Anda di halaman 1dari 12

Menggali Jejak Kerukunan Masyarakat Bangka Belitung Melalui Semboyan, Lagu Daerah

Serta Bangunan Bersejarah

Pulau Bangka dan Belitung didominasi oleh daratan tinggi, lembah, dan sebagian kecil
pegunungan dan perbukitan. Selain itu daerah Bangka Belitung juga memiliki krakteristik tanah
yang memiliki PH rata- rata dibawah 5 namun kaya akan mineral. Daerah Bangka Belitung juga
memiliki sumber perairan yang cukup baik dan menyediakan sumber daya laut seperti ikan,
terumbu karang, mineral dan lain sebagainya. Selain itu perairan dapat digunakan sebagai sumber
irigasi untuk kegiatan pertanian dan perkebunan. Keadaan geografis inilah yang mendukung
kegiatan pertanian lada putih di daerah bangka pada zaman dahulu. Lada putih ini menjadi
komoditas ekspor yang sangat diincar oleh bangsa barat dan negara Jepang karena memiliki
kualitas dan nilai jual yang sangat tinggi dibandingkan lada dan jenis rempah- rempah lainnya.
Kekayaan alam berupa pertambangan timah dan pertanian lada inilah yang membuat kolonialime
Negara Belanda dan Jepang datang ke Indonesia dan menguasai Bangka Belitung. Selain itu
Kedatangan Masyarakat Tionghoa diawali dengan kegiatan pengolahan timah menjadikan awal
keberagaman masyarakat di Bangka Belitung.

Secara demografis pada awalnya Provinsi Kepulauan Bangka Belitung didominasi


oleh masyarakat Melayu yang beragama Islam. Namun terjadilah suatu perubahan stuktur sosial
yang menyebabkan masyarakat Tionghoa datang ke Bangka Belitung dan menghiasi kehidupan
toleransi SARA di daerah Kepulauan Bangka Belitung. Dalam hal ini mereka menjadikan
perbedaan tersebut untuk saling melengkapi dalam kegiatan perekonomian dan dalam kehidupan
bermasyarakat. Interaksi antara ras Tionghoa dan ras Melayu ini dapat digambarkan melalui
gambaran sejarah sejak zaman dahulu. Faktor penyebab kedua ras ini dapat hidup bersama adalah
faktor ekonomi yang didasari geografi lingkungan dan geografi ekonomi di Provinsi Kep. Bangka
Belitung sejak zaman dahulu.

