Zaman Kemerdekaan
Pada zaman ini adalah masa perumusan dasar negara Indonesia. Pancasila
mulai dirintis sejak berdirinya BPUPKI (Badan Pengawas dan Penyelidik Usaha
Kemerdekaan) pada tanggal 29 april 1945 ini adalah lembaga bentukan Jepang.
Jepang berusaha menarik simpati pemuda Indonesia untuk memobilisir tentara untuk
mendukung perang untuk kemenangan Asia Timur Raya. Dengan motif ini, Jepang
memberikan janji kemerdekaan Indonesia di masa depan. Dengan dasar itu juga
maka BPUPKI berdiri. BPUPKI berjumlah 69 orang. Sebagai lembaga penyelidik,
BPUPKI yang awalnya hanya menyelidiki kondisi yang memungkinkan untuk meraih
kemerdekaan, malah justru sudah merumuskan dasar negara. Hal ini sudah menerobos
batasan prosedur yang digariskan jepang.
Pada sidang BPUPKI pertama tanggal 29 mei 1945, Dr. Radjiman
Wediodiningrat, selaku ketua, meminta dan sekaligus menantang kepada sidang untuk
mencari dan mengemukakan dasar (negara) Indonesia merdeka. Dalam sidang
pertama ini (29 mei 1945-1 Juni 1945), beberapa anggota muncul menyampaikan
gagasannya seputar dasar negara untuk Indonesia merdeka nanti, mulai dari
Muhammad yamin, wiranata koesoema, Soerio, Suranto tirtoprodjo, Dasaad, Agoes
Salim, Andoel Rachiem Pratalykama, Abdul Kadir, K.H. Sanoesi, Ki Bagus
Hadikoesoema, Soepomo, dan Moehammad Hatta. Usul para anggota sidang ini
kebanyakan masih bersifat serabutan dan belum dirumuskan secara sistematis. Dari
usul-usul tersebut, Muhammad Yamin salah satu dari sekian tokoh yang memberikan
usul yang lebih terstruktur, yaitu
Selain itu Muhammad Yamin juga mengajukan usul secara tertulis yang juga
terdiri atas lima hal, yaitu:
1.
Ketuhanan Yang Maha Esa
2.
Persatuan Indonesia
3.
Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
4.
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5.
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Selain itu, usul yang sedikit lebih sistematis juga dikemukakan oleh Soepomo.
Ia mengemukakan pentingnya prinsip-prinsip:
1. Ketuhanan
2. Kemanusian
3. Persatuan
4. Permusyarawatan
5.
Keadilan/kesejahteraan
Lalu Ir. Soekarno mengemukakan Lima dasar dalam pidatonya tanggal 1 Juni
1945 yaitu :
1. Kebangsaan Indonesia
2. Perikemanusiaan/Internasionalisme
3. Mufakat/Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan yang berkebudayaan
Usulan-usulan tersebut masih bersifat pribadi. Untuk menjadi sebuah dasar
negara harus mendapat persetujuan dari anggota BPUPKI. Pada sidang sepakat untuk
membuat panitia kecil yaitu panitia Sembilan untuk merumuskan Mukadimah Hukum
Dasar yang dikenal dengan Piagam Jakarta yaitu :
1.
Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
2.
Kemanusiaan yang adil beradab
3.
Persatuan Indonesia
4.
Kerakayatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan
5.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Pada tanggal 9 Agustus dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI). Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu,
dan sejak saat itu Indonesia kosong dari kekuasaan. Keadaan tersebut dimanfaatkan
dengan sebaik-baiknya oleh para pemimpin bangsa Indonesia, yaitu dengan
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945. Sehari
setelah proklamasi kemerdekaan PPKI mengadakan sidang, dengan acara utama (1)
mengesahkan rancangan Hukum Dasar dengan preambulnya (Pembukaannya) dan (2)
memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Pengesahan Rancangan Pembukaan UUD (Piagam Jakarta) yang telah
disetujui akhirnya dibawa ke rapat PPKI. Namun Bung Hatta mengusulkan adanya
penanggalan tujuh kata dalam keputusan sebelumnya. Akhirnya setelah beberapa
tokoh berhasil dibujuk oleh Bung Hatta maka tercipta lah pembukaan UUD dan
Pancasila yang seperti sekarang.
