Anda di halaman 1dari 12

Pancasila, Tauhid, dan Syariat

Kamis, 19 Juni 2014, 12:00 WIB


Banyak kaum Muslim me man dang bahwa hilang nya "tujuh kata" dari sila pertama naskah
Piagam Jakartadan digantikan dengan rumusan "Ketu hanan Yang Maha Esa"adalah sebuah
kekalahan perjuangan Islam di Indonesia. Namun, tidak demikian halnya dengan IJ Satyabudi,
seorang penulis Kristen. Dalam bukunya yang berjudul Kontroversi Nama Allah (1994), ia justru
mengakui keunggulan tokoh-tokoh Islam dalam perumusan sila pertama tersebut.

Satyabudi menulis: "Lalu, siapa sebenarnya yang lebih cerdas dan menguasai ruang persidangan
ketika merumuskan Sila Pertama itu? Sangat jelas, Bapak-bapak Islam jauh lebih cerdas dari
Bapak-bapak Kristen karena kali mat Ketuhanan Yang Maha Esa itu iden tik dengan
Ketuhanan Yang Satu! Kata maha esa itu memang harus ber arti satu. Oleh sebab itu, tidak
ada pe luang bagi keberbagaian Tuhan. Umat Kristen dan Hindu harus gigit jari dan menelan
ludah atas kekalahan Bapakbapak Kristen dan Hindu ketika me nyusun sila pertama ini."

Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 16
Rabiul Awal 1404 H/21 Desember 1983 menetapkan sejumlah keputusan: (1) Sila "Ketuhanan
Yang Maha Esa" sebagai dasar Negara Re publik Indonesia menurut Pasal 29 Ayat 1 Undang-
Undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut
pengertian ke imanan dalam Islam. (2) Bagi Nahdlatul Ulama (NU), Islam adalah akidah dan
syariah, meliputi aspek hubungan ma nusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia. (3)
Penerimaan dan pe nga malan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia
untuk menjalankan syariat agamanya. (Lihat, pengantar KH A Mustofa Bisri berjudul "Pancasila
Kembali" untuk buku Asad Said Ali, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, Jakar
ta: LP3ES, 2009).

Makna tauhid pada dari sila Ketu hanan Yang Maha Esa juga ditegaskan oleh Rois Am NU KH
Achmad Siddiq. Dalam satu makalahnya yang berjudul "Hubungan Agama dan Pancasila" yang
dimuat dalam buku Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Pancasila, terbitan Badan
Litbang Agama, Jakarta 1984/1985, KH Achmad Siddiq menya takan: "Kata Yang Maha Esa
pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus
dari sila pertama menurut rumusan semula. Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian
bahwa kata Yang Maha Esa merupakan penegasan dari sila ketuhanan, sehingga rumusan
Ketuhanan Yang Maha Esa itu mencerminkan pengertian tauhid (monoteisme murni) menurut
akidah Islamiyah (surat al-Ikhlas). Kalau para pemeluk agama lain dapat menerimanya, maka
kita bersyukur dan berdoa."

Dalam ceramahnya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia pada pertemuan dengan
Wanhankamnas, 25 Agustus 1976, Prof Hamka menjelaskan tentang makna Ketuhanan Yang
Maha Esa: "Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa di pasal 29 itu bukanlah Tuhan yang lain,
melainkan Allah! Tidak mungkin bertentangan dan berkacau di antara preambul dengan materi
undangundang." (Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hlm 224).

Asas berbangsa
Jika ditelaah secara cermat dan ju jur, berdasarkan proses penyusunan Pancasila itu sendiri
sebenarnya lebih masuk akal jika pemahaman Ketuhanan Yang Maha Esa lebih merujuk kepada
konsep ketuhanan dalam Islam, yaitu konsep tauhid. Sebab, rumusan "Ketu hanan Yang Maha
Esa" itu memang datang dari para tokoh Islam, seperti KH Wachid Hasyim (NU), Kasman Si
ngo dimedjo, Ki Bagus Hadikusumo (Mu hammadiyah), dan sebagainya. Rumusan itu juga
muncul sebagai kompensasi dari dihapuskannya tujuh kata (dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) dalam sidang penetapan UUD 1945 pada 18 Agustus
1945.

Pancasila yang resmi berlaku saat ini adalah rumusan Pancasila hasil sidang PPKI 18 Agustus
1945 yang ke mudian diperkuat lagi dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dalam sejarah
Indonesia, ada lima jenis rumusan Pan casila yang pernah diterapkan secara resmi. Pertama,
rumusan Piagam Ja kar ta (yang sila pertamanya berbunyi: Ke tuhanan, dengan kewajiban menja
lankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya).

Kedua, rumusan pembukaan UUD 1945 (yang sila pertama berbunyi: Ke tuhanan Yang Maha
Esa). Ketiga, rumusan versi Konstitusi Repub lik Indonesia Serikat (RIS), yaitu: (1) Ketuhanan
Yang Maha Esa, (2) Perikemanusiaan, (3) Kebangsaan, (4) Kerakyatan, dan (5) Keadilan Sosial.
Rumusan ini berlaku 27 Desember 1949. Keempat, rumusan UUDS 1950 yang isinya sama
dengan rumusan UUD RIS. Dan kelima, rumusan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang isinya sama
dengan rumusan 18 Agustus 1945, tetapi ada penegasan bahwa, "Piagam Jakarta tertanggal 22
Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut."

