Anda di halaman 1dari 8

PENINGKATAN PERAN ORGANISASI PENGHAYAT KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG

MAHA ESA UNTUK MENJAGA KEBHINEKAAN DALAM KEHIDUPAN KEBANGSAAN

Blajan Konradus
Dosen Prodi Sosiologi FISIP Universitas Nusa Cendana Kupang

PENGANTAR
Diskursus seputar penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di tengah realitas
sosial kehidupan berbangsa di Negara Indonesia seolah-olah berwajah ganda. Pertama, diskursus
dengan tema penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ini seakan-akan ingin
menunjukkan betapa negara (baca: Pemerintah Indonesia, melalui kementerian terkait) begitu
peduli terhadap rakyatnya (baca: masyarakat bangsa Indonesia) yang sejatinya adalah masyarakat
multikultur terbesar di dunia, dan Kedua, diskursus dengan tema penghayat kepercayaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa yang sama ini sesungguhnya juga secara tidak langsung mau
mempertontonkan betapa rapuhnya komintmen dari sejumlah elemen masyarakat bangsa Indonesia
ini dalam mengimplementasi kesadaran sekaligus kebanggaan sebagai warga negara Indonesia yang
memang secara nyata merupakan negara multikultur terbesar di muka bumi ini.
Betapa tidak. Secara historis, Samsul Maarif, Sekertaris CRCS (Center for Religious and Cross-
cultural Studies) Universitas Gajah Mada Yogyakarta (dalam Andi Saputra, 2017) telah mencatat
dengan rapih bahwa dari aspek yuridis formal saja terdapat ambivalensi sikap atau inkonsistensi
sikap Pemerintah Indonesia sejak Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi, terhadap eksistensi
penghayat kepercayaan kepada Tuhan YME. Menurut Orde Baru dan Orde lain yang mengikutinya,
penganut agama diidentifikasikan sebagai orang-orang yang memiliki kitab suci, nabi, dan
mendapatkan pengakuan internasional ., Bukti sejarah menunjukkan bahwa Pemerintah Orde Lama,
misalnya, telah mendefinisikan agama secara sangat eksklusif, di mana para warga bangsa ini secara
tidak langsung digiring untuk menerima sebuah definisi nominal yang berujung pada multi makna
pemahaman dan penerapan di lapangan, seperti halnya ‘siapa yang bisa dilayani’ (baca: penganut
agama ‘resmi’) dan ‘siapa yang tidak boleh dilayani’ (baca: penganut kepercayaan). Tidak hanya itu,
Pemerintah Orde Lama bahkan juga begitu curiga terhadap eksistensi penghayat kepercayaan
terhadap Tuhan YME sampai-sampai pada tahun 1953 Pemerintah Orde Lama membentuk sebuah
pranata negara yang disebut PAKEM (Pengawas Aliran Kepercayaan) dengan tugas untuk mengawasi
keberadaan dan sepak terjang para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME. Ketika masuk ke
masa Orde Baru, khususnya setelah 30 September 1965, para penghayat kepercayaan terhadap
Tuhan YME mendapat represi yang semakin menjadi-jadi karena keberadaan mereka dicurigai
sebagai bagian dari komunisme. Selanjutnya, hal yang paling krusial sampai mencabik-cabik
memeloroti martabat kaum penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME sampai ke titik nadir
adalah lahirnya TAP MPR Nomor 4/1978 tentang GBHN yang menyatakan bahwa kepercayaan
bukanlah agama, melainkan kebudayaan, dan mengharuskan adanya kolom agama (yang wajib diisi
dengan satu di antara 5 agama) dalam formulir pencatatan sipil. Barulah pada masa reformasi,
penghayat kepercayaan kepada Tuhan YME kembali mendapat pengakuan melalui klausul-klausul
Hak Asasi Manusia dalam berbagai instrumen legal negara. Ambivalensi sikap pemerintah kembali
terjadi di Era Reformasi tepatnya pada tahun 2006, di mana meskipun UU Administrasi
Kependudukan mengalami revisi tetapi tetap mendiskriminasikan penghayat kepercayaan kepada
Tuhan YME melalui pasal 61 UU Adminduk 2006 yang menyatakan bahwa identitas kepercayaan
tidak dicacatkan dalam kolom agama. Barulah sebuah finis coronat opus (Akhir memakhotai
segalanya) itu terjadi tatkala Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa “Hak untuk menganut
agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan hak konstitusional warga
negara, bukan pemberian negara. Oleh sebab itu, negara wajib melindungi dan menjamin
pemenuhan hak warga negaranya untuk memeluk sustu kepercayaan di luar enam agama yang
berkembang di Indonesia”, sebagaimana diungkapkan oleh Hakim MK Saldi Isra saat membacakan
putusan permohonan uji materi pasal 61 ayat (1) dan (2), serta pasal 64 ayat (1) dan (5) UU No 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan juncto UU 24 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas

1236
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi kependudukan (Lihat: Kristian Erdianto,
dalam https://nasional.kompas.com/read/2017/11/07/15225671/mk-negara-wajib-lindungi-dan-
jamin-hak-penghayat-kepercayaan.).
Ketidaktegasan sikap negara terhadap eksistensi para penghayat kepercayaan terhadap
Tuhan YME melalui produk hukum negara yang selalu saja berubah dari satu orde pemerintahan ke
orde pemerintahan lainnya itu disadari atau tidak telah membuka ruang demikian lebar bagi
sejumlah elemen masyarakat, termasuk para radikalis, yang sengaja mengemas semua kepentingan
kelompoknya dengan label ‘Atas Nama Hak Asasi Manusia’, untuk terus menindas kelompok
penghayat kepercayaan, sementara mereka sendiri sebenarnya tahu tetapi memang sengaja tidak
mau tahu sama sekali dengan parade panjang perjuangan para penghayat kepercayaan terhadap
Tuhan YME untuk mendapatkan hak eksistensial kelompoknya.
Itulah sebabnya sehingga penulis berpendapat bahwa pada tataran nasional, wacana terkait
upaya peningkatan peningkatan peran oraganisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME
bukanlah sekedar upaya mendorong kesadaran kaum penghayat kepercayaan kepada Tuhan YME
untuk membenahi diri, menemukenali potensinya, dan bagaimana menata keberadaannya secara
organisasional, tetapi di luar itu dan atau lebih dari itu adalah sangat dibutuhkan adanya kesadaran
seluruh elemen masyarakat bangsa Indonesia pada semua lini, baik secara vertikal maupun
horisontal, agar sungguh-sungguh memahami eksistensi dan peranserta para penghayat
kepercayaan terhadap Tuhan YME dalam kehidupan bersama, baik dalam lingkup berbangsa
maupun bernegara.
Sudah saatnya, keputusan Mahkamah Konstitusi RI tentang pengakuan negara terhadap
eksistensi penghayat kepercayaan itu dijadikan dasar pijak bagi setiap warga negara Indonesia untuk
memahami secara baik dan benar realitas ke-Indonesia-an kita yang demikian kaya dengan
beberagaman budaya melalui pendekatan yang bersifat holistik-sistemik. Pendekatan yang bersifat
holistik-sistemik itu, menurut hemat penulis, tidak lain adalah sebuah model pendekatan yang
berusaha memandang realitas ke-Indonesia-an sebagai sebuah sistem sosial yang demikian
kompleks potensi sosial dan budayanya, tetapi secara holistik ternyata memiliki saling hubungan
antarkomponen kemasyarakatan yang bersifat integrated-sibernetikal antara satu kelompok
masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lainnya.