Zaman Reformasi
Di era reformasi, Pancasila seakan tidak memiliki kekuatan yang berpengaruh
pada Bangsa Indonesia. Pancasila memang sedang kehilangan legitimasi. Hal itu
dikarenakan oleh Rejim Orde Baru menempatkan Pancasila sebagai alat kekuasaan
yang otoriter. Terjadi fobia terhadap apa saja yang berbau Orde Baru termasuk
Pancasila. Tetapi meski terjadi fobia Pancasila, Pancasila tetap menjadi sumber
hokum yang ditetapkan dalam ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 Pasal 2 ayat (3).
Cara deduktif yaitu dengan mencari hakikat Pancasila serta menganalisis dan
menyusunnya secara sistematis.
Cara induktif yaitu dengan mengamati gejala-gejala sosial budaya masyarakat,
merefleksikannya, dan menarik arti dan makna dari gejala-gejala itu.
Beberapa Pandangan Tokoh Mengenai Filsafat Pancasila
1) Kartohardiprodjo:
Pancasila adalah filsafat bangsa Indonesia dalam arti pandangan dunia. Sebagai
suatu pandangan dunia, filsafat Pancasila itu bersistem dan sila-sila Pancasila kait
mengkait secara bulat dan utuh.
2) Notonagoro:
Pancasila merupakan azas pandangan dunia, suatu azas pandangan hidup, buah hasil
perenungan jiwa yang mendalam, buah hasil penelaahan cipta yang teratur dan
seksama di atas basis pengetahuan dan pengalaman hidup yang luas dan mendalam.
3) N. Drijarkara:
Pancasila itu inheren pada eksistensi manusia yang tidak terlepas dari keadaan konkrit
tertentu
Sebagai suatu sistem filsafat, Pancasila memenuhi syarat-syarat pula, yaitu ditinjau dari
segi :
i. Ontologi/Metafisika : adanya kepercayaan dan ketaqwaan bangsa
Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa; hal ini berhubungan dengan
sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Filsafat manusia (Anthropologi) : berhubungan dengan sila Kemanusiaan
yang adil dan beradab.
Filsafat Nilai atau Aksiologi (Logika, Etika, Estetika): berhubungan
dengan sila Persatuan Indonesia; hal ini menyangkut masalah kebenaran
(logika), kebaikan (etika), dan keindahan (estetika).
Filsafat Sosial : berhubungan dengan sila Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan juga dengan
sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kesatuan Sila-Sila
Kalau dilihat dari urutan sila-silanya, dari sila pertama hingga kelima, susunan
sila-sila Pancasila tersebut adalah hirarkis dan berbentuk Piramidal, atau dapat
disingkat Hirarkis-Piramidal. Hal ini berarti sila-sila Pancasila memiliki urut-urutan
berjenjang, yakni sila yang ada di atas menjadi landasan bagi sila-sila di bawahnya.
Yakni sila pertama melandasi sila kedua, sila kedua melandasi sila ketiga, sila ketiga
melandasi sila keempat, dan sila keempat melandasi sila kelima.
Dalam penafsiran seperti ini, yakni susunan hirarkis-piramidal, Ketuhanan yang
maha esa menjadi basis kemanusiaan, persatuan indonesia, kerakyatan dan keadilan
sosial. Sebaliknya ketuhanan yang maha esa adalah ketuhanan yang berkemanusiaan,
yang membangun persatuan indonesia, yang berkerakyatan dan berkeadilan sosial
(Kaelan, 2002: 68).
Dasar Ontologis Pancasila
Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia yang memiliki hakikat
mutlak mono-pluralis. Yakni Manusia Indonesia menjadi dasar adanya Pancasila. Manusia
Indonesia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal
yang mutlak yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga/jasmani dan rohani, sifat kodrat
manusia sebagai makhluk individu dan sosial, serta kedudukan kodrat manusia sebagai
makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa (Kaelan,
2002:72).
