Anda di halaman 1dari 52

BAB IV

PEMIKIRAN POLITIK HAMKA


TENTANG DASAR NEGARA

Bab ini menguraikan pemikiran politik Hamka tentang dasar negara, yang
meliputi: Pertama, sejarah perdebatan dasar negara di Indonesia, yaitu dengan
menjelaskan riwayat perdebatan antara kelompok nasionalis sekuler dan nasionalis
Islam. Perdebatan terjadi sebelum dan sesudah Indonesia merdeka, sedangkan Hamka
terlibat dalam perdebatan di Dewan Konstituante 1956-1959 di Bandung. Kedua,
pandangan Hamka mengenai Islam diperjuangkan sebagai dasar negara dalam sidang
Dewan Konstituante. Ketiga, pandangan Hamka tentang Pancasila sebagai dasar Negara
dengan memberi label istilah “Urat Tunggang Pancasila”, yaitu sila Ketuhanan Yang
Maha Esa sebagai pokok pangkal dari seluruh sila dalam Pancasila.
4.1 Perdebatan Ideologis Dasar Negara di Indonesia24
Perdebatan antara kubu nasionalis sekuler dan nasionalis Islam sudah terjadi
sejak masa sebelum kemerdekaan, satu contohnya adalah perdebatan Soekarno dengan
Mohammad Natsir pada tahun 1930 sampai 1942. Menurut Suhelmi, keinginan Natsir
mendirikan negara nasional berdasarkan Islam karena Natsir merupakan seorang
demokrat sejati. Dalam pandangan Natsir, dengan jumlah umat islam yang mencapai 80
persen maka sudah sewajarnya mengingikan negara Indonesia sebagai negara islam.
Namun dalam hal ini, soekarno berbeda pemikiran dengan Natsir, Soekarno
memandang bahwa yang terbesar dianut oleh orang Indonesia adalah animisme dan
dinamisme, sementara agama Islam hanyalah sedikit jumlah pemeluknya.25
Perdebatan Soekarno pun berlanjut dengan tokoh-tokoh Islam lain, yaitu Haji
Agus Salim dan Ahmad Hassan. Soekarno saat berdebat dengan Salim jelas-jelas
menginginkan nasionalisme sekuler setelah Indonesia merdeka nanti. Sementara itu,
Agus Salim menolak pendapat Soekarno karena khawatir terjatuh pada chauvinism atau

24
Menjelang paruh kedua abad-20, isu Nasionalisme sama menantangnya dengan Komunisme. Kaum
Muslimin terbelah menjadi dua kelompok utama, yang secara garis besar dinamai “nasionalis” dan
“Islamis”. Paling tidak terjadi tiga perdebatan tentang Islam dan Nasionalisme pada 1925,1930, dan 1939-
1940. Kelompok nasionalis diwakili oleh Soekarno, sementara kelompok Islamis diwakili oleh tiga
pemimpin karismatik: Agus Salim, A.Hassan, dan Mohammad Natsir. Ketiga tokoh Islam ini punya
argumentasi berbeda untuk menolak gagasan Nasionalisme. Lihat, Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam
Utopia, Jakarta: Freedom Institute, 2011, hal……
25
Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam: Soekarno vs Natsir. Jakarta: UI Press, 2012, hal. 8

144
145

ultra nasionalisme. Agus Salim lebih menginginkan nasionalisme Islam, karena lebih
bersifat universal.26 Sementara itu, perdebatan Soekarno dengan Ahmad Hassan, tema 27
debat mereka adalah pernyataan, hubbu al-watanu min al-iman “Cinta tanah air adalah
sebagian dari iman”.28 Menurut Soekarno, itu hadits dan sebagai konsekuensinya umat
Islam harus melaksanakan itu, sedangkan menurut Hassan itu hadits palsu walaupun
begitu untuk membangkitkan semangat rakyat Indonesia maka perkataan tersebut dapat
dipakai.
Perdebatan tidak hanya terjadi antara kubu Islam dengan kubu sekuler sebab
juga terjadi dalam ormas Islam, yaitu Syarikat Islam. Syarikat Islam mengalami
perpecahan menjadi dua yaitu Syarikat Islam (SI) Pusat dengan SI Semarang. SI Pusat
mencita-citakan Negara Islam Indonesia dengan ekonomi yang kuat ditandai dengan
kuatnya pengusaha pribumi. Jiwa zaman pribumi saat itu adalah Islam. Hal ini sangat
ditentang oleh SI Semarang yang ingin Negara Indonesia dengan masyarakat tanpa
kelas dan tidak ada kapitalisme. Pengusaha termasuk pengusaha pribumi menurut
mereka adalah kapitalis, dan kapitalis adalah jahat. Akhirnya dari tesis SI Pusat lalu ada
antithesis SI Semarang dicapailah sintesis dalam kongres Central Sarekat Islam (CSI)
ke-2, yaitu Indonesia yang dicita-citakan adalah Negara Islam Indonesia yang
memerangi kapitalisme yang jahat (berarti dalam pandangan mereka ada juga
kapitalisme yang baik).
Perdebatan ideologis kemudian juga terjadi di BPUPKI dan PPKI. BPUPKI
singkatan dari Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Badan ini dibentuk oleh Jepang pada tanggal 7 Desember 1944. BPUPKI ini dibentuk
karena keadaan Jepang yang semakin mundur, mereka berusaha mengerahkan
partisipasi bangsa Indonesia untuk membantu Jepang dengan berbagai bujukan. Setelah
berjanji Indonesia akan dimerdekakan namun tidak jelas kapan janji itu akan
direalisasikan, maka Jepang membentuk BPUPKI ini sebagai iming-iming selanjutnya.
Risalah tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 memuat secara detil mengenai

26
Yudi Latif, Negara Paripurna Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: Gramedia
Pustaka, 2012, hal. 68.
27
Masyarakat Islam pada hakikatnya bersifat demokratis, dari demokrasi diajarkan prinsip-prinsip
perwakilan dan kesamaan sosial dan hak-hak sipil kepada setiap orang, dengan tidak membedakan
kebangsaan dan agama. Lihat, Herbert Feith dan Lance Castles (ed), Pemikiran Politik Indonesia 1945-
1965, 1988, Jakarta: LP3ES, 1988, hal. 220.
28
Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah 2, Bandung: Salamandani PT Grafindo Media Pratama. 2014,
hal 493.

Universitas Indonesia
146

perdebatan tentang aspirasi Pancasila atau Islam dijadikan dasar negara. Pada tanggal 1
Juni 1945 Soekarno berpidato yang terkenal sebagai peristiwa lahirnya Pancasila.
Setelah BPUPKI dibubarkan diganti PPKI,29 lahirlah Piagam Jakarta yang rencananya
akan jadi teks proklamasi kemerdekaan Indonesia (Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI,
29 Mei-22 Agustus 1945, 1998).30 Piagam Jakarta atau Jakarta Charter lahir dari
perdebatan yang keras, sengit, panjang dan berlarut-larut. Ini merupakan kesepakatan
bulat. Piagam Jakarta disepakati 22 Juni 1945, sila pertamanya yang terkenal yaitu
“Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Tugas utama dari BPUPKI adalah mempelajari dan menyelidiki hal-hal yang
berkaitan dengan aspek-aspek politik, ekonomi, tata pemerintahan, dan hal-hal yang
diperlukan dalam usaha pembentukan negara Indonesia merdeka, seperti yang sudah
dijanjikan oleh pemerintahan Jepang pada awal pembentukan BPUPKI ini. BPUPKI
beranggotakan 67 orang yang diketuai oleh Dr. Radjiman Wedyodiningrat dengan wakil
ketua Ichibangase Yosio (orang Jepang).
Pada sidang pertama yang diadakan pada tanggal 29 Mei 1945-1 Juni 1945, para
anggota BPUPKI ditantang oleh Dr. Radjiman Wedyodiningrat untuk mengemukakan
dasar negara untuk Indonesia merdeka kelak. Tantangan ini pun disambut baik oleh
beberapa anggota yang mengemukakan pendapat mereka tentang dasar negara
Indonesia kelak31, diantaranya adalah :
I. Mr. Muhammad Yamin, Pada sidang tanggal 29 Mei 1945 mengemukakan tentang
dasar negara,32 yaitu:
1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri Kerakyatan

29
BPUPKI dan PPKI adalah lembaga yang sangat penting dalam pembentukan dasar negara dan bangsa
Indonesia. Dari kedua lembaga itulah Pancasila lahir dan ditetapkan sebagai dasar negara. Selain
Pancasila, UUD 19945 dan Presiden pertama pun ditetapkan pada sidang PPKI. Dan tidak heran bahwa
kedua lembaga ini dianggap sebagai lembaga yang paling berjasa untuk awal berdirinya negara Indonesia.
30
Dalam Risalah Sidang BPUPKI bersidang 29 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, lihat Risalah Sidang Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) & Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI), Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998.
31
lihat Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) &
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998.
32
lihat Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) &
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998.,
hal.11-12

Universitas Indonesia
147

5. Kesejahteraan Rakyat
Selain itu Muhammad Yamin juga mengajukan usul secara tertulis yang juga terdiri
atas lima hal, yaitu :33
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Persatuan Indonesia
3. Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/
Perwakilan.
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

II. Mr. Dr. Soepomo, Pada sidang tanggal 31 Mei 1945 mengemukakan pendapatnya
tentang dasar negara, yaitu :34
1. Persatuan
2. Kekeluargaan
3. Mufakat dan Demokrasi
4. Musyawarah
5. Keadilan Sosial

III. Ir. Soekarno , Pada sidang 1 Juni 1945 mengemukakan pendapatnya tentang dasar
negara, yaitu :35
1. Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia)
2. Internasionalisme (Perikemanusiaan)
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan yang Berkebudayaan
Kelima hal ini oleh Bung Karno diberi nama Pancasila. Lebih lanjut Bung Karno
mengemukakan bahwa kelima sila tersebut dapat diperas menjadi Trisila, yaitu:
33
lihat Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) &
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998.
hal. 32
34
lihat Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) &
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998.
hal. 50-64
35
lihat Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) &
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998.
hal. 84-105

Universitas Indonesia
148

1. Sosio nasionalisme
2. Sosio Demokrasi
3. Ketuhanan Yang Berkebudayaan
Trisila menurutnya juga dapat diperas menjadi Ekasila yaitu Gotong Royong.
Dalam pidato pengukuhan sebagai Doktor Honoris Causa di Universitas Gajah
Mada, Bung Karno menyatakan bahwa beliau hanyalah sebagai perumus dan bukan
pencipta Pancasila. Sebab, Pancasila telah ribuan tahun terkandung dalam hati rakyat
Indonesia. Pancasila itu telah lama tergurat pada jiwa bangsa Indonesia. Pancasila
adalah corak dan karakter bangsa Indonesia. Pancasila tidak lepas dari eksistensi
manusia Indonesia.36
Anggota-Anggota dari BPUPKI yang berada di Jakarta kembali berkumpul
dengan tujuan dapat merumuskan pendapat-pendapat yang sudah dikemukakan orang
para anggota BPUPKI pada sidang pertama yang berjalan selama empat hari tersebut.
Mereka sepakat untuk membentuk panitia kecil yang beranggotakan sembila orang,
yang sampai saat ini di kenal dengan Panitia Sembilan,mereka adalah :
1. Ir. Soekarno (ketua)
2. Drs. Mohammad Hatta (wakil ketua)
3. Mr. Achmad Soebardjo (anggota)
4. Mr. Muhammad Yamin (anggota)
5. KH. Wachid Hasyim (anggota)
6. Abdul Kahar Muzakir (anggota)
7. Abikoesno Tjokrosoejoso (anggota)
8. H. Agus Salim (anggota)
9. Mr. A.A. Maramis (anggota)
Setelah melakukan kompromi mereka sepakat di negara baru nanti seluruh orang
Islam berkewajiban untuk menjalankan syariat-syariat Islam. Maka dari itu pada tanggal
22 Juni 1945 Panitia Sembilan menghasilkan rumusan dasar negara yang dikenal
dengan Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang berisikan :
1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
36
SubiaktoTjakrawerdaja dan Soenarto Soedarno, Sebuah Risalah Demokrasi Pancasila. Jakarta:
Universitas Trilogi Jakarta. 2016, Op cit ., hal. 3.

Universitas Indonesia
149

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan


perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Piagam Jakarta inilah yang menjadi cikal bakal Pembukaan UUD 1945 dengan
perubahan pada sila pertama yang berdasarkan pada berbagai pertimbangan mengenai
sebuah negara kesatuan. Pembahasan lebih lanjut sebenarnya akan dilakukan dalam
sidang kedua BPUPKI. Pada sidang kedua ini membahas masukan-masukan yang sudah
dibahas pada sidang yang pertama. Namun pada sidang kedua ini yang dilangsungkan
pada tanggal 10 Juli 1945 – 17 Juli 1945 ada pembentukan komisi-komisi dengan tujuan
mendiskusikan hal-hal penting untuk berjalannya pada negara baru kelak. Ada pun
komisi yang dibentuk yaitu Panitia Perancangan UUD, Panitia Rancangan tentang
Pembelaan Negara, Pantia Rancangan Keuangan dan Ekonomi, Panitia tentang
Pernyataan Kemerdekaan.
Tugas-tugas yang sudah dilaksanakan oleh BPUPKI kemudian dilanjutkan oleh
PPKI. (Dokuritsu Junbi Iinkai) PPKI adalah singkatan dari Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia yang diketuai oleh Soekarno dan Wakil Ketua Muhammad
Hatta. Tugas PPKI adalah mendiskusikan tentang dasar negara dan segala sesuatunya
yang berkaitan dengan persiapan kemerdekaan Indonesia. Sehingga PPKI dianggap
paling berjasa tentang mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Dasar negara yang
selanjutnya akan dikukuhkan sebagai UUD negara Indonesia. Pembentukan PPKI ini
pun dilakukan 7 hari sebelum Jepang bertekuk lutut pada sekutu.
PPKI menyetujui seutuhnya rancangan pembukaan UUD yang disusun oleh
anggota-anggotanya: Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Ahmad Soebardjo, AA
Maramis, Abdul Kahar Muzakkir, KH. Wahid Hasyim, Soekarno, Abikoesno
Tjokrosoejoso, dan Haji Agus Salim. Karena rancangan pembukaan UUD itu
ditandatangani oleh Sembilan orang tadi di Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945.
Pembukaan itu disebut Piagam Jakarta, nama yang diperkenalkan pertama kali oleh
Muhammad Yamin.
Tanggal 11 Juli 1945 Latuharhary menyatakan keberatannya terhadap Pancasila,
lalu dibantah Agus Salim. Soekarno kemudian menengahi dan mengingatkan, “Piagam
ini sudah hasil kesepakatan bulat dan resmi.” Pada tanggal 14 Juli 1945 Ki Bagus
Hadikusumo keberatan dengan piagam Jakarta dan ingin menjadikannya lebih Islami

Universitas Indonesia
150

lagi. Soekarno kembali mengingatkan bahwa Piagam Jakarta sudah merupakan


kesepakatan bulat antara golongan nasionalis dengan golongan Islam.
Rumusan dasar negara akan diambil dari Piagam Jakarta dan sudah disetujui
secara aklamasi, namun saat akan di tetapkan oleh PPKI sila pertamanya mengalami
permasalahan dari rakyat-rakyat di bagian timur Indonesia. Muhammad Hatta menerima
telpon dari tuan Nishijima bahwa tokoh-tokoh rakyat dari Indonesia timur keberatan
pada kalimat yang berbunyi “Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya”. Pada kalimat tersebut mereka menganggap itu tidak mengikat mereka
dalam dasar negara, karena kalimat itu hanya ditujukan pada umat Islam bukan untuk
umat beragama lainnya. Mereka merasa bahwa ketetapan seperti itu dalam suatu dasar
negara berarti mendiskriminasikan mereka yang kaum minoritas. Jadi jika kalimat itu
tetap dicantumkan dalam dasar negara, maka mereka memilih berdiri diluar dari
Republik Indonesia.37
Mohammad Hatta kemudian meminta Kasman Singodimejo untuk melobi Ki
Bagus Hadikusumo yang masih keras bertahan untuk tidak menghapuskan tujuh kata
itu. Akhirnya tokoh Islam setuju, tokoh Islam itu dapat memahami perubahan yang ada
demi kepentingan bangsa dan negara. Sila pertama tersebut diubah dengan kalimat
“Ketuhanan yang Maha Esa”, dan saat Pancasila ini dibacakan sebagai dasar negara
para tokoh-tokoh Islam lainnya kaget akan perubahan ini. Mereka menganggap
perubahan ini sebagai kekalahan politik wakil-wakil umat Islam. Soekarno dianggap
mementingkan golongan minoritas dibandingkan golongan mayoritas. Bagi sebagian
pengamat sejarah, Muhammad Hatta, Ki Bagus Hadikusumo, dan Kasman
Singodimedjo, telah mengkhianati Piagam Jakarta, yang disebut Soekarno sebagai
kesepakatan bulat hasil perdebatan sengit, lama, keras, antara golongan Islam dan
golongan nasionalis. Sebuah sidang resmi yang menghasilkan kesepakatan dengan
susah payah dihapus hanya oleh lobi, suatu peristiwa yang sangat ironis. Karena
ketidakpuasan atas perubahan tadi banyak tokoh-tokoh Islam yang membuat kasus ini
menjadi masalah. Namun Soekarno mencoba berunding dan memberi pengertian pada
mereka semua.
37
Menjelang tanggal 18 Agustus 1945 Mohammad Hatta mengatakan bahwa ada perwira Jepang utusan
orang Indonesia Timur meminta tujuh kata dalam sila pertama Pancasila versi Piagam Jakarta dihapus.
Kalau tidak, orang Indonesia Timur akan memisahkan diri dari Indonesia. Yang mengherankan,
Mohammad Hatta lupa nama perwira Jepang itu. Padahal Hatta adalah seorang yang daya ingatnya sangat
kuat. Masa untuk persoalan yang sangat penting dan menentukan Hatta lupa. Jangan-jangan ini hanyalah
karangan Hatta belaka.

