PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk merdeka dari penjajah tidak mudah harus
melalui perjuangan dan pengorbanan tumpah darah seluruh bangsa Indonesia yang pada
akhirnya kemerdekaan itu dapat diraih bersama. Tentunya untuk memperkuat status
kemerdekaan perlu adanya konstitusi yang mengatur mobilitas berjalanya sistem kenegaraan
yang baik tapi untu mewujudkan konstitusi atau menentukan arah ideologi bangsa Indonesia
banyak terjadi perdebatan para tokoh-tokoh bapak bangsa dalam perumusan dasar Negara
Indonesia.
Pada tanggal 7 september 1944 pemerintah jepang mengumumkan janji untuk
memberi kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Janji tersebut diulangi pada tanggal 1 maret
1945. Peryataan pemerintah yang dikeluarkan pada tanggal 1 maret 1945 diikuti dengan
pembentukan panitia yang bertugas mempersiapkan kemerdekaan (tepatnya merancang
UUD). Panitia tersebut dikenal sebagai BPUPKI (dokuritzu zunbi tjoosakai) yang
beranggotakan 62 orang diketuai oleh radjiman wediodiningrat. Menurut boland, panaitia ini
disebut “comitte of 62” Tugas pokok badan ini menyusun rancangan UUD, tetapi kemudian
badan ini menghabiskan sebagaian besar waktu sidang pertamanya untuk memperdebatkan
dasar Negara.[1]
Pelaksanaan konstitusi yang berlaku disuatu Negara paling tidak mempunyai beberapa
kemungkinan. Pertama, konstitusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang termuat
didalamnya. Kedua, terdapat beberapa ketentuan konstitusi yang tidak dilaksanakan lagi
meskipun seccara resmi masih berlaku. Ketiga, konstitusi dilaksanakan tidak berdasarkan
ketentuan yang termuat didalamnya melainkan demi kepentingan sesuatu golongan atau
tertentu.[2]
Dalam perumusan pancasila itu masalah yang paling krusial adalah rumusan dasar
Negara yang tidak memisahkan agama dengan Negara yang menjadi perdebatan sejak masa
pergerakan nasional, terutama antara A Hasan dan Muhammad natsir, disatu sisi dengan
Soekarno di sisi yang lain. Pada tahun 1932 natsir telah menuliskan artikel mengenai konsep
kebangsaan yang tepat bagi Indonesia berbeda dengan konsep nasionalisme etnis, natsir
mengajukan pandangannya mengenai konsep islam, argument natsir ada dua, islam adalah
agama pemersatu karena berisikan ajaran-ajaran moral universal yang bisa diterima oleh
semua golongan masyarakat, seperti keadilan dan persatuan dalam tulisan sebelumnya natsir
mensinyalir terjadinya perpecahan dikalangan partai-partai kebangsaan, sementara itu, islam
mengajarkan persatuan dengan memegang tali Allah yaitu agama. Karena itu, ketika soekarno
mengutip pendapat ali Abdul raziq bahwa tidak ada ijma, ulama yang menetapkan kewajiban
membentuk Negara islam. Tapi natsir juga mengatakan bahwa tidak ada ijma ulama untuk
tidak mendirikan suatu Negara untuk menegakkan syariat islam.[3]
Aliran yang menolak pemerintahan islam. Ada dua argumentasi yang melandasi
penolakannya, yaitu: pertama, nabi memang membentuk tertib politik dimadinah, tetapi itu
bukan merupakan hubungan instrinsik antara islam dan politik melainkan merupakan
peristiwa historis semata. Situasi sosial polotik pada saat itu menghendaki terbentuknya tertib
politik namun itu bukan tugas agama yang menjadi bagian dari wahyu ilahi. Mehdi hairi yazdi
menjelaskan bahwa otoritas politik yang dimilki nabi saat itu merupakan desakan rakyat yang
kemudian mendapat legitimasi dari Tuhan. Kedua, seperti yang disampaikan Ali‟Abd al-
Raziq, Nabi Muhammad tidak bermaksud mendirikan Negara dan sistem sosial politik
tertentu. Menurut raziq, nabi hanyalah seorang sebagai rasul (QS.al-Isra‟:95,al-Naml: 92)[4]
Dengan demikian letak pertikaiannya adalah tuntutan golongan kebangsaan islam atas
kalimat “ dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang tidak
disetujui oleh golongan Kristen dan golongan kebangsaan. Namun soekarno agar hukum-
hukum dan ajaran moral agama itu bisa diperjuangkan secara demokratis melalui wakil-wakil
umat islam dalam partai politik diparlemen. Karena itu soekarno tidak menolak partisipasi
agama di ruang publik politik, tapi yang lebih ensesial adalah, biarlah agama bukan
merupakan urusan Negara, melainkan pelaksanaannya diserahkan kepada individu dan
masyarakat sendiri secara leluasa. Sebab, jika dimasukan keruang publik, agama bisa menjadi
alat legitimasi kepentingan mencapai dan mempertahankan kekuasaan.
