kecamatan. Dari jumlah ini, hanya dua negeri, yakni Batumerah kampung ( Penduduk asli
Batu merah) dan Laha yang mayoritas berpenduduk Muslim ditambah tiga kelurahan,
yakni Waihaong, Silale dan Pandan Kasturi.
Pola pemukiman penduduk di Ambon terbelah atas dasar agama Islam dan
Kristen dimana warga masyarakat beragama Islam memilih tinggal di negeri / desa yang
mayoritas penduduknya beragama Islam, begitupun dengan penganut agama Kristen lebih
memilih tinggal di negeri atau wilayah yang mayoritas penduduk beragama Kristen.
Masyarakat tinggal berdasarkan pilihan kesamaan agama untuk rasa kenyamanan dan
aman dalam menjalankan aktivitas kehidupan sehari hari sejak pecahnya konflik antar
umat beragama tahun 1999 2004.
Sebelum konflik di beberapa desa/ negeri / kelurahan penduduknya didiami oleh
dua komunitas namun mayoritas penduduk tetap didominasi oleh salah satu komunitas
tertentu namun mereka saling menghargai satu dengan yang lain. Contohnya di Negeri
Passo mayoritas penduduk Kristen namun ada juga penduduk yang beragama Islam,
begitupun dengan Desa Galala mayoritas Kristen, Batu merah mayoritas Islam, Laha
mayoritas Islam, Tawiri mayoritas Kristen, Hative besar, Amahusu, Latuhalat, Nusaniwe,
Kelurahan Honipopu, Kelurahan Rijali,
masyarakat
sehingga ada keraguan sebagian besar masyarakat untuk tinggal bersama sama, berbaur
dengan komunitas lain, selain masih ada rasa kecurigaan dan saling ketidakpercayaan
antara komunitas disamping masih ada perasaan trauma sehingga masyarakat baik
komunitas Muslim maupun Kristen mencari tempat pemukiman atas kesamaan agama
1
menjadi satu satunya pilihan. meskipun di tempat tempat public, perkantoran , pusat
pusat pembelanjaan, pendidikan, serta tempat lain sudah bisa diakses oleh dua komunitas
secara bersama sama dan saling berinteraski satu dengan lain. Namun hubungan relasi
sosial ini berlangsung tidak lama, hanya beberapa jam setelah itu masing masing
komunitas kembali ketempat pemukiman atas kesamaan agama. Hal ini mengindikasikan
bahwa ada rasa kekuatiran, saling curiga dan tidak percaya satu dengan yang lain masih
menyelimuti kedua warga komunitas.
Namun hal ini tidak terjadi pada semua warga masyarakat Kota Ambon, ada
sebagian masyarakat yang sudah kembali ke tempat asal setelah situasi kondusif tahun
2004 dan
Halong, Nania, Waiheru, Poka, Rumahtiga, kelurahan Tihu, Hunuth, Mardika, Waringin
dan lain - lain. Keharmonisan antara kedua komunitas di beberapa Negeri/ Desa/
Kelurahan diatas terpelihara dengan baik sampai dengan saat ini meskipun terjadi insiden
atau bentrokan antar kedua komunitas di tempat lain.
Kalau kita runut jauh kebelakang, sebenarmya kondisi segregasi masyarakat di
Maluku berdasarkan agama sesungguhnya bukan suatu hal yang baru. Pola pemukiman
seperti ini adalah merupakan warisan dari zaman penjajah Belanda
hingga sekarang
namun sebelum masa konflik tahun 1999 diantara kedua komunitas masyarakat terutama
desa / negeri di Kota Ambon tidak ada masalah, mereka saling hidup berdampingan secara
damai, saling bertoleransi satu sama yang lain dalam melakukan aktivitas keagamaan
maupun aktivitas
dimana penduduk desa dari dua komunitas tinggal bersama sama jauh sebelum terjadi
konflik tahun 1999 sampai saat ini. Ketika terjadi konflik yang berkepanjangan melanda
Kota Ambon dan Maluku
pun
mereka tetap
keharmonisan diantara mereka dari pengaruh orang luar yang mau menganggu rasa
kedamaian
sehingga sampai saat ini desa Wayame tidak tersentuh oleh konflik kekerasan
yang melibatkan dua komunitas. Ketika terjadi konflik di kota Ambon di wilayah
2
disintegrasi sosial serta mudahnya diprovokasi dan dimobilisasi yang menjurus kepada
tindakan kekerasan serta anarkis ketika dipicu oleh persoalan
merugikan atau hanya berpihak pada salah satu komunitas agama tertentu.