Universitas Indonesia
151

Walaupun pada awalnya banyak permasalahan atau pun perdebatan yang terjadi
pada perumusan Pancasila sebagai dasar negara, tetapi perdebatan itulah yang
menjadikan dasar negara Indonesia dapat menggambarkan seluruh rakyat Indonesia.
Perdebatan itu juga menjadikan Pancasila dapat di terima oleh seluruh tokoh-tokoh yang
pada awalnya tidak setuju perubahan yang terjadi pada Pancasila. Dan dari peristiwa ini
dapat menggambarkan kebesaran hati para tokoh-tokoh Islam dan umat Islam yang
berbesar hati menerima perubahan itu. Perubahan ini pun dapat dianggap sebagai hadiah
dari umat Islam kepada bangsa Indonesia untuk kemerdekaan Indonesia dan menjaga
persatuan NKRI.
Adapun perdebatan akhirnya berlanjut setelah pemilu 1955, yaitu di forum
Dewan Konstituante 1956-1959. Menurut Yusran (2001) dalam sidang Dewan
Konstituante, Hamka ikut menyampaikan pandangan yang intinya menyokong Dasar
negara Islam melalui Fraksi Masyumi.38 Akhir dari sidang adalah berujung pada
pembubaran Dewan Konstituante melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh Bung Karno,
diantara salah satu isinya adalah kembali pada UUD 1945. 39
Adanya perdebatan membuktikan bahwa beberapa pihak yang menginginkan
dasar negara yang diusulkan dapat di terima dan disepakati oleh pihak-pihak yang
lainnya. Perdebatan dasar negara ini dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka.
Persoalan dasar negara ketika berkaitan dengan agama menjadi sensitif karena kondisi
obyektif bangsa Indonesia yang plural dari segi suku, agama, ras dan golongan 40.
Dimulai dari perdebatan antara Ir. Soekarno dengan Muhamad Natsir yang saat itu
mempunyai pemikiran yang berbeda tentang dasar negara.41 Ketika itu polemik
pemikiran Ir. Soekarno yang berkeinginan memisahkan antara agama dan negara,
sedangkan Muhamad Natsir berkeinginan mendirikan negara nasional yang berdasarkan
Islam karena banyaknya penganut agama Islam di Indonesia. Perbedaan inilah yang
memulai perdebatan tentang dasar negara.

38
Yusran Hamka, Debat Dasar Negara Islam dan Pancasila Konstituante 1957, Jakarta: Pustaka
Panjimas. 2001.
39
Wawancara pribadi dengan H. Badruzzaman Busyairi, 22 Februari 2016 di Masjid Kampus Al Azhar
Sumarecon, Bekasi.
40
Valina Singka Subekti, Proses Perubahan (Amandemen) UUD 1945, Di MPR-RI, 1999 2002 Dalam
Transisi Demokrasi Di Indonesia, Jakarta : Fisip UI 2006, hal, 138-139
41
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara,
Masyarakat dan Kekuasaan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2011, hal. 63.

Universitas Indonesia
152

Pada awalnya kelompok nasionalis religius yaitu Muhamad Natsir dan para
pengikutnya sudah agak dilegakan dengan munculnya Piagam Jakarta yang memuat
penyatuan agama (Islam) dengan negara yang tertera dalam salah satu pointnya. Dan
rumusan Piagam Jakarta inilah yang sudah disepakati oleh seluruh wakil-wakil bangsa
Indonesia (Mereka adalah Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Ahmad Soebardjo,
AA Maramis, Abdul Kahar Muzakkir, KH. Wahid Hasyim, Soekarno, Abikoesno
Tjokrosoejoso, dan Haji Agus Salim) sebagai sila-sila yang akan tertera di Pancasila.
Namun pada saat akan dibacakan pada tanggal 18 Agustus 1945, Ir. Soekarno dipanggil
untuk menemui Laksamana Maeda. Saat itu Laksamana Maeda mengutarakan
kekhawatirannya tentang penyatuan agama yang tertera pada salah satu sila dirumusan
tersebut, karena Indonesia terdiri dari banyak agama didalamnya. Piagam Jakarta dalam
tempo yang sangat singkat rumusannya mengalami perubahan.42
Perdebatan ideologis yang terjadi di BPUPKI dan PPKI nantinya terus berlanjut
terutama pasca Indonesia perlu mendesain UUD sebagai respon terhadap hasil
Konferensi Meja Bundar. Indonesia pun membentuk Dewan Konstituante untuk
melaksanakan tugas merancang UUD yang baru. Dewan Konstituante kembali menjadi
arena perdebatan ideologis. Perdebatan ini dipicu oleh pidato Presiden Soekarno di
Amuntai, Kalimantan Selatan, 27 Januari 1953. Pidato inilah penyulut disintegrasi
bangsa, dikarenakan banyak reaksi. Soekarno mengatakan bahwa jangan sesekali
mendirikan Negara Islam karena akan menyakiti orang-orang non Islam. Kesalahan
Soekarno adalah, Pertama, sebagai pemimpin negara dan bangsa yang seharusnya tidak
berpihak, Soekarno berpihak. Hal ini dikuatkan oleh BJ. Boland – seorang pastor dari
Belanda dalam bukunya Pergumulan Islam di Indonesia dan Kedua, pembentukan
negara dengan ideologi apapun baik itu Komunis, Sosialis, Pancasila, atau Islam
dibolehkan dalam UUDS 1950 yang berlaku saat itu, asal memenuhi syarat. Hal ini
berlanjut terus dalam polemik di media massa dan kampanye-kampanye pemilu dari
tahun 1953-1955 dan dilanjutkan dengan perdebatan di forum Dewan Konstituante,
1956-1959.43

42
Deliar Noer, Islam Pancasila Dan Azas Tunggal, Jakarta: Paradigma Press.1984, hal. 148
43
Hamka berpendapat bahwa dalam perdebatan ideologis di Dewan Konstituante hasil pemilu 1955,
bertujuan untuk mempadukan gagasan dalam suasana yang bebas dari rasa takut dan tekanan. Semangat
yang dibangun adalah cinta tanah air dan kekeluargaan serta tidak bersempit paham dalam mendengar
pendapat yang berbeda antara yang mendukung Pancasila atau Islam sebagai dasar negara. Hamka
menegaskan pula payung panji demokrasi memberikan jalan kepada musyawarah dengan menyebutkan
yang terasa dan menyatakan apa yang teringat untuk sama-sama mencari yang benar. Bandung: Risalah

Universitas Indonesia
153

Perdebatan di Konstituante adalah antara yang membela Islam versus yang


membela Pancasila. Hal ini disebabkan karena pertentangan ideologi diantara mereka,
yaitu antara nasionalis, komunis, dan non Islam di satu pihak yang pro Pancasila dan
kelompok pro dasar negara Islam dipihak lain. Perbedaan pendapat diantara mereka ini
akhirnya membawa mereka ke dalam pengelompokkan pemikiran dalam sidang
Konstituante, yaitu; kelompok nasionalis sekuler dan kelompok Islam, bagi mereka,
mengajukan Islam sebagai dasar negara merupakan suatu usaha untuk membentuk
tatanan Negara yang dapat menjalankan ajaran-ajaran Islam dengan aman. Hal itulah
yang mendorong mereka berusaha keras untuk mewujudkan keinginan mereka. Usaha-
usaha mereka kandas karena soal teknis, karena suara mereka tidak mencapai 2/3 dari
suara yang disyaratkan untuk disetujui.
Perjuangan Islam sebagai dasar negara bagi kelompok nasionalis religius di
anggap secara bulat sebagai bagian dari ibadah, sedangkan pendukung Pancasila yang
terdiri atas kelompok nasionalis sekuler mereka masing-masing alasannya saling
berbeda untuk mempertahankan Pancasila dan menolak Islam sebagai dasar negara.
Selain Hatta dari Soekarno sampai Ruslan Abdul Gani sebagai kelompok Pancasila
tidak ada yang secara tegas menyatakan bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai
sumber etika dan moral sila lainnya dari Pancasila. Dengan demikian, bagi kelompok
Islam hal ini menjadikan Pancasila terkesan netral dan berbahaya, sehingga menjadi
alasan utama mengapa harus mengusulkan Islam sebagai dasar negara.44
Di konstituante, tokoh-tokoh Islam sengit menentang Pancasila dan mengajukan
Islam sebagai dasar negara. Pada pidato pertama dikonstituante 12 November 1957,
tokoh Masyumi Mohammad Natsir mengatakan, sejak dulu cita-cita politik Masyumi
adalah menjadikan Islam sebagai dasar negara. Natsir menyampaikan bahwa:
“Bukan semata-mata karena umat Islam golongan terbanyak dikalangan rakyat
Indonesia seluruhnya kami memajukan Islam sebagai dasar negara, tetapi
berdasarkan kepada keyakinan kami, ajaran-ajaran Islam yang mengenai
ketatanegaraan dan masyarakat dapat menjamin hidup keragaman atas saling
menghargai antara berbagai golongan di dalam negara,” terang Natsir. Dengan
bahasa yang indah, Natsir menggambarkan keinginan umat Islam, “kalau pun
Islam besar tidak akan melanda. Kalau pun tinggi malah melindungi”.45

Sidang Konstituante jilid. 3, 1956-1959, hal. 56.


44
Ahmad Syafi’I Ma’arif.. Islam dan Pancasila sebagai dasar dasar negara: studi tentang perdebatan
dalam konstituante. Jakarta: Penerbit Mizan & Ma’arif Insitute for Culture and humanity, 2017, hal 214.
45
Hamka. Antara Fakta dan Khayal: Tuanku Rao, Jakarta: Republika 2017, hal .64

Universitas Indonesia
154

Dalam pidato itu Natsir juga mengkritik Pancasila sebagai gagasan yang
bersumber dari hasil penggalian manusia, yang tidak bersumber pada agama. “Kalaupun
ada “Sila Ketuhanan”, sumbernya adalah sekular, laadiniyah, tanpa agama,” tegasnya.
Bagi umat Islam, ujar Natsir, menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, ibarat
melompat dari bumi tempat berpijak ke ruang hampa, vacuum, tak berhawa. Itu
disebabkan karena Pancasila ingin menjadi ideologi yang berdiri sendiri, yang netral
dari agama dan berada di atas segala-galanya. Natsir mengatakan dasar negara haruslah
sesuatu yang sudah mengakar di masyarakat, dan realitas sejarah membuktikan bahwa
Islam sebagai agama yang dianut mayoritas rakyat Indonesia cukup mengakar di
masyarakat. Islam mempunyai sumber yang jelas, yang berasal dari wahyu, tidak seperti
Pancasila yang mempunyai banyak tafsiran, tergantung pada pandangan filosofis
seseorang.
Pandangan Natsir ternyata juga sejalan dengan tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama.
KH. Ahmad Zaini misalnya, meragukan Pancasila sebagai dasar yang mempunyai
landasan yang kuat dan bisa dijadikan acuan kongkrit bagi kehidupan bangsa ini. Kata
Zaini, semboyan-semboyan dalam lima sila Pancasila memang bagus dan menarik, tapi
Pancasila tidak mempunyai pedoman untuk mempraktikkan ajarannya itu dengan batas-
batas serta saluran-saluran yang kongkrit. Karena itu kata Zaini, semboyan-semboyan
dalam Pancasila sulit dibuktikan dengan kongkrit. Selain Zaini, tokoh NU lain seperti
KH Masjkur dan KH Saifuddin Zuhri juga meragukan Pancasila bisa menjadi acuan
kongkrit bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Masjkur menyebut Pancasila sebagai
formula kosong tanpa arah, dengan menyatakan bahwa: Pancasila akan menjadi
perwujudan orang yang mengisinya. Andaikata Ketuhanan Yang Maha Esa yang
tercantum pada sila pertama di dalam Pancasila diisi orang atau golongan yang
mengakui bahwa Tuhan adalah batu, maka Ketuhanan Yang Maha Esa akan berisi batu.
Kalau diisi oleh orang atau golongan yang mempertuhankan pohon, Ketuhanan dalam
Pancasila itu akan berisi pohon,” tegas Masjkur. Sedangkan menurut Saifuddin Zuhri,
menyatakan bahwa:
“Pancasila mempunyai banyak kekurangan-kekurangan disebabkan tiadanya
kebulatan berpikir. Pancasila sulit untuk bisa diklaim sebagai falsafah dan dasar
negara. Posisinya paling tinggi hanya sebagai persetujuan politik bagi aliran-
aliran ideologi yang ada”.46
46
Wasitaatmaja, Fokky Fuad dan Heri Herdiawanto. Pancasila Suatu Visi Kebangsaan, Jakarta: UAI
Press. 2015, hal. 19

Universitas Indonesia
155

Dalam kaitannya dengan pandangan dari Kiai Masykur bahwa Pancasila adalah
formula kosong tanpa arah, perwujudannya tergantung siapa yang mengisinya terbukti
jelas. Menurut Kuntowijoyo: Pancasila ditafsirkan secara tunggal dan hegemonik oleh
penguasa, dan untuk kepentingan kekuasaanya. Pada saat Soekarno menafsirkan
Pancasila, maka lahirlah ideologi Nasionalis, Agama, Komunis (NASAKOM) dan
demokrasi terpimpin yang otoriter. Lalu kemudian pada saat masa kepemimpinan
Soeharto dengan menafsirkan Pancasila, maka lahirlah istilah “Demokrasi Pancasila”
sebuah sistem demokrasi yang memutar balikkan nilai-nilai demokrasi itu sendiri,
karena rezim Soeharto menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal bagi bangsa ini.
Pancasila, menjadi alat pemerintah yang berkuasa untuk memuaskan hasrat politiknya.47
Firasat dan pandangan para tokoh Islam terhadap ideologi Pancasila yang
“kosong” dan bisa ditafsirkan siapa saja tergantung kepentingan dan hasrat politiknya,
belakangan hari terbukti. Dalam Amanat Indoktrinasi Presiden Soekarno pada kader
Nasakom, 1 Juni 1965, Soekarno membongkar sendiri selubung di balik ide
Pancasilanya. Dengan penuh keyakinan Soekarno mengatakan, saudara-saudara,
belakangan aku juga berkata bahwa Pancasila ini bisa juga diperas lagi secara lain,
bukan secara Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, tetapi
bisa pula diperas secara lain, dan perasan secara lain ini adalah Nasakom. Nasakom
adalah pula perasan Pancasila, dus Nasakom adalah sebenarnya juga gotong royong,
sebab gotong royong adalah de totale perasan dari Pancasila, maka perasan daripada
Nasakom adalah Pancasila pula,” tegas Soekarno.
Dari hal di atas maka dapat dipahami bahwa pernyataan bung Karno merupakan
sebuah pernyataan yang makin membuat ideologi ini bisa diseret ke mana saja,
ditafsirkan apa saja, dan ujungnya, melahirkan kebingungan yang sangat “berbahaya”,
bagi rakyat Indonesia. Selanjutnya Soekarno meyakini bahwa untuk membela
kepentingan Islam maka jalan musyawarah dalam badan permusyawaratan merupakan
tempat yang tepat. Soekarno pun mengajak tokoh-tokoh politik dan umat Islam untuk
berusaha sehebat-hebatnya memenangkan keterwakilan umat Islam dalam lembaga
permusyawaratan sehingga pada saatnya lahirlah produk perundangan sesuai cita-cita

47
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Yogyakarta: IRCISoD.8). 2018, hal. 105

Universitas Indonesia
156

Islam. Tampak halus ajakan Soekarno namun tidak menyurutkan kelompok nasionalis
Islam dalam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara.48

4.2. Pandangan Hamka Dalam Dewan Konstituante Tentang Islam


Diperjuangkan Sebagai Dasar Negara.
Hamka sebagai tokoh Masyumi jelas memperjuangkan Islam sebagai dasar
negara dan menolak Pancasila sebagai dasar negara pada sidang Dewan Konstituante
1956-1959. Sikap Hamka dilatarbelakangi pula oleh situasi dan kondisi kelompok
nasionalis sekuler dan PKI sebagai pengusung dasar negara Pancasila. Mereka
cenderung penafsirannya netral agama bahkan menafikan saham keagamaan dalam
Pancasila sehingga kontras dengan kelompok nasionalis religius. Sedangkan Hamka
memiliki pandangan sendiri terhadap Pancasila yang berbeda dengan kelompok PKI.49
Adapun pandangan Hamka dikenal dengan istilah “Urat Tunggang Pancasila”, yang
berarti bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa berfungsi sebagai landasan sentral dari
sila-sila lainnya dalam Pancasila. Sebaliknya berbeda dengan gagasan dari Muhamad
Natsir, awalnya menyatakan bahwa Islam dan Pancasila tidak bertentangan namun
kemudian di sidang Konstituante malah berbalik mengusung Islam sebagai dasar negara
Indonesia.
Hamka dalam sidang Dewan Konstituante tahun 1956-1959 di Bandung,
merupakan salah satu wakil dari Partai Masyumi yang dipimpin Muhammad Natsir,
mendapat kesempatan untuk menyampaikan gagasannya dalam sesi perdebatan tentang
Dasar negara. Adapun sebagian isi pidatonya, yaitu sebagai berikut:
“Perjuangan untuk menegakan suatu negara berdasarkan Islam, sudah
merupakan cita-cita sejak lama dari semua gerakan Islam di Indonesia, yaitu
sejak abad ke-19, Hamka menyebut nama-nama pahlawan seperti Pangeran
Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Cikditiro, Teuku Umar, Pangeran
Antasari, Sultan Hasanuddin dan lainnya, yang telah berperang melawan
kolonialisme Belanda dalam rangka menciptakan status negara merdeka
berdasar Islam”.50
Dalam kaitan inilah selanjutnya Hamka, menyatakan;
48
Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia, Pidato IR. Soekarno 1 Juni 1945 Lahirnya Pancasila
Dan Pidato Notonagoro 19 September 1951 Pancasila Dasara Falsafah Negara, Jakarta: Direktorat Bina
Ideologi, 2017, hal. 22
49
Demokrasi Pancasila dengan asas musyawarah mufakat pada hakikatnya merupakan prinsip dan nilai
yang terkandung dalam falsafah Pancasila. Secara operasional demokrasi Pancasila senantiasa dijiwai dan
berpedoman pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Lihat Jumanta Hamdayama, Fokky Fuad, Etc.
Pancasila Suatu Analisis, Yuridis, Historis dan Filosofis, Jakarta: Hartomo Media Pustaka, 2012, hal.
163.

