
ini. Sebagian ada yang membatasi bahwa kekufuran hanya
khusus orang-orang dimana ayat ini turun untuk mereka, yaitu
beberapa orang Yahudi. Sebagian lain membiarkan ayat ini dalam
universalitasnya. Pada kelompok kedua ini, ada yang menyatakan
itu kafir kecil sahaja, bukan kafir dalam pengertian keluar dari
Islam; ada juga yang mengkhususkan kekufuran hanya bagi siapa
yang hati dan lidahnya ingkar dan menyangkal.
Syeikh al-Mufassirin, al-Thabari, mengutip sejumlah tafsir
perihal ayat ini, dan lalu memungkasi, “Pendapat yang paling
mendekati kebenaran, menurutku, adalah pendapat orang yang
berkata: ayat-ayat ini turun menyikapi orang-orang kafir dari ahlul
kitab. Sebelum dan setelah ayat ini memang turun untuk mereka.
Merekalah yang dimaksud. Ayat-ayat ini dalam konteks berita
perihal mereka…”
Al-Imam al-Razi menilai lemah pendapat yang membatasi
ayat hanya untuk orang-orang Yahudi, demikian juga pendapat yang
menyatakan bahwasanya orang yang tidak menghukumi dengan
apa yang Allah turunkan adalah kafir. Sebab, firman “‫ومن لم حيكم بما‬
‫أنزل اهلل‬/Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah” adalah kalam yang disisipi man syarthiyyah,
sehingga termasuk lafal umum. Kemudian al-Razi mengutip
‘Ikrimah bahwa frasa “‫ ”ومن لم حيكم بما أنزل اهلل‬hanya mencakup orang
yang hati dan lisannya mungkir dan menyangkal. Sedangkan
orang yang hati dan lisan mengakui itu sebagai hukum Allah tapi
lalu memilih hukum yang bertentangan dengannya, dia tetap
memutuskan berdasarkan hukum Allah tapi menanggalkannya,
sehingga tidak mesti dicakup oleh ancaman ayat ini. al-Razi
menyebut bahwa demikianlah pemahaman yang benar.
Al-Qurthubi mengutip pernyataan Ibn Mas‘ud dan Hasan
bahwa ayat ini mencakup siapa saja yang tidak menghukumi
berdasarkan apa yang diturunkan Allah, baik mereka muslim,
yahudi, maupun orang kafir lainnya, asal mereka meyakini itu
hukum Allah sambil menghalalkan hukum pilihannya. Sedangkan
orang melakukan hal itu tapi tetap meyakini bahwa dirinya telah
berbuat perkara haram, maka dia muslim yang fasik. Al-Thabari
mengisahkan bahwa seseorang bertanya kepada Ibn ‘Abbas perihal
tafsir ayat ini. “Apabila seseorang melakukan itu itu, berarti dia
kafir. Tetapi, tidak sama dengan kafir kepada Allah, kafir kepada
hari akhir….” Jawab yang ditanya.
Terlepas dari keanekaragaman tafsir ayat tersebut, tidak ada
di dalamnya yang dapat dijadikan dasar untuk mencap kafir kepada
orang yang semata-mata memutuskan dengan selain apa yang
telah diwahyukan Allah. Ahli tafsir, betapapun pandangan mereka
berbeda pada detail tertentu, mereka sepakat bahwa seorang
muslim tidak keluar dari agamanya lantaran semata memutuskan
dengan selain hukum Allah. Hal itu, karena sebagian membatasi

NEGARA KESATUAN REPULIK INDONESIA (NKRI)


ayat hanya kepada segelintir Yahudi dimana ayat turun tentang
mereka, sebagian lagi memahami kekafiran dalam ayat sebagai
kufur kecil, bukan kufur besar.
| 13
-AFIFUDDIN MUHAJIR-

Sekilas tentang
Maqāshid al-Syarī‘ah

Melalui penelitian induktif atas sejumlah nashsh partikular


(juz’iyyāt) Alquran-Hadis, berikut hukum, ‘illat, dan ħikmah-nya,
ulama sampai pada simpulan universal: bahwa di balik syariat
Islam yang berkarakter komprehensif (syumūl), sempurna, serta
relevan untuk setiap ruang dan waktu, terdapat makna-makna
yang hendak diwujudkan oleh Syāri‘. Makna-makna ini kemudian
diistilahkan dengan Maqāshid al-Syarī‘ah, Maqāshid al- Syāri‘,
atau al-Maqāshid al-Syar‘iyyah.
Selain itu, maqāshid al-syarī‘ah juga dirumuskan dari
nashsh-nashsh yang mendedahkan prinsip-prinsip fundamental
syariat atau asas-asas universal. Prinsip taysīr (memberikan
kemudahan) diperoleh dari firman “‫يريد اهلل بكم اليرس وال يريد بكم العرس‬/
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu.” Prinsip takhfīf (dispensasi dan kelonggaran)

NEGARA KESATUAN REPULIK INDONESIA (NKRI)


dari firman Allah “‫يريد اهلل أن خيفف عنكم‬/ Allah hendak memberikan
keringan kepadamu.” Asas menolak kesulitan dan kesukaran
diambil dari firman “‫وما جعل عليكم يف ادلين من حرج‬/dan Dia tidak
menjadikan kesukaran untukmu di dalam agama.” Asas menolak
kemudaratan (daf‘ al-dharar) diambil dari sabda “‫ال رضر وال رضار‬/
Tidak boleh melakukan sesuatu yang berbahaya maupun yang
membahayakan orang lain.” Begitu juga dengan asas perlindungan
kehormatan kemanusiaan yang disimpulkan dari firman“‫ولقد كرمنا بين‬
‫آدم‬/Dan sungguh telah kami muliakan anak-cucu Adam.”
Prinsip penegakan keadilan dipahami dari firman “‫لقد أرسلنا‬
‫رسلنا بابلينت وأنزنلا معهم الكتب واملزيان يلقوم انلاس بالقسط‬/Sungguh, Kami telah
mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan
Kami turunkan bersama mereka Kitab dan neraca (keadilan) agar
manusia dapat berlaku adil.” Prinsip kesejahteraan dan keamanan
diambil dari firman “‫فليعبدوا رب هذا ابليت اذلي أطعمهم من جوع وآمنهم من خوف‬/
Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (pemilik) rumah
| 15
ini (Ka’bah)” “Yang telah memberi makanan kepada mereka
| 16

untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari


rasa ketakutan.” Prinsip pemerataan ekonomi dikutip dari firman
“‫يك ال يكون دولة بني االغنيآء منكم‬/Agar harta itu tidak hanya beredar
di antara orang-orang kaya saja di antara kamu .” Prinsip
kesejahteraan fakir-miskin melalui zakat fitrah diperoleh dari sabda
“‫أغنوهم عن سؤال هذا ايلوم‬/Cukupkanlah (kebutuhan) mereka agar tidak
meminta-minta di hari ini (hari raya).”
Imam al-Haramain merumuskan ungkapan yang merangkum
cakupan maqāshid al-syarī‘ah, yaitu “‫األغراض ادلفعية وانلفعية‬/tujuan
pencegahan dan kemanfaatan”. Ini berrti bahwa maqāshid al-
DALAM TIMBANGAN SYARIAT

syarī‘ah itu memiliki dua dimensi, yaitu mencegah kemudaratan dan


menarik kemanfaatan yang kemudian lebih popular diungkapkan
dengan “‫جلب املصالح ودرء املفاسد‬/menarik maslahat dan mencegah
mafsadat.
Tāj al-Dīn al-Subkī berkata, “Syakh al-Islām ‘Izz al-Dīn
‘Abd al-‘Azīz bin ‘Abd al-Salām merujukkan Fikih seutuhnya
pada term “‫اعتبار املصالح ودرء املفاسد‬.” yang bila disederhanakan, maka
dapat dikatakan bahwa seluruh produk hukum Fikih sejatinya
bermuara pada “‫اعتبار املصالح‬/pertimbangan maslahat”, karena
menolak mafsadat sudah terkandung dalam term pertimbangan
kemaslahatan. Abū Ishāq Ibrāhīm al-Syāthibī menulis yang serupa,
“Syariat dibuat semata untuk kemaslahatan manusia baik di dunia
maupun akhirat.” Sampai sini dapat disimpulkan bahwa maqāshid
al-syarī‘ah adalah usaha mewujudkan kemaslahatan manusia.
Dari penjelasan ini, disimpulkan bahwa maqāshid dan
mashāliħ adalah dua istilah yang berbeda definisinya (mafhūm)
tapi identik baik ekstensinya maupun maknanya (māshadaq wa
ma‘nāhumā). Demikianlah yang baru saja saya jelaskan secara
implisit dan akan lebih jelas lagi dalam pembahasan berikut ini.
Berdasarkan indera dan pengalaman riil, diketahui bahwa
kemaslahatan manusia terbatas dalam tiga hal dengan jenjang
hierarki berikut:
1. Al-Maslaħah al-Dharūriyyah (primer), yaitu kemaslahatan
yang mesti diwujudkan demi kelestarian hidup manusia
dan stabilitas kemaslahatan mereka. Kealpaan maslahat ini
berarti kacaunya tatanan hidup manusia serta akan terjadi
kekalutan di mana-mana. Al-Maslahah al-dharūriyyah
dalam pengertian ini bermuara kepada perlindungan atas
lima hal, yaitu perlindungan agama, perlindungan hak
hidup, hak berpikir, kehormatan, dan kepemilikan. Abū
Hāmid al-Ghazālī juga mengemas hierarki al-maslahah
al-dharūriyyah dengan urutan yang serupa, hanya saja
menyebutkan “nasl” (hak reproduksi) sebagai ganti dari
“‘irdh” (kehormatan). Lima prinsip ini merupakan induk
maqāshid dan maslahāt yang disebut sebagai al-Dharūriyāt
al-Khams (lima asas universal). Ini menyiratkan pengertian
bahwa maqāshid al-syarī‘ah tidak terbatas dalam lima hal
ini saja. Kelimanya ibarat batang yang dilengkapi dahan,
ranting, buah, dan dedaunan. Islam menjamin untuk
memelihara dharūriyyāt ini, bahkan dengan cara menepis
larangan bila keadaan mendesak (‫)إباحة املحظورات للرضورات‬.
2. Al-Maslaħah al-Ħājiyyah (sekunder), yaitu kemaslahatan
yang diperlukan manusia untuk terwujudnya kemudahan,
kelapangan, dan meringankan beban taklīf dan beban
penat hidup. Alpanya kemaslahatan ini tidak tidak akan
berakibat kacaunya tatanan kehidupan dalam skala besar
layaknya kealpaan al-maslahat al-dharūriyyah, hanya
saja akan menimbulkan kesulitan dan kepelikan. Maslahat
hājiyah bertujuan menampik kesulitan dan menawarkan
keringanan sehingga beban taklīf mudah dipikul,
memudahkan interaksi dan transaksi finansial.

NEGARA KESATUAN REPULIK INDONESIA (NKRI)


3. Al-Mashlaħah al-Taħsīniyyah (tersier), yaitu
kemasalahatan yang sepatutnya ada karena tuntutan
muruah (nama baik) dan moral demi berlangsungnya
kehidupan secara sempurna. Kealpaan maslahat ini tidak
akan menyebabkan kekacauan tatanan kehidupan atau
menimbulkan kepelikan sebagaimana kealpaan maslahat
dharūriyyah dan maslahat ħājiyah, tetapi akan menciderai
nilai-nilai kesopanan dalam pandangan akal dan fitrah yang
sehat. Maslahat taħsīniyah berurusan dengan akhlak mulia
dan istiadat luhur sehingga kehidupan berlangsung dalam
bentuk yang sebaik-baiknya.
| 17
Abū Ishāq Ibrāhīm al-Syāthibī menulis, “Bahwa dari setiap
| 18

teks-teks syariat yang ẓāhir, ‘āmm, mutlaq, muqayyad, dan


juz’iyyāt (partikular) yang secara khusus berbicara mengenai hal-
ihwal maupun kejadian-kejadian tertentu, di setiap bab fikih dan
setiap subbabnya, dapat diambil simpulan bahwa pensyariatan
berporos pada pemeliharaan tiga kemaslahatan yang menjadi
prinsip-prinsip fundamental dari seluruh kemaslahatan manusia.
Dari penjelasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa
dharūriyyāt adalah maqāshid yang paling penting, disusul oleh
hājiyāt, dan selanjutnya tahsīniyāt. Oleh karena itu, hukum-hukum
syariat yang bertujuan memelihara dharūriyyāt merupakan aturan
DALAM TIMBANGAN SYARIAT

yang paling penting dan prioritas utama, kemudian hukum-hukum


yang ditetapkan untuk menyempurnakan hājiyāt, dan yang terakhir
hukum-hukum yang ditetapkan untuk tahsīniyāt. Hukum-hukum
yang disyariatkan untuk memelihara tahsīniyāt dinilai sebagai
penyempurna hukum-hukum yang disyariatkan untuk memelihara
hājiyāt, sedangkan hukum-hukum yang disyariatkan untuk
memelihara hājiyāt dinilai sebagai penyempurna hukum-hukum
yang disyariatkan untuk memelihara dharūriyyāt.
Sekadar contoh, kita wajib menghindari penyakit menular
yang berbahaya demi menjaga keselamatan nyawa meskipun harus
mengganggu pelaksanaan salat berjamaah. Sebab, keselamatan
jiwa bersifat dharūriyyāt, sementara salat berjamaah—bila enggan
menyebutnya tahsīniyāt—merupakan penyempurna (hājiyāt) bagi
dharūriyyāt, yaitu salat itu sendiri.
Memahami maqāshid al-syarī‘ah merupakan bagian
terpenting yang dapat membantu seseorang mampu memahami
teks-teks syariat dan mengimplementasikannya dalam kehidupan
sehari-hari, terutama untuk beberapa hukum yang tak dijelaskan
oleh nashsh.
Dengan merujuk maqhāshid al-syariah, terjawablah
persoalan tentang keabsahan menunaikan nilai zakat fitrah (al-
qīmah fi zakat al-fithr), bukan dalam bentuk beras atau makanan
pokok lainnya, juga tentang keabsahan menunaikan zakat berupa
barang-barang yang tidak disebutkan hadis. Sahabat Abu Said al-
Khudri  menuturkan, “‫ زاكة الفطر عن لك‬- ‫إذ اكن فينا رسول اهلل صىل اهلل عليه وسلم‬
‫ صااع من طعام أو صااع من أقط أو صااع من شعري أو صااع من تمر أو‬،‫ حر أو مملوك‬،‫صغري وكبري‬
‫صااع من زبيب‬/Pada masa Rasulullah  masih hidup, kami membayar
zakat fitrah untuk setiap orang, baik anak kecil maupun dewasa,
merdeka maupun budak, yaitu satu sha’ makanan berupa keju,
atau gandum, atau kurma atau anggur kering.”
Ẓāhir hadis menjelaskan bahwa yang harus dikeluarkan
dalam zakat fitrah hanya terbatas pada apa yang telah disebutkan,
tidak boleh yang lain. Tetapi fukaha, melalui hadis, “‫أغنوهم عن هذا السؤال‬
‫يف هذا ايلوم‬/Penuhilah kebutuhan-kebutuhan mereka (fakir-miskin)
di hari ini”, menyimpulkan bahwa tujuan zakat adalah memenuhi
kebutuhan fakir-miskin. Ulama Hanafiyah membolehkan
pembayaran zakat dalam bentuk uang, bukan makanan seperti yang
disebutkan hadis. Mayoritas fukaha membolehkan pembayaran
zakat fitrah dalam bentuk setiap makanan pokok apapun. Sebab,
tujuan zakat adalah yang penting mencukupi kebutuhan fakir-
miskin, baik dengan beberapa makanan pokok yang disebutkan
hadis, atau makanan pokok lain, atau bahkan dengan mata uang
yang senilai makanan pokok.
Undang-undang lalu lintas termasuk hukum positif yang tidak
memiliki acuan dalil syar‘iy, dalam arti pihak yang merumuskannya
tidak mempertimbangkan hukum dan dalil syariat. Tetapi saya
memastikan undang-undang ini sesuai dengan maqāshid al-
syarī‘ah, karena muaranya adalah menjaga keselamatan jiwa dan
harta. Dengan nalar demikian, tentu undang-undang ini bersifar
syar‘iy yang wajib dipatuhi oleh umat muslimin.

NEGARA KESATUAN REPULIK INDONESIA (NKRI)


Mempertimbangkan maqāshid asy-syarī‘ah berarti
memperluas ruang ijtihad sekaligus membuka peluang menemukan
solusi dari persoalan yang tidak bisa diurai melalui pendekatan
analogi (al-Qiyās). Sebagai contoh, hukum tidak berpuasa Ramadan
bagi para pekerja berat misalnya kuli tani. Hukum kasus ini tidak
dijelaskan dalam Alquran dan hadis. Juga tidak bisa disamakan
hukumnya dengan musafir karena alasan kebolehan tidak berpuasa
terkait dengan perjalanan dalam jarak tempuh tertentu, sesuatu
yang tidak ditemukan pada kuli tani. Namun, tampaknya ada jalan
untuk memperbolehkan itu, yaitu demi menghindari kesulitan
(masyaqqat). Kesulitan mengundang kemudahan. Tak ayal,
menghindari kesulitan adalah salah satu dari tujuan syariat.
Termaktub dalam I‘ānat al-Thālibīn, “Fatwa tersebut secara
implisit menyangkut kebolehan tidak berpuasa bagi kuli tani dan
pekerja kasar lainnya, meskipun mereka tetap wajib berniat puasa
| 19
di malam hari karena boleh jadi tidak mengalami kelelahan serius
| 20

saat bekerja, sehingga tetap wajib berpuasa.


Maqāshid asy-syarī‘ah merupakan kaidah universal yang
membawahi kasus-kasus partikular. Adalah tugas mujtahid saat
menggali hukum-hukum partikular untuk mengaitkannya pada
kaidah-kaidah universal, sembari mengibas debu kontradiksi
antara keduanya. Umpama terjadi kontradiksi keduanya, yang
universal harus diprioritaskan. Imam Al-Syāthibiy berkata,
“Apabila ada pertentangan antara universal dengan pertikular,
maka kaidah universal harus diprioritaskan karena yang partikular
DALAM TIMBANGAN SYARIAT

mengandung kemaslahatan yang terbatas, sementara yang universal


menyimpan kemaslahatan yang lebih luas. Tatanan semesta tidak
akan hancur oleh pengabaian kemaslahatan partikular. Sebaliknya,
memprioritaskan kemaslahatan partikular berarti meruntuhkan
tatanan semesta.”
Termasuk kaidah universal yang telah diakui dan dikukuhkan
adalah kebebasan beragama dan berkeyakinan. Hampir dua ratus
ayat serempak menegaskan hal ini.
Di antaranya, firman Allah, “‫ال إكراه يف ادلين‬/Tidak paksaan
untuk (memasuki) agama (Islam)”, “‫أفأنت تكره انلاس حىت يكونوا مؤمنني‬/
Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka
menjadi orang-orang yang beriman?”, “‫فمن شآء فليؤمن ومن شآء فليكفر‬/
maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman,
dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.” Tidak ada
dalil partikular yang berkontradiksi dengan kaidah universal ini.
Seandainya terjadi pertentangan, yang universal wajib didahulukan
dan patut kiranya mempertanyakan kebenaran yang partikular.
Umpama diasumsikan benar, penting untuk mencari pemahaman
baru sehingga tidak bertentangan dengan yang universal.
Pada pembahasan sebelumnya, saya mengutip satu hadis
riwayat Al-Bukhari yang lahirnya bertentangan dengan kaidah
universal di atas. Yaitu hadis “‫من بدل دينه فاقتلوه‬/barangsiapa pindah
agama, bunuhlah ia.” Kontradiksi ini sirna dengan pendekatan
pembatasan luas jangkauan lafal mutlaq dengan lafal muqayyad.
Hadis ini dibatasi hadis riwayat Muslim, “‫ال حيل دم امرئ مسلم يشهد أن ال‬
‫ اثليب الزاين وانلفس بانلفس واتلارك دلينه املفارق‬:‫هلإ إال اهلل وأين رسول اهلل إال بإحدى ثالث‬
‫للجماعة‬/tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa
tiada Tuhan selain Allah  dan bahwa aku adalah rasulullah
kecuali karena tiga perkara: pezina muhshan, pembunuh, dan
meninggalkan agamanya lagi memisahkan diri jamaah.” Dengan
demikian, hukuman mati atas orang murtad tidak boleh dieksekusi
kecuali dalam situasi dan kondisi tertentu, yaitu tindakan separatis
dan subversi.