A. Keragaman Masyarakat Indonesia khususnya Bangka Belitung


Sejarah toleransi antarsuku, agama, ras, dan golongan di Kepulauan Bangka Belitung
sudah terjalin sejak berabad-abad silam. Jalinan itu bermula dari kedatangan masyarakat China
ke kepulauan itu, kemudian membaur bersama kelompok masyarakat Melayu, Jawa, Bugis, dan
kelompok lain. Penulis sejarah WP Goeneveldt, dalam buku Historical Notes on Indonesia and
Malaya: Compiled from Chinese Source, menyebutkan, pembahasan tentang Pulau Bangka
pernah ditulis dalam kitab klasik China, Hsing-cha Sheng-lan (tahun 1436). Diceritakan,
Bangka Belitung merupakan wilayah kepulauan yang memiliki tradisi unik dan pemandangan
indah dengan sungai-sungai dan tanah datar.
Sumber lain menyebutkan, komunitas China mulai menetap di Pulau Belitung tahun
1293. Saat akhir kejayaan Kerajaan Sriwijaya itu, rombongan kapal tentara China yang berlayar
hendak menyerang Kerajaan Singasari, Jawa Timur, dihantam badai besar. Rombongan itu
terdampar dan akhirnya menetap di Belitung. Pada abad ke-18 tentara China di bawah
kepemimpinan Laksamana Cheng Ho juga sempat singgah di Pulau Belitung.
Kehadiran bangsa China secara besar-besaran di Kepulauan Bangka Belitung berawal
dari penambangan timah pada awal abad ke-18. Mary F Somers Heidhues dalam Bangka Tin
and Mentok Pepper memaparkan, ribuan pekerja asal China datang secara massal sebagai kuli
kontrak di penambangan timah di Bangka dan Belitung tahun 1710. Kuli kontrak itu umumnya
berasal dari daerah utara Kwantung dan selatan Fukien, China, dan biasa disebut Hakka.
Kadang, mereka dipanggil Xinke atau orang Khek. Selain itu, ada kaum Hokkian yang datang
atas kemauan sendiri untuk berdagang. Kelompok lain yang datang adalah kelompok Hainan,
Kanton, dan kelompok Techiu. Setiap kelompok memiliki bahasa sendiri-sendiri.Sebagian kuli
kontrak pulang kembali ke kampung halaman di China, sebagian lagi menetap di sejumlah
kawasan di Pulau Belitung. Mereka yang tinggal rata-rata kaum lelaki dan akhirnya menikah
dengan kaum perempuan lokal.
Menurut pengamat budaya asal Pangkalpinang, Willy Siswanto, sejarah ini
memunculkan kesadaran bersama di antara masyarakat China dan Melayu serta kelompok lain
di Bangka Belitung. Mereka sama-sama menyadari, kehidupan di kepulauan itu berangkat dari
usaha timah. Kesadaran ini melahirkan kedekatan emosional dan ada perasaan senasib, tanpa
memedulikan suku, ras, dan golongan. Kesadaran itu lantas diturunkan dari generasi ke
generasi, baik oleh masyarakat China, Melayu, maupun kelompok lain. Kebetulan sekali,
kawasan Bangka Belitung tidak memiliki sejarah kerajaan besar yang mewariskan feodalisme-
monarki sehingga tidak memicu budaya kelas. Tak ada stratifikasi sosial di kepulauan itu.
Meski ada ikatan sejarah, hubungan Melayu-Tionghoa di Bangka Belitung sebenarnya
juga tak luput dari gesekan. Menurut Suhaimi Sulaiman, pada masa penjajahan Belanda, rasa
iri terhadap orang-orang Tionghoa yang dianakemaskan oleh Belanda juga terjadi di wilayah
kepulauan itu. Namun, dalam perkembangannya, ketika Indonesia sudah merdeka, orang-orang
Tionghoa di Bangka Belitung mulai berkolaborasi dengan orang-orang Melayu.
B. Konflik di Indonesia yang pernah melibatkan masalah SARA
Sebagai negara majemuk dengan beragam suku, ras, agama dan golongan, Indonesia
menjadi negara paling rawan terhadap konflik SARA. Perbedaan pandangan antar kelompok
masyarakat di suatu wilayah kerap menjadi pemicu pecahnya bentrok antar mereka. Namun, di
tengah konflik itu ada saja orang yang memanfaatkan situasi itu sehingga menjadi konflik
berkepanjangan. Berikut konflik SARA paling mengerikan yang pernah terjadi di Indonesia:

Sentimen Etnis Berujung Penjarahan

Peristiwa penembakan yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998
ternyata berbuntut panjang dan menyulut emosi warga. Akibatnya, keesokan harinya Jakarta
menjadi lautan aksi massa yang terjadi di beberapa titik. Penjarahan dan pembakaran pun tak
dapat dihindarkan. Krisis moneter berkepanjangan di tahun 1998 berujung pada aksi kerusuhan
hebat pada penghujung rezim Orde Baru pimpinan almarhum Soeharto. Saat itu, Indonesia
dilanda krisisi ekonomi parah sehingga melumpuhkan seluruh persendian ekonomi dalam
negeri.

Kerusuhan yang terjadi malah menular pada konflik antar etnis pribumi dan etnis
Tionghoa. Saat itu, banyak aset milik etnis Tionghoa dijarah dan juga dibakar oleh massa yang
kalap. Massa pribumi juga melakukan tindak kekerasan dan pelecehan seksual terhadap para
wanita dari etnis Tionghoa kala itu. Konflik antar etnis itu menjadi catatan kelam di penghujung
pemerintahan rezim Soeharto.