Universitas Indonesia
157

“Bahwa apa yang diperjuangkan oleh wakil-wakil Islam dalam majelis adalah
semata-mata untuk merealisasikan keinginan yang sudah dipendam lama oleh
para pahlawan diatas dalam konteks abad ke-20. Kamilah yang meneruskan
wasiat mereka, kata Hamka, dan dapatlah saudara ketua mengetahui kemana
mestinya ujung logika dari perkataan saya ini. Mungkin dikatakan bahwa yang
mengkhianati ruh nenek moyang pemimpin yang terdahulu ialah yang menukar
perjuangan mereka dengan Pancasila. Namun, pembicara, Hamka kemudian
melunakkan nada pernyataannya dengan mengatakan: “Tetapi, saya tidak mau
menyampaikan konklusi kesana, sebab kita sekarang adalah tengah mengadu
pikiran untuk mempadu. Bahkan sebagai muslim, saya memberi maaf orang-
orang yang menuduh kami pengkhianat, karena kami tahu bahwa ilmunya
tentang sejarah nenek moyangnya masih sangat perlu ditambah”.51

Disertasi ini menilai bahasan mengenai pandangan Hamka dalam Dewan


Konstituante yang menolak Pancasila perlu dipetakan dalam tiga tinjauan. Tinjauan
pertama berkaitan dengan keyakinan Hamka mengenai posisi Pancasila secara historis.
Hamka menilai Pancasila merupakan produk yang hanya dikenal oleh beberapa orang
saja, sedangkan sebagian besar penduduk Indonesia menganut dasar yang asli, yaitu
Islam. Islam menurut Hamka sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah
perjuangan Nusantara yang mengacu pada dasar yang asli yaitu Islam. Kemudian,
Hamka juga menegaskan bahwa Pancasila jelas tidak mempunyai dasar sejarah di
Indonesia. Menurut Hamka, sejak abad 19 perjuangan umat Islam untuk kemerdekaan
adalah dilatarbelakangi oleh perjuangan untuk menegakkan suatu negara berdasarkan
Islam. Perang yang digelorakan Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Cik Ditiro,
Pangeran Antasari, Sultan Hasanudin, dan lain-lain untuk mengusir kolonial Belanda,
bertujuan untuk mewujudkan cita-cita negara berdasarkan Islam. Kamilah yang
meneruskan wasiat mereka,” tegas Hamka sambil menyebut orang yang mengkhianati
ruh nenek moyang pemimpin terdahulu adalah orang yang menukar perjuangan mereka
(para pahlawan nasional) dengan Pancasila.
Tinjauan kedua alasan Hamka menolak Pancasila adalah sebab itu bertentangan
dengan Tauhid. Hamka saat dalam Dewan Konstituante menyatakan bahwa, pandangan
hidup muslim adalah tauhid, sehingga semua aktivitas hidup berdasar padanya,
termasuk di dalamnya akhlak atau moral, sebagaimana pernyataannya sebagai berikut:
Sungguh kepercayaan tauhid yang ditanamkan demikian rupa melalui agama
50
Hamka. Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia, Pidato Hamka 21 Januari 1958 di Cairo Mesir,
Jakarta: Tinta Mas. 1958. hal. 59
51
Hamka. Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia, Pidato Hamka 21 Januari 1958 di Cairo Mesir,
Jakarta: Tinta Mas. 1958. hal. 59

Universitas Indonesia
158

yang diajarkan oleh Nabi Muhammad membentuk akhlak penganut- nya. Akhlak
yang tabah dan teguh. Sebab tidak ada tempat takut, tidak ada tempat menyerah,
tempat berlindung melainkan Allah. Akhlak yang teguh ini dikuatkan lagi oleh
suatu pokok kepercayaan, yaitu takdir, segala sesuatu dialam ini, sejak dari
kejadian langit dan bumi, sampai kepada makhluk yang sekecil-kecilnya, adanya
dengan ketentuan dan jangka (waktu). Hidup pun menurut jangka (waktu), mati
pun menurut ajal.52

Tauhid bagi Hamka bukan hanya sebagai pedoman dalam memaknai kehidupan
dalam ruang lingkup ḥabl min Allāh, yang berorientasi pada kesadaran akan kekuasaan
Allah, perwakilan makna lā ilāha illa Allāh, melainkan pula makna ḥabl min an-nās
yang mengedepankan kesalehan sosial dalm menjalankan apa yang dimaksud dengan
khalīfah fil arḍ. Kedua hubungan ini menuntun manusia mencapai kesempurnaan iman,
iman tidaklah sempurna bila dibangun hanya untuk meninggikan Allah tanpa diiringi
oleh upaya untuk memberikan kebahagian, kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan
bagi manusia, serta penghuni bumi sebagai tempat manusia bertindak untuk memenuhi
tugasnya tersebut.
Penekanan Hamka terkait peran tauhid sebagai basis dasar dari politik Islam
beririsan dengan pendekatan integralistik. Pandangan integralistik Hamka terlihat saat
dia menekankan bahwa tauhid berperan sebagai sumber moral yang dapat menyatukan
setiap umat Islam. Tauhid dalam pandangan Hamka menjadi basis perjuangan umat
Islam sejak lama. Hamka, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Syafii Maarif mengatakan
bahwa:
“Perjuangan menegakkan negara Islam sudah merupakan cita-cita sejak lama
dari semua gerakan Islam di Indonesia, yaitu sejak abad ke-19. Menurutnya para
pahlawan, seperti: Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Cik Ditiro,
Pangeran Antasari, Sultan Agung, dan lain-lain yang telah berperang melawan
kolonialisme Belanda adalah dalam rangka menciptakan suatu tatanan negara
berdasar Islam. Dalam kaitan inilah, kata Hamka, apa yang diperjuangkan oleh
wakil-wakil Islam dalam Majelis Konstituante adalah semata-mata untuk
merealisasikan keinginan yang sudah dipendam lama oleh para pahlawan di atas
dalam konteks abad ke-20. “Kamilah yang meneruskan wasiat mereka” kata
Hamka, “Dan dapat pulalah Saudara Ketua mengetahui ke mana mestinya ujung
logika dari perkataan saya ini. Mungkin dikatakan bahwa yang mengkhianati ruh
nenek moyang pemimpin yang terdahulu ialah yang menukar perjuangan mereka
dengan Pancasila”.53

52
Hamka. Tafsir Al-Azhar juz 1-30, Jakarta: Pustaka Panji Mas. 2002. hal. 13
53
Ahmad Syafi’i Maarif, . Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam
Konstituante. Jakarta: LP3ES, 1987, hal . 160

Universitas Indonesia
159

Penekanan Hamka terhadap aspek tauhid merefleksikan keyakinan Hamka


bahwa hanya Allah merupakan penguasa tertinggi dalam alam semesta, maka hanya
Allah yang berdaulat terhadap alam ini. Kedaulatan tertinggi sudah pasti menjadi milik
Allah. Hamka memang menyakini bahwa Allah telah mendelegasikan kekuasaanNya
kepada manusia untuk mengelola bumi, namun kekuasaan manusia memang tidak boleh
bertentangan dengan kekuasaan Allah. Kemudian, Allah sebagai Rabb berarti Allah
yang telah menyempurnakan sistem pemerintahan manusia. Allah sebagai Rabb telah
menempatkan manusia untuk selalu memiliki ketaatan dan kepasrahan secara totalitas
hanya kepada Allah, dan loyalitas tertinggi tidak boleh diserahkan kepada makhluk.
Allah sebagai Iláh (yang disembah, al- ma‘bud). Hamka juga menyakini bahwa Allah
merupakan hakim tertinggi yang berhak memutuskan perkara hukum, sehingga secara
otomatis tidak mungkin ada undang-undang yang boleh bertentangan dengan undang-
undang-Nya.
Pandangan Hamka untuk menolak Pancasila tidak terlepas dari peristiwa
perubahan Piagam Jakarta menjadi Pancasila. Sila pertama dalam Piagam Jakarta
menegaskan kewajiban Umat Islam untuk menjalankan syariah Islam sebagai
perwujudan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun, saat sila pertama dianulir menjadi
konsep sila pertama yang sekarang, hal itu dalam pandangan Hamka sama saja
menempatkan ada undang-undang yang lebih tinggi daripada Islam. Hamka tidak
mempermasalahkan jika ada UUD buatan manusia selama itu menempatkan Islam
sebagai acuan dasar filosofi utama dalam UUD tersebut. Hal ini menyebabkan Hamka
cenderung antipasti dengan konsep Pancasila.
Tinjauan ketiga menempatkan Hamka sebagai sosok yang cenderung mengikuti
pemikiran Maududi mengenai standardisasi negara berdasarkan Islam. Hamka
menerima empat ciri utama negara Islam dari Mawdudi. Pertama, kedaulatan harus ada
di tangan Tuhan. Indonesia dalam pandangan Hamka harus mengakui kedaulatan Tuhan
sebagai pembuat standar etika politik tertinggi, sehingga setiap hukum tertinggi dalam
negara adalah syari’ah. Piagam Jakarta dalam pandangan Hamka jelas merefleksikan
pengakuan terhadap kekuasaan Allah. Kondisi berubah pada saat Pancasila tidak secara
tegas menyatakan ketaatan kepada Allah.
Kedua, Hamka menerima pandangan Mawdudi mengenai hukum tertinggi dalam
negara adalah syari’ah. Syariah menurut Hamka jelas mengacu kepada Al-Qur’an dan

Universitas Indonesia
160

Asunnah. Al-Qur’an bagi Hamka merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia untuk
membedakan antara yang hak dan bathil. Selain itu, Al Qur’an juga memuat nasihat-
nasihat pengajaran dan tuntunan, baik dalam pembangunan akhlak atau karakter, sikap
hidup, ataupun, di dalam mengamalkan suatu pekerjaan. Kemudian, semua panduan
moral dapat menjadi basis penyelenggaraan negara.54 Semua hal itu mengarah kepada
ketaatam kepada Allah. Berikut ini adalah landasan al Qur’an yang ditafsirkan oleh
Hamka tentang perintah taat pada Allah SWT dan Rasulnya, artinya;
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Itulah yang sebaik-baik
dan seelok-eloknya pengertian.55

Kemudian, Hamka juga menegaskan bahwa peraturan dasar dalam Alquran


diterjemahkan dalam wujud Sunnah Nabi. Sunnah Nabi menjadi penjelasan mengenai
cara umat Islam menjalankan ketaatan kepada Allah SWT . Penjelasan-penjelasan itu
semua yang berasal dari Nabi Muhammad dalam pandangan Hamka sudah termasuk
penjelasan untuk menyelenggarakan negara. Sunnah Nabi dalam pandangan Hamka
tidak hanya berkaitan dengan permasalahan ibadah semata, melainkan itu juga menjadi
panduan untuk menjalankan pemerintahan yang baik sesuai dengan Islam. Hamka
menyadari bahwa penggunaan sunnah nabi dapat memunculkan resistensi dari publik,
itu sebabnya Hamka dalam kesempatan lain selalu menegaskan bahwa pelaksanaan
sunnah tidak berarti harus secara tekstual, melainkan juga melalui proses rekonstruksi
sesuai dengan kebutuhan Umat Islam.
Hamka menilai upaya penggantian Piagam Jakarta menjadi Pancasila merupakan
wujud ketakutan Kelompok Sekuler terhadap Syariah. Hamka menilai ketakutan
tersebut tidak rasional. Kalangan sekuler dalam pandangan Hamka cenderung takut jika
pelaksanaan syariah Islam menyebabkan umat lain akan merasa terancam. Hamka
menyakini pelaksanaan syariah Islam berlaku sepenuhnya bagi umat Islam, dan itu tidak
berpengaruh terhadap umat yang lain. Syariah dalam pandangan Hamka tetap akan
menjamin perbedaan. Syariah menurut Hamka bukan sesuatu yang rigid sebab itu
sangat tergantung oleh kemampuan Umat Islam untuk melakukan proses reaktualisasi
konsep syariah menjadi norma-norma yang umum. Hal itu menurut Hamka jelas terlihat
54
Hamka. Tafsir Al-Azhar juz 1-30, Jakarta: Pustaka Panji Mas. 2002, hal. 236
55
Hamka, Tafsir, 2008: Q.s An-Nisa/4 ayat 59

Universitas Indonesia
161

saat Nabi Muhammad menata Kota Madinah berdasarkan syariah justru mampu
menghasilkan Piagam Madinah yang memuat norma-norma umum penyelenggaraan
pemerintahan. Kemudian, umat Islam dengan menjalankan syariah justru juga
mendapatkan beban untuk melindungi kaum yang selain Islam. Hamka mengaitkan hal
itu dengan Piagam Madinah yang justru memberikan pengakuan kepada umat agama
lain untuk menjalankan keyakinan agama masing-masing tanpa harus mengacu pada
Islam.

Ketiga, Hamka menyepakati ide Mawdudi bahwa pemerintah adalah pemegang


amanah Tuhan untuk melaksanakan kehendak-kehendak-Nya. Hamka menilai
pelaksanaan syariah oleh negara justru memaksa negara untuk berperilaku yang layak.
Negara harus memberikan layanan kesejahteraan dan perlindungan hukum serta
perlindungan hak politik bagi rakyat. Negara yang menjalankan syariah sudah pasti
dalam pandangan Hamka akan meninggalkan sikap otoriter sebab negara akan
menyadari bahwa tindakan otoriter akan bertentangan dengan syariah. Syariah secara
substansif nantinya akan menjadi landasan moral kenegaraan. Hamka menyakini bahwa
Piagam Jakarta jelas memenuhi prinsip substansif dari syariah.
Keempat, Hamka juga menerima ide Mawdudi bahwa pemerintah tidak boleh
melakukan perbuatan yang melampaui batas-batas yang telah ditetapkan Tuhan saat
negara akan berinovasi demi kebaikan rakyat. Batasan-batasan syariah tidak bermakna
bahwa negara tidak boleh berinovasi dalam perkembangan negara. Negara hanya tidak
boleh melegalkan pelanggaran hukum syariah, misalnya pelegalan perbuatan zina.
Negara justru harus mampu berijtihad sesuai dengan koridor syariah misalnya
mendesain sistem pengawasan makanan yang halal, atau pembuatan undang-undang
pertahanan negara yang memuat aturan-aturan substansif dari jihad, dan sebagainya.
Hamka menilai bahwa perubahan Piagam Jakarta menjadi Pancasila jelas menunjukkan
ketidakpahaman kalangan sekuler terkait dinamika politik Islam.
Hamka sebagai seorang modernis memang sangat menolak ide sekularisme yang
memisahkan agama dengan kehidupan sosial dan politik. Hamka menilai penggantian
Piagam Jakarta dengan Pancasila sama artinya menegasikan Islam sebagai landasan
yang mencakup segalanya. Islam tidak hanya berurusan dengan akhirat, tetapi juga
berurusan dengan kehidupan duniawi. Dua hal yang tak mungkin dipisahkan satu
dengan yang lainnya. Hamka juga menyakini bahwa ide pemisahan Islam dari negara

Universitas Indonesia
162

justru bertentangan dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dari Pancasila. Sila pertama
secara jelas bagi Hamka menunjukkan keterpaduan antara negara dengan Islam. Hamka
menjelaskan bahwa sila pertama dalam Piagam Jakarta memberikan konsekuensi logis
bagi manusia untuk bermusyawarah untuk mencapai mufakat berdasarkan Islam. Kata
mufakat dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa arab yaitu syuro dan syuro
menunjukkan perwujudan tauhid dalam tataran sosial. Pandangan lebih lanjut dapat
dilihat sebagai berikut:
Menurut Hamka, Tauhid (beriman pada Tuhan yang maha Esa), sudah pasti
menyuruh manusia untuk berbuat adil. Kata Al-Adl adalah salah satu dari nama
Allah. Allah menyuruh manusia untuk mengerjakan amal dan kebaikan
berjama’ah.Penafsiran Pancasila dalam cahaya Islam, bagi Hamka bermuara
pada sila pertama, yang mencerminkan agama tauhid (Islam). “Agama yang
mengakui ke-Esa-an Allah yang mutlak dan dianut oleh mayoritas bangsa
Indonesia. “56

Penolakan kalangan sekuler terhadap Piagam Jakarta menurut Hamka sama


artinya juga mengabaikan fakta sejarah. Perjuangan politik untuk memerdekakan dan
memajukan Indonesia tidak terlepas dari perjuangan untuk menegakkan Islam. Islam
menurut Hamka juga mampu menyatukan semua umat Islam di Indonesia dalam satu
kesatuan politik tanpa harus membedakan antara yang berada di wilayah Barat
Indonesia dengan wilayah lain, dan hal ini juga didasari oleh pandangan Hamka sesuai
terkait Al Baqarah/ 2 ayat 177), yaitu:
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat itu suatu kebajikan,
akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari
kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang
dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir
(yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan
orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang
sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah
orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang
bertakwa).57

Hamka memang terlihat sejalan dengan pandangan fundamentalis, walaupun


juga tetap ada perbedaan. Hamka menerima argumentasi dari kalangan fundamentalis
bahwa demokrasi memiliki kelemahan mendasar yaitu demokrasi tidak menjadikan
56
Hamka. Dari Hati Ke Hati Tentang Agama, Sosial Budaya, Politik, Jakarta: Panji Masyarakat, Cet. 1,
2002, hal. 161
57
Hamka. Dari Hati Ke Hati Tentang Agama, Sosial Budaya, Politik, Jakarta: Panji Masyarakat, Cet. 1,
2002, hal. 161

Universitas Indonesia
163

kedaulatan Allah sebagai yang tertinggi dan demokrasi dengan prinsip sekulerisme
bertentangan dengan syariah. Kemudian, penekanan terhadap hukum tertinggi adalah
syariah cenderung menjadi alasan untuk menolak falsafah politik yang menjadi dasar
hukum tertinggi dalam negara.
Hamka memang menyetujui ide dari kalangan fundamentalis bahwa jika
manusia berani untuk membuat atau menciptakan hukum di luar hukum Al-Quran,
terutama jika hukum manusia itu bertentangan dengan syariah, maka manusia pasti akan
berdosa besar sebab manusia telah memposisikan diri sama dengan Rabb. Hamka juga
ingin menegaskan setiap proses regulasi hukum negara yang melanggar syariah jelas
merupakan penyimpangan terhadap hak prerogatif Allah. Hamka juga menyetujui ide
kalangan fundamentalis bahwa Allah telah menata kehidupan alam semesta dengan
undang-undangnya yang disebut Sunnatullah dan Allah juga telah mengatur kehidupan
manusia berdasarkan wahyu Al-Qur‟an (Rubbubiyah Allah). Hamka juga menyadari
bahwa setiap produk proses demokrasi akan menghasilkan hukum jahiliyah jika proses
itu selalu menekankan hawa nafsu. Pengutamaan hawa nafsu merupakan dampak dari
sekulerisme.
Hanya saja, Hamka justru berbeda saat bahwa kelemahan dari demokrasi tidak
bermakna Umat Islam tidak mampu memodifikasi pandangan yang ada. Umat Islam
jelas harus mampu memperjuangkan agenda Islam melalui demokrasi. Tentunya,
Hamka tetap menyepakati ide bahwa Islam harus menjadi dasar negara sebab Islam itu
yang akan menjadi pembatas demokrasi. Kondisi demikian menurut Hamka perlu
diatasi bukan dengan tindakan kekerasan atau menghindari demokrasi sama sekali.
Hamka justru menginginkan demokrasi tetap berjalan di Indonesia, hanya saja Islam
yang harus menjadi dasar dari pelaksanaan tata kenegaraan. Pancasila menjadi sesuatu
yang bertentangan dengan Islam saat sila pertama tidak secara spesifik menunjukkan
ketaatan pada Allah. Hanya saja, Hamka sebagai tokoh modernis menunjukkan
kemampuan beradaptasi dengan situasi politik yang ada, sehingga secara otomatis
mengeluarkan Hamka dari spektrum fundamentalis yang secara konsisten menolak
Pancasila.
Hamka jelas menolak pandangan kaum fundamentalis yang menyatakan
demokrasi tidak sejalan dengan Islam. Hamka juga tidak menyetujui pandangan
fundamentalis bahwa demokrasi telah menduakan Allah dengan manusia. Demokrasi

Universitas Indonesia
164

dalam pandangan Hamka juga bukan merupakan sistem yang menyamakan manusia
dengan Allah dalam konstruksi pembuatan hukum Hamka memahami bahwa demokrasi
memang berkonsekuensi menghasilkan keputusan politik yang ingkar terhadap Allah,
maka penetapan Islam sebagai dasar negara akan mencegah negara bertindak ingkar
kepada Allah. Alasan teologis memang menjadi penyebab awal Hamka menolak
Pancasila namun penolakan Hamka terhadap Pancasila tidak membuat Hamka menolak
demokrasi sebab demokrasi dalam koridor Piagam Jakarta justru mampu memberikan
kebaikan bagi umat Islam.