Keterbelahan pemukiman masyarakat di wilayah Kota Ambon atas dasar agama
pasca konflik masyarakat sangat rentan terprovokasi dan dimobilisasi ketika terjadi
benturan baik secara individu yang melibatkan kelompok maupun antar warga masyarakat.
Selain itu pula
memudahkan
mencapai tujuannya. Ke depan kita tidak bisa berharap banyak tentang perdamaian yang
berkelanjutan di Ambon sepanjang masih ada saling curiga dan tidak ada saling percaya
antar kedua komunitas yang diperkuat oleh keterbelahan pemukiman atas dasar agama.
Dan apabila
daerah maupun stakeholders lain melalui program strategis untuk membagun rasa percaya
antara komunitas, tentunya harus didukung oleh semua elemen masyarakat
guna
ii.
Pengungsi di Ambon.
Situasi dan kondisi Maluku saat ini makin kondusif setelah mengalami konflik
horizontal antar umat beragama yang berkepanjangan sejak tahun 1999-2004, kemudian
setelah beberapa tahun kemudian muncul lagi konflik antar kedua komunitas tepatnya
pada tanggal 11 September 2011 dipicu oleh kematian seorang tukang ojek Darfin Saimin,
warga Waihaong ( Muslim)
warga masyarakat
sekitar lokasi
konflik seperti Waringin, Talake, dan Mardika ke tempat yang lebih aman.
3
Hingga saat ini situasi Kota Ambon sudah sangat kondusif namun pemerintah
daerah baik di tingkat provinsi mapun Kota Ambon belum menuntaskan penyelesaian
persoalan pengungsi baik konflik 1999 maupun konflik 11 September 2011 dengan alasan
untuk konflik tahun 1999 masih dilakukan verivikasi data pengungsi oleh tim verivikasi
dengan melibatkan Koalisi Pengunbgsi Maluku dan Komnas HAM Perwakilan Maluku
sedangkan korban konflik 11 September 2011 masih menunggu kucuran anggaran dari
Kementerian Perumahan Rakyat.
Pengungsi korban 11 September 2011 baik dari komunitas Muslim maupun Kristen
sampai dengan saat ini masih menempati tempat tempat pengungsian yang tersebar di
beberapa wilayah Kota Ambon. Seperti di Pasar Gotong Royong, Gedung Telkom yang
berasal dari Waringin - Batugantung ( Muslim) dan
gedung SKB Kota Ambon dari Mardika ( Kristen) yang telah mengungsi empat kali akibat
konflik horisontal mulai konflik tahun 1999, dan terakhir konflik 15 Mei 2012 lalu, mereka
ingin kembali ke rumah namun masih meragukan jaminan keamanan dari pemerintah dan
pihak keamanan.
Banyak sekali alasan mengapa pengungsi belum kembali selain menunggu dana
tahap ketiga sebesar Rp. 17.450.000 kepada masing masing Kepala Keluarga dari
Kementerian perumahan rakyat lewat Pemerintah kota Ambon antara lain karena masih
mengalami trauma psikologis dan merasa belum benar benar aman. Mereka tidak ingin
pulang karena telah menetap disuatu wilayah baru yang dirasakan lebih aman atau lebih
menguntungkan secara ekonomi maupun kemudahan akses terhadap fasilitas ekonomi dan
lain sebagainya.
