Anda di halaman 1dari 4

BAB 1

PENDAHULUAN

Pancasila adalah warisan dari jenius Nusantara. Sesuai dengan karakteristik lingkungan
alamnya, sebagai negeri lautan yang ditaburi pulau-pulau. Jenius Nusantara juga merefleksikan
sifat lautan. Sifat lautan adalah menyerap dan membersihkan , menyerap tanpa mengotori
lingkungannya. Sifat lautan juga dalam keluasannya, mampu menampung segala keragaman
jenis dan ukuran.
Penindasan ekonomi-politik oleh kolonialisme-kapitalisme memang banyak menggerus
sifat-sifat kemakmuran, kosmopolitan, religius, toleransi dan kekeluargaan dari tanah air ini.
Maka ketika Dr. Radjiman Wediodiningrat, selaku ketua BPUPKI, pada tanggal 29 Mei 1945
meminta kepada sidang untuk mengemukakan dasar negara Indonesia merdeka, permintaan itu
menimbulkan rangsangan anamnesis yang memutar kembali ingatan para pendiri bangsa ke
belakang, hal ini mendorong mereka untuk menggali kekayaan kerohanian, kepribadian dan
wawasan kebangsaan yang terpendam dalam lumpur sejarah.
FASE "PEMBUAHAN"
Sejak 1924 Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda mulai merumuskan konsepsi ideologi
politiknya bahwa tujuan kemerdekaan politik haruslah didasarkan pada empat prinsip : persatuan
nasional, non-kooperasi, dan kemandirian (self-help). Konsepsi ideologis PI ini pada
kenyataannya merupakan sebuah sintesis dari ideologi-ideologi terdahulu.
Sekitar tahun yang sama, tokoh pejuang yang lain Tan Malaka mulai menulis buku Naar
de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Hampir bersamaan dengan itu,
Tjokroaminoto mulai mengidealisasikan suatu sintesis antara islam, sosialisme dan demokrasi.
Pada tahun 1926 Soekarno menulis esai dalam majalah Indonesia Moeda, dengan judul
"Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme" yang mengidealkan sintesis dari ideologi-ideologi
dasar tersebut demi terciptanya konstruksi kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia.
Dalam perkembangannya, rintisan gagasan-gagasan yang disemai diruang publik itu
memiliki kakinya tersendiri, mempengaruhi pemikirian-pemikiran semasanya dan meninggalkan
jejak pada generasi selanjutnya. Dalam proses pertukaran pemikiran, baik secara horizontal antar
ideologi semasa maupun secara vertikal antargenerasi, setiap tesis tidak hanya melahirkan
antitesis melainkan juga sintesis. Oleh karena itu, kategorisasi yang bersifat mutual exclusife
(saling mengucilkan) antara "golongan kebangsaan" dan "golongan keislaman".