4.3 Pemikiran Hamka tentang Pancasila sebagai Dasar Negara


4.3.1. Pancasila sebagai Asas Tunggal pada Masa Orde Baru.
Perubahan pandangan Hamka mengenai Pancasila memang menunjukkan
karakteristik Hamka sebagai pemikir modernis dan perubahan tersebut juga merupakan
respon terhadap perubahan zaman yang menandai masa berakhirnya Orde Lama yaitu
masa pemerintahan Soekarno. Masa Orde Lama menjadi masa yang termasuk kelam
bagi Hamka terutama saat Hamka menolak gagasan Nasakom Soekarno. Saat
pemerintahan Soekarno menjadikan paham Nasionalis, Agama dan Komunis sebagai
basis utama filsafat revolusioner Indonesia di era Demokrasi Terpimpin. Hamka
mengalami masa tidak nyaman saat di zaman Orde Lama, difitnah sebagai bagian dari
komplotan yang hendak membunuh Presiden Soekarno. Ketika polisi-polisi bertanya
(meng-interogasi) dalam tahanan di Sukabumi pernah pula di antara pertanyaan yang
dikemukakan, bagaimana pendapat Hamka tentang Pancasila dan Nasakom. Ketika
diterangkan bahwa Hamka menerima Pancasila sebab Hamka adalah seorang yang
mempunyai dasar ajaran Islam tentang tauhid, maka polisi yang bertanya itu membawa
perkataan kepada suatu arah yang dia tentukan. Polisi yang mengintrogasi itu
berkesimpulan dan berkata: “Kalau demikian Pancasila Saudara Hamka ialah DI/TII.”
Hamka balik bertanya: “Kenapa dibawa ke situ?” “Tentu begitu dan harus begitu!”
“Saudara yang mengharuskan, maka tidak,” jawab Hamka.
Hamka ditanyai pula, bagaimana pertalian di antara Pancasila dan Nasakom ?
Hamka menyatakan pendirian dengan jelas:
“Bahwa Pancasila tidak mungkin disetalikan dengan Nasakom, mempersatukan
Pancasila dengan Nasakom sama dengan mencampur yang haq dengan yang
bathil. Nasakom itu sendiri yang NAS dimaksudkan ‘nasional’ dan A

Universitas Indonesia
165

dimaksudkan ‘agama’ dan KOM dimaksudkan ‘komunis’, lalu dikocok jadi satu,
samalah dengan mempersatukan minyak tanah dengan air dalam satu botol. Dia
musti diguncangkan terus supaya dia kelihatan bersatu. Berhenti saja sejenak
mengocok mengguncang-guncang, dia kembali berpisah-pisah.58
Si polisi yang bertanya memulai pula pertanyaan lain yang memaksa agar
Hamka sampai kepada jawaban yang telah ditentukan dalam pertanyaan.
Dia katakan: “Kalau demikian yang saudara Hamka maksud ialah tangan
Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno; jadi menurut paham saudara Hamka,
selama tangan Soekarno masih mengocok dan mengguncang-guncang, selama
itu Nasakom akan ada. Itulah sebabnya maka saudara turut dalam komplotan
hendak membunuh Pemimpin Besar Revolusi, supaya tangan beliau berhenti
buat selamanya mencampur-campur botol Nasakom”.59
Dari pengalaman Hamka diatas, maka cara-cara yang dipakai komunis itu
kadang-kadang masih ada juga yang memakainya, walaupun PKI tidak ada lagi. Oleh
sebab itu janganlah ahli-ahli dakwah atau mubaligh-mubaligh Islam sampai terpancing
masuk ke dalam perangkap provokasi yang telah diatur. Seorang tokoh bernama
Lothrop Stoddard pernah mengatakan: bahwa “Telah datang zamannya bagi yang susah
untuk menidurkan umat Islam dan telah berlalu masanya yang susah buat
membangunkan mereka dari tidurnya yang nyenyak”. Dan setelah mereka bangun nanti,
kerja sama dalam pembangunan berjalan beriringan di antara ulama, umaro dan dengan
Zu’ama. Lalu datang pula pertanyaan: “Apakah tidak membahayakan pemerintah kalau
kaum Muslimin ini berpartisipasi?”.
Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan
Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang
dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama. Kondisi demikian menyebabkan
Hamka kemudian pada awalnya menyambut kemunculan Orde Baru. Orde Baru
merupakan sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Hanya
saja, Hamka juga menyadari bahwa situasi politk sudah berubah, sehingga Hamka perlu
merekonstruksi ulang pandangan dia mengenai Pancasila. Perubahan pandangan Hamka
tidak terlepas dari penekanan rezim Soeharto mengenai posisi Pancasila di Indonesia.
Orde Baru pimpinanan Soeharto berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998.

58
Benedicta A Surodja, JMV. Soeparno. Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran dan Tanganku (Edisi Revisi):
Pledoi Omar Dani, Jakarta: PT Media Lintas Ini Nusantara.2005, hal. 40
59
Benedicta A Surodja, JMV. Soeparno. Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran dan Tanganku (Edisi Revisi):
Pledoi Omar Dani, Jakarta: PT Media Lintas Ini Nusantara.2005,,hal. 152.

Universitas Indonesia
166

Pada masa orde baru, yaitu kepemimpinan Presiden Soeharto, Pancasila


dijadikan sebagai indoktrinasi. Pancasila dijadikan oleh Soeharto sebagai alat untuk
melanggengkan kekuasaannya. Ada beberapa metode yang digunakan dalam
indoktrinasi Pancasila, yaitu pertama, melalui ajaran P4 yang dilakukan di sekolah-
sekolah, melalui pembekalan atau seminar. Kedua, asas tunggal, yaitu Soeharto
membolehkan rakyat Pancasila versi Soeharto. Ketiga, stabilitas yaitu Soeharto
melarang adanya kritikan yang dapat menjatuhkan pemerintah. Jadi Soeharto
beranggapan bahwa kritik terhadap pemerintah menyebabkan ketidakstabilan di dalam
negara. Dalam menstabilkannya, Soeharto menggunakan kekuatan militer sehingga
tidak ada yang berani untuk mengkritik pemerintah. Akibatnya muncul penentang-
penentang terhadap Pancasila, yaitu mereka lebih berupa gerakan bawah tanah dan
penentangnya hampir sama dengan penentang di masa orde lama diantaranya simpatisan
eks komunis yang sudah bubar.
Tentu saja tulisan setiap argumentasi Hamka mengenai Pancasila harus
ditempatkan dalam tempat yang semestinya. Tulisan ini dibuat ketika Orde Baru telah
mulai mengusahakan tafsir tunggal atas Pancasila. Tafsir tunggal yang telah menyeret
Pancasila menjadi alat pembungkam berbagai kekuatan yang berseberangan dengan
Orde Baru.60 Tulisan ini dapat dilihat sebagai perlawanan awal ulama Islam terhadap
tafsir Pancasila yang tak sesuai dengan Islam. Orde Baru kemudian memang
menafsirkan sepihak ideologi Pancasila dengan nama P4 (Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila). P4 dipayungi oleh Tap. MPR no. II/MPR-RI/1978. Soeharto
bahkan menunggalkan Pancasila sebagai asas tunggal bagi setiap Organisasi Sosial
Politik pada 1985, melalui kebijakan 5 paket Undang-Undang Politik. Tindakan politik-
ideologis Orde Baru yang kemudian membuat Islam menjadi seolah berhadapan dengan
Pancasila.
Kondisi demikian jelas mempengaruhi Hamka. Hamka pun menegaskan bahwa
dia menerima Pancasila sebab saya ini seorang Muslim. Sebab sila pertama ialah
Ketuhanan Yang Maha Esa. Percaya akan Maha Kekuasaan Tuhan ialah dasar pertama
60
Dalam bahasa Arab kata tafsir berasal dari kata al-fasr yang berarti penjelasan dan keterangan, yaitu
menerangkan dan mengungkapkan sesuatu yang belum jelas. Sedangkan menurut istilah adalah ilmu yang
menerangkan tentang nuzul (turunnya) ayat-ayat, hal ihwalnya, kisah-kisahnya, sebab-sebab yang terjadi
dalam nuzulnya, tertib makiyah dan madaniyahnya, muhkam dan mutasyabihnya, halal dan haramnya,
wa‟ad dan wa‟idnya, nasikh dan mansuhknya, khas dan ammnya, mutlaq dan muqayyadnya, perintah dan
laranganya, ungkapan dan tam silnya, dan sebagainya. Secara umum tafsir adalah usaha untuk
menjelaskan makna teks al-Qur‟an. Tidak diragukan lagi ada bermacam-macam jenis tafsir dan mazhab
yang berbeda-beda yang terbentuk atas dasar masing-masing tafsir tersebut.

Universitas Indonesia
167

dan utama dari hidup saya sebagai Muslim. Memang Allah itu Esa. Tunggal, Satu,
Widhi, sebab itu untuk menjamin terpeliharanya Pancasila itu, menurut keyakinan saya,
tidak ada lain jalan hanyalah satu. Yaitu supaya saya menjadi seorang Muslim yang
baik, seorang muslim yang taat kepada Allah. Saya bersyukur kepada Allah SWT yang
telah menganugerahkan berkat dan rakhmat-Nya sehingga tanah air saya ini merdeka. 61
Pandangan Hamka yang demikian menunjukkan perbedaan pandangan dengan kalangan
fundamentalis yang masih secara konsisten menolak Pancasila pada masa awal Orde
Baru.
Hamka juga mulai memikirkan ulang posisi umat Islam dengan Pancasila.
Hamka menyatakan posisi umat Islam ikut berperan menjaga kelestarian Pancasila.
Walaupun pada saat forum politik resmi sempat bersebrangan namun sebagai warga
negara tetap harus konsekuen dengan realitas politik yang ada, selama tidak
bertentangan dengan kepentingan umat dan bangsa Indonesia. Hamka pun berupaya
untuk mematahkan prasangka buruk bahwa umat Islam menjadi ancaman terhadap
ideologi Pancasila tersebut. Hamka bahkan berpandangan bahwa secara historis,
perumusan Pancasila melibatkan tokoh-tokoh umat Islam, dan Umat Islam telah
berkontribusi dalam perumusan terminologi-terminologi dalam sila-sila Pancasila sulit
terbantahkan sebagai kontribusi tokoh Islam di dalamnya. Satu contoh yang jelas adalah
terminologi Ketuhanan Yang Maha Esa dan musyawarah (syura) serta keadilan, pada
sila pertama, keempat, dan kelima.62 Maka, dibalik Pancasila bertahan dan lestari
sampai sekarang karena umat Islam turut menjaga dan mengawalnya. Hal itu selaras
dengan pernyataan dan analisis Hamka berikut ini:
“Umat Muslim Indonesia adalah Pancasilais yang tahan uji, dibuktikan dengan
peran besar umat Islam saat melawan usaha PKI untuk menggantikan dasar
negara Pancasila dengan ideologi lain yaitu komunisme tahun 1948 dan 1965”.63

Hamka kemudian menyatakan bahwa Umat Islam wajib menjaga Pancasila


sebab itu bagian dari perintah perintah agama Islam sesuai dengan sila pertama. Umat
Islam harus mampu berusaha agar Pancasila itu diamalkan, diamankan dan diresapkan,

61
Hamka, Studi Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982, hal. 277-228.
62
Jejak Islam dalam perjalanan sejarah memancarkan sinarnya dengan memporakporandakan kegelapan
jahiliah dan kekufuran. Kemudian memberikan jalan yang lurus untuk jalan umat manusia bergerak serta
mewajibkan syura sebagai petunjuk setelah Al Qur’an dan As Sunnah. Lihat, Taufik Asy’Syawi, Syura
Bukan Demokrasi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hal. 667-751.
63
Hamka, Dari Hati ke Hati tentang Agama, Sosial Budaya dan Politik. Jakarta: Penerbit Pustaka
Panjimas. 2005, hal. 71.

Universitas Indonesia
168

yaitu dengan konsepsi yang telah digariskan oleh Allah SWT, dan Rasul. Hal tersebut
senada dengan pernyataan tokoh Islam lainya, yang mensinyalir bahwa dengan
menjalankan Islam secara kaffah maka umat Islam sudah pasti juga sudah menjalankan
Pancasila.64
Pernyataan ini mengandung makna bahwa ketika seorang muslim melaksanakan
agamanya berarti sudah mencakup pelaksanaan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam
sila-sila Pancasila.
1. Ketika seorang muslim mentaati Rukun Islam yaitu: Syahadat, Sholat, Zakat
Puasa dan menunaikan Haji berarti pula melaksanakan point Sila Ketuhanan
Yang Maha Esa.
2. Ketika seorang muslim melakukan zakat, infaq dan Shodaqoh berarti
mengandung pelaksanaan sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
3. Ketika seorang muslim menjaga persaudaraan dan kebersamaan dalam wujud
menjaga kerukunan (toleransi) umat seagama, antar umat beragama (Islam,
Kristen (Katholik, Protestan), Hindu, Budha dan Konghucu), dan antar umat
beragama dengan pemerintah maka berarti seorang muslim sudah melaksanakan
pula nilai persatuan Indonesia.
4. Ketika seorang muslim mendahulukan musyawarah dalam menyelesaikan
permasalahannya berarti pula telah melaksanakan sila kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
5. Ketika seorang muslim bertindak adil dalam segala bidang baik sebagai
pemimpin atau rakyat biasa maka telah pula melaksanakan sila keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hamka saat menyatakan persetujuan mengenai Pancasila menjelaskan bahwa
Undang-Undang Dasar 1945 sendiri memang tidak memuat kata-kata “Pancasila.”
Hanya saja, kelima rumusan dasar itu jelas terdapat, baik pada pembukaan (preambule)
atau dalam batang tubuh undang-undang dasar itu sendiri. Tidaklah mungkin umat
Islam sebagai mayoritas akan menolak atau bertentangan dengan Pancasila. Apakah
setelah berkali-kali dikaji, dibahas lebih mendalam, ternyata bahwa di antara kelima
dasar tidaklah dapat dipisahkan. Dan oleh Bung Hatta, salah seorang Proklamator,

64
A.M. Fatwa, Pancasila Karya Bersama Milik Bangsa Bukan Hak Paten Suatu Golongan, Jakarta: The
Fatwa Center. 2010, hal. 6

Universitas Indonesia
169

didapat kesimpulan bahwa dasar Ketuhanan Yang Maha Esa adalah menjiwai atau jadi
pokok asal dari keempat dasar yang lainnya.65
Dengan demikian jelaslah menurut teori dan praktik bahwa kaum Muslimin
Indonesia tidak masuk akal akan menentang Pancasila. Hamka sering menegaskan
bahwa sumber akidah kaum Muslimin ialah Ketuhanan Yang Maha Esa. Ajaran tentang
ke- Esaan Allah ini dalam Islam mempunyai latar belakang ajaran yang sangat positif,
yang diberi nama ajaran tauhid. Tauhid ialah mempergunakan akal dan susunan berpikir
sistematis untuk sampai kepada kesimpulan bahwa Allah itu adalah Esa. Selanjutnya
Hamka menyatakan, secara populer ajaran “sifat dua puluh” diajarkan sampai ke
kampung-kampung, bahwa Allah itu adalah Esa. Maksudnya, Esa pada zat-Nya, Esa
pada sifat-Nya, Esa pada Af‘aal (perbuatan-Nya). Kemudian, Hamka juga mulai
berpandangan bahwa al- Qur’an dan al- Hadits menjelaskan ada dua “tali” yang harus
dipegang teguh. Pertama hablum minallah (tali dari Allah), kedua hablum minannaas
(tali dengan manusia). Kalau dua tali tidak dipegang, atau terlepas salah satu,
kehinaanlah yang akan menimpa diri, di mana pun kita berada.66 Poin pertama menurut
Hamka jelas sejalan dengan sila pertama yang akan menjadi inspirasi dalam penegakan
sisa sila dari Pancasila sesuai dengan koridor hablum minannaas.
Demikianlah secara teori dan praktik, ilmiah atau falsafah, Pancasila yang
berarti kelima dasar itu tidaklah merugikan Islam. Sebaliknya, kalau umat Islam
memegang teguh dan mengamalkan agamanya, tidaklah Pancasila akan rugi. Bahkan
jika ada banyak orang di Indonesia ini mempunyai keyakinan hidup yang tidak dapat
diubah, demi kebebasan berpikir, dan demi kemuliaan logika. Bahwa dengan teguh
kokohnya kaum Muslimin menjalankan sepanjang ajaran agama Islam, Pancasila akan
terjamin keutuhannya. Bahkan lebih tegas lagi, “Keteguhan Pancasila akan terjamin bila
umat Islam yang mayoritas ini yakin akan agamanya. Dan kalau umat Islam telah lalai
dari agamanya, terutama sudah goyah ajaran tauhidnya, Pancasila pun terancam runtuh.
Artinya umat Islam selalu bersama dan akan membela Pancasila”.
Hamka merujuk pada Syaikh Muhammad Abduh yang pernah mengatakan:
“La’anallahus siasata” (dikutuk Allah politik). Dan berkata beliau pula: “Jika politik
telah masuk dari pintu muka, hakikat kebenaran akan terusir keluar dari pintu

65
Yusran Rusydi Hamka, Debat Dasar Negara Islam dan Pancasila Konstituante 1957, Jakarta: Pustaka
Panjimas. 2001, hal. 143
66
Hamka, Tafsir Al-Azhar, 2008

