Pulau Bangka dan Belitung didominasi oleh daratan tinggi, lembah, dan sebagian kecil
pegunungan dan perbukitan. Selain itu daerah Bangka Belitung juga memiliki krakteristik tanah
yang memiliki PH rata- rata dibawah 5 namun kaya akan mineral. Daerah Bangka Belitung juga
memiliki sumber perairan yang cukup baik dan menyediakan sumber daya laut seperti ikan,
terumbu karang, mineral dan lain sebagainya. Selain itu perairan dapat digunakan sebagai sumber
irigasi untuk kegiatan pertanian dan perkebunan. Keadaan geografis inilah yang mendukung
kegiatan pertanian lada putih di daerah bangka pada zaman dahulu. Lada putih ini menjadi
komoditas ekspor yang sangat diincar oleh bangsa barat dan negara Jepang karena memiliki
kualitas dan nilai jual yang sangat tinggi dibandingkan lada dan jenis rempah- rempah lainnya.
Kekayaan alam berupa pertambangan timah dan pertanian lada inilah yang membuat kolonialime
Negara Belanda dan Jepang datang ke Indonesia dan menguasai Bangka Belitung. Selain itu
Kedatangan Masyarakat Tionghoa diawali dengan kegiatan pengolahan timah menjadikan awal
keberagaman masyarakat di Bangka Belitung.
Peristiwa penembakan yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998
ternyata berbuntut panjang dan menyulut emosi warga. Akibatnya, keesokan harinya Jakarta
menjadi lautan aksi massa yang terjadi di beberapa titik. Penjarahan dan pembakaran pun tak
dapat dihindarkan. Krisis moneter berkepanjangan di tahun 1998 berujung pada aksi kerusuhan
hebat pada penghujung rezim Orde Baru pimpinan almarhum Soeharto. Saat itu, Indonesia
dilanda krisisi ekonomi parah sehingga melumpuhkan seluruh persendian ekonomi dalam
negeri.
Kerusuhan yang terjadi malah menular pada konflik antar etnis pribumi dan etnis
Tionghoa. Saat itu, banyak aset milik etnis Tionghoa dijarah dan juga dibakar oleh massa yang
kalap. Massa pribumi juga melakukan tindak kekerasan dan pelecehan seksual terhadap para
wanita dari etnis Tionghoa kala itu. Konflik antar etnis itu menjadi catatan kelam di penghujung
pemerintahan rezim Soeharto.
Konflik berbau agama paling tragis meletup pada tahun 1999 silam. Konflik dan
pertikaian yang melanda masyarakat Ambon-Lease sejak Januari 1999, telah berkembang
menjadi aksi kekerasan brutal yang merenggut ribuan jiwa dan menghancurkan semua tatanan
kehidupan bermasyarakat.
Konflik tersebut kemudian meluas dan menjadi kerusuhan hebat antara umat Islam dan
Kristen yang berujung pada banyaknya orang meregang nyawa. Kedua kubu berbeda agama ini
saling serang dan bakar membakar bangunan serta sarana ibadah.
Saat itu, ABRI dianggap gagal menangani konflik dan merebak isu bahwa situasi itu
sengaja dibiarkan berlanjut untuk mengalihkan isu-isu besar lainnya. Kerusuhan yang merusak
tatanan kerukunan antar umat beragama di Ambon itu berlangsung cukup lama sehingga
menjadi isu sensitif hingga saat ini.
Tragedi Sampit adalah konflik berdarah antar suku yang paling membekas dan bikin
geger bangsa Indonesia pada tahun 2001 silam. Konflik yang melibatkan suku Dayak dengan
orang Madura ini dipicu banyak faktor, di antaranya kasus orang Dayak yang didiuga tewas
dibunuh warga Madura hingga kasus pemerkosaan gadis Dayak.