Prof Muhammad Yamin, seorang perumus Lima Asas Negara di samping Soekarno yang juga
penandatangan Piagam Jakarta, dalam bukunya, Pembahasan Undang-undang Dasar Republik
Indonesia, menyatakan: "Ajaran filsafat Pancasila seperti berturut-turut diuraikan dalam kata
pembuka Kon stitusi Republik Indonesia 1945, dalam Mukadimah Konstitusi Republik Indo
nesia Serikat tahun 1949 dan Konstitusi Republik Indonesia 1950 adalah seluruhnya berasal dari
Piagam Jakarta bertanggal 22 Juni 1945 yang ditandatangani oleh sembilan orang Indo nesia
terkemuka, sebagai suatu pembangunan tinjauan hidup bangsa Indonesia bagaimana Negara
Republik Indonesia harus dibentuk atas panduan ajaran itu."

Jadi, Pancasila yang berlaku resmi sekarang adalah berbeda dengan konsep Pancasila yang
diajukan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI. Ketika itu, Soekarno
mengusulkan lima dasar untuk Indonesia Merdeka, yaitu: (1) Kebangsaan Indonesia, (2) Inter
nasio nalisme atau Perikemanusiaan, (3) Mufakat atau Demokrasi, (4) Kesejah teraan Sosial, (5)
Ketuhanan.

Ketika memasuki pembahasan da lam Panitia Sembilan di BPUPKI, ru mus an itu berubah. Sila
pertama men jadi: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pe meluk-
pemeluknya. Di sini tampak bahwa pandangan-alam Islam yang tentunya diajukan oleh para
tokoh Islam anggota Panitia Sembilan cukup me warnai rumusan Pancasila tersebut. Ru musan
itu bertahan sampai 18 Agustus 1945. Berubahnya urutan sila dari usulan Bung Karno menjadi
rumusan versi Panitia Sembilan tersebut juga merupakan hal yang mendasar.

Tahun 1976, Pemerintah RI membentuk Panitia Lima yang menerbitkan buku Uraian Pancasila.
Anggota Panitia Lima ialah: Mohammad Hatta, Prof HA Subardjo Djoyoadisuryo SH, Mr Alex
Andries Maramis, Prof Sunario SH, dan Prof Abdoel Gafar Pringgodigdo SH.

Dalam uraiannya tentang kedudukan sila pertama, Panitia Lima merumus kan: "Dasar Ketuhanan
Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita ke negaraan kita, yang memberikan jiwa
kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil dan baik, sedangkan dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab adalah kelanjutan dalam perbuatan dan praktik hidup dari dasar yang
memimpin tadi." (Lihat, Muham mad Hatta, Pengertian Pancasila, (Jakarta: CV Haji Masagung,
1989).

Adalah menarik rumusan Tim Lima pimpinan Bung Hatta tersebut, yang menyatakan bahwa
"Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita, yang
memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil, dan baik ...."
Pemaknaan seperti ini tentu bu kanlah sembarangan jika Ketuhanan Yang Maha Esa dimaknai
sebagai kon sep tauhid. Sebab, itu berarti sama saja dengan menyatakan bahwa tauhid Islam
menjadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan Indonesia. Penafsiran se macam ini, bagi
para tokoh Islam, jelas bukan mengada-ada. Jika dilihat sejak penyusunan Piagam Jakarta sampai
sidang PPKI 18 Agustus 1945, dan terakhir Dekrit Presiden 5 Juli 1959, tam pak jelas semangat
dan visi Ke tuhanan Yang Maha Esa memang mengarah kepada konsep tauhid Islam.

Aplikasi tauhid
Konsep tauhid Islam berpijak di atas prinsip "Laa ilaaha illallah, Muham madur Rasuulullah"
(Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah). Seorang yang bertauhid akan
mengikrarkan dan meyakini bahwa satu-satunya Tuhan yang berhak untuk disembah dan ditaati
adalah Allah, bukan Tuhan yang lain. Hanya Allah semata. Allah adalah nama Tuhan yang
ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga.

Tauhid artinya tauhidullah, yakni pengenalan dan pengakuan akan Allah Yang Maha Kuasa
sebagai satu-satunya Tuhan. Orang yang menjadikan tuhantuhan selain Allah, disebut orang
musyrik. Dan syirik adalah tindakan zalim yang sangat besar. (QS 31: 13). "Memang aniaya
besarlah orang kepada dirinya kalau dia mengakui ada lagi Tuhan selain Allah, padahal selain
Allah itu adalah alam belaka. Dia aniaya atas dirinya sebab Tuhan mengajaknya agar
membebaskan jiwanya dari segala sesuatu, selain Allah," tulis Prof. Hamka dalam Tafsir Al
Azhar. (Hamka, Tafsir Al-Azhar juz XXI, hlm 128, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988).