Belum lagi banyak persoalan yang dialami oleh eks pengungsi pasca relokasi atau
pengembalian ke tempat asal seperti pengunsgi yang direlokasi di Warasia Negeri Batu
merah mengalami persoalan terkait dengan keepemilikan lahan pemukiman yang belum
jelas padahal
pun menjadi langganan penyakit infeksi saluran pernafasan, disentri dan malaria. Selain
kesehatan warga pengungsi juga dihimpit soal lahan relokasi yang tidak pasti. Persoalan
lain muncul kemudian adalah lahan yang telah dikapling ramai-ramai bersama sejumlah
kepala keluarga diklaim oleh pihak lain sebagai hak milik padahal Lahan sudah di bayar
panjar, bahkan ada yang sudah dapat sertifikat.
Hal seperti ini terlihat juga di tempat pengungsian lain seperti yang menempati
bangunan Pasar Gotong Royong dimana Pengungsi yang berasal dari Waringin ini
banyak yang mengalami sakit sakitan karena lingkungan tempat tinggal yang kurang
sehat. Mereka memilih bertahan tinggal disitu karena pemerintah Kota Ambon belum
mebayar lunas dana rehabilitasi rumah bagi yang rudsak berat, masih menunggu tahap ke
tiga sebesar Rp.14.750.000,-per Kepala Keluarga.
Permasalahan lain muncul berkaitan dengan
Sebagian
pengungsi belum mendapatkan BBR ( bahan bangunan rumah ) dan hak hak pengungsi
lainnya dari pemerintah kepada korban konflik sejak tahun 1999 , sehingga pengungsi
belum bisa membangun kembali rumahnya di tempat tinggalnya yang hancur rata dengan
tanah. Misalnya sebanyak 87 KK pengungsi Jemaat Bethabara- Kayu Tiga, 226 KK
pengungsi Buru di Lambah Agro Passo dan 8 KK pengungsi Dusun Ujung Batu Waai
Kab. Maluku tengah dan masih banyak pengungsi lain yang mengalami nasib yang sama.
Belum lagi persoalan penanganan pengunsi korban konflik 1999 2003 yaitu
sebanyak 3.897 Kepala Keluarga (KK) pengungsi di Maluku yang belum tertangani secara
tuntas, karena dari jumlah keseluruhan pengungsi Maluku yakni 12.080 KK hanya baru
8.183 KK yang telah tertangani oleh pemerintah Provinsi Maluku dan Kabupaten/Kota.
seperti BBR ( bahan bangunan rumah ) dan lain sebagainya, yang tersebar pada beberapa
kabupaten dan kota. Namun hasil mediasi oleh Komnas HAM dengan KPM ( Koalisi
Pengungsi Maluku) dan Pemerintah Provinsi Maluku pada tanggal 26 Nopember 2010
dimana disepakati untuk membentuk tim terpadu dan bertugas melakukan pendataan ulang
dan verifikasi sisa pengungsi yang belum tertangani hak-haknya. Ketua Koalisi Pengungsi
Maluku (KPM) Pieter Pattiwaelapia mengungkapkan bahwa saat ini masih dilakukan
verifikasi data sisa pengungsi. Jumlah mereka yang belum memperoleh hak-haknya
diperkirakan hanya 2000-an KK. Banyaknya pengungsi fiktif, tambah dia, menyebabkan
penyelasaian pengungsi menjadi lambat. Sudah dilakukan verivikasi data pengungsi di
kabupaten Maluku tengah, Kabupaten Seram bagian barat, Maluku Tenggara, Maluku
Tenggara barat dan sisa di Kota Ambon.
dilakukannya verivikasi karena mis komunikasi antara pihak pemerintah kota, pihak
kecamatan dan desa/ kelurahan di Kota Ambon sehingga belum terlaksana dan dianggap
penanganan pengungsi sudah tuntas..
Kementrian Sosial sebesar Rp 3,5 Milyar kepada pengungsi guna menyelesaikan pekerjaan
pembangunan rumah masing-masing. Dan satu tahapan bantuan lagi dari Kementrian
6
Perumahan Rakyat sebesar Rp 2,1 Milyar kepada pengungsi yang punya rumah rusak
total dengan masing masing Kepala keluraga sisa Rp. 14.750.000,- dari Rp. 59.
