Anda di halaman 1dari 4

KONFLIK AGAMA AMBON 1999

Nama: Muhammad Surya Ilfi


Nomor Induk Mahasiswa: E021201031.

Negara Dengan Berbagai macam budaya seperti Indonesia tidak akan pernah lepas dari
konflik, utamanya menyangkut mengenai Suku, Ras, Agama maupun Golongan. Banyak
yang menyatakan bahwa Konflik tersebut terjadi akibat adanya rasa pembenaran dalam suatu
kaum sehingga mereka menyalahkan kaum lain. Ada juga pendapat lain bahwa Konflik yang
menyangkut Suku, Ras, Agama dan Golongan terjadi akibat Kurangnya Pemahaman terkait
akan nilai-nilai ideologi negara sehingga suatu kaum kurang memiliki toleransi terhadap
kaum lain. Dengan begitu, maka Konflik seperti ini akan terus terjadi dan tidak akan pernah
ada habisnya.

Konflik Suku, Ras, Agama maupun Golongan (SARA) merupakan hal yang sangat berbahaya
jika tidak dihentikan, bahkan dapat menghilangkan Nyawa banyak orang. Di Indonesia,
sudah banyak Konflik SARA yang terjadi dan sudah menghilangkan banyak nyawa, Seperti
Tragedi Suku Dayak vs Madura, Sentimen Etnis, Kelompok Syi’ah di Sampang. Ini adalah
bukti bahwa Pemerintah Indonesia masih longgar terhadap Konflik SARA dan belum
menemukan solusi yang efektif dalam meminimalisir konflik SARA. Seharusnya hal ini
sudah harus dipertimbangkan dan dipahami oleh masyarakat agar tercipta suatu rukun antar
sesame sehingga Konflik bisa diminimalisir.

Konflik Agama Di Ambon pada tahun 1999 merupakan salah satu Konflik SARA paling
besar yang pernah terjadi di Indonesia. Ribuan Korban berjatuhan dan Ratusan Ribu
penduduk mengungsi dari Ambon. Banyak Toko dan Usaha yang dirusak sehingga
menyebabkan kerugian yang dialami banyak pihak, Utamanya pihak yang terlibat dalam
Konflik tersebut. Situasi dan Kondisi tidak aman dan menyebabkan ketakutan di kalangan
masyarakat. Oleh karena itu, Masyarakat Ambon memilih untuk tinggal di dalam rumah atau
mengungsi agar mereka dapat terhindar dari dampak yang ditimbulkan.

Terdapat dua agama yang besar yang terlibat dalam Konflik, yakni Agama Islam dan Agama
Kristen. Pada tahun 1999, Jumlah Penduduk yang beragama Kristen dan Islam Di Ambon
sama-sama memiliki besaran yang sama. Bahkan besarnya penganut kedua agama ini jauh
melebihi penduduk yang menganut agama lain, seperti Katholik, Hindu dan Budha. Agama
Kristen merupakan agama yang menetap di Ambon, sementara Agama Islam adalah agama
pendatang. Para pendatang tersebut merupakan orang-orang Arab khususnya dari Etnik
Bugis, Buton dan Makassar atau bisa disingkat BBM

Sebelum konflik terjadi, baik Agama Kristen maupun Agama Islam di Ambon memiliki tali
persaudaraan yang kuat diantara satu sama lain. Mereka bisa menerima satu sama lain dan
menjalani kehidupan saling berdampingan dan rukun, seperti yang ditunjukkan oleh Negeri
Batumerah yang mayoritas Islam dan Passo yang mayoritas Kristen. Masyarakat di daerah
Batumerah-Passo saling berinteraksi dan menjalin tali persaudaraan yang erat satu sama lain,
tanpa memandang perbedaan suku, ras maupun latar belakang setiap masyarakatnya.

Dengan kebersamaan tersebut, Para penduduk membangun Kota Ambon menjadi kota yang
toleran dan makmur. Kebebasan dalam beragama serta rasa saling menolong dan
menghormati satu sama lain sangat dirasakan oleh penduduk Kota Ambon, utamanya dalam
menerima penduduk BBM yang merupakan etnik luar Maluku. Sistem perekonomian, Politik
dan Struktur sosial juga menjadi penegasan dan fondasi untuk memajukan kota dilakukan
dengan baik oleh seluruh masyarakat.

Namun, Tanggal 19 Januari 1999 dipercaya merupakan awal dari terpicunya konflik. Saat itu
adalah Hari Raya Idul Fitri, Para Muslimin baru saja menyelesaikan Bulan Ramadhan
mereka. Terjadi ketegangan Antar Pemuda yang masing-masing berasal Dari Mardika
Ambon yang merupakan daerah Kristen dan Batumerah yang merupakan daerah Muslim.
Mereka berdua bekonflik tentang pungutan biaya di wilayah Terminal Batu Merah, awalnya
konflik terjadi biasa saja sampai kemudian bertambah panas akibat perseteruan di bumbui
dengan banyaknya isu sentimen agama.

Konflik Antar Pemuda tersebut menyebarkan banyak hal-hal negatif yang memperburuk
keadaan antara Pemeluk Agama Islam dan Kristen. Desa-desa sekitar menjadi liar dan penuh
dengan kekerasan, tidak ada hari kebebasan bagi masyarakat. Penyiksaan, Pembunuhan, dan
perilaku tidak manusiawi lainnya merupakan hal yang normal. Tempat-tempat ibadah juga
diserang habis-habisan, bahkan dihancurkan. Ketentraman dan toleransi tidak lagi menjadi
hal yang bermakna di sana, setiap orang yang memiliki perbedaan agama langsung di hajar
tanpa ampun.