Tauhid Islam juga mewajibkan pe nga kuan dan keimanan terhadap kenabian Muhammad SAW.
Dalam konsepsi tauhid Islam, setelah diutusnya Muham mad SAW, tidak mungkin seorang dapat
mengenal Allah dan dapat mengetahui cara beribadah kepada Allah dengan benar, kecuali
melalui nabi-Nya tersebut. Karena itu, Imam al-Ghazali dalam Fashlut Tafriqah menegaskan:
"Saya per lu menegaskan bahwa kufur itu adalah mendustakan Rasulullah saw da lam segala
ajaran yang beliau bawa. Sedang kan iman adalah membenarkan (tash diq) kepada seluruh ajaran
yang beliau sampaikan." (Imam al-Ghazali, Tauhidullah: Risalah Suci Hujjatul Islam, hlm 181,
Surabaya: Risalah Gusti, 1998).

Konsep tauhid Islam pun mewajibkan kaum Muslim untuk berlaku toleran terhadap kaum non-
Muslim. Tidak boleh ada pemaksaan terhadap orang lain untuk bertauhid, sebab telah jelas mana
yang salah dan mana yang benar (QS 2:256). Kaum Muslim diwajibkan menghormati agama lain
agar bisa menjalankan agamanya. Namun, Islam juga mewajibkan umatnya untuk menjaga iman
mereka dari berbagai bentuk pemurtadan.

Bukan sekuler
Dengan berbagai pemahaman tersebut, jelas bahwa para pendiri bangsa Indonesia sama sekali
tidak mencitakan Indonesia sebagai negara "netral aga ma" atau "negara sekuler". Panca sila dan
Pembukaan UUD 1945 sarat de ngan muatan Islamic worldview (pandangan- alam Islam).
Hilangnya "tujuh kata" dari Pembukaan UUD 1945, mes kipun sangat disesalkan oleh umat Is
lam, sama sekali tidak membuang ke rang ka Islamic worldview tersebut.

Itu bisa dibuktikan dari munculnya kata "Allah" dalam alinea ketiga Pem bukaan UUD 1945.
Allah adalah nama Tuhan bagi orang Islam, di mana pun. Satu-satunya agama di Indonesia yang
kitab sucinya menyebut nama Tu hannya Allah adalah agama Islam. Ka rena itulah, sila
Ketuhanan Yang Ma ha Esa, bermakna pengakuan akan Allah sebagai satusatunya Tuhan. Mun
culnya istilah-istilah baku dalam Islam (Islamic basic vocabulary), seperti kata "adil", "adab",
"musyawarah", "hikmah", "wa kil" menunjukkan, bahwa UUD 1945 sama sekali tidak netral
agama.

Karena itu, seyogianya, pemahaman terhadap Pancasila dan UUD 1945 tidak dilepaskan dari
kerangka Islamic worldview dan diseret ke kutub netral agama. Pemahaman semacam ini, selain
keliru, juga akan berakhir dengan sia-sia, sebab kaum Muslimsecara umum tidak mungkin
bisa dilepaskan dari ajaran-ajaran Islam, baik secara akidah maupun syariahnya.

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia Prof Ha zairin dalam bukunya, Demokrasi
Pancasila (Jakarta: Rineka Cipta, 1990, cet ke-6), menulis: "Bahwa yang dimaksud dengan
Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, dengan konsekuensi (akibat mutlak) bahwa Ketuhanan
Yang Maha Esa berarti pengakuan Kekuasaan Allah atau Kedaulatan Allah," (hlm 31).
"Negara RI wajib menjalankan sya riat Islam bagi orang Islam, syariat Nas rani bagi orang
Nasrani, dan syariat Hindu Bali bagi orang Bali, sekadar menjalankan syariat tersebut
memerlukan perantaraan kekuasaan negara," (hlm 34).

Argumentasi Prof Hazairin tersebut sangat masuk akal. Sebab, dalam ajaran Islam, sekadar
pengakuan saja terhadap Allah sebagai satu-satunya Tuhan be lum memenuhi konsep tauhid
yang sempurna. Iblis pun telah mengakui Allah sebagai Tuhannya, tetapi dalam Alqur an, Iblis
disebut kafir (abaa wastakbara wa-kaana minal kaafirin). Seorang Muslim yang baik tentulah
tidak mau jika statusnya sama dengan Iblis, yakni hanya mengakui keberadaan Tuhan Yang
Maha Esa tetapi membangkang terhadap aturan-aturan Allah SWT.

Karena itu, sangatlah keliru dan aneh jika ada sebagian kalangan yang berkampanye bahwa jika
calon presidennya menang, maka pemerintahannya akan melarang munculnya peraturan daerah
baru yang berlandaskan syariat Islam. (www.republika.co.id, 4 Juni 2014). Kita berharap,
janganlah mendorong bangsa Indonesia untuk menyamai prestasi Iblis, makhluk yang hanya
mengakui adanya Tuhan, tapi tidak mau tunduk dan patuh pada syariat-Nya. Wallahu alam bish
shawab. (Aceh, 17 Juni 2014).