Potensi & Peranserta Organisasi Penghayat kesanggupan) yang mempunyai kemungkinan


Kepercayaan: Antara harapan & Kenyataan untuk dikembangkan; sementara peran,
Potensi dan peranserta organisasi menurutnya dapat diartikan sebagai
penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME perangkat tingkah laku yang diharapkan
memang layak mendapat sorotan dan sangat dimiliki oleh seseorang individu dan atau
penting untuk dibahas dalam momentum sekelompok individu yang mempunyai
sarasehan daerah penghayat kepercayaan kedudukan di dalam sebuah masyarakat.
terhadap Tuhan YME di Propinsi Nusa Mengacu pada apa yang dikemukaan oleh
Tenggara Timur saat ini, karena tanpa Arianto (2009) di atas, maka urgensi
mengidentifikasi dan atau menemukenali penemukenalan potensi dan peranserta kaum
potensi penghayat kepercayaan kepada Tuhan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME
YME, tentu saja akan sulit membahas pada kesempatan ini didasari oleh paling
bagaimana peransertanya untuk menjaga kurang dua pertimbangan utama.
kebhinekaan dalam kehidupan kebangsaan. Pertama, Kemajuan ilmu
Dikatakan demikian karena secara konseptual, pengetahuan dan teknologi, terutama di
potensi dan peran itu sesungguhnya memiliki bidang komunikasi dan informasi di era
keterkaitan hubungan yang sangat erat. globalisasi saat ini telah menghantar proses
Arianto (2009), misalnya, mendefinisikan komunikasi dan interaksi sosial antarindividu
potensi sebagai kemampuan (kekuatan, daya, dan kelompok individu bahkan komunikasi

1237
dan interaksi antarbangsa di dunia ini ke integritas pribadi yang meng-Indonesia, dan
dalam sebuah desa dunia (global village) banyak sudah di antara anak bangsa ini yang
dengan berbagai konsekuensi positif maupun semakin mabuk dalam pusaran turbulensi
negatif yang mengikutinya. Mudahnya proses globalisasi sehingga secara perlahan-lahan
komunikasi dan interaksi sosial yang mulai meninggalkan nilai-nilai luhur
berlangsung antarbangsa ibarat semuanya kebudayaan nasional Indonesia, padahal
berada dalam sebuah desa dunia itu, telah kebudayaan nasional Indonesia itu bukanlah
ikut berkontribusi pada semakin milik perorangan, sekelompok orang, atau
meningkatnya pergaulan antarbangsa. Adanya sekelompok kecil sukubangsa di Indonesia
kontak langsung yang terjadi secara cepat tetapi kebudayaan nasional Indonesia itu
antarindividu dan antarkelompok-individu, ditopang, dibentuk, dan ditegakberdirikan
bahkan kontak langsung antarnegara dan atau oleh nilai-nilai budaya daerah atau nilai-nilai
antarsukubangsa itu setidaknya telah budaya lokal yang berasal dari seluruh
berimplikasi langsung pada tidak dapat penjuru nusantara tercinta.
dihindarkanya proses pembauran nilai yang Kedua. Apabila dalam beberapa
bersumber dari keberagaman budaya yang dekade sebelumnya, sejak jaman Orde Lama
dimiliki oleh masing-masing bangsa dan dan Orde Baru, bahkan hingga masa-masa
negara. Bagi masyarakat dan bangsa awal Orde Reformasi, potensi para penghayat
Indonesia, globalisasi di era reformasi saat ini kepercayaan itu bisa disebut ‘belum jelas’
merupakan realitas sosial yang tidak dapat sehingga tidak memiliki ruang yang cukup
dihindari. Realitas sosial akibat globalisasi untuk mengaktualisasikan potensi dan
pada era reformasi di Indonesia ini apabila peransertanya dalam konteks pengkristalan
dipetakan berdasarkan dominasi dan nilai-nilai luhur kebhinekaan dalam konteks
salingketergantungan dalam hubungan kehidupan berbangsa, maka kini melalui
antarbangsa di dunia, maka suka atau tidak keputusan Mahkamah Konstitusi Republik
suka akan memunculkan tirani-tirani baru Indonesia yang mewajibkan negara untuk
yang semakin memporakporandakan identitas mengakui dan menjamin hak penghayat
ke-Indonesia-an kita. Menghadapi realitas kepercayaan terhadap Tuhan YME itu,
sosial semacam ini, kita tentu sepakat eksistensi penghayat kepercayaan menjadi
bersama bahwa kita tidak boleh diam dan terang benderang sekaligus menjadi dasar
masa bodoh terhadap globalisasi dengan untuk mengidentifikasi kembali potensi dan
segala dampak ikutannya, tetapi kita juga peranserta kaum penghayat kepercayaan
harus berpikir positif untuk tetap bergerak terhadap Tuhan YME dalam upaya
maju sesuai tuntutan globalisasi tanpa harus merekatkan nilai-nilai kebhinekaan dalam
kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia. kehidupan berbangsa.
Dewasa ini banyak elemen Apabila ditelusuri secara cermat,
masyarakat telah kita telah masuk dalam maka potensi yang sekaligus menjadi
geliat dan pusaran globalisasi yang sangat kekuatan organisasi penghayat kepercayaan
berpotensi merongrong kemapanan jarti diri terhadap Tuhan YME itu dapat ditemukan
dan berpeluang mencabik-cabik integritas dan dengan jelas dan lugas dalam butir-butir
integrasi bangsa Indonesia. Banyak sudah karakter penghayat sebagaimana dinyatakan
anak bangsa ini yang sudah mulai berkurang oleh Majelis Luhur Kepercayaan terhadap
akhlak moralnya. Banyak sudah anak bangsa Tuhan YME Indonesia (MLKI, 2015) seperti
ini yang lebih mementingkan kecerdasan keyakinan akan adanya Tuhan YME;
intelektual dan mengabaikan pentingnya pengakuan dan kesanggupan menyembah