NEGARA KESATUAN REPULIK INDONESIA (NKRI)


| 21
-AFIFUDDIN MUHAJIR-

Al-Aħkām al-Syar‘iyyah, antara


Taklīfiyyah dan Wadh‘iyyah

Hukum syariat adalah hukum yang diambil dari dalil-dalil syariat


yang dibawa oleh Nabi `. Dalil syariat yang pokok adalah Alquran
dan al-Sunnah. Hukum syariat diperoleh dari keduanya atau salah
satu dari keduanya, baik secara langsung maupun dengan perantara
dalil-dalil sekunder, seperti Ijmā‘ dan al-Qiyās. Oleh karenanya,
setiap hukum atau undang-undang yang tidak memiliki kaitan
terhadap Alquran atau al-Sunnah baik langsung maupun tidak
langsung bukan hukum syariat.
Hukum-hukum syariat ada dua macam:
1. Hukum taklifi: yaitu wujūb, nadb, ħurmah, karāhah, dan
ibāħah.
2. Hukum wad‘iy: antara lain sebab, syarat, māni’, rukhshah
dan azimah.
Hukum-hukum taklifi mengatur tiga hal: i‘tiqādiyyah,

NEGARA KESATUAN REPULIK INDONESIA (NKRI)


khuluqiyyah, dan ‘amaliyyah. Hukum ‘amaliy mengatur dua
macam perbuatan manusia, yaitu ibadah dan muamalah. Yang
dimaksud disini adalah makna muamalah dalam pengertian
luasnya, yaitu semua perbuatan selain ibadah.
Masing-masing dari ibadah dan muamalah memiliki prinsip
dan dasar untuk membedakannya dengan yang lain. Termasuk dari
dasar-dasar ibadah adalah
1. Prinsip ibadah adalah ta‘abbudiy tanpa peduli makna.
2. Prinsip ibadah adalah larangan, asal pada ibadah bersifat
tauqīfiy (siap pakai dan menutup peluang kreativitas)
3. Yang diperhitungkan dalam ibadah adalah format dan
esensinya.
| 23
Di antara prinsip muamalah:
| 24

1. Muamalah bersifat bebas hingga dijumpai dalil yang


melarang.
2. Prinsip muamalah adalah kebolehan.
3. Yang dipertimbangkan dalam muamalah adalah tujuan dan
esensinya, bukan lafal dan bentuknya.
4. Berpijak di atas ‘illat (alasan) dan maslahat.
Dari sisi lain, hukum syariat terbagi menjadi:
1. Hukum yang dipahami tanpa proses ijtihad. Hal itu karena
dalilnya qath‘iy, baik otentisitas dan penunjukan maknanya.
DALAM TIMBANGAN SYARIAT

Hukum syariat jenis ini bersifat tetap dan tidak berubah-


ubah dan tidak tergantikan walaupun situasi dan kondisi
terus berubah.
2. Hukum yang dipahami melalui proses ijtihad. Adakalanya
karena tidak ada nashsh atau karena nashsh-nya bersifat
ẓanniy baik otentisitas maupun penunjukan maknanya.
Hukum syariat dari sisi ini dapat berubah dan beradaptasi
dengan lingkungan, situasi dan kondisi. Hukum inilah yang
disebut fikih.
Syariat islam memiliki karakteristik yang membedakannya
dari hukum positif. Di antaranya ia memadukan antara hukum-
hukum konstan dan hukum-hukum elastis; antara yang ilahiah dan
insaniah. Disebut ilahiah karena diperoleh dari wahyu ilahi berupa
nas Alquran dan Sunah. Disebut insaniah karena disyariatkan/
diundangkan demi kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.
Sedangkan hukum positif lahir dari buah pikir manusia semata
tanpa ada hubungan dengan Alquran dan atau Sunah. Meskipun
demikian, kami menemukan banyak pasal hukum positif yang
sesuai dengan hukum syariat. Menurut fukaha kontemporer, hukum
positif yang sesuai dengan pendapat salah satu tokoh mazhab fikih
bisa dikatakan sebagai bagian dari hukum syariat.
Syariah, dengan karakter ini dan karakter lain yang tidak
disebutkan, menjadi impian setiap muslim yang antusias dan cinta
agamanya. Mereka merindukan legislasi syariah dan penerapannya
di bumi realitas. Negara kita Indonesia yang berdasarkan Pancasila
adalah lahan yang bersahabat dan tempat yang mudah untuk
penerapan syariat Islam. Akan tetapi, itu memerlukan kehati-hatian,
penuh pertimbangan, dan keramahan. Tanpa itu semua, harapan
akan berujung pada kegagalan bahkan merugikan syariat, padahal
kita mengusahakan kebaikan. Dan alhamdulillah para tokoh Islam
kita memahami sepenuhnya hal itu. Mereka cermat dan telaten serta
tidak ceroboh dalam usaha-usaha mereka. Ketika mereka menilai
bahwa penerapan syariat seutuhnya (bungkus dan isi) bukan
perkara mudah dan jalannya terjal, mereka memilih yang mungkin
dan tidak bersikeras pada yang sulit untuk diterapkan. Lebih-lebih,
hal yang mungkin itu adalah substansi saat yang tidak mungkin
adalah format semata. Mereka rela turun dari langit idealitas (yakni
menerapkan syariat substansi dan formatnya) ke bumi realitas
(menerapkan esensi syariat tidak formatnya), yakni penerapan
syariat tidak dengan nama syariat. Pasalnya, ada kelompok yang
menolak nama (ism) tapi menerima makna (musammā). Mereka
menampik syariat bukan karena itu membahayakan kemaslahatan
agama dan kesejahteraan duniawinya, melainkan lebih karena
dorongan sentimental.
RUU Anti Pornografi-Pornoaksi mendapatkan sambutan
baik dari orang-orang bijak negeri ini. Beberapa mengakui kebaikan
RUU ini karena dorongan tabiat belaka (wāzi‘ thabī‘iy), saat
beberapa mengakuinya atas dorongan kecenderungan natural dan
qur’āniy. Tetapi ketika sejumlah muslimin berdemonstrasi dan
melancarkan usaha-usaha demi pengesahan sambil membawa
nama Islam, kelompok yang sebelumnya setuju menarik kembali
dukungan mereka. Mereka ini sama dengan kaum Nasrani Bani
Taglab, Tannukh, Bahrā’ yang enggan membayar jizyah atas nama jizyah, tapi

NEGARA KESATUAN REPULIK INDONESIA (NKRI)


sukarela membayar saat namanya diganti dengan shadaqah,
padahal nominalnya jauh lebih tinggi. ‘Umar bin Al-Khattāb 
berkomenter, “‫هؤالء محىق ابوا االسم ورضوا باملعىن‬/Mereka bodoh. Menolak
nama tapi menerima makna.”
Namun demikian, umat Islam di negeri ini sepenuhnya bebas
untuk mengamalkan syariah baik dalam ibadah maupun muamalah,
tanpa ada satu pun penghalang. Mereka hanya tidak mendapatkan
apa yang disebut “penerapan syariat” (tathbīq al-syarī‘ah).
Orang-orang fanatik di kalangan muslimin memaknai “penerapan
syariat” sebagai “legislasi syariat”, terutama dalam bentuk-bentuk
hukuman: ħadd, qishāsh, dan takzir. Pertanyaannya adalah: apakah
persolaan ini harus mendapatkan porsi yang besar untuk dipikirkan
dan diperjuangkan? Tampakanya, jawabannya tidak. Dalam hal
ini, saya sependapat dengan Syeikh Yusuf al-Qardhawi. Beliau
menulis, “Legislasi syariat tidak diragukan adalah bagian dari
| 25
Islam; tidak boleh diabaikan dan dicampakkan. Tetapi, berlebihan
| 26

membahas dan usaha keras mewujudkannya, serta menganggapnya


sebagai poin utama permasalahan, akan berdampak buruk pada
pemikiran Islam dan pemikiran masyarakat awam, suatu yang
mungkin dieksploitasi oleh penentang dakwah Islam. Saya selalu
mengatakan: undang-undang saja tidak cukup untuk membangun
masyarakat. Masyarakat dan peradabannya mungkin dibangun
melalui: pendidikan dan peradaban, kemudian muncul undang-
undang sebagai pemandu dan penjaga.” Meskipun demikian, kita
tidak memungkiri bahwa legislasi syariah bermanfaat bagi mereka
yang lemah iman, yang tidak terpengaruh tuntutan Alquran dan
DALAM TIMBANGAN SYARIAT

hanya meninggalkan suatu larangan karena diancam hukuman


pemerintah. Adapun yang kuat iman, mereka tidak memerlukan
ancaman pemerintah karena sudah cukup dengan suara hati nurani;
cukup dengan kendali Alquran bukan kendali sultan. ‘Utsmān bin
Affān : Allah akan mengendalikan dengan kuasa sultan sesuatu
yang tidak dikendalikan dengan Alquran.
Umat Islam sepakat tentang kewajiban mengamalkan
syariat dan berkomitmen padanya (iltizām bihā), baik dalam
peribatan maupun interaksi sosial. Namun, perlu dicatat bahwa
hukum taklīfiyyah seperti wajib dan haram, tidak berdiri sendiri,
tetapi penerapannya masih terikat realitas manusia, kondisi sosial,
ekonomi, dan politik. Lebih-kurang inilah maksud pernyataan Ibn
al-Qayyim, “Wajib adalah suatu hal, kenyataan adalah hal lain.
Seorang faqīh harus menjaga kelindan keduanya.” Oleh karena
itu, ulama membahas hukum wadh‘iyyah di samping pembahasan
hukum taklīfiyyah. Hukum wadh‘iyyah ialah sabab, syarth, māni’,
rukhshah , dan ‘azīmah. Dengan demikian, jika seseorang memiliki
85 gram emas, berarti suduah terdapat sabab (alasan) kewajiban
zakat, yaitu kepemilikan yang mencapai satu nishāb. Tetapi yang
bersangkutan baru wajib menunaikan zakat bila sudah memenuhi
dua syarat, yaitu mencapai satu haul (kepemilikan mencapai 1
tahun) dan tidak ada māni‘/penghalang seperti hutang (menurut
pendapat yang menyebut hutang sebagai penghalang zakat.
Teks-teks syariat perihal tindakan kriminal berikut
hukumannya bersifat jelas dan tegas baik otentisitas dan dilālah-
nya, sehingga tidak bisa ditakwil, tidak mungkin ada perselisihan,
dan bukan merupakan ranah ijtihad. Konsekuensinya, ulama tentu
bersepakat perihal keharaman zina serta penegakan ħadd bagi
pelakunya dengan rajam atau cambukan, keharaman mencuri serta
hukuman potong tangan, kewajiban qishāsh dalam pembunuhan,
namun soal implementasinya di bumi realitas masih memerlukan
perenungan dan ijtihad.
Pencuri misalnya, ia tidak dapat divonis hukuman potong
tangan sampai terbukti pencuriannya di pengadilan, baik dengan
pengakuan sendiri (iqrār) maupun dengan kesaksian dua orang
(syahādat al-‘adlain). Kemudian jika terbukti benar-benar
mencuri, tidak mesti hukuman ħadd dapat dieksekusi karena boleh
jadi ada kondisi yang harus dipertimbangkan, misalnya dia mencuri
karena terdesak keadaan perekonomian atau mencuri harta orang
tua dan atau anaknya sendiri. Tersangka zina tidak dapat divonis
hukuman ħadd sampai terbukti baik dengan pengakuannya sendiri
maupun kesaksian empat orang (syahādat arba‘at ‘udūlin). Juga
perlu dipertimbangkan tiga kondisi berikut (syubuhāt al-tsalāts):
(1) apakah pelaku mengetahui kalau zina termasuk perkara haram,
(2) apakah pelaku menduga, saat berzina, sedang berhubungan
badan dengan pasangan sahnya, dan (3) dan apakah itu benar-
benar perkara haram, bukan perkara yang masih diperselisihkan
fukaha, seperti persenggamaan pasustri yang akad nikahnya tidak
menghadirkan wali dan saksi.
Semua ini dipahami dari teks-teks syariat, yang menyiratkan
bahwa syāri‘ tidak berambisi untuk menghukum para pelaku dosa

NEGARA KESATUAN REPULIK INDONESIA (NKRI)


dan tidak ingin mendesak mereka membuat pengakuan (iqrār).
Hukuman-hukuman dalam syariat bukanlah tujuan itu sendiri.
Tujuan syāri‘ Yang Maha Bijak adalah supaya malapetaka tidak
merajalela. Di antara tuntunan syāri‘ adalah sebaiknya hakim
berkepala dingin, tidak tergesa-gesa menjatuhkan vonis, dan baru
memberikan putusan bila terpenuhi bukti-bukti meyakinkan. Sebab,
adalah afdal untuk menutup aib seorang muslim dengan tirai yang
Allah julurkan; tidak menampakkannya kepada khalayak bahkan
kepada hakim di pengadilan. Andai hakim belum mendapatkan
kemantapan purna karena ada bercak keraguan (syubhat), maka
sebaiknya ia memberikan vonis takzir, seperti yang banyak terjadi
di negeri ini. Al-Zuħailiy berkata, “Jika ħadd tak bisa dilaksanakan
karena ada keraguan (syubhat), atau belum terpenuhi sejumlah
syarat, maka pelaku cukup ditakzir dengan pemenjaraan, pukulan,
dan seterusnya.”
| 27
Diriwayatkan dari ‘Aisyah  bahwa Nabi ` bersabda,
| 28

“‫ فان االمام أن خيطئ‬،‫ فان اكن هل خمرج فخلوا سبيله‬،‫ادرءوا احلدود عن املسلمني ما استطعتم‬
‫ىف العفو خري من أن خيطئ ىف العقوبة‬/Hindarilah hukuman ħadd dari kaum
muslimin semampu kalian, jika ia mempunyai jalan keluar maka
lepaskanlah ia. Karena sesungguhnya seorang imam salah
dalam memaafkan lebih baik daripada salah dalam menjatuhkan
hukuman.” Riwayat Ibn Mas‘ud , Nabi ` bersabda “Jauhkan ħadd-
ħadd bila ada keraguan”. Ali Ibn Abi Thalib  meriwayatkan hadis,
“Jauhkanlah ħadd-ħadd.” Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan
bahwa Nabi ` bersabda kepada Mā‘iz bin Malik saat dia mengakui
perzinaannya, “Mungkin kamu mencium saja, mengerlingkan
DALAM TIMBANGAN SYARIAT

mata, atau memandang.”


Di atas semua itu, implementasi dan efektivitas syariat
bergantung secara utama pada akidah dan akhlak. Terkadang saat
sabab dijumpai, syarth terpenuhi, dan tidak ada māni‘, tapi hukum
syariat tetap tidak mudah diterapkan. Bukan karena tidak adanya
legislasi syariat, melainkan karena kemerosotan moral pihak-pihak
penegak hukum. Saya meyakini tanpa keraguan bahwa nilai-nilai
moral merupakan pondasi peradaban dan tidak kalah penting
daripada teks-teks syariat yang mengikat dalam membimbing
perilaku umat manusia.
-AFIFUDDIN MUHAJIR-

Pancasila dalam
Timbangan Syariat

Pancasila memuat lebih dari satu tafsir. Pada titik ini tersembunyi
rahasia mengapa semua golongan menerimanya. Akan tetapi, sila
pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang merupakan sukma bagi
sila-sila berikutnya, jelas tertuju pada makna keimanan kepada
Allah  Yang Maha Esa, sebagai intisari dari ajaran akidah Islam.
Demikianlah Nahdliyin dan para ulama pesantren menafsirkannya.
Sampai saat ini tidak ada seorang pun yang mengingkari penfasiran
ini baik diam-diam maupun terang-terangan. Ini juga salah satu
alasan mengapa kaum muslimin tidak bersikeras pada pendirian
semula sembari meneladani Nabi ` dalam perumusan poin-poin
Perjanjian Hudaibiyah. Nabi menerima semua persyaratan yang
diinginkan oleh pihak Quraisy. Sahabat Nabi merasa keberataan
karena dalam pandangan mereka poin-poin itu menguntungkan
pihak musuh. Berikut isi perjanjian tersebut:

NEGARA KESATUAN REPULIK INDONESIA (NKRI)


1. Gencatan senjata selama sepuluh tahun antara kaum mus-
limin dan Quraisy.
2. Siapa saja yang mendatangi Nabi dari kalangan kafir
Quraisy harus dikembalikan (ke Makkah), tetapi bila ada
di antara kaum muslimin yang mendatangi kaum Quraisy
maka tidak harus dikembalikan (ke Madinah).
3. Nabi harus kembali (ke Madinah) dan menunda pelaksa-
naan umrah ke tahun berikutnya; boleh memasuki Mek-
kah setelah Quraisy menyingkir; dan hanya bermukim tiga
hari.
4. Siapa saja, selain kaum Quraisy, boleh bergabung dengan
pihak Muhammad; dan siapa saja, tanpa terkecuali, boleh
bergabung dengan pihak Quraisy.
| 29
Nabi  menerima hal-hal yang tidak prinsip, yakni teks
| 30

dan redaksi perjanjian. Nabi sudi menuruti keinginan juru bicara


Quraisy, Suhail bin ‘Amr, tidak bersikeras mempertahankan redaksi
yang beliau diktekan kepada Sayyidina ‘Ali in Abi Thalib . ‘Ali
berkisah, “Rasulullah memanggilku seraya memerintahkan: tulislah
Bismillāhirraħmānirraħīm! Suhail menyela, aku tidak mengenal
kata-kata ini, tulislah Bismikallāhumma! Lantas Nabi bersabda,
tulislah Bismikallāhumma, ‘Ali pun menuliskannya. Selanjutnya
Nabi memerintahkan untuk menulis: Ini adalah perjanjian antara
Muhammad utusan Allah dengan Suhail bin ‘Amr. Suhail kembali
menyela: kalau aku mengakui engkau adalah utusan Allah mana
DALAM TIMBANGAN SYARIAT

mungkin aku memerangimu?, tulis saja namamu dan nama


ayahmu! Lagi-lagi Nabi menyetujuinya dan bersabda: tulislah! Ini
adalah perjanjian antara Muhammad bin Abdullah dengan Suhail
bin ‘Amr.”
Allah  menakdirkan Pancasila, sejak kemunculannya,
sebagai solusi persoalan dan pengurai perbedaan. Terlebih, secara
umum, negara yang berdiri di atas asas ini telah melalui masa
tujuhpuluh lima tahun dengan tenteram dan tanpa ada kendala
yang berarti. Kalaupun terjadi suatu gejolak, maka pemicunya
adalah penyimpangan dalam memahami kelima sila serta tidak
konsisten dan kukuh mengimplementasikannya. Sampai saat ini
saya sendiri tidak menemukan satupun kejanggalan baik dalam
bentuk maupun kandungan maknanya, sebagaimana saya meyakini
tidak ada satu alasan yang dapat dibenarkan untuk menyunting,
mengubah, dan menggantinya dengan yang lain. Maka menurut
akal sehat, sudah semestinya Pancasila dianggap sebagai keputusan
final. Seandainya pancasila diposisikan dan diimplementasikan
dengan sebaik-baiknya, tentu Indonesia jauh lebih baik daripada
keadaannya saat ini. Nahdlatul Ulama telah mendeklarasikan
beberapa keputusan yang tertuang dalam lima poin mengenai
hubungan antara pancasila dengan Islam. Purna sudah ketetapan
tersebut melalui Musyawarah Nasional Ulama yang digelar di
Situbondo tahun 1.983. Di sini saya hanya mengutip dua poin di
antaranya, yaitu poin keempat dan kelima:
1. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan per-
wujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk men-
jalankan syariat agamanya.
2. Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama
berkewajiban mengamankan pemahaman yang benar
mengenai Pancasila dan pengamalannya yang murni dan
konsekuen oleh semua pihak.
Pancasila selaras dengan maqāshid al-syarī’ah dalam aspek
bahwa keduanya merupakan asas universal yang menjadi rujukan
bagi setiap undang-undang partikular negeri ini. Tidak boleh ada
satupun undang-undang yang bertentangan dengan asas Ketuhanan
Yang Maha Esa atau dengan asas-asas lain. Sebagai contoh,
keberlangsungan negara dan tidak adanya kekacauan merupakan
kemaslahatan universal yang wajib dipelihara, oleh karenanya
tidak boleh melakukan gerakan apapun—meskipun ada maslahat
partikular—yang dapat merusak kemaslahatan universal itu.
Penting kiranya saya menambahkan sedikit penjelasan,
yang menegaskan pernyataan saya sebelumnya, tentang makna
dari sila pertama dan kedua. Sesungguhnya sila pertama itu adalah
ungkapan tauhid, yaitu iman kepada Allah yang Esa lagi Maha Unik,
sebagaimana yang telah ditetapkan oleh muktamar NU ke-27 di
Situbondo.
Bagi kaum muslimin, tauhid merupakan inti sari akidah
Islam, bahkan sari pati seluruh ajaran agama semenjak Adam 
hingga Muhammad  . Allah  berfirman, “‫وماأرسلنا من قبلك من رسول إال‬
‫نويح إيله أنه ال هلإ إال أنا فاعبدون‬/Dan Kami tidak mengutus seorang pun

NEGARA KESATUAN REPULIK INDONESIA (NKRI)


sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami mewahyukan
kepadanya bahwa tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain
Aku, maka sembahlah Aku.” Nabi ` bersabda, “‫حنن معارش األنبياء أوالد‬
‫عالت ديننا واحد‬/Kami para nabi adalah saudara (satu ayah), agama
kami satu.”, maksudnya hanya menyembah Allah  yang tiada
sekutu. Sebelumnya telah saya paparkan mengenai hubungan
antara gagasan tauhid yang diungkapkan dengan Ketuhanan Yang
Maha Esa dengan penduduk Indonesia yang mayoritas muslim.
Saya meyakini kalau bukan karena kemayoritasan ini, niscaya
gagasan tauhid tersebut tidak akan pernah muncul.
Mengimani Allah  dan Keesaan-Nya meniscayakan
keislaman. Artinya, itu menuntut kaum beriman di negeri ini untuk
tunduk (istislām) dan patuh (inqiyād) akan hukum-hukum syariat.
Dengan pemahaman ini, sila pertama sejatinya telah memuat
esensi frasa yang dibuang dalam Piagam Jakarta yaitu: kewajiban
| 31
mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja. Mereka
| 32

yang mengimani Allah  dan syariat-Nya wajib berkomitmen untuk


menjalankan syariat Islam dengan sepenuhnya tanpa memerlukan
legislasi maupun konstitusi. Jika sila pertama merupakan
manifestasi tauhid itu sendiri, berarti penghapusan frasa tersebut,
yang lalu diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah
degradasi atau regresi, melainkan sebuah kemajuan progresif dari
“sekadar” syariah menuju akidah. Pasalnya, keabsahan pengamalan
syariah bergantung pada kemapanan akidah. Oleh itu, pengamalan
syariah tidak absah tanpa dilandasi keimanan dan keyakinan teguh
bahwa Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan Maha Esa yang tidak
DALAM TIMBANGAN SYARIAT

ada sekutu bagi-Nya.


Posisi saya tidak sedang menyanggah bahwa Pancasilan
dengan sila pertamanya tidak menjadi faktor pengikat bagi
pengamalan syariat Islam. Saya hanya membantah pendapat yang
mengatakan bahwa Pancasila menjadi penghalang (māni‘) bagi
terwujudnya legislasi tersebut. Toh, andaikata Pancasila memang
tidak menjadi faktor pendorong pengamalan syariat Islam, maka
sekurang-kurangnya itu bukan suatu penghalang. Sebab, bila
ada kesempatan, kondisi memungkinkan, serta seluruh lapisan
masyarakat mengiakan legislasi syariat di negeri ini, maka hal itu
tentu tidaklah menyimpang dari asas Pancasila yang disepakati oleh
pendiri Bangsa.
Tidak lupa pula saya kemukakan sedikit uraian mengenai
hubungan antara Pancasila dengan maqāshid al-syarī‘ah
serta pukau keserasian antara keduanya, di mana hifzh al-dīn
(perlindungan agama) yang menduduki posisi puncak dalam
hierarki maqāshid al-syarī‘ah al-dlarūriyyah, berbanding lurus
dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama di dalam
Pancasila. Sebagaimana sila pertama adalah sukma bagi sila-sila
berikutnya, demikian pula iman kepada Allah merupakan asas
keberagamaan (tadayyun). Tidak ada keberagamaan tanpa asas
keimanan. Keberagamaan berarti berpegang pada agama Allah,
mengamalkan, dan menjaganya. Akhirnya disimpulkan bahwa sila
pertama memuat tujuan syariat dalam pelestarian agama (hifzh al-
dīn).
Kemanusian yang juga merupakan salah satu asas dalam
Pancasila, tidaklah serta-merta diungkapkan secara mutlak, tapi
dibatasi dengan kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini tidak
lain semakin menunjukkan betapa para ulama dan pemimpin negara
kita sepenuhnya menyadari bahwa nilai kemanusiaan seseorang
terletak pada jiwanya, bukan pada raganya: semakin sempurna
nilai spiritualitasnya, kian sempurna nilai kemanusiaannya.
Sebagaimana syair yang didendangkan oleh Abū al-Fath ‘Alī bin
Muhammad al-Bustī,

ُ ْ
‫ــم إِن َســان‬ َ ْ ‫فَأَن‬
ْ ْ ‫ــت با َّنل ْفــس َل با‬ َ َ ْ ْ ْ ‫انل ْفس َو‬
‫اســتَك ِمل ف َضائِل َها‬ َّ ‫ع‬ََ ْ َْ
ِ ‫لس‬ ِ ِ ِ ِ ِ ‫أق ِبــل‬
Rawat dan latihlah jiwa, sempurnakan keutamaan-
keutamaannya!
Karena dengan jiwa engkau menjadi manusia, bukan karena
raga.”
Sebab jiwa pula Allah menjadikan manusia sebagai makhluk
terhormat di persada bumi. Firman-Nya, “‫ولقد كرمنا بين آدم‬/Dan
sungguh Kami telah memuliakan anak-cucu Adam.” Fakhr al-Dīn
al-Rāzī menulis: “Ketahuilah bahwasanya manusia adalah suatu
entitas yang terdiri dari jiwa dan raga. Jiwa dan raganya merupakan
yang paling mulia di dunia fana ini. Jiwa manusia istimewa karena
adanya daya rasional yang mampu menggapai hakikat realitas.”
Dengan tegas saya katakan bahwa asas Kemanusiaan yang Adil
dan Beradab adalah jelmaan tujuan syariat dalam perlindungan
manusia, akal, dan kehormatan dirinya.