Dr Adian Husaini
Dosen Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor






















Ijtihad Ulama untuk Pemimpin Perempuan Pertama Aceh
Thursday, 19 June 2014, 12:00 WIB
Kerajaan Aceh Darussalam adalah kerajaan ter besar dalam sejarah wilayah di utara Pulau
Sumatra ini. Kerjaan ini me wariskan nama se orang raja legendaris, Iskandar Muda. Di bawah
kepemimpinannya, Aceh sam pai pada puncak peradaban. Ia dikenal sebagai raja yang adil.
Sayang sekali, ia tidak meninggalkan anak laki-laki untuk meneruskan kepemimpinannya,
seperti adat kebiasaan para raja di Aceh. Sebetulnya, ia sudah menobatkan anak lelakinya,
Meurah Pupok. Tapi, karena ia berzina dengan istri salah seorang perwiranya, Iskandar Muda
sendiri yang memutuskan agar anaknya ini dirajam sampai mati sesuai dengan hukum Islam
yang berlaku di Aceh. Jadilah, ia tidak memiliki putra mahkota.

Untuk menjamin kepemimpinan Aceh terus berjalan, ia menunjuk me nan tunya yang menikah
dengan anak perempuannya Safiatuddin untuk me neruskan takhtanya. Menantunya inilah yang
kemudian dikenal sebagai Iskan dar Sani. Ia sebelumnya dikenal dengan sebutan Sultan Bungsu.
Iskandar Sani naik takhta di usia 25 tahun pada 1636. Sayang, usianya tidak panjang. Ia me ning
gal dalam usia 30 tahun dan me ning galkan istri tanpa anak, Safia tuddin. Aceh menjadi sedikit
kacau de ngan mangkatnya Iskandar Sani. Dalam situasi seperti itu, para ulama, tokoh, dan
pemuka kerajaan saat itu harus mengambil keputusan siapa yang harus menggantikan Iskandar
Sani.

Setelah diperbincangkan cukup la ma, nama yang paling serius dipertim bang kan adalah istri
Iskandar Sani sen diri yang juga anak dari Iskandar Muda, yaitu Safiatuddin. Selain memiliki ke
cakapan dari segi agama dan ilmu pe nge tahuan untuk mengelola negara, ia adalah anak dan istri
raja, sehingga akan sangat memahami bagaimana ke ra jaan dikelola. Akan tetapi, di kalang an
ulama sendiri, berbeda pandangan me nge nai statusnya sebagai "perempuan". Dalam sebagian
pandangan ula ma fikih, perempuan dilarang menjadi pe mimpin, apalagi pemimpin kerajaan.
Nuruddin Ar-Raniry, ulama yang sangat disegani saat itu, untuk mencegah ke mudha ratan yang
lebih besar dengan ti d ak adanya calon pemimpin Kerajaan Aceh yang mumpuni dan legitimated
se cara politik, akhirnya menyimpulkan untuk meng ambil pendapat yang membolehkan
pemimpin perempuan. Itu pun, tentu bukan tanpa syarat. Ia harus me rupakan sosok yang
amanah, adil, dan memiliki keluasan ilmu yang me mung kinkannya duduk sebagai ratu. Semua
syarat itu ternyata ada dalam diri Safiatuddin.

Kecakapannya ini memang telah terasah sejak kecil. Dalam usia 7 tahun, ia bersama dengan
putra dan putri ista na lainnya, termasuk Iskandar Sani yang kemudian menjadi suaminya, telah
belajar kepada ulama-ulama besar dan sarjana-sarjana terkenal. Di antara guru-guru Safiatuddin,
antara lain, Syekh Hamzah Fansury, Syekh Nurud din Ar-Raniry, Syekh Faqih Zainul Abidin
Ibnu Daim Mansur, Syekh Kamaluddin, Syekh Alaiddin Ahmad, Syekh Muhyiddin Ali, Syekh
Taqiy yudin Hasan, Syekh Saifuddin Abdul kahhar, dan lainnya.

Semangat belajar yang tinggi itu ak hirnya membentuk pribadi dan pengetahuan Safiatuddin
yang luar biasa. Ia menguasai banyak bahasa asing, antara lain, Arab, Persia, Spanyol, dan Urdu.
Ia juga menguasai ilmu fikih, sejarah, mantik, falsafah, tasawuf, sastra, dan lainnya. Barangkali,
yang boleh dikata kan sebagai salah satu kelemahannya adalah tidak menguasai seluk-beluk
militer secara detail. Inilah juga yang menyebabkannya tidak terlalu berhasil dari segi militer dan
ekspansi kekuasa an. Akan tetapi, kecintaannya pada ilmu pengetahuan telah mengantarkan pres
tasi yang cukup baik, yaitu berkembangnya berbagai lembaga pendidikan dan hidupnya ilmu
pengetahuan.

Dalam sejarah Aceh, Sultan yang pa ling besar dan mengantarkan Aceh sampai puncak
kejayaannya adalah ayah Shafiatuddin, Iskandar Muda. Oleh sebab itu, dibandingkan dengan
ayahnya, prestasi Shafiatuddin memang masih berada di bawahnya. Secara poli tik, militer, dan
ekonomi, menurun, te tapi kecintaannya pada ilmu pengetahuan dan sastra membuat Shafiatud
din akhirnya berfokus untuk menghi dupkan bidang ini. Tidak mengheran kan, perkembangan
ilmu pengeta huan, sastra, dan seni-budaya pada zamannya sangat pesat dibandingkan dengan
zaman sebelum atau sesudahnya.

