NIM : 752022002
A. Pengantar
Popilo adalah sebuah desa yang terletak di kecamatan Tobelo Utara, kabupaten
Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara. Desa popilo kemudian mekar menjadi dua desa pada
tahun 2006, yakni desa Popilo dan desa Popilo Utara atau yang biasa dikenal dengan desa Mede.
Masing-masing dari dua desa ini mempunyai komunitas agama yang berbeda, yakni desa Mede
dengan mayoritasnya penganut agama Kristen, sementara desa Popilo dengan mayoritasnya
penganut agama Muslim. Desa Mede juga dikenal sebagai desa dengan penghasil material pasir
terbaik se-Maluku Utara, karena di desa Mede terdapat galian C yang sangat membantu ekonomi
penduduk desa tersebut. Tak heran jika sebagian besar masyarakat yang berdomisili di desa
Mede berprofesi sebagai buruh pasir dan juga ada yang berprofesi sebagai penambang pasir.
Galian C yang terdapat di desa tersebut rupanya sangat bernilai ekonomis dan cukup
menjanjikan bagi siapapun yang mengelolahnya. Tak pelak potensi yang dimiliki oleh desa
Mede ini pun menjadi awal mula akan kericuhan yang terjadi antara Desa Mede dan desa Popilo
Utara, hal ini pun dialami oleh penulis sendiri ketika kejadian memilukan itu terjadi. pada tahun
2014 tepatnya dibulan November, imbas dari “perebutan” potensi galian C ini terjadi, dimana
ketegangan kedua desa semakin meledak ketika sebuah gereja di Desa Mede dihujani batu oleh
oknum-oknum tak bertanggung jawab dari desa tetangga sembari mengumandangkan takbir,
1
Allahuakbar serta simbol-simbol agama Muslim lainnya. Keadaan semakin rumit pada saat
semua warga dari kedua desa ini lari berhamburan ke jalan raya sambil menghunuskan sebilah
parang lalu menggesekan parang tersebut ke jalan raya hingga menimbulkan percikan api akibat
dari gesekan parang dengan jalan raya ke masing-masing desa. Ibu-ibu yang sudah lanjut usia
serta anak-anak dari desa Mede diungsikan ke desa Ruko, desa tetangga dari desa Mede yang
juga mayoritasnya beragama Kristen, sementara kaum lelaki yang di klasifikasikan sebagai
kategori pemuda ke-atas disiapkan untuk berperang melawan desa Popilo. Ketika Gereja sedang
dihujani batu sambil ada suara suara teriakan “Allahuakbar”, ada suara balasan dari seorang
masyarakat desa Mede dengan berteriak ‘Hojobo ka” kalau kita artikan dalama Bahasa Indonesia
adalah ajakan untuk berperang. Kejadian ini pun mengundang puluhan pihak aparat kepolisian
serta TNI datang mengamankan kedua belah pihak yang bertikai dibantu dengan suara tembakan
peluru hampa ke udara. Kejadian ini menjadi sangat populer di Kawasan Maluku Utara
khususnya Halmahera Utara pada waktu itu, bahkan sampai ke telinga Gubernur Maluku Utara
saat itu yakni K.H Abdul Ghani Kasuba, Lc. Dia memerintahkan agar aparat baik Polri maupun
TNI untuk membuat pos penjagaan di perbatasan kedua desa tersebut untuk beberapa lama
kedepannya. Setelah konflik tersebut terjadi, pihak pemerintah desa dari desa masing-masing
mencoba mencari jalan tengah dengan cara membagi jadwal kerja buruh dari kedua desa untuk
bekerja di tambang pasir itu, akan tetapi tidak bisa penulis pungkiri, masih ada dendam-dendam
tertentu yang terbawa dari masa lalu sehingga konflik antara dua desa ini seperti “bom waktu”
yang dapat meledak kapan saja. Konflik yang terjadi diatas hanyalah salah satu konflik dari
sekian banyak konflik yang terjadi diantara kedua desa tersebut. Uniknya, masalah apapun yang
2
Pada tahun 2017, ada sebuah kegiatan “mahasiswa lintas iman” yang terdiri dari
beberapa mahasiswa yang berasal dari berbagai universitas di Indonesia. Seperti Universitas
Kristen Satya Wacana yang diwakili oleh empat mahasiswanya beserta satu dosen yakni Izaak
Y.M Lattu, Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Jogjakarta yang diwakili
oleh empat mahasiswa serta dua pendamping, Universitas Halmahera dan Persatuan Intelegencia
Kristen Indonesia ( PIKI ). Kedatangan mereka ke Desa Popilo dan Popilo Utara ini dalam
kedua desa ini pasca konflik. Kegiatan para dosen dan mahasiswa yang terdiri dari beberapa
perguruan tinggi ini berlangsung di rumah warga secara live in dengan mencampur mahasiswa
Islam dan Kristen untuk menginap di keluarga yang berbeda agama di desa Popilo dan desa
Popilo Utara. Ada beberapa lokasi yang pilih sebagai tempat observasi mereka, yakni pasar,
Pelabuhan, serta lokasi galian C. secara umum, hasil observasi mereka menunjukkan bahwa
kehidupan dan hubungan antar warga kedua desa relative sudah normal namun belum