Sungguhpun begitu, dalam pidatonya di Karachi yang terkenal berjudul “sumbangan
islam dalam perdamaian dunia” menjelaskan bahwa pancasila itu tidak bertentangan dengan
islam sehingga pancasila dapat disebut sebagai ideologi islam dalam versi Indonesia.
Meskipun demikian dalam sidang kontituante 1958, natsir dengan golongannya kembali
memperjuangkan islam sebagai dasar Negara. Argumen natsir adalah bahwa islam merupakan
ajaran ideal dan uniiversal dan arena itu layak jika Negara Indonesia mendasarkan diri pada
ajaran islam yang komprehensif sebagai sumbangan islam terhadap kebangsaan dan
kemanusiaan.
Natsir yang memang piawai dalam menjelaskan ajaran islam mengatakan bahwa islam
dapat dijadikan dasar Negara dengan Al-qur‟an sebagai konstitusi, sebagai mana dikatakan
juga oleh abu a‟laal maududi, pemikir muslim besar dari india-pakistan. Namun keterangan
itu diletakkan pada konteks masyarakat monolitik homogeny yang imajiner. Dalam
persepsinya Indonesia seolah-olah masyarakat seperti itu. Padahal Indonesia adalah
masyarakat yang prural. Jika perbedaan cara pandang yang dualistis itu terus berlanjut bangsa
Indonesia tak akan bisa mencapai persatuan. Dengan perkataan lain, pancasila akan gagal
menjadi alat pemersatu. Dalam situasi seperti itu tidak ada yang menang. Seperti dalam kisah
mahabrata yang disimbolkan dalam alphabet jawa “honocoroko” yang berakhir pada “monggo
bothongo” atau semua hancur. [5]
B. Rumusan masalah.
1. Bagaimana perspektif islam terhadap pancasila sebagai dasar Negara.
2. Apakah Pancasila sebagai dasar negara dari lima sila yang terkandung didalamnya
mengandung nilai-nilai keislaman.
BAB II
PEMBAHSAN
dan tidak pernah mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami
wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka
sembahlah olehmu sekalian akan aku".( QS al-anbiya‟ [21]: 25).
Akidah keesan tuhan (tauhid) tersebut tidak tergoyahkan meskipun kita tahu
masing-masing umat punya cara keberagaman yang berbeda:
Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya
mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada
mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu
kepada-Nya. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada
Allah), (QS al-hajj [22]: 34)
Keimanan kepada tuhan yang mahasa esa Allah Swt, meski dengan idiom yang
berbeda tetapi menjadi inti keimanan setiap umat meskipun dengan tata cara dan tempat
ibadah yang berbeda-beda:
.. dan Sekiranya tidak ada pembelaan Allah atas keganasan sebagian manusia
dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja,
rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut
nama Allah.. (QS al-Hajj [22]: 40).
Semua agama, pada dasarnya dan pada mulanya, mendoktrinkan keimanan kepada
Allah, tuhan yang maha esa (tauhid). Perbedaannya, jika harus disebut demikian, adalah
dalam penyebutannya dan kelugasan konseptualisasinya. Yang pasti semua agama meyakinin
bahwa segala sesuatu berawal dari yang esa yang satu yang maha baik, yang maha segalanya.
