Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kepulauan Kei, yang oleh penduduk setempat menyebutnya Nuhu

Evav (Kepulauan Evav) atau Tanat Evav (Negeri Evav), merupakan bagian

administratif dari Provinsi Maluku. Kepulauan ini terletak di selatan Irian Jaya

(Papua), di sebelah barat Kepulauan Aru, dan di timur laut Kepulauan Tanimbar.

Kepulauan Kei terdiri dari beberapa pulau, diantaranya Kei Besar (Nuhu Yuut), Kei

Kecil (Nuhu Roa), Tanimbar Kei (Tnebar Evav), Kei Dulah (Du), Dulah Laut (Du

Roa), Kuur, Taam, dan Tayandu (Tahayad).1 Selain itu, masih terdapat sejumlah

pulau kecil yang tidak berpenghuni.

Kepulauan Kei dianugrahi dengan kekayaan budaya yang penuh dengan

makna. Budaya tersebut sangat berperan penting bagi berlangsungnya relasi sosial

yang terbentuk dalam kehidupan masyarakat Kei. Kekayaan budaya itu meliputi

Hukum Adat Larvul Ngabal,2 yang berfungsi untuk mengatur seluruh proses interaksi

masyarakat Kei. Sistem kekerabatan atau kekeluargaan, masyarakat Kei tidak selalu

memaknai sistem kekerabatan dalam hubungan biologis akan tetapi diatur dalam

hukum adat kemudian terwujud dalam relasi Yanur-Mangohoi, Koi-

1
P. M. Laksono, (at.al); Kekayaan, Agama, dan Kekuasaan. Identitas dan Konflik Di
Indonesia (Timur) Modern, (Yogyakarta: Kanisius dan LSR, 1998), 82.
2
Larvul ngabal adalah hukum adat masyarakat Kei, Maluku Tenggara yang sangat
menjunjung tinggi dan melindungi hak-hak asasi manusia.Tentang falsafah larvul ngabal baca J.P
Rahail, Larvul Ngabal; Hukum Adat yang Bertahan Menghadapi Arus Perubahan (Jakarta: Yayasan
Sejati, 1993),4-7. Lihat juga Ch.Labetubun, Hukum Laar In Taruk Ngabal In Adung (Laar I Teel:
Tanpa Penerbit, 2003),1-29.

1
Maduan, dan Teabel. Sistem kasta yakni kasta mel-mel, ren-ren, dan iri-iri. Sistem

kepercayaan, serta dalam berelasi masyarakat Kei memiliki beberapa falsafah hidup

yakni ain ni ani, foing fo kut fauw fo banglu, dan wuut ain mehe ni ngifun, manut ain

mehe ni tilur3 serta budaya yang lainnya. Oleh karena kekayaan budaya yang dimiliki

masyarakat Kei maka penulisan ini hanya akan difokuskan pada falsafah hidup ain ni

ain.

Ain ni ain merupakan salah satu ungkapan tradisional masyarakat Kei yang

secara turun temurun diwarisi oleh leluhur kepada generasi penerus. Kalau ditelusuri

secara mendalam falsafah ini tidak dimuat dalam bentuk tertulis akan tetapi dalam

bentuk lisan. Falsafah ain ni ain inilah yang membentuk karakter masyarakat Kei

sejak dulu sebab ungkapan ini mengandung nilai-nilai luhur yang positif. Ungkapan

tradisional ain ni ain turut membangun kehidupan masyarakat yang toleran, saling

mengasihi, saling menghormati, kesatuan dan persatuan, persaudaraan, dan

perdamaian. Ungkapan ini dimaknai sebagai bentuk persaudaraan yang dalam

pengertiannya merujuk pada adanya solidaritas masyarakat Kei terhadap sesamanya

baik dalam keadaan senang dan terutama dalam keadaan susah. Ungkapan ain ni ain

tercermin dan diwujudkan dalam sikap hidup masyarakat Kei yang disebut Yel Lim

dan hamaren.

Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ain ni ain dipakai masyarakat Kei

Besar agar dapat menghilangkan perbedaan dalam sistem kasta. Sistem kasta di Kei

3
P. M. Laksono, Ken Sa Faak: Benih-Benih Perdamaian Dari Kepulauan Kei, (Tual-
Yogyakarta: Nen Mas Il- Insist Press, 2004), 12.

2
Besar terdiri atas tiga kasta yakni kasta “mel-mel” adalah kasta tertinggi untuk para

pendatang yang kemudian menjadi pemimpin (bangsawan), dibawahnya terdapat

kasta “ren-ren” atau kasta menengah yang terdiri dari penduduk asli dan kasta “iri-

iri” adalah kasta paling bawah. Kasta “iri-iri” adalah kasta untuk para budak.

Walaupun budaya ini ada ditengah-tengan proses interaksi masyarakat Kei dan juga

turut mempengaruhi masing-masing orang dalam kasta yang berbeda akan tetapi

sistem kasta ini tidak dapat menghilangkan rasa persaudaraan yang muncul dalam

kehidupanan masyarakat Kei oleh karena falsafah ain ni ain. Ungkapan ini dirasakan

sangat berpengaruh dan perbedaan kasta tidak membatasi masyarakat Kei untuk tetap

menghidupkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ain ni ain.

Selain itu ada pula konteks beragama masyarakat Kei (setelah agama Islam

dan Kristen disebarkan ke seluruh pulau-pulau Kei) yang juga turut masuk dan

disebarkan. Tentunya banyak nilai-nilai kepercayaan yang terkandung di dalam

masing-masing agama. Nilai-nilai yang diajarkan dalam dua agama ini juga sejajar

dengan nilai-nilai luhur yang ada dalam ungkapan ini. Maksudnya ungkapan ini juga

tetap bergandengan bersama dengan agama yang masuk di Kei yakni Kristen dan

Islam untuk bersama-sama mengatur kehidupan yang diinginkan oleh semua pihak.

Dikatakan bergandengan sebab nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ungkapan ini

juga terdapat dalam ajaran agama yang diajarkan kepada masyarakat Kei. Sehingga

ain ni ain dapat selalu diwarisi sebab memiliki nilai-nilai luhur yang secara aktual

dapat mengatur dan juga membangun interaksi sosial dalam masyarakat.

3
Konteks kehidupan masyarakat Kei dulu tentu sangat berbeda jauh dengan

sekarang, di mana masyarakat Kei saat ini bukan hanya dibedakan berdasarkan sistem

kasta dan juga agama tetapi juga hadirnya masyarakat lain atau yang berbudaya lain

di dalam kehidupan masyarakat Kei. Secara umum masyarakat asli Kei, hidup dalam

lingkungan multikultur. Banyak pendatang yang hidup dan mencari nafkah disana.

Nampak dalam relasi hidup yang dibangun sejak dulu antara masyarakat asli Kei

dengan pendatang seperti suku Buton, Bugis, Makasar, Jawa, Toraja, dll.

Kemajemukan masyarakat merupakan konsep yang sangat berperan penting terhadap

pembentukan karakter dan juga dinamika hidup bermasyarakat. Dalam kemajemukan

sudah tentu akan terdapat perbedaan-perbedaan suku, ras, dan etnis. Perbedaan ini

mempengaruhi kestabilan masyarakat Di Kei.