000.000,- dimana saat ini masih diupayakan realisasinya, karena terhambat dengan
persyaratan administrasi yang diperlukan misalnya terkait dengan kondisi detail mengenai
rumah-rumah yang rusak pada saat bentrokan antar warga pecah di Ambon tanggal 11
September 2011 hingga data mutakhir mengenai kondisi rumah tersebut.
Belum tuntasnya penanganan dan penyelesaian hak hak pengungsi membuat
masyarakat kurang percaya kepada pemerintah dan menjadi salah satu potensi pemicu
terjadinya konflik sewaktu waktu bisa saja dapat menimbukan konflik baru baik
konflik vertical maupun horizontal. Konflik vertical muncul ketika tuntutan tuntan
pengungsi pada pemerintah terhadap hak hak pengungsi tidak direalisir atau dipenuhi.
Dan konflik horizontal
b. Data
i.
ii.
iii.
c. Data empiric
i.
Masjid / gereja ( masjid di Passo)
Saat ini ditengah pemukiman Kristen Desa Latta Kecmatan Teluk Ambon Baguala
Kota Ambon, berdirinya sebuah Mesjid nan indah berwarna kuning keemasan dengan
nama
Mesjid Nurul Hidayah yang dikelilingi oleh warga komunitas Kriten dan
Muslim. Masjid Nurul Hidayah setelah terbakar pada tanggal 29 Juli 1999 direnovasi pada
7
tahun 2005 sampai dengan 2006 oleh dua komunitas di Desa Latta kemudian diresmikan
pada tahun 2007. Berdirinya mesjid ini setelah pengungsi Muslim Latta sebanyak 76 KK
kembali ke tempat asal desa Latta atas inisiatif sendiri dari tempat pengungsian seiring
dengan situasi kota Ambon yang semakin kondusif.
Pembangunan renovasi mesjid Nurul Hidayah
secara bersama sama karena pembangunan Gedung Gereja Protestan Desa Latta pada
waktu dulu juga dibantu oleh penduduk Muslim Latta.
Saat pecah kerusuhan, warga Latta yang beragama Islam sebagai minoritas memilih
mengungsi ke kompleks Pangkalan Utama Angkatan Laut (Lantamal) IX Ambon. Setelah
beberapa tahun tinggal di pengungsian, tepatnya tanggal 20 Desember 2003 mereka
kembali pulang. Namun keharmonisan dan pembauran dalam kehidupan sehari hari
tidak begitu berlangsung lama karena pecah konflik lagi pada tanggal 25 April 2004 di
Kota Ambon yang dipicu oleh Upacara dan Pawai HUT RMS. Terpaksa Warga muslim
desa Latta mengungsi lagi menyelamatkan diri ke Lantamal IX Ambon yang jarak kira
kira satu kilo meter lebih.
Saat
pecahnya konflik
April 2004
lainnya rusak parah. Meski begitu, pada bulan Oktober 2005 mereka tetap ingin kembali
dan tinggal di Latta berbaur dengan komunitas Kristen hingga sekarang dengan alasan
mereka tinggal di Latta sejak dulu walaupun bukan merupakan penduduk asli desa Latta
dan masih ada kuburan leluhur mereka. Pembangunan kembali masjid Nurul Hidayah
dengan anggaran dari pemerintah provinsi Maluku melalui Dana Inpres Khusus Nomor 6
Tahun 2003 tentang recovery Maluku pasca konflik. Mesjid ini kebagian Rp.200 juta dari
dana Inpres untuk memperbaiki puing-puing bangunan yang hancur.
Sehari hari masjid Nurul hidayah ini dihidupkan dengan berbagai aktivitas
keagamaan selain sebagai tempat Shalat oleh warga muslim yang mayoritas dari suku
Sulawesi tenggara yang tinggal disekitarnya juga dimanfaatkan oleh kaum muslim dari
berbagai wilayah
yang melewati jalan raya depan masjid Nurul Hidayah ketika tiba
Kini, walaupun terjadi bentrokan antara kedua komunitas di Kota Ambon seperti
konflik 11 September 2011, dan 15 Mei 2012 atau insiden antar komunitas di tempat
lain, Mesjid Nurul Hidayah tetap terjaga dan berdiri dengan megah serta warga Muslim
Latta tetap memilih tinggal, tidak mengungsi lagi karena diantara dua komunitas Desa
Latta sudah saling menjaga dan saling percaya satu dengan yang lain meskipun warga
muslim terbilang minoritas.