Islam mengidentifikasi nama-nama agung itu dengan sebutan al-asma‟al-husna (nama-nama
nan indah):
Bagi tuhan nama-nama nan indah, maka panggilah dia dengan nama-nama nan
indah itu (QS al-A‟raf [7]: 180)
Katakanlah (Muhammad): panggilah dia tuhan (Allah) atau panggilah dia yang
maha pengasih (ar-rahman); sebutan apa saja yang kalian pakai untuk memanggil-nya
silahkan; bagi-Nya tersedia nama-nama nan indah ( QS al-isra‟ [17]: 110).[14]
Kejahatan atas integritas ruhani dan jasmani manusia merupakan kejahatan serius.
Demi menjaga integritas ruhaninya, islam secara tegas menggaris-bawahi perinsip kebebasan
keyakinan atau keimanan untuk manusia:
Tidak ada paksaan dalam agama; karena sudah jelas kiranya mana yang lurus dan
mana yang bengkok (QS al-Baqarah [2]: 256)
Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka
bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi
orang-orang yang beriman semuanya (QS yunus [10]: 99)[15]
Ada pertanyaan sederhana tapi cukup sensitif: apakah dengan sila ketuhanan yang
maha esa Negara republik Indonesia mengharamkan rakyatnya menganut paham faham
atheis, paham yang meyangkal adanya tuhan sekaligus menolak beragama ? mengacu pada
penegasan al-Qur‟an sendiri pada dasarnya semua anak manusia sebagai anak cucu adam
adalah makhluk yang bertuhan:
Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di
lautan Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan
kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS al-Isra’
[17]: 70). [19]
Dalam rangka menghormati martabat manusia,[20] nyawa manusia itu sakral dan
tak bisa dilanggar dan setiap usaha harus di buat untuk melindunginya[21]Islam memberikan
kebebasan kepada umat manusia untuk berserikat menjalin persahabatan dan kerjasama
dengan siapa pun, tanpa paksaan dari pihak lain,[22] setiap orang berhak diperlakukan sesuai
dengan hukum, dan hanya sesuai dengan hukum, setiap orang berhak dan berkewajiban untuk
membela hak-hak orang lain dan hak-hak komunitas secara umum, dalam membela hak-hak
pribadi maupun publik, setiap orang tidak boleh diskriminasikan[23]. Dengan demikian,
memuliakan manusia, sebagai gambar Allah dan khalifahnya pada hakikatnya adalah
memuliakan Allah, tuhan yang maha esa Pun sebaliknya, menghinakan manusia dan
kemanusiaan adalah penghinaan kepada Allah Swt. Dalam hidup bernegara Indonesia, dengan
alasan apapun, tidak boleh terjadi pelecahan terhadap harkat dan martabat manusia.[24]
3. Pada sila ke tiga (Persatuan Indonesia)
Dari kata-kata „satu‟ (abad, wahid dalam bahasa arab), „persatuan‟ (wahidah)
menggambarkan konsep menyatunya unsur-unsur yang berbeda, dalam satu derap langkah
bersama karena memiliki dan ingin mencapai cita-cita yang juga sama. Dalam bahasa islam
disebut dengan „jamaah‟[25] dalam islam nilai-nilai persatuan merupakan perintah Allah
yang tertuang dalam al-qur,an agar kaum muslimin tetap berpegang teguh kepada aturan-
aturannya dan tidak terpecah-pecah. Demikian pula perintah Allah agar kaum muslim tidak
mengikuti sikap umat terdahulu setelah datangnya petunjuk, seperti tertuang dalam ayat:
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, (dalam konteks
keindonesiaan cita-cita menegakkan keadilan sosial) secara bersama-sama dan janganlah
kamu bercerai berai, (QS Ali imran [3]: 103)
Dan saling kerjasamalah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan dan janganlah
bekerja sama dalam dosa dan permusuhan, dan bertakwalah kepada allah, sesungguhnya
siksaan allah (akibat permushan keengganan bekerjasama dan tolong menolong) sangatlah
keras adanya (qs al-maidah [5]: 2)
upaya membangun berbangsa dan bernegara atas landasan kebangsaan yang
majemuk (plural) diatas bumi ini pertama kali dirintis oleh Muhammad rasulullah saw labih
14 abad lalu, persisnya tahun 622 M di madinah. Sebagaimana diketahui, pemerintahan
