Septyan P Ritonga
Jl.Flamboyan Raya GG.Mawar No.6
Email : septyankazikage@yahoo.com
Abstrak
Fakta segregasi sosial sebenarnya telah eksis dalam masyarakat Ambon.Segregasi sosial ini
dipengaruhi oleh agama yang dapat dilihat secara geografis pembagian wilayah kedua
komunitas.Penelitian bertujuan untuk mengetahui latar belakang dan mencoba mencarin solusi untuk
konflik kasus Ambon Maluku.Yang diteliti adalah Latar belakang masyarakat Ambon , kondisi
geografis Ambon , dan sistem pemerintahan yang berlaku di Ambon. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa konflik di Ambon sering dipengaruhi oleh masalah agama.
Kata kunci : segregasi sosial
Abstract
Fact social segregation has actually existed in society is influenced by social Ambon.Segregasi
religion can be seen in the geographical distribution of the second region komunitas.Penelitian aims
to know the background and try mencarin solution to the conflict cases examined Maluku.Yang
Ambon is the Ambonese community background, Ambon geographical conditions, and the system of
government prevailing in Ambon. The results showed that this conflict is often influenced by religious
issues.
Word keys : social segregation
PENDAHULUAN
Keruntuhan rezim Orde Baru diikiuti oleh melemahnya kontrol keamanan yang menjadi
fondasi utama stabilitas politik masa itu. Transisi demokrasi masih diwarnai oleh kompetisi
politik nasional yang tidak terlembagakan.Manuver politik pun memberi pengaruh dinamika
sosial ditingkat akar bawah. Berbagai tarikan dan konflik kepentingan kelompok-kelompok
sosial ini menjadi setting umum di Indonesia pada awal demokrasi sejak tahun 1998.
Ketidakhadiran sistem politik demokratis yang menjadi lembaga resolusi konflik dari pusat
sampai lokal, menyebabkan berbagai pertentangan sosial dan politik berubah menjadi
kerusuhan dan kekerasan. Termasuk yang terjadi di Ambon Maluku. Menurut Manuputty dan
Watimanela (2004: 91), lembaga mekanisme penyelesaian adat Pela Gandong sudah tergerus
oleh pola pendekatan keamanan represif Orba dalam ‘menyelesaikan konflik’. Akibatnya
Pela Gandong tidak mampu menjadi lembaga mekansekanisme penyelesaian konflik lagi
ketika transisi politik dan krisis ekonomi menciptakan gesekan-gesekan sosial.
Fakta segregasi sosial sebenarnya telah eksis dalam masyarakat Ambon.Segregasi sosial
ini dipengaruhi oleh agama yang dapat dilihat secara geografis pembagian wilayah kedua
komunitas. Sang jarang dua komunitaamas agama, seperti desa atau kelurahan, yang hidup.
Di tingkat desa atau kelurahan dengan mudah ditemukan apa yang disebut kampung Islam
dan kampung Kristen. Pada akhir dasawarsa pemerintahan Belanda, 65,9% dari penduduk
Kepulauan Ambon beragama Kristen Protestan, dan 32,7% Islam. Namun, dengan cukup
cepat perimbangan antara dua komunitas ini pada masa pemerintahan Orde Baru terbentuk
seiring dengan laju imigrasi orang-orang luar Ambon yang kebetulan beragama Islam.
Pemerintahan di Pulau Ambon secara administratif terbagi menjadi dua, yaitu wilayah
kota madya Ambon (kurang lebih 40%) dan selebihnya ikut wilayah Kabupaten Maluku
Tengah. Komposisi penduduk yang beragama Kristen dan Islam berimbang jumlahnya. Di
lingkaran kedua, di belakang kota lama adalah daerah hunian kalangan Kristen. Dengan
demikian, wilayah kota madya Ambon dikuasai oleh orang Kristen di semenanjung selatan.
Namun, diluar kota madya kalangan Islam lebih dominan terutama di pantai utara dan barat
Pulau Ambon . Komunitas Kristen berada di daerah kota dengan akses fasilitas lebih baik,
mereka menggunakan PAM, rumahnya berlistrik , bekerja di Kantoran. Sebaliknya, kampung
kampung ada di pinggiran kota, warganya mayoritas tidak berpendidikan, bekerja sebagai
petani dan nelayan atau pedagang ikan dan sayuran di pasar tradisional, rumahnya berlampu
stromking dan berair sumur galian.
Kerangka Teori
Secara garis besar, konflik di Ambon dapat dibagi dalam 4 (empat) babak, yaitu :
Penutup
Konflik adalah fenomena yang serba hadir (omni present), baik itu konflik orang-perorang
maupun konflik masyarakat. Sesungguhnya konflik itu eksis didalam kehidupan mikro dan
makro sosiologis masyarakat. Selama konflik tidak berpotensi kekerasan hal tersebut
merupakan fenomena yang lumrah, namun apabila berpotensi terjadinya kekerasan akan
berdampak negatif terhadap bangsa dan negara.
Tidak mudah untuk menentukan pilihan tindakan penyelesaian konflik sosial yang tepat bagi
suatu sistem sosial di suatu kawasan tertentu. Solusi konflik sosial pun tidak dapat “generik”,
dalam arti sebuah rumusan yang berlaku bagi suatu sistem sosial komunitas akan berlaku
juga bagi sistem sosial komunitas yang lain.
Secara umum strategi resolusi konflik sepantasnya harus dimulai dengan pengetahuan yang
mencukupi tentang peta konflik sosial yang terjadi di suatu kawasan. Dengan berbekal peta
tersebut, segala kemungkinan dan peluang resolusi konflik diperhitungkan dengan cermat,
sehingga setiap manfaat dan kerugiannya dapat dikalkulasikan dengan baik. Seringkali
dijumpai banyak kasus bahwa sebuah pilihan solusi-tindakan rasional untuk mengatasi
konflik sosial, tidaklah benar-benar mampu menghapuskan akar-persoalan konflik secara
tuntas dan menyeluruh. Pada kasus-kasus yang demikian itu, maka resolusi konflik
sepantasnya dikelola (conflict management) pada derajat dan suasana yang sedemikian rupa
sehingga ledakan berupa “clash-social” yang bisa berdampak sangat destruktif dapat
dihindarkan.
Adapun secara umum resolusi konflik Ambon dapat digunakan 2 (dua) pendekatan, yaitu:
à Pemanfaatan simbol-simbol dan norma kultural sebagai pemersatu para pihak yang
berkonflik
Susan, Novri, 2009, Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer, Prenada Media
Group, Jakarta