Kondisi ini tidak hanya tersebar melalui kekerasan saja, melainkan dalam hal politik. Pada
Bulan Mei 1999, konflik sempat mereda akibat adanya Kampanye Pemilihan Umum
(Pemilu). Dan PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) Memenangkan suara terbanyak
di Ambon, yang merupakan pilihan para pemeluk Agama Kristen. Akibatnya, masyarakatpun
semakin terpecah belah dalam keagamaan, bahkan ke tingkat Aparat Keamanan. Akibat
perpecahan itu, Aparat Keamanan tidak mampu menjalankan kewajibannya dengan
maksimal.

Puncak dari Konflik ini adalah saat terjadi serangan Gereja Silo dan Pembantaian Tabelo
pada tanggal 26 Desember 1999. Gereja Silo, yang merupakan Gereja Protestan Maluku dan
salah satu tempat ibadah terbesar terbakar habis setelah hari natal. Dan di saat yang sama,
800 masyarakat muslim di Desa Tabelo dibantai oleh Pihak Kristen. Akibatnya, Konflik
semakin parah dan terlibat lebih jauh lagi untuk terjun dalam kekerasan yang lebih kejam dan
brutal. Bahkan Pemerintah dan Militer Indonesia tidak lagi bisa terlibat dalam
mendamaikaannya.

Pemerintahan sejak awal konflik sudah mencoba melakukan banyak hal agar bisa mengatasi
konflik yang terjadi, namun kesemuanya mengalami kegagalan. Mulai dari pihak yang di utus
juga terkena pengaruh dari isu-isu yang ada, pemimpin yang diutus malah dianggap menjadi
pendorong parahnya konflik, menyebarnya konflik hingga ke daerah lain seperti Ternate dan
Jakarta akibat adanya masyarakat Ambon yang mengungsi ke sana juga ikut termakan desas
desus agama.

3 tahun berlalu, akhirnya Konflik Ambon 1999 diselesaikan secara perjanjian melalui
“Perjanjian Malino II” pada tanggal 11 Februari 2002 yang langsung di pimpin oleh
pemerintah pusat. Perjanjian tersebut merupakan bentuk kuat dari pemerintah agar segera
menyelesaikan segala konflik yang terjadi dan menerapkan ketegasan terhadap hukuman bagi
rakyat yang masih berkonflk satu sama lain. Seluruh masyarakat yang mengungsi akan
dikembalikan ke tempatnya semula sebelum konflik dan menjaga ketertiban dan keamanan
secara tegas tanpa memandang agama, suku, ras dan golongan.

Segregasi juga diterapkan di Ambon agar bisa membedakan dengan jelas antara Kampung
Muslim dan Kristen. Masyarakat Muslim-Kristen yang awalnya berbaur dan akrab satu sama
lain berubah menjadi perpisahan yang ironis. Kekerasan bisa ditekan, namun Stigma
keraguan dan kecurigaan masih menempel di benak masyarakat. Pemisahan ini juga
memindahkan Ambon dari Daerah yang akrab dengan agama dan keramahannya terhadap
seluruh agama menjadi sistem-tatanan sosial budaya masyarakat.

Indonesia merupakan negara yang Multikultural, butuh waktu lama untuk bisa menyatukan
semuanya. Perbedaan Ideologi, Keyakinan serta Adat istiadat merupakan sebuah hal yang
sangat memungkinkan untuk memicu perpecahan. Adanya perbedaan ini juga memungkinkan
melahirkan budaya-budaya baru yang pada akhirnya akan menyesatkan masyarakat. Banyak
yang bisa menerima tapi banyak juga yang menolak, semua masyarakat akan memiliki
pandangan mereka tersendiri dan keyakinan mereka terhadap kebudayaan daerah lain.

Pada akhirnya, keseluruhan akan ditentukan oleh bagaimana kita bisa toleran dan menerima
masyarakat yang memiliki perbedaan. Baik itu budaya, agama, ras, suku mauoun golongan
kesemuanya merupakan aspek yang akan menjadi tantangan. Kehidupan berdampingan
dengan masyarakat yang memiliki perbedaan merupakan suatu keindahan dan lebih
bermakna, karena kita lebih banyak tahu dan belajar menghargai lingkungan sekitar. Sama
dengan bagaimana kita menghargai diri kita sendiri.

Berbeda cerita jika itu adalah hal yang menyesatkan, Hal itu sebisanya harus dihindari dan
ditolak jika bisa. Pembunuhan, Pengorbanan, serta hal-hal yang tidak manusiawi merupakan
hal yang sangat dilarang dalam beragama. Seluruh Agama sangat melarang merugikan satu
sama lain, utamanya dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, kita sebagai
manusia juga bisa melihat yang mana yang benar dan yang mana yang salah sesuai dengan
pandangan kita secara agama.

Dengan menerima dan toleran antar satu sama lain, maka Indonesia bisa menjadi negara yang
lebih baik. Teknologi, Pengetahuan, Produktivitas akan meningkat dan berjalan lebih baik
dengan hidup berdampingan satu sama lain. Saling menolong dan membantu dalam
menyelesaikan masalah baik internal maupun eksternal akan selalu meningkatkan rasa
hormat kita maupun orang lain. Dengan begitu, segala aspek yang dianggap tidak maju
menjadi maju jika seluruh masyarakat bisa saling menerima satu sama lain

Anda mungkin juga menyukai