Tantangan kemajemukan inilah yang sedang dihadapi masyarakat Kei,

kestabilan kehidupan sosial masyarakat Kei tidak selalu berjalan dengan mulus oleh

karena konflik yang terjadi saat itu. Konflik bernuansa Agama yang pecah di Maluku

terjadi di kota Ambon pada tanggal 19 Januari 1999 dan menyebar sampai ke

Kepulauan Kei. Di Kei, kerusuhan itu berpusat di Tual, ibu kota Kabupaten Maluku

menyebar menghantam desa-desanya. Bermula dari perkelahian pemuda Muslim dan

pemuda Kristen di Kelurahan Kiom dengan inti masalah pada penghinaan Nabi

Muhammad dan Tuhan Yesus Kristus. Kerusuhan itu mulai pecah di bulan Maret dan

klimaks kekejaman Kerusuhan itu terjadi di bulan April dan bulan Juni 1999.4

4
Nicodemus Sedubun, Ain Ni Ain Di Maluku Tenggara, http://ohoi-
ra.blogspot.co.id/2014/05/ain-ni-ain-di-maluku-tengara1.html, diakses 12 Juni 2016. Baca juga P. M.
Laksono, Ken Sa Faak: Benih-Benih Perdamaian Dari Kepulauan Kei, (Tual-Yogyakarta: Nen Mas Il-
Insist Press, 2004), 3-20.

4
Konflik bernuansa agama 1999 yang terjadi pada saat itu secara serentak menyebar

dan merusak semua aspek hidup masyarakat adat Kei (Kei Kecil dan Kei Besar).

Konteks yang terjadi pada saat itu diperlihatkan melalui upaya sistematis dari

kelompok penyerang untuk menyerang pemukiman Kristen dan gereja sehingga

keduanya dijaga ketat oleh relawan pemuda. Masyarakat diarahkan ke pusat

peribadahan yakni ke Gereja. Masyarakat Kei khususnya beragama Kristen, harus

berjuang untuk mendapatkan rasa aman dan perlindungan sementara dan berusaha

menjaga bangunan gedung gereja. Selain itu penjagaan lebih diperketat di perbatasan

jalan dan akses masuk ke tempat pemukiman warga. Desa-desa dengan penduduk

beragama Kristen Protestan, Katolik, dan Islam juga dihancurkan oleh kelompok

penyerang. Warga Katolik dan Protestan harus lari tunggang-langgang

menyelamatkan diri dari ancaman kematian. Di Kei Kecil, Mereka mengungsi ke

komunitas Protestan di Kota Tual dan ke pingiran Jemaat Taar. Sedangkan di Kei

Besar, masyarakat yang tinggal di Elat harus menyelamatkan diri ke desa-desa yang

aman seperti Desa Yamtel, Waur, dan yang lainnya. Konflik ini berhasil

menghancurkan semua sendi kehidupan masyarakat Kei, harta benda, hancurnya

tempat peribadahan, serta jumlah korban jiwa dari kedua belah pihak tak dapat

terhindarkan.5 Realitas ini menjelaskan proses pemisahan masyarakat berdasarkan

wilayah dan agama. Proses ini dilakukan agar masyarakat dapat terlindungi dan

merasa aman di wilayah tempat pengungsian.

5
Ibid.

5
Intensitas konflik yang semakin tinggi menggelisahkan semua pihak termasuk

para tokoh adat tertinggi di Kei. Usaha yang dilakukan adalah menangani konflik

secara adat. Para tokoh adat yakin bahwa konflik dapat ditangani atas nama adat

tanpa harus ada korban jiwa dan juga harta benda. Dengan berpegang pada hukum

adat dan berlandaskan pada falsafah hidup orang Kei termasuk ain ni ain maka

konflik bernuansa agama yang terjadi secara perlahan dapat diatasi. Sebagai tanda

penyelesaian konflik bernuansa agama di Kei dilakukan upacara adat di Woma Lodar

El. Upacara ini dihadiri oleh para tokoh adat, tua adat, serta seluruh komponen

masyarakat Kei. Dalam upacara adat ini ditegaskan perlu untuk mengembangkan

kembali adat yang dipegang sebelumnya dan menjadi warisan dari leluhur.6 Proses

penyelesaian konflik yang dilakukan oleh tokoh masyarakat menggunakan adat-

istiadat sebagai media untuk menangani konflik yang terjadi pada saat itu.