NEGARA KESATUAN REPULIK INDONESIA (NKRI)


Adapun tiga sila berikutnya juga jelas memiliki kesesuaian
dengan syariat Islam baik tekstual (nushūsh) maupun kontekstual
(maqāshid). Persatuan Indonesia, permusyawaratan, kebebasan
berpendapat, dan keadilan dalam segala dimensinya, adalah cita-
cita agama Islam yang hendak diaktualkan dalam realitas supaya
tidak hanya menjadi tinta di atas kertas.
Persatuan Indonesia dalam pengertian yang sejatinya
adalah keyakinan bahwa bangsa Indonesia merupakan satu bangsa
yang disatukan oleh bahasa, budaya, sejarah, letak geografis,
dan kepentingan yang sama, tanpa perasaan istimewa di antara
bangsa-bangsa lain. Tidak ada satu pun dari pemahaman ini yang
bertentangan dengan syariat maupun ukhuwwah islāmiyah—
sebagai tali persaudaraan utama. Justru keberlangsungan suatu
negara, stabilitas keamanan, perekonomian, dan urusan keagamaan
bergantung pada itu semua.
| 33
Hemat saya, sila ketiga (Persatuan Indonesia) jelas-jelas
| 34

mengacu kepada makna nasionalisme yang masih diperdebatkan


definisinya itu. Tak mengapa, sebab berdasarkan pemahaman
mayoritas ulama Indonesia—terutama para ulama yang hidup
di periode kemerdekaan—nasionalisme dianggap selaras dengan
tuntunan-tuntunan Islam. Alasannya sederhana, karena tanpa rasa
cinta tanah air, mustahil nyala api perang berkobar untuk mengusir
dan melepaskan Indonesia dari cengkeraman penjajah. Kesadaran
nasionalime yang bersanding dengan kesadaran religius inilah
yang mendorong para ulama untuk mengorbankan jiwa dan harta
demi merebut kembali tanah air mereka. Maka, selama kesadaran
DALAM TIMBANGAN SYARIAT

nasionalisme berjalan seiring lagi tidak bertentangan dengan


ajaran-ajaran Islam, maka tidak ada persoalan. Haji Oemar Said
Tjokroaminoto berpandangan bahwa alih-alih akan menghalangi
kemunculan sikap nasionalisme, justru Islam dari suatu aspek
mengukuhkannya. Kiai Abdul Wahab Hasbullah menuturkan
bahwa nasionalisme yang diawali dengan bismillah (dirujukkan
pada nilai-nilai agama) tidak lain dari Islam itu sendiri. Oleh karena
itu, apabila benar nan baik penghayatan nilai-nilai keislaman, tentu
seluruh umat muslim menjadi warga negara yang nasionalis.
Sila keempat mencerminkan sistem demokrasi perwakilan
dan permusyawaratan dengan karakteristik yang unik sebagai salah
satu elemen demokrasi di samping keadilan, kebebasan, kesetaraan,
dan akuntabilitas pemerintahan. Kelima unsur ini merupakan
esensi ajaran dan prinsip-prinsip dasar Islam. Dan bukti akan hal
itu, teramat jelas untuk dituturkan. Hanya sebagai contoh, bukan
untuk membatasi, berikut saya sebutkan beberapa firman Allah :

‫وأمرهم شورى بينهم‬


“Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah
antara mereka.”
ّ
‫وال جيرمنكم شنآن قوم ىلع أل تعدلوا‬
“Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil.”
‫ولقد كرمنا بين آدم‬
“Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak-cucu Adam.”

‫يا أيها انلاس اتقوا ربكم اذلي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجاال‬
‫كثريا ونسآء‬
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah)
menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan
dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak.”

‫كنتم خري أمة أخرجت للناس تأمرون باملعروف وتنهون عن املنكر وتؤمنون باهلل‬
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan
mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”
Dan beberapa sabda Nabi Muhammad :

‫ما خاب من استخار وال ندم من استشار وال اعل من اقتصد‬


“Tidak akan merugi orang yang beristikharah dan tidak
akan menyesal orang yang bermusyawarah serta tidak akan
sengsara orang yang berhemat.”

‫يوم من أيام إمام اعدل أفضل من عبادة ستني سنة‬

NEGARA KESATUAN REPULIK INDONESIA (NKRI)


“Sehari dari seorang pemimpin adil lebih baik daripada ibadah
selama enam puluh tahun.”

‫ وال ألسود ىلع أبيض اال‬،‫ وال ألبيض ىلع أسود‬،‫ وال لعجيم ىلع عريب‬،‫ال فضل لعريب ىلع عجيم‬
‫ وآدم من تراب‬،‫ انلاس من آدم‬،‫باتلقوى‬
“Orang Arab tidaklah lebih istimewa dari non-Arab (‘Ajam),
tidak pula non-Arab lebih istimewa dari orang Arab, dan yang
berkulit putih tidak lebih istimewa dari yang berkulit hitam,
tidak pula yang berkulit hitam lebih istimewa dari yang berkulit
putih, melainkan karena ketakwaan semata. Manusia berasal
dari Adam, sedangkan Adam berasal dari tanah.”
| 35
| 36

‫انلاس كأسنان املشط‬


“Manusia laksana gigi-gigi sisir”

‫هلل ولكتابه‬:‫ ملن يا رسول اهلل؟ قال‬:‫ قالوا‬.‫إن ادلين انلصيحة إن ادلين انلصيحة إن ادلين انلصيحة‬
‫ونلبيه وألئمة املؤمنني واعمتهم‬
“Sesungguhnya agama adalah nasihat, agama adalah nasihat,
agama adalah nasihat.” Para Sahabat bertanya: bagi siapa
wahai Rasulullah? Rasulullah bersabda: bagi Allah, kitab-Nya,
Nabi-Nya, para pemimpin kaum mukmin dan rakyat mereka.”
DALAM TIMBANGAN SYARIAT

‫أفضل اجلهاد من قال لكمة حق عند سلطان جائر‬


“Jihad paling afdal adalah mengatakan kebenaran di hadapan
penguasa yang sewenang-wenang.”
Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib  berkata, “‫وال تكن عبد غريك وقد‬
‫ جعلك اهلل حرا‬/Jangan sudi diperbudak oleh orang lain karena Allah
menjadikanmu merdeka.”
Tepat setelah pelantikannya sebagai khalīfah, Sayyidina
Abu Bakar  berkutbah, “‫ فإن أحسنت‬،‫ قد ويلت عليكم ولست خبريكم‬،‫يا أيها انلاس‬
‫ فإن عصيته فال طاعة يل عليكم‬،‫ وإن أسأت فقوموين أطيعوين ما أطعت اهلل ورسوهل‬،‫فأعينوين‬
/Wahai manusia, aku telah menjadi pemimpin kalian padahal
diriku bukan orang terbaik di antara kalian. Bila aku berbuat
baik, maka bantulah; bila aku berbuat salah tegurlah. Patuhi aku
selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Kalau aku durhaka,
maka tiada kewajiban bagi kalian untuk taat kepadaku.”
Demikianlah beberapa ayat-ayat Alquran, Hadis dan ātsār
para sahabat di atas, yang menjadi sumber rujukan bagi prinsip
dasar dalam Islam, sekaligus pada waktu yang sama menjadi asas
bagi sistem demokrasi.
Esensi demokrasi itu kedaulatan berada di tangan rakyat,
dalam pengertian bahwa rakyat adalah pemilik kehendak dan
kewenangan, sementara pemimpin atau penguasa hanya bertindak
sebagai perwakilan dalam mewujudkan kehendak dan menjalankan
kewenangan yang dilimpahkan oleh rakyat; rakyatlah yang memilih
dan menentukan pemimpin/hakim, meminta pertanggungjawaban,
bahkan bila perlu melengserkannya.
Namun, kedaulatan rakyat tidak lantas menegasikan
kedaulatan Allah. Penyeru demokrasi tidak menolak otoritas Tuhan
atas manusia. Yang mereka tolak hanya otoritarianisme tiranik.
Demokrasi dalam konteks negara kita adalah demokrasi Pancasila
yang secara fundamental tentu berbeda dengan demokrasi liberal
Barat, yang menjadikan undang-undang harus dilaksanakan dan
dipatuhi meskipun bertentangan dengan norma-norma masyarakat
menyangkut keluhuran akhlak. Sementara dalam demokrasi
Pancasila, kedaulatan rakyat tidak mutlak, tetapi harus seiring
dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan dan sila-sila lainnya.
Di atas itu semua, sistem demokrasi, termasuk apa yang disebut
sistem demokrasi Islam, tidak memiliki domain persoalan haram
dan halal karena hal tersebut adalah murni hak prerogatif Allah .
Wilayah kewenangan demokrasi berada dalam persoalan dunia dan
politik yang tidak memiliki acuan Alquran, Sunah; atau singkatnya,
persoalan-persoalan yang hukumnya ditentukan oleh takaran
maslahat dan mafsadat.
Prinsip kedaulatan rakyat dengan berpegang pada suara
mayoritas harus bersamaan dengan menjaga hak-hak minoritas,
dalam artian terciptanya aturan-aturan umum yang berlandaskan
suara mayoritas di Dewan Perwakilan Rakyat harus disertai dengan
adanya jaminan konstitusional dan perundang-undangan yang
melindungi kebebasan dan hak-hak kelompok minoritas.

NEGARA KESATUAN REPULIK INDONESIA (NKRI)


Pada mulanya, saya berpikir bahwa syariat tidak membahas
tentang persoalan ini: tidak menetapkan dan tidak pula
menafikannya. sehingga yang dijadikan tolah ukur keabsahannya
adalah kemaslahatan umat yang berbeda-beda sesuai konteks
waktu dan tempat. Akan tetapi, pembahasan ini mempunyai
berkaitan erat dengan permasalahan ijmā‘ (konsensus). Salah satu
pembahasannya adalah bahwa ijmā‘ dapat terjadi dalam urusan-
urusan duniawi, seperti mengatur tentara, strategi perang, dan dan
urusan-urusan rakyat lainnya. Dalam urusan duniawi, orang-orang
yang ber-ijmā‘tidak harus mujtahid yang memahami syariat berikut
prinsip-prinsipnya. Nabi Muhammad ` bersabda, “‫أنتم أعلم بأمر دنياكم‬/
kalian lebih mengetahui urusan duniawi kalian.”
| 37
Dalam bab ijmā‘ dijelaskan pula bahwa kesepakatan
| 38

mayoritas yang berbeda dengan pilihan minoritas bukanlah ijmā‘.


Namun, itu tetap dianggap sebagai pedoman (hujjah) dengan
mempertimbangkan kemayoritasannya. Dengan demikian,
ketetapan suara mayoritas dalam pemilu, misalnya, juga memunyai
rujukan dalam syariat islam. Dari aspek akal, syariat, dan realita,
manakala umat berbeda dalam persoalan ijtihādiyah yang memuat
lebih dari satu pendapat, maka harus ada hal yang mengunggulkan
(murajjiħ) salah satunya, yaitu banyaknya jumlah suara yang
mendukung karena pendapat dua orang lebih otoritatif daripada
pendapat satu orang. Dalam suatu hadis dikatakan, “‫إن الشيطان مع‬
DALAM TIMBANGAN SYARIAT

‫ وهو من اإلثنني أبعد‬،‫الواحد‬/Sesungguhnya setan bersama (keputusan)


satu orang. Setan lebih jauh dari (keputusan) dua orang.”
Nabi Muhammad ` bersabda kepada Abu bakar dan ‘Umar c,
“ ‫لو اجتمعتما ىلع مشورة ما خالفتكما‬/Kalau kalian bersepakat dalam suatu
musyawarah, aku tidak akan berbeda dari pendapat kalian
berdua.” Suara dua orang lebih diutamakan daripada suara satu
orang, meskipun yang satu itu suara Nabi Muhammad ` selama
persoalan yang dibahas tidak ada sangkut-pautnya dengan syariat
dan wahyu.
Termaktub dalam Mantiq wa Ushūl al-Fiqh, “Ijmā‘ semacam
ini—kesepakatan mayoritas—tidak teoritis belaka. Ini mungkin
diwujudkan dalam realitas sehari-hari; dan bisa disamakan dengan
sistem demokrasi. ‘Allāl al-Fāsi menyerukan kepada negara-negara
Islam untuk menjadikan sistem demokrasi sebagai sarana untuk
membangkitkan permusyawaratan islami (syūrā islāmiyyah) dan
merealisasikan makna ijmā‘ untuk pertama kalinya.
Kaidah ini, bahwa kesepakatan mayoritas dengan penolakan
minoritas dapat menjadi hujah, menjawab pertanyaan tentang
kesepakatan untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara.
Apakah ijmā‘ yang dimaksud di sini adalah kesepakatan seutuhnya
atau sekadar kesepakatan mayoritas yang disertai adanya penolakan
minoritas? Sebab jika diasumsikan bahwa kesepakatan tak
mungkin terjadi secara penuh, maka menjadikan Pancasila sebagai
dasar negara tidak menjadi persoalan menurut syariat, lebih-lebih
jika kuantitas pihak minoritas kecil sekali. Oleh karena itu, bisa
dikatakan bahwa sesungguhnya Pancasila adalah asas yang telah
disepakati, dan negara yang berlandaskan atasnya juga negara yang
telah disepakati. Hal ini sebagaimana munculnya Negara Madinah
setelah disahkannya perjanjian madinah dan pengakuan dari tiap-
tiap golongan terhadap isi perjanjian tersebut.
Terlepas dari itu semua, saya memandang bahwa Pancasila
dalam hubungannya dengan syariat islam berkisar di antara tiga
hal.
1. Pancasila tidak bertentangan dengan syariat karena
berdasarkan kajian induktif atas teks-teks syariat, tak
ditemukan satu ayat atau satu hadis pun yang bertentangan
dengan isi Pancasila.
2. Pancasila selaras dengan syariat karena berdasarkan kajian
tersebut, ditemukan beberapa ayat dan hadis yang sesuai
dengan isi Pancasila.
3. Pancasila adalah syariat itu sendiri karena dalam teks-teks
syariat ditemukan sejumlah ayat dan hadis yang patut
menjadi dalil dan landasan bagi masing-masing sila.

NEGARA KESATUAN REPULIK INDONESIA (NKRI)


| 39
-AFIFUDDIN MUHAJIR-

Simpulan

Pandangan yang kedua, bahwa Pancasila selaras dengan syariat,


dapat menjadi jawaban yang moderat, hingga pada satu titik,
Pancasila terentas dari objek perdebatan antara menolak atau
menerimanya; di samping menurut syariat, Pancasila, dengan
pandangan kedua ini, sudah cukup untuk menjadikannya sebagai
dasar negara yang mayoritas penduduknya Muslim.
Bahkan seandainya pendapat pertama yang dipilih, bahwa
Pancasila tidak bertentangan dengan syariat, cukup sudah untuk
mengakhiri perdebatan ini karena dalam persoalan-persoalan
muamalah, yang menaungi persoalan politik, pada dasarnya adalah
boleh selama tidak ada dalil yang melarangnya; di samping bahwa
yang dijadikan acuan dalam politik adalah mewujudkan maslahat
dan menolak mafsadat. Atau lebih singkat, boleh dikatakan acuan
utama dalam politik adalah mewujudkan kemaslahatan karena
menolak mafsadat adalah bagian dari maslahat. Ibn ‘Aqil menulis,
“Politik adalah segala upaya yang membawa manusia lebih dekat

NEGARA KESATUAN REPULIK INDONESIA (NKRI)


dengan kemaslahatan serta membawa mereka menjauh dari
kemafsadatan, sekalipun Rasulullah ` tidak merumuskannya dan
wahyu tidak membicarakannya. Siapa yang mengatakan bahwa
tidak ada politik kecuali telah dibahas oleh syariat, maka ia salah
sekaligus menyalahkan para sahabat dalam syariat mereka.”
Berdasarkan pembahasan, saya dapat menyimpulkan bahwa:
1. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dengan
melihat Pancasila sebagai dasarnya, adalah negara syar‘iy
yang sesuai dengan teks-teks dan tujuan-tujuan syariat
(nushūsh al-syarī‘ah wa maqāshidihā).
2. Pancasila bukan penghalang (māni‘) untuk menerapkan
aturan syariat di negara yang berlandaskan atasnya.
| 41
3. Konsekuensi menjadikan Pancasila sebagai dasar negara
| 42

adalah seluruh undang-undang negara tidak boleh


bertentangan dengan salah satu dari sila Pancasila.
4. Republik Indonesia adalah negara kesepakatan yang berdiri
di atas asas yang mendapatkan kesepakatan.
DALAM TIMBANGAN SYARIAT
-AFIFUDDIN MUHAJIR-

Daftar Isi

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)


dalam Timbangan Syariat-------------------1

Sekilas Sejarah Pancasila----------------------------3

Sekilas tentang ---------------------------------------7

Nushūsh al-Syarī‘ah----------------------------------7

Sekilas tentang ---------------------------------------15

Maqāshid al-Syarī‘ah--------------------------------15

Al-Aħkām al-Syar‘iyyah, antara Taklīfiyyah dan


Wadh‘iyyah------------------------------------23

NEGARA KESATUAN REPULIK INDONESIA (NKRI)


Pancasila dalam --------------------------------------29

Timbangan Syariat-----------------------------------29

Simpulan----------------------------------------------41
| 43
‫|‪1‬‬

‫مجهورية إندونيسيا املوحدة يف ميزان الرشيعة‬


‫ ‬
‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬

‫دراسة عن بانتشاسيال يف ضوء النصوص واملقاصد‬

‫منيت هذه ادلولة بمؤامرات استعمارية يف عهود طويلة بعد ان اهتدى أكرث ساكنها‬
‫إىل دين االســام‪ .‬وبعد االســتقالل وإعالنه أقيمت اجلمهورية وألفت احلكومة الوطنية‬
‫وذاقت ابلالد ألول مرة بعد ثلثمائة ســنة ذلة احلرية والسعادة‪ ،‬وبعد حدة االختالف انعقد‬
‫االتفاق بني مؤسيس ادلولة ىلع جعل بانتشاسيال أساسا هلا‪ .‬وأرى أن بانتشاسيال يف نسبتها‬
‫إىل الرشيعة تتأرجح بني ثالث مقوالت‪ :‬أوال أنها ال ختالف الرشيعة النه باستقراء نصوص‬
‫الرشيعة ال جند أية واحدة أوحديثا واحــدا ختالفه هذه املبادئ‪ .‬ثانيا أنها توافق الرشيعة إذ‬
‫بنفس االســتقراء جند آيات وأحاديث توافقها هذه املبادئ‪ .‬ثاثلــا أنها يه الرشيعة بعينها‬
‫وانتهيــت إىل األمور اآلتية‪ :‬أوال إن اجلمهورية اإلندونيســية املوحدة من حيث قيامها ىلع‬
‫أساس بانتشاسيال تكون رشعية؛ توافق الرشيعة اإلسالمية يف نصوصها ومقاصدها‪ .‬ثانيا‬
‫إن بانتشاســيال غري مانعة من اتلطبيق القانوين للرشيعة اإلســامية يف ادلولة اليت تقوم‬
‫ىلع أساســها‪ .‬ثاثلا يرتتب ىلع جعل بانتشاسيال أساسا لدلولة أنه جيب أن ال تتعارض مجيع‬
‫قوانينها مع مبدإ من مبادئها اخلمســة‪ .‬رابعا أن اجلمهورية اإلندونيسية إذ تقوم ىلع أساس‬
‫وفايق تكون دولة وفاقية‪.‬‬

‫مفتاح اللكمات‪ :‬االندونيسية‪ ،‬بانتشاسيال‪ ،‬انلصوص‪ ،‬واملقاصد‪.‬‬


‫|‪3‬‬

‫ملحة عن تاريخ بانتشاسيال‬


‫ ‬
‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬

‫أظهرت حراكت االستقالل اإلندونيسية اســتقطابا ثنايئ القطب‪ :‬احلركة الوطنية‬


‫العلمانيــة القائمة ىلع الوطنية املجردة‪ ،‬واحلركة الوطنية اإلســامية القائمة ىلع اإلســام‬
‫ولونت هاتان اإليديوجليتان اجللسة األوىل للجنة اتلحقيق للعمل اتلحضريي من‬ ‫والوطنية‪ّ .‬‬

‫أجل االستقالل (‪ )BPUPKI‬اليت عقدت يف الفرتة من ‪ ٢٩‬مايو إىل ‪ ١‬يونيو ‪.١٩٤٥‬‬

‫هناك انقسام واضح يف اللجنة بني أوئلك اذلين أرادوا دولة علمانية وأوئلك اذلين‬
‫أرادوا دولة إســامية‪ ،‬وهذا االنقسام أصبح خالفا يف اغية من اخلطورة‪ ،‬ألنه لو لم ينحسم‬
‫ما برزت هذه ادلولة إىل حزي الوجود وقد ســالت يف سبيل حتقيقها ادلماء وادلموع‪ ،‬وضيح‬
‫فيه لك ما دلى الفريقني من نفس ونفيس‪ .‬اقرتحت القوى اإلســامية أن يكون اإلسالم‬
‫ورشيعته أســاس هذه ادلولة‪ ،‬بينمــا رفضت القوى العلمانية ذلــك وأبت إال أن تكون‬
‫الالدينية يه االساس‪ .‬وهما مبدأن اليمكن مجعهما النهما نقيضان‪.‬‬

‫وقــال خبتيار إيفيندي‪ :‬املطالــب اإليديولوجية للنضال الســيايس من أجل دولة‬


‫إسالمية يف بداية استقالل األمة اإلندونيسية حىت اخلمسينات ىلع األقل منطقية ومعقولة‪،‬‬
‫ألن الظروف السياسية تفتح فرصا للمنافسة النشطة للك من اجلمااعت اإلسالمية والوطنية‪.‬‬
‫وجيب أن يكون األساس الرئييس للنضال من أجل اإلسالم هو اتلفاهم الشيلك والقانوين‪،‬‬
‫ألن اإلســام دين ونظام سيايس يف نفس الوقت‪ .‬ذللك إذا تم إجبار اإلسالم ىلع أن يكون‬
‫دينا جوهريا يف ذلك الوقت‪ ،‬فهذا يعين أن اإلســام إنمــا يتصل فقط بقيم تعايلمه‪ ،‬مع أن‬
‫ادلولة اليت تم تشــكيلها ال تزال تبحث عن شلك أســايس لدلولة‪ ،‬فمن املحتم أن ينظر إىل‬
‫[[[‬
‫اإلسالم وممارسته ىلع املستويني اإليديولويج والرمزي‪.‬‬

‫‪ Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam‬‬
‫]‪[1‬‬

‫‪Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1999), 92-93.‬‬


‫ويف ‪ ١‬يونيو ‪ ،١٩٤٥‬يف ايلوم األخري من اجللسة األوىل ألىق سواكرنو خطابا وتقدم فيه‬
‫باقرتاح مخسة مبادئ أطلق عليها اسم بانتشاسيال تلكون أساسا لدلولة‪ ،‬ويه‪ )١( :‬اجلنسية‪،‬‬
‫(‪ )٢‬األمميــة‪ )٣( ،‬ادليمقراطية‪ )٤( ،‬الرفاهة االجتماعية‪ )٥( ،‬واأللوهية‪ .‬وأكد ســواكرنو أنه‬
‫مع مبدإ ادليمقراطية‪ ،‬يمكن تقنني األحاكم اإلســامية من خالل هيئة تمثيلية للشعب‪.‬‬
‫ّ‬
‫واتضح أن خطاب سواكرنو املساوم من شأنه أن يهدئ حدة اخلالف‪[[[.‬‬

‫وتراىض الفريقان أخريا بعد تفاقم االمر بأن تكون بانتشاسيال أساسا لدلولة‬
‫املستقلة بدال من اإلسالم كما هو منشود اإلسالميني‪ ،‬ونيابة عن العلمانية كما هو مطمح‬
‫العلمانيني‪ .‬وبانتشاسيال ىلع هذا تشبه ان تكون تعاقدا اجتماعيا ومساومة سياسية من‬
‫)‪ .‬ورغم ذلك‪STA‬ان تكون أساسا وفلسفة لدلولة‪ .‬رآى هذا الرأي سوتان تقدير يلع شهبانا (‬
‫فإنه بيق ىلع اختيار بانتشاسيال أساسا لدلولة‪ ،‬إذ بها إنقاذ شعب إندونيسيا يف زمن األزمة‪،‬‬
‫[[[‬
‫ويوافقه يف ذلك الوطنيون اإلسالميون من أمثال محاك وسيف ادلين زهري وحممد نارص‪.‬‬
‫ويف خالل ذلك تم تشكيل جلنة فرعية مؤلفة من ثمانية أعضاء مع سواكرنو‬
‫ملناقشة القضايا اليت ظهرت‪ .‬وأجنزت اللجنة التساعية ميثاق جاكرتا وتم اتلوقيع عليه يف‬
‫‪ ٢٢‬يونيو ‪ ٥٤٩١‬م‪ .‬ويضم امليثاق املبادئ اخلمسة اآلتية‪:‬‬
‫‪ .١‬الربانية مع وجوب العمل بالرشيعة اإلسالمية ىلع معتنقيها‪.‬‬
‫‪ .٢‬اإلنسانية العادلة املهذبة‪.‬‬

‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬


‫‪ .٣‬الوحدة اإلندونيسية‪.‬‬
‫‪ .٤‬الشعبية اليت تقودها السياسة احلكيمة يف املشورة انليابية‪.‬‬
‫‪ .٥‬العدالة االجتماعية دلى مجيع شعب إندونيسيا‪.‬‬
‫ويف غداة االســتقالل‪ ،‬أي يف ‪ ١٨‬أغســطوس ‪ ١٩٤٥‬م أعلنت بانتشاسيال كأساس‬
‫لدلولة‪ ،‬ووضعت يف مفتتح دســتورها‪ .‬وذلك بعد إلغاء مجلــة‪( :‬مع وجوب العمل بالرشيعة‬
‫اإلســامية ىلع معتنقيها)‪ ،‬وصار نص املبدإ األول يتغري إىل‪( :‬الربانية الواحدة‪/‬اإليمان باهلل‬
‫الواحد األحد)‪ .‬واكن ســبب إلغاء هذه اجلملة هو صدور إنذار جريء من نصارى املناطق‬
‫ ‬

‫]‪[2‬‬
‫‪ Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilsi Aktual Masalah‬‬
‫‪Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996),‬‬
‫‪74-76.‬‬
‫|‪4‬‬

‫‪ As’ad Sa’id Ali, Negara Pancasila, (Jakarta: LP3ES, 2009), 24.‬‬


‫]‪[3‬‬
‫الرشقية من إندونيسيا باالنفصال عنها وتكوين دولة مستقلة إذا لم تلغ هذه اجلملة‪ .‬وال‬
‫|‪5‬‬

‫شك أن هذا عظيم ىلع القوى اإلسالمية‪ ،‬ولكنها اقتنعت أخريا بعد االستشارة واالستخارة‬
‫ ‬
‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬

‫حبــذف هذه اجلملة‪ ،‬ألنها رأت أن غياب هذه اجلملــة أخف رضرا وأهون رشا من تفكك‬
‫ابلــاد وانفصال أجزاء كبرية منها‪ ،‬إذ ينجم عن ذلك تضيق ســبل ادلعوة إىل اهلل حيث لم‬
‫تتهيأ للمسلمني حرية ادلخول يف املناطق املنفصلة‪.‬‬

‫وخالصة القول يف بانتشاسيال أنها مرت بثالث مراحل‪:‬‬

‫األوىل‪ :‬مرحلة ‪ ١‬يونيو ‪ ١٩٤٥‬حيث اقرتح سواكرنو يف خطابه مخسة مبادئ بالصيغة‬
‫ّ‬
‫وســماها بهذا االسم‪ .‬ويصح القول بأن بانتشاسيال ظهرت أول ما ظهر ىف هذه‬ ‫اليت صاغها‪.‬‬
‫الفرتة ىلع اعتبار أن سواكرنو هو اذلى ّ‬
‫سماها بهذا االسم ىف خالل خطابه‪.‬‬

‫اثلانية‪ :‬مرحلة ‪ ٢٢‬يونيو ‪ ١٩٤٥‬حيث وضعت اللجنة التســاعية املبادئ اخلمســة‬


‫املعروفة باسم ميثاق جاكرتا‪.‬‬

‫اثلاثلة‪ :‬مرحلة ‪ 18‬أغسطوس حيث اتفق فيها ىلع صيغة املرحلة اثلانية حبذف مجلة‬
‫(مع وجوب العمل بالرشيعة اإلسالمية ىلع معتنقيها) وزيادة صفة الوحدة بدال منها‪ .‬فاكنت‬
‫هذه يه املرحلة انلهائية بلانتشاســيال‪ ،‬وبهذا االعتبار يصح القول أيضا بأن بانتشاســيال‬
‫ظهرت ىف هذه الفرتة (‪ 18‬أغسطوس ‪ .)1945‬ووصف األلوهية أو الربانية بالوحدة واألحدية‬
‫يعرب عن إرادة معظم ســان هذه ادلولة املؤمنني من أمة حممد صىل اهلل عليه وسلم بأن اهلل‬
‫تعاىل واحد أحد‪.‬‬

‫ويتخيل يف الفكر أن ما توصلنا إيله من االتفاق ىلع جعل بانتشاسيال أساسا لدلولة‬
‫ليــس بديال مثايلا‪ ،‬بل اكن ذلــك احنطاطا عن ابلغية املنشــودة دلى الفريقني‪ .‬نعم‪ ،‬هذا‬
‫من الزنول من املثل األىلع إىل الواقع األدىن‪ .‬ومثل هذا األمر وقع كثريا ال ســيما يف حياتنا‬
‫املعارصة‪ .‬فقد نص الفقهاء أن احلاكم من رشطه أن يكون جمتهدا هل القدرة ىلع استنباط‬
‫االحــام مبارشة من االدلة اتلفصيلية‪ .‬وبعد أمد بعيد يعوز املســلمني وجود حاكم بهذه‬
‫الصفة‪ .‬ولو الزتمنا بهذا الــرط ولم نصحح حكم حاكم غري جمتهد بلقيت اخلصومات‬
‫بال فصل حاكم ووقع انلاس يف حرج‪ .‬وهذا ما ال ترضاه الرشيعة احلنيفية السمحة حيث‬
‫[[[‬
‫ال تكلف اإلنســان ما ال يســتطيعه‪ .‬قال اهلل تعاىل‪( :‬ال يكلف اهلل نفسا إال وسعها)‪.‬‬
‫وروى ابلخاري أن رســول اهلل صىل اهلل عليه وســلم قال ‪( :‬فاذا نهيتكــم فاجتنبوه‪ ،‬وإذا‬
‫أمرتكم بأمر فأتوا منه ما اســتطعتم)‪ [[[،‬وقال‪( :‬إن اهلل حيب أن تؤىت رخصه كما حيب أن‬
‫تؤىت عزائمه)‪ [[[.‬وقد يقال‪ :‬إن االتفاق ىلع جعل بانتشاسيال أساسا لدلولة يكون مثال أىلع‬
‫من حيث إنه أصبح طريقا وحيدا لتســوية االختالف واالفرتاق بني الشعب املؤدي غيابها‬
‫إىل خيبة أمل اجلميع‪ .‬ومن هذه احليثية يصري األدىن أىلع‪ ،‬والرضر جتب إزاتله‪ ،‬ودرء املفاسد‬
‫مقدم ىلع جلب املصالح‪ ،‬وما ال يدرك لكه ال يرتك لكه‪.‬‬

‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬


‫ ‬

‫[[[ ابلقرة‪.286 :‬‬


‫[[[ ابلخارى‪ ،‬صحيح ابلخارى‪( ،‬بريوت‪ :‬دار الكتب العلمية‪ ،)2012 ،‬ج‪ ,4-‬ص‪.502-‬‬
‫[[[ أمحد بن حنبل‪ ،‬مسند االمام أمحد بن حنبل‪( ،‬بريوت‪ :‬مؤسسة الرسالة‪ ،)2001 ،‬ج‪ ,10-‬ص‪.107-‬‬
‫ ‬
‫|‪6‬‬
‫|‪7‬‬

‫ملحة عن نصوص الرشيعة‬


‫ ‬
‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬

‫اكد يكــون من املعلوم دلى لك طالب من طالب املعاهد اإلســامية أن نصوص‬


‫الرشيعة يراد بها نصوص الكتاب اذلي أنزهل اهلل ىلع رســوهل صىل اهلل عليه وســلم هلداية‬
‫انلاس وإخراجهم من الظلمات إىل انلور‪ ،‬كما يراد بها يه األخرى نصوص الســنة انلبوية‬
‫اليت قاهلا الرســول صىل اهلل عليه وسلم أو عرب بها عما فعله او أقر به‪ .‬وقد أوىص انليب صىل‬
‫اهلل عليه وســلم أمته باتلقيد بالكتاب والسنة واألخذ بما فيهما يف تعايط حياتهم وشؤونهم‬
‫ادلينية وادلنيوية وعلق جناتها من الضالل ىلع اتلمســك بهمــا فقال‪( :‬ياأيها انلاس اىن قد‬
‫[[[‬
‫تركت فيكم ما ان اعتصمتم به فلن تضلوا أبدا كتاب اهلل وسنة نبيه)‪.‬‬

‫وتنبثــق منهما أحاكم وقواعد ونظــم إلقامة احلياة العادلــة وحتقيق العبودية هلل‬
‫ســبحانه وتعاىل‪ .‬وهذه األحاكم والقواعد وانلظم يه الرشيعة الــي أمرنا باتباعها يف قوهل‬
‫[[[‬
‫تعاىل‪( :‬ثم جعلناك ىلع رشيعة من األمر فاتبعها)‪.‬‬

‫قال ابن اعشــور يف اتلحرير‪ :‬والرشيعة ادلين وامللة املتبعة مشتقة من الرشع‪ ،‬وهو‬
‫جعل طريق للسري‪ [[[،‬قال قتادة‪ :‬الرشيعة االمر وانليه واحلدود والفرائض‪ [[1[.‬وقال القرطيب‪:‬‬
‫والرشيعة يف اللغة الطريق اذلي يتوصــل منه إىل املاء‪ .‬والرشيعة (يف االصطالح) ما رشعه‬
‫[‪[[1‬‬
‫اهلل لعباده من ادلين‪.‬‬

‫[[[ احلاكم انليسابورى‪ ،‬املستدرك ىلع الصحيحني‪( ،‬بريوت‪ :‬دار الكتب العلمية‪ ،)2002 ،‬ج‪ ،2-‬ص‪.318-‬‬
‫[[[ اجلاثية‪.18 :‬‬
‫[[[ ابن اعشور‪ ،‬اتلحرير واتلنوير‪( ،‬تونس‪ :‬ادلار اتلونيسية‪ ،)1984 ،‬ج‪ ,25-‬ص‪.348-‬‬
‫ ‬
‫[‪ [[1‬القرطىب‪ ،‬اجلامع ألحاكم القرآن‪( ،‬بريوت‪ :‬مؤسسة الرسالة‪ ،)2006 ،‬ج‪ ،19-‬ص‪.154-‬‬
‫ ‬
‫[‪ [[1‬املصدر السابق‪ ،‬ج‪ ،6-‬ص‪.211-‬‬
‫ ‬
‫ومثــل الرشيعة يف املعــى ْ‬
‫الشعة اليت يف قوهل تعاىل‪( :‬لــل جعلنا منكم رشعة‬
‫ِ‬
‫ومنهاجا)‪ [[1[.‬قــال القرطيب‪ :‬والرشعة والرشيعــة الطريقة الظاهرة ا لــي يتوصل بها إىل‬
‫انلجاة‪ [[1[.‬وهذه العبارات لكها ترجع يف جوهرها إىل ما قدمته من املراد بالرشيعة‪.‬‬

‫ورشيعة اإلسالم يف معناها الواسع بمعىن دين اإلسالم‪ ،‬ويف معناها الضيق يه نوع‬
‫منــه‪ ،‬وهو األحاكم العمليــة املتعلقة بأفعال امللكفني‪ .‬ثم إن فهــم الرشيعة من نصوصها ال‬
‫يكون فهما صحيحا إال بتوافر عدة أمور اكآليت‪:‬‬

‫‪1 1.‬مرااعة مقتىض األســايلب يف اللغة العربية وطرق ادلاللة فيها‪ ،‬وما تدل عليه ألفاظها‬
‫مفردة ومركبة‪ .‬وال يتسىن ذلك إال ملن هل إملام بالقواعد اللغوية‪.‬‬
‫‪2 2.‬ربط انلصوص بعضهــا ببعض‪ .‬فيجب ربط اآلية باآليــة واحلديث باحلديث واآلية‬
‫باحلديث واحلديث باآليــة‪ .‬وذلك الن نصوص الرشيعة واحــدة وحدوية ال تنفصل‬
‫بعضها عــن اآلخر‪ .‬ويتمثل ربط انلص باآلخر يف بيــان املجمل أو ختصيص العام أو‬
‫تقييد املطلق أو توضيح املشلك‪.‬‬
‫لــم نكن نلفهــم املراد بقوهل تعــاىل‪( :‬أحلت لكــم بهيمة األنعــام إال ما يتىل‬
‫عليكــم)[‪ [[1‬لوال أننــا ربطناه بآية تكــون مبينة ومفرسة للمراد منــه‪ ،‬وهو قوهل تعاىل‪:‬‬
‫[‪[[1‬‬
‫(حرمت عليكم امليتة وادلم وحلم اخلزنير)‪.‬‬

‫توهم بعــض انلاس أن الزيادة ىلع رؤوس األمــوال يف القروض وادليون لم تكن‬

‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬


‫ربا حمرما إال إذا اكنت أضعافا مضاعفة‪ ،‬وذلك تمســا بقوهل تعاىل‪( :‬ال تأكلوا الربا أضعافا‬
‫مضاعفة)‪ [[1[،‬ويبني خطا هذا اتلوهم قوهل تعاىل يف آخر ســورة ابلقــرة‪( :‬وإن تبتم فلكم‬
‫رءوس أموالكم ال تظلمــون وال تظلمون)‪ [[1[.‬هذه اآلية تدل ىلع أن أصحاب القروض ال‬
‫يستحقون أن يسرتدوا إال رءوس أمواهلم بال زيادة وال نقص‪ .‬فلك زيادة ىلع رأس املال مهما‬
‫قلت فهو ربا حمرم‪.‬‬

‫[‪ [[1‬املائدة‪.48 :‬‬


‫[‪ [[1‬القرطىب‪ ،‬اجلامع ألحاكم القرآن‪ ،‬ج‪ ،6-‬ص‪.211-‬‬
‫ ‬

‫[‪ [[1‬املائدة‪.1 :‬‬


‫[‪ [[1‬املائدة‪.3 :‬‬
‫|‪8‬‬

‫[‪ [[1‬آل عمران‪.130 :‬‬


‫ ‬
‫[‪ [[1‬ابلقرة‪.279 :‬‬
‫قال اإلمام الرازي يف تفســر قوهل تعاىل‪( :‬ال تظلمون وال تظلمون)‪ :‬أي ال تظلمون‬
‫|‪9‬‬

‫الغريــم بطلب الزيادة ىلع رأس املال‪ ،‬وال تظلمــون أي بنقصان رأس املال‪ [[1[.‬وقوهل تعاىل‪:‬‬
‫ ‬
‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬

‫(أضعافا مضاعفة) حال وصفة‪ ،‬ويه ال تفيد مفهوما‪ ،‬ألنه إنما خص باذلكر حلاكية الواقع‪.‬‬

‫قال شــيخ اإلســام زكريا األنصاري يف صدد بيان رشط األخذ بمفهوم املخالفة‪:‬‬
‫(ورشطه أن اليظهــر تلخصيص املنطوق باذلكــر فائدة غري نيف حكم غــره)‪ [[1[.‬فذكر‬
‫(أضعافــا مضاعفة) تظهر فيه فائدة غري نيف انليه عمــا ال يتصف باالضعاف املضاعفة‪،‬‬
‫والفائدة يه موافقة الواقع‪.‬‬

‫قال األلويس يف روح املعاين‪( :‬وليس هذه احلال تلقييد املنيه عنه يلكون أصل الربا‬
‫غري منيه‪ ،‬بل ملرااعة الواقع)‪ [[2[.‬وقال ابن اعشور يف اتلنوير‪( :‬فاحلال واردة حلاكية الواقع فال‬
‫تفيد مفهوما‪ ،‬الن رشط اســتفادة املفهوم من القيــود أن ال يكون القيد امللفوظ به جرى‬
‫[‪[[2‬‬
‫حلاكية الواقع)‪.‬‬

‫روى ابلخــاري حديث‪( :‬من بدل دينه فاقتلــوه)‪ [[2[.‬يدل هذا احلديث بمفرده ىلع‬
‫أن املرتد اخلارج عن اإلســام جيب قتله وحماكمته باإلعدام‪ .‬لكن من احلصافة اإلتلفات‬
‫إىل حديث آخر وربطه به‪ ،‬وهو حديث مســلم‪( :‬ال حيل دم امرئ مسلم يشهد أن ال هلإ إال‬
‫اهلل وأين رســول اهلل إال بإحدى ثالث‪ :‬اثليب الزاين وانلفس بانلفس واتلارك دلينه املفارق‬
‫[‪[[2‬‬
‫للجماعة)‪.‬‬

‫بمقتــى هذا احلديث يكون قتل املرتد ليس ىلع إطالقه بل قيد بكونه مفارقا‬
‫للجماعة باحلرابة أو ابليغ‪ .‬فمجرد اخلروج عن اإلسالم ال يقتيض القتل‪ .‬ويكون هذا من‬
‫[‪[[2‬‬
‫قبيل محل املطلق ىلع املقيد‪.‬‬

‫[‪ [[1‬االمام الرازى‪ ،‬اتلفسري الكبري مفاتيح الغيب‪( ،‬يربوت‪ :‬دار الفكر‪ ،)1981 ،‬ج‪ ،7-‬ص‪.108-‬‬
‫ ‬
‫[‪ [[1‬زكريا األنصارى‪ ،‬لب األصول‪( ،‬سورابايا‪ :‬احلرمني)‪.43 ،‬‬
‫ ‬
‫[‪ [[2‬األلوىس‪ ،‬روح املعاىن‪( ،‬بريوت‪ :‬دار الكتب العلمية‪ ،)1415 ،‬ج‪ ،2-‬ص‪.270-‬‬
‫ ‬
‫[‪ [[2‬ابن اعشور‪ ،‬اتلحرير واتلنوير‪ ،‬ج‪ ،4-‬ص‪.86-‬‬
‫[‪ [[2‬ابلخارى‪ ،‬صحيح ابلخارى‪ ،‬ج‪ ،4-‬ص‪.378-‬‬
‫ ‬
‫[‪ [[2‬املصدر السابق‪ ،‬ج‪ ،4-‬ص‪.361-‬‬
‫ ‬
‫[‪ [[2‬عبد الوهاب خالف‪ ،‬علم أصول الفقه‪( ،‬القاهرة‪ :‬دار الرشيد‪.180 ،)2008 ،‬‬
‫‪3 3.‬ربط انلصوص باملقاصد‪ ،‬فان تفهم انلص مقصورا فيه ىلع حرفيته معزوال عن مقصود‬
‫الشــارع فيه جيعل احلكم املفهوم منه متعــر اتلطبيق أو متعذره يف الواقع املعييش‬
‫للنــاس وال يتماىش مع طبيعة الرشيعة من كونها صاحلة للك زمان وماكن‪ .‬وســيأيت‬
‫رشح ذلك وأمثلته يف مبحث مقاصد الرشيعة‪.‬‬
‫‪4 4.‬ربط انلصوص بأسباب نزوهلا‪.‬‬
‫ذهــب مجاهري املفرسين والفقهاء واألصويلني إىل أنه إذا ورد لفظ اعم ىلع ســبب‬
‫خاص أخذ عمومه بعني االعتبار‪ .‬واشــتهرت عندهم قاعدة تقول‪( :‬العربة بعموم اللفظ ال‬
‫خبصوص الســبب)‪ [[2[،‬وصاغها اإلمام الغزايل بقوهل‪( :‬ورود العام ىلع سبب خاص ال يسقط‬
‫[‪[[2‬‬
‫دعوى العموم)‪.‬‬
‫[‪[[2‬‬
‫ومن تطبيقات القاعدة‪ :‬قوهل تعاىل (إن اهلل يأمركم أن تؤدوا األمانات إىل أهلها)‪.‬‬

‫نزلت اآلية ملا أخذ يلع ريض اهلل عنه مفتاح الكعبة من عثمان بن طلحة احلجيب‬
‫سادنها قرسا ملا قدم انليب صىل اهلل عليه وسلم مكة اعم الفتح ومنعه‪ ،‬فأمر رسول اهلل صىل‬
‫اهلل عليه وسلم برده إيله وقال‪ :‬هاك خادلة تادلة‪ ،‬واآلية الكريمة وإن وردت ىلع سبب خاص‬
‫فعمومه معترب بقرينة اجلمع‪ [[2[.‬فيستدل باآلية ىلع وجوب أداء لك أمانة من األمانات‪.‬‬
‫ّ‬
‫ورغم أن قاعدة (العربة بعموم اللفظ) مســلم بها إال أن للسياق واملقام والقرائن‬
‫ومن ذلك ســبب الزنول أثرا يف حتديد دائرة العموم‪ .‬فقد اتفــق العلماء ىلع أهمية معرفة‬

‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬


‫ســبب الزنول ورضورة أخذه بعني االعتبار يف فهم انلصوص وتفســرها واستنباط معانيها‬
‫وأحاكمها‪ ،‬وقرروا يف ذلك قاعدة تقول‪ :‬العلم بالسبب يورث العلم باملسبب‪ ،‬وبعبارة أخرى‬
‫[‪[[2‬‬
‫قال اإلمام الشاطيب‪ :‬معرفة أسباب اتلزنيل الزمة ملن أراد علم القرآن‪.‬‬

‫[‪ [[2‬املصدر السابق‪.176 ،‬‬


‫[‪ [[2‬الغزاىل‪ ،‬املستصىف من علم االصول‪( ،‬بريوت‪ :‬دار الكتب العلمية‪.371 ،)2014 ،‬‬
‫ ‬

‫[‪ [[2‬النساء ‪.٥٨ :‬‬


‫[‪ [[2‬املحىل والسيوىط‪ ،‬تفسري اجلاللني‪( ،‬سورابايا‪ :‬نور اهلدى)‪.79 ،‬‬
‫|‪10‬‬

‫[‪ [[2‬الشاطىب‪ ،‬املوافقات ىف أصول الرشيعة‪( ،‬بريوت‪ :‬دار الكتب العلمية‪ ،)2011 ،‬ج‪ ،4-‬ص‪.146-‬‬
‫فهنا يظهر إشاكل ينجم عن اتلعارض الظاهري بني اعتبار عموم اللفظ واالتلفات‬
‫|‪11‬‬

‫إىل خصوص السبب‪ .‬ويزول هذا اإلشاكل بطريق اجلمع بينهما بأن نقول‪ :‬إن األصل يف اللفظ‬
‫ ‬
‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬

‫العام اعتبار عمومه حىت يدل ديلل الســياق واملقام والقرائن بما فيها سبب الزنول ىلع أن‬
‫عموم اللفظ ليس مرادا‪.‬‬

‫وبهذه الطريقة يزول االستشاكل املتعلق بقوهل تعاىل‪( :‬ومن لم حيكم بما أنزل اهلل‬
‫[‪[[3‬‬
‫فأوئلك هم الاكفرون)‪.‬‬

‫واإلشاكل يأيت من القول بالكفر ملجرد احلكم بغري ما أنزل اهلل‪ ،‬فإنه ال يعدو ان‬
‫يكون كبرية من الكبائر‪ ،‬والكبرية ال خترج املســلم من اإلســام إىل الكفر باتفاق أهل‬
‫السنة واجلماعة‪.‬‬

‫ومن املعلوم أن اآلية اختذتها الطائفــة اتلكفريية حجة تلكفري لك من حكم أو‬
‫عمل‪-‬من الوالة والقضــاة وحنوهم‪-‬بغري ما أنزهل اهلل تعاىل‪ ،‬ويتمثل ذلك خاصة يف القوانني‬
‫الوضعية واملواثيق ادلويلة‪ ،‬وال تســلم إندونيسيا من تكفري هذه الطائفة‪ ،‬فقالت‪ :‬يه دولة‬
‫كفر‪ ،‬أو قالت‪ :‬دولة طاغوت‪.‬‬

‫وهذا لكه ينجم عن اتلعامــل الظاهري مع ألفاظ هذه اآليــة وتقرير مقتضياتها‬
‫[‪[[3‬‬
‫بمعزل عن تدبر سياقها ومقصودها ويف غفلة عن سبب نزوهلا‪.‬‬