FASE "PERUMUSAN"
Perumusan dasar negara Indonesia merdeka mulai dibicarakan pada masa persidangan
pertama BPUPK. Tugas BPUPK hanyalah melakukan usaha-usaha penyelidikan kemerdekaan,
sementara tugas penyusunan dan penetapan UUD menjadi kewenangan PPKI.
Tugas BPUPK adalah hanyalah melakukan usaha-usaha penyelidikan kemerdekaan,
sementara tugas penyusunan rancangan dan penetapan UUD menjadi kewenangan PPKI. Dalam
merespon permintaan Radjiman mengenai dasar negara Indonesia, sebelum pidato Soekarno
pada 1 Juni, anggota anggota BPUPK lainnya telah mengemukakan pandangannya. Meski
demikian prinsip-prinsip yang diajukan itu, masih bersifat serabutan, belum ada yang
merumuskan secara sistematis dan holistik sebagai suatu dasar negara yang koheren. Mohamaad
Yamin dan Soepomo barang kali agak mendekati apa yang diinginkan oleh Radjiman. Betapapun
juga pandangan-pandangan tersebut memberikan masukan penting bagi Soekarno dalam
merumuskam konsepsinya. Masukan masukan ini dikombinasikan dengan gagasan gagasan
ideologisnya yang telah dikembangkan sejak 1920an.
Kelima Prinsip yang menjad titik persetujuan (common denonimator) segenap elemen
bangsa itu dalam pandangan Bung Karno meliputi : kebangsaan indonesia, internasionalisme
atau peri kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial dan ketuhanan yang
berkebudayaan. Kelima prinsip itu disebut Soekarno dengan Panca Sila. Sila artinya asas atau
dasar dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi. Urutan-
urutan kelima sila itu disebutkan Soekarno sebagi urutan sekuential, bukan urutan prioritas.
Dengan kata lain dasar dari semua sila pancasila adalah gotong royong.
Selain itu betapapun hebatnya hasil penggalian dan uraian Spekarno itu, eksposisinya masih
merupakan pandangan pribadi. Untuk diterima sebagai (rancangan) dasar negara harus disepakati
oleh konsensus bersama setidaknya pada fase ini melalui persetujuan anggota-anggota BPUPK.
Pada proses mendapatkan konsensus bersama inilah, prinsip-prinsip pancasila dari pidato
soekarno itu mengalami proses reposisi dan penyempurnaan. Proses ini berlangsung segera
setelah masa persidangan pertam BPUPK berakhir. Diakhir pertmuan tersebut Soekarno juga
mengambil inisiatif informal lainnya, dengan membentuk panitia kecil (tidak resmi) yang
beranggotakan 9 orang, yang kemudian dikenal sebagai panitia sembilan, panitia ini bertugas
untuk menyusun rancangan Pembukaan Undang Undang Dasar Republik Indonesia yang
didalamnya termuat dasar negara. Panitia ini berhasil merumuskan dan menyetujui rancangan
pembukuan UUD itu, yang kemudian ditandatangani oleh setiap anggota panitia sembilan pada
22 Juni. Oleh Soekarno rancangan pembukaan UUD ini diberi nama "Mukaddimah", oleh
M.Yamin dinamakan "Piagam Jakarta", dan Sukiman Wirjosanjoyo disebut " gentlemen’s
Agreement".
Pada hari kedua masa persidangan kedua BPUPK (11 Juli), Radjiman Wediodiningrat selaku
ketua BPUPK membentuk tiga kelompok panitia : (1) panitia perancang hukum dasar (2) panitia
perancang keuangan dan ekonomi (3) panitia perancang pembelaan tanah air.
Batang tubuh UUD kemudian dirancang dengan dijiwai oleh nilai-nilai pancasila yang
terkandung dalam pokok-pokok pikiran pembukaan UUD tersebut. pemenuhan atas prinsip
ketuhanan yang berkebudayaan terkandung terutama pada pasal 29 (1,2) dalam rancangan akhir
UUD. Pemenuhan atas prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab terkandung terutama dalam
pasal-pasal yang menyangkut hubungan luar negeri, pasal 11 dan 13: serta pasal-pasal yang
berkaitan dengan Hak Asasi Manusia, pasal 27 (1,2) 28, 29, 30, 31, 34. Pemenuhan atas prinsip
kebangsaan/ persatuan terkandung terutama dalam pasal 1, 2, 3 18, 26, 32, 35, 36. Pemenuhan
prinsip demokrasi permusyawaratan terkandung dalam pasal-pasal tentang sistem pemerintahan
negara terutama pada pasal 1-28. Prinsip keadilan sosial terkandung terutama pada pasal 23, 27
(2) 31, 33, dan 34.
FASE "PENGESAHAN"
Pertemuan pertama PPKI dilaksanakan pada 18 Agustus 1945. Pada tanggal itu PPKI
memilih Soekarno dan Moh Hata sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia. Pada
saat yang sama PPKI, menyetujui naskah piagam Jakarta sebagai Pembukaan UUD 1945, kecuali
tujuh kata (dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya) dibelakang
sila ketuhanan. Tujuh kata itu dicoret lantas diganti dengan kata kata Yang Maha Esa sehingga
selengkapnya menjadi ketuhanan yang Maha Esa. Meskipun pencoretan tujuh kata itu
menimbulkan kekecewaan sebagian golongan islam karena dianggap kompromi sebelumnya,
secara de facto dan de jure pencoretan yujuh kata itu mencerminkan realitas politik yang ada dan
memiliki keabsahan. Dalam penjelasan pembukaan UUD 1945, setelah disahkan pada 18
Agustus tidak ada lagi pokok pikiran kelima yang memberikan keistimewaan kepada penduduk
yang beragama islam. Seperti sebelumnya dinyatakan oleh panitia kecil perancang hukum dasar
pancasila sebagai karya bersama.