Begitupun dengan Mesjid Nurul Islam Negeri Passo, mesjid yang berdiri kokoh
di tengah pemukiman Kristen Negeri Passo Kecamatan Teluk Ambon Baguala
tersebut
dibangun pada tahun 2003 2004 oleh kedua komunitas dari berbagai negeri / Desa di
Kota Ambon seperti
dari
- lain.
Pembangunan kembali mesjid ini diinisiasi oleh Pemerintah Provinsi karena letaknya di
jalan pros utama Laha Ambon.
Hingga kini mesjid tersebut dijaga oleh salah seorang warga komunitas Muslim
Bpk. Shubur Hambali yang sudah lama tinggal di Passo dimana sehari hari merawatnya,
membersihkannya agar yang memanfaatkannya lebih merasa nyaman. Pengurus masjid
adalah orang orang yang berkerja di kantor KUA ( Kantor Urusan Agama) Kecamatan
Teluk Ambon Baguala karena di sekitar mesjid atau di Passo tidak ada penduduk Muslim
kecuali hanya Penjaga mesjid tersebut yang tinggal disekitar masjid dan orang yang
sekedar beraktivitas di Passo.
Sehari hari mesjid Nurul Islam ini dimanfaatkan sebagai tempat ibadah oleh
umat Muslim yang berkerja di sekitar Desa Passo baik sebagai pegawai swasta , Pegawai
Negeri Sipil
situasi
kondusif pasca konflik tahun 1999 terdapat Bangunan Mesjid bernama Nurul Hijrah dan
Gereja Protestan letaknya berdampingan di depan jalan raya Laksda Leo Wattimena yang
dibatasi oleh sartu buah gedung dan jalan lorong. Aktivitas keagamaan dan peribadatan
9
seperti biasanya
beragama di Kota Ambon. Satu tahun kemudian gereja Sillo dibangun kembali dengan
dua lantai dan satu balkon seluas 620 meter persegi pada tahun 2000 hingga sekarang
keharmonisan antara penduduk Muslim Jalan Baru dan Jemaat Gereja Silo tetap terjaga
dan Gereja Silo tetap terlihat dengan megahnya.
Terjadinya segregasi antara komunitas Islam dan Kristen ketika terjadi konflik
tahun 1999, tidak hanya melanda lingkungan pemukiman. Di Kota Ambon segregasi juga
terjadi di pusat pusat aktivitas ekonomi salah satunya di pasar - pasar tradisonal. Pasca
konflik 1999 banyak sekali
bermunculan pasar
mayoritas penduduknya komunitas Kristen sebagai contoh pasar Kaget Batumeja, dan
pasar Tagalaya di Batu gantung. Pada masa sebelum konflik beberapa pasar tradisoinal
berada di wilayah komunitas muslim seperti pasar Batu merah, pasar lama, dan pasar
Mardika.
Ambon, berdekatan dengan pasar pasar tradisional tersebut tidak bisa lagi mengakses
pasar - pasar tersebut karena dikuasai atau berada di wilayah komunitas Islam seperti
pasar Mardika dan Pasar Batu merah dengan alasan keselamatan diri atau merasa nyawa
terancam selain perasaan trauma yang mendalam.
Munculnya pasar kaget tradisional yang lebih banyak menjual kebutuhan sehari
hari misalnya sayur sayuran, ikan, daging dan kebutuhan dapur lainnya ini terlihat di
pasar kaget Batu meja yang telah dipindahkan di sekitar Valantine oleh pemerintah Kota
10
Ambon
menjelang pelaksanaan MTQ Tingkat Nasional bulan Juni 2012, dan Pasar
Kristen.