Warga Madura sebagai pendatang di sana dianggap gagal beradaptasi dengan orang
Dayak selaku tuan rumah. Akibat bentrok dua suku ini ratusan orang dikabarkan meninggal
dunia. Bahkan banyak di antaranya mengalami pemenggalan kepala oleh suku Dayak yang
kalap dengan ulah warga Madura saat itu. Pemenggalan kepala itu terpaksa dilakukan oleh suku
Dayak demi memertahankan wilayah mereka yang waktu itu mulai dikuasai warga Madura.
Kasus ini sebenarnya sudah berlangsung sejak tahun 2004. Klimaksnya adalah aksi
pembakaran rumah ketua Ikatan Jamaah Ahl al-Bait (IJABI), Tajul Muluk, beserta dua rumah
jamaah Syi'ah lainnya serta sebuah musala yang digunakan sebagai sarana peribadatan. Aksi
tersebut dilakukan oleh sekira 500 orang yang mengklaim diri sebagai pengikut ahlus sunnah
wal jama'ah.
C. Akulturasi Budaya Tionghoa dan Melayu
Indonesia telah menjadi negara yang multietnik sejak masa kolonial, dengan membagi
stratifikasi sosial dalam tiga golongan, yaitu; ras kulit putih (Belanda) dengan status kelas sosial
yang paling tinggi, ras timur asing atau kulit kuning (Arab, Cina, India) sebagai kelas sosial
kedua, dan ras pribumi sebagai kelas sosial yang paling rendah. Geertz dalam Anshory (2008,
hlm. 3) bahwa Indonesia begitu kompleks sehingga sulit memaparkan keseluruhan Indonesia
secara persis, karena Indonesia bukan hanya multietnis (Jawa, Batak, Bugis, Flores, Bali dan
sebagainya) melainkan juga dipengaruhi oleh budaya multimental yang dibawa negara lain
(India, Cina, Belanda, Portugis, Hinduisme, Budhaisme, Konfisianisme, Islam, Kristen,
Kapitalis, dsb.). Indonesia terdiri dari sejumlah ras dengan jumlah, makna, dan karakter yang
berbeda-beda yang memiliki sejarah, ideologi, agama, tersusun sebagai sebuah struktur
ekonomi dan politik bersama.
Secara turun temurun dan menjadi bagian dari warga negara Indonesia, salah satunya
adalah etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa di Indonesia merupakan hasil dari keturunan bangsa
Cina yang merantau ke Indonesia kemudian menetap dan memiliki keturunan, baik dengan
sesama orang Cina, maupun dengan melakukan pernikahan campur dengan etnis pribumi.
Suryadinata (2002, hlm. 2) menyatakan bahwa penduduk Tionghoa terdiri dari kelompok-
kelompok. Kelompok paling umum ialah kaum peranakan yang kebudayaannya sudah
mengindonesia dan kaum totok yang masih tebal ketionghoaannya. Disebut peranakan adalah :
a. Mereka yang dilahirkan dari seorang ibu dan ayah dari Cina dan lahir di Indonesia, b. Mereka
yang lahir dari perkawinan campuran yaitu laki-laki Tionghoa dan wanita pribumi dan disahkan
serta didaftarkan sebagai anak sahnya, c. Mereka yang dilahirkan dengan perkawinan campuran
antara ayah pribumi dan ibu Tionghoa dan mendapatkan pendidikan di dalam lingkungan
Tionghoa.
Cina totok adalah kaum Cina lanjut usia yang kecinaannya masih sangat kental. Secara
umum etnik Cina totok di Indonesia membuat lingkungannya sendiri untuk dapat hidup secara
”eksklusif” dengan tetap mempertahankan kebudayaan atau tradisi leluhur (Revida, 2006, hlm.
25-26). Golongan Tionghoa peranakan merupakan golongan yang kebudayaannya sudah
tercampur dengan kebudayaan lokal. Sedangkan orang totok masih sangat memegang tradisi
dan adat kehidupan Cina, ini terlibat pada agama dan kepercayaan, gaya hidup, kebudayaan dan
orientasi hidup. Seiring dengan perkembangan zaman, kaum peranakan semakin banyak, dan
kaum totok semakin berkurang. Kaum peranakan lebih terbuka dalam menerima perubahan,
baik perubahan budaya, agama, maupun bahasa.
