Anda di halaman 1dari 4

TRAGEDI AMBON 1999 - MALUKU

Indonesia tentunya memiliki keberagaman suku, etnik, adat, agama, dan bahasa,
dimana ada lebih dari 300 suku bangsa dan lebih dari 200 bahasa daerah. Agama di Indonesia
juga beragam, dimana agama Islam, Kristen, Katolik, Budha, dan Konghucu hidup bersama
dalam satu negara yang luas ini. Maka dari itu, Indonesia memiliki julukan negara pluralisme
dengan berbagai budaya, agama, dan bahasa yang disatukan dengan semboyan “Bhineka
Tunggal Ika”. Ketahui pula beberapa perang yang terjadi di indonesia seperti Sejarah Perang
Banten, Sejarah Perang Banjar, dan Sejarah Perang Padri.

Meskipun begitu, hal in tidak menghapuskan kemungkinan terjadi konflik antar


kelompok. Karena latar belakang dan cara pandang yang berbeda, kesalahpahaman sering
muncul dan menjadi akar dari sebuah konflik yang ada. Salah satu konflik yang muncul di
Indonesia akibat kesalahpahaman ini adalah konflik Ambon yang dikenal sebagai konflik
berdarah dengan menewaskan hampir 5000 nyawa dan berlangsung dari tahun 1999.

Awal dari perang Ambon ini bermula dengan permasalahan yang cukup sederhana,
dimana salah satu pemuda Muslim dari keturunan Bugis ingin meminta uang kepada pemuda
Kristen dari Mardika. Pemuda keturunan Bugis tersebut sudah dikenal sebagai preman di
kawasan tersebut dan pemuda Mardika bekerja sebagai supir angkot. Ketika sudah berkali-kali
dimintai uang dan pemuda Mardika tidak mau memberi, keduanya pun bersulut amarah hingga
berakhir dengan pertikaian adu pukul. Hal ini berujung hingga pemuda mardika membawa
parang untuk membunuh.
Preman tersebut yang berhasil kabur kemudian berkata kepada warganya bahwa ia
akan dibunuh oleh orang Kristen. Tanpa berpikir panjang, lantas warga marah atas kejadian
tersebut dan mulai menyerang desa Mardika dengan parang, tombak, dan senjata tajam
lainnya. Tidak hanya itu, ratusan rumah di desa Mardika pun dibakar beserta Gereja Silale. Atas
terbakarnya Gereja Silale, warga dari kampung-kampung sekitar Mardika marah dan ikut
menyerang kembali warga Muslim. Akibat konflik SARA ini, banyak warga terluka, ratusan
rumah hancur, fasilitas umum, hingga gereja setempat. Konflik ini juga merambat ke beberapa
daerah hingga pada akhirnya, kota Ambon menjadi porak poranda. Hal ini menyebabkan
perpecahan antara daerah kawasan Muslim dengan kawasan Kristen.

Pada Juli 1999, suasana di Ambon sudah mulai tenang dan membaik. Tetapi hal ini tidak
bertahan lama karena adanya ketegangan pemilu di daerah Poka dan meluas ke bagian Ambon
lainnya. Masyarakat juga semakin waspada akan situasi dan akhirnya menyiapkan senjata untuk
melindungi diri seperti parang. Di Ambon, hanya tersisa satu desa yang masyarakatnya masih
tetap berbaur, yaitu desa Wayame.

Konflik kemudian bermula lagi di Pulau Seram dan Pulau Buru, dimana pada saat itu
warga telah sigap dan siaga. Setelah kunjungan Presiden dan Wakil Presiden ke Ambon,
kerusuhan memuncak dan memanas di beberapa wilayah di Ambon. Konflik ini berakhir dengan
hilangnya banyak nyawa dan ratusan yang terluka. Hingga Januari 2000, kerugian atas
kerusuhan ini bahkan tidak terhitung lagi.