Universitas Baiturrahman (Jami Baiturrahman) di Banda Aceh bertambah maju. Demikian juga
dayah-dayah (pesantren-pesantren) di seluruh daerah wilayah kekuasaan Aceh juga berkembang
dengan baik. Perkembangan ini tidak terlepas dari kebijakan Sa fiatud din yang sangat
mendorong berkembangnya pendidikan. Salah satu contohnya adalah kebijakannya terhadap para
ulama yang tidak setuju atas pengangkatannya sebagai ratu. Safiatuddin tidak mengambil sikap
represif. Para ulama yang jumlahnya sekitar 300 tersebut dibiarkan untuk pindah dari Banda
Aceh untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan. Di antaranya, Syekh Abdul Wahhab
dibiarkan hijrah ke Tiro dan mendirikan dayah di sana. Dayah Syekh Abdul Wahhab ini
berkembang sangat pesat menjadi salah satu dayah terbesar di Aceh. Safiatuddin sebagai ratu
yang peduli terhadap pendidikan dan perkembangan ilmu pengetahuan tidak mengganggu
perkembangan dayah ini walaupun pendirinya berseberangan dengannya.

Kecintaannya pada ilmu pengeta huan ini pun terlihat dari banyaknya kar ya para ulama yang
lahir pada ma sa nya, baik atas permintaannya atau atas inisiatif dari para ulama sendiri.

Syekh Nuruddin Ar-Raniry, salah satu ulama-pengarang yang sangat produktif pada masa
Safiatuddin, pernah menulis kitab Hidayatul-Iman bi Fadhlil-Manan dalam bahasa Melayu.
Menurut penga kuan nya, kitab yang berisi tentang aki dah dan ibadah ini ditulis atas permin taan
sang ratu. Pernyataan ini di tulis dalam mukadimah kitabnya. Se lain menulis kitab ini, ia juga
menulis lebih kurang 27 kitab lain dalam bahasa Me layu dan Arab. Selain Ar-Raniry, ulama lain
yang juga didorong oleh ratu untuk menulis kitab adalah Abdurrauf As- Sinkily yang diminta
menulis kitab yang kemudian diberi judul Miratut-Thullab fi tashili Marifatil-Ahkam selain
sembilan kitab lainnya. Ulama lain nya yang juga mengarang kitab atas permintaan Ratu adalah
Syekh Daud Ar-Rumy yang menulis Risalah Masailal Muhtadin li Ikhwanil Mubtadi. Kitab-kitab
itu kemudian oleh ratu dianjurkan agar dibaca masyarakat umum karena isinya diperuntukkan
bagi kalangan awam.

Sebagai ratu perempuan pertama, Safiatuddin juga sangat memperhatikan nasib para wanita.
Sebagaimana ayah dan kakeknya terdahulu, ia mene kan kan agar lembaga-lembaga pendidikan
dibuka bukan hanya untuk laki-laki, melainkan juga untuk perempuan. Ini berimplikasi pada
pembukaan kesempatan bagi kaum perempuan untuk turut ikut ambil bagian dalam berbagai
bidang pekerjaan yang memungkinkan mereka melakukannya. Pada masa Safiatuddin,
dipertahankan prajurit perempuan pengawal istana yang sudah dibentuk sejak masa ayahnya,
Sultan Iskandar Muda. Prajurit pengawal ini diberi nama Dipisi Keumala Cahaya.

Armada Inong Bale (perempuan janda) yang dibentuk pada masa Sultan Riayat Syah juga terus
dipertahankan. Bahkan, pada zamannya armada yang dipimpin pertama kali oleh Laksamana
Malahayati ini tidak hanya melibatkan janda-janda, melainkan juga perawan yang belum
menikah. Pada bidang yang lain, seperti pengajaran, pemerintahan, perdagangan, pertanian, dan
lainnya, banyak perempuan yang ambil bagian.

Situasi yang tidak membeda-bedakan gender ini sudah sejak lama hidup di Aceh, sehingga tidak
heran bila ber abad-abad setelahnya lahir wanita Aceh, seperti Cut Nyak Din yang hidup
sezaman dengan Kartini. Oleh sebab itu, nestapa dan nasib perempuan yang tersisih
sesungguhnya tidak pernah ada dalam sejarah Indonesia yang sesungguhnya. Kalaupun ada,
sangat mungkin ini adalah efek dari kolonialisme yang destruktif terhadap berbagai sendi
kehidupan.

Dalam menjalankan kerajaannya, Safiatuddin sebagaimana para penda hulunya tetap berpegang
pada Kanun Meukuta Alam atau Kanun Aceh yang merupakan undang-undang dasar kerajaan
Aceh. Undang-undang ini sangat dipengaruhi fikih Islam. Ia pun menjalin komunikasi intensif
dengan kerajaankerajaan penting di seluruh dunia, ter utama dengan Turki Usmani. Sudah ba
nyak riset yang mengkaji surat-surat Sa fiatuddin kepada penguasa Usmani yang menunjukkan
kecakapan Sa fiatud din dalam memimpin Aceh.