Konflik Agama di Ambon

Konflik berbau agama paling tragis meletup pada tahun 1999 silam. Konflik dan
pertikaian yang melanda masyarakat Ambon-Lease sejak Januari 1999, telah berkembang
menjadi aksi kekerasan brutal yang merenggut ribuan jiwa dan menghancurkan semua tatanan
kehidupan bermasyarakat.
Konflik tersebut kemudian meluas dan menjadi kerusuhan hebat antara umat Islam dan
Kristen yang berujung pada banyaknya orang meregang nyawa. Kedua kubu berbeda agama ini
saling serang dan bakar membakar bangunan serta sarana ibadah.

Saat itu, ABRI dianggap gagal menangani konflik dan merebak isu bahwa situasi itu
sengaja dibiarkan berlanjut untuk mengalihkan isu-isu besar lainnya. Kerusuhan yang merusak
tatanan kerukunan antar umat beragama di Ambon itu berlangsung cukup lama sehingga
menjadi isu sensitif hingga saat ini.

Tragedi Sampit, Suku Dayak vs Madura

Tragedi Sampit adalah konflik berdarah antar suku yang paling membekas dan bikin
geger bangsa Indonesia pada tahun 2001 silam. Konflik yang melibatkan suku Dayak dengan
orang Madura ini dipicu banyak faktor, di antaranya kasus orang Dayak yang didiuga tewas
dibunuh warga Madura hingga kasus pemerkosaan gadis Dayak.

Warga Madura sebagai pendatang di sana dianggap gagal beradaptasi dengan orang
Dayak selaku tuan rumah. Akibat bentrok dua suku ini ratusan orang dikabarkan meninggal
dunia. Bahkan banyak di antaranya mengalami pemenggalan kepala oleh suku Dayak yang
kalap dengan ulah warga Madura saat itu. Pemenggalan kepala itu terpaksa dilakukan oleh suku
Dayak demi memertahankan wilayah mereka yang waktu itu mulai dikuasai warga Madura.

Penyerangan Kelompok Syi'ah di Sampang

Aksi penyerangan terhadap pengikut Syi'ah terjadi di Dusun Nangkernang, Desa


Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur pada Agustus
2012 silam. Sebanyak dua orang warga Syi'ah tewas dan enam orang lainnya mengalami luka
berat serta puluhan warga mengalami luka ringan.

Kasus ini sebenarnya sudah berlangsung sejak tahun 2004. Klimaksnya adalah aksi
pembakaran rumah ketua Ikatan Jamaah Ahl al-Bait (IJABI), Tajul Muluk, beserta dua rumah
jamaah Syi'ah lainnya serta sebuah musala yang digunakan sebagai sarana peribadatan. Aksi
tersebut dilakukan oleh sekira 500 orang yang mengklaim diri sebagai pengikut ahlus sunnah
wal jama'ah.
C. Akulturasi Budaya Tionghoa dan Melayu

Indonesia telah menjadi negara yang multietnik sejak masa kolonial, dengan membagi
stratifikasi sosial dalam tiga golongan, yaitu; ras kulit putih (Belanda) dengan status kelas sosial
yang paling tinggi, ras timur asing atau kulit kuning (Arab, Cina, India) sebagai kelas sosial
kedua, dan ras pribumi sebagai kelas sosial yang paling rendah. Geertz dalam Anshory (2008,
hlm. 3) bahwa Indonesia begitu kompleks sehingga sulit memaparkan keseluruhan Indonesia
secara persis, karena Indonesia bukan hanya multietnis (Jawa, Batak, Bugis, Flores, Bali dan
sebagainya) melainkan juga dipengaruhi oleh budaya multimental yang dibawa negara lain
(India, Cina, Belanda, Portugis, Hinduisme, Budhaisme, Konfisianisme, Islam, Kristen,
Kapitalis, dsb.). Indonesia terdiri dari sejumlah ras dengan jumlah, makna, dan karakter yang
berbeda-beda yang memiliki sejarah, ideologi, agama, tersusun sebagai sebuah struktur
ekonomi dan politik bersama.