‫نزلت اآلية يف ايلهود اذلين بدلوا حكم اتلوراة فجعلوا ماكنه اجلدل واتلحميم‪.‬‬

‫فقد روى ابلخــاري عن ابن عمر ريض اهلل عنه أن ايلهــود جاؤوا إىل انليب صىل‬
‫اهلل عليه وســلم برجل منهم وامرأة زنيا ‪ ،‬فقال هلــم‪ :‬كيف تفعلون بمن زىن منكم؟ قالوا‪:‬‬
‫حنممهما ونرضبهما‪ ،‬فقال‪ :‬ال جتدون يف اتلوراة الرجم؟ فقالوا‪ :‬ال جند فيها شيئا‪ ،‬فقال هلم عبد‬
‫[‪[[3‬‬
‫اهلل بن سالم‪ :‬كذبتم فأتوا باتلوراة فاتلوها إن كنتم صادقني – احلديث‪.‬‬

‫[‪ [[3‬املائدة ‪.44 :‬‬


‫[‪ [[3‬أمحد الريســوىن‪ ،‬مقاصد اآليات بني عموم اللفظ وخصوص الســبب‪( ،‬القاهرة‪ :‬مؤسســة الفرقان للرتاث‬
‫ ‬
‫االسالىم)‪.44 ،‬‬
‫[‪ [[3‬ابلخارى‪ ،‬صحيح ابلخارى‪ ،‬ج‪ ،3-‬ص‪.193-‬‬
‫ويالحظ أن عموم اآلية يكون يف موضعني‪:‬‬

‫يف (ما) و(من)‪ .‬فما تشــمل لك حكم يتعلق بفعل امللكف‪ ،‬ومن تشمل لك ملكف‬
‫يكون من شــأنه أن حيكــم من أصحاب اإلمــارات والواليات ىلع اختــاف أنواعها‬
‫ومســتوياتها اكألمراء والعلمــاء واحلاكم والقضاة واملفتني ورؤســاء املدارس‪ .‬فلك ملكف‬
‫منهم لم حيكم حبكم اهلل أو حكم بغري حكم اهلل فهو اكفر بمقتىض ظاهر اآلية‪ ،‬وذلك‬
‫اكجلــور يف احلكم ومعاقبة الربيء وإبراء اجلاين واكتلقرير بانلجاح يف اإلمتحان انلهايئ ملن‬
‫ال يستحقه وعكسه‪.‬‬

‫واختلف املفرسون يف تفســر االية؛ فمنهم مــن قرص احلكم بالكفر ىلع اذلين‬
‫نزلت فيهم اآلية وهم ايلهود‪ ،‬ومنهم من ّ‬
‫عممه ليشمل لك من يتناوهلم لفظ اآلية‪ ،‬فبعضهم‬
‫محــل الكفر ىلع الكفر األصغــر دون الكفر األكرب اذلي خيرج به املســلم من امللة‪،‬‬
‫وبعضهم خص احلكم بالكفر بمن أنكر بقلبه وجحد بلسانه‪.‬‬

‫ونقل شــيخ املفرسين اإلمام الطربي عدة أقوال يف تفسري اآلية ثم قال‪ :‬وأوىل هذه‬
‫األقــوال عندي بالصواب قــول من قال‪ :‬نزلت هذه اآليات يف كفــار اهل الكتاب‪ ،‬ألن ما‬
‫قبلها وما بعدها من اآليات ففيهم نزلت‪ ،‬وهم املعنيون بها‪ ،‬وهذه اآليات سياق اخلرب عنهم‪،‬‬
‫[‪[[3‬‬
‫فكونها خربا عنهم أوىل‪.‬‬
‫ّ‬
‫وضعف اإلمــام الرازي قول من قال بأن اآلية خمتصة بايلهود‪ ،‬وقول من قال‪ :‬املراد‬

‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬


‫ومن لم حيكم من هؤآلء اذلين ســبق ذكرهم بما أنــزل اهلل فأئلك هم الاكفرون‪ ،‬ألن قوهل‬
‫(ومن لم حيكم بما أنزل اهلل) كالم أدخل فيه لكمة (من) يف معرض الرشط فيكون للعموم‪،‬‬
‫ثم نقل عن عكرمة قوهل‪( :‬ومن لم حيكم بما أنزل اهلل) إنما يتناول من أنكر بقلبه وجحد‬
‫بلســانه‪ .‬أما من عرف بقلبه كونه حكم اهلل وأقر بلسانه كونه حكم اهلل‪ ،‬إال أنه أىت بما‬
‫يضاده‪ ،‬فهو حاكم بما أنزل اهلل ولكنه تــارك هل‪ ،‬فال يلزم دخوهل حتت هذه اآلية‪ ،‬ثم قال‪:‬‬
‫[‪[[3‬‬
‫وهذا هو اجلواب الصحيح واهلل أعلم‪.‬‬
‫ ‬

‫[‪ [[3‬الطربى‪ ،‬تفســر الطربى جامــع ابليان عن تأويل آى القرآن‪( ،‬بريوت‪ :‬مؤسســة الرســالة‪ ،)2014 ،‬ج‪،8-‬‬
‫ص‪.467-‬‬
‫[‪ [[3‬الرازى‪ ،‬اتلفسري الكبري مفاتيح الغيب‪ ،‬ج‪ ،13-‬ص‪.7-‬‬
‫|‪12‬‬
‫|‪13‬‬

‫ونقل القرطيب قول ابن مسعود واحلسن‪ :‬يه اعمة يف لك من لم حيكم بما أنزل اهلل‬
‫من املسلمني وايلهود والكفار أي معتقدا ذلك ومستحال هل‪ ،‬فأما من فعل ذلك وهو معتقد‬
‫أنه راكب ّ‬
‫ ‬
‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬

‫حمرم فهو من فســاق املسلمني‪ [[3[.‬وذكر الطربي أن رجال قال البن عباس يف هذه‬
‫اآليــات‪« :‬ومن لم حيكم بما أنزل اهلل‪ »،‬فمن فعل هذا فقد كفر؟ قال ابن عباس‪ :‬إذا فعل‬
‫[‪[[3‬‬
‫ذلك فهو به كفر‪ ،‬وليس كمن كفر باهلل وايلوم اآلخر‪ ،‬وبكذا وكذا‪.‬‬

‫ومهما يكن من تعدد األقوال يف تفســر اآلية فليس فيها ما يصلح ســندا للقول‬
‫بالكفر ملجرد احلكــم بغري ما أنزل اهلل‪ .‬فإن املختلفني يف تفســرها متفقون ىلع أنه ال‬
‫خيرج مســلم عن امللة بمجرد احلكم بغري ما أنزل اهلل‪ .‬وذلك بأن حيمل بعضهم اآلية ىلع‬
‫مــن نزلت اآلية فيهم‪ ،‬وهم ايلهود‪ ،‬وحيمل بعضهم الكفــر فيها ىلع الكفر األصغر دون‬
‫الكفر األكرب‪.‬‬

‫[‪ [[3‬القرطىب‪ ،‬اجلامع ألحاكم القرآن‪ ،‬ج‪ ،6-‬ص‪.190-‬‬


‫ ‬
‫[‪ [[3‬الطربى‪ ،‬تفسري الطربى جامع ابليان عن تأويل آى القرآن‪.‬‬
‫ ‬
‫|‪15‬‬

‫ملحة عن مقاصد الرشيعة‬


‫ ‬
‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬

‫باســتقراء انلصوص اجلزئية وأحاكمها وعللها وحكمها توصل العلماء إىل أمر يلك‬
‫يمثــل نتيجة هل‪ .‬ويه أن الرشيعة اإلســامية املوصوفة بالشــمول والكمال والصالح للك‬
‫زمان وماكن يكون وراءها معاين يقصد الشــارع إىل حتقيقها‪ .‬وهذه املعاين يصطلح عليها‬
‫بمقاصد الرشيعة أو مقاصد الشارع أو املقاصد الرشعية‪.‬‬

‫وتســتمد مقاصد الرشيعة أيضا من انلصوص اليت قــررت مبادئ ترشيعية اعمة‬
‫وأصوال ترشيعية لكية اكســتمداد مقصد اتليســر من قوهل تعاىل‪( :‬يريد اهلل بكم اليرس‬
‫[‪[[3‬‬
‫وال يريد بكم العــر)‪ [[3[،‬ومقصد اتلخفيف من قوهل‪( :‬يريد اهلل أن خيفف عنكم)‪،‬‬
‫ومقصد دفع احلرج واملشــقة من قوهل‪( :‬وما جعل عليكم يف ادلين من حرج)‪ [[3[،‬ومقصد‬
‫دفع الرضر من قوهل صىل اهلل عليه وســلم‪( :‬ال رضر وال رضار)‪ [[4[،‬ومقصد صون الكرامة‬
‫اإلنســانية من قوهل تعاىل‪( :‬ولقد كرمنا بين آدم)‪ [[4[،‬ومقصــد إقامة العدل من قوهل‪( :‬لقد‬
‫أرســلنا رســلنا بابلينت وأنزنلا معهم الكتب واملزيان يلقوم انلاس بالقسط)‪ [[4[،‬ومقصد‬
‫حتقيق الكفايــة واألمن من قوهل‪( :‬فليعبدوا رب هذا ابليت اذلي أطعمهم من جوع وآمنهم‬
‫مــن خوف)‪ [[4[،‬ومقصد اتلــوازن االقتصادي من قوهل‪( :‬يك ال يكــون دولة بني االغنيآء‬

‫[‪ [[3‬ابلقرة ‪.185 :‬‬


‫[‪ [[3‬النساء ‪.28 :‬‬
‫[‪ [[3‬احلج ‪.78 :‬‬
‫[‪ [[4‬مالك بن أنس‪ ،‬املوطأ‪( ،‬بريوت‪ :‬دار إحياء الرتاث‪ ،)1985 ،‬ج‪ ،2-‬ص‪.745-‬‬
‫ ‬
‫[‪ [[4‬اإلسراء‪.07 :‬‬
‫[‪ [[4‬احلديد‪.25 :‬‬
‫[‪ [[4‬قريش‪.4-3 :‬‬
‫ ‬
‫منكم)‪ [[4[،‬ومقصد إغناء الفقراء بزاكة الفطر من قوهل صىل اهلل عليه وسلم‪( :‬أغنوهم عن‬
‫[‪[[4‬‬
‫سؤال هذا ايلوم)‪.‬‬

‫وإلمام احلرمني عبارة جامعة يرجع إيلها جممل مقاصد الرشيعة‪ ،‬ويه‪( :‬األغراض‬
‫ادلفعية وانلفعية)‪ [[4[.‬فيه تفيد أن مقاصد الرشيعة ذات وجهني‪ :‬دفع ونفع‪ ،‬وهو املعىن اذلي‬
‫عرب عنه فيما بعد بعبارة (جلب املصالح ودرء املفاسد)‪.‬‬

‫وقال اتلاج الســبيك‪( :‬أرجع شــيخ اإلســام عز ادلين بن عبد السالم الفقه لكه‬
‫إىل اعتبار املصالح ودرء املفاســد؛ ولو ضايقه مضايــق لقال‪ :‬أرجع اللك إىل اعتبار املصالح‬
‫فإن درء املفاســد من مجلتها‪ [[4[.‬وبمثل ما قال السبيك قال الشاطيب‪( :‬وضع الرشائع إنما هو‬
‫ملصالح العباد يف العاجل واآلجل معــا)‪ [[4[.‬فانتىه يب االمر إىل القول بأن مقاصد الرشيعة‬
‫هو حتقيق مصالح انلاس‪.‬‬

‫ويظهر من ذلك أن املقاصد واملصالح عبارتان خيتلف مفهومهما ويتحد ماصدقهما‬


‫ومعناهما‪ ،‬وهو ما أرشت إيله آنفا وسيتضح جليا فيما بعد‪ .‬‬

‫ويعلم باحلس واملشــاهدة أن مصالح انلاس تنحرص يف ثالثة‪ .‬ويه مرتبة بالرتتيب‬
‫اآليت‪:‬‬

‫‪1 1.‬املصلحة الرضورية‪ ،‬ويه ما تقوم عليه حياة انلاس وال بد منه الســتقامة مصاحلهم‪،‬‬

‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬


‫وإذا فقد اختل نظام حياتهم‪ ،‬ولم تســتقم مصاحلهم‪ ،‬وعمت فيهم الفوىض واملفاســد‪.‬‬
‫واملصالح الرضورية للناس بهذا املعىن ترجع إىل حفظ مخســة اشــياء‪ :‬ادلين وانلفس‬
‫والعقــل والعرض واملال‪ [[4[.‬والغزايل صنف املصالح الرضورية بهذا الرتتيب ولكنه لم‬

‫[‪ [[4‬احلرش‪.7 :‬‬


‫[‪ [[4‬الفاكهاىن‪ ،‬رياض األفهام ىف رشح عمدة األحاكم‪( ،‬بريوت‪ :‬دار الكتب العلمية)‪ ،‬ج‪ ،3-‬ص‪.347-‬‬
‫ ‬
‫[‪ [[4‬اجلويىن‪ ،‬الربهان ىف أصول الفقه‪( ،‬بريوت‪ :‬دار الكتب العلمية)‪ ،‬ج‪ ،2-‬ص‪.603-‬‬
‫ ‬

‫[‪ [[4‬تاج ادلين السبىك‪ ،‬االشباه وانلظائر‪( ،‬بريوت‪ :‬دار الكتب العلمية‪ ،)1991 ،‬ج‪ ،1-‬ص‪.12-‬‬
‫[‪ [[4‬الشاطىب‪ ،‬املوافقات ىف أصول الرشيعة‪ ،‬ج‪ ،2-‬ص‪.9-‬‬
‫ ‬
‫|‪16‬‬

‫[‪ [[4‬عبد الوهاب خالف‪ ،‬علم أصول الفقه‪.199 ،‬‬


‫ ‬
‫|‪17‬‬

‫يذكر العرض وذكر بدهل النسل‪ [[5[.‬وهذه اخلمســة أمهات للمقاصد واملصالح وتسىم‬
‫بالرضوريات اخلمس‪ .‬هذا يفيد أن مقاصد الرشيعة ال تنحرص يف هذه اخلمســة‪ ،‬وإنما‬
‫ ‬
‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬

‫يه أمهات وهلا توابع ومكمالت‪ .‬وكفل اإلســام حفــظ الرضوريات لكها بأن أباح‬
‫املحظورات للرضورات‪.‬‬
‫‪2 2.‬املصلحة احلاجية‪ ،‬ويه ما حتتاج إيله انلاس لليرس والســعة واحتمال مشاق اتللكيف‬
‫وأعبــاء احلياة‪ ،‬وإذا فقد ال خيتل نظــام حياتهم وال تعم فيهم الفــوىض كما إذا فقد‬
‫الرضوري‪ ،‬ولكن يناهلم احلرج والضيق‪ ،‬واملصالح احلاجية بهذا املعىن ترجع إىل رفع‬
‫احلرج عنهم‪ ،‬واتلخفيف عليهم يلحتملوا مشــاق اتللكيف‪ ،‬وتيرس هلم طرق اتلعامل‬
‫[‪[[5‬‬
‫واتلبادل وسبل العيش‪.‬‬
‫‪3 3.‬املصلحة اتلحســينية‪ ،‬ويه ما تقتضيه املروءة واآلداب وسري األمور ىلع أقوم منهاج‪،‬‬
‫وإذا فقد ال خيتل نظام حياة انلاس كما إذا فقدت املصلحة الرضورية‪ ،‬وال يناهلم حرج‬
‫كما اذا فقدت املصلحة احلاجية‪ ،‬ولكن تكون حياتهم مستنكرة يف تقدير العقول‬
‫الراجحة والفطر الســليمة‪ .‬واملصالح اتلحســينية للناس بهذا املعىن ترجع إىل ماكرم‬
‫[‪[[5‬‬
‫األخالق وحماسن العادات ولك ما يقصد به سري انلاس ىلع أحسن منهاج‪.‬‬
‫وقال الشــاطيب ما نصه‪ :‬إن الظواهر والعمومات واملطلقات واملقيدات واجلزئيات‬
‫اخلاصــة يف أعيان خمتلفة ووقائع خمتلفة يف لك بــاب من أبواب الفقه ولك نوع من أنواعه‪،‬‬
‫[‪[[5‬‬
‫يؤخذ منها أن الترشيع دائر حول حفظ هذه اثلالث اليت يه أسس مصالح انلاس‪.‬‬

‫ويتبني مما تقدم أن الرضوريات أهم املقاصد‪ ،‬وتليها احلاجيات‪ ،‬وتليها اتلحسينيات‪.‬‬
‫وىلع هذا فاالحاكم الرشعيــة اليت رشعت حلفظ الرضوريات أهم االحاكم وأحقها باملرااعة‪.‬‬
‫وتليها األحاكم اليت رشعت تلوفري احلاجيات ثم األحاكم اليت رشعت للتحسني واتلجميل‪.‬‬
‫وتعترب االحاكم اليت رشعت للتحسينيات اكملكملة لليت رشعت للحاجيات‪ .‬وتعترب األحاكم‬
‫[‪[[5‬‬
‫اليت رشعت للحاجيات اكملكملة لليت رشعت حلفظ الرضوريات‪.‬‬

‫[‪ [[5‬الغزاىل‪ ،‬املستصىف من علم االصول‪.258 ،‬‬


‫ ‬
‫[‪ [[5‬عبد الوهاب خالف‪ ،‬علم أصول الفقه‪.200 ،‬‬
‫ ‬
‫[‪ [[5‬املصدر السابق‪.200 ،‬‬
‫[‪ [[5‬الشاطىب‪ ،‬املوافقات ىف أصول الرشيعة‪ ،‬ج‪ ،2-‬ص‪.82-‬‬
‫ ‬
‫[‪ [[5‬عبد الوهاب خالف‪ ،‬علم أصول الفقه‪.206 ،‬‬
‫ ‬
‫مثال ذلك وجوب االحرتاز من املرض املعدي حمافظة ىلع سالمة انلفس‪ ،‬ولو ترتب‬
‫ىلع ذلك ترك صالة اجلماعة‪ ،‬الن حفظ انلفس رضوري وصالة اجلماعة مكملة للرضوري‬
‫وهو الصالة نفسها‪ ،‬أو نقول إنها من اتلحسينيات‪.‬‬

‫ومعرفة مقاصد الرشيعة من أهم ما يســتعان بــه ىلع فهم نصوصها وتطبيقها ىلع‬
‫الواقع واستنباط احلكم فيما ال نص فيه‪.‬‬

‫بالرجوع إىل مقاصد الرشيعة جياب عن تساؤل انلاس عن إجزاء إخراج القيمة يف‬
‫زاكة الفطر‪ ،‬وإخراج ما عدا األشياء املنصوص عليها يف احلديث‪ .‬فقد روى أبو سعيد اخلدري‬
‫ريض اهلل عنه قال‪ :‬كنا خنرج ‪ -‬إذ اكن فينا رسول اهلل صىل اهلل عليه و سلم ‪ -‬زاكة الفطر عن‬
‫لك صغري وكبري حر أو مملوك صااع من طعام أو صااع من أقط أو صااع من شــعري أو صااع‬
‫[‪[[5‬‬
‫من تمر أو صااع من زبيب‪.‬‬

‫ظاهــر احلديث يدل ىلع تعيني إخراج األصنــاف املنصوص عليها فيه‪ ،‬فال جبزئ‬
‫[‪[[5‬‬
‫غريها‪ ،‬ولكن الفقهاء فهموا من احلديث اآلخر (أغنوهم عن هذا السؤال يف هذا ايلوم)‬
‫أن مقصــد الزاكة عموما وزاكة الفطر خصوصا هو إغناء الفقراء‪ ،‬فأجاز احلنفية إخراج قيمة‬
‫األشياء املنصوصة‪ ،‬وأجاز اجلمهور إخراج ما عدا املنصوص عليها من لك ما يقتات به‪ ،‬ألن‬
‫إغناء الفقراء كما يتحقق بإخراج املنصوصة يتحقق أيضا بإخراج قيمتها وبكل ما يقتات‬
‫به من غريها‪.‬‬

‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬


‫اكنت قوانني املرور ويه القوانني اليت تتحكم حبركة املرور وتنظم ســر املركبات‬
‫يه من القوانني الوضعية واليت يقال بعدم انتمائها إىل أي ديلل من األدلة الرشعية‪ ،‬بمعىن أن‬
‫واضعيها حني وضعوها يف غفلة عن األحاكم الرشعية وأدتلها‪ ،‬لكين أرى أنها توافق مقاصد‬
‫الرشيعة‪ ،‬إذ اغيتها ترجع إىل حفظ انلفس واملال‪ .‬وبهذا انلظر تكون هذه القوانني رشعية‬
‫جيب رشاع ىلع املسلمني موافقتها‪.‬‬
‫ ‬

‫[‪ [[5‬مسلم انليسابورى‪ ،‬صحيح مسلم‪( ،‬بريوت‪ :‬دار الكتب العلمية‪ ،)2013 ،‬ج‪ ،1-‬ص‪.403-‬‬
‫[‪ [[5‬حممد االشبيىل‪ ،‬املسالك ىف رشح موطأ مالك‪( ،‬بريوت‪ :‬دار الغرب االسالىم‪ ،)2007 ،‬ج‪ ،4-‬ص‪.136-‬‬
‫ ‬
‫|‪18‬‬
‫|‪19‬‬

‫وانلظــر إىل املقاصد وأخذها بعني االعتبار من شــأنه أن يوســع دوائر االجتهاد‬
‫ّ‬
‫ويمكن من وجدان حلول ال جند ايلها طريقا عرب إعمال القياس‪.‬‬
‫ ‬
‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬

‫مثال ذلك حكم الفطر يف رمضان ذلوي األعمال الشــاقة اكحلصادين‪ .‬ونرى أن‬
‫ذلك مما ال نص يف القرآن وال يف الســنة ىلع حكمه‪ ،‬وال جيوز قياسه ىلع املسافر‪ ،‬ألن جواز‬
‫الفطر للمسافر معلل بالسفر‪ ،‬وهو علة قارصة ال توجد اال عند مسافر يقطع مسافة معينة‪،‬‬
‫ولكن الحت الطريق إىل القول باجلواز دفعا للمشقة‪ ،‬واملشقة جتلب اتليسري‪ ،‬ودفعها بدون‬
‫شك مقصد من مقاصد الرشيعة‪.‬‬

‫ويف إاعنــة الطابلني ما نصه‪ :‬قوهل (وأفــى األذريع إلخ) تضمن اإلفتاء املذكور أنه‬
‫يباح الفطــر للحصادين ومن أحلق بهم‪ ،‬لكن عليهم تبييــت انلية‪ ،‬ألنه ربما ال تلحقهم‬
‫[‪[[5‬‬
‫مشقة شديدة بالصوم فيجب عليهم‪.‬‬

‫ومقاصد الرشيعة أمور لكيــة تنطوي حتتها جزئيات الرشيعــة‪ ،‬وال بد للمجتهد‬
‫يف اســتنباط األحاكم اجلزئية من ربطها بكلياتها ونفض غبار اتلعارض بينهما‪ ،‬وإذا وقع‬
‫تعارض بني اليلك واجلزيئ وجب تقديم اليلك‪ .‬وقال اإلمام الشاطيب رمحه اهلل‪( :‬القاعدة املقررة‬
‫يف موضعها أنه إذا تعــارض أمر يلك وأمر جزيئ فاليلك مقــدم‪ ،‬ألن اجلزيئ يقتيض مصلحة‬
‫جزئيــة واليلك يقتيض مصلحة لكيــة‪ ،‬وال ينخرم نظام يف العالم باخنــرام املصلحة اجلزئية‬
‫[‪[[5‬‬
‫خبالف ما إذا قدم اعتبار املصلحة اجلزئية فان املصلحة اللكية ينخرم نظام لكيتها‪.‬‬

‫وممــا يتأكد أنه من األمور اللكية حرية اتلديــن واالعتقاد‪ .‬فقد تكاثرت اآليات‬
‫[‪[[5‬‬
‫تكاد تبلغ مائيت آية يدل مجيعها ىلع هذا األمر اليلك‪ ،‬حنو قوهل تعاىل‪( :‬ال إكراه يف ادلين)‬
‫وقوهل‪( :‬أفأنت تكره انلاس حىت يكونوا مؤمنني)[‪ [[6‬وقوهل‪( :‬فمن شــآء فليؤمن ومن شآء‬
‫فليكفــر)‪ [[6[.‬وال ينهض أي ديلل جزيئ ىلع معارضة هــذا اليلك‪ ،‬ولو وقع اتلعارض وجب‬