sepenuhnya pulih. Kemudian kegiatan tersebut diakhiri dengan dialog kerukunan antar umat
beragama. Ada pula lima narasumbernya yang berasal dari berbagai universitas dan
yakni Salim Tlib, dosen Uniera, Pdt. James, dosen UIN, A. Rozaki, serta dosen dari UKSW
Kemudian kita beralih pada desember 2021, dimana peristiwa serupa terjadi lagi, dimana
adanya pertikaian diantara dua desa yang berangkat dari saling adu jotos dua kelompok pemuda
dari kedua desa dan membuat suasana kembali tegang, uniknya ada seorang oknum TNI yang
berasal dari desa Popilo datang mengamankan kedua kubu yang bertikai ini dengan sebutan
1
Agus Setiawan, “Merajut Perdamaian di Halmahera Utara,” Nusantara News, oktober 12 2017,
https://nusantaranews.co/studi-perdamaian-di-wilayah-halmahera-utara-belum-sepenuhnya-pulih/
3
“woe Anjing-anjing natal, rayakan ngoni pe natal jang biking keributan” hal ini sontak
membangkitkan emosi beberapa warga Kristen yang mendengar hal itu termaksud penulis
sendiri.
Dari kelamnya massa lalu kedua desa ini yang sering bertikai rupanya tidak berlaku
ketika mereka berada dalam sebuah tim sepakbola, relasi serta kekompakan baik itu pemain atau
supporter dari kedua desa tersebut terjalin sangat baik, bahkan seakan-akan tidak ada konflik
memilukan yang terjadi di massa lalu mereka. Dimulai dari seringnya pemuda desa mede yang
bertandang ke lapangan sepak bola desa popilo dan begitu juga sebaliknya. Selain itu, pemuda
dari kedua desa tersebut juga pernah membuat sebuah tim sepak bola untuk mengikuti berbagai
ajang kompetisi sepak bola yang diadakan di seputaran wilayah Halmahera Utara. Prestasi
terbaik mereka adalah dimana mereka meraih juara satu dalam kompetisi Bupati Cup pada tahun
2019. Beberapa supporter dan pemain yang telah saya wawancarai lewat fitur whatsapp
menyatakan kalau mereka merasa sebagai saudara dan adanya rasa saling memiliki satu sama
lain ketika berada dalam satu tim, dan berimbas juga pada hubungan sosial diantara mereka yang
B. Teori
Teori dari Charles Kimbal ini menerapkan tentang adanya “reaksi bernuansa” yang
berdasar pada “pemahaman yang jernih”. Kata kunci dari teori Kimbal ini adalah “agama yang
otentik“ (authentic religion) dan “agama yang disalahgunakan” (corrupted religion). Dua situasi
yang saling bertolak belakang inilah yang melekat pada pemahaman para penganut agama
tentang dogma agama mereka serta wujud dari berbagai tindakan mereka atas dasar pemahaman
tadi. Menurut kimbal, sebagai institusi yang melekat pada manusia, agama seringkali berada
4
dalam dua keadaan tersebut, yakni penyalahgunaan agama. Agama yang otentik menurut Kimbal
adalaha agama yang berlandaskan pada cinta kepada Tuhan, seperti dalam perspektif Kristen
yakni di matius 22:37-39. Sementara agama yang di salahgunakan adalah agama yang dijadikan
Dalam buku Arab Soccer in a Jewish State, menyebutkan adanya identitas alternatif dalam ruang
sepakbola. Pada kaitanya, Tamir Sorek mencantumkan bahwasannya pasca tulisan “agama sipil”
dari Bellah pada tahun 1967, totem dianggap sebagai repsentatif dari bendera dan lagu
kebangsaan dan memiliki fungsi yang sama dengan salib di agama Kristen atau patung Budha
dalam agama Budha. Akan tetapi, simbol nasional memiliki karakteristik tersendiri karena
mengandung unsur-unsur yang cukup esensial yang dimana dapat membedakan bentuk modern
dari identitas nasionaln dan identitas-identitas lainnya. Selain itu, dalam perbedaan pendukung
tim Macabbi Haifa antara orang Arab dan orang Yahudi ini membutuhkan simbol yang sama
untuk membuktikan “kebangsaan” mereka. Lagipula, orang akan mencari identitas alternatif
yang mencakup beberapa karakteristik identitas nasional. Oleh sebab itu penggemar sepakbola
Pada teori ini, Homi K. Bhaba dalam bukunya The Location of Culture menjelaskan
bahwasannya ada perjumpaan antara pihak kolonial dengan pihak terjajah telah terjadi sebuah
2
http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=919435&val=10867&title=Memahami%20Pemikiran
%20Karya%20Charles%20Kimball%20When%20Religion%20Becomes%20Evil%20%20Five%20Warning%20Signs
%2020081%20Agama%20Menjadi%20Sumber%20Bencana%20Kejahatan, Artikel “Memahami Karya Pikiran
Charles Kimball When Religion Becomes Evil : Five Warning Sings. Agama menjadi sumber bencana kejahatan
( Akses tanggal 12 oktober 2022 )
3
Tamir Sorek, Arab Soccer in a Jewish State ; The Integrative Enclave, edisi ke-1 . ( New York, Cambridge University
Press, 2007), 112.