Beberapa keanekaragaman Indonesia dalam kondisi kompleksitas ini tentu memiliki


nilai-nilai yang baik yang tetap hidup dan dianut hingga saat ini. Nilai-nilai ini mengandung
pedoman hidup, norma-norma, etika, dan estetika. Hal tersebut sangat berpengaruh pada
kelangsungan hidup dan martabat bangsa apabila bangsa Indonesia mampu memanfaatkannya
dengan baik. Kekayaan keanekaragaman budaya bangsa sebagai dasar perwujudan dari
pembangunan karakter bangsa, bangsa yang bermartabat, bermoral, ramah tamah, cinta
lingkungan, adil, hidup rukun dan toleransi dengan nasionalisme tinggi yang merupakan
harapan dari seluruh warga negara. Salah satu kompleksnya Indonesia secara horizontal adanya
keberagaman etnis. Etnis-etnis di Indonesia tersebar dari wilayah Sabang hingga Merauke.
Terdapat etnis yang memang berasal dari indonesia sebagai etnis pribumi, maupun etnis yang
berasal dari keturunan etnis bangsa lain yang telah menetap di Indonesia.

Secara turun temurun dan menjadi bagian dari warga negara Indonesia, salah satunya
adalah etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa di Indonesia merupakan hasil dari keturunan bangsa
Cina yang merantau ke Indonesia kemudian menetap dan memiliki keturunan, baik dengan
sesama orang Cina, maupun dengan melakukan pernikahan campur dengan etnis pribumi.
Suryadinata (2002, hlm. 2) menyatakan bahwa penduduk Tionghoa terdiri dari kelompok-
kelompok. Kelompok paling umum ialah kaum peranakan yang kebudayaannya sudah
mengindonesia dan kaum totok yang masih tebal ketionghoaannya. Disebut peranakan adalah :
a. Mereka yang dilahirkan dari seorang ibu dan ayah dari Cina dan lahir di Indonesia, b. Mereka
yang lahir dari perkawinan campuran yaitu laki-laki Tionghoa dan wanita pribumi dan disahkan
serta didaftarkan sebagai anak sahnya, c. Mereka yang dilahirkan dengan perkawinan campuran
antara ayah pribumi dan ibu Tionghoa dan mendapatkan pendidikan di dalam lingkungan
Tionghoa.

Cina totok adalah kaum Cina lanjut usia yang kecinaannya masih sangat kental. Secara
umum etnik Cina totok di Indonesia membuat lingkungannya sendiri untuk dapat hidup secara
”eksklusif” dengan tetap mempertahankan kebudayaan atau tradisi leluhur (Revida, 2006, hlm.
25-26). Golongan Tionghoa peranakan merupakan golongan yang kebudayaannya sudah
tercampur dengan kebudayaan lokal. Sedangkan orang totok masih sangat memegang tradisi
dan adat kehidupan Cina, ini terlibat pada agama dan kepercayaan, gaya hidup, kebudayaan dan
orientasi hidup. Seiring dengan perkembangan zaman, kaum peranakan semakin banyak, dan
kaum totok semakin berkurang. Kaum peranakan lebih terbuka dalam menerima perubahan,
baik perubahan budaya, agama, maupun bahasa.

Pada sejarahnya masyarakat Tionghoa yang telah menjadikan Pulau Bangka dan
Belitung sebagai rumah mereka berusaha bersama masyarakat Melayu untuk terbebas dari
segala bentuk kekerasan yang telah lama diderita. Alhasil, aksi perlawanan dan terkadang
berujung pada pemberontakan sering terjadi. Salah satu tokoh Melayu Depati Amir saat
menentang Belanda sempat dibantu oleh tokoh- tokoh Tionghoa setempat. Demikian pula pada
akhir abad ke- 19, terjadi pemberontakan Liu Ngie melawan kekuasaan Belanda yang dimotori
Tionghoa Bangka. Bahkan, pada masa kemerdekaanpun, seorang tokoh Tinghoa Tony Wen
menembus blokade Belanda untuk menyelundupkan opium ke Singapura dan dari sana
menyeludupkan senjata untuk membantu perjuangan Republik Indonesia.