Namun seiring dengan waktu dan kondisi kota Ambon yang semakin kondusif
pada tahun 2003
masing masing dan pasar Mardika, Pasar Batu merah mulai diakses oleh sebagian kecil
komunitas Kristen secara perlahan lahan mulai dari pasar bakubae di depan Hotem
Amans sekitar Mardika baik sebagai pembeli maupun pedagang. Di Pasar bakubae ini
antara kedua komunitas saling bertemu, melakukan tawar menawar dan kegiatan jual beli
apa saja terutama kebutuhan sehari hari seperti sayur sayuran, ikan dan lain sebagainya
secara bebas tanpa ada rasa takut dan transaksi yang saling menguntungkan kedua belah
pihak. Namun ketika terjadi gejolak di Kota Ambon maka untuk sementara kegiatan
transaksi ini dihentikan sementara dan masing masing komunitas mencari posisi aman
demi untuk keselamatan diri setelah suasana tenang dan kondusif maka aktivitas pasar
dilanjutkan lagi seperti biasanya. Tumbuhnya Saling interaski antara pedagang maupun
pembeli dua komunitas yang di inisiasi oleh beberapa orang kemudian Lama kelamaan
melibatkan banyak orang dan seiring dengan kondusifnya situasi kota Ambon maka
secara perlahan lahan menghilangkan rasa takut dan trauma yang dirasakan oleh
komunitas Kristen dan mulai berani masuk berbelanja dan berbaur dengan komunitas
muslim di tengah pasar. Saling interaksi ini berlanjut pada pedagang Kristen yang lebih
banyak perempuan berjualan bersama sama dengan pedagang muslim di pasar Mardika
yang sangat ramai hingga saat ini walaupun tetap didominasi oleh pedagang muslim yang
berasal dari berbagai suku Buton, Jawa, Ambon, Seram, Kei dan lain sebagainya di
Maluku.
Sehari hari pasar Mardika sangat mudah diakses oleh dua komunitas tidak saja
yang tinggal di sekitar Mardika atau pusat Kota Ambon namun
penjuru wilayah
Mardika sehingga menjadikan pasar Mardika terlihat sibuk. Namun para pedagang dari
Komunitas Kristen yang jumlahnya sangat minim kurang mendapat tempat yang layak di
dalam pasar, lebih banyak menjajakan dagangan di sekitar bahu jalan bersama sama
dengan pedagang muslim lainnya.
11
Selain itu pasar tradisonal di negeri Passo kecamatan Baguala Kota ambon yang
berada di sekitar pertigaan jalan poros Laha Ambon, padagangnya mayoritas kristen
namun
diantara para pedagang itu terdapat pedagang muslim yang menempati lapak
maupun menjajakan jualan di bahu jalan sekitar pasar tersebut sejak situasi kota Ambon
mulai kondusif tahun 2004. Mereka mengais rezeki dengan melakukan aktivitas jualan
untuk mencukupi kebutuhan sehari hari tanpa ada perasaan takut atas keselamatan jiwa
padahal
juga
penduduknya dari berbagai suku dan ras di Provinsi Maluku yang mengungsi di Passo
ketika terjadi konflik 1999. Pedagang Muslim ini tidak takut dan trauma berjualan di
pasar Passo walaupun terjadi insiden atau bentrokan antar warga dua komunitas di kota
Ambon maupun tempat lain, tidak membuat mereka tinggalkan pasar ini.
Disamping itu Pasar Tradisional Passo ini merupakan ruang bagi interaksi dan
proses reintegrasi kedua komunitas terutama komunitas Muslim dari Kecamatan Salahutu
dan Leihitu melakukan kegiatan transaksi jual beli hasil tangkapan ikan, hasil pertanian
dan lain lain. Dimana
kecamatan Leihitu di jual ke Pasar Passo kepada langganan yang sudah lama dikenal
dalam kegiatan jual beli begitupun dengan pedagang Muslim dari Waiheru, Poka, Rumah
tiga dan lain sebagainya.
Selaian itu salah satu pasar tradisonal di Negeri Rumah tiga juga diakses oleh dua
komunitas
Kristen di pasar rumah tiga warga kedua komunitas saling membaur satu dengan yang
lain. Mereka memanfaatkan
pendapatan keluarga tanpa diskriminasi agama, dengan saling menghargai satu dengan
yang lain meskipun terjadi insiden kekerasan antar komunitas di kota Ambon maupun
tempat lain. Mereka tetap memilih untuk bersama sama di pasar saling menjaga satu
dengan yang lain, tidak terpengaruh
komunitas Muslim dan Kristen, mereka yang sudah merasakan kesengsaraan di tempat
pengungsian sebagai dampak dari konflik antar kedua komunitas di kota Ambon tidak mau
mengungsi kedua kalinya lagi.