PANCASILA SEBAGAI KARYA BERSAMA


Setiap fase konseptualisasi pancasila itu melibatkan partisipasi berbagai unsur dan
golongan. Oleh karena itu pancasila benar benar merupakan karya bersama milik bangsa. Dalam
lintasan panjang prose konseptualisasi pancasila itu dapat dikatakan bahwa 1 Juni merupakan
hari kelahiran Pancasila. Pada hari itulah 5 prinsip dasar negara dikemukakan dengan diberi
nama panca sila dan sejak itu jumlahnya tidak berubah.
HISTORISITAS, RASIONALITAS DAN AKTUALITAS PANCASILA
Negara Indonesia memiliki landasan moralitas dan haluan kebangsaan yang jelas dan
visioner. Suatu pangkal tolak dan tujuan pengharapan yang penting bagi keberlangsungan dan
kejayaan bangsa. Sebagai basis moralitas dan haluan kebangsaan kenegaraan, Pancasila memiliki
landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang kuat. Setiap sila memiliki justifikasi
historisitas, rasionalitas, dan aktualitasnya, yang jika dipahami, dihayati, dipercayai, dan
diamalkan secara konsisten dapat menopang pencapaian-pencapaian agung peradaban bangsa.
Pokok-pokok moralitas dan haluan kebangsaan kenegaraan menurut alam Pancasila dapat
dilukiskan sebagai berikut:
1. Menurut alam pemikiran Pancasila, nilai-nilai ketuhanan (religiositas) sebagai sumber etika
dan spiritualitas (yang bersifat vertikal transendental) dianggap penting sebagai fundamentik
kehidupan bernegara.
2. Menurut alam pemikiran Pancasila, nilai-nilai kemanusiaan universal yang bersumber dari
hukum Tuhan, hukum alam, dan sifat-sifat sosial manusia (yang bersifat horisontal) dianggap
penting sebagai fundament etika politik kehidupan bernegara dalam pergaulan dunia.
3. Menurut alam pemikiran Pancasila, aktualisasi nilai-nilai etis kemanusiaan itu terlebih
dahulu harus mengakar kuat dalam llingkungan pergaulan kebangsaan yang lebih dekat sebelum
menjangkau pergaulan dunia yang lebih jauh.
4. Menurut alam pemikiran Pancasila, nilai-nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, dan nilai serta
cita-cita kebangsaan itu dalam aktualisasinya harus menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam
semangat permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan.
5. Menurut alam pemikiran Pancasila, niali ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai dan cita
kebangsaan, serta demokrasi permusyawaratan itu memperoleh kepenuhan artinya sejauh dapat
mewujudkan keadilan sosial.
Demikianlah para pendiri bangsa ini telah mewariskan kepada kita suatu dasar falsafah dan
pandangan hidup negara—yang menjiwai penyusunan UUD—yang begitu visioner dan tahan
banting.
Kini, permasalahannya adalah bagaimana memperdalam pemahaman, penghayatan, dan
kepercayaan akan keutamaan nilai-nilai yang terkandung pada setiap sila Pansila dan
kesalingketerkaitannya satu sama lain, untuk kemudian diamalkan secara konsisten disegala lapis
dan bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks ini yang diperlukan adalah
proses radikalisasi Pancasila. Radikalisasi dalam arti ini adalah revolusi gagasan, demi membuat
Pansila tegar, efektif, dan menjadi petunjuk bagaimana negara ini ditata-kelola dengan benar.
TENTANG BUKU INI
Buku ini dimaksudkan sebagai sumber rujukan dengan cara merekonstruksi alam
pemikiran Pancasila seperti yang diidealisasikan oleh para pendiri bangsa. Dalam usaha
rekonstruksi itu, buku ini berusaha menyoroti dimensi historisitas, rasionalitas, dan aktualitas
masing-masing sila Pancasila. Setiap sila dibahas dalam kerangka sistematika yang sama,
meliputi penggalian akar-akar historisnya, proses negoisasinya dalam wacana publik dan badan
perwakilan (BPUPK, PPKI, Konstituante) lantas ditunjukkan keabsahan rasionalitasnya dengan
melakuka peninjauan dari perspektif teoritis dan komparatif: ini berujung pada modus
pengamalan yang bersandar pada gagasan-gagasan para pendiri bangsa dan pemikiran-pemikiran
lain yang sejalan dengan itu.

Anda mungkin juga menyukai