‫[‪ [[5‬شطا ادلمياىط‪ ،‬إاعنة الطابلني‪( ،‬سورابايا‪ :‬احلرمني)‪ ،‬ج‪ ،2-‬ص‪.237-‬‬


‫ ‬
‫[‪ [[5‬الشاطىب‪ ،‬املوافقات ىف أصول الرشيعة‪ ،‬ج‪ ،1-‬ص‪.324-‬‬
‫[‪ [[5‬ابلقرة‪.256 :‬‬
‫[‪ [[6‬يونس‪.99 :‬‬
‫[‪ [[6‬الكهف‪.29 :‬‬
‫تقديم اليلك وينبيغ التســاؤل عن صحة ادليلل اجلــزيئ‪ ،‬وىلع فرض صحته جيب محله ىلع‬
‫حممل ال يقع فيه اتلعارض مع اليلك‪ .‬وقد ذكرت يف املبحث السابق حديثا رواه اإلمام ابلخاري‬
‫يظهر تعارضه مع هذا اليلك‪ ،‬وهو‪( :‬من بدل دينه فاقتلوه)‪ [[6[.‬وتنحل مشلكة اتلعارض بينهما‬
‫بانتهــاج منهج محل املطلق ىلع املقيد‪ ،‬أي بتقييد هــذا احلديث بالقيد املذكور يف احلديث‬
‫اآلخر وهو حديث مسلم املتقدم (ال حيل دم امرئ مسلم يشهد أن ال هلإ إال اهلل وأين رسول‬
‫[‪[[6‬‬
‫اهلل إال بإحدى ثالث‪ :‬اثليب الــزاين وانلفس بانلفس واتلارك دلينه املفارق للجماعة)‪،‬‬
‫وحينئذ يكون قتل املرتد ال جيب تنفيذه اال يف حالة خمصوصة وسياق خمصوص‪ ،‬وهو ما إذا‬
‫اكن املرتد مفارقا جلماعة املسلمني باملحاربة أو ابليغ‪.‬‬

‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬


‫ ‬

‫[‪ [[6‬ابلخارى‪ ،‬صحيح ابلخارى‪( ،‬بريوت‪ :‬دار الكتب العلمية‪ ،)2012 ،‬ج‪ ،4-‬ص‪.378-‬‬
‫ ‬
‫[‪ [[6‬املصدر السابق‪ ،‬ج‪ ،4-‬ص‪.361-‬‬
‫|‪20‬‬
‫|‪21‬‬

‫األحكام الرشعية بني التكليفية والوضعية‬


‫ ‬
‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬

‫األحــام الرشعية‪ :‬يه األحاكم املأخوذة من أدلة الــرع املبعوث به انليب الكريم‬
‫صىل اهلل عليه وسلم‪ [[6[.‬وأدلة الرشع األصلية يه الكتاب والسنة‪ .‬واألحاكم الرشعية تؤخذ‬
‫من هذين الكتابني أو أحدهما‪ ،‬إما مبارشة وإما بواسطة األدلة الفرعية اكألمجاع والقياس‪.‬‬
‫فأي حكم أو قانون ليس هل انتســاب إىل الكتاب أو الســنة عن قرب أو بعد فال يكون‬
‫حكما رشعيا‪.‬‬

‫واالحاكم الرشعية نواعن‪:‬‬


‫[‪[[6‬‬
‫‪1 1.‬تكليفية‪ ،‬ويه الوجوب وانلدب واحلرمة والكراهة واإلباحة‪.‬‬
‫[‪[[6‬‬
‫‪2 2.‬وضعية‪ ،‬أشهرها السبب والرشط واملانع والرخصة والعزبمة‪.‬‬

‫واألحاكم اتللكيفية تنظم ثالثة أمور‪ :‬اعتقادية[‪ [[6‬وخلقية[‪ [[6‬وعملية‪ [[6[.‬واألحاكم‬


‫العملية تنظم أمرين من عمليات اإلنسان‪ :‬العبادات واملعامالت‪ .‬وأريد باملعامالت معناها‬
‫[‪[[7‬‬
‫الواسع وهو ما عدا العبادات‪.‬‬

‫وللك من العبادات واملعامالت قواعد ومبادئ خيتلف أحدأهما عن األخرى فيها‪.‬‬


‫ومن مبادئ العبادات‪:‬‬

‫[‪ [[6‬ابلناىن‪ ،‬حاشية العالمة ابلناىن ىلع رشح املحىل ىلع مجع اجلوامع‪( ،‬بريوت‪ :‬دار الكتب العلمية‪ ،)2006 ،‬ج‪،1-‬‬
‫ ‬
‫ص‪.79-‬‬
‫[‪ [[6‬حممد اخلرضى بك‪ ،‬أصول الفقه‪( ،‬مرص‪ :‬املكتبة اتلجارية الكربى‪.33 ،)1969 ،‬‬
‫ ‬
‫[‪ [[6‬املصدر السابق‪.56 ،‬‬
‫[‪ [[6‬أحاكم تتعلق بما جيب ىلع امللكف اعتقاده ىف اهلل ومالئكته وكتبه ورسله وايلوم اآلخر‪.‬‬
‫[‪ [[6‬أحاكم تتعلق بما جيب ىلع امللكف أن يتحىل به من الفضائل وأن يتخىل عنه من الرذائل‪.‬‬
‫ ‬
‫[‪ [[6‬أحاكم تتعلق بما يصدر عن امللكف من أقوال وأفعال وعقود وترصفات‪.‬‬
‫ ‬
‫[‪ [[7‬عبد الوهاب خالف‪ ،‬علم أصول الفقه‪.29 ،‬‬
‫ ‬
‫[‪[[7‬‬
‫‪1 1.‬األصل يف العبادات اتلعبد دون االتلفات إىل املعاين‪.‬‬
‫[‪[[7‬‬
‫‪2 2.‬األصل يف العبادات احلظر‪ ،‬االصل يف العبادة اتلوقيف‪.‬‬
‫[‪[[7‬‬
‫‪3 3.‬العربة يف العبادات باملباين واملعاين‪.‬‬
‫ومن مبادئ املعامالت‪:‬‬
‫[‪[[7‬‬
‫‪1 1.‬املعامالت طلق حىت يعلم املنع‪.‬‬
‫[‪[[7‬‬
‫‪2 2.‬االصل يف املعامالت اإلباحة‪.‬‬
‫[‪[[7‬‬
‫‪3 3.‬العربة يف املعامالت باملقاصد واملعاين ال باأللفاظ واملباين‪.‬‬
‫[‪[[7‬‬
‫‪4 4.‬ابلناء ىلع مرااعة العلل واملصالح‪.‬‬
‫وتتنوع االحاكم الرشعية من جهة أخرى إىل‪:‬‬

‫‪1 1.‬ما يستغين عن اإلجتهاد‪ ،‬وذلك لقطعية ديلله ثبوتا وداللة‪ .‬واالحاكم الرشعية من هذا‬
‫انلــوع ثوابت ال تتغري وال تتبدل مهما تغريت الظروف واألحوال‪ ،‬واختلفت األمكنة‬
‫واألزمان‪.‬‬
‫‪2 2.‬وما يتوصل إيله باالجتهاد‪ ،‬إما لعدم نص فيه‪ ،‬وإما لكون انلص ادلال عليه ظنيا ثبوتا‬
‫أو داللة أو لكيهما‪ .‬واألحاكم الرشعية من هذا انلوع قابلة للتغري واتلكيف مع ابليئة‬
‫والظروف واالحوال‪ .‬واالحاكم الرشعية من هذا انلوع تسىم الفقه‪.‬‬
‫والرشيعة اإلسالمية تمتاز عن غريها من األحاكم الوضعية بمزايا‪ ،‬منها أنها جامعة‬

‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬


‫بني اثلبات واتلغري كما ســبق آنفا‪ ،‬وجامعة بني اإلهلية واإلنســانية‪ .‬يه إهلية ألنها تستمد‬
‫من الويح اإلليه اذلي جتســد يف نصوص القرآن السنة‪ ،‬ويه إنسانية ألنها رشعت ملصلحة‬
‫االنســان ىف دنياه وأخراه‪ ،‬وأما القوانني الوضعية فيه ويلد الفكر االنساين املجرد بدون أي‬

‫[‪ [[7‬الشاطىب‪ ،‬املوافقات ىف أصول الرشيعة‪ ،‬ج‪ ،2-‬ص‪.513-‬‬


‫[‪ [[7‬حممد الزحيىل‪ ،‬القواعد الفقهية وتطبيقاتها يف املذاهب االربعة‪( ،‬بريوت‪ :‬دار الفكر‪ ،)2006 ،‬ج‪ ،2-‬ص‪769-‬‬
‫‪.‬‬
‫[‪ [[7‬سليمان ابلجريىم‪ ،‬حاشية ابلجرييم ىلع اخلطيب‪( ،‬بريوت‪ :‬دار الفكر‪ ،)2007 ،‬ج‪ ،4-‬ص‪. 314-‬‬
‫ ‬
‫[‪ [[7‬حممد بن علوى املالىك‪ ،‬مفهوم اتلطور واتلجديد يف الرشيعة اإلسالمية‪( ،‬جدة‪ :‬دار املنهاج)‪.١٦-١٥ ،‬‬
‫ ‬

‫[‪ [[7‬حممد عثمان شبري‪ ،‬املعامالت املايلة املعارصة يف الفقه اإلساليم‪( ،‬دار انلفائس‪.١٨ ،)2007 ،‬‬
‫ ‬
‫[‪ [[7‬ابراهيم حممد حممود احلريرى‪ ،‬املدخل يف القواعد الفقهية اللكية (دار عمار‪.٧٧ ،)1998 ،‬‬
‫ ‬
‫|‪22‬‬

‫[‪ [[7‬املصدر السابق‪.٢١ ،‬‬


‫ ‬
‫|‪23‬‬

‫انتماء إىل القرآن أو السنة‪ .‬ورغم ذلك وجدنا كثريا من مواد القوانني الوضعية توافق األحاكم‬
‫الرشعية‪ ،‬وعند الفقهاء املعارصين قول بأن القوانني الوضعية الىت تتفق ىف احلكم مع أحد‬
‫ ‬
‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬

‫[‪[[7‬‬
‫اآلراء الفقهية يف مذهب من املذاهب جيوز وصفها بأنها من الرشيعة االسالمية‪.‬‬

‫والرشيعة بهذه املزية وغريها مما لم يذكر جتعل نفســها مطمح لك مسلم متحمس‬
‫غيور ىلع إسالمه‪ ،‬يتوق املســلم إىل تقنينها وتطبيقها يف أرض الواقع‪ .‬ودوتلنا االندونيسية‬
‫القائمة ىلع بانشاســيال تكون أرضا رحبا وماكنا ســهال تلطبيــق الرشيعة‪ .‬ولكن ذلك‬
‫يتطلب احلــذر واملزيد من اتلعقل واتللطف‪ ،‬وبدون ذلك اعد عملنا بالفشــل بل بالرضر‬
‫للرشيعــة من حيث أردنا بها اخلري‪ .‬وقادتنا االســاميون—حبمد اهلل—يدركون ذلك جيدا‪ .‬فهم‬
‫ّ‬
‫يرتوون ىف اختاذ اتلدبري ولم يتهوروا فيــه‪ ،‬واذ يرون أن تطبيق الرشيعة بكل معىن اللكمة‬
‫(لفظا ومعىن) لم يكن ســهال والطريق ايله لم يكــن معبدا أخذوا باملمكن ولم يرصوا‬
‫ىلع األخذ بما ال يمكن‪ ،‬الســيما إذا اكن املمكن هو اجلوهر وغــر املمكن هو املظهر‪،‬‬
‫رضوا بالزنول من املثل األىلع—وهو تطبيق الرشيعة لفظا ومعىن—إىل الواقع األدىن وهو تطبيقها‬
‫معىن ال لفظا‪ ،‬أي تطبيق الرشيعة ال باســم الرشيعة‪ ،‬فان قوما منا يفرون من االسم ويقرون‬
‫باملســى نفروا من الرشيعة ال لكونها ترض بمصلحتهم ادلينية أو ادلنيوية‪ ،‬وانما احلساسية‬
‫يه الىت حتملهم ىلع ذلك‪.‬‬

‫وعند ما قدمت احلكومة االندونيســية مرشوع قانــون حيرم اخلالعية تلىق ذلك‬
‫قبوال حســنا من عقالء هذه ابلالد‪ ،‬بعضهم يعرتف جبميل هذا املرشوع بوازع طبييع جمرد‬
‫وبعضهم يعرتف بذلك بوازع طبييع وقرآين‪ .‬ولكن ملا تظاهر املســلمون من أوىل احلماسة‬
‫االسالمية وقاموا بمســرات تأييدا ملرشوع القانون حاملني اسم اإلسالم تراجع كثري من‬
‫موافقتهم للمرشوع وانقلبوا معارضني عليه بعد ان اكنوا مؤيدين هل‪ .‬وشــأنهم هذا كشأن‬
‫نصارى بين تغلب وتنوخ وبهرآء‪ ،‬امتنعوا من بذل اجلزية إذا اكنت باسم اجلزية ولم يمتنعوا‬
‫منها إذا اكنت باسم الصدقة ولو اكنت مضاعفة‪ .‬وقال فيهم عمر بن اخلطاب ريض اهلل عنه‪:‬‬
‫[‪[[7‬‬
‫هؤالء محىق أبوا االسم ورضوا باملعىن‪.‬‬

‫[‪ [[7‬مجال عطية ووهبة الزحيىل‪ ،‬جتديد الفقه االساليم‪( ،‬بريوت‪ :‬دار الفكر‪.40 ،)2000 ،‬‬
‫[‪ [[7‬الشرباملىس‪ ،‬نهاية املحتاج اىل رشح املنهاج‪( ،‬بريوت‪ :‬دار الكتب العلمية‪ ،)2000 ،‬ج‪ ،8-‬ص‪.97-96-‬‬
‫ىلع أن املســلمني يف هــذه ادلولة يف حرية تامــة للعمل بالرشيعــة يف عباداتهم‬
‫ومعامالتهــم وترصفاتهم بــدون ّ‬
‫أي مانع من ذلك‪ .‬وال ينقصهم اال مــا يعرب عنه بتطبيق‬
‫الرشيعة‪ .‬والغيورون املتحمسون من املســلمني يعنون به اجلانب القانوين من الرشيعة وال‬
‫ســيما يف العقوبات‪ :‬أى احلدود والقصاص واتلعازير‪ .‬والســؤال‪ :‬هل هذه القضية جيب أن‬
‫نعطيها حجمها احلقييق من الفكر والعمل؟ وأنا أرى أن الســؤال ال جياب عليه باإلجياب‪.‬‬
‫ويف هذه املســألة كنت مع الشيخ يوســف القرضاوى حيث قال‪ :‬وهذا اجلانب (القانوين)‬
‫جزء من االســام وال ريب وال جيوز إغفاهل أو اإلعــراض عنه‪ ،‬ولكن املبالغة يف املطابلة‬
‫به واحلديث عنه‪ ،‬واعتباره رأس األمر وعموده وذروة ســنامه‪ ،‬اكن هل آثار سيئة ىلع اتلفكري‬
‫االســاىم والعمل االســاىم‪ ،‬وآثار أخرى ىلع أفاكر انلاس العاديني واستغل ذلك خصوم‬
‫اإلســام ورشيعته ودعوته‪ .‬وطاملا قلت‪ :‬إن القوانني وحدها ال تصنع املجتمعات‪ ،‬وال تبىن ‬
‫ً‬ ‫ً‬
‫سياحا ومحاية‪ [[8[.‬ومع‬ ‫األمم‪ .‬إنما تصنع املجتمعات واألمم‪ :‬الرتبية واثلقافة‪ ،‬ثم تأىت القوانني‬
‫ذلك ال ننكر أن تطبيق الرشيعة جيدى نفعا لضعفاء اإليمان ممن ال يؤثر فيهم زواجر القرآن‬
‫وال يزجرهم عن املحارم اال اخلوف من عقوبة السلطان‪ .‬وأما أقوياء االيمان فيغنيهم صوت‬
‫الضمري عن سوط األمري ويســتغنون بالوازع القرآىن عن الوازع السلطاين‪ .‬كما قال سيدنا‬
‫[‪[[8‬‬
‫عثمان بن عفان ريض اهلل عنه‪ :‬إن اهلل لزيع بالسلطان ما ال يزع بالقرآن‪.‬‬

‫واتفق املســلمون ىلع وجوب العمل بالرشيعة وااللزتام بها ىف عبادات اإلنســان‬

‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬


‫ومعامالتــه وترصفاته لكن ينبىغ اتلنبــه ان أالحاكم اتللكيفيــة اكلوجوب واحلرمة غري‬
‫مستقلة بنفسها بل مرتبطة ىف االمتثال بها بواقع االنسان وظروفه االجتماعية واالقتصادية‬
‫والسياســية‪ .‬لعل هذا مــا اراد به ابن القيم يف قوهل‪ :‬والواجــب يشء والواقع يشء والفقيه‬
‫ما يطبق بني الواقع والواجب‪ [[8[.‬وذللك حبــث العلماء يف االحاكم الوضعية جبانب االحاكم‬
‫اتللكيفية‪ .‬ويه الســبب والرشط واملانع والرخصة والعزيمة كما تقدم‪ ،‬فاذا اكن إنســان هل‬
‫مخســة وثمانون من اذلهب فقد وجد هل ســبب وجوب الزاكة وهو ملك انلصاب لكن ال‬
‫جتب عليه الزاكة بالفعل إال إذا توافر الرشط وهو حوالن احلول وانتىف املانع وهو ادلين عند‬
‫القائلني بأنه مانع‪.‬‬
‫ ‬

‫[‪ [[8‬يوسف القرضاوى‪ ،‬فقه األولويات‪( ،‬القاهرة‪ :‬مكتبة وهبة‪.228-227 ،)1996 ،‬‬
‫[‪ [[8‬ىلع الصابوىن‪ ،‬صفوة اتلفاسري‪( ،‬بريوت‪ :‬دار القرآن الكريم‪ ،)1981 ،‬ج‪ ،2-‬ص‪.368-‬‬
‫|‪24‬‬

‫[‪ [[8‬ابن القيم اجلوزية‪ ،‬اعالم املوقعني عن رب العاملني‪( ،‬السعودية‪ :‬دار ابن اجلوزى‪ ،)2008 ،‬ج‪ ،6-‬ص‪.139-‬‬
‫ ‬
‫|‪25‬‬

‫اكنت نصوص الشارع يف اجلرائم والعقوبات رصحية وقطعية ىف ثبوتها ودالتلها‪ ،‬ال‬
‫حتتمل تأويال وال تقبل خالفا وال تكون جماال لالجتهاد‪ .‬واكن من لوازم ذلك عدم اخلالف‬
‫ ‬
‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬

‫بني العلماء ىف حرمة الزنا ووجوب إقامة احلد ىلع الزاين املحصن بالرجم وىلع غري املحصن‬
‫باجلدل‪ ،‬وال يف حرمة الرسقة ووجوب قطع يد الســارق‪ ،‬ووجوب القصاص يف القتىل‪ ،‬ولكن‬
‫تنفيذ ذلك يف أرض الواقع ليس بغىن عن انلظر واالجتهاد‪.‬‬
‫ً‬
‫فالســارق مثال ال يقام عليه احلد إال إذا ثبتت رسقته بإقراره أو بشــهادة عدلني‪،‬‬
‫واذلي ثبتت رسقته بذلك قد ال يقام عليه احلد إذ ربما يكون هناك شــبهة مانعة من احلد‬
‫كأن يــرق مضطرا تلجئه الظروف االقتصاديــة اىل الرسقة أو يكون املال املرسوق ملاك‬
‫ألصلــه أو فرعه‪ ،‬واملتهم بالزنا ال يقام عليه احلد إال إذا ثبت زناه بإقراره أو بشــهادة أربعة‬
‫شهود عدول‪ ،‬ولم تقرتن بثبوته شبهة من الشبهات اثلالث‪ :‬ويه شبهة الفاعل كأن يكون‬
‫جاهال وشــبهة املحل كظن أنها زوجته وشــبهة الطريق ويه الشبهة انلاشئة عن اختالف‬
‫الفقهاء اكنلاكح بال ويل وشهود‪.‬‬
‫ً‬
‫هذا لكه مفهوم من نصوص الشــارع مما يدل ىلع أن الشارع لم يكن متشوفا إىل‬
‫معاقبة اجلناة وال طاحما اىل إجلاء املتهمني إىل اإلقرار‪ .‬وىلع أن العقوبات يف اإلســام ليست‬
‫مقصودة ذلاتها‪ ،‬بل مقصود الشــارع احلكيم منع املفاســد ئلال تشيع يف املجتمع‪ .‬واكن من‬
‫إرشادات الشــارع ان يرتوى احلاكم ويتحرى ىف أمر العقوبات وان ال يصري إيله إال بعد‬
‫اتلحقق الشــامل واالطمئنان الاكمل‪ ،‬وأن االفضل ىف حق املســلم ان يرتدى ثوب الســر ‬
‫اذلى أســبله اهلل عليه وان ال يظهره للناس‪ ،‬بل وال يظهره للقاىض‪ .‬واذا لم يصل األمر إىل‬
‫االطمئنان الاكمل بوجود شــبهة وحنوها فللقاىض معاقبة اجلاىن بعقوبة اتلعزير اكذلى جرى‬
‫ً‬
‫كثريا يف هذه ادلولة‪ .‬قال الزحيىل‪ :‬ومن املعلوم أنه إذا ســقط احلد للشبهة أو لعدم اكتمان‬
‫[‪[[8‬‬
‫الرشوط املطلوبة وجب اتلعزير باحلبس أو بالرضب وحنوهما‪.‬‬

‫فقد روى عن اعئشــة ريض اهلل عنها أن انليب صىل اهلل عليه وســلم قال‪( :‬ادرءوا‬
‫احلدود عن املســلمني ما استطعتم‪ ،‬فان اكن هل خمرج فخلوا ســبيله‪ ،‬فان االمام أن خيطئ‬
‫يف العفــو خري من أن خيطئ يف العقوبة)‪ [[8[.‬وروى عن ابن مســعود ريض اهلل عنه أنه قال‪:‬‬

‫[‪ [[8‬وهبة الزحيىل‪ ،‬الفقه االسالىم وأدتله‪( ،‬بريوت‪ :‬دار الفكر)‪ ،‬ج‪ ،9-‬ص‪.912-‬‬
‫[‪ [[8‬الرتمذى‪ ،‬سنن الرتمذي‪( ،‬دار الغرب االسالىم‪ ،)1996 ،‬ج‪ ،4-‬ص‪.33-‬‬
‫ ‬
‫(ادرءوا احلدود بالشبهات)‪ [[8[.‬وروي عن يلع ابن أىب طالب أنه قال‪ :‬سمعت رسول اهلل صىل‬
‫اهلل عليه وسلم يقول‪ :‬ادرءوا احلدود‪ [[8[.‬من أىت من هذه القاذورات شيئا فليسترت بسرت اهلل‪،‬‬
‫فانه من أبدى نلا صفحته أقمنا عليه احلد‪ .‬وروى ابلخارى ومسلم أن انليب صىل اهلل عليه‬
‫[‪[[8‬‬
‫وسلم قال ملاعز بن مالك ملا اعرتف بالزنا‪ :‬لعلك قبلت أو غمزت أو نظرت‪.‬‬
‫وفوق ذلــك‪ ،‬فان نفاذ الرشيعــة ّ‬
‫وفعايلتها يعتمد يف ادلرجــة األوىل ىلع العقيدة‬
‫واخللق‪ .‬فقد يوجد الســبب ويتحقــق الرشط وينتىف املانع‪ ،‬ومع ذلــك التكون الرشيعة‬
‫نافذة ســارية املفعول‪ ،‬وال يرجع ذلك أساسا إىل غياب تقنني الرشيعة‪ ،‬وإنما يرجع إىل فساد‬
‫األخالق وتدهور املعنويات دلى املســؤولني‪ .‬واعتقد دونما شــك أن القيم اخللقية تعترب‬
‫أساسا للحضارة وال تقل أهمية عن انلصوص الترشيعية امللزمة يف توجيه سلوك االنسان‪.‬‬

‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬


‫ ‬

‫[‪ [[8‬الشواكىن‪ ،‬نيل األوطار‪( ،‬الرياض‪ :‬بيت األفاكر ادلويلة‪.1401 ،)2004 ،‬‬
‫[‪ [[8‬ابليهىق‪ ،‬السنن الكربى‪( ،‬بريوت‪ :‬دار الكتب العلمية‪ ،)2003 ،‬ج‪ ،8-‬ص‪.414-‬‬
‫[‪ [[8‬ابلخارى‪ ،‬صحيح ابلخارى‪ ،‬ج‪ ،4-‬ص‪.342-‬‬
‫|‪26‬‬
‫|‪27‬‬

‫بانتشاسيال يف ميزان الرشيعة‬


‫ ‬
‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬

‫واملبادئ اخلمسة (بانتشاســيال) يف دالتلها قابلة ألكرث من تفسري واحد‪ ،‬ويف هذا‬
‫يكمــن رس رضا اجلميع بها‪ ،‬لكن املبدأ األول (الربانيــة املتفردة) اذلى هو بمثابة الروح‬
‫للمبادئ األخرى ظاهر ىف معىن االيمان باهلل األحد الصمد اذلى هو لب العقيدة االسالمية‪،‬‬
‫وبهذا فرسه انلهضيون وعلماء باســنرتين‪ ،‬ولم ينكر أحد حلد اآلن هذا اتلفسري ال رسا وال‬
‫عالنية‪ .‬وهذا اذلى جعل املســلمني لم يُ ِل ّحوا ىلع موقفهم األول متأســن بنبيهم صىل اهلل‬
‫عليه وســلم حني جرى بينه وبني قريش يف صلح احلديبيــة‪ [[8[،‬حيث قبل انليب صىل اهلل‬
‫عليه وســلم مجيع الرشوط الىت تريدها قريش مع أنها تعظم ىلع نفوس املســلمني ألنها يف‬
‫نظرهم ليست يف صاحلهم بل يف صالح العدو‪ ،‬وهذه الرشوط يه‪:‬‬

‫‪1 1.‬وضع احلرب بني املسلمني وقريش عرش سنوات‪.‬‬


‫‪2 2.‬من جاء املسلمني من قريش يردونه‪ ،‬ومن جاء قريشا من املسلمني ال يلزمون برده‪.‬‬
‫‪3 3.‬ان يرجع انليب من غري عمرة هذا العام ثم يأىت العام املقبل فيدخلها بأصحابه بعد ان‬
‫خترج منها قريش فيقيم بها ثالثة ايام‪.‬‬
‫‪4 4.‬من أراد ان يدخل يف عهد حممد من غري قريش دخل فيه‪ ،‬ومن أراد ان يدخل يف عهد‬
‫[‪[[8‬‬
‫قريش دخل فيه‪.‬‬
‫وتسامح انليب صىل اهلل عليه وسلم فيما ليس جوهريا وهو هنا نص الصلح وتعبريه‪،‬‬
‫فزنل عند رغبة ســهيل بن عمرو انلاطق بلسان قريش ولم ّ‬
‫يرص ىلع ما أماله ىلع يلع بن أىب‬
‫طالب ريض اهلل عنه‪ .‬فعنه ريض اهلل عنه قال‪ :‬ثم داعين رسول اهلل صىل اهلل عليه وسلم فقال‪:‬‬
‫ّٰ‬
‫اكتب بسم اهلل الرمحن الرحيم‪ ،‬فقال سهيل‪ :‬ال أعرف هذا ولكن اكتب باسمك اللهم‪ ،‬فقال‬

‫[‪ [[8‬ســعيد رمضان ابلوىط‪ ،‬فقه الســرة انلبوية مع موجز تلاريخ اخلالفة الراشدة‪( ،‬بريوت‪ :‬دار الفكر‪،)1991 ،‬‬
‫‪.339‬‬
‫[‪ [[8‬حممد اخلرضى بك‪ ،‬نور ايلقني ىف سرية سيد املرسلني‪( ،‬بريوت‪ :‬دار االيمان‪.140 ،)1988 ،‬‬
‫ ‬
‫رســول اهلل‪ :‬اكتب باسمك امهلل فكتبها‪ ،‬ثم قال‪ :‬اكتب هذا ما صالح عليه حممد رسول اهلل‬
‫سهيل بن عمرو فقال ســهيل بن عمرو‪ :‬لو شهدت أنك رسول اهلل لم أقاتلك ولكن اكتب‬
‫اسمك واسم أبيك قال فقال رسول اهلل صىل اهلل عليه وسلم‪ :‬اكتب هذا ما صالح حممد بن‬
‫[‪[[9‬‬
‫عبد اهلل سهيل بن عمرو‪.‬‬

‫وقدر اهلل بلانتشاســيال ان تكون منذ ظهورها حال للمشــلة وطريقا لتسوية‬
‫اخلالف‪ ،‬واكنت ادلولة القائمة ىلع أساســها يف خري يف اجلملة عرب مخسة وسبعني اعما‪ .‬وإن‬
‫ثارت فيها ثائرة فمردها إىل االحنراف بمفهومها الصحيح وعدم العمل بها باستقامة وصالبة‪،‬‬
‫ولم أجد فيها أي إشــال ال يف شــلها وال يف مضمونها‪ ،‬كما لــم أر أي مربر تلغيريها أو‬
‫تبديلهــا أو تعديلها‪ ،‬فمن املعقول واملنطــي إذن أن يعرتف بكونها يف خاتمة املطاف‪ .‬فلو‬
‫حظيت باتلطبيق ىلع الوجه املطلوب لاكنت ادلولة أحسن مما اكنت عليه يف املستويني ادليين‬
‫وادلنيوي‪ .‬وأعلنت مجعية نهضة العلماء مقررات تتكون من مخس نقاط حول العالقة بنب‬
‫بانتشاسيال واإلسالم‪ ،‬وتم ذلك يف مشــاورة علمآئها الوطنية املنعقدة يف سيتوبوندو‪ ،‬سنة‬
‫‪ ١٩٨٣‬م‪ ،‬أذكر منها هنا انلقطتني الرابعة واخلامسة‪:‬‬

‫‪1 1.‬إن تليق بانتشاسيال بالقبول والزتام العمل بها يمثل تعبريا ملموسا عن حماولة مسليم‬
‫إندونيسيا للعمل برشيعة دينهم‪.‬‬
‫‪2 2.‬وبناء ىلع هــذا املوقف‪ ،‬جيب ىلع نهضة العلماء املحافظــة ىلع املفهوم الصحيح من‬

‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬


‫وعمل اجلميع بها بصدق واستقامة‪.‬‬
‫ِ‬ ‫بانتشاسيال‬

‫وتلتيق بانتشاســيال مع مقاصد الرشيعة يف كونها أمورا لكية جيب أن يرجع إيلها‬
‫جزئيــات القوانني يف هذه ادلولة‪ ،‬فال جيــوز ان يصدر أي قانون فيهــا يتعارض مع مبدإ‬
‫اإليمان باهلل أو بأي مبدإ من املبادئ اخلمسة‪ .‬ومثال ذلك أن استقرار ادلولة وعدم الفوىض‬
‫فيها مصلحة لكية اعمة جتب املحافظة عليها‪ ،‬وال جيوز تعايط أي نشــاط مهما اشتمل ىلع‬
‫مصلحة جزئية إذا أدى إىل اخنرام تلك املصلحة اللكية‪.‬‬

‫ومــن األهمية بمــان ان أرشح رشحا طفيفــا معىن املبدئــن األول واثلاين من‬
‫بانتشاســيال‪ .‬فأقــول متمما ما قلته من قبــل‪ :‬إن املبدأ االول من بانتشاســيال تعبري عن‬
‫ ‬
‫|‪28‬‬

‫[‪ [[9‬حممد الطربى‪ ،‬تاريخ الطربي‪( ،‬مرص‪ :‬دار املعارف) ج‪ ،2-‬ص‪.123-122-‬‬


‫ ‬
‫|‪29‬‬

‫اتلوحيد‪ ،‬أي اإليمان باهلل الواحد األحد كما قررته مجعية نهضة العلماء يف مؤتمرها السابع‬
‫والعرشين يف سيتوبوندو‪.‬‬
‫ ‬
‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬

‫واتلوحيد عند املســلمني حمور العقيدة اإلسالمية‪ ،‬بل حمور ادلين لكه من دلن آدم‬
‫عليه الســام إىل نبينا حممد صىل اهلل عليه وســلم‪ .‬فقد ورد يف القرآن الكريم قوهل تعاىل‪:‬‬
‫(وما أرســلنا من قبلك من رسول إال نويح إيله أنه ال هلإ إال أنا فاعبدون)‪ [[9[.‬ويف احلديث‪:‬‬
‫(حنــن معارش األنبياء أوالد عالت ديننا واحد)‪ ،‬يعين عبادة اهلل وحده ال رشيك هل‪ [[9[.‬وقد‬
‫تعرضت فيما سبق أن هناك ارتباطا بني فكرة اتلوحيد املعرب عنه بااللوهية الواحدة يف املبدإ‬
‫األول من بانتشاسيال وبني أكرثية املســلمني يف هذه ابلالد‪ ،‬وكنت ىلع يقني أنه لوال هذه‬
‫االكرثية ما الحت هذه الفكرة‪.‬‬

‫واإليمان باهلل وبوحدانيته يســتلزم اإلسالم‪ ،‬أي يقتيض من املؤمنني املوحدين يف‬
‫َ‬
‫االستســام واالنقياد ملا رشعه سبحانه وتعاىل املبعوث به حممد صىل اهلل عليه‬ ‫هذه ادلولة‬
‫وسلم من األحاكم‪ .‬وىلع ذلك يكون املبدا األول من بانتشاسيال (األلوهية الواحدة‪/‬اإليمان‬
‫باهلل الواحد األحد) يؤدي الزتاما معىن اجلملة املحذوفة يف ميثاق جاكرتا وهو وجوب العمل‬
‫بالرشيعة االسالمية ىلع معتنقيها‪ .‬جيب ىلع املؤمنني باهلل وبرشيعته حبكم إيمانهم االلزتام‬
‫بالرشيعة بدون إجياب قانون أو دستور‪ .‬وحنن إذ نقول إن األلوهية الواحدة تعبري عن اتلوحيد‬
‫نعتقد يف نفس الوقت أن حذف لكمة (مع وجوب العمل بالرشيعة اإلسالمية ىلع معتنقيها)‬
‫واســتبداهلا بها (باأللوهية الواحدة) ليس هبوطا وتدنيا‪ ،‬بل صعودا وترقيا من الرشيعة إىل‬
‫العقيدة‪ ،‬إذ صحة العمل بالرشيعة تتوقف ىلع صحة العقيدة‪ ،‬فال يصح العمل بالرشيعة إال‬
‫باإليمان واالعتقاد اجلازم بأن اإلهل اذلي نؤمن به واحد ال رشيك هل‪.‬‬

‫وال أكون يف مقام املعرتض ىلع القول بأن بانتشاسيال بمبدئها األول غري مقتضية‬
‫قانونــا للعمل بالرشيعة‪ ،‬ولكين أعرتض ىلع القول بأنهــا مانعة من ذلك‪ .‬فيه إن لم تكن‬
‫مقتضية فال أقل من أن تكون غري مانعة‪ .‬فلو فرض أن الظروف ساعدت والفرص سنحت‬
‫والرعية وافقت تلطبيق الرشيعة قانونيا يف هذه ادلولة فال خيرجها ذلك عن كونها تقوم ىلع‬
‫أساس بانتشاسيال اليت اتفق عليها املؤسسون‪.‬‬

‫[‪ [[9‬األنبياء‪.25 :‬‬


‫ ‬
‫[‪ [[9‬القاسىم‪ ،‬حماسن اتلأويل‪( ،‬بريوت‪ :‬دار الكتب العلمية‪ ،)2003 ،‬ج‪ ،7-‬ص‪.188-‬‬
‫ ‬
‫وال يفوتــي أن أتعرض للكالم ىلع صلة بانتشاســيال بمقاصــد الرشيعة ووجود‬
‫اتلوافــق العجيــب بينهما‪ .‬وذلك أن حفظ ادليــن حيتل املرتبــة االوىل يف ترتيب مقاصد‬
‫الرشيعة الرضورية كما أن االيمان باهلل الواحد من مبادئ بانتشاســيال حيتل نفس املرتبة‪.‬‬
‫وأن االيمان باهلل كما يكون روحا لســائر املبادئ يكون أساسا تلدين اإلنسان‪ ،‬فال تدين‬
‫بدون إيمان باهلل‪ .‬واتلدين يعين أخذ االنســان بدين اهلل تعــاىل بالعمل به وحفظه‪ .‬فاملبدأ‬
‫األول من بانتشاسيال ينطوي ىلع مقصد حفظ ادلين‪.‬‬

‫واالنســانية إذ اكنت مبدأ من مبادئ بانتشاسيال لم تكن ىلع إطالقها‪ ،‬بل مقيدة‬
‫بكونها اعدلة مهذبــة‪ .‬واتلقييد بذلك إن دل ىلع يشء فإنه يدل ىلع أن علماءنا وزعماءنا‬
‫املؤسسني لدلولة إذ وضعوا ما وضعوه من بانتشاسيال اكنوا ىلع بصرية تامة من االمر‪ ،‬أدركوا‬
‫أن إنســانية اإلنسان تكون يف ادلرجة األوىل يف روحه ال يف جسده‪ ،‬فلكما كملت روحانيته‬
‫[‪[[9‬‬
‫كملت إنسانيته‪،‬كما قال الشاعر يلع بن حممد البسيت‪:‬‬
‫ُ‬ ‫ْ‬
‫ــم إِن َســان‬ ‫فَأَن ْ َ‬
‫ــت با َّنل ْفس َ ل با ْ ْ‬ ‫َ‬ ‫َ ْ ْ ْ َ‬
‫استَك ِمل ف َضائِل َها‬
‫َ ْ ْ َ َ َّ ْ‬
‫لس ِ‬ ‫ِ ِ‬ ‫ِ ِ‬ ‫انلف ِس و‬ ‫أق ِبل ع‬

‫وبذلك يكون االنســان أكرم خلق اهلل يف االرض‪ .‬قــال اهلل تعاىل‪( :‬ولقد كرمنا‬
‫[‪[[9‬‬
‫بين آدم)‪.‬‬

‫وقال اإلمام الرازي يف تفسري هذه اآلية‪ :‬واعلم أن االنسان جوهر مركب من انلفس‬

‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬


‫وابلدن‪ ،‬فانلفس االنسانية أرشف انلفوس املوجودة يف العالم السفيل وبدنه أرشف األجسام‬
‫املوجودة يف العالم الســفيل—إىل أن قال ثم إن انلفس اإلنسانية خمتصة بقوة أخرى ويه القوة‬
‫[‪[[9‬‬
‫العاقلة املدركة حلقائق االشياء كما يه‪.‬‬

‫ثم أقول بكل ثقة‪ :‬إن مبدأ «اإلنســانية العادلة املهذبة» ينطوي يلع مقصد حفظ‬
‫نفس االنسان وعقله وعرضه‪.‬‬
‫ ‬

‫[‪ [[9‬املاوردى‪ ،‬أدب ادلنيا وادلين‪( ،‬جدة‪ :‬دار املنهاج‪.571 ،)2013 ،‬‬
‫[‪ [[9‬اإلرساء ‪.70 :‬‬
‫[‪ [[9‬الرازى‪ ،‬اتلفسري الكبري مفاتيح الغيب‪ ،‬ج‪ ،21-‬ص‪.13-‬‬
‫ ‬
‫|‪30‬‬
‫|‪31‬‬

‫وأمــا املبادئ اثلالثــة األخرية فيه ظاهــرة أيضا يف موافقتهــا للرشيعة نصوصا‬
‫ومقاصد‪ .‬فالوحدة االندونيســية والشــورى وحرية الرأي والعدالة جبميع جوانبها تطمح‬
‫ ‬
‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬

‫الرشيعة إىل حتقيقها يف أرض الواقع حىت ال تكون حربا ىلع ورق‪.‬‬

‫والوحدة اإلندونيســية يف مفهومها الصحيح يه اإليمان بأن الشعب اإلندونييس‬


‫شــعب واحد جتمعه اللغة واثلقافة واتلاريخ واجلغرافيا واملصالح بدون شــعور باتلمزي عن‬
‫ســائر الشــعوب‪ ،‬وليس يف ذلك ما يتعارض مع الرشيعة أو األخوة اإلسالمية اليت يه أوىل‬
‫األخوات‪ ،‬بل بقاء ادلولة واستقرارها األمين واالقتصادي وادليين يتوقف ىلع ذلك لكه‪.‬‬

‫وظهر يل أن املبدأ اثلالث (الوحدة اإلندونيســية) يشــر إىل القومية املختلف يف‬
‫شــانها‪ ،‬وال حمذور يف ذلك‪ ،‬فان القومية حســب ما يفهمه معظم العلماء اإلندونيسيني ‪-‬‬
‫وخاصة علماء حقبة االستقالل ‪ -‬تتوافق مع اتلعايلم اإلسالمية‪ ،‬ألنه لو لم يكن هناك شعور‬
‫باحلب للوطن فيهم‪ ،‬فمن املســتحيل ان تشتعل يف نفوســهم نار احلرب إلجالء املستعمرين‬
‫وانزتاع إندونيسيا عن قبضتهم‪ .‬هذا الشعور القويم جبانب الشعور ادليين يدفعهم للتضحية‬
‫بأرواحهــم وأمواهلم من أجل قطعة األرض املرسوقة‪ .‬فما دام الشــعور بالقومية يتوافق مع‬
‫تعايلم اإلســام وال يتعارض معها فال حرج يف ذلك‪ .‬يرى احلاج عمر سعيد جتوكروأمينوتو‬
‫أن اإلســام ىلع األقل ال يعيق ظهور القومية‪ ،‬بل يكون من ناحية يدعمها‪ .‬وذكر الكيايه‬
‫عبد الوهاب حســب اهلل أن القومية بإضافة بســم اهلل إيلها يه اإلســام‪ .‬وإذا تم تطبيق‬
‫[‪[[9‬‬
‫اإلسالم بشلك صحيح‪ ،‬فسيكون املسلمون قوميني‪.‬‬

‫وأما املبدأ الرابع فهو يشري إىل نظام ادليمقراطية انليابية وإىل الشورى بصفة خاصة‬
‫كعنرص من عنارص ادليمقراطية جبانب العدالة واحلرية واملســاواة وحماسبة احلاكم‪ .‬هذه‬
‫اخلمسة من صميم تعايلم اإلسالم ومبادئه األساسية‪ ،‬وأدتلها أظهر من أن تذكر‪ ،‬وىلع سبيل‬
‫املثــال ال احلرص أذكر ما ييل قوهل تعاىل‪( :‬وأمرهم شــورى بينهم)[‪ [[9‬وقوهل‪( :‬وال جيرمنكم‬

‫‪ Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam‬‬
‫]‪[96‬‬

‫‪Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1999), 67.‬‬

‫[‪ [[9‬الشورى‪.38 :‬‬


‫ ‬
‫ّ‬
‫شــنآن قوم ىلع أل تعدلوا)‪ [[9[،‬وقوهل‪( :‬ولقد كرمنا بــي آدم)[‪ [[9‬وقوهل‪( :‬يا أيها انلاس اتقوا‬
‫[‪[[10‬‬
‫ربكم اذلي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجاال كثريا ونسآء)‬
‫وقــوهل‪( :‬كنتم خري أمة أخرجت للنــاس تأمرون باملعروف وتنهون عــن املنكر وتؤمنون‬
‫باهلل)‪ [[10[،‬وقول انليب صىل اهلل عليه وســلم‪( :‬ما خاب من استخار وال ندم من استشار وال‬
‫اعل من اقتصد)[‪ [[10‬وقوهل‪( :‬يوم من أيام إمام اعدل أفضل من عبادة ســتني سنة)[‪ [[10‬وقوهل‪:‬‬
‫(ال فضل لعريب ىلع عجيم وال لعجيم ىلع عريب وال ألبيض ىلع أسود وال ألسود ىلع أبيض‬
‫إال باتلقوى‪ ،‬انلاس من آدم وآدم من تراب)[‪ [[10‬وقوهل‪( :‬انلاس كأســنان املشــط)[‪ [[10‬وقوهل‪:‬‬
‫(إن ادلين انلصيحة إن ادلين انلصيحة إن ادلين انلصيحة‪ .‬قالوا‪ :‬ملن يا رســول اهلل؟ قال‪ :‬هلل‬
‫ولكتابه ونلبيه وألئمة املؤمنني واعمتهــم)[‪ [[10‬وقوهل‪( :‬أفضل اجلهاد من قال لكمة حق عند‬
‫سلطان جائر)[‪ [[10‬وقال يلع بن أيب طالب ريض اهلل عنه‪( :‬وال تكن عبد غريك وقد جعلك‬
‫اهلل حرا)[‪ [[10‬وخطب سيدنا أبو بكر الصديق ريض اهلل بعد مبايعته للخالفة‪ ،‬قال فيها‪( :‬يا‬
‫أيها انلاس‪ ،‬قد ويلت عليكم ولســت خبريكم‪ ،‬فإن أحسنت فأعينوين‪ ،‬وإن أسأت فقوموين‬
‫[‪[[10‬‬
‫أطيعوين ما أطعت اهلل ورسوهل‪ ،‬فإن عصيته فال طاعة يل عليكم)‪.‬‬

‫تلك آيات وأحاديث وآثار تكون مراجع ملبادئ أساســية يف اإلســام ويف نفس‬
‫الوقت مبادئ أساسية نلظام ادليمقراطية‪.‬‬

‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬


‫[‪ [[9‬املائدة‪.8 :‬‬
‫ ‬
‫[‪ [[9‬االرساء‪.70 :‬‬
‫[‪ [[10‬النسآء‪.1 :‬‬
‫ ‬
‫[‪ [[10‬آل عمران‪.110 :‬‬
‫[‪ [[10‬سليمان الطرباىن‪ ،‬املعجم األوسط‪( ،‬القاهرة‪ :‬دار احلرمني)‪ ،‬ج‪ ،6-‬ص‪.365-‬‬
‫ ‬
‫[‪ [[10‬ابن عساكر‪ ،‬معجم الشيوخ‪( ،‬دمشق‪ :‬دار البشائر‪ ،)2000 ،‬ج‪ ،2-‬ص‪.936-‬‬
‫ ‬
‫[‪ [[10‬ابن القيم اجلوزية‪ ،‬زاد املعاد ىف هدي خري العباد‪( ،‬بريوت‪ :‬مؤسسة الرسالة‪ ،)1994 ،‬ج‪ ,5-‬ص‪.144-‬‬
‫[‪ [[10‬الصنعاىن‪ ،‬سبل السالم‪( ،‬القاهرة‪ :‬دار احلديث)‪ ،‬ج‪ ،2-‬ص‪.189-‬‬
‫ ‬
‫[‪ [[10‬أمحد بن حنبل‪ ،‬مسند االمام أمحد بن حنبل‪ ،‬ج‪ ،28-‬ص‪.146-‬‬
‫ ‬
‫ ‬

‫[‪ [[10‬ابلغوي‪ ،‬رشح السنة‪( ،‬بريوت‪ :‬املكتب اإلسالىم‪ ،)1983 ،‬ج‪ ،10-‬ص‪.66-‬‬
‫ ‬
‫[‪ [[10‬املاوردى‪ ،‬أدب ادلنيا وادلين‪.537 ،‬‬
‫[‪ [[10‬ىلع الصابوىن‪ ،‬روائع ابليان تفسري آيات األحاكم‪( ،‬بريوت‪ :‬مؤسسة مناهل العرفان) ج‪ ،2-‬ص‪.247-‬‬
‫|‪32‬‬
‫|‪33‬‬