1238
padaNYA; membangun dan membina diri menindak tegas para pihak yang secara
dalam nilai-nilai spiritual ke arah kesucian, terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi
moral, dan budi luhur; mewujudkan melakukan represi dan atau penindasan
persaudaraan antarsesama umat atas dasar terhadap keberadaan kaum penghayat
cinta kasih; memenuhi kewajiban kepercayaan terhadap Tuhan YME.
kemanusiaan dalam berbangsa dan Diharapkan agar dengan semakin
bernegara; serta memiliki integritas, tidak baiknya iklim demokratisasi dan transparansi
fanatik, dan selalu menambah pengetahuan birokrasi penyelenggaraan negara yang
pengalaman lahir bathin dalam masyarakat berperan sebagai fasilitator, utamanya
yang plural. keputusan Mahkamah Konstitusi tentang
Selain itu, potensi yang sudah ada dan kewajiban negara dalam mengakui dan
melekat pada keberadaan kaum penghayat menjamin hak kaum penghayat kepercayaan
kepercayaan antara lain adalah berhimpunnya terhadap Tuhan YME, semakin meningkatnya
para penghayat kepercayaan dalam sejumlah kehidupan spiritual masyarakat, maka ke
wadah seperti halnya HPK, BKOK, dan Forum depannya para penghayat kepercayaan
Komunikasi; memiliki budaya spiritual dengan terhadap Tuhan YME memiliki ruang yang
berpegang teguh pada ajaran sebagai cukup dalam berbagai aspek kehidupan untuk
pegangan hidup atau budi luhur; serta dapat berpartisipasi secara nyata, terutama
kemauan dan tekat yang tinggi dari para dalam berkontribusi untuk merekatkan nilai-
penghayat kepercayaan dalam melestarikan nilai luhur kebhinekaan dalam kehidupan
dan mengembangkan budaya spiritual berupa berbangsa.
pembinaan warga, pelaksanaan upacara- III.
upacara, dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan Peningkatan Peran Organisasi Penghayat
sosial kemasyarakatan (Arianto, 2009).. Kepercayaan kepada Tuhan YME untuk
Meskipun demikian, haruslah diakui menjaga Kebhinekaan dalam kehidupan
juga secara jujur bahwa secara organisasional, kebangsaan
keberadaan wadah atau organisasi para Paparan singkat di bawah subtopik
penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME ‘peningkatan peran organisasi penghayat
pada sejumlah level itu masih jauh dari kepercayaan terhadap Tuhan YME untuk
harapan. Hal ini terlihat melalui beberapa menjaga kebhinekaan dalam kehidupan
indikator seperti halnya lemahnya kebangsaan’ ini pada prinsipnya ingin
kemampuan managerial para pengurus dan mendeskripsikan korelasi antara proses
sikap hidup yang sederhana sehingga tidak peningkatan peran organisasi penghayat
banyak memikirkan kiat-kiat untuk menraih kepercayaan kepada Tuhan YME dengan
kemajuan secara organisasional. realitas kebangsaan Indonesia yang secara
Sementara itu, beberapa hal yang nyata sungguh berbhineka, sungguh
tidak kalah penting untuk dicatat bahkan bisa multikultur, bahkan telah teridentifikasi
dikategorikan sebagai ancaman terkait sebagai negara bangsa yang berwajah
potensi dan peranserta kaum penghayat multikultur terbesar di dunia. Hal ini berarti
kepercayaan terhadap Tuhan YME adalah bahwa kebhinekaan dan atau keberagaman
masih simpang-siurnya persepsi atau budaya di Indonesia memegang peran yang
perbedaan persepsi masyarakat tentang sangat menentukan bagi geliat atau sepak
konsep penghayat keperpercayaan terhadap terjang organisasi kemasyarakatan apapun
Tuhan YME, di samping ketidaktegasan sikap yang ada dan meng’ada’ dalam kehidupan
negara melalui aparat penegak hukum untuk kebangsaan ala Indonesia.

