Anda di halaman 1dari 6

JUDUL :

MEMBANGUN KETAHANAN MASYARAKAT MENGHADAPI PROFOKASI


BERNUANSA SARA DI MALUKU – SUATU TINJAUAN TEOLOGI KAMUNIKASI
Bab I

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia khususnya provinsi Maluku telah diwarnai dan dianugerahkan


berbagai macam jenis perbedaan yang bertujuan untuk memberikan kehidupan dalam
menghargai dan mempertahankan ketahanan hidup masyarakat. Masyarakat mencoba
memenuhi kebutuhan hak hidupnya melalui perjuangan untuk mendapatkan keadilan.

Konflik atau bentrok adalah salah satu bentuk dari kehidupan dinamis masyarakat
yang masih saja terus terjadi yang ditimbulkan dari media sosial, permasalahan hak tanah
ulayat, masalah ketidakadilan, dan sebagainya. Akibat dari bentrok yang terjadi, masyarakat
terpengaruh oleh adanya tindakan profokasi di dalam kehidupan masyarakat yang pluralis.

Dalam menghadapi konflik atau bentrokan yang terjadi di dalam suatu masyarakat,
media sosial digunakan sebagai alat penyambung tangan juga mulut untuk memberikan kabar
yang menyenangkan hati dan juga menggores hati. Misalnya bentrok yang terjadi pada
wilayah Maluku Tengah antara 2 negeri yaitu Pelau dan Kariuw januari 2022.

Bentrokan yang terjadi pada januari 2022 di wilayah kecamatan pulau Haruku,
Maluku Tengah membuat masyarakat terprovokasi dari media sosial maupun cerita dari
mulut ke mulut akan adanya penyebab bentrokan tersebut yaitu oleh karena konflik SARA
dan agama. Hal demikian memunculkan kembali kenangan pahit di masa lalu tahun 1999 dan
munculnya kekhwatiran bagi masyarakat yang berpapalele di kota Ambon.

Paham tentang pluralitas itu membuat Indonesia berada dalam keadaan penuh
toleransi. menurut Swidler, pluralisme agama adalah suatu kesadaran akan pluralitas agama,
yang mana agama-agama itu memperlihatkan suatu interdependensi sehinggamenjalin relasi
atau berdialog adalah suatu keniscayaan bagi agama-agama. 1Hal yang seringkali terkait
dalam pembicaraan keragaman agama Indonesia adalah persoalan konflik antar umat
beragama. Menurut Azra, seseorang mesti hati-hati untuk menjustifikasi konflik di Indonesia
sebagai konflik agama. Beliau menulis, Asumsi ini diterapkan Azradalam membaca berbagai
konflik yang terjadi di Indonesia, misalnya konflik di Maluku. Menurutnya, konflik di
Maluku mempunyai akar dalam masalah ekonomi dan ketidakproporsionalitasandistribusi

1
Swidler, Freedom of Religion and Dialogue, hal. 13.
kekuatan politik dalam birokrasi lokal dalam 20 tahun terakhir antara orang Muslim (baik
yang asli maupun pendatang dari BBM: Bugis, Buton, dan Makasar) dengan orang Kristen
asli.2

Sesuai data singkat observsi singkat yang sudah saya lakukan, akibat dari provokasi
tersebut berdampak pada aspek psikologi. Masyarakat kembali teringat kepada kenangan
masa dulu tahun 1999 dan menjadi takut. Selain itu, dampaknya pada aspek ekonomi yaitu
aktivitas brjualan berpapalele di pasar tidak berjalan dengan lancar karena harus berhadapan
dengan pembeli dari berbagai SARA terutama yang berjualan berkeliling membuat
kebutuhan ekonomi keluarga tidak terpeuhi dengan baik. 3

Papalele ditujukan kepada orang-orang yang melakukan aktivitas penjualan bahan kebutuhan
pokok masyarakat Maluku. Orang-orang yang berjualan dengan cara berjalan kaki
berkeliling-keliling menyusuri rumah-rumah penduduk juga disebut sebagai Papalele.

Sekertaris MUI Maluku Abdul Hadji Latuconsina mengatakan bentrokan dua warga


Desa Ori dan Kariuw, Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, bukan konflik
agama. Abdul meminta masyarakat tak terpancing informasi yang mengaitkan bentrokan
tersebut dengan masalah agama. “Selaku tokoh agama saya juga menyatakan bahwa konflik
tersebut bukanlah masalah agama seperti yang diberitakan, maka simbol-simbol keagamaan
jangan disalahgunakan,” kata Abdul dalam keterangan resmi yang dibagikan Penerangan
Kodam Patimura, Rabu (26 Januari 2022).

Ketua Majelis Pekerja Harian (MPH) Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM)
pendeta Elifas Tomix Maspaitella, juga menegaskan, konflik antarwarga dua desa itu bukan
dilandasi SARA atau konflik agama. "Ini bukan konflik Agama, tetapi sengketa lahan yang
lamban disikapi pemerintah dan aparat keamanan," katanya.4

GPM memiliki sejumlah peran untuk melakukan advokasi yaitu upaya, tindakan,
strategi dan taktik, termasuk di dalamnya ada komunikasi, informasi, dan edukasi, serta
pengorganisasian masyarakat yang ditujukan untuk mengatasi setiap permasalahan

2
Azra, An Islamic Perspective, hal. 234.
3
Wawancara dengan ibu Tina Sariwating, minggu 12 januari 2023

4
https://ambon.antaranews.com/berita/117029/bentrok-warga-ori-kariuw-bukan-konflik-sara-jangan-mudah-
terprovokasi.
ketidakadilan dan masalah pertahanan negara oleh karena masalah yang mengganggu
perdamaian di Provinsi Maluku bernuansa SARA.