Dasar Epistemologis Pancasila
Dasar epitemologis Pancasila pada hakikatnya tidak bisa dipisahkan dengan dasar
ontologisnya, yakni hakikat manusia indonesia sebagai subjek yang mengadakan
Fungsi Ideologi
a) Struktur Kognitif, keseluruhan pengetahuan yang dapat merupakan landasan untuk
memahami dan menafsirkan
b) Orientasi dasar dengan membuka wawasan yang memberikan makna serta
menunjukkan tujuan dalam kehidupan manusia
c) Norma-norma yang menjadi pedoman dan pegangan bagi seseorang untuk
melangkah dan bertindak
d) Bekal dan jalan bagi seseorang untuk menemukan identitasnya
e) Kekuatan yang mampu menyemangati dan mendorong seseorang untuk menjalankan
kegiatan dan mencapai tujuan
Sebagai suatu ideologi yang bersifat terbuka maka Pancasila mempunyai dimensi
sebagai berikut (Kaelan, 2002: 57-58):
1. Dimensi idealistis, yaitu nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila yang
bersifat sistematis dan rasional yaitu hakikat nilai-nilai yang terkandung dalam lima
sila Pancasila.
2. Dimensi normatif, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila perlu dijabarkan
dalam suatu sistem norma.
3. Dimensi realistis, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila harus mampu
mencerminkan realitas masyatakat Indonesia itu sendiri.
Oleh karena itu dasar negara adalah serangkaian nilai yang digali dari dan tumbuh
berkembang dalam masyarakat Indonesia sendiri sejak berabad yang lalu, yang
memuat gagasan tentang cita negara (staatsidee) dan cita hukum (rechtsidee)
kata etika berasal dari bahasa Yunani thos yang berarti adat/kebiasaan, kebiasaan
cara bertindak dan karakter. Kesimpulannya etika adalah ilmu berpikir secara rasional
dalam bertingkah laku sehingga bisa mempertanggung jawabkan tindakan yang
dilakukannya.
Kesimpulannya etika adalah ilmu berpikir secara rasional dalam bertingkah laku
sehingga bisa mempertanggung jawabkan tindakan yang dilakukannya. Moral adalah
ajaran tentang apa yang dilarang dan apa yang wajib dilakukan oleh manusia supaya
bisa menjadi baik
Berikut ini beberapa hubungan kritis antara etika dan agama:
Agama dan etika sama-sama meletakkan dasar moral;
Sifat dogmatis agama dapat diantisipasi dengan sikap kritis dalam etika;
Sementara etika dapat membantu menafsirkan agama yang cenderung statis;
Agama dapat mengkoreksi kecenderungan etika yang bebas, meskipun
meletakkan hati nurani sebagai pijakan dasar
(Magnis Suseno, 2003).
Hubungan antara etika dan agama digambarkan berikut ini:
Berikut ini perbedaan dan kaitan antara etika dan hukum:
1. Pertama, penilaian hukum lebih terfokus pada kodifikasi (berdasarkan pasalpasal atau ayat-ayat), sedangkan etika lebih melihat dimensi moralitas atau
subjektif.
2. Kedua, penilaian hukum lebih membatasi diri pada aspek lahiriah, yakni ketaatan
seseorang terhadap seperangkat peraturan, sedangkan penilaian etika mengarah
pada dimensi batiniah seseorang.
3. Ketiga, hukum didasarkan pada kehendak masyarakat dan negara, sedangkan
penilaian moral didasarkan pada norma yang melebihi negara, yakni harkat dan
martabat manusia.
4. Keempat, sanksi jelas
5. Kelima, norma hukum menciptakan sikap legalisme dalam arti ketaatan
seseorang terhadap sejumlah peraturan secara membabi buta (heteronom),
sedangkan etika menekankan sifat otonom dalam arti kesadaran dari dalam diri
(K. Bertens, 2007: 43-45).
Jenis-Jenis Norma
Norma dibagi menjadi dua yaitu Norma Khusus dan Norma Umum, Norma
khusus adalah norma-norma yang hanya berlaku dalam lingkungan terbatas
Dan Norma yang bersifat umum ada 3:
1. Norma sopan-santun: norma yang menyangkut sikap lahiriah manusia
2. Norma Hukum: Adalah norma yang dituntut dengan tegas oleh masyarakat
karena dianggap perlu demi keselamatan dan kesejahteraan umum (Bonum
Comune).
3. Norma moral: adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur
kebaikan seseorang.
Aliran-Aliran Etika
Etika Deontologis, adalah suatu aliran dalam etika, yang tidak menggantungkan
kewajiban secara keseluruhan pada teori nilai, tetapi menganggapnya bahwa
suatu tindakan atau perbuatan itu betul, tanpa adanya pertimbangan apakah ada
kebaikan pada suatu hal (Dagobart D. Runes, 1971: 76).