1239
Sehubungan dengan upaya ideologi akan mengakui dan mengagungkan
peningkatan peran organisasi penghayat perbedaan dalam kesederajatan baik secara
kepercayaan terhadap Tuhan YME maka individual maupun secara kebudayaan. Dalam
penulis berpendapat bahwa salah satu hal bingkai dan model multikulturalisme ini,
pokok yang perlu segera dilakukan adalah sebuah masyarakat (termasuk masyarakat
memiliki pemahaman bersama tentang bangsa seperti Indonesia) mempunyai sebuah
konsep ‘multikulturalisme’ dan penerapannya kebudayaan yang berlaku umum dalam
dalam konteks menjaga kebhinekaan dalam masyarakat tersebut yang coraknya ibarat
kehidupan kebangsaan. Secara etimologis, sebuah mosaik. Di dalam mosaik tersebut
multikulturalisme berasal dari kata terdapat dan atau akan tercakup semua
‘multikultural’ yang dapat dipahami sebagai kebudayaan dari kelompok-kelompok
keberagaman kebudayaan. Menurut Parsudi masyarakat yang lebih kecil yang membentuk
Suparlan (2003), akar kata dari multikultural terwujudnya sebuah masyarakat yang lebih
adalah ‘kebudayaan’ yang secara fungsional besar, yang memiliki kebudayaan seperti
dapat dipandang sebagai pedoman bagi sebuah mosaik. Dengan demikian,
kehidupan manusia. Dalam konteks sesungguhnya multikulturalisme itu
pembangunan bangsa di tengah realitas sosial diperlukan dalam bentuk tata kehidupan
kehidupan yang berbhineka seperti Indonesia, masyarakat yang damai dan harmonis,
istilah multikultural ini telah membentuk meskipun terdiri atas beraneka ragam latar
sebuah ideologi yang disebut belakang kebudayaan.
‘multikulturalisme. Kebutuhan yang mendesak akan
Masih menurut Suparlan (2003), pemahaman dan implementasi konsep
konsep multikulturalisme sangat menekankan ‘multikuturalisme’ dalam menghadapi realitas
keberagaman kebudayaan dalam ke-Indonesia-an sebagai negara bangsa yang
kesederajatan. Dengan demikian, diskursus multietnis dan multikultur, bahkan sebagai
seputar multikulturalisme harus mendukung negara bangsa multikultur terbesar di dunia
ideologi ini, seperti halnya politik dan ini, dilandasi oleh setidaknya 3 (tiga) teori
demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, sosial yang menjelaskan tentang hubungan
nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan antarindividu dalam masyarakat dengan
dalam perbedaan yang sederajat, kesempatan beragam latar belakang agama, etnik, bahasa,
kerja dan berusaha, HAM, hak budaya dan budaya yang saling berbeda antara satu
komunitas lokal dan golongan minoritas, dengan yang lainnya. Menurut Ricardo L.
kesukubangsaan, kebudayaan suku bangsa, Garcia (1982:37-42), ketiga teori sosial
keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan tersebut adalah (1) Melting Pot I: Anglo
budaya, domain privat dan publik, prinsip- Conformity, (2) Melting Pot II: Ethnic Syntesis,
prinsip etika dan moral, tingkat dan mutu dan (3) Cultural Pluralism: Mosaic Analogy.
produktivitas, serta konsep-konsep lainnya Ketiga teori sosial tersebut dikenal secara
yang relevan. popular dengan sebutan “Teori Masyarakat
Mengacu pada apa yang dikemukakan Majemuk” atau Communal Theory.
oleh Fay (1996), Jary dan Jary (1991), Watson Teori pertama, Melting Pot I: Anglo
(2000) dan Reed (ed. 1997), Suparlan (2003) Conformity, berpandangan bahwa masyarakat
juga menyatakan bahwa multikulturalisme ini yang terdiri individu-individu yang beragam
akan menjadi acuan utama bagi terwujudnya latar belakang seperti agama, etnik, bahasa,
masyarakat Indonesia yang multikultural, dan budaya harus disatukan ke dalam satu
karena multikulturalisme sebagai sebuah wadah yang paling dominan. Teori ini melihat