Kesadaran itu lantas diturunkan dari generasi ke generasi, baik oleh masyarakat China,
Melayu, maupun kelompok lain. Kebetulan sekali kawasan Bangka Belitung tidak memicu
budaya kelas. Tidak ada stratifikasi sosial di kepulauan itu. Dan banyak terjadi penggabungan
kebudaayaan antara ras Tionghoa dan Melayu yang menjadi tradisi baru masyarakat Bangka
Belitung. Bangka pun menjadi museum Budaya Tionghoa khususnya suku Hakka. Ribuan
klenteng besar dan kecil, rumah antik berusia ratusan tahun, dan pola hidup tradisional
merupakan warisan budaya yang unik dan tiada duanya.
Setelah berjalannya waktu yang cukup lama, kebudayaan dengan perbaduan atau
akulturasi dua kelompok ini terus berkembang dan dapat dilihat dan dirasakan hingga saat ini.
Perpaduan budaya yang terjadi tidak hanya sebagai bentuk keserasian kehidupan bermasyarakat
di Pulau Bangka dan Belitung, namun turut menjadi alat pemersatu dan potensi pengembangan
kegiatan ekonomi dan pariwisata. Perpaduaan atau akulturasi ini juga dapat dijumpai dalam
tradisi yang melekat dalam kehidupan bermasyarakat di wilayah Bangka Belitung. Tak jarang
kedua kelompok ini saling memeriahkan tradisi masing-masing diantaranya. Dan tak jarang
juga ditemukan unsur dari kedua kelompok ini saling berdampingan, melahirkan keselarasan
dalam bermasyarakat, serta memberikan keuntungan sama lain dalam bidang ekonomi dan
pariwisata.

Kerukunan masyarakat Tionghoa dan Melayu dalam akulturasi kebudayaan dan tradisi
dapat dilihat dari banyak aspek, mulai dari seni bangunan keagamaan, kesenian, makanan, dan
lain sebagainya. Akulturasi yang tercipta biasanya saling memperhatikan batasan toleransi
beragama sesuai dengan ketentuan yang berlaku di setiap agama.