Pada sejarahnya masyarakat Tionghoa yang telah menjadikan Pulau Bangka dan
Belitung sebagai rumah mereka berusaha bersama masyarakat Melayu untuk terbebas dari
segala bentuk kekerasan yang telah lama diderita. Alhasil, aksi perlawanan dan terkadang
berujung pada pemberontakan sering terjadi. Salah satu tokoh Melayu Depati Amir saat
menentang Belanda sempat dibantu oleh tokoh- tokoh Tionghoa setempat. Demikian pula pada
akhir abad ke- 19, terjadi pemberontakan Liu Ngie melawan kekuasaan Belanda yang dimotori
Tionghoa Bangka. Bahkan, pada masa kemerdekaanpun, seorang tokoh Tinghoa Tony Wen
menembus blokade Belanda untuk menyelundupkan opium ke Singapura dan dari sana
menyeludupkan senjata untuk membantu perjuangan Republik Indonesia.
Kesadaran itu lantas diturunkan dari generasi ke generasi, baik oleh masyarakat China,
Melayu, maupun kelompok lain. Kebetulan sekali kawasan Bangka Belitung tidak memicu
budaya kelas. Tidak ada stratifikasi sosial di kepulauan itu. Dan banyak terjadi penggabungan
kebudaayaan antara ras Tionghoa dan Melayu yang menjadi tradisi baru masyarakat Bangka
Belitung. Bangka pun menjadi museum Budaya Tionghoa khususnya suku Hakka. Ribuan
klenteng besar dan kecil, rumah antik berusia ratusan tahun, dan pola hidup tradisional
merupakan warisan budaya yang unik dan tiada duanya.
Setelah berjalannya waktu yang cukup lama, kebudayaan dengan perbaduan atau
akulturasi dua kelompok ini terus berkembang dan dapat dilihat dan dirasakan hingga saat ini.
Perpaduan budaya yang terjadi tidak hanya sebagai bentuk keserasian kehidupan bermasyarakat
di Pulau Bangka dan Belitung, namun turut menjadi alat pemersatu dan potensi pengembangan
kegiatan ekonomi dan pariwisata. Perpaduaan atau akulturasi ini juga dapat dijumpai dalam
tradisi yang melekat dalam kehidupan bermasyarakat di wilayah Bangka Belitung. Tak jarang
kedua kelompok ini saling memeriahkan tradisi masing-masing diantaranya. Dan tak jarang
juga ditemukan unsur dari kedua kelompok ini saling berdampingan, melahirkan keselarasan
dalam bermasyarakat, serta memberikan keuntungan sama lain dalam bidang ekonomi dan
pariwisata.
Kerukunan masyarakat Tionghoa dan Melayu dalam akulturasi kebudayaan dan tradisi
dapat dilihat dari banyak aspek, mulai dari seni bangunan keagamaan, kesenian, makanan, dan
lain sebagainya. Akulturasi yang tercipta biasanya saling memperhatikan batasan toleransi
beragama sesuai dengan ketentuan yang berlaku di setiap agama.
Reff :
Bangka belitung pulaunya indah mempesona
objek wisata ade dimane-mane
Hasil bumi nye melimpah ruah
Hasil laut nye tiade terkire
Marilah dateng ke negri kami sayang
Negrilah kami serumpun sebalai
Silahkan dateng ke negri kami sayang
Negrilah kami serumpun sebalai 2x
Munculnya Semboyan masyarakat Bangka Tong Ngin Fan Ngin Jit Jong, Lagu Zapin
Melayu, Masjid Jami’ Muntok dan Klenteng Fuk Min yang saling berdekatan merupakan cerminan
kehidupan masyarakat Bangka yang bukan hanya sekedar symbol. Ini dibuktikan juga dari sejarah
masyarakat Bangka yang belum pernah terjadi gesekan antar masyarakat meskipun berbeda etnis.
Mereka membaur dan menjadikan bumi Bangka adalah milik bersama.
Daftar Pustaka