5
hubungan timbal balik pada ruang ketiga. Kolonial sendiri tidak dapat menguasai pihak yang
terjajah sementara pihak yang terjajah pun tidak pernah secara penuh tunduk kepada pihak
kolonial. Bhaba melanjutkan bahwa, ruang ketiga adalah ruang “di antara” yang dipunyai oleh
pihak yang terjajah untuk melakukan beberapa negosiasi-negosiasi budaya yang kemudian
Rentetan konflik yang sering terjadi diantara desa Mede dan Popilo merupakan sebuah
masalah yang tidak bisa desepelekan begitu saja. Hal ini dapat menjadi bom waktu yang dapat
meledak kapan saja. Asumsi penulis sebagai orang yang menjadi bagian dari kedua desa ini,
penulis menganalisa berdasarkan asumsi dari beberapa orang di salah satu desa yakni masih
adanya bekas-bekas serta simbol dari kelamnya konflik di massa lalu yang masih membekas
sampai saat ini, misalnya kuburan massal korban konflik yang dikubur tepat di tengah-tengah
perkampungan. Sehingga traumatik pascakonflik ini yang masih menjadi momok menakutkan
dan harus di selesaikan secara bersama tanpa harus melukai. Konflik yang terus menerus terjadi
seperti contoh yang penulis angkat pada tahun 2014 di bulan November adalah masalah
perebutan galian C atau tambang pasir, tapi kenapa harus digiring ke ranah agama dengan
membawa simbol-simbol agama dalam konflik tersebut, padahal sudah jelas bahwa masalah
utama dari konflik tersebut adalah persoalan ekonomi dan bukan masalah agama sama sekali.
Dalam hal ini, penulis memakai teori Charles Kimbal tentang agama yang menjadi jahat, dalam
rangka melakukan pembenaran atass kekerasan dan tindakan desktruktif suatu kelompok,5
4
Chris Stevany Lombu, Izak Y.M. Lattu, dan Rama Tulus Pilakoannu,”Ruang Ketiga Dalam Perjumpaan Nias-Kristen
dan Minangkabau-Muslim di Padang” Jurnal Kawistara, Vol.9 No. 3 ( 22 Desember 2019 ) 324-348
5
http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=919435&val=10867&title=Memahami%20Pemikiran
%20Karya%20Charles%20Kimball%20When%20Religion%20Becomes%20Evil%20%20Five%20Warning%20Signs
6
Seperti yang sudah dijelaskan di pengantar tadi, bahwa kedua desa ini dapat melebur jadi
satu dan membangun relasi yang baik dalam sebuah tim sepak bola yang beranggotakan para
pemuda-pemuda dari kedua desa ini membuka mata smua orang bahwa hal-hal yang dianggap
remeh justeru mampu menepis serta meminimalisir konflik yang terjadi. seperti dalam buku
(Cambridge Cultural Social Studies) Tamir Sorek Arab Soccer in a Jewish State_The Integrative
Enclave (2007) yang melihat bagaimana perkembangan pemain-pemain sepakbola asal Arab
yang berkiprah di tanah orang Yahudi. Adalah Maccabi Haifah, sebuah tim sepakbola asal
Yahudi yang banyak digemari oleh orang-orang Arab. Selain itu, Tamir Sorek juga yang
mengidentikan simbol lagu kebangsaan dan bendera sebagai totem yang dirumuskan oleh
Durkheim, dimana identitas nasionalis Arab dan Yahudi bertemu dan melebur dalam ruang
sepakbola sehingga konflik besar yang terjadi antara Arab dan Israel di tahun 1948 tidak lagi
menjadi sesuatu yang urgent, tetapi bagaimana mereka membentuk sebuah identitas baru dengan
menyanyikan lagu tim Maccabi Haifa serta mengangkat bendera Maccabi Haifa kemudian
mendukung tim Maccabi Haifa yang notabene adalah tim sepakbola asal Yahudi tersebut6
pada konteks yang diangkat penulis, yang berangkat dari konflik ekonomi yang kemudian
mengikutsertakan simbol-simbol agama ini, melihat adanya kesamaan identitas secara nasionalis
tetapi berbeda secara agamais yang juga dilatarbelakangi oleh konflik yang terjadi di 2014, dapat
melebur dalam sebuah ruang sepakbola yang dimana tidak adanya ego-ego atau ingatan konflik
yang dibawa, tetapi mereka menemukan identitas baru sebagai sebuah tim dan berhasil membuat
relasi yang baik antara kedua pihak karena merasa bagian dari tim tersebut.
