Anda di halaman 1dari 2

NOVEL SEJARAH GERAKAN MAHASISWA PRA-REFORMASI

“Novel sejarah Lelaki di Tengah Hujan” adalah salah satu buku fiksi dan non fiksi, terbit
tahun 2019 yang ditulis oleh Wenri Wanhar dengan tebal 364 halaman. Meskipun pada judul
terdapat kata novel yang artinya buku fiksi atau rekaan, namun buku ini juga mengandung fakta-
fakta sejarah dan benar terjadi pada zamannya. Buku ini ditulis sejak 1999, saat Wenri baru
menjadi mahasiswa di Universitas Bung Karno. Hidup yang sulit membawanya berkenalan dan
berteman dengan berbagai kalangan. Dari pergaulan itulah Wenri mendengar kisah-kisah senyap
perlawanan rakyat terhadap rezim Orde Baru. Agar tidak lupa dan menjaga ingatan, penggalan
cerita itu dicatatatnya di buku tulis. Kemudian di Tahun 2006, atas restu sang Empunya kisah,
sejarah gerakan mahasiswa dijadikannya skripsi kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku
novel-sejarah.
Buku ini diawali dengan peristiwa kontroversial yang terjadi pada tahun 1998 yaitu bom
Tanah Tinggi. Meledaknya bom rakitan di Rusun Tanah Tinggi yang tiba-tiba mengakibatkan
tokoh dalam cerita si Bujang Parewa ditangkap. Menjadi pejuang pergerakan membela rakyat
memang harus siap dengan berbagai resiko yang ada, bahkan resiko terberat sekalipun. Seperti
dituliskan dihalaman 21-26 bagaimana tokoh dalam cerita disiksa, ditelanjangi, disekap
semalaman, dipukuli, ditendang, dan diintrogasi. Buku ini juga menjelaskan kilas balik
bagaimana awal mula dan alasan para aktivis terjun di dunia pergerakan mahasiswa hingga
menjadi pemimpin gerakan bawah tanah.
Setelah meletusnya peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari 1974, kampus-kampus
mulai menjadi musuh rezim. Dewan mahasiswa dan tokohnya ditangkap, sehingga gerakan
mahasiswa sempat meredup kala itu. Ditambah lagi dengan adanya kebijakan NKK/BKK yang
semakin mengekang gerakan mahasiwa. Sehingga tahun 1980-an mahasiswa aktif kembali dalam
kelompok studi, LSM, Pers mahasiswa. Hal yang mendukung adalah majalah kampus sebagai
corong utama untuk mengkampanyekan program kerakyatan. Dibahas juga tentang pembentukan
solidaritas antar kampus pada halaman 155-163 seperti solidaritas terhadap Peristiwa Subuh
Berdarah di Kampus ISTN. Kemudian meningkatnya kesadaran mahasiswa membuat
terbentuknya komite-komite aksi sebagai aksi kritik tehadap organisasi mahasiwa yang dianggap
kurang tanggap dan pasif terhadap resim orde baru.
Setelah sekian lama, muncul kesadaran akan keberadaan gerakan mahasiswa tidak
mampu membuat revolusi, dan tidak bisa merubah total sistem ekonomi politik kala itu.
Faktanya, gerakan mahasiwa tidak mempunyai perspektif untuk membangun kekuatan rakyat.
Mereka memahami penderitaan rakyat secara teoritis dari kampus dan buku bacaan, namun tidak
turun langsung ke rakyat. Oleh sebab itu, gerakan mahasiswa berintegrasi dengan gerakan
rakyat.
Mahasiwa melakukan beberapa gerakan seperti menentang rencana pemugaran cagar
budaya Benteng Vastemburg, Peristiwa Belangguan, menyasar kebijakan pemerintah yang
menyusur tanah rakyat seperti Kedung Ombo, Badega, Kacapiring, Cimacab, Jatiwangi, Cilacap,
dsb. Mahasiswa juga bergerak pada peristiwa Ngrambe dan Boyolali, mahasiswa mengorganisir
buruh di Surabaya dan kawan industri di Gerbang Kartasusila. Di Jakarta mahasiswa
bertransformasi kedalam gerakan mahasiswa kerakyatan dengan memplopori live in di basis
buruh, lalu mendorong mereka melakukan pemogokan di Tanggerang, Bogor, dan Pluit.
Perlawanan terus terjadi dengan cara aksi masa, baik di daerah maupun nasional, baik sektoral
maupun aliansi.
Menyadari perlunya membangun organisasi berskala nasional, maka dilakukannya
Deployment atau pengiriman kader mahasiswa untuk ditempatan di wilayah industri, dikirim ke
barak buruh, untuk menghancurkan mereka yang terlalu teoritis dan oportunis. Dengan ini,
keberpihakan mahasiswa kepada para buruh tidak hanya sebatas teori, sehingga melahirkan
organisasi perlawanan ditingkat masa rakyat. Setelah gerakan mahasiwa berhasil melahirkan
gerakan tani dan buruh, rakyat mulai ingin memperjuangkan haknya. Kesewenang-wenangan
penguasa dilawan dalam bentuk aksi masa dan sikap politik. Gerakan mahasiswa dan sektor
rakyat bersama-sama kemudian membentuk partai.
Pada masa jauh sebelum julukan tokoh Reformasi diberikan kepada satu dua orang,
sengguhnya ada gerakan senyap yang dimulai pada awal tahun 1990-an. Mereka adalah
segelintir pemberontak yang menyiapkan bara bagi terbakarnya api reformasi 98. Mereka yang
tidak tercatat dalam sejarah, mereka yang tetap hening hingga hari ini, dan tidak mengklaim diri
menjadi orang yang paling berjasa. Bujang Parewa, sebagai tokoh utama berhasil membuat buku
sejarah yang terkesan serius dan tegang, menjadi jalan cerita yang menarik dan mudah dipahami.
Hanya saja, alur dalam buku ini campuran, sehingga pembaca sulit untuk memilah antara bagian
fiksi dan non fiksi dari cerita tersebut. Keseluruhannya, buku ini sangat layak untuk dibaca
khususnya generasi muda, untuk belajar dan tahu bagaimana sesungguhnya peran generasi muda
sangat berdampak dengan adanya pergerakan mahasiswa dari kekuatan-keuatan darah muda.

Anda mungkin juga menyukai