D. Wujud Cerminan Kerukunan Masyarakat Bangka Belitung


 Semboyan Tong Ngin Fan Ngin Jit Jong
Para pakar linguistik sudah banyak mengutarakan gagasan yang menyatakan bahwa
kandungan budaya tercermin dalam bahasa. Salah satunya adalah Edward Sapir (dalam
Blount, 1974) mengatakan bahwa kandungan setiap budaya terungkap dalam bahasanya.
Bahkan ada istilah yang menyatakan dengan bahasa kita bisa mengetahui budaya orang lain.
Artinya, bahwa bahasa merupakan suatu produk budaya suatu bangsa. Ditinjau dari segi
kebudayaan, bahasa adalah wujud dari kebudayaan, sebagai tempat dan refleksi kebudayaan
masyarakat pemiliknya yang memperlihatkan seberapa tinggi tingkat kebudayaan suatu
bangsa. Dalam hal ini, dimana kebudayaan itu hanya dimiliki manunsia dan tumbuh bersama
berkembangnya masyarakat manunsia itu sendiri.
Bahasa merupakan manistasi terpenting dari kehidupan mental penuturnya dan
sebagai dasar pengklasifikikasikan secara berbeda walaupun seringkali tidak selalu disadari
oleh para penutur. Karena bahasa dapat merefleksikan pola piker yang terkait dengan system
pengetahuan manusia. Bahasa dan budaya sebagai produk yang hakiki dari manusia
memiliki korelasi yang erat. Selain itu, tidak terabaikan pula keterkaitannya dengan
perkembangan waktu, perbedaan tempat, komunitas, system kekerabatan, pengaruh
kebiasaan etnik, kepercayaan, etika berbahasa, dan ata istiadat (Sibarani, 2004)
Bahasa merupakan jalan yang paling mudah untuk sampai pada system
pengetahuan suatu masyarakat yang isinya antara lain klasifikasi-klasifikasi, aturan-aturan,
prinsip-prinsip, dan sebagainya. Dalam bahasa inilah tersimpan nama-nama berbagai benda
yang ada dalam lingkungan manusia, sebab melalui proses ini manusia lantas dapat
“menciptakan” keteraturan dalam persepsinya atas lingkungan. Dari nama-nama ini dapat
diketahui patokan apa yang dipakai oleh suatu masyarakat untuk membuat klasifikasi, yang
berarti juga kita dapat mengetahui “ pandangan hidup” pendukung kebudayaan tersebut.
Nama-nama berbagai benda merupakan kosakata dalam ranah tertentu merupakan indeks
dari klasifikasi dari apa yang dianggap pnting (significant) dalam lingkungan manusia (Tyler
dalam Ahimsa-Putra, 1985:107). Selanjutnya klasifikasi ini tidak hanya menyangkut objek-
objek atau benda, namun juga kategorisasi mengenai cara-cara, tempat-tempat, kegiatan-
kegiatan, pelaku-pelaku, tujuan, dan sebagainya. Dengan kata lain, dalam kehidupan sehari-
hari tema-tema budaya ini muncul berulangkali dalam kehidupan pendukungnya terwujud
dalam bentuk berbagai ungkapan, pedoman-pedoman, peribahasa-peribahasa, dan
sebagainya. Melalui bahasa berbagai pengetahuan baik yang tersembunyi (tacit) maupun
yang tidak (explicit) terungkap oleh peneliti (Ahimsa-Putra,1985).
Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Jadi, hubungan antara bahasa dengan
kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, di mana bahasa berada di bawah
lingkup kebudayaan . Lebih lanjut, Sapir dan Whorf mengatakan bahwa bahasa bukan hanya
menentukan corak budaya, tetapi juga menentukan cara dan pikiran manusia. Oleh karena
itu, mempengaruhi juga tindak lakunya. Dengan kata lain, suatu bangsa yang berbeda
bahasanya dari bahasa yang lain, akan mempunyai corak budaya dan jalan pikiran yang
berbeda pula. Dalam teori dan praktek ilmu liguistik, bahasa sebagai objek penelitian
dianggap sebagai suatu sistem otonom yang berdiri sendiri dengan ciri atau aturannya yang
tersendiri. Perlakuan bahasa seperti ini menghasilkan suatu gambaran bahwa bahasa itu