Rasulullah Saw di madinah adalah pemerintahan/Negara yang dibangun diatas landasan
penghargaan terhadap kebinekaan agama, tradisi dan suku. Perinsip ini tertuang dengan
gamblang dalam naskah konstitusi Negara madinah yang dikenal luas dengan sebutan[27]
piagam madinah[28]. Petikannya, dari sirah nabawiyah oleh ibnu katsir dan ibnu hisam,
sebagai berikut:
“inilah naskah perjanjian dari nabi Muhammad saw, antara orang-orang beriman
umat islam dari suku quraisy dan yastrib, serta orang-orang yang menyertainya dan yang
berjuang bersamanya: mereka adalah suatu komunitas yang manuggal; orang-orang
muhajirin dari quarisy berhak atas tradisinya; puak auf berhak atas tradisinya; puak saadah
berhak atas tradisinya; puak al-harist berhak atas tradisinya; puak jusam berhak atas
tradisinya; puak amr bin auf berhak atas tradisinya;puakan-nubeit berhak atas tradisinya;
dan puak alal-aus berhak atas tradisinya”
Perihal perlindungan atas kebhinekaan agama/yakinan termaktub dalam paragraph
sebagai berikut:
Umat yahudi bani auf adalah satu umat atau komunitas bersama orang-orang yang
beriman; bagi yahudi bani auf agama mereka dan bagi umat islam agama mereka; bagi
yahudi bani najjar apa yang berlaku bagi yahudi bani auf; demikian pula bagi yahudi bani
al-harits, yahudi bani saadah, yahudi bani jusam, yahudi bani al-aus, maupun bagi yahudi
bani tsa’labah.
Bagi bangsa Indonesia yang memiliki latar belakang kebhineka sagat kompleks,
bahkan baragkali yang paling kompleks didunia, baik secara sosial budaya, agama, bahasa,
etnis juga demokratis, tekat persatuan ini sangat mulia.[29]
Seperti tercatat dalam, ketika pembukaan UUD 1945 hendak ditetapkan, sebagai
saudara sebangsa kita dari Indonesia bagian timur meminta agar sila pertama : ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya”.di ganti menjadi “ketuhanan
yang maha esa” Setelah melakukan konsultasi terutama dengan tokoh-tokoh islam yang
mengakar dan berpengarukh besar dikalangan umat islam, seperti KH hasyim, putra KH
hasyim asy‟ari, akan membuka pintu sektarianisme dalam perpolitikan Indonesia ( greg
barton, 2003)
Bagi umat islam peristiwa ini mirip dengan yang terjadi pada rumusan perjajnjian
perdamaian hudaibiyah (shulh al-hudaibiyah) antara rasulullah saw dan sahabat-sahabatnya di
sapu pihak dengan para pemuka kaum quraisy di lain pihak. Dalam draf yang didiktekan oleh
Rasulullah dan ditulis oleh sahabat Ali r.a., terdapat kalimat “bismillah ar-rahman” dan “rasu
Allah”. Suhel bin amr, mewakili pihak quraisy, dengan tergas menolak kalimat itu: “jika kami
menerimma (mengimani kalimat) itu, untuk apa kita berunding?” semula sahabat ali menolak
keras permintaan suhel tersebut. Tapi dengan kebesaran hatinya nabi menerima usulan itu dan
bahkan nabi mencoretnya dengan tangan beliau mandiri.[30]
Nabi Muhammad dalam hal perjanjian udaibiyah tidak melihat siapa suku, budaya,
agama beliau lebih mengutamakan persatuan dan kedamaian terbukti dalam sejarah perjanjian
udaibiyah antara Nabi dan kaum Qurasy yang Nampak jelas nabi sendiri mencoret perjanjian
yang sudah dituliskan oleh sahabatnya. Demi memenuhi permintaan kaum Qurasy yang
semuanya itu nabi lakukan untuk mewujudkan persatuan dengan kaum Qurasy. Dalam hal
Negara Indonesia yang sangat prural bunyi sila ketiga menyerukan persatuan sudah pas
konteksnya di Negara indonesia.
4. Sila keempat Permusyawaratan Rakyat.
Demokrai pancasila yang menghimpun berbagai macam unsur demokrasi sebenarnya
timbul dari masyarakat indonesia yang religious, kaum muslimin dapat menerima demokrasi
ini, karena didalamnya terdapat unsur-unsur ketuhanan dalam artian selama keputusan yang
diambil dalam permusyarawatan harus bersesuaian dengan ajaran keagamaan, perinsip
kemanusiaan, persatuan, permusyarawatan, dan keadilan sosial.