Universitas Indonesia
170

belakang.” Begitu terangnya jalan yang kita tempuh, namun masih banyak orang yang
tidak suka kalau umat Islam kelihatan terpampang dalam zaman pembangunan.
Dilemparkan kata-kata bahwa umat Islam tidak menyukai Pancasila. Latar belakangnya
ialah politik, padahal kadang-kadang yang membuat provokasi itu tidak pula jelas
baginya apa Pancasila itu. Persoalan mendasar tentang Pancasila bukan lagi apa itu
Pancasila namun seperti apa warga negara Indonesia memaknai Pancasila.
Sewajarnya jika umat Islam menguraikan setiap arti sila menurut ajaran Islam
maka ketika umat Islam tidak percaya kepada isi dasar yang lima itu berarti keluar dari
Islam. Alasannya kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa bagi umat Islam adalah
akidah pertama dan utama. Jika tidak mau percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berarti kafir masuk neraka. Jika diterangkan pula bahwa Pancasila dengan dasar pertama
itu bagi kaum Muslimin adalah bukan untuk dunia saja, bahkan “Pancasila sampai ke
akhirat”. Jika diterangkan demikian timbul pulalah provokasi lainnya: “Jangan diutik-
utik Pancasila.” Jangan ditafsirkan Pancasila menurut kemauan sendiri-sendiri, jangan
ditafsirkan menurut suatu agama, padahal belum ada tafsir resmi yang jelas dan
gamblang dikeluarkan oleh pemerintah, yang dengan tafsir itu sudah dilarang keras
orang menafsirkan Ketuhanan Yang Maha Es a sampai ke akhirat. Sementara pihak-
pihak di luar Islam menafsirkan pula Pancasila itu menurut kemauannya yang kadang-
kadang amat jauh dari kebenaran.
Islam dan Pancasila selaras ketika sebagai falsafah hidup bangsa, hakekat nilai-
nilai Pancasila telah hidup dan diamalkan oleh bangsa Indonesia sejak negara ini belum
berbentuk. Artinya, rumusan Pancasila sebagaimana tertuang dalam alinea 4 UUD 1945
sebenarnya merupakan refleksi dari falsafah dan budaya bangsa, termasuk di dalamnya
bersumber dan terinspirasi dari nilai-nilai dan ajaran agama yang dianut bangsa
Indonesia termasuk Islam. Pandangan Hamka di atas sejalan dengan pernyataan dia
berikut:
“Untuk Meresapkan Pancasila, jadilah Muslim yang baik, Sebagai rakyat
Indonesia yang memiliki kesadaran beragama dan bernegara sejak Indonesia
merdeka, kita telah menetapkan dasar falsafah negara kita, yaitu: (1) Ketuhanan
Yang Maha Esa, (2) Peri kemanusiaan, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan,
dan (5) Keadilan sosial. Supaya cepat menyebutkan, kita simpulkan kelima dasar
falsafah itu dalam ungkapan: “Pancasila”. Tapi, tidak sedikit pula orang lupa

Universitas Indonesia
171

akan kelima dasar falsafah itu, atau tidak hafal karena telah dibungkus oleh
nama tersebut “.67
4.3.2. Uraian Hamka mengenai semua sila yang ada dalam Pancasila
Pada bagian ini, disertasi ini akan membahas mengenai pandangan Hamka
mengenai setiap sila yang ada dalam Pancasila. Uraian ini terbagi menjadi lima bagian
yang membahas mulai dari Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil
dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, hingga Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia.
A. Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Hamka ada korelasi Pancasila pada Sila Pertama Ketuhanan Yang
Maha Esa dengan al Qur’an, yaitu Surat Al-Ikhlas ayat 1 yang berbunyi, “Katakanlah:
Dia-lah Allah, Yang Maha Esa”, Hai UtusanKu- “Dia adalah Allah, Maha Esa.” Hamka
menafsirkan bahwa ayat tersebut adalah pokok pangkal akidah, puncak dari
kepercayaan. Pengakuan bahwa maksud yang dipertuhan, Allah SWT (namaNya)
adalah dari satunama. Tidak ada Tuhan selain (Dia) Allah. (Dia) Allah Maha Esa,
mutlak Esa, tunggal, (Dia) Allah tidak bersekutu dengan yang lain”.68 Tidak ada yang
menyamai Allah, tidak ada yang menyerupai Allah dan tidak ada teman dalam hidup
Allah. Karena sangat mustahil jika (Dia) Allah lebih dari satu. Jika (Dia) Allah
berbilang, terbagilah kekuasaa Allah. Kekuasaan yang terbagi, artinya sama-sama
kurang berkuasa.69
Ketuhanan adalah prinsip semua agama wahyu, dan prinsip keesaan Tuhan
merupakan inti ajaran Islam, yang dikenal dengan konsep tauhid. Konsep Islam tentang
tauhid harus diyakini secara kaffah (totalitas), sehingga tauhid tidak hanya berwujud
pengakuan dan pernyataan saja. Akan tetapi, harus dibuktikan dengan tindakan nyata,
seperti melaksanakan kewajiban-kewajiban agama, baik dalam konteks hubungan
vertikal kepada Allah (ubudiyyah) maupun hubungan horisontal dengan sesama

67
Hamka. Debat Dasar Negara Islam dan Pancasila Konstituante 1957, Jakarta: Pustaka Panjimas. 2001.
hal 143
68
Hamka. Ayahku Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama Di
Sumatera, Jakarta: Ummida. 1982, hal. 301
69
Hamka. Ayahku Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama Di
Sumatera, Jakarta: Ummida. 1982, hal. 301

Universitas Indonesia
172

manusia dan semua makhluk (hablum minan nas).70 Penekanan pada sila pertama bagi
Hamka juga merupakan wujud untuk melaksanakan Islam itu sendiri.
Totalitas makna tauhid itulah kemudian dikenal dengan konsep tauhid ar-
rububiyyah, tauhid al-uluhiyyah dan tauhid al-asma wa al-sifat. Tauhid Rububiyyah
adalah pengakuan, keyakinan dan pernyataan bahwa Allah adalah satu-satunya
pencipta, pengatur dan penjaga alam semesta ini. Sedangkan tauhid al-Uluhiyyah adalah
keyakinan akan keesaan Allah dalam pelaksanaan ibadah, yakni hanya Allah yang
berhak diibadahi dengan cara yang ditentukan oleh Allah (dan Rasul-Nya) baik dengan
ketentuan rinci, sehingga manusia tinggal melaksanakannya maupun dengan ketentuan
garis besar yang memberi ruang kreativitas manusia seperti ibadah dalam kegiatan
sosial-budaya, sosial ekonomi, politik kenegaraan dan seterusnya, disertai dengan
akhlak (etika) yang mulia sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah. Adapun tauhid al-
asma wa al-sifat adalah bahwa dalam memahami nama-nama dan sifat Allah seorang
muslim hendaknya hanya mengacu kepada sumber ajaran Islam, al-Quran-Sunnah.
Melihat paparan di atas pengamalan sila pertama sejalan bahkan menjadi kokoh
dengan pengamalan tauhid dalam ajaran Islam. Inilah, yang menjadi pertimbangan Ki
Bagus Hadikusumo, ketika ada usulan yang kuat untuk menghapus 7 kata “dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”, mengusulkan kata pengganti
dengan “Yang Maha Esa”. Hamka pun sependapat bahwa, Ketuhanan Yang Maha Esa
adalah tauhid bagi umat Islam.71 Hamka jelas sepaham dengan Hadikusumo. Bagi
Hamka, jika umat Islam menjalankan Islam dengan baik maka secara otomatis akan
menjalankan sila pertama dari Pancasila.
Kemudian, Hamka juga menjelaskan bahwa Ketuhanan mengandung makna
bahwa Ketuhanan adalah sifat yang melekat pada hakikat manusia akan eksistensi
Tuhan pada dirinya. Maka Tuhan hadir dalam ruang batin manusia, dengan segala
kesadarannya merefleksikan kehendak-kehendak Tuhan pada dirinya. Nilai ketuhanan
yang melekat pada jiwa manusia, Ketuhanan mengandung sebuah konsekuensi
kepatuhan manusia atas kehendak-Nya. Maka kita menyadari akan asal kesejatian
manusia, berasal dari Tuhan bekerja untuk dan atas nama Tuhan, serta kembali kepada
Tuhan. Proses bergulirnya hidup yang selalu bersama denganNya. Sifat-sifat Ketuhanan
70
Bismar Siregar, Hukum Hakim Dan Keadilan Tuhan, Kumpulan Catatan Hukum dan Peradilan Di
Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press. 1995, hal. 24
71
Anshari, Wawasan Islam Pokok-pokok Pikiran Tentang Islam Dan Umatnya. Jakarta: CV Rajawali
1981: hal. 44

Universitas Indonesia
173

yang melekat pada jiwa manusia ini mengakibatkan manusia dalam ruang akalnya, ingin
mengenal Tuhannya. Lalu timbul pertanyaa Tuhan yang seperti apa, bagaimana, dan
untuk apa disembah? Tuhan Yang Maha Esa adalah jawaban ontologis atas dimensi
ruang akal manusia. Tuhan Yang Satu, Dialah Allah SWT. Perlu dipahami bahwa
Pancasila bukanlah agama, walaupun menjelaskan watak Tauhid, Pancasila adalah
sistem falsafah yang memuat konstruksi tauhid yang selaras dengan nilai spiritual dan
moral agama khususnya Islam.72
Allah SWT berfirman bahwa Diri-Nya sebagai Zat Yang Tunggal.73 Pengakuan
sifat kemanusiaan akan eksistensi Zat Yang Maha Tunggal menunjukkan sebuah konsep
monoteisme.74 Konsep ini menuntut sebuah pengakuan akan perbedaan manusia yang
plural dengan Tuhan Yang Maha Tunggal. Berbeda akan sifat, dimana manusia berasal
dari-Nya dan menuju pada-Nya. Pengakuan Tuhan Yang Maha Esa sekaligus menutup
adanya pengakuan ketiadaan Tuhan. Ketiadaan causa materi mengakibatkan ketiadaan
alam dan manusia. Dia yang menjadikan, mengendalikan, serta menentukan struktur
serta dimensi manusia dan alam semesta. Allah SWT adalah Tuhan yang dengan-Nya
pula segalanya menjadi ada.
Wujud-Nya tergambar pada ciptaan-Nya, karena wujud-Nya tidak muncul dalam
jangkauan inderawi manusia. Ketika ia dipersonifikasikan dalam wujud benda yang
memenuhi dimensi waktu dan ruang, maka Tuhan menjadi materi. Sedangkan materi
adalah sifat manusia, tentunya ini bukan Tuhan hakiki, karena ada yang menyamai-
Nya.75 Dia ada bukan karena wujud materi, Dia ada di atas segala dimensi ruang dan
menembus dimensi segala waktu. Dia yang menciptakan ruang dan waktu tentunya Dia
tidak berada dalam konsep ruang dan waktu. Ketika wujud immateri tidak tampak,
maka Allah mengaruniakan akal untuk melihat tanda-tanda (signs) akan kehadiran-Nya.
Pergerakan alam semesta, perputaran langit dan bumi, bergantinya siang dan malam
sebagai tanda akan keberadaanNya.76
Akal manusia menangkap tanda kehadiran-Nya, akal membenarkan, tetapi
bukan sekedar penerimaan dalam ruang akal semata, tapi jauh lebih dalam lagi hingga
mencapai hati yang terdalam berupa iman. Ketika masuk ke dalam hati, kebenaran akal
72
Husaini. . Filsafat Ilmu, Perspektif Barat Dan Islam, Jakarta: Gema Insani
Ilmu.2013. hal 147
73
Hamka, Tafsir, 2008: Qs.16, ayat 22
74
Hamka, Tafsir, 2008: Qs.112
75
Hamka, Tafsir, 2008: Qs.42. Ayat 11
76
Hamka, Tafsir, 2008: Qs.3: ayat 190-191

Universitas Indonesia
174

diresepsi oleh hati menjadi kebenaran ideologis. Inilah keyakinan manusia Indonesia
akan kebenaran hakiki. Nilai Ketuhanan bermakna keterpaduan akal serta hati terdalam
untuk mengetahui-Nya, yang dengan itu kita diminta-Nya untuk menyembah-Nya.77
Hamka menilai peletakan prinsip Ketuhanan sebagai sila pertama menunjukkan
adanya kesepakatan nilai yang universal. Nilai yang universal itu mampu menggerakkan
setiap manusia Indonesia untuk berbuat yang terbaik bagi sesama manusia dan
kemanusiaan, inilah bentuk manusia yang beradab. Nilai-nilai Ketuhanan memiliki
empat makna: pengakuan atas sebuah penciptaan oleh Tuhan, penyempurnaan oleh-
Nya, segala sesuatu diukur menurut ketentuan, serta konsep kepemimpinan untuk
mencapai sebuah tujuan. Manusia Indonesia mengakui adanya peran Tuhan atas
penciptaan sesuatu. Terbentuknya sebuah bangsa yaitu Indonesia terbentuk-tercipta atas
kehendakNya. Tuhan menjadikan segala sesuatu untuk disempurnakan, sehingga umat
Islam bersama dengan umat agama lain harus bekerja sama untuk menjaga eksistensi
Tuhan di Indonesia.78
Pengakuan atas eksistensi Tuhan Yang Maha Esa merupakan gerak dinamik olah
akal fikir manusia Indonesia. Gerak dinamika ini dapat diketahui dari pendekatan
Comte, menurutnya manusia mengalami tahap-tahap dalam peradabannya, yaitu: tahap
teologis menuju tahap berfikir metafisik hingga mencapai tahap positif, yang bercirikan
perwujudan empiris melalui akal pengetahuan. Pada kasus masyarakat timur, proses alur
berfikir tidak linear seperti apa yang dikemukakan oleh Comte tersebut. Ketika
kelompok masyarakat telah berada dalam tahap positif dengan mengedepankan akal
pengetahuan, pada saat yang sama masih pula meyakini adanya kekuatan-kekuatan
immateri yang mengatur dan mengendalikan semesta.
Pengetahuan manusia Indonesia akan objek sesuatu selalu dikaitkan dengan
kekuatan gaib. Pengetahuan yang diperolehnya ini tidak berada dalam struktur logis
matematis, akan tetapi kekuatan gaib bersumber pada ruang batin. Keyakinan akan
pengendali atas segala sesuatu ini dalam struktur ilmu pengetahuan Barat (tahap positif)
sulit untuk diterima karena ruang kebenaran menutup kebenaran metafisik. Kebenaran
adalah semata pada objek fisik, selama pancaindra mampu menangkap unsur gerak
objek itulah yang benar. Keyakinan akan eksistensi Tuhan Yang Maha Esa dalam ranah

77
Hamka, Tafsir, 2008: Qs.51: ayat 56
78
Soedewo dan Mahmud Yunus. Affecting Factors Differences Between the Quran Translations.
Pekalongan: Universitas Ahmad Dahlan. 2015. hal. 5

Universitas Indonesia
175

falsafah dibuktikan dalam pembuktian akal melalui eksistensi objek ciptaan-Nya. Gerak
materi pada alam menunjukkan eksistensi wujud immateri sebagai pengendalinya.
Wujud Tuhan tidak ditampilkan dalam objek fisik-Nya, melainkan pada wujud ciptaan
sebagai gejala-gejala kehadiran-Nya.
Pengakuan atas eksistensi ini tidak sekadar diletakkan dalam gagasan ruang ide
semata, melainkan jauh merasuk pada sisi materi manusia terdalam, yaitu jiwa. Manusia
merasakan bahwa dirinya bersama dengan Tuhannya karena manusia menyadari bahwa
dirinya berasal dari kehendak-Nya. Manusia menjadi milik-Nya dan memunculkan
sebuah keyakinan bahwa Tuhannya akan menolong dan meneguhkan. Kepada-Nya
pulalah tujuan dan akhir manusia, bersama-Nya manusia yang beriman selalu
bertawakal dan bersandar. Pengakuan atas Keesaan Tuhan dalam Sila Pertama ini
adalah urat tunggang keseluruhan sila Pancasila. Sila pertama menjiwai sila-sila yang
ada dalam Pancasila.
“Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka orang yang tidak beriman,
hati mereka mengingkari keesaan Allah, dan mereka adalah orang yang
sombong”.79

Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila merupakan prinsip tauhid dalam
demokrasi. Tauhid meng-Esakan tujuan hidup dari seluruh alam ini, baik yang
bernyawa atau yang tidak bernyawa. Ketuhanan Yang Maha Esa tiga perkara kepada
satu. Yang tiga perkara itu ialah manusia, hidup manusia dan alam kepada hanya satu
Tuhan. Dalam dasar kepercayaan Ketuhanan Yang Maha Esa itu, seluruh alam ini
dikumpulkan menjadi satu. Dengan satu nama, yaitu makhluk (yang dijadikan).
Kemudian, Hamka juga menyebutkan bahwa sila pertama sebenarnya juga
merefleksikan keyakinan semua umat beragama bahwa manusia harus senantiasa
menjaga kemerdekaan Indonesia dari setiap penjajahan yang bertentangan dengan
tauhid.
Hamka menegaskan jika bangsa Indonesia memperjuangkan Ketuhanan Yang
Maha Esa, maka bangsa Indonesia akan mencapai derajat yang setinggi-tingginya,
selama mereka masih tetap memegang tiga hal pokok dari kemerdekaan: Bangsa
Indonesia akan mendapatkan tiga hal penting, yaitu:

79
Hamka, Tafsir, 2008: Qs. An Nahl (22): hal. 16

Universitas Indonesia
176

1. Merdeka Iradah (kemauan): selama mereka masih berani menyeluruh, menyarankan,


menganjurkan dan menciptakan perkara yang ma’ruf. Yaitu yang dikenal baik dan
diterima baik oleh masyarakat. Itulah yang bernama “al-amru bil ma’ruf’.
2. Merdeka pikiran, atau bebas menyatakan pikiran. Yaitu melarang, menahan,
memprotes, mengoposisi yang mungkar. Artinya yang tidak dapat diterima oleh
masyarakat. Itulah yang bernama “annahayu ‘anil munkar”. Tidak perduli dari siapa
datangnya dan siapa yang menganjurkan. Dalam menyatakan kebebasan pikiran itu,
tidaklah perduli dari siapa datangnya. Karena kebenaran di atas dari segala orang.
Sebagai semboyan, “keadilan di atas dari kekuatan, kebenaran di atas dari
kedudukan”
3. Kemerdekaan jiwa. Bebas dari ketakutan. Itulah kepercayaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa saja, sehingga jiwa menjadi kuat menentang segala pancaroba dan
kesulitan. Sehingga mencintai sesame manusia adalah karena kehendak Tuhan.
Mencapai keadilan sosial adalah karena kehendak Tuhan dan kedaulatan rakyat,
adalah karena amanat Tuhan dan karena memikul tanggung jawab jadi khalifah
Tuhan.
Hamka menilai ketiga prinsip di atas juga menjadi titik temu dengan umat
agama lain. Hamka mengaitkan ketiga prinsip di atas sebagai alasan seluruh komponen
bangsa yang berbeda agama mampu bersatu untuk memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia. Kemudian, semangat Ketuhanan Yang Maha Esa dalam ketiga prinsip di atas
juga menjadi pendorong setiap umat beragama untuk mempertahankan sistem
demokrasi sebagai perwujudan ekspresi kebebasan manusia.
Penekanan Hamka terhadap tauhid sebagai esensi dasar Pancasila juga terlihat
saat dia menunjukkan perlawanannya yang keras terhadap Orde Baru. Perlawanan itu
berkaitan ketidaksetujuan Hamka kepada Menteri Agama RI yaitu Alamsyah
Ratuprawiranegara mengenai Natal. Hamka menjelaskan posisi dia sebagai Ketua MUI
jelas tidak menyetujui ucapan natal dari umat Islam. Hal itu menyebabkan menteri
Agama marah terhadap pandangan Hamka melalui fatwa MUI 7 Maret 1981 dan juga
mengancam akan mundur dari jabatan. Hamka didesak untuk mencabut Fatwa namun
menolak dan lebih baik mengundurkan diri sebagai ketua MUI. Hamka pun menyatakan
sikap dia mundur merupakan wujud pertanggungjawaban dia sebagai Muslim. Hamka
juga menyakini jika menteri Agama yang mundur justru akan menjadi petaka sama