Penulis merasa penting meninjau bagaimana lewat komunikasi kita bergerak bersama
– sama mempertahankan kondisi sosial kita jika berhadapan dengan isu hoax (profokasi)
yang dapat memicu kembali atau memperbesar suatu masalah yang terjadi dan Allah turut
mengambil peran melalui para tokoh agama dalam membangun ketahanan masyarakat yang
lebih kuat di Maluku.

Pembahasan terkait bagaimana membangun ketahanan masyarakat menghadapi


provokasi bernuansa SARA, penulis akan menggunakan kajian teologi komunikasi. Bentuk
komunikasi secara langsung yang dapat dipraktekan untuk menjawab bagaimana masyarakat
dapat bertahan di tengah provokasi SARA.

Pandangan mengenai kaitan antara Teologi dan Komunikasi dari Robby I. Chandra,
pandangan pertama jika dilihat hubungan antara Teologi dan Komunikasi sangat dekat
dengan ‘bahasa’, karena tanpa bahasa kita tidak dapat berkomunikasi dan berteologia secara
sistematis dan efektif. Pandangan kedua yang menyatakan bahwa komunikasi serta Teologi
saling terkait dengan ‘relasi-relasi’, baik relasi dengan sesama maupun dengan Sang
Pencipta. Sehinga dengan melihat pandangan tersebut, semakin jelas dipemikiran kita bahwa
Teologi dan Komunikasi saling terkait satu dengan yang lainnya, sehingga proses ini berjalan
dua arah, yakni proses proses penyusunan teologi tentang komunikasi sebagai proses
komunikasi dan komunikasi perlu dikaji  agar manusia lebih mengenal hakikat
manusiawinya, sehingga dengan memahami komunikasi kita akan lebih mengenal eksistensi
diri kita.5

Berdasarkan latarbelakang di atas maka penulis merasa penting untuk meninjau hal
ini lebih lanjut, sehingga penulis merumuskan penelitian dengan judul “Membangun
Ketahanan Masyarakat Menghadapi Profokasi Bernuansa SARA Di Maluku – Suatu Kajian
Teologi Kamunikasi”.

5
Robby I Chandra l, Teologi dan Komunikasi, (Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1996), hal. 20-21
1.2. Masalah Penelitian

Dari latar belakang tersebut, dapat disimpulkan masalah yang menjadi sasaran penelitian
sebagai berikut :

1. Bagaimana peran para tokoh agama (Islam dan Kristen) mempertahankan kembali
ketahanan masyarakat secara khusus masyarakat negeri Ema untuk kritis terhadap penyebab
suatu masalah yang terjadi?

2. Bagaimana teologi komunikasi berbicara tentang Allah memakai komunikasi menjadi


wahana dalam proses membangun ketahanan masyarakat menghadapi profokasi bernuansa
SARA di Maluku?

1.3. Tujuan (dan manfaat) Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang dipaparkan, maka yang menjadi tujuan peneliti
ialah:

1. Meningkatkan cara berpikir kritis masyarakat agar tidak mudah terprofokasi terhadap
penyebab suatu masalah khususnya yang berhubungan dengan SARA melalui peran para
tokoh agama di Maluku.

2. Meninjau cara membangun ketahanan bagi masyarakat di tengah profokasi di Maluku


melalui tinjauan teologi komunikasi.

Dengan adanya tujuan penelitian di atas, diharapkan tujuan penelitian ini bermanfaat bagi
semua kalangan. Manfaat ini dibagi menjadi 2 hal yakni manfaat secara teoritis dan praktis.

1. Manfaat Teoritis

a. Diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi semua kalangan dan menjadi sumbangsi ilmu
teologi yang relevan agar masyarakat dapat terus bertahan menjaga kedamaian dan
perdamaian di Maluku.

b. Untuk memenuhi salah satu syarat penulisan skripsi

2. Manfaat praktis
Diharapkan dapat memberikan pemahaman dalam mengkontruksi pikiran dan gaya hidup
masyarakat di tengah kecanggihan tegnologi agar dapat dimanfaatkan secara kritis dan
terbuka, sehingga tidak mengabaikan nilai – nilai perdamaian yang sudah menjadi eksistensi
diri masyarakat Maluku.

Negara Indonesia khususnya provinsi Maluku telah diwarnai dan dianugerahkan


berbagai macam jenis perbedaan (SARA) yang bertujuan untuk memberikan kehidupan
dalam menghargai dan mempertahankan ketahanan hidup masyarakat. Paham tentang
pluralitas itu membuat Indonesia berada dalam keadaan penuh toleransi. Menurut Swidler,
pluralisme agama adalah suatu kesadaran akan pluralitas agama, yang mana agama-agama itu
memperlihatkan suatu interdependensi sehingga menjalin relasi atau berdialog adalah suatu
keniscayaan bagi agama-agama. 6

6
Swidler, Freedom of Religion and Dialogue, hal. 13.

Anda mungkin juga menyukai