Anda di halaman 1dari 2

Nama : Dliya’ Hanifah

NIM : 170104030098
Mata Kuliah : Manajemen Konflik
Dosen Pengampu : Husnul Khotimah, S. Th. I, M. Ag

REVIEW FILM “BETA MAU JUMPA”

Film “Beta Mau Jumpa” merupakan sebuah film dokumenter kedua dari seri “Indonesian
Pluralities”. Dokumenter berdurasi 35 menit ini mengisahkan tentang terjadinya konflik Ambon
tahun 1999-2002 serta upaya para perempuan dan anak muda menggalang perdamaian dan
menjembatani kesenjangan hubungan antara Kristen dan Muslim yang telah lama mengalami
segregasi pascakonflik.
Salah satu narasumber utama yang disorot ialah Othe Patty. Dia sekarang tinggal di daerah
relokasi Kayu Tiga, Kota Ambon. Dia menetap sejak 2006 silam karena tidak punya pilihan untuk
kembali. Sebelumnya, Othe dan penduduk lain yang mengungsi tinggal di wisma atlit Karang
Panjang. Mereka merupakan korban konflik kemanusiaan Kota Ambon yang bermula pada tanggal
19 Januari 1999. Konflik bermula di terminal Batu Merah, perkaranya ialah cekcok soal uang
pungutan antara pemuda yang tinggal di Batu Merah dengan seorang sopir angkutan umum asal
Mardika. Dibubui sentimen agama, konflik ini kemudian melebar menjadi konflik antar agama.
Sehingga baik warga muslim maupun kristen terpaksa mengungsi, pergi meninggalkan desa
mereka.
Banyak di antara masyarakat kristen dan muslim yang sebenarnya berhubungan baik. Pada
saat terjadi konflik, upaya penanggulangan kerusuhan dengan menurunkan aparat berupa
kepolisian serta tentara sudah dilakukan. Othe sendiri, setelah beberapa tahun dia memberanikan
diri untuk mengumpulkan warga lainnya dan mengusulkan ide agar mengunjungi kampung mereka
dulu, Batu Merah Dalam. Setelah sampai di sana, Othe dan warga kristen disambut hangat oleh
oleh tetangga-tetangga mereka yang muslim. Maimuna Palupessy, salah seorang narasumber
muslim yang merupakan kenalan dekat Othe, bahkan mengatakan bahwa mereka melakukan
kunjungan balasan ketika ada kenalan yang meninggal kala itu.
Menurut Hasbollah Toisuta, salah satu narasumber yang merupakan rektor IAIN Ambon,
wilayah-wilayah perkantoran dan sekolah telah diupayakan agar tidak ada segregasi lagi sehingga
orang bisa berbaur bersama-sama. Ada berbagai upaya yang dilakukan pemuda-pemudi di Ambon
untuk menyebarkan perlunya kesadaran akan segregasi agama dan pentingnya perdamaian serta
persatuan untuk menciptakan masyarakat kondusif. Ada yang memilih dengan mendongeng pada
anak-anak, ada pula yang memilih dengan menyebarkan paham toleransi dan perdamaian lewat
musik. Kelompok musik hadrah muslim melakukan penampilan dan kolaborasi pada acara
perayaan natal umat kristen. Adapun kelompok perempuan Ambon memiliki peranan penting
dalam penyelesaian konflik. Mereka bergerak sebagai jembatan ketika institusi-institusi formal
belum menemukan penyelesaian. Kelompok ini bernama GPP atau Gerakan Perempuan Peduli.
Hingga kini budaya untuk saling mengunjungi satu sama lain ketika ada lebaran, natal, atau
perayaan agama lainnya terus dilakukan. Bagi mereka penting untuk saling mengenal dan
memahami. Menurut Othe, pasca konflik Ambon, pemerintah seharusnya tidak terfokus pada
pembangunan fisik, tetapi pada pembangunan moral dahulu, karena penting untuk ke depannya
agar konflik semacam ini tidak terjadi lagi.

Anda mungkin juga menyukai