‫وجوهر ادليمقراطية هو أن الســيادة يف يد الشــعب‪ ،‬فالشعب هو صاحب اإلرادة‬


‫ومصدرالســلطة‪ ،‬واإلمام أو احلاكم إنما يكون وكيال عن االمة‪/‬الشعب يف توىل إرادتها‬
‫ ‬
‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬

‫وتنفيذ سلطتها‪ .‬والشــعب هو اذلي خيتار اإلمام‪/‬احلاكم وحياسبه ويعزهل إذا اضطر األمر‬
‫ذلك‪ .‬وال يلزم من سيادة الشعب رفض حاكمية اهلل للبرش‪ ،‬فأكرث اذلين ينادون بادليمقراطية‬
‫ال خيطر هــذا بباهلم‪ ،‬وإنما اذلي يعنونه وحيرصون عليه هو رفض ادلكتاتورية املتســلطة‪،‬‬
‫رفض حكم املستبدين بأمر الشعوب من سالطني اجلور واجلربوت‪ [[11[.‬وادليمقراطية حينما‬
‫أطلقت يف ســياق دوتلنا إنما يراد بها ادليمقراطية ابلانتشاســيلية اليت ختتلف أساسا عن‬
‫ادليمقراطية الغربية اللربايلة اليت تصبح فيها القرارات الصادرة عن اهليئة اتلمثيلية قوانني‬
‫ال بد من تنفيذها وإطاعتها وإن اكنت خمالفة لقانون األخالق لسمو االمة‪ .‬وأما ادليمقراطية‬
‫ابلانتشاسيلية فليســت إرادة األمة فيها مطلقة بل مقيدة بأن ال ختالف مبدأ اإليمان باهلل‬
‫الواحد األحد وال شــيئا من سائر املبادئ‪ .‬وفوق ذلك فإن نظام ادليمقراطية حىت ما نسميه‬
‫بادليمقراطية اإلســامية ليس هل جمال للتحريم واتلحليل‪ ،‬فإن ذلك حق خالص هلل تعاىل‪،‬‬
‫إنما جمال ادليمقراطية هو األمور ادلنيوية والسياســية اليت ال نص فيها من الكتاب والسنة‬
‫واليت مناطها مصالح األمة‪.‬‬

‫واقرتن مبدأ السيادة الشعبية بقاعدة حكم األغلبية مع صيانة حقوق األقليات‪،‬‬
‫أي صنــع القرارات العامة اســتنادا إىل قاعدة أغلبية االصــوات يف املجالس انليابية مع‬
‫وجوب ضمانات دســتورية وقانونية حلماية حرية وحقــوق األقليات‪ .‬ويبدو يف بادئ األمر‬
‫أن هذا الشــأن ال ينطق به الــرع ال باإلثبات وال بانليف‪ ،‬فمــرده إىل صالح األمة اذلي‬
‫خيتلف باختــاف الزمان واملاكن‪ ،‬ولكن هذا الكالم هل اتصال وثيق بمســألة اإلمجاع‪،‬‬
‫واكن مما يبحث فيــه أن اإلمجاع قد يكون يف األمور ادلنيويــة كتدبري اجليوش واحلروب‬
‫وأمور الرعية‪ [[11[،‬وحينئذ ال يشــرط أن يكون املجمعــون فيها جمتهدين اعملني بالرشيعة‬
‫وأصوهلا‪ .‬وقد قال انليب صىل اهلل عليه وســلم‪( :‬أنتم أعلــم بأمر دنياكم)‪ [[11[،‬ويبحث يف‬
‫باب اإلمجاع أيضا أن اتفاق األكرث مع خمالفة األقل ال يكون إمجااع‪ ،‬ولكنه يكون حجة‬

‫[‪ [[11‬يوسف القرضاوى‪ ،‬فتاوى معارصة‪( ،‬القاهرة‪ :‬مكتبة وهبة)‪ ،‬ج‪ ،2-‬ص‪.644-‬‬
‫ ‬
‫[‪ [[11‬ابلناىن‪ ،‬حاشية العالمة ابلناىن ىلع رشح املحىل ىلع مجع اجلوامع‪ ،‬ج‪ ،2-‬ص‪.296-‬‬
‫ ‬
‫[‪ [[11‬عبد الوهاب خالف‪ ،‬علم أصول الفقه‪.38 ،‬‬
‫ ‬
‫اعتبارا لالكرث‪ [[11[،‬فتحكيم صوت االغلبية يف نظام االنتخابات مثال هل مرجعية يف الرشيعة‬
‫اإلســامية‪ .‬ومن منطق العقل والرشع والواقع أنه إذا اختلف انلاس يف األمور اإلجتهادية‬
‫اليت حتتمل أكرث من رأي فال بد هلا من مرجح‪ ،‬واملرجح هو الكرثة العددية‪ ،‬فإن رأي االثنني‬
‫أقــرب إىل الصواب مــن رأي الواحد‪ [[11[،‬ويف احلديث‪( :‬إن الشــيطان مع الواحد‪ ،‬وهو من‬
‫[‪[[11‬‬
‫اإلثنني أبعد)‪.‬‬

‫وقد ثبت أن انليب صىل اهلل عليه وســلم قال أليب بكر وعمر ريض اهلل عنهما‪( :‬لو‬
‫اجتمعتما ىلع مشــورة ما خالفتكما)[‪ [[11‬رواه امحد عن عبد الرمحن بن غنم األشــعري‪ ،‬إذ‬
‫معىن ذلك أن صوتني يرجحان صوتا واحدا‪ ،‬وإن اكن هو صوت انليب صىل اهلل عليه وســلم‬
‫ما دام ذلك بعيدا عن جمال الترشيع واتلبليغ عن اهلل‪.‬‬

‫ويأيت يف كتاب‪ :‬املنطق وأصول الفقه ما نصه‪:‬‬

‫ومعلــوم أن اإلمجاع ىلع هذا انلحــو أي إمجاع األغلبية ليس مبــدأ نظريا‪ ،‬بل‬
‫يمكن تطبيقه ىلع أرض الواقع وتســويته بانلظم ادليمقراطية‪ ،‬وهلذا يدعو عالل الفايس‬
‫ادلول اإلسالمية أن جتعل من أنظمتها ادليمقراطية سبيال بلعث الشورى اإلسالمية وحتقيق‬
‫[‪[[11‬‬
‫معىن اإلمجاع ألول مرة‪.‬‬

‫وهذه القاعدة (أن اتفاق األكرث وخمالفة األقل حجة) جياب بها عن التساؤل حول‬
‫االتفاق ىلع جعل بانتشاسيال أساسا لدلولة؛ هل هو إمجاع بمعىن االتفاق بكل معىن اللكمة‬

‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬


‫أو هــو اتفاق األكرث فقط مع خمالفة االقل؟ النه لو فرض أن االتفاق لم يكن لكيا فإن ذلك‬
‫ال يرض يف نظر الرشع بكون بانتشاسيال أساسا لدلولة‪ ،‬ال سيما إذا اكن األقل ضئيال جدا‪.‬‬
‫فســاغ نلا أن نقول إن بانتشاسيال أســاس وفايق وادلولة القائمة عليها دولة وفاقية‪ ،‬كما‬

‫[‪ [[11‬ابلناىن‪ ،‬حاشية العالمة ابلناىن ىلع رشح املحىل ىلع مجع اجلوامع‪ ،‬ج‪ ،2-‬ص‪.271-‬‬
‫ ‬
‫[‪ [[11‬يوسف القرضاوى‪ ،‬فتاوى معارصة‪( ،‬القاهرة‪ :‬مكتبة وهبة)‪ ،‬ج‪ ،2-‬ص‪.648-‬‬
‫ ‬
‫ ‬

‫[‪ [[11‬الرتمذى‪ ،‬سنن الرتمذى‪ ،‬ج‪ ،4-‬ص‪.35-‬‬


‫ ‬
‫[‪ [[11‬اهليثىم‪ ،‬جممع الزوائد ومنبع الفوائد‪( ،‬القاهرة‪ :‬مكتبة القدىس‪ ،)1994 ،‬ج‪ ،9-‬ص‪.53-‬‬
‫[‪ [[11‬أمحد ودل حممد حممود‪ ،‬املنطق وأصول الفقه‪( ،‬بريوت‪ :‬دار الكتب العلمية)‪.260 ،‬‬
‫ ‬
‫|‪34‬‬
‫|‪35‬‬

‫تسماها دولة املدينة بعد إبرام ميثاق املدينة وإقرار مجيع الفصائل بما فيه‪ [[11[.‬ورغم ذلك لكه‬
‫فإين أرى أن بانتشاسيال يف نسبتها إىل الرشيعة تتارجح بني ثالث مقوالت‪:‬‬
‫ ‬
‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬

‫‪1 1.‬أنها ال ختالف الرشيعة‪ ،‬ألنه باســتقراء نصــوص الرشيعة ال جند أية واحدة أو حديثا‬
‫واحدا ختالفه هذه املبادئ‪.‬‬
‫‪2 2.‬أنها توافق الرشيعة‪ ،‬إذ بنفس االستقراء جند آيات وأحاديث توافقها هذه املبادئ‪.‬‬
‫‪3 3.‬أنهــا يه الرشيعة بعينها‪ ،‬حيث جند يف نصــوص الرشيعة ما يصلح ألن يكون ديلال‬
‫ومدراك للك مبدإ من مبادئ بانتشاسيال‪.‬‬

‫[‪ [[11‬ابن هشام‪ ،‬السرية انلبوية‪( ،‬بريوت‪ :‬دار الكتاب العرىب‪ ،)1990 ،‬ج‪ ،2-‬ص‪.143-‬‬
‫ ‬
‫|‪37‬‬

‫النتيجة‬
‫ ‬
‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬

‫وقد ظهر يل واضحا أن املقولة اثلانية تمثل الطريق الوسط‪ ،‬ويف نفس الوقت جتعل‬
‫بانتشاسيال ساملة من ادلخول يف مثار االعرتاك بني األخذ والرد‪ ،‬مع أنها بهذه الصفة تكيف‬
‫يف نظر الرشع ألن تكون أساسا لدلولة ذات األكرثية املسلمة‪ .‬بل لو اختريت املقولة االوىل‪،‬‬
‫ويه عدم خمالفة بانتشاســيال للرشيعة لاكن ذلك هو اآلخر اكفيــا‪ ،‬ألن قضايا املعامالت‬
‫اليت اكنت قضية السياســة منهــا اكن األصل فيها اإلباحة‪ ،‬فيه طلــق حىت يعلم املنع من‬
‫ديلل معترب‪ ،‬مع أن مدار السياســة ىلع جلب املصالح ودرء املفاسد‪ ،‬أو قلت مضايقا‪ :‬مدار‬
‫السياسة ىلع جلب املصالح‪ ،‬ألن درء املفاسد من املصالح‪ .‬قال ابن عقيل‪ :‬السياسة لك فعل‬
‫تكون معه انلاس أقرب إىل الصالح‪ ،‬وأبعد عن الفســاد وإن لم يضعه الرسول‪ ،‬وال نزل به‬
‫ّ‬
‫[‪[[11‬‬
‫ويح‪ .‬ومن قال ال سياسة إال بما نطق به الرشع فقد غ ِلط وغلط الصحابة يف رشيعتهم‪.‬‬

‫وىلع ابليان املتقدم انتىه يب األمر إىل أن أقول‪:‬‬

‫‪1 1.‬إن مجهورية إندونيســيا الوحدوية من حيث قيامها ىلع أســاس بانتشاسيال تكون‬
‫رشعية؛ توافق الرشيعة اإلسالمية يف نصوصها ومقاصدها‪.‬‬
‫‪2 2.‬إن بانتشاســيال ال تكون مانعة من اتلطبيق القانــوين للرشيعة يف ادلولة اليت تقوم‬
‫عليها‪.‬‬
‫‪3 3.‬يرتتب ىلع جعل بانتشاســيال أساسا لدلولة أنه جيب أن ال تتعارض مجيع قوانينها مع‬
‫مبدإ من مبادئها اخلمسة‪.‬‬
‫‪4 4.‬إن اجلمهورية اإلندونيسية دولة وفاقية تقوم ىلع أساس وفايق‪.‬‬

‫[‪ [[11‬عبد الوهاب خالف‪ ،‬علم أصول الفقه‪.76 ،‬‬


‫|‪39‬‬

‫املصادر واملراجع‬
‫ ‬
‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬

‫‪Ali, As’ad Sa’id, 2009, Negara Pancasila,‬‬


‫بن أنس‪ ،‬مالك‪ ،5891 ،‬املوطأ‪ ،‬بريوت‪ :‬دار إحياء‬ ‫‪Jakarta: LP3ES.‬‬
‫;‪Effendy, Bahtiar, 1999, Islam dan Negara‬‬
‫الرتاث‪.‬‬ ‫‪Transformasi‬‬ ‫‪Pemikiran‬‬ ‫‪dan‬‬
‫‪Praktik Politik Islam Indonesia,‬‬
‫بن حنبــل‪ ،‬أمحد‪ ،1002 ،‬مســند االمام أمحد بن‬ ‫‪Jakarta: Paramadina‬‬
‫‪Mahendra, Yusril Ihza, 1996, Dinamika‬‬
‫حنبل‪ ،‬بريوت‪ :‬مؤسسة الرسالة‪.‬‬ ‫‪Tata Negara Indonesia: Kompilsi‬‬
‫‪Aktual Masalah Konstitusi Dewan‬‬
‫ابلناىن‪ ،6002 ،‬حاشــية العالمة ابلناىن‪ ،‬بريوت‪:‬‬ ‫‪Perwakilan dan Sistem Kepartaian,‬‬
‫‪Jakarta: Gema Insani Press‬‬
‫دار الكتب العلمية‪.‬‬
‫ابن اعشــور‪ ،4891 ،‬اتلحريــر واتلنوير‪ ،‬تونس‪:‬‬
‫ابلوىط‪ ،‬ســعيد رمضــان‪ ،1991 ،‬فقه الســرة‬
‫ادلار اتلونيسية‪.‬‬
‫انلبويــة مــع موجز تلاريــخ اخلالفة‬
‫ابن عســاكر‪ ،0002 ،‬معجم الشيوخ‪ ،‬دمشق‪ :‬دار‬
‫الراشدة‪ ،‬بريوت‪ :‬دار الفكر‪.‬‬
‫البشائر‪.‬‬
‫ابليهــى‪ ،3002 ،‬الســن الكربى‪ ،‬بــروت‪ :‬دار‬
‫ابن هشــام‪ ،0991 ،‬الســرة انلبوية‪ ،‬بريوت‪ :‬دار‬
‫الكتب العلمية‪.‬‬
‫الكتاب العرىب‪.‬‬
‫الرتمذى‪ ،6991 ،‬ســن الرتمــذي‪ ،‬بريوت‪ :‬دار‬
‫االشبيىل‪ ،‬حممد‪ ،7002 ،‬املســالك ىف رشح موطأ‬
‫الغرب االسالىم‪.‬‬
‫مالك‪ ،‬بريوت‪ :‬دار الغرب االسالىم‪.‬‬
‫اجلوزيــة‪ ،‬ابن القيــم‪ ،4991 ,‬زاد املعاد ىف هدي‬
‫األلوىس‪ ،5141 ،‬روح املعاىن‪ ،‬بريوت‪ :‬دار الكتب‬
‫خري العباد‪ ،‬بريوت‪ :‬مؤسسة الرسالة‪.‬‬
‫العلمية‪.‬‬
‫اجلوزية‪ ،‬ابن القيــم‪ ،8002 ,‬اعالم املوقعني عن‬
‫األنصــارى‪ ،‬زكريا‪ ،‬لــب األصول‪ ،‬ســورابايا‪:‬‬
‫رب العاملــن‪ ،‬الســعودية‪ :‬دار ابــن‬
‫احلرمني‪.‬‬
‫اجلوزى‪.‬‬
‫ابلجريىم‪ ،‬سليمان‪ ،7002 ،‬حاشية ابلجرييم ىلع‬
‫اجلويىن‪ ،‬الربهان ىف أصــول الفقه‪ ،‬بريوت‪ :‬دار‬
‫اخلطيب‪ ،‬بريوت‪ :‬دار الفكر‪.‬‬
‫الكتب العلمية‪.‬‬
‫ابلخارى‪ ،2102 ،‬صحيــح ابلخارى‪ ،‬بريوت‪ :‬دار‬
‫احلريرى‪ ،‬ابراهيم حممــد حممود‪ ،8991 ،‬املدخل‬
‫الكتب العلمية‪.‬‬
‫يف القواعد الفقهية اللكية‪ ،‬عمان‪ :‬دار‬
‫ابلغــوي‪ ،3891 ،‬رشح الســنة‪ ،‬بريوت‪ :‬املكتب‬
‫عمار‪.‬‬
‫اإلسالىم‪.‬‬
‫األفاكر ادلويلة‪.‬‬ ‫اخلرضى بك‪ ،‬حممد‪ ،9691 ،‬أصول الفقه‪ ،‬مرص‪:‬‬
‫الصابوىن‪ ،‬ىلع‪ ،1891 ،‬صفوة اتلفاســر‪ ،‬بريوت‪:‬‬ ‫املكتبة اتلجارية الكربى‪.‬‬
‫دار القرآن الكريم‪.‬‬ ‫اخلرضى بك‪ ،‬حممد‪ ،8891 ،‬نور ايلقني ىف سرية‬
‫الصابــوىن‪ ،‬ىلع‪ ،‬روائــع ابليــان تفســر آيات‬ ‫سيد املرسلني‪ ،‬بريوت‪ :‬دار االيمان‪.‬‬
‫األحــام‪ ،‬بــروت‪ :‬مؤسســة مناهل‬ ‫خالف‪ ،‬عبد الوهاب‪ ،8002 ،‬علم أصول الفقه‪،‬‬
‫العرفان‪.‬‬ ‫القاهرة‪ :‬دار الرشيد‪.‬‬
‫الصنعاىن‪ ،‬سبل السالم‪ ،‬القاهرة‪ :‬دار احلديث‪.‬‬ ‫ادلمياىط‪ ،‬شــطا‪ ،‬إاعنــة الطابلني‪ ،‬ســورابايا‪:‬‬
‫الطرباىن‪ ،‬سليمان‪ ،‬املعجم األوسط‪ ،‬القاهرة‪ :‬دار‬ ‫احلرمني‪.‬‬
‫احلرمني‪.‬‬ ‫الرازى‪ ،1891 ،‬اتلفســر الكبــر‪ ،‬يربوت‪ :‬دار‬
‫الطربى‪ ،‬تاريخ الطربي‪ ،‬مص‪ :‬دار املعارف‪.‬‬ ‫الفكر‪.‬‬
‫الطربى‪ ،4102 ،‬تفسري الطربى‪ ،‬بريوت‪ :‬مؤسسة‬ ‫الريســوىن‪ ،‬أمحــد‪ ،‬مقاصد اآليــات بني عموم‬
‫الرسالة‪.‬‬ ‫اللفــظ وخصوص الســبب‪ ،‬القاهرة‪:‬‬
‫عطية‪ ،‬مجــال ووهبة الزحيىل‪ ،0002 ،‬جتديد الفقه‬ ‫مؤسسة الفرقان للرتاث االسالىم‪.‬‬
‫االساليم‪ ،‬بريوت‪ :‬دار الفكر‪.‬‬ ‫الزحيــى‪ ،‬حممــد‪ ،6002 ،‬القواعــد الفقهيــة و‬
‫الغزاىل‪ ،4102 ،‬املســتصىف‪ ،‬بريوت‪ :‬دار الكتب‬ ‫تطبيقاتها يف املذاهب االربعة‪ ،‬بريوت‪:‬‬
‫العلمية‪.‬‬ ‫دار الفكر‪.‬‬
‫الفاكهــاىن‪ ،‬ريــاض األفهــام ىف رشح عمــدة‬ ‫الزحيىل‪ ،‬وهبة‪ ،‬الفقه االســاىم وأدتله‪ ،‬بريوت‪:‬‬
‫األحاكم‪ ،‬بريوت‪ :‬دار الكتب العلمية‪.‬‬ ‫دار الفكر‪.‬‬

‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬


‫القاســى‪ ،3002،‬حماســن اتلأويل‪ ،‬بريوت‪ :‬دار‬ ‫الســبىك‪ ،‬تاج ادلين‪ ،1991 ،‬االشــباه وانلظائر‪،‬‬
‫الكتب العلمية‪.‬‬ ‫بريوت‪ :‬دار الكتب العلمية‪.‬‬
‫القرضاوى‪ ،‬يوســف‪ ،6991 ،‬فقــه األولويات‪،‬‬ ‫الشــاطىب‪ ،1102 ،‬املوافقــات ىف أصول الرشيعة‪،‬‬
‫القاهرة‪ :‬مكتبة وهبة‪.‬‬ ‫بريوت‪ :‬دار الكتب العلمية‪.‬‬
‫القرضاوى‪ ،‬يوســف‪ ،‬فتاوى معارصة‪ ،‬القاهرة‪:‬‬ ‫الشــراملىس‪ ،0002 ،‬نهايــة املحتــاج اىل رشح‬
‫مكتبة وهبة‪.‬‬ ‫املنهاج‪ ،‬بريوت‪ :‬دار الكتب العلمية‪.‬‬
‫القرطىب‪ ،6002 ،‬اجلامع ألحاكم القرآن‪ ،‬بريوت‪:‬‬ ‫شــبري‪ ،‬حممد عثمان‪ ،7002 ،‬املعامــات املايلة‬
‫مؤسسة الرسالة‪.‬‬ ‫املعارصة يف الفقه اإلســايم‪ ،‬عمان‪:‬‬
‫ ‬

‫دار انلفائس‪.‬‬
‫الشــواكىن‪ ،4002 ،‬نيل األوطــار‪ ،‬الرياض‪ :‬بيت‬
‫|‪40‬‬
‫املالىك‪ ،‬حممد بن علوى‪ ،‬مفهوم اتلطور واتلجديد‬
‫|‪41‬‬

‫يف الرشيعــة اإلســامية‪ ،‬جــدة‪ :‬دار‬


‫ ‬
‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬

‫املنهاج‪.‬‬
‫املاوردى‪ ،3102 ،‬أدب ادلنيــا وادلين‪ ،‬جدة‪ :‬دار‬
‫املنهاج‪.‬‬
‫املحىل والسيوىط‪ ،‬تفســر اجلاللني‪ ،‬سورابايا‪:‬‬
‫نور اهلدى‪.‬‬
‫حممود‪ ،‬أمحد ودل حممد‪ ،‬املنطــق وأصول الفقه‪،‬‬
‫بريوت‪ :‬دار الكتب العلمية‪.‬‬
‫انليســابورى‪ ،3102 ،‬صحيح مسلم‪ ،‬بريوت‪ :‬دار‬
‫الكتب العلمية‪.‬‬
‫انليســابورى‪ ،‬احلاكم‪ ،2002 ،‬املســتدرك ىلع‬
‫الصحيحــن‪ ،‬بــروت‪ :‬دار الكتــب‬
‫العلمية‪.‬‬
‫اهليثــى‪ ،4991 ،‬جممع الزوائد ومنبــع الفوائد‪،‬‬
‫القاهرة‪ :‬مكتبة القدىس‪.‬‬
‫|‪43‬‬

‫حمتويات‬
‫ ‬
‫مجهورية إندوني�سيا املوحدة يف مزيان الرشيعة ‬

‫مجهوريــة إندونيســيا املوحدة يف مــزان الرشيعة دراســة عن‬


‫بانتشاسيال يف ضوء انلصوص واملقاصد ‪1----------‬‬

‫ملحة عن تاريخ بانتشاسيال‪3--------------------------‬‬

‫ملحة عن نصوص الرشيعة‪7---------------------------‬‬

‫ملحة عن مقاصد الرشيعة‪15---------------------------‬‬

‫األحاكم الرشعية بني اتللكيفية والوضعية‪21----------------‬‬

‫بانتشاسيال يف مزيان الرشيعة ‪27------------------------‬‬

‫انلتيجة‪37--------------------------------------- -‬‬

‫املصادر واملراجع ‪39---------------------------------‬‬

Anda mungkin juga menyukai