Anda di halaman 1dari 4

Review Buku Negara Paripurna (Yudi Latif)

Bab I: Pendahuluan
Pancasila merupakan warisan dari para jenius Nusantara. Karakteristik Nusantara
direfleksikan sesuai dengan kondisi alamnya. Indonesia adalah negara kepulauan
dengan lautan luas yang mampu menampung segala perbedaan serta tanah yang subur
untuk menerima segala macam budaya dan ideologi. Dasar negara yang dirumuskan
oleh para pendiri bangsa berakar dari sejarah bangsa serta perjuangan dan cita-cita
rakyat sejak zaman kejayaan Nusantara dan zaman penjajahan. Pemikiran-pemikiran
dari kaum intelektual mengenai ideologi bangsa mulai tercetus sejak dekade 1920-an.

Fase “Pembuahan”
Sejak tahun 1924, Perhimpunan Indonesia (PI) mulai merumuskan konsep
ideologinya, yaitu persatuan nasional, solidaritas, non-kooperasi, dan kemandirian
(self-help) yang mana keempat prinsip ini merupakan sintesis dari ideology terdahulu.
Ada pula Tan Malaka yang menyuarakan idenya tentang kedaulatan rakyat (demokrasi)
lewat tulisan. Sementara itu, Soekarno mengidealiskan mengenai “Nasionalisme,
Islamisme, dan Marxisme”.
Terdapat pula pemikiran mengenai Sumpah Pemuda. Visi dari Sumpah pemuda
itu sendiri adalah menyatukan segala keberagaman ke dalam satu tanah air, bangsa, dan
bahasa. Sementara itu, “golongan kebangsaan” dan “golongan Islam” memiliki
kesepahaman yang luas. Maka, dalam siding BPUPK, kedua golongan tersebut
merupakan pengusul dari setiap sila dasar negara.

Fase Perumusan
Dasar negara mulai dirumuskanpada masa siding pertama BPUPK (29 Mei-1
Juni 1945). Sebelumnya, para anggota BPUPK telah mengemukakan pemikirannya
namun belum ada yang koheren. Hingga saat Soekarno mengemukakan pendapatnya
dengan lima pemikiran dasar yang disebut “Pancasila”. Pemikirannya ini meliputi
Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Mufakat atau
Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan yang Berkebudayaan. Namun pada
dasarnya kelima sila ini berdasar atas asas gotong royong.
Namun, pemikiran dari Soekarno tersebut masih merupakan pandangan pribadi.
Untuk itu, perlu adanya kesepakatan dari konsensus bersama. Maka, ketua BPUPK
membentuk Panitia Kecil yang bertugas mengumpulkan usul para anggota yang akan
diabahas pada siding berikutnya. Panitia ini diketuai oleh Soekarno. Soekarno banyak
melakukan berbagai inisiatif selaku ketua. Diantaranya adalah memanfaatkan
persidangan Chuo Sangi In ke VIII untuk mengadakan pertemuan terkait tugas Panitia
Kecil. Selain itu, beliau juga membentuk Panitia Sembilan yang bertugas untuk
merumuskan pembukaan Undang Undang Dasar Negara Indonesia yang memuat dasar
negara.
Panitia Sembilan berhasil menyelesaikan tugasnya pada 22 Juni 1945.
Pembukaan UUD NRI ini dikenal dengan Piagam Jakarta. Rancangan Pembukaan
UUD NRI 1945 mencerminkan penyatuan pemikiran dari golongan kebangsaan dan
Islam. Sila “ketuhanan” dipindah dari sila terakhir menjadi sila pertama dengan
tambahan tujuh kata yaitu “..dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”. Bagi golongan Islam, tujuh kata itu adalah hal yang krusial
karena bermakna bahwa Islam yang selalu tertindas selama zaman kolonial akan
mendapat tempat dalam kemerdekaan Indonesia.
Di sisi lain, “tujuh kata” tersebut merangsang perdebatan pro-kontra. Namun,
rumusan Piagam Jakarta itu tetap dipertahankan hingga akhir masa siding kedua (17
Juli 1945). Pada 11 Juli 1945, Ketua BPUPK membentuk tiga kepanitiaan: (1). Panitia
Perancang Hukum Dasar, (2) Panitia Perancang Keuangan dan Ekonomi, (3) Panitia
Perancang Pembelaan Tanah Air.
Soekarno membentuk Panitia Kecil di dalam Panitia Perancang Hukum Dasar.
Panitia kecil berhasil menyusun rancangan UUD dalam waktu singkat. Dasar
penyusunan UUD seirama dengan dasar gotong royong pada Pancasila, yaitu
“Kekeluargaan”.
Batang tubuh UUD dirancang berasaskan nila-nilai Pancasila yang terkandung
dalam pokok pikiran pembukaan UUD tersebut. Rancangan UUD 1945 juga
mengandung semangat pemuliaan hak-hak dasar yang luas dan visioner. Hingga masa
akhir masa sidang, BPUPKI telah berhasil menyusun dasar negara dan pembukaan
UUD dalam bentuk Piagam Jakarta yang menjiwai perumusan Batang Tubuh UUD.