Bukan hanya berhubungan dengan Usmani, ia pun harus menghadapi VOC Belanda dan
kekuatan-kekuatan luar lain yang meng ancam kedaulatan kerajaannya. Semua nya dilalui
dengan cukup baik tanpa harus mengorbankan Kerajannya. Al hasil, selama 34 tahun
pemerintahannya (1641-1674), Sadiatud din dapat melalui nya dengan cukup gemilang. Ijtihad
Ar-Raniry, Abdurrauf As-Sinkily, dan ulama lainnya ternyata tidak terlalu meleset.

Walaupun banyak ulama yang tidak setuju, demi menghindarkan kemudha ratan yang lebih besar,
ijtihad yang hatihati untuk menaikkan Safiatuddin ternyata masih berbuah kebaikan untuk Aceh.
Wallahu Alam.

Tiar Anwar Bachtiar
Dosen Sejarah Islam pada STAI Persis Garut






Kedekatan Ulama dan Penguasa : Tradisi Melayu
Kamis, 19 Juni 2014, 12:00 WIB
Dalam tradisi politik Me layu, senantiasa terjadi ke dekatan para ulama atau cendekiawan Islam
de ngan penguasa (raja).Nasihat-nasihat ulama men dapat tempat yang utama bagi para raja.

Ar-Raniri adalah ulama pertama da lam jaringan dengan Timur Tengah abad ke-17. Ia lahir di
Ranir, sebuah kota pe la buhan tua di pantai Gujarat. Ibunya ada lah orang Melayu. Setelah
menggali ilmu di tempat kelahirannya, ia melan jut kannya ke Makkah dan Hadramaut.

Setelah belajar lama dan menjadi ulama, ar-Raniri pulang ke Aceh dan diangkat menjadi
Syaikhul Islam di Kerajaan Aceh tahun 1637. Ia diangkat Raja Is kan dar Tsani (1637-1641).
Selama menjabat seba gai syaikhul Islam, ulama ini menulis le bih dari 29 karya (lihat Ulama
dan Ke kuasaan, Jajat Burhanudin, Mi zan 2012).

Ar-Raniri bersikap keras terhadap pe mikiran sufi wahdatul wujud. Ia meng gantinya dengan sufi
yang berorientasi syariat. Sikapnya yang keras itu membawanya membakar buku-buku yang
beraliran wahdatul wujud ini. Hingga akhirnya menimbulkan konflik di kerajaan.

Sementara, saat itu Kera jaan Aceh kedatangan ulama Minang kabau Saiful Rijal yang menganut
paham wahdatul wujud. Karena sikapnya yang dapat mengambil hati raja, ma ka akhirnya ar-
Raniri diusir meninggal kan Aceh. Saat itu, raja Aceh yang ba ru naik, Tajul Alam Safiatuddin
Syah (1641-1675), cenderung mendukung Saiful Rijal.

Di tempat pengasingannya, Ranir, ulama ini tetap berkarya dengan me nu lis. Di tangan
muridnya, Abdurrauf as- Sinkili (1615-1693), pemikiran ar-Raniri dihidupkan kembali. As-
Sinkili bersikap lebih kompromis terhadap paham wujudiyah. Karena itu, tahun 1661, setelah ia
kembali dari Hijaz, Raja Tajul Alam mengangkatnya sebagai hakim agung kerajaan, Kadi
Malikul Adil. Ia menulis buku lebih dari 22 buah.

Sedangkan, Yusuf al-Maqassari di angkat sebagai dewan penasihat Sultan. Ia memiliki hubungan
yang dekat de ngan Raja Banten Sultan Ageng Tirta yasa (1651-1683). Ia akhirnya menikah de
ngan anak perempuan Sultan. Ber sama Sultan Ageng, ia melakukan perlawanan keras kepada
VOC Belanda ka rena Belanda melakukan tindakan se mena-mena terhadap rakyat nusantara.

Kembali ke Aceh. Aceh saat itu me mang menerapkan syariat Islam. Ke ra jaan dengan tegas
melarang minuman ber alkohol, zina (hubungan di luar ni kah), pencurian, dan uang haram. Kera
ja an juga melarang berlakunya riba da lam masyarakat. Karena itu, bila Aceh saat ini kembali
mempraktikkan hukum Islam, maka Aceh kembali pada fitrahnya dan menuju kegemilangan
Islam.

Di dalam kitab Tajus Salatin karya ulama Aceh Bukhari al-Jauhari (1603), perihal pentingnya
kekuasaan politik. Menurutnya, kekuasaan politik, yakni pengaturan masyarakat, sejajar dengan
tugas-tugas kenabian, yakni membimbing manusia ke jalan yang benar. Kedua, tugas itu harus
ada dalam wewenang politik raja. Keduanya digambarkan "dua pertama dalam satu cincin".

Menurut Tajus Salatin, Tuhan adalah sumber otoritas politik bagi raja dan kedaulatan tertinggi
kerajaan. Nabi Adam digambarkan sebagai nabi perta ma yang diangkat Allah menjadi khalifah
atau raja pertama di bumi. Adam mengatur masyarakat berdasarkan perintah Tuhan atau secara
Islam. Kitab itu juga menggambarkan raja yang baik, yaitu Nabi Musa, melawan raja tiran yang
jahat Firaun. Karena kejahatannya, akhirnya Firaun dihukum oleh Allah dengan ditenggelamkan
di Laut Merah.

Tajus Salatin memasukkan kriteria Islam bagi para raja. Para raja bisa ber gelar khalifah atau zill
Allah fil alam dengan syarat mereka menjalankan ke kuasaan menurut prinsip-prinsip Islam.
Semetara itu, para penguasa tiran (za lim) yang menjerumuskan kerajaan ke jalan yang sesat
adalah bayangan Iblis atau khalifah setan.

Kitab itu juga menjelaskan sifat ihsan dan adil yang harus dimiliki para raja. Raja adil adalah raja
yang selalu ingin menuntut ilmu pada ulama, memperhatikan kondisi sosial rakyatnya, meng
anjurkan kebajikan dan melarang keburukan, melindungi rakyat dari kejahatan, serta menjadi
mirip wali atau nabi dalam menjalankan tugas-tugasnya.

Selain, Bukhari al-Jauhari, Nuruddin ar-Raniri juga menulis kitab penting tentang politik dengan
judul Bustanus Salatin (1630). Buku ini menjadi pedo man Raja Iskandar Tsani. Kitab ini ter diri
dari tujuh buku. Buku pertama ten tang penciptaan dunia, kemudian seja rah para nabi dan para
raja dari masa pra-Islam. Buku kedua tentang sejarah Islam di Asia Tenggara, berpusat pada
Kerajaan Malaka, Pahang, dan Aceh. Buku ketiga sampai keenam tentang panduan politik dan
nasihat bagi para raja, didasarkan pada kisah-kisah yang berkaitan dengan khalifah atau raja dulu.
Buku ketujuh tentang prestasi ilmiah kaum Muslim dalam bidang filsafat, anatomi, dan
kedokteran.

Sebagaimana raja di Aceh yang me ne rapkan Islam dalam kekuasaannya, raja di Jawa pun
demikian. Sultan Agung, raja Mataram, menerapkan sya riat Islam di wilayah Jawa. Dia bahkan
mengubah sistem kalender Jawa dari kalender Matahari Saka Hindu ke kalender campuran bulan
Islam Islam-Jawa (Lihat Ricklefs dalam Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan).

Raja-raja Mataram setelah Sultan Agung, seperti Pakubuwana II, juga memiliki perhatian
terhadap perkembangan Islam. Ia bekerja sama dengan para kiai mendirikan pesantren-pesan tren
di daerah-daerah Jawa. Di antara pesantren yang terkenal adalah Pesan tren Tegalsari. Bila di
Jawa tumbuh pesantren, di Minangkabau tumbuh surau dan di Aceh tumbuh dayah.

Selain pesantren, hal yang membantu dalam penyebaran Islam adalah perja lanan ibadah haji.
Pemerintah Inggris dan kolonial Belanda saat itu sangat khawatir dengan orang-orang yang telah
berhaji ke Makkah ini. Thomas Stamford Raffles (1811-1816) sangat mengkha watirkan
keberadaan para haji ini yang mengancam kekuasaan kolonial. Pada tahun 1664, VOC pernah
melarang tiga orang Bugis yang baru pulang dari Makkah untuk mendarat di nusantara.

Alasan VOC, "Kedatangan mereka ke tengah-tengah bangsa Muhammad yang percaya takhayul
di daerah ini memiliki konsekuensi yang sangat serius." Pada tahun 1716, VOC membolehkan
sepuluh orang yang telah berhaji untuk tinggal dengan pengawasan yang ketat. Sementara,
Raffles, dalam sebuah laporannya 10 Juni 1811, menulis, "Dengan dalih mengajar orang-orang
Melayu tentang prinsip-prinsip agama Muham mad, menanamkan kefanatikan yang sangat
intoleran dan membuat mereka tidak mampu menerima suatu jenis pengetahuan yang berguna."

Nasehat ulama kepada raja
Para ulama menulis kitab, selain ditujukan kepada masyarakat, terutama ditujukan kepada raja.
Dalam kitabnya Bustanul Katibin, ulama besar Raja Ali Haji (1808-1873) misalnya, menulis ten
tang kejayaan dan kehinaan sebuah bangsa. Kata hukama, "Al fadhlu bil aqli wal adabu, la bil
ahli wan nasabi", arti nya kelebihan itu pada akal dan adab dan bukan karena bangsa dan dan
asal (nasab). Maka, terangnya, "Jikalau bebe rapa pun bangsa jika tiada ilmu, akal dan adab, ke
bawah juga jatuhnya, yakni kehinaan juga yang akan diperolehnya."

Dalam mukadimah kitab itu, Raja Ali Haji, penasihat raja, mengutip hadis Rasulullah SAW yang
terkenal: "Barang siapa dikehendaki Allah kebaikan, maka ia diberi pemahaman kepada ilmu aga
ma (ad-diin)." Kemudian, Ali Haji menyatakan, "Adapun kelebihan akal itu seperti kata hukama
husnu haliah, artinya akal itu sebaik-baik perhiasan." Di sini, Ali Haji mengaitkan hubungan
yang erat antara ilmu, akal, dan adab. Artinya, agar akal dan adab seseorang, masyarakat atau
bangsa menjadi baik (menjadi unggul), maka mesti diberi ilmu yang benar. Lebih tegas lagi, Ali
Haji menyatakan : "Man saa adabahu dhaan nas bahu, artinya barang siapa jahat adabnya,
maka sia-sialah bangsanya."

Selain itu, ulama, penasihat raja dan sas trawan dari Riau ini juga menjelas kan tentang tanda-
tanda orang ber akal. Ia mengungkapkan: "Dan lagi kata hu kama, bermula itu akal basraatul
fahm, artinya, tanda berakal segera paham dan buah akal itu membaikkan ikhtiar, dan tandanya
bersahabat dengan orangorang pilihan di antara orang-orang yang baik."

Kemudian, Ali Haji menunjukkan hubungan ilmu dengan kalam (kalimat/ bahasa). "Adapun
kelebihan ilmu walkalam amat besar sehingganya mengatakan setengah hukama, segala
pekerjaan pedang bisa diperbuat dengan kalam. Adapun pekerjaan-pekerjaan kalam tidak bisa
diperbuat dengan pedang, maka ini ibarat yang terlebih sangat nyatanya. Dan beberapa ribu dan
laksa pedang yang sudah terhunus, dengan seguris kalam jadi tersarung, terkadang jadi
tertangkap dan terikat dengan pe dang sekali."

Dalam "Gurindam 12", Raja Ali Haji juga menasihatkan penguasa agar tidak zalim, dengki, dan
bohong. Ia menulis: Hati kerajaan di dalam tubuh, ji ka lau zalim segala anggota pun roboh.
Apabila dengki sudah bertanah, datanglah daripadanya beberapa anak panah.Mengum pat dan
memuji hendaklah pikir, di situlah banyak orang yang tergelincir.

Pekerjaan marah ja ngan dibela, nanti hilang akal di ke pala. Jika sedikit pun berbuat bohong,
boleh diumpamakan mulutnya itu pekong Raja mufakat dengan menteri, seperti kebun
berpagarkan duri.

Betul hati kepada raja, tanda jadi sebarang kerja. Hukum adil atas rakyat, tanda raja beroleh
inayat. Kasihkan orang yang berilmu, tanda rahmat atas dirimu.

Hormat akan orang yang pandai, tanda mengenal kasa dan cindai. Ingatkan dirinya mati, itulah
asal berbuat bakti. Akhirat itu terlalu nyata, kepada hati yang tidak buta.

Ulama terkemuka Melayu lainnya, Syekh Ahmad al-Fathani (1856-1908 dari Pattani) juga
pernah mengirim surat kepada Sultan Zainal Abidin, sultan Treng ganu, agar sultan-sultan
berperan aktif dalam menyebarkan ilmu di ma syarakat. Ia menulis: "Aku berharap se mo ga
bangsa Melayu dapat maju dengan pimpinannya dan dapat mencapai ke pun cak peradaban
kesejahteraan. Aku ber harap semoga baginda berkenan menyebarkan ilmu, makrifat, dan
petunjuk. Lalu baginda menjadi kegembiraan dan rakyat mendapat kejayaan. Agar mereka dapat
membukukan bahasa Melayu.

Karena aku bimbang ia akan hilang atau dirusak oleh perubahan yang berlaku dari masa ke masa.
Begitu pula hendaklah mereka mengarang sejarah Melayu yang meliputi segala perihal orang
Melayu. Kalau tidak, mereka nanti akan hilang dalam lipatan sejarah. Wahai para cerdik pandai.
Hidup kanlah sejarah bangsamu. Dengan itu kamu akan disebut dalam sejarah dan namamu akan
harum sepanjang masa. (lihat plakat Khazanah Fathaniyah oleh Wan Mohd. Shaghir Abdullah).

Sedangkan di Jawa, Sunan Kalijaga dalam nasehatnya menyatakan bahwa jika kelak seorang
menjadi raja, maka pekerjakanlah orang yang baik, seperti yang dimetaforakan dengan empat hal,
yakni wanita, keris, intan, dan burung. Wanita melambangkan bahwa ia harus bertutur halus dan
tertib dalam bersikap. Keris, harus tajam pikirannya dan ahli berperang. Intan, ia harus memiliki
hati dan pikiran yang bening. Sedangkan burung, memiliki makna mengetahui hal yang tersamar,
yang baik, dan yang buruk. (lihat www.nu.or.id/a,publicm, dina mics,detail-ids,44id,47585lang,
idc,nasionalt,Tiga+Nasehat+Sunan+Kalij aga+kepada+Sutawijaya-.phpx).

Namun, selain menjalankan empat hal tersebut, seorang raja juga harus hati-hati karena ada
empat pantangan yang harus dihindari. Pertama, bersenang- senang, berjudi hingga mengha
biskan harta benda. Kedua, gemar ber cinta atau main perempuan sehingga lalai pada tugas dan
kewajibannya. Ke tiga, suka berotak kosong, yakni se ring menghabiskan waktu hanya untuk
makan dan minum, tidak mau belajar atau membaca. Keempat, melupakan asal mula dan
menganggap kedudukannya sebagai raja adalah berkat kehebatan dirinya sendiri.

Nuim Hidayat
Peneliti INSISTS

Anda mungkin juga menyukai