Universitas Indonesia
177

seperti gunung runtuh sebab tidak ada lagi wakil Umat Islam untuk mengatur masalah
keagamaan.80
Sesungguhnya fenomena perayaan Natal bersama dimulai sejak tahun 1968
sampai dengan tahun 1980-an, yang ditandai dengan berdekatannya peringatan hari
Natal umat Kristiani dengan Idul Fitri milik kaum Muslim di Indonesia. Khususnya di
Jakarta dan kota lainnya di wilayah Indonesia ada tradisi halal bilhalal pasca Ramadhan
yang dilakukan di kantor-kantor departemen pemerintahan. Kebetulan waktunya hampir
bersamaan, maka di beberapa kantor pemerintah ada kepanitian bersama antara Natal
dan halal bilhalal tersebut. Sekilas nampak baik dan menunjukan toleransi serta
kebersamaan antara dua pemeluk agama, Islam dan Kristen.81
Namun keresahan ketika umat Islam harus hadir dalam ritual Misa sebagai
bagian ibadah ummat kristen dan mengikuti seluruh rangkaian acara. Berdasarkan
keresahan itulah Hamka seringkali dimintai pendapatnya, dalam kapasitas sebagai ketua
MUI Pusat. Maka dalam rangka menjaga akidah umat Islam MUI mengeluarkan Fatwa
Haram terhadap kegiatan Natal bersama yang marak waktu itu. Alasan lainnya adalah
berbeda antara halal bihalal yang bukan bagian ritual ibadah namun budaya Muslim
Indonesia yang positif dalam semangat kekeluargaan. Kemudian dicampurkan dengan
kegiatan Natal se bagian ritual agama bagi umat kristiani. Sebelum petunjuk
pelaksanaan Fatwa itu dimintakan persetujuan departemen agama, fatwa haram MUI
terlanjur bocor dan beredar ditengah khalayak.
B. Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Sila Kemanusiaan berkaitan erat dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Manusia jika menegakkan tauhid, maka manusia juga telah mempunyai
perikemanusiaan yang tinggi. Karena manusia dan kemanusiaan yang setinggi-
tingginya, pada keyakinan dan kepercayaan mereka, dan dalam praktik hidup mereka,
ialah yang paling dekat hubungannya dengan Tuhan. Mereka percaya kepada Tuhan
Yang Maha Esa saja. Dan Tuhan bersabda: “Kaanan Naasu Ummatan Waahidatan”
(Adalah manusia itu umat yang satu).

80
Wawancara dengan Dr. H. Anwar Prawiranegara, MA, Sekretaris Pribadi Hamka, Kontributor tulisan
seratus tahun Hamka, Minggu, ba’da Isya 15 Mei 2015 di Rumah Mayestik Jakarta Selatan, Kebayoran
Baru – Jakarta Selatan.
81
Wawancara dengan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. Ketua DKPP Republik Indonesia & Ketua Badan
Pembina YPI Al Azhar Indonesia, tanggal 3 Maret 2015, Bertempat di Kantor DKPP, Gd. Bawaslu RI.

Universitas Indonesia
178

Kemanusiaan bagi Hamka adalah sifat untuk menjunjung tinggi harkat manusia.
Hubungan manusia dengan Allah selaku Tuhan Yang Maha Esa ditentukan berdasarkan
pada kualitas bangunan kemanusiaannya. Ibadah kepada Allah tidak terhenti sebagai
sebuah kebajikan tunggal. Ibadah kepada-Nya diiikuti oleh perilaku adil kepada sesama
manusia. Pernyataan pengakuan iman oleh hati akan Keesaan Allah diikuti dengan
hubungan baik antar manusia. Manusia diminta bertaqwa sebagai titik optimal
peribadatan, sedangkan bentuk taqwa dapat dilihat dari bagaimana memperlakukan
orang lain secara adil dan penuh keadaban. Adil menjadi ukuran kedekatan manusia
pada titik optimumnya yaitu taqwa.82
Prinsip kemanusiaan dengan keadilan dan keadaban adalah juga menjadi ajaran
setiap agama yang diakui oleh negara Indonesia, termasuk Islam. Dalam ajaran Islam,
prinsip ini merupakan manifestasi dan pengamalan dari ajaran tauhid. Muwahhidun
(orang yang bertauhid) wajib memiliki jiwa kemanusiaan yang tinggi dengan sikap yang
adil dan berkeadaban.83 Sikap adil sangat ditekankan oleh ajaran Islam, dan sikap adil
adalah dekat dengan ketaqwaan kepada Allah sebagaimana firman Allah dalam.84
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil, dan janganlah sekali-
kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. ” Demikian
juga konsep beradab (berkeadaban) dengan menegakkan etika dan akhlak yang mulia
menjadi misi utama diutusnya Nabi Muhammad Saw dengan sabdanya, “Sesungguhnya
aku diutus Allah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” 85
Keyakinan atas eksistensi Immateri Tuhan Yang Maha Esa diletakkan dalam
proses relasi intersubjek. Manusia yang melakukan hubungan interaksi akan diselimuti
oleh pengakuan atas eksistensi wujud immateri Tuhan. Menghadirkan nilai berTuhan
dalam ruang dinamika sosial sebagai pengendali tata laku manusia. Posisi nilai-

82
Hamka, Tafsir, 2008: Qs.5, ayat: 8
83
Syed Ameer Ali, Etika Dalam Islam, Surabaya: Risalah Gusti.1992, hal. 34
84
Hamka, Tafsir, 2008: Q.S. Al Maidah ayat 8
85
“Dalam perspektif Islam, kekuasaan tak hanya merupakan jabatan tapi juga amanah. Kekuasaan jatuh
pada seseorang, umumnya melalui proses, kekuasaan bisa diperoleh karena keturunan seperti pada bentuk
pemerintahan monarki, atau bisa pula melalui sejumlah proses yang kita kenal dengan nama pemilihan
umum. Lihat, Sahar L. Hasan, Tafsir Politik, Refleksi Qur’ani atas Dinamika Politik Bangsa, (Jakarta:
PT. Wahana Semesta Intermedia, 2008, hal. 3).

Universitas Indonesia
179

ketuhanan yang diletakkan dalam konteks masyarakat komunal, menjadikan gerak tata-
lakunya selalu diiikat oleh nilai moral Ketuhanan. Nilai ketuhanan yag dilekatkan pada
masyarakat komunal akan menghasilkan sebuah masyarakat yang menjunjung nilai-nilai
keadaban.
Proses pencapaian sebuah masyarakat manusia yang beradab dilihat dari capaian
ilmu pengetahuan. Ilmu Pengetahuan meletakkan manusia pada posisinya yang tinggi.
Ilmu tidak dikaitkan semata dengan pendekatan mekanika, melainkan berkaitan dengan
pemahaman atas posisi kemanusiaan manusia yang membedakannya dengan makhluk
lainnya. Manusia yang menggunakan ilmu pengetahuan sekaligus kebaikan sebagai
manusia beradab.86 Pemahaman atas subjek manusia dan objek benda akan
ditransformasikan dalam bentuk perilaku-perilaku. Perilaku yang tampak adalah hasil
dari keseluruhan pemahaman yang mengendap dalam ruang ide. Nilai keadaban ini
diukur dalam standar nilai, dan moral yang ditentukan secara terstruktur oleh budaya.
Budaya suatu kaum akan menjelaskan pelaksanaan-pelaksanaan keadaban manusia.
Pluralitas budaya menimbulkan pluralitas persepsi atas adab perilaku manusia.87
Pluralitas budaya tersebut bukan sebagai sarana perusak integrasi antar manusia,
melainkan pemahaman untuk saling menolong, bekerja untuk berbuat kebajikan.
Relasi antar manusia menjadi sarana membuktikan kualitas hubungan baiknya dengan
Tuhannya. Norma bergerak, dan bekerja dalam relasi-relasi antar manusia. Norma
menjadi struktur sarana membentuk keadaban manusia. Kemanusiaan menunjukkan
adanya ruang kreasi manusia yang penuh keadilan dan keadaban. Dua bentuk perilaku
diharapkan oleh Allah SWT kepada diri manusia, setelah menyembah-Nya: berbuat
adil, karena adil itu merupakan bukti keadaban manusia.88
Adil adalah perilaku yang tidak cenderung pada hawa nafsu yang memicu
kezaliman. Adil memiliki makna menempatkan sesuatu sesuai dengan porsinya. Allah
SWT menghendaki bahwa berperilaku adil terhadap subjek siapapun, apakah individu
ataukah kelompok sosial. Kebencian akan sesuatu terhadap subjek tidak menghalangi
manusia untuk berbuat adil. Dengan ini maka dapat dilihat tentunya dimensi relasi
vertikal akan terikat oleh dimensi kemanusiaan manusia. Parameter adil menjadi ukuran
86
Notonagoro dalam Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia, Pidato IR. Soekarno 1 Juni 1945
Lahirnya Pancasila Dan Pidato Notonagoro 19 September 1951 Pancasila Dasara Falsafah Negara,
Jakarta: Direktorat Bina Ideologi, 2017. hal. 22
87
Hamka, Tafsir, 2008: Qs.49: ayat 13
88
Hamka, Tafsir, 2008: Qs.5: ayat 2

Universitas Indonesia
180

kedekatan manusia dengan Allah selaku Tuhan Yang Maha Esa. Disinilah manusia
sebagai makhluk monopluralis, manusia yang menyadari posisinya sebagai makhluk
Tuhan, makhluk individu, sekaligus makhluk sosial. Inilah relasi erat hablum minal
Allah dengan hablum minal an nas. Inilah susunan etik Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
dengan Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan
karena Allah, ketika menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu
terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berbuat tidak adil. Berlaku
adillah. Karenna adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada
Allah, sungguh Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan”.89
Secara umum, semua uraian di atas menunjukkan keyakinan keterhubungan sila
kemanusiaan dengan tauhid. Prinsip perikemanusiaan merupakan konsekuensi yang
wajar sesudah kita berpegang teguh dengan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa. Untuk memupuk kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa itu, dan memelihara
peri kemanusiaan, kita beribadah, kita sembahyang dengan berjamaah. Kita dirikan
langgar, surau, mushala, dan masjid. Kita keluar ke tanah lapang sembahyang beramai-
ramai pada dua hari raya dan kita naik haji ke Mekkah sekurangnya sekali seumur
hidup. Ibadah dan berjamaah itu merapatkan silaturahmi kita, yang berarti pula
menyuburkan peri kemanusiaan.
Penekanan aspek kemanusiaan menurut Hamka Islam akan mendorong umat
Islam untuk bertoleransi dan bekerja sama dengan umat agama lain dengan prinsip
keterbukaan demi mencapai kebaikan hidup masyarakat melalui sistem demokrasi.
Aspek kemanusiaan jelas mencerminkan prinsip Islam yang menghendaki umat Islam
untuk bekerja sama dengan umat agama lain. Prinsip kemanusiaan yang berangkat dari
pemahaman Islam menurut Hamka menyebabkan Islam dapat mewarnai demokrasi.
Islam yang mampu memperkuat makna kemanusiaan sesuai dengan prinsip Islam
menurut Hamka jelas menunjukkan merupakan hal yang keliru jika menjadikan Islam
sebagai acuan dasar politik akan menjadi ancaman bagi kemanusiaan. Argumentasi dari
Hamka jelas berupaya menunjukkan bahwa Islam mampu menjadi pelindung
kemanusiaan terutama bagi mereka yang beragama selain Islam.

C. Sila ketiga: Persatuan Indonesia

89
Hamka, Tafsir, 2008: Qs. Al Maidah (5): ayat 8

Universitas Indonesia
181

Persatuan tidak saja dibutuhkan saat bebas merdeka, melainkan tetap diletakkan
dalam struktur konstruksi kemerdekaan. Persatuan menghendaki adanya kebersamaan
diantara beragam orang yang berbeda, dan menyadari akan sebuah kepentingan dan
tujuan yang serupa. Dinamika relasi antar budaya dibangun untuk memahami antar
pendukung budaya. Kebersamaan kegotongroyongan tidak akan tercipta ketika tidak
ada kesepahaman diantara pendukung kebudayaan yang berbeda. Sekat-sekat
kecurigaan dan kesalahpahaman dihilangkan dengan membuka ruang-ruang dialog antar
budaya. Inilah hakikat Bhinneka Tunggal Ika, Bhina Ika Tunggal Ika, beragam itu satu
itu, beragam tetapi satu hakikatnya. Selaras dengan pedoman al Qur’an dalam.90
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-
suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Hamka merujuk pada yang dikemukakan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber
dari Ibnu Abi Malikah yang berkata : “Ketika terjadi penaklukan kota Makah, Bilal naik
keatas atap Ka’bah dan mengumandangkan adzan. Orang yang berkata: ”orang yang
adzan diatas ka’bah itu kan budak hitam” maka berkatalah sebagiannya “sekiranya
Allah SWT membecinya, tentu akan menggantinya”. Maka Allah SWT menurunkan
ayat “Yaa Ayyuhannasu Innaa Khalaqnakum Min Dzakarin Wa Untsaa sampai akhir
ayat”.91
Berkenaan dengan peristiwa itu, yang menerangkan bahwa di dalam agama
islam tidak mengenal diskriminasi tapi kesetaraan berdasar kasih sayang dan
persaudaraan atas dasar iman. Ukuran kemuliaan seseorang hanyalah tergantung
ketakwaannya kepada Allah. Ajaran Islam memerintahkan agar umat Islam menjalin
persatuan dan kesatuan antar manusia dengan kepemimpinan dan organisasi yang kokoh
dengan tujuan mengajak kepada kebaikan (al-khair), mendorong perbuatan yang
makruf, yakni segala sesuatu yang membawa maslahat (kebaikan) bagi umat manusia
dan mencegah kemungkaran, yakni segala yang membawa mudharat (bahaya dan
merugikan) bagi manusia seperti tindak kejahatan. Persatuan dan kesatuan dengan

90
Hamka, Tafsir, Jakarta: 2008, Juz 26, Qs. al Hujurat (49): ayat 13.
91
Hamka, Tafsir, Jakarta: 2008, Juz 26, Qs. al Hujurat (49): ayat 13.

Universitas Indonesia
182

organisasi dan kepemimpinan yang kokoh itu dapat berbentuk negara, seperti negeri
tercinta Indonesia.92
Untuk mencapai kemerdekaan suatu negara dapat tercapai dengan persatuan
serta didorong semangat nasionalisme yang kuat. Nasionalisme Indonesia adalah
nasionalisme rakyat yang religious berketuhanan. Watak monoteistik yang dibawa
Islam, agama yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia telah membawa “liberating
effect” yang mendorong sikap perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. 93 Ciri puncak
dari nasionalisme Indonesia adalah berupa dasar negara Pancasila. Eksistensi dan
berlakunya Pancasila sebagai dasar negara, bersama-sama dengan berdirinya Negara
Kesatuan Republik Indonesia pada hari Proklamasi 17 Agustus 1945.
Manusia dengan penuh keterbatasannya bekerja dalam ruang relatif. Untuk itu
seseorang akan menjadi manusia utuh ketika dirinya mampu hidup bersama dengan
manusia lainnya. Hidup bersama ini adalah hidup dinamis, untuk saling bekerjasama,
tolong-menolong dan bergotong-royong.94 Ruang-ruang relasi dibangun untuk menuju
sebuah tujuan bersama, karena kerja optimum hanya tercapai melalui sebuah kekuatan
yang dihimpun secara bersama. Inilah hakikat persatuan yang menghendaki adanya
kebersamaan untuk membangun sebuah kekuatan. Persatuan diantara ruang-ruang
perbedaan, untuk memahami budaya yang beragam (pluralitas budaya). Corak suku
bangsa Indonesia adalah kehendak Allah SWT, yang dengannya kita menyadari akan
kenyataan hidup bersama, bekerja, membangun kebersamaan dalam rumah yang
bernama Indonesia. Kebersamaan diantara corak ragam suku bangsa ini hakikatnya
satu: adalah bangsa Indonesia, bahwa manusia adalah makhluk Allah yang beradab.
Inilah Bhinneka Tunggal Ika, yaitu perbedaan keragaman yang menyatu dalam sebuah
tubuh bangsa Indonesia. Kesadaran akan hidup bersama, memahami bahwa kita
memiliki ruang yang sama. Kerjasama antar umat untuk mempertahankan rumah yang
ditempati secara bersama. Kekayaan alam yang dimiliki adalah sebagai pendukung
pembangunan manusia Indonesia sendiri.95
Secara historis pertikaian antar suku yang terjadi di Indonesia mengakibatkan
sulitnya membangun sebuah bangsa. Pada keadaan sengketa antar kekuatan internal
92
Wawancara dengan, H. Afif Hamka (Putra Buya Hamka), Dewan Pengawas YPI Al Azhar, Minggu,
Tanggal 8 Februari 2016 di Masjid Agung Al Azhar Jakarta Selatan.
93
Adhyaksa Dault, Menghadang Negara Gagal, Sebuah Ijtihad Politik, Renungan Seorang Anak Bangsa,
Jakarta: Renebook. 2012, hal. 101
94
Hamka, Tafsir, 2008: Q.S.5: ayat 2
95
Hamka, Tafsir, 2008: Qs.49: ayat 13

Universitas Indonesia
183

bangsa semakin menyulitkan persatuan. Proses penjajahan dengan penindasan dan


perbudakan anak bangsa oleh bangsa Eropa semakin memperberat keadaan. Kesadaran
akan kebersamaan rasa sependeritaan ini diikat oleh rasa Ketuhanan dan persaudaraan
yang menghasilkan semangat untuk bersama berjuang layaknya bangunan yang kuat
dan kokoh telah disebutkan juga dalam.96 Menurut Yudi Latif : dalam mewujudkan
persatuan harus dipahami sebagai sebuah kesatuan jiwa yang utuh dan melekat.
Kehendak untuk hidup bersama karena diikat oleh persatuan watak dan karakter yang
tumbuh karena adanya pengalaman yang sama.97
Hamka selalu menyatakan bahwa nilai Pancasila sila ke 3 yaitu Persatuan
Indonesia, bahwa kebangsaan kita bukan Chauvinis, melainkan nasionalisme dalam arti
luas, yaitu didasari kesadaran sebagai bagian masyarakat internasional. Maka bangsa
Indonesia mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa-
bangsa lain atas kesetaraan dan keadilan. Hamka dalam tafsirnya menguraikan makna al
Qur’an ayat 13 ayat 49 bahwa Allah SWT menciptakan manusia terdiri dari laki-laki
dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa semata-mata untuk saling kenal-
mengenal/ta’aruf. Sehingga menurut Hamka Nasionalisme Indonesia dalam arti luas
adalah mencintai sesama manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT karena
membenci manusia/bangsa lain adalah bertentangan dengan sila pertama dan kedua
yaitu Kemanusiaan dan Ketuhanan. Selanjutnya tentang teknis musyawarah, demokrasi
dan kedaulatan rakyat. Al Qur’an tidak mengatur secara detail maka kita diperintahkan
berijtihad-lah dengan sebaik-baiknya.
D. Sila keempat; Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan Perwakilan
Hamka menerima sila keempat dari Pancasila sebab itu sejalan dengan konsep
demokrasi. Hamka selama menjadi kader Masyumi memang selalu menegaskan Negara
Republik Islam Indonesia atau Negara Republik Indonesia berdasarkan Islam sebagai
ide besar. Hamka sebagai tokoh Masyumi tetap bersedia untuk berdialog saat
pembahasan dan berupaya untuk mencari titik temu dengan semua kekuatan politik di
Konstituante. Dalam perdebatan di Konstituante beberapa tokoh Muhammadiyah
terlibat aktif, seperti Kahar Muzakkir, Hamka, Hasbi Ashshiddiqy. Mereka

96
Hamka, Tafsir, 2008: QS.61: ayat 4
97
Yudi Latif, Negara Paripurna Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: Gramedia
Pustaka. 2012, hal. 370.