Realitas penanganan konflik yang dilakukan oleh pemerintah adat

berlangsung sangat baik sehingga konflik bernuansa agama di Kei dapat diatasi

namun damai yang diinginkan sampai saat ini masih ada dalam proses menuju dalam

pengertian perdamaian itu masih diusahakan oleh semua komponen bahkan lembaga

yang ada di Kei pada umumnya. Sebab perdamaian yang diingin bukan hanya

terlepas dari konflik akan tetapi kenyamanan dalam berelasi dalam bermasyarakat

tanpa memandang budaya, etnis, ras, kasta, bahkan agama. Perdamaian dalam

pengertian sesungguhnya merupakan ketiadaaan kekerasan dalam bentuk apa pun

6
Abd. Rauf, Peran Hukum Adat Lar Vul Ngabal Dalam Penyelesaian Konflik Antarumat
Beragama Di Kepulauan Kei, (Disertasi Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta,
2009), 8-9.

6
baik bentuk langsung maupun tidak langsung.7 Pasca konflik bernuansa agama

(1991) dan juga proses rekonsiliasi yang dilakukan ternyata masih ada juga konflik

internal antar desa terus terjadi di Kei secara khusus di Kei Besar. Konflik ini

mengakibatkan kestabilan masyarakat terganggu yang kemudian turut berpengaruh

terhadap relasi sosial masyarakat Kei Besar. Memang konflik yang terjadi dapat

diatasi dengan dilakukannya penanganan secara cepat oleh pemerintah melalui aparat

keamanan akan tetapi kondisi yang aman itu tidak bertahan lama. Penanganan konflik

dengan pendekatan keamanan yang digunakan pemerintah untuk mengatasi konflik

menurut Galtung pendekatan ini menciptakan damai negatif. Menurutnya, damai

memiliki dua wajah yakni damai negatif dan damai positif. Damai negatif merupakan

ketiadaan perang atau konflik langsung. Damai negatif membutuhkan kontrol

pemerintah terhadap kekerasan dengan menghadirkan perlindungan sekuritas

terhadap masyarakat. Strateginya adalah dengan memisahkan pihak-pihak yang

berkonflik. Model ini dilakukan dalam situasi konflik yang baru terjadi dan juga

konflik dengan jangka waktu yang panjang. Kekurangannya, pihak yang berkonflik

tidak saling bertemu sehingga mengakibatkan masyarakat mengalami segregasi

dalam bentuk perjumpaan fisik maupun imajinasi.8

Damai positif sebagai wajah kedua dari perdamaian yang dikemukakan oleh

Galtung merupakan suasana di mana terdapat kesejahteraan, kebebasan, dan keadilan.

Model ini menganjurkan suasana saling berelasi dalam kehidupan bermasyarakat

7
Izak Lattu, Planting the Seed of Peace. Agama dan Pendidikan Perdamaian dalam
Masyarakat Multikultural. Buku Ajar Agama, (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2015), 190.
8
Galtung dalam Izak Lattu, Planting the Seed of Peace, 191.

7
demi terciptanya integrasi sosial. Dengan memperbaiki relasi yang rusak pada masa

lalu dan membangun kembali masa depan maka diperlukan kerja sama disetiap

kalangan yang ada dalam masyarakat. Masyarakat yang berkonflik harus menemukan

titik temu yang kemudian akan dibahas dan diatasi bersama. Segala kebaikan verbal,

fisik, pikiran dan jiwa manusia termuat dalam damai positif. Fondasi utama dari

model ini adalah cinta kasih diantara semua makhluk ciptaan.9

Falsafah ain ni ain merupakan budaya hidup bersama dengan rukun dalam

bingkai kekeluargaan serta solidaritas yang dianut oleh masyarakat Kei. Falsafah ini