1240
individu dalam masyarakat secara hierarkis, mengambil sebagian unsur budaya asli
yaitu kelompok mayoritas dan minoritas. individu dalam masyarakat dan membuang
Sebagai contoh, apabila mayoritas individu sebagian unsur budaya yang lain.
dalam masyarakat adalah pemeluk agama Teori ketiga, Cultural Pluralism:
Kristen, maka individu lain yang memeluk Mosaic Analogy. Teori yang dikembangkan
agama nonkristen harus melebur ke dalam oleh Berkson ini berpandangan bahwa
agama Kristen. Demikian juga apabila yang masyarakat yang terdiri dari individu-individu
mendominasi suatu masyarakat adalah para yang beragam latar belakang agama, etnik,
individu yang beretnik Timor, maka individu bahasa dan budaya itu memiliki hak yang
lain yang beretnik non-Timor harus mencair sama untuk mengekspresikan identitasnya
ke dalam etnik Timor, dan demikian masing-masing secara demokratis. Teori ini
seterusnya. Teori ini hanya memberi peluang sama sekali tidak meminggirkan identitas
kepada kelompok mayoritas untuk budaya tertentu, termasuk identitas budaya
menunjukkan identitasnya. Sebaliknya kelompok minoritas sekalipun. Bila dalam
kelompok minoritas sama sekali tidak suatu masyarakat terdapat individu pemeluk
memperoleh hak untuk mengekspresikan agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu,
identitasnya. Identitas dalam konteks ini Budha, dan Konghucu, maka semua pemeluk
dapat berupa agama, etnik, bahasa, dan agama tersebut diberi peluang untuk
budaya. Itulah sebabnya, dikatakan bahwa mengekspresikan identitas keagamaannya
teori ini sangat tidak demokratis. masing-masing. Bila individu suatu
Teori kedua, Melting Pot II: Ethnic masyarakat berlatar belakang budaya Timor,
Synthesis. Teori yang dipopulerkan oleh Israel Flores, Sumba, Alor, Rote dan Sabu
Zangwill ini memandang individu-individu (semuanya di propinsi Nusa Tenggara Timur),
dalam suatu masyarakat yang beragam latar misalnya, maka masing-masing individu
belakangnya disatukan ke dalam satu wadah, berhak mengekspresikan identitas budayanya,
dan selanjutnya membentuk suatu wadah bahkan diijinkan utnuk mengembangkannya.
baru dengan memasukkan sebagian unsur Masyarakat yang menganut teori ini teridiri
budaya yang dimiliki oleh masing-masing atas individu-individu yang sangat pluralis.
individu dalam masyarakat tersebut. Identitas Dengan demikian, masing-masing identitas
agama, etnik, bahasa, dan budaya asli para individu dan kelompok dapat hidup dan
anggotanya melebur menjadi identitas yang membentuk mosaik yang indah (Konradus,
baru, sehingga identitas lamanya menjadi 2014).
hilang. Sebagai contoh, apabila dalam suatu Dari ketiga teori komunal di atas, teori
masyarakat terdapat individu-individu yang ketigalah yang dijadikan dasar oleh
beretnik Flores, Sumba, Timor, Alor, Rote dan pendidikan multukultural. Untuk konteks
Sabu semuanya di propinsi Nusa Tenmggara Indonesia, teori ini sejalan dengan semboyan
Timur), misalnya, maka identitas dari keenam Negara Indonesia, Bhineka Tunggal Ika.
etnik tersebut menjadi hilang dan selanjutnya Menurut Aly (2005), secara normatif,
membentuk sebuah identitas etnik yang baru. semboyan tersebut memberi peluang kepada
Islam Jawa di Kraton dan masyarakat semua warga negara dan bangsa Indonesia
sekitarnya yang merupakan perpaduan antara untuk mengekspresikan identitas agama,
nilai-nilai Islam dan nilai-nilai Kejawen, etnik, bahasa dan budaya masing-masing,
misalnya, adalah salah satu contohnya di bahkan diijinkan untuk mengembangkannya.
Indonesia. Meskipun demikian, teori ini belum Pada kesempatan ini penulis dengan
sepenuhnya demokratis, karena hanya rendah hati menaruh rasa hormat yang sangat