memang terwujud sebagai sesuatu dengan kehidupan sendiri yang tunduk kepada hukum-
hukum sendiri.
Masyarakat etnis Tionghoa dan Melayu memiliki semboyan yakni fan ngin, to ngin
jit jong, yang berarti ’pribumi Melayu, dan Tionghoa turunan semuanya sama dan setara’.
Karena itu, hubungan kekeluargaan antar warga Melayu dan Tionghoa di Bangka tidak
secara kebetulan, tetapi karena merasa sebagai satu keluarga besar yang diawali oleh
hubungan para leluhur hingga saat ini. Sikap menerima status etnis Tionghoa dan Melayu
yang sederajat menciptakan harmonisasi dalam kehidupan bermasyarakat sehingga
diskriminasi bahkan konflik yang melibatkan SARA tidak pernah terjadi di Kabupaten
Bangka. Semboyan fan ngin, to ngin jit jong menjadi strategi masyarakat etnis Tionghoa
dan Melayu dalam berinteraksi. Adanya kesetaraan status antara etnis Tionghoa minoritas
dan etnis Melayu mayoritas menyebabkan interaksi sosial di berbagai bidang berjalan
dengan baik dan sebagai mana mestinya. Kesatuan yang selama ini telah terjalin dapat terus
dipertahankan hingga saat ini.
 Lagu Zapin Melayu
Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari selalu berinteraksi dengan
lingkungannya dengan lingkungannya dengan menggunakan system adat yang berlangsung
secara kontinyu dan terikat oleh rasa identitas bersama dalam kesatuan sosialnya
(Koentjaraningrat, 1990). Mereka menghadapi tantangan dan rangsangan dari lingkungan,
termasuk tantangan dari sumber-sumber daya alam. Dalam menjawab tantangan dan
rangsangan ini, mereka secara individual ataupun kolektif mengembangkan budaya dan
memanfaatkannya sebagai pedoman beradaptasi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Salah satu wujud pengembangan budaya tersebut adalah penciptaan lagu-lagu daerah.
Sebagai ekspresi budaya, lagu daerah memiliki fungsi sebagai lambing identitas
budaya masyarakat. Lagu daerah dipandang identik dengan sifat dan perilaku masyarakat.
Bentuk, corak, dan ungkapan dalam teks lagu dianggap sebagai cerminan budaya masyarakat
pemiliknya. Kenyataan tersebut sejalan dengan pernyataan Liliweri dalam Imam Suyitno
(2008) yang menjelaskan bahwa identitas selalu dikenakan atau dihubungkan dengan perihal
tertentu.
Sebagai identitas budaya, perkembangan produk lagu selalu sejalan dengan
perkembangan budaya masyarakat penuturnya. Kodiran dalam Imam Suyitno (2008)
menjelaskan bahwa corak dan ungkapan seni, termasuk lagu, mencerminkan corak budaya
warga yang bersangkutan. Penggunaan bahasa dalam teks lagu terkait erat dengan dengan
struktur konteks yang membangun teks. Struktur konteks yang menentukan tuturan yang
meliputi latar, partisipan, tujuan, kunci, topik, saluran, ragam, dan norma. Suatu ragam dapat
terjadi karena tujuan tertentu dalam tempat tertentu dengan partisipasi tertentu. Dengan
demikian, penggunaan bahasa dalam teks lagu berkaitan erat dengan latar penciptaan teks,
ciri masyarakat yang menjadi partisipan, tujuan penuturan, pesan-pesan yang dituturkan, dan
norma-norma budaya yang dianut. Perbedaan konteks tutur tersebut berimplikasi pada
perbedaan bahasa dalam teks lagu.
Bangka Belitung sebagai daerah dengan kemajemukan yang tinggi berdasarkan
dari sejarahnya memiliki beberapa lagu daerah. Lagu daerah Bangka Belitung
menggambarkan karakteristik masyarakat , aktivitas masyarakat dan sifat serta perilaku
masyarakat. Lagu zapin melayu serumpun sebalai adalah lagu daerah kebanggan Bangka
Belitung. Berikut ini adalah lirik lagu zapin melayu serumpun sebalai:
Lirik Lagu Zapin Melayu - Lagu Bangka