Ketika kondisi di kota Ambon mereda dan telah dilakukan rekonsiliasi di berbagai
tempat, tetapi konflik bukannya mereda, malah muncul gerakan-gerakan Jihad yang berpusat di
Yogyakarta, Jakarta, dan Bogor. Hal ini meresahkan masyarakat Ambon, terutama kaum non-
Muslim. Isu-isu tentang ancaman Jihad mulai bermunculan dan penolakan kedatangan Jihad
juga muncul dari masyarakat Muslim di Ambon. Penolakan tersebut memanaskan kembali
keadaan Ambon yang sempat mereda. Konflik pun terpicu kembali setelah wakil presiden
berkunjung ke Ambon dalam acara SBJ. Acara ini juga dihadiri oleh kelompok Milisia Batumerah
yang beragama Islam dan juga kelompok Kudamati yang beragama Kristen. Hal ini
menyebabkan kerusuhan mulai merebak dan berkepanjangan.

Pada saat krisis di Ambon, pemerintah akhirnya melepaskan tangan karena sudah tidak
sanggup lagi menangani konflik yang terus berkelanjutan. Kejadian ini membuat bangkitnya
Front kedaulatan Maluku yang merupakan pewaris dari Republik Maluku Selatan (RMS).
Pemerintah menganggap bahwa adanya kelompok tersebut justru memperkeruh suasana di
Ambon. RMS dibentuk pada tahun 1950 dan kelompok tersebut berusaha mengadvokasi kaum
separatis dati negara yang didominasi Muslim. Dimana kemudian, RMS dianggap sebagai
gerakan Kristen yang memperburuk konflik dinamika agama.

Konflik yang terjadi karena kesalahpahaman ini kemudian dimanfaatkan oleh oknum-
oknum tidak bertanggung jawab demi kepentingan kelompok tertentu. Ada faktor lain yang
menjadi penyebab konflik ini seperti ekonomi, sosial, dan politik. Dilansir bahwa dulunya,
Ambon merupakan daerah dengan Kristen sebagai agama mayoritas. Isu SARA yang menjadi
akar permasalahan konflik ini terjadi berulang kali yang berujung pada Ambon yang porak
poranda dan berdampak pada kemiskinan dan kesengsaraan bagi warga Ambon.

Isu SARA ini berperan bagai pemicu untuk mengadu dombakan dua kelompok besar dan
menciptakan kerusuhan yang berlangsung lama. Jika ditinjau kembali, awal dari permasalahan
ini hanyal kesalahpahaman antara preman dan supir angkot dan berkahir pada perpecahan
antara kedua kubu yang merebut banyak korban jiwa.

Pada saat perdamaian terjadi yang ditandai dengan penyerahan sejumlah senjata api
dan bom rakitan antar dua desa pada tahun 2016. Penyerahan senjata tersebut menjadi
peristiwa bersejarah kedua desa dan menjadi akhir dari pertikaian di Ambon. Keadaan setelah
konflik berakhir adalah sebagai berikut:

1. Masih Ada Provokator


Provokasi masih ada terjadi di sekitar Ambon yang sulit ditelusuri siapa
pemicunya. Tetapi warga Ambon telah belajar dari pengalaman dan tidak ingin
adanya pertumpahan darah lagi, maka masyarakat tidak mudah terpancing lagi.

2. Wilayah Pemukiman Terbagi Dua


Salah satu hambatan yang ada adalah desa yang terpisah-pisah berdasarkan
agama. Meskipun warga masih saling berinteraksi, trauma atas kerusuhan masih
menghantui mereka sehingga mereka hidup terpisah.

3. Menjalin Persaudaraan yang Terputus


Masyarakat Ambon mulai melihat kembali budaya leluhunya “Pela Gandong”
yang sempat ditelantarkan pada konflik. Pela Gandong merupakan ikatan
persaudaraan antar kampung yang biasanya terjadi antar kampung yang berbeda
agama.
4. Tidak Mudah Terpancing
Karena masih adanya letupan api-api konflik yang mungkin terjadi, seperti
persaingan politik lokal, para tokoh agama setempat tak henti-hentinya
berkampanye supaya warga tidak terpancing untuk berkonflik lagi hanya karena
Pilkada.

Hingga sekarang, semenjak selesainya perang Ambon, daerahnya secara perlahan mulai
dipulihkan dengan kesadaran penuh dari rakyat Ambon. Sejarah perang Ambon ini bisa
dijadikan sebagai pelajaran bagi daerah Indonesia lainnya untuk tidak mudah terpancing yang
dapat berujung pada perang panjang.

Anda mungkin juga menyukai