1241
tinggi kepada semua ide brilian, gagasan mulia terhadap Tuhan YME, Direktorat Jenderal
dari berbagaqi pihak dan konsep-konsep Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan
teoretis yang tentu saja relevan dengan ide Kebudayaan Republik Indonesia yang telah
penguatan, pengembangan, dan peningkatan memberi kesempatan kepada penulis untuk
peran organisasi apapun, termasuk boleh berbagi informasi terkait penningkatan
peningkatan peran organisasi penghayat peran organisasi penghayat kepercayaan
kepercayaan terhadap Tuhan YME, dan terhadap Tuhan YME dalam forum sarasehan
dengan tidak bermaksud untuk berbeda sama daerah yang sangat terhormat ini.
sekali dengan ide-ide, gagasan-gagasan, dan Pada bagian akhir tulisan ini penulis
sejumlah konsep teoretis sebagaimana telah ingin mengatakan bahwa perjuangan panjang
disebutkan sebelumnya, menurut hemat yang diiringi para doa kepada Tuhan Yang
penulis, di atas semua itu, termasuk niat kaum Maha Esa dari seluruh penghayat
penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME kepercayaan termasuk keprihatinan, restu
untuk memberdayakan semua pranata dan dan doa dari sejumlah kecil anak bangsa dari
atau organisasinya secara internal, di tengah dan di antara pemeluk 6 agama besar di
kuatnya arus globalisasi, di era reformasi yang Indonesia ini telah membuahkan keputusan
kadangkala kebablasan dalam Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
implementasinya oleh segelintir pihak, serta yang menempatkan posisi penghayat
semakin menguatnya isu dan praktik kepercayaan terhadap Tuhan YME sejajar
radikalisme yang sangat mengancam dengan para penganut 6 agama besar di
integritas masyarakat dan bangsa Indonesia, Indonesia. Selanjutnya tugas kita sebagai anak
maka pemahaman dan implementasi yang bangsa Indonesia, termasuk dalam kerangka
tepat dari konsep multikulturalisme di antara peningkatan peran organisasi kepercayaan
seluruh komponen masyarakat bangsa terhadap Tuhan YME untuk menjaga
Indonesia adalah salah satu upaya nyata kebhinekaan dalam kehidupan berbangsa,
untuk mengorangkan orang lain, termasuk adalah mengimplementasikan paham
memahami eksistensi kaum penghayat multikulturalisme dengan cara tetap belajar
kepercayaan dan organisasi-organisasi dan bekerja dalam berbagai aspek kehidupan
internalnya. Hal ini penulis pandang sebagai mengikuti kemajuan iptek di era global
sebuah keutamaan karena dengan sikap dengan tetap santun dan rendah hati dalam
rendah hati untuk menjunjung tinggi dan mengorangkan orang lain melalui upaya sadar
menghormati perbedaan dalam menjunjung tinggi dan menghormati
kesederajatan, niscaya ke-ika-an bangsa perbedaan dalam kesederajatan.
Indonesia dalam ke-bhineka-an itu bakal
terwujud.