Budaya Bangka budaya Melayu Islam kek Cina


Bersatu padu dalam ikatan rumpun melayu
Kami nak nyube merangkai kate dalam nyanyian
Nyanyian zapin zapin melayu dipersembahkan

Reff :
Bangka belitung pulaunya indah mempesona
objek wisata ade dimane-mane
Hasil bumi nye melimpah ruah
Hasil laut nye tiade terkire
Marilah dateng ke negri kami sayang
Negrilah kami serumpun sebalai
Silahkan dateng ke negri kami sayang
Negrilah kami serumpun sebalai 2x

Bangka Belitung terkenal dengan sebutan negeri serumpun sebalai. Semboyan


serumpun sebalai hadir dalam lagu zapin melayu serumpun sebalai yang tertera dalam
lambang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dalam lagu zapin melayu serumpun sebalai
memiliki makna kekayaan alam dan pluralisme masyarakat Lagu zapin melayu Bangka
Belitung digambarkan sebagai tempat hasil bumi yang melimpah, objek wisata yang indah,
dengan ragam budaya seperti budaya melayu, budaya islam, serta budaya cina dan tiong hoa.
Berdasarkan teks lagu dan karakteristik masyarakat Bangka Belitung dapat disimpulkan
bahwa kehidupan masyarakat Bangka Belitung menggambarkan sikap toleransi yang tinggi
dengan adanya sikap saling menghargai atara agama, budaya dan suku yang beragam yang
terdapat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
 Pembangunan Masjid Jami’ Muntok dan Klenteng Fuk Min
Hadir dengan keberagaman yang tinggi membuat Muntok tumbuh menjadi kota
yang unik dan menarik. Kehadiran beberapa ras seperti Tionghoa, Melayu, dan juga Arab
yang rukun hidup bersama dalam kawasan ini turut mewarnai kehidupan di ibu kota
Kabupaten Bangka Barat, Bangka Belitung ini. Terdapat dua bangunan yang berdiri
berdampingan sebagai cermin toleransi yang terbangun di Kota Muntok. Kelenteng Kong
Fuk Miau dan Masjid Jami’ memang menjadi dua bangunan ikonik dari Kampung Tanjung,
Kecamatan Muntok yang dibangun pada era abad ke-18.
Kerukunan yang terjalin antara etnis Melayu dan Tionghoa ini nyatanya tidak hanya
seumur jagung. Sejak zaman nenek moyang, kerukunan serta toleransi sudah mulai
ditanamkan di kehidupan mereka. Terdapat sebuah kisah menarik di balik pembangunan
Masjid Jami’. Kisah tersebut ternyata juga menjadi pertanda bahwa kerukunan yang terjalin
antar dua umat beragama ini memang terjalin sejak dulu kala. “Masjid dibangun secara
gotong royong antara Muslim dengan non-Muslim. Dan mesjid tersebut menjadi masjid
pertama di Muntok,” jelas Najib, pengurus Masjid Jami’ Muntok.
Selang waktu pembangunan antara kelenteng dan juga masjid memang terbilang
cukup lama, yakni sekitar 80 tahun. Beberapa bahan bangunan untuk masjid pun
disumbangkan dari kelenteng, salah satunya tiang penyangga Masjid Jami’. Rasa
menjunjung tinggi tenggang rasa dan kerukunan antar masyarakat juga diterapkan pada nilai-
nilai kehidupan sehari-hari.
Klenteng Kong Fuk Miau yang berada di Kota Muntok dan ditetapkan sebagai salah
satu cagar budaya. Tak jarang masyarakat Tionghoa menggeser waktu ibadah di kelenteng
jika ternyata bersamaan dengan waktu ibadah di masjid. Keserasian dan toleransi SARA di
Mentok ini merupakan sebuah kebiasaan serta cara pandang masyarakat yang menilai
perbedaan bukan menjadi sebuah penghalang untuk bersatu merupakan salah satu resep
mengapa kerukunan tetap terjadi di Muntok selama beratus-ratus tahun ini.

Munculnya Semboyan masyarakat Bangka Tong Ngin Fan Ngin Jit Jong, Lagu Zapin
Melayu, Masjid Jami’ Muntok dan Klenteng Fuk Min yang saling berdekatan merupakan cerminan
kehidupan masyarakat Bangka yang bukan hanya sekedar symbol. Ini dibuktikan juga dari sejarah
masyarakat Bangka yang belum pernah terjadi gesekan antar masyarakat meskipun berbeda etnis.
Mereka membaur dan menjadikan bumi Bangka adalah milik bersama.

Daftar Pustaka

Anshory, C. H. N .(2008). Neo Patriotisme. Yogyakarta: Lki Spelangi Aksara


Blount. (1974). Cultural Linguistik. US: Cambridge
Holmes, Janet. 2001. An Introduction to Sociolinguistic. London:Longman.
Iman Suyitno. 2008. Kosakata Lagu Daerah Banyuwangi: Kajian Etnolinguistik Etnik Using.
Humaniora. Volume 20
Koentjaraningrat. 2003. Pengantar Antropologi. Jakarta: Rhineka Cipta
Melia Seti Satya, Bunyamin Maftuh, 2016. Strategi Masyarakat Etnis Tionghoa Dan Melayu
Bangka Dalam Membangun Interaksi Sosial Untuk Memperkuat Kesatuan Bangsa
JPIS, Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Vol. 25, No. 1
Revida, Erika. (2006). Interaksi Sosial Masyarakat Etnik Cina Dengan Pribumi Di Kota Medan
Sumatera Utara. . Harmoni Sosial. Volume I (1), 25-26.
Suryadinata, L.(2002). Negara Dan Etnis Tionghoa Kasus Indonesia. Jakarta: LP3ES
https://chunghwahweekoan.wordpress.com/sejarah/353-2/sejarah-suku-tionghoa-di-bangka-
belitung/
https://finasafira07.blogspot.com/2016/05/kebudayaan-di-bangka-belitung.html
https://news.okezone.com/read/2016/02/25/340/1320731/lima-konflik-sara-paling-mengerikan-
ini-pernah-terjadi-di-indonesia?

Anda mungkin juga menyukai