Universitas Indonesia
184

dalam kapasitasnya masing-masing telah mengartikulasikan argumennya sebagai


bagian dari kerja teologi politik Islam/Muhammadiyah. 98 Hamka juga berpandangan
bahwa setiap individu yang terlibat dalam Dewan Konstituante sedang berupaya
merefleksikan semangat untuk menjalankan amanat Islam untuk menyelesaikan
persoalan melalui musyawarah.
Hamka selama menjadi kader Masyumi juga menerapkan prinsip penghargaan
terhadap perbedaan. Hamka dapat menolak argumentasi-argumentasi dari kalangan
sekuler mengenai dasar negara atau konstruksi negara dalam sidang konstituante,
namun Hamka tetap dapat menerima keputusan politik dalam sidang tersebut dan
Hamka berusaha memahami perbedaan sudut pandang bahkan kepada yang kontra
kepada gagasan dia. Hamka sebagai pendukung ideologi modernisme Islam tentu tetap
bercita-cita Indonesia menjadi negara yang modern dan maju sesuai dengan prinsip
Islam, namun Hamka juga menyadari kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara
majemuk, sehingga pembentukan sistem pemerintahan yang demokratis, hidup damai
dan harmoni menjadi hal yang sangat terpenting. Pelaksanaan sistem demokrasi dapat
terus sejalan dengan syariah, selama Islam tetap mendapatkan tempat sebagai sumber
inspirasi untuk menghadapi tantangan zaman yang terus berubah. Spirit Islam akan terus
memberikan manfaat bagi seluruh warga bangsa, sepanjang Umat Islam mampu
memanfaatkan parlemen secara optimal.99
Keberadaan sistem perwakilan bagi Hamka berperan penting untuk menyatukan
individu-individu yang berbeda pandangan. Perbedaan pandangan politik tidak dapat
dihindarkan, namun itu memerlukan persamaan tujuan yang harus dicapai manusia
secara bersama-sama yaitu memanggul amanah agama Islam dimanapun mereka
berpijakkan kaki di bumi ini. Al-qur’an tentu harus menjadi tuntunan undang-undang
bagi setiap manusia yang berbeda dan mampu menyatukan segala persepsi yang
berbeda antarumat manusia, namun prinsip fleksibilitas tetap diperlukan. Hamka
menyadari bahwa upaya penerapan Alquran dan Assunnah sebagai sumber hukum yang
utama tentu akan memunculkan perbedaan pandangan politik. Perbedaan pandangan
politik di Indonesia tidak terhindarkan sebab Negara Indonesia merupakan negara
majemuk yang memiliki perbedaan budaya sesuai dengan argumentasi Hamka berikut:
98
Ahmad Nurmadi. Ijtihad Politik Muhammadiyah: Politik Sebagai Amal Usaha. Yogyakarta: UMY
2015, hal. 4
99
Yusril Ihza Mahendra. Modernisme dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam Perbandingan Partai
Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at-i-Islami(Pakistan), Jakarta: Paramadina.1999

Universitas Indonesia
185

Ada bahasa Inggris, ada bahasa Prancis, ada bahasa Jerman, ada bahasa Rusia
dan berbagai bahasa lagi di Eropa Timur, dan ada bahasa Italia, ada bahasa
Spanyol. Jangankan demikian, sedangkan di tanah air Indonesia sebagai negara
kepulauan ini saja, tidak kurang dari pada 300 bahasa daerah, yang kalau
tidaklah ada bahasa persatuan Indonesia, yang dahulunya bernama bahasa
Melayu, yang jadi bahasa lingua franca yang mempersatukan pulau-pulau ini,
alangkah sukarnya buat menjadi sebuah Negara besar.100

Perbedaan pandangan politik merupakan hal yang manusiawi, namun upaya


untuk memperkokoh jiwa kebersamaan dan semangat rasa persatuan dan kesatuan, jelas
menjadi hal yang penting bagi umat Islam dan umat agama lain. Kondisi demikian
menyebabkan sistem perwakilan harus mampu menjadi wadah persatuan Indonesia,
dengan bingkai sila keempat dalam konteks hasil musyawarah, yaitu musyawarah
pemuka-pemuka bangsa Indonesia mempersatukan suku-suku bangsa ini jadi satu
negara yang bernama Republik Indonesia. 101 Dalam permusyawaratan PPKI atau yang
dikenal dengan panitia sembilan itu duduk pemuka-pemuka yang mewakili umat Islam
Indonesia. Mereka adalah (Haji Agus Salim, H. A. Wahid Hasyim, Abikusno
Cokrosuyoso, dan Haji Abdulkahar Muzakkir). Empat orang wakil kaum nasionalis
yang lain (Ir. Soekarno, Dr. Mohammad Hatta, Mr. Mohammad Yamin, dan Mr. Ahmad
Subardjo). Hanya satu yang bukan mewakili Islam, yaitu A.A. Maramis (mewakili
Kristen).
Sila keempat dari Pancasila bagi Hamka tidak bertentangan dengan Isla, Hamka
menilai jika dipandang dari segi hukum Islam, fiqih dan ushul fiqihnya, maka
permusyawaratan dan hasil permusyawaratan itu adalah sah. Dipandang dari segi
sumber asli ajaran Islam, yaitu al-Qur’an, tersebut dalam surat al-Hujuraat, (49) ayat 13,
bahwasanya adanya rakyat Indonesia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku itu diakui.
Gunanya ialah untuk kenal-mengenal di antara satu dengan yang lain. Agama bukanlah
menghapuskan bangsa dan menghancurkan suku, sebagaimana dalam Republik
Indonesia sendiri pun, sejak Proklamasi 17 Agustus kita bergabung jadi satu, bukanlah

100
Hamka. Dari Hati Ke Hati Tentang Agama, Sosial Budaya, Politik, (Cetakan 1), Jakarta: Panji
Masyarakat, Cet. 1. 2002, hal. 85
101
“Maka sejalan dengan menguatkan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, kamu rapatkan pula
hubungan dengan sesama manusia, khususnya sesamamu yang beriman. Maka datanglah lanjutan ayat ;
Sedangkan urusan-urusan mereka adalah diselesaikan dengan musyawarah diantara mereka.” Sebab
sudah jelas bahwa bahwa urusan itu ada yang urusan pribadi dan ada urusan yang mengenai kepentingan
bersama. Maka yang mengenai urusan bersama itu dimusyawaratkan bersama, supaya ringan sama
dijinnjing, berat sama dipikul. Lihat, Hamka, Tafsir surat asy Syura juz 25 dalam Tafsir Al Azhar;
( Jakarta; Pustaka Panjimas, Maret 2007), hal. 36.

Universitas Indonesia
186

berarti misalnya bahwa “penulis dari buku Hati ke Hati” ini, telah berhenti jadi orang
Minangkabau” ungkap Hamka.102
Hamka mengatakan musyawarah yang ada dalam Pancasila sejalan dengan
Islam. Sila keempat dalam Pancasila menurut Hamka mewujudkan amanat surat ke-42,
Asy-Syura (Permusyawaratan) ayat 38: Menurut Hamka, jika Umat Islam menjalankan
sila keempat maka itu sama artinya telah melaksanakan kehendak Tuhan untuk
melakukan musyawarah dalam segala hal termasuk dalam bidang politik. Jika Umat
Islam melakukan musyawarah dalam konteks kenegaraan, maka rakyat juga akan
memperoleh rahmat dari Allah. Pelaksanaan musyawarah menurut Hamka juga
merupakan bagian dari pelaksanaan kenegaraan untuk menangani berbagai masalah,
mulai dari masalah pertahanan hingga masalah kemiskinan dan kemelaratan.103 “Dan
(bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat,
sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”.
Kemudian, Hamka juga menambahkan bahwa pelaksanaan sila keempat justru
merupakan contoh mengikuti keteladanan Nabi Muhammad SAW untuk
mempertahankan prinsip berjamaah. Prinsip berjamaah dalam konstruksi syariah tidak
hanya mengenai mewajibkan berjum’at secara berjamaah, melainkan juga upaya untuk
merapatkan hubungan sesama individu secara khusus sesama individu yang beriman
untuk melakukan musyawarah dalam berbagai urusan. Urusan tersebut dalam
pandangan Hamka bermacam-macam, seperti urusan pribadi, dan urusan yang
mengenai kepentingan bersama. Mengenai persoalan bersama, adalah dimusyawarahkan
bersama, agar ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.
Prinsip yang ada pada sila keempat ini merupakan serapan dari nilai-nilai Islam
yang mengajarkan kepemimpinan yang adil, yang memperhatikan kemaslahatan
rakyatnya dan di dalam menjalan roda kepemimpinan melalui musyawarah dengan
mendengarkan berbagai pandangan untuk didapat pandangan yang terbaik bagi
kehidupan bersama dengan kemufakatan. Idealnya sistem demokrasi yang diterapkan di
Indonesia dengan mengedepankan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan sebagaimana
ditegaskan dalam sila-sila dalam Pancasila sejalan dengan ajaran agama. Bahkan
pengamalan agama akan memperkokoh implementasi ideologi Pancasila.
102
Hamka, Jakarta: 2008, hal. 146
103
Hamka, XXV. 2008, hal. 38

Universitas Indonesia
187

Kerakyatan memiliki makna terdapatnya pusat gerak dinamisnya adalah rakyat,


sekumpulan manusia yang memiliki kehendak dan tujuan. Kehendak-kehendak
sekeumpulan manusia ini diwujudkan melalui bentuk negara atas dasar prinsip
kerakyatan juga mengandung kerangka ide dimulainya suatu perbuatan atas kehendak
sekumpulan manusia yang menyatakan dirinya sebagai rakyat. Kerakyatan
menghendaki adanya keinginan bertindak dan berbuat secara kolektif. Karakter
kerakyatan adalah sistem kehendak melalui sarana-sarana demokrasi pedesaan.
Masyarakat desa memiliki konsep kepemilikan komunal atas objek. Ruang kebersamaan
dan kegotong-royongan secara dinamis dilaksanakan untuk dapat memanfaatkan setiap
jengkal sumber daya yang ada di desa. Setiap kesulitan akan dibicarakan secara bersama
dalam bentuk musyawarah oleh setiap individu anggota masyarakat dengan pimpinan
tokoh yang berwibawa.104
Hikmah mengandung makna pengetahuan yang datang dari Allah, dan dengan
itu manusia berupaya untuk menguak nilai-nilai kebenaran.105 Hikmah diletakkan
bersama dengan kebijaksanaan (wisdom), dan ini mengandung makna terdapatnya
pengetahuan akan moralitas sekelompok manusia. Demokrasi dengan bentuk
kebersamaan ala masyarakat desa ini harus dibimbing, diarahkan melalui pengetahuan
yang datang dari-Nya dan dilaksanakan secara bijaksana untuk mencapai suatu hasil
kemufakatan.106
Dalam demokrasi kerakyatan yang dipraktekan di desa, semuanya mengarah
kepada konsensus-konsensus yang dibangun di antara kelompok dan individu
pendukung masyarakat desa. Konsensus dibangun sebagai jalan untuk mengakomodasi
kepentingan setiap kelompok maupun individu yang ada dalam masyarakat tersebut.
Tujuan dilakukan hal ini adalah untuk mencapai sebuah kemaslahatan umat. Kekuatan
konsensus yang dibangun dalam demokrasi ini membuat semua kekuatan-kekuatan
sosial pendukung demokrasi tersebut ikut merasa memiliki, bertanggungjawab, serta
loyal terhadap keputusan yang dihasilkan dalam musyawarah tersebut. Hikmah
kebijaksanaan juga menunjukkan adanya sebuah kearifan dalam menerima segala
perbedaan yang muncul dalam proses musyawarah.107
104
Hamka, Tafsir, 2008: Qs.42: ayat 38
105
Hamka, Tafsir, 2008: Qs.2: ayat 129
106
Kaelan. Pancasila Sebagai Sumber Etika Politik Dan Paradigma Bermasyarakat, Berbangsa Serta
Bernegara, Yogyakarta: Penerbit Paradigma 2014. hal. 375
107
Yudi Latif, Negara Paripurna Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: Gramedia
Pustaka. 2012. hal. 488

Universitas Indonesia
188

“dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan


melaksanakan sholat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah
antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami
berikan kepada mereka”.108

Sila keempat dalam pandangan Hamka juga mencerminkan prinsip kemerdekaan


politik. Kemerdekaan politik bagi bangsa menimbulkan kegembiraan hidup dalam
segala lapangan. Jaminan negara atas hidup warganya dan usaha mempertinggi
ukurannya, menyebabkan timbulkan filosof-filosof Indonesia. Di samping orang
memikirkan yang di hadapan mata, dia juga memikirkan yang seribu tahun lagi. Jika
pendapat itu “ganjil” didengar oleh orang awam, dia tidak akan gentar menjelaskannya,
karena keamanan dirinya terjamin.
Hamka menjelaskan bahwa sila keempat juga menunjukkan kebebasan politik
secara menyeluruh bagi masyarakat umum. Sila keempat membuka peluang bagi setiap
orang awam untuk mendirikan partai politik secara bebas, sehingga tiap-tiap orang yang
bercita-cita merasa patut memasuki salah satu partai politik atau mendirikannya asas
partai itu. Hamka juga mendorong setiap umat Islam untuk mampu membentuk partai
politik sehingga umat Islam mampu memasuki parlemen. Hanya saja, Hamka
menginginkan saat Umat Islam memasuki parlemen harus memenuhi dua persyaratan
mendasar. Pertama, umat Islam harus mampu menerapkan prinsip musyawarah sesuai
dengan Pancasila dan Islam. Kedua, umat Islam yang menjadi wakil rakyat harus
mampu menjaga amanah para pemilih untuk memperjuangkan nilai-nilai dari Islam.
Penerimaan Hamka terhadap sila keempat mencerminkan pandangan dia sebagai
tokoh modernis. Hamka melihat bahwa semua anggota dalam sistem perwakilan
memiliki hak yang sama untuk terlibat dalam politik. Secara umum, Hamka sebagai
tokoh modernisme melihat perwujudan sila keempat juga menunjukkan keterbukaan
wawasan keagamaan. Keterbukaan wacana menempatkan Islam sebagai panduan
kehidupan dan karenanya harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Sila keempat
dalam pandangan Hamka merupakan respon terhadap kemunculan ide-ide kemajuan
terhadap berbagai masalah-masalah kontemporer.109
Pelaksanaan sila keempat bagi Hamka juga menunjukkan bahwa Umat Islam
mampu menunjukkan sikap modernis. Sikap modernis berkaitan dengan upaya Umat

108
Hamka, Tafsir, 2008: Qs. As-Syura (42): ayat 38
109
Amir Aziz Ahmad. Neo–Modernisme Islam di Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta).1999, hal. 20

Universitas Indonesia
189

Islam untuk menggunakan sumber-sumber Islam dengan paradigma filosofis guna


mendapatkan jawaban yang up to date terhadap Islam yang menyangkut masa lalu dan
relevansinya di era sekarang melalui sistem musyawarah. Kemudian, agama yang
dinamis, progresif dan rasional dan menghasilkan rasa kebanggaan, jati diri, dan
keyakinan bahwa Islam relevan dengan kehidupan modern dengan cirinya yang sangat
multikultural.110 Sikap ini nantinya menjadi penting sebagai koridor umat Islam untuk
menjalankan demokrasi dan Pancasila secara bersamaan.
E. Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Mengelola negara dengan prinsip keadilan yang meliputi semua aspek, seperti
keadilan hukum, keadilan ekonomi, dan sebagainya, yang diikuti dengan tujuan untuk
kesejahteraan rakyat merupakan amanat setiap agama bagi para pemeluknya. Dalam
Islam di ajarkan agar pemimpin negara memperhatikan kesejahteraan rakyatnya, dan
apabila menghukum mereka hendaklah dengan hukuman yang adil.111
Keadilan Sosial menunjukkan sebuah ruang gerak interaksi antar manusia.
Keadilan tidak saja diletakkan sebagai sebuah upaya mendorong hak-hak individu
dalam sebuah pertarungan bebas. Dalam struktur masyarakat yang bermusyawarah ini
diletakkan keadilan secara sosial. Keadilan dalam makna pencapaian sebuah
kesejahteraan oleh penguasa kolonial. Keadilan yang menyengsarakan rakyat terjajah.
Keadilan sosial ini sekaligus merupakan equilibrium atau titik keseimbangan dari
keadilan individual dan keadilan kolektif. Ruang keadilan pencapaian kesejahteraan
dalam bentuk kesejahteraan sosial ini meletakkan penghargaan atas pencapaian
kesejahteraan individu di tengah masyarakat. Pada sisi lain keadilan ini tidaklah bebas
mutlak dalam pertarungan free fight liberalism yang mengutamakan kehendak bebas
mutlak individu atas penguasaan mutlak ekonomi.
Kesejahteraan yang dicapai harus didistribusikan secara adil, dan dalam konsep
ini tidak ada kepenguasaan mutlak oleh individu atas setiap sumber daya yang
berpotensi menimbulkan kerugian bagi orang lain. Keadilan sosial menginginkan
distribusi sumber daya secara adil kepada individu lainnya dalam ruang kolektif.112
Keadilan yang diharapkan mampu mengatasi kesenjangan antara si kaya dan si
miskin dalam akses penguasaan sumber daya. Keadilan yang dicapai meliputi keadilan
110
John L. Esposito, Masa Depan Islam Antara Tantangan Kemajemukan dan Benturan Dengan Barat,
Bandung: Mizan. 2010, hal. 193
111
Hamka, Tafsir, 2008: QS. Nisa: ayat 58
112
Hamka, Tafsir, 2008: Qs.51:19