Fase Pengesahan
Pada 18 Agustus 1945, Soekarno dan Moh Hatta dipilih oleh PPKI menjadi
presiden dan wakil presiden Indonesia. Saat itu juga dilakukan pengesahan naskah
Piagam Jakarta sebagai Pembukaan UUD 1945, dengan penggantian “tujuh kata”.
“Tujuh kata” tersebut diganti dengan “Yang Maha Esa”. Dengan berbagai usaha
kompromi, golongan Islam pun menyetujui hal tersebut.
Dengan pencoretan “tujuh kata” tersebut, moral “gotong royong” sebagai dasar
Pancasila dan moral “kekeluargaan” sebagai dasar sistematika UUD memperoleh
keutuhannya. Hal ini bermakna bahwa negara Indonesia adalh negara kesatuan yang
berhasil mengatasi paham golongan maupun perseorangan.
Pancasila sebagai Karya Bersama
Setiap konseptualisasi Pancasila melibatkan partisipati dari berbagai unsur dan
golongan. Tanggal 1 Juni dikatakan sebagai hari lahirnya Pancasila. Pada tanggal
tersebut, prinsip lima dasar negara dikemukakan. Prinsip itu dinamakan Pancasila dan
sejak saat itu, jumlahnya tidak akan pernah berubah.

Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila


Negara Indonesia memiliki landasan moralitas dan haluan kebangsaan yang jelas
dan visioner. Suatu pangkal tolak dan tujuan pengharapan yang penting bagi
keberlangsungan dan kejayaan bangsa. Sebagai basis moralitas bangsa, pokok
kebangsaan menurut alam Pancasila dapat dijabarkan sebagai berikut.
Pertama, nilai ketuhanan sebagai sumber etika dan spiritualitas dianggap penting
dalam fondasi kehidupan bangsa. Indonesia bukanlah negara sekuler yang memisahkan
kepentingan agama dan negara. Pancasila diharapkan dapat melindungi serta
mengembangkan kehidupan beragama. Namun juga dapat mengembangkan politiknya
secara independen, bebas dari doktrin agama tertentu.
Kedua, nilai kemanusiaan yang bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam, dan
sifat sosial manusia dianggap penting sebagai fondasi etika politik kehidupan
bernegara. Dalam bidang eksternal, Indonesia turut melaksanakan perdamaian dunia.
Pada bidang internalnya, Indonesia harus menjamin hak-hak warga negaranya.
Ketiga, aktualisasi nilai-nilai etis kemanusiaan itu terlebih dahulu harus
mengakar kuat dalam llingkungan pergaulan kebangsaan yang lebih dekat sebelum
menjangkau pergaulan dunia yang lebih jauh. Persatuan dari kebhinnekaan dikelola
berdasarkan konsepsi yang mengekspresikan persatuan dalam keberagaman.
Keempat, nila-nilai sebelumnya itu harus menjunjung tinggi kedaulatan rakyat
dalam semangat permusyawaratan. Dalam musyawarah mufakat, keputusan tidak
hanya berdasar pada kepentingan tertentu, namun dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dari Konsensus bersama.
Kelima, semua nilai di atas harus dapat mewujudkan keadilan sosial. Keadilan
sosial meliputi pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani, pemenuhan hak dan
kewajiban, dan peran manusia.
Para pendiri bangsa ini telah mewariskan kepada kita suatu dasar falsafah dan
pandangan hidup negara—yang menjiwai penyusunan UUD—yang begitu visioner
dan tahan banting. Permasalahannya adalah bagaimana memperdalam pemahaman,
penghayatan, dan kepercayaan akan keutamaan nilai-nilai yang terkandung pada
setiap sila Pansila dan kesalingketerkaitannya satu sama lain, untuk kemudian
diamalkan secara konsisten disegala lapis dan bidang kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Dalam hal ini diperlukan proses radikalisasi Pancasila. Radikalisasi dalam arti
ini adalah revolusi gagasan, demi membuat Pansila tegar, efektif, dan menjadi
petunjuk bagaimana negara ini ditata-kelola dengan benar. Proses radikalisasi ini
dimaksudkan untuk membuat Pancasila menjadi lebih operasional dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara sehingga dapat memenuhi kebutuhan pragmatis yang
bersifat fungsional.

Anda mungkin juga menyukai