12
iii.
Sarana public
Ketika terjadi konflik tahu 1999 sarana maupun fasilitas publik yang ada di kota
Ambon tidak bisa diakses oleh dua komunitas secara bersama sama dengan alasan
keamanan dan keselamatan jiwa. Sarana publik antara lain sekolah , rumah sakit, angkutan
transportasi, tempat pelayanan public ( perkantoran) dan lain sebagainya ikut tersegregasi
sesuai dengan wilayah pemukiman penduduk.
Apabila suatu sarana publik ada di wilayah pemukiman Kristen maka
hanya
dapat diakses oleh komunitas Kristen seperti Rumah Sakit Umum Dr. Haulussy akhirnya
di pemukiman Muslim Rumah Sakit Al Fattah dijadikan sebagai rumah sakit alternative
yang melayani umat Muslim bagi pasien dari berbagai penyakit, padahal sebelumnya
hanya diperuntukkan sebagai Rumah Sakit Bersalin bagi ibu hamil dan anak. Begitupun
sebaliknya di wilayah pemukiman Muslim terdapat suatu sarana publik maka hanya di
manfaatkan oleh komunitas Muslim seperti Pelabuhan Laut Yos Soedarso yang biasa
disinggahi oleh kapal penumpang Pelni dari Pulau Jawa, Makasar dan Sulawesi tidak
bisa diakses oleh komunitas Kristen sehingga terbentuknya sarana sarana publik
alternative untuk mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan salah satu komunitas.
Hal serupa juga terjadi pada sarana sarana publik lainnya seperti pusat pusat
pembelanjaan Ambon Plasa, Lapangan olah raga
terminal Ruko Batu Merah, kantor kantor pelayanan publik, sekolah sekolah dan lain
sebagainya.
Yang menarik ketika itu
tempat tempat sarana publik dijadikan sebagai tempat perjumpaan bagi dua komunitas
untuk membicarakan sesuatu atau kepentingan mereka karena tempat tempat tersebut
letaknya di wilayah perbatasan pemukiman antara Muslim dan Kristen
yang bisa
dapat diakses oleh dua komunitas tanpa merasa takut sekaligus sebagai sarana rekonsiliasi
antara kedua warga masyarakat kota Ambon. Misalnya Rumah Sakit Tentara, Kampus
13
PGSD Universitas Pattimura, Kantor Gubernur Maluku, Kantor Pemerintah Kota Ambon,
Bandara Udara Pattimura dan tempat lain.
Namun seiring dengan berjalannya waktu dan kondisi keamanan yang semakin
membaik pada tahun 2004 semuanya mulai melebur menjadi satu lagi. Sarana publik yang
tadinya hanya diakses oleh salah satu komunitas saja maka sudah bisa diakses oleh dua
komunitas secara bersamaan hingga saat ini.
Pusat pertokoan dan pembelanjaan Ambon Plasa kini ramai dikunjungi oleh dua
komunitas. Pelabuhan Laut Yos Soedarso kembali diakses oleh dua komunitas tanpa ada
perasaan
hanya
dikunjungi oleh komunitas Kristen kini kembali pada fungsinya sebagai rumah sakit
umum yang melayani dua komunitas. Jalan jalan yang tadinya tersekat sekat kini
lebur dan berjalan normal kembali seperti sedia kala sebelum terjadinya konflik tahun
1999 begitupun dengan terminal angkutan kota dan saran publik lainnya.
DOKUMENTASI BUKU
BERDIAM DI WILAYAH YANG TERBELAH
14
Mesjid Nurul
Hijrah dan Gereja
GPM,
berdampingan di
Desa Nania
Kecamatan Teluk
Ambon
15
Baguala
16
Aktivitas
dua
warga
17
18
19