Universitas Indonesia
190

ekonomi, sosial, dan juga politik yang terwujud dalam kesejahteraan umum. Keadilan
ini bukan sekedar dalam perpektif hukum melainkan diikuti oleh sebuah semangat kasih
sayang.113 Keadilan sosial ini mengandung penghormatan atas hak-hak perseorangan
atau individu. Perwujudan keadilan sosial ini menjadi amanah bagi pemimpin yang adil
untuk menggerakkan potensi negara mewujudkan sebuah keadilan yang dapat dirasakan
oleh semua kalangan dan lapisan masyarakat. Pemimpin yang mampu mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur.
Keadilan sosial merupakan pencapaian keadilan terhadap manusia Indonesia
secara menyeluruh. Proses pencapaian keadilan sosial ini tercapai melalui konsep
musyawarah. Capaian keadilan sosial ini membuktikan bahwa nilai-nilai Ketuhanan
tidaklah terpisah dari nilai kesejahteraan manusia. Unsur jiwa ruhani tak terpisahkan
dari unsur tubuh fisik manusia. Musyawarah dilaksanakan untuk mencapai sebuah
kesejahteraan secara menyeluruh bagi manusia Indonesia. Dalam pencapaian keadilan
sosial ini musyawarah menjadi sarana untuk mencapainya, sehingga keadilan dapat
dirasakan oleh tiap individu. Keadilan sosial dengan capaian kesejahteraan sosial tidak
mengabaikan hak-hak individu atas kepemilikan benda. Benda sebagai harta pada
hakikatnya bukan dimiliki oleh manusia secara mutlak, karena kemutlakannya menjadi
milik Tuhan.Tuhan mendistribusikan milik-Nya kepada manusia untuk diatur oleh
manusia. Manusia sebagai pengatur dan distributor atas benda milik Tuhan ini selalu
mendasarkan distribusinya pada konsep keadilan.
Keadilan yang tercipta tidak saja dirasakan secara individu, tetapi juga keadilan
yang diperoleh masyarakat sosial. Setiap orang diakui kepemilikan individualnya, dan
berhak untuk mempertahankan apa yang menjadi hak miliknya. Negara dengan
hukumnya wajib melindungi hak individu tersebut. Kepemilikan individu diakui
sebagai bagian dari kepemilikan sosial. Keadilan sosial ini mengandung penghormatan
atas hak-hak perseorangan atau individu.114
Keadilan sosial menempatkan individu-individunya yang kooperatif.
Kepentingan sekelompok kecil orang yang memiliki kekuasaan ekonomi tidaklah dapat
mengganggu kepentingan rakyat banyak yang miskin. Keadilan yang diharapkan adalah
keadilan yang didasarkan atas kemakmuran dan kebahagiaan. Prinsip Negara yang

113
Yudi Latif, Negara Paripurna Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: Gramedia
Pustaka. 2012, hal. 586.
114
Hamka. Keadilan Sosial dalam Islam, Jakarta: Gema Insani, Cet. 1. 2015, hal. 79.

Universitas Indonesia
191

dibangun dengan semangat nilai keadilan sosial ini adalah sebuah negara kesejahteraan.
Dalam negara kesejahteraan Indonesia yang dituntut adalah etika politiknya bukanlah
penghapusan hak milik pribadi, melainkan bahwa hak milik pribadi itu memiliki fungsi
sosial. Negara bertanggungjawab atas kesejahteraan sosial. Sila Keadilan Sosial bagi
seluruh Rakyat Indonesia pada hakikatnya adalah aksiologis pelaksanaan Pancasila dan
nilai guna dari nilai Ketuhanan dan kemanusiaan. Bersatunya masyarakat Indonesia
ditunjukan dengan melaksanakan musyawarah, yang bertujuan mewujudkan sebuah
nilai etik yaitu keadilan sosial. Kelima nilai ini membentuk sebuah sistem kefilsafatan
yang memasuki jiwa hukum Indonesia berupa falsafah Pancasila.
“Dan pada harta benda mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta, dan
orang miskin yang tidak meminta”.115
Keadilan sosial adalah pencapaian keadilan terhadap manusia Indonesia secara
menyeluruh. Proses pencapaian keadilan sosial ini tercapai melalui konsep musyawarah.
Capaian keadilan sosial ini membuktikan bahwa nilai-nilai Ketuhanan tidaklah terpisah
dari nilai kesejahteraan manusia. Unsur jiwa ruhani tak terpisahkan dari unsur tubuh
fisik manusia. Musyawarah dilaksanakan untuk mencapai sebuah kesejahteraan secara
menyeluruh bagi manusia Indonesia. Dalam pencapaian keadilan sosial ini musyawarah
menjadi sarana untuk mencapainya, sehingga keadilan dapat dirasakan oleh tiap
individu. Keadilan sosial dengan capaian kesejahteraan sosial tidak mengabaikan hak-
hak individu atas kepemilikan benda. Benda sebagai harta pada hakikatnya bukan
dimiliki oleh manusia secara mutlak, karena kemutlakannya menjadi milik Tuhan.
Tuhan mendistribusikan milikNya kepada manusia untuk diatur oleh manusia.
Jika melihat semua uraian Hamka mengenai Pancasila, maka Hamka jelas
mempercayai Pancasila merupakan sumber moral dan etika yang selaras dengan ajaran
moralitas agama, Hamka berpendapat bahwa suatu Negara akan mengalami
keruntuhannya ketika penduduk Negara itu sudah melalaikan apa yang disebut dengan
nilai-nilai keagamaan dan moralitas yang sebenarnya menjadi tugas Agama untuk
menegakkannya dalam suatu kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hamka
mensikapi kekuasaan dalam praktik bernegara haruslah tetap dalam bingkai visi, misi
yang sama dengan landasan moral agama. Dari sinilah politik di Indonesia harus dalam
bingkai moral agama yang sesuai dengan spirit sila pertama Pancasila. Berpolitik dalam
bingkai moral agama dalam perspektif Hamka adalah prilaku santun dan etis serta
115
Hamka, Tafsir, 2008: Qs. Az-Zariyat (51): ayat 19

Universitas Indonesia
192

berorientasi ibadah demi kepentingan bersama. Artinya, apapun perbedaan yang ada
nilai-nilai kekerasan, prilaku tidak jujur, tidak sopan, mengumbar nafsu, egois harus
sejauh mungkin dihindari. Berpolitik dalam arti praktis sesungguhnya sangat terhormat
manakala didukung oleh kematangan dan konsistensi pribadi. Sehingga nampak elegan.
Jika kita menyaksikan banyaknya para politisi yang berprilaku “tidak terhormat’ di
Senayan, itu menunjukan bahwa mereka telah kontra produktif terhadap nilai moral
agama sebagai bingkai prosesnya.
Meskipun demikian Hamka menyadari bahwa realitas masyarakat Indonesia
beragam dan plural maka sikap moderat menjadi ciri khasnya dalam berhadapan dengan
realitas sosial keagamaan dan politik di Indonesia. Dalam perspektif Hamka, berpolitik
harus ditujukkan untuk kemaslahatan kemanusiaan dan sebagai media untuk beramal
shaleh dalam hal ini amr ma’ruf nahi mungkar. Hamka mensinyalir bahwa kokohnya
negara tergantung pada akhlak rakyat, artinya rusaknya akhlak maka hancurnya negara.
Karena kalau Tuhan campur tangan sampai hal yang kecil niscaya manusia
sebagai khalifah-Nya menjadi bodoh. Sehingga ajaran agama Islam mengajak kita dari
mesjid pergi ke parlemen, artinya dari fondasi percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa
menuju kepada penegakan demokrasi, sehingga dapat menuju pada sila kelima yaitu
Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Akhirnya kedudukan pemikiran Hamka
diantara para pemikir politik Islam digolongkan sebagai tokoh modernis dan mampu
menjembatani komunikasi yang efektif dengan semua kelompok. Fakta hari ini prinsip
Hamka tetap dilanjutkan dalam wujud inklusifitas dari aktivitas masjid agung Al Azhar.
Masjid ini menjadi titik bertemu semua kelompok Islam dari yang tradisionalis, juga
modernis. Maka tidak berlebihan jika Hamka adalah sosok perekat antara 2 bahkan
lebih dari kelompok Islam yang berbeda baik dalam Mazhab juga Fikih tetapi satu
pandangan politik yaitu kemaslahatan umat.

Rangkuman
Pada bagian ini, disertasi meringkas semua pandangan dari Hamka menjadi
enam poin. Pertama, Hamka pada masa awal menunjukkan sikap menolak Pancasila.
Penolakan Hamka terhadap Pancasila merupakan respon terhadap pergantian Piagam
Jakarta menjadi Pancasila. Hamka selalu menekankan bahwa penggantian dasar negara
tersebut sama saja mendukung sekulerisme yang justru bertentangan dengan tauhid.

Universitas Indonesia
193

Hamka secara tegas menyakini jika menerima Pancasila sama artinya mendukung
kemaksiatan terhadap prinsip Tauhid yang menolak pemisahan agama dengan Islam.
Pandangan Hamka yang menolak Pancasila menyebabkan dia terlihat beririsan dengan
spektrum fundamentalis. Kedekatan Hamka dengan spektrum fundamentalis terlihat
saat dia menyatakan bahwa Pancasila merupakan filosofi politik yang menjauhkan
Umat Islam dari Islam dalam kenegaraan. Hanya saja, penolakan Hamka terhadap
Pancasila tidak menyebabkan dia menolak demokrasi. Pada titik ini, Hamka jelas
berpisah dari spektrum fundamentalis yang menolak demokrasi. .
Kedua, Hamka mulai berubah dan memikirkan ulang interpretasi dia terhadap
Pancasila sebagai respon terhadap perubahan sistem politik. Perubahan sistem politik
terjadi saat Indonesia mengalami proses transisi politik dari era pemerintahan Soekarno
menuju masa pemerintahan Soeharto. Pemerintahan Soeharto sejak awal berusaha untuk
mengakhiri sistem demokrasi terpimpin dari Soekarno dan juga mengakhiri dominasi
PKI. Soeharto mulai menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara. Hanya saja, upaya
Soeharto untuk menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang hegemon menyebabkan
negara tidak menoleransi kemunculan ideologi tandingan. Bahkan, negara secara massif
menjadikan Pancasila sebagai bagian dari pemetaan kelompok masyarakat. Kondisi
demikian menyebabkan Hamka pun perlu berpikir ulang.mengenai Pancasila. Hamka
juga menyadari jika Hamka terus membangun oposisi terhadap ide Pancasila, maka itu
justru akan merugikan perjuangan Hamka untuk mewujudkan Islam sebagai nilai politik
Indonesia.
Ketiga, Hamka mulai menerima Pancasila sebagai dasar negara, walaupun
penerimaan Hamka terhadap Pancasila sebenarnya bukan tanpa syarat. Hamka
menjelaskan bahwa dia akan menerima Pancasila selama sila Ketuhanan Yang Maha
Esa. Ketuhanan yang Maha Esa harus menjadi pijakan dasar dalam penerimaan terhadap
Pancasila. fokus utama terhadap sila pertama menyebabkan perlu ada reaktualisasi atau
pemaknaan ulang terhadap makna dari setiap sila dalam Pancasila. Hamka menyakini
bahwa setiap sila yang ada dalam Pancasila sejalan dengan Islam. Prinsip kemanusiaan
yang adil dan beradab menunjukkan etika Muslim yang wajib menjaga sikap yang baik
kepada sesama manusia tanpa melihat perbedaan iman. Prinsip persatuan Indonesia dari
Hamka menunjukkan hal menarik sebab dia mengakui prinsip kebhinnekaan yang
berarti mengakui hak-hak dari kalangan selain Islam, walaupun persaudaraan atas iman

Universitas Indonesia
194

lebih utama. Hamka juga banyak mengulas mengenai prinsip musyawarah dari sila
keempat Pancasila. Hamka menyakini ide musyawarah yang ada dalam Pancasila yang
berarti Pancasila selaras dengan Islam sebab syura adalah hal penting. Musyawarah bagi
Hamka harus mampu menjadi jalan menuju keadilan sosial bagi masyarakat.
Penekanan Hamka terhadap sila pertama bukan tanpa hambatan. Hambatan
terjadi saat Hamka berbeda pandangan dengan negara berkaitan masalah natal. Hamka
saat menjadi Ketua MUI secara tegas memberikan fatwa larangan bagi Umat Islam
untuk mengucapkan natal. Fatwa Hamka tidak bermakna dia akan mencegah
pelaksanaan Natal sebab Natal secara esensial merupakan bagian dari hak konstitusional
umat Kristiani untuk menjalankan Natal. Hanya saja, pengucapan Hari Natal dalam
pandangan Hamka bertentangan dengan prinsip tauhid untuk tidak terlibat dalam
keyakinan agama lain.
Keempat, Reaktualisasi Hamka terhadap Pancasila mencerminkan pandangan
Modernis. Modernis sebagai kalangan yang menggiatkan modernisasi selalu berupaya
sungguh untuk melakukan re-interpretasi terhadap pemahaman, pemikiran dan pendapat
tentang masalah ke-Islaman yang dilakukan oleh pemikiran terdahulu untuk disesuaikan
dengan perkembangan zaman. Dengan demikian yang diperbaharui adalah hasil
pemikiran atau pendapat, dan bukan memperbaharui atau mengubah apa yang terdapat
dalam al-Qur’an maupun al-Hadits, tetapi merubah atau memperbaharui hasil
pemahaman terhadap al-Qur’an dan al-Hadits.116 Pembacaan ulang Hamka terhadap
Pancasila memang menunjukkan bahwa dia merupakan tokoh modernis.
Pembacaan ulang terhadap Pancasila memang hadir sebagai respon terhadap
kemunculan Orde Baru, namun itu tidak terlepas dari kultur modernis Hamka. Hamka
sebagai tokoh modernis menyakini bahwa Umat Islam tidak boleh bersikap kaku namun
harus mampu menyesuaikan diri dengan kondisi politik yang ada. Kemudian, Hamka
sebagai tokoh modernis juga berupaya untuk menunjukkan kepada negara bahwa Umat
Islam mampu mengubah pandangan politik demi kebaikan bersama semua rakyat. Sikap
modernisasi Hamka memang pada akhirnya bertujuan dua hal, yaitu untuk
menunjukkan kemampuan umat Islam untuk berubah sesuai dengan kondisi zaman dan
untuk menunjukkan bahwa umat Islam mampu merespon situasi politik yang berubah
dengan bersikap yang jelas dan akomodatif.

116
Nata. Tema-tema Pokok Al-Qur’an Bagian II, Jakarta: Depag RI. 1994. hal. 154-155

Universitas Indonesia
195

Kelima, pemahaman Hamka terhadap Pancasila juga tidak terlepas dari


penerimaan Hamka terhadap Demokrasi. Demokrasi bagi Hamka merupakan arena yang
terbuka bagi setiap Muslim untuk mampu menyesuaikan diri dengan setiap perbedaan
pandangan politik. Perbedaan politik bagi Hamka memiliki dua dimensi. Dimensi
pertama berkaitan dengan konsistensi terhadap pandangan politik. Setiap orang yang
terlibat dalam demokrasi sudah pasti memiliki pandangan yang bagi masing-masing
individu merupakan hal yang benar.
Dimensi kedua berkaitan dengan kemampuan peserta demokrasi untuk
menyesuaikan pandangan masing-masing dalam kompromi politik. Kompromi politik
menjadi penting sebab Soeharto memang menginginkan adanya Pancasila sebagai
ideologi negara terlepas itu merupakan hasil pemaksaan politik. Hanya saja, pelaku
demokrasi juga harus mampu menyesuaikan diri dengan keinginan masyarakat untuk
menerapkan Pancasila sebagai antitesis terhadap sikap Soekarno yang menjalankan
pemerintahan tidak sesuai Pancasila. Kondisi demikian menyebabkan Hamka sebagai
tokoh politik tetap berupaya untuk berkompromi dengan realitas, walaupun penerimaan
terhadap Pancasila tetap berdasarkan tauhid harus menjadi fondasi dasar dari Pancasila.
Keenam, kemampuan Hamka untuk melakukan reaktualisasi mencerminkan
keunggulan Hamka. Hal itu sejalan dengan pandangan Nurcholish Madjid bahwa,
Hamka memiliki kelebihan atas “kesanggupannya menyatakan pikiran dalam ungkapan-
ungkapan modern dan kontemporer”. Oleh karena itu, lanjut Nurcholish, “Buya Hamka
berhasil menjalin komunikasi intelektual dengan kalangan terpelajar tanpa canggung
dan tanpa hambatan. Pikiran-pikirannya diterima oleh kalangan luas, khususnya
kalangan Islam Indonesia yang sering diidentifikasi sebagai kaum modernis atau kaum
pembaru”.117 Selain itu, Nurcholish mencatat Hamka sebagai apa yang oleh Fazlur
Rachman disebut “Neo Sufisme”, yakni “penghayatan hidup kerohanian yang mendalam
melalui ibadah-ibadah ortodoks, diiringi dengan aktivisme social (Rachman, dalam
Ensiklopedia Nurcholish Madjid). Hamka mampu mempertemukan antara dimensi
Pancasila dengan Islam.

117
Alfian, M Alfan. Hamka dan Bahagia, Bekasi: Penjuru Ilmu, Cet. 1. 2014, hal.

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai