Anda di halaman 1dari 2

Ketuhanan yang Berkebudayaan ialah kita sebagai manusia tetap memiliki agama tetapi tidak meninggalkan kebudayaan kita

yang sudah ada dari jaman dahulu. Seperti hal, upacara adat kesultanan tetapi tidak meninggalkan keislamannya. Hal-hal mistik di dalam kerajaan atau kesultanan tersebut, itu merupakan budaya yang sudah mengakar dari dan bahkan sebelum masuk nya agama. Kerajaan terntae misalnya, disana terdapat pusaka dan adat yang sudah ada sejak didirikan, pusaka tersebut ialah mahkota kerajaan, pada bagian atas hingga belakang mahkota di tumbuhi rambut atau bulu yang tiap tahunnya konon dapat tumbuh memanjang dengan sendirinya (fenomena ini sempat diteliti oleh beberapa pihak, namun baru sampai pada tataran menjelaskan jenis rambut ini bukan bersal dari manusia ataupun binatang). Untuk memotong rambut yang ada di mahkota Sultan Ternate tersebut dilakukan upacara adat yang biasanya dilaksanakan menjelang Idul Adha bersama pencucian benda pusaka lainnya. Mahkota ini dipakai oleh Sultan pada ritual atau acara adat tertentu saja. Tanggal 1 Juni 1945, Soekarno memberikan dasar filosofi negara Indonesia yang belum merdeka. Ia menyebutkan lima dasar utama, yaitu Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan yang berkebudayaan atau Ketuhanan Yang Mahaesa. Tanggal 22 Juni 1945, dirumuskan kembali menjadi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Mohammad Yamin kemudian menamakan rumusan baru itu sebagai Piagam Djakarta. Dalam sidangnya sehari setelah proklamasi, 18 Agustus 1945 PPKI memutuskan menghapus tujuh kata dalam Piagam Djakarta, yaitu mengganti rumusan dengan berdasarkan pada ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya menjadi dengan berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada sidang itu PPKI sekaligus meresmikan UUD 1945 yang pembukaannya memuat rumusan resmi Pancasila yang telah diperbarui.

Hari lahir Pancasila ditandai dengan pidato Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 yang membahas rumusan dasar negara. Saat-saat itu terjadi debat yang sangat hangat, dinamis, maju dan konstruktif di antara para pendiri bangsa. Menurut Deliar Noer, saat itu para pendiri bangsa terbelah dalam dua kubu, kubu nasionalis sekuler dan nasionalis Islam. Betapapun hangatnya diskusi dan debat, namun semua peserta dalam forum Badan Penyeledik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) hendak mencari rumusan dasar negara yang disepakati bersama. Rumusan dasar negara yang sedang didiskusikan hendaknya menyatukan semua visi yang ada. Salah satu yang berulang kali ditekankan oleh Bung Karno dalam pidatonya adalah bahwa negara yang sedang ingin dibangun itu adalah negara semua untuk semua, bukan negara untuk satu orang, bukan negara untuk satu golongan. Dengan demikian, negara yang hendak dibangun adalah negara kebangsaan. Yang menarik dari rumusan dasar negara yang diajukan oleh Bung Karno adalah bahwa prinsip ketuhanan yang ia ajukan sebenarnya ditempatkan pada posisi nomor lima, terakhir. Memang Soekarno menyatakan bahwa urut-urutan prinsip-prinsip bernegara yang ia ajukan tidak bermakna apa-apa. Mungkin itu yang menyebabkan dengan mudah prinsip ketuhanan yang ia ajukan kemudian dipindah ke posisi pertama. Namun begitu, penting untuk mengetahui bahwa Soekarno juga mengusulkan redaksi yang berbeda dengan yang kita baca sekarang mengenai sila ketuhanan itu. Yang diusulkan

Soekarno adalah Ketuhanan yang berkebudayaan, ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, ketuhanan yang hormat menghormati satu sama lain. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa sebenarnya terselip pesimisme dari Soekarno sendiri jika negara yang akan dibentuk itu terlalu kental dengan nuansa agama. Pesimisme itu kemudian tampak nyata di kemudian hari. Hari-hari ini kita menyaksikan bagaimana sila pertama digunakan oleh sejumlah kalangan untuk membatasi kebebasan beragama. Sila pertama digunakan untuk mendiskriminasi yang lain. Tanggap 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indoneia (PPKI) menyetujui naskah Piagam Jakarta kecuali tujuh kata dalam rumusan sila pertama. Tujuh kata dihapus dan sila pertama menjadi Ketuhanan yang Maha Esa. Tapi kita semua tahu, bahwa sampai saat ini, masih ada saja orang yang ingin membangkitkan kembali tujuh kata tersebut. Dan itu sama sekali tidak relevan. Ada yang menyatakan bahwa dihapusnya tujuh kata pada Piagam Jakarta atau Muqaddimah UUD 1945 adalah pengorbanan terbesar umat Islam, misalnya ini dikemukakan oleh Alamsyah Ratu Prawiranegara. Tapi tidak sedikit pula yang menyatakan bahwa sila pertama itu justru adalah pengorbanan terbesar kaum kebangsaan. Baik dari sisi kuantitas maupun kualitas argumen, jelas pada saat itu kelompok kebangsaan jauh lebih dominan. Kita tidak sedang bicara debat antara kelompok Islam dan non-Islam. Yang kita bicarakan adalah kelompok Islam kebangsaan dan kelompok Islam politik. Memasukkan sila dengan bias monoteisme pada posisi pertama adalah bentuk kerendahan hati kelompok kebangsaan. Bagi Soekarno dan kawan-kawannya, persatuan dan kemerdekaan di atas segala-galanya. Dengan dicantumkannya prinsip ketuhanan pada sila pertama, dengan rendah hati Mohammad Hatta menyatakan bahwa hal itu sangat baik karena memberi landasan moral bagi negara. Tapi bukan berarti, kata Hatta, negara kita adalah negara agama. Ketuhanan yang Maha Esa adalah hasil kompromi pendiri bangsa. Tentu kita masih terus berharap perwujudan Ketuhanan yang Berkebudayaan seperti yang dicita-citakan Bung Karno. Kita masih terus berharap prinsip ketuhanan yang mendorong kehidupan harmonis dan saling hormat-menghormati, bukan sebaliknya.

Anda mungkin juga menyukai