Etika Teleologi, adalah ajaran yang menerangkan segala sesuatu dan segala
kejadian menuju pada tujuan tertentu.
Etika keutamaan, teori etika yang berpendapat bahwa filsafat moral tidak
pertama-tama berurusan dengan benar atau salahnya tindakan manusia menurut
norma-norma atau prinsip-prinsip moral tertentu, melainkan dengan baik-burukya
kelakuan atau watak manusia.
Etika Pancasila, Etika Pancasila mengharuskan manusia Indonesia bertindak dan
berperilaku dalam bingkai nilai kemanusiaan, ketuhanan, kekeluargaan,
permusyawaratan secara bijak, hingga mencapai keadilan
Oktober 1928. Manifesto Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa ini menjadi
tonggak persatuan Indonesia.
Secara konstitusional, bentuk realisasi Persatuan Indonesia tercantum dalam
UUD 1945, yakni pasal 26 tentang warga negara, pasal 31-32 tentang pendidikan dan
kebudayaan nasioanal Indonesia, pasal 35-36 tentang bendera Negara Indonesia,
bahasa negara Indonesia, lambang negara dan lagu kebangsaan
Materi Bab XI Pancasila Sebagai SIstem Etika : Etika Demokrasi dan Keadilan
a. Demokrasi Permusyawaratan
Demokrasi asli Indonesia ini dalam istilah Notonegoro disebut demokrasi
monodualis, yakni bukan demokrasi perseorang atau liberal, bukan pula demokrasi
kelompok atau golongan. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam
Permusyawaratan
/Perwakilan
mempunyai
tiga
unsur,
yakni,
permusyawaratan/perwakilan, kedaulatan rakyat dan kerakyatan. Cita-cita besar
dalam asas permusyawaratan mengandung arti demokrasi politik dan demokrasi
sosial/ekonomi. Setelah memahami permusyawaratan merupakan demokrasi yang
menekankan pada dialog-konsesus, maka sesungguhnya demokrasi tersebut diarahkan
untuk mencapai cita-cita politik (kedaulatan rakyat).
b. Pengertian Kerakyatan atau Civil Society
Pengertian nilai kerakyatan mengacu ke gagasan Bung Hatta dalam pidatonya di India
tahun 1955, ia menyatakan bahwa demokrasi bukanlah berupa system parlementer,
pelaksanaan pemilu dalam jangka waktu tertentu, dan membuang system pemerintahan
yang demokratis.
Prinsip masyarakat demokrasi berpijak pada nilai yang terkandung dalam
konsep masyarakat sipil. Nilai-nilai itu, menurut Bung Hatta adalah:
1. Kemandirian dan tanggung jawab individu
2. Keterlibatan atau partisipasi dalam masyarakat
3. Hubungan kooperatif antarindividu yang mandiri dalam masyarakat (Andreas, dkk,
2012: 191)
Etika Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
a.
Makna dan Hakikat Keadilan
Keadilan pada umumnya dipahami sebagai kondisi di mana setiap orang
memperoleh apa yang menjadi haknya,
Secara umum, ada beberapa makna keadilan, di antaranya sebagai beriku:
1. Kelayakan atau kepantasan
2. Perlakuan yang tepat
3. Sikap tidak memihak dalam penerapan asas kebenaran
4. Perwujudan kebajikan atau cita-cita dan nilai dari suatu masyarakat
5. Penciptaan keselarasan antara hak seseorang dengan hak orang lain
ini pancasila mampu berperan memberikan beberapa prinsip etis pada teknologi sebagai
berikut.
1. Martabat manusia sebagai subjek, tidak boleh diperalat oleh teknologi.
2. Harus dihindari kerusakan yang mengancam kemanusiaan.
3. teknologi harus sedapat mungkin membantu manusia melepaskan kesulitan-kesulitan
hidupnya.
4. Harus dihindari adanya monopoli teknologi.
5. Harus ada kesamaan pemahaman antara ilmuwan dan agamawan. Bahwa iman dalam
agama harus memancar dalam ilmu dan ilmu menerangi jalan yang telah ditunjukkan
oleh iman. Hal ini sesuai dengan ucapan Einstein, yaitu without religion is blind,
religion science is lame (ilmu tanpa agama adala buta, agama tanpa ilmu adalah
lumpuh).
Disusun oleh :
Dwi Achmad Satrio
NIM 135060200111050