7
Sepak bola juga dapat dilihat sebagai ruang ketiga seperti yang dicetuskan oleh Homi
K.Bhaba dalam bukunya The Location Of Culture. Bhaba menggambarkan ruang ketiga ini
sebagai tempat perjumpaan Kolonialis dengan orang terjajah dalam rangka saling bernegosiasi
satu sama lain.7 Penulis mencoba mengaitkan ruang ketiga ini dengan lapangan sepakbola yang
dimana menjadi tempat kedua desa yang bertikai ini untuk saling bekerja sama sebagai satu tim.
Tanpa disadarai, ego sepakbola telah menegelamkan memori-memori konflik yang pernah ada
meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa memori tersebut tidak dapat hilang sepenuhnya. Juara
satu dalam sebuah kompetisi sepakbola Bupati Cup 1 pada tahun 2019 dengan jelas mengukir
prestasi mereka dan tentunya tidak mudah untuk meraih podium pertama, membutuhkan kerja
D. Kesimpulan
Rentetan konflik yang terjadi diantara kedua desa yang saling ber-tetangga bahkan
“bersaudara” ini merupakan masalah serius dan tidak bisa disepelekan, karena bagi penulis yang
tinggal disana melihat hal ini sebagai bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Konflik ini juga
berimbas besar bagi willayah di sekitarnya karena menyentuh pada ranah yang sangat sensitif
dalam sebuah komunitas bermasyarakat karena seringkali dihiasi oleh simbol-simbol agama,
atau menghalalkan loncatan agama sebagai alasan dari kekerasan dan tindakan destruktif seperti
yang dikemukakan oleh Charles Kimbal.. Terlepas dari itu semua, sepakbola adalah salah satu
ruang yang dapat menanggalkan persepsi dan memori konflik yang terjadi di masa lalu. Seperti
yang sudah diuraikan beberapa hasil penelitian diatas seperti bagaimana sepakbola menyatukan
7
Chris Stevany Lombu, Izak Y.M. Lattu, dan Rama Tulus Pilakoannu,”Ruang Ketiga Dalam Perjumpaan Nias-Kristen
dan Minangkabau-Muslim di Padang” Jurnal Kawistara, Vol.9 No. 3 ( 22 Desember 2019 ) 324-348
8
8
orang Arab dan Yahudi di daerah Haifa yang dapat membuka mata orang-orang, bahwa
terkadang masalah-masalah sosial antara beberapa kelompok dapat direkonsiliasi pada tataran
akar rumput seperti sepak bola. Masalah komplex yang terjadi di desa Mede dan Popilo Utara
juga tidak hanya dapat ditinjau dari rekonsiliasi agama, basudara, bahkan negara sekalipun.
Tetapi sepakbola yang merupakan ajang perjumpaan mereka dalam ruang ketiga yang
dikemukakan oleh Homi K. Bhaba dalam teorinya untuk melakukan negosiasi-negosiasi untuk
Daftar Pustaka
9
Agus Setiawan. 2017 “Merajut Perdamaian di Halmahera Utara”
https://nusantaranews.co/studi-perdamaian-di-wilayah-halmahera-utara-belum-sepenuhnya-
http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?
article=919435&val=10867&title=Memahami%20Pemikiran%20Karya%20Charles%20Kimball
%20When%20Religion%20Becomes%20Evil%20%20Five%20Warning%20Signs
%2020081%20Agama%20Menjadi%20Sumber%20Bencana%20Kejahatan, Artikel “Memahami
Karya Pikiran Charles Kimball When Religion Becomes Evil : Five Warning Sings. Agama
menjadi sumber bencana kejahatan ( Akses tanggal 12 oktober 2022 )
Lombu Stevany Chris dkk. (2019) Ruang Ketiga Dalam Perjumpaan Nias-Kristen dan
Minangkabau-Muslim di Padang. Jurnal Kawistara, Vol.9 No.3 ( 22 Desember 2019) 324-348.
Sorek Tamir Arab Soccer in a Jewish State ; The Integrative Enclave, Edisi ke-2 ( New York,
Cambridge University Press, 2007), 102-127.
10