Penutup/Rekomendasi
Penulis sangat berhutang budi kepada
para pihak, utamanya Direktorat Kepercayaan
DAFTAR PUSTAKA

Aly, Abdullah. (2005). “Pendidikan Multikultural dalam Tinjauan Pedagogik”. Makalah. Disampaikan
dalam Seminar Pendidikan Multikultural Sebagai Seni Mengelola keragaman. PSB-PS UNS
Surakarta, 8 Januari.
Arianto, Nurcahyo Tri. 2009. “Potensi dan Peranserta Penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME
dalam Pembangunan Budaya Bangsa: Fakta dan Harapan”. Makalah disampaikan dalam

1242
‘Dialog Aktualisasi Budaya Spiritual Jawa Timur’ di Hotel pelangi, Malang, pada tanggal 13-15
Mei . Sumber: http://web.unair.ac.id/admin/file/f_34835_potensipenghayat.pdf. Diakses
pada tanggal 12-03-2018.
Konradus, Blajan. 2014. “Peran komunikasi Antarbudaya untuk Menyatukan Etnis, Kelompok
Masyarakat, dan Pemerintah dalam Menyukseskan Program Transmigrasi”. Jurnal Nusa
Cendana. Volume XV Nomor 4 Oktober Hal. 2307-2423. ISSN: 1411-2396. Diterbitkan oleh
Lembaga Penelitian Universitas Nusa Cendana
Fauzi. (Tanpa Tahun). “Penguatan Kelembagaan Organisasi Penghayat Kepercayaan Untuk
Mewujudkan Tata Kelola Organisasi yang Mandiri”. Sumber:
https://static.banyumaskab.go.id/website/documents/kesbangpol/materi%20Drs%20Fauzi%2
0MAg.pdf. Diakses pada tanggal 29 Maret 2018.
MLKI, 2015. “Eksistensi dan Peran Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa”. Sumber:
Saputra, Andi. 2017. “Rekam jejak Penghayat Kepercayaan, dari Orde Lama hingga Reformasi”.
Sumber: https://news.detik.com/berita/3492198/rekam-jejak-penghayat-kepercayaan-dari-
orde-lama-hingga-reformasi. diakses tanggal 12-03-2018.
Suparlan, Parsudi. 2003. “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural”. Sumber:
http://www.scripp.ohiou.edu/news/cmdd/artikel-ps.htm. Diakses pada tanggal 1 mei 2008.

1244

Anda mungkin juga menyukai