Bagaimana pengaruh islam terhadap perinsip permusyawaratan ini? Di dalam al-
qur‟an terdapat perintah supaya permusyawarahan dalam urusan dunia seperti:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan
berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-
benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. (QS ar-Rum [30]: 22)
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi
Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal. (QS al-hujrat [49]: 13).
Perbedaan agama atau keyakinan tidak boleh dijadikan alasan untuk
mendiskriminasikan seseorang karena persolalan agama dan keyakinan adalah persoalan
hidayah[40] salah satu perinsip keadilan adalah tidak memperlakukan diri sendiri atas
seseorang berdasarkan garis nasab, darah. [41]
Kedua, keadilan terkait hak-hak yang melekat secara kodrati dan sosial pada setiap
individu atau kelompok. Maka keadilan secara praksis sebagaimana didefenisikan oleh para
ulama, antara lain imam al-ghazali dalam ihya sebagai berikut:
“adil adalah etika setiap orang/pihak mendapatkan apa yang menjadi haknya”
Yang dimaksud empunya hak di sini tentunya tidak terbatas pada makhluk manusia,
melainkan juga binatang, tumbuh-tumbuhan, dan lingkungan semesta sebagai sesama
makhluk Allah Swt. Untuk manusia, khususnya sebagai prioritas, hak-hak yang melekat
padanya meliputi apa yang dalam konsep HAM moderen dikategorikan dalam hak-hak sipil,
hak sosial ekonomi, hak politik, dan sosial budaya. Dalam konteks ini detail hak-hak insani
yang begitu rinci dalam konsep HAM universal sangat membantu misi agung umat manusia
juga Negara untuk menegakkan keadilan.[42] Dalam hal jual beli saja islam sangat
menganjurkan adil dalam transaksi seperti dalam hal timbangan. dan Allah sangat mengecam
manusia yang berbuat curang atau tidak adil.
Diantaranya perbuatan menimbun, dilakukan terhadap barang makanan pokok maka
pelaku terkutuk dan dikenai sanksi yang berat. Atau menyembunyikan keaiban, karena
perbuatan ini merupakan perbuatan khianat. Dan keharusan meluruskan timbangan, bagi yang
meninggalkannya mendapat ancaman yang berat, sehubungan dengan hal ini Allah Swt telah
berfirman:
Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang) (Al-
muthaffifiin:1).[43]
Ibnu taimiyah dalam kitab majmu al-fatwa dan kitab al-hisab mengutip umgkapan dari
ibnu aqil menyatakan:
Allah menolong Negara yang adil meskipun kafir (sekuler); dan allah tidak akan
menolong Negara yang lalim meskipun mukmin (religious)
Manakala tanda-tanda keadilan telah tampak dan menunjukkan wajahnya, dengan
cara apapun, maka disana ada syariat allah dan agama-Nya… jalan apapun yang dapat
menghadirkan keadilan dan keseimbangan, itulah agama. Tidak bisa dikatakan bahwa politik
yang adil berlawanan dengan syariah. Sebaliknya, politik yang adil itu sejalan belaka dengan
syariah, bahkan merupakan bagian dari padanya.kami menamakannya sesuai arti
termonologinya; ialah keadilan Allah dan rasul-Nya (ibnu al-Qayyim, at-thuruq al-
hukmiyah; vol 1, hal. 19).
Jadi jelas, bahwa Negara yang dikehendaki oleh islam tidak ditentukan oleh agama,
label, atau sebutannya melainkan oleh tujuan (ghayah)-nya, yakni “keadilan” bagi seluruh
rakyatnya. Negara yang tidak memberikan perlindungan kepada rakyatnya terutama yang
lemah dengan memenuhi hak-haknya yang hilang atau terampas, apapun sebutan dan
mereknya bukanlah Negara yang dikehendaki Allah Swt, Tuhan yang maha esa maupun
rakyat keseluruhannya. Dalam konteks Indonesia dengan pancasila-Nya, para meter sukses
Negara sangatlah jelas dan gamblang, yakni apakah Negara bisa mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia (terutama yang lemah, yang paling jauh dari keadilan) atau
tidak.[44]
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Pancasila sebagai dasar negara indonesia yang terkandung lima nilai falsafah yang
tertuang didalamnya sudah memenuhi keriteria dan keinginan ajaran islam. Dengan begitu
banyak suku, bahasa, budaya dan agama didalamnya pancasila mampu mengakomodir
semunya dalam satu bingkai persatuan, ini menandakan Negara kita memiliki dasar yang
islami karena semunya itu masuk pada ajaran islam. Karena sebenarnya ajaran islam itu
sangat menghargai perbedaan menjunjung tinggi keadilan dan sangat terbuka. Banyak
masyarakat terjebak hanya persoalan konsep kemudian itu dipermasalahkan apakah itu ajaran
islam atau bukan yang terpenting didalamnya adalah menjujung tinggi harkat martabat
manusia membawa kedamaian dan kesejahteraan dalam pelaksanaanya maka sesungguhnya
itu sudah masuk dalam ranah ajaran islam. Penulis melihat persoalan ini lebih kepada teknis
pelaksaan dan penerapan nilai lima sila tersebut apakah dalam pelaksanaan berkehidupan dan
bernegara sudah seutuhnya sesuai dengan cita-cita yang termaktub dalam lima sila tersebut.
Maka dapat dipastikan akan banyak yang menjawab belum seutuhnya sehingga tidak salah
jika banyak masyarakat yang berteriak bukan saja ingin merubah dasar Negara bahkan ada
juga ingin merdeka melepas dari NKRI dll. Karena persoalan kesejahteraan yang tidak merata
belum lagi persoalan bangsa akhir-akhir ini yang kita saksikan berbagai tontonan kebobrokan
sistem hukum kita, keamanan, ekonomi, budaya, dan lainya ditambah sikap pemerintah yang
lemah membuat masyarakat tidak begitu percaya terhadap pemerintah. Hal demikian yang
sangat membahayakan untuk kesetabilan negara indonesi maka pemerintah harus benar-benar
memikirkan persoalan ini agar ada solusi terbaik untuk bangsa Indonesia sehingga bisa
meredam anarkis masyarakat Indonesia.
[1] Moh mahfud Md, Politik Hukum Di Indonesia, cetakan kelima, ( Jakarta:
PT Raja grafindo, 2012) Hlm 36
[2] Ellydar chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, cetakan pertama,
(Yogyakarta: kreasi total media yogyakarta, 2007) Hlm 54
[3] Yudi latif, Negara paripurna historis, rasionalitas, dan aktualitas
pancasila, cetakan keempat (Jakarta: PT gramedia, 2012) Hlm 620
[4] Ainur rofiq al-amin, Membongkar proyek khilafah ala hzbuhtahrir di
Indonesia, cetakan pertama ( yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2011) Hlm 17
[5] Yudi latif, Negara paripurna historis, rasionalitas, dan aktualitas pancasila.,
Op.cit., hlm 622
[6] Buku pintar politik sejarah, Pemerintahan, dan Ketatanegaraan,
Cetakan pertama (Yogyakarta: Jogja great publisher, 2001) Hlm 9
[7] Ibid
[8] Yudi latif, Negara paripurna historis, rasionalitas, dan aktualitas
pancasila, cetakan keempat Op.cit,. Hlm 39-40
[9] Peringatan hari lahir pancasila setiap tanggal 1 juni telah menjadi
konvensi kenegaraan terutama sejak departemen penerangan menerbitkan pidato
bungkarno pada tanggal 1 juni 1945 dalam bentuk buku yang diberi judul lahirnya
pancasila pada tahun 1947 radjiman widyoningrat memberikan kata pengantar pada
buku tersebut, tanggal 1 juli 1974.
[10]Yudi latif, Negara paripurna historis, rasionalitas, dan aktualitas
pancasila, cetakan keempat , Op.cit., Hlm 40-41
[11]Kaelan, Negara kebangsaan pancasila, kultur, historis, filosofis, yuridis,
dan aktualisasinya, cetakan pertama (Yogyakarta, paradigm, 2013) Hlm 40-41
12 Tijani Abd.Qadir Hamid, Pemikiran Politik Dalam Al-Qur’an, cetakan
pertama, ( Jakarta: gema insane press, 2001) Hlm 57
13 Ibid., 174-175