dengan sikap hidup yang termuat di dalamnya menjadi titik temu agar dapat

mengusahakan damai positif di kalangan masyarakat Kei pada umumnya dan

khususnya di Kei Besar. Perdamaian yang ingin dicapai juga membutuhkan

pendekatan konseling. Pendekatan konseling hadir dalam konteks sosio-kultur

masyarakat. Konseling multikultural merupakan pendekatan dengan konteks kultur

yang menjadi identitas kultur klien. Falicov mengatakan, Inti dari konseling

multikultural adalah sensitivitas terhadap berbagai cara yang memungkinkan berbagai

cara fungsi kultur dan interaksi, terleburkan menjadi kepedulian tentang pengalaman

kultur orang lain.10 Penekananan dari konseling multikultural adalah kultur maka

karakteristik dari identitas kultur merupakan aspek penting dalam konseling

multikultural yakni aspek kultur dasar yang terdiri dari konsep realita, konsep diri,

konstruksi moral, konsep waktu, dan nilai penting tempat. Aspek kultur yang dapat

diamati secara eksternal yakni perilaku non-verbal, penggunaan bahasa, pola

9
Galtung dalam Izak Lattu, Planting the Seed of Peace , 192.
10
John Mcleod, Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus, (Jakarta: Kencana, 2010), 275.

8
hubungan darah dan hubungan antar sesama, hubungan gender, ekspresi emosi, peran

penyembuh dan teori penyembuhan. Aspek ini digunakan dalam konseling

multikultural agar dapat mengeksplorasi dunia klien dan untuk membangun dunia

klien-konselor yang bersifat mutual dan saling bantu.11 Falsafah Ain ni ain sebagai

falsafah hidup memiliki makna dan nilai yang harus dikembangkan untuk dijadikan

pendekatan konseling untuk menjawab realita konflik bernuansa agama (1999) di

Kei dan juga konflik internal antardesa di Kei Besar untuk menghadirkan perdamaian

di Kei pada umumnya dan di Kei Besar khususnya.

Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, dengan melihat nilai-nilai luhur

yang terkandung di dalam ungkapan tradisional ain ni ain dan juga berbagai realita

yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat di Kei Besar, maka penulis ingin

mengkaji ain ni ain sebagai pendekatan konseling perdamaian berbasis budaya.

Dengan demikian rumusan pertanyaan penelitian adalah bagaimana ain ni ain sebagai

suatu pendekatan konseling perdamaian berbasis budaya? Rumusan masalah tersebut

dijabarkan dalam beberapa pertanyaan pokok penelitian yaitu: pertama, bagaimana

pemaknaan, pelaksanaan, dan asal-usul ain ni ain dalam budaya masyarakat Kei

Besar dikaji dari perspektif konseling multikultural? Kedua, bagaimana ain ni ain

sebagai resolusi konflik dalam konflik internal antar desa di Kei Besar dikaji dari

perspektif konseling perdamaian? Ketiga, bagaimana ain ni ain dikembangkan

sebagai pendekatan konseling perdamaian berbasis budaya. Rumusan pertanyaan

penelitian ini dimaksudkan untuk mencapai tujuan penelitian, yaitu mengkaji dan

11
John Mcleod, Pengantar Konseling, 275-276.

9
menganalisa ain ni ain sebagai suatu pendekatan konseling perdamaian berbasis

budaya. Tujuan penelitian dijabarkan dalam beberapa tujuan pokok penelitian yaitu: :

pertama, mengkaji pemaknaan, pelaksanaan, dan asal-usul ain ni ain dalam budaya

masyarakat Kei Besar dikaji dari perspektif konseling multikultural. Kedua, mengkaji

ain ni ain sebagai resolusi dalam konflik internal antar desa di Kei Besar dari

perspektif konseling perdamaian. Ketiga, mengembangkan ain ni ain sebagai

pendekatan konseling perdamaian berbasis budaya.

B. Manfaat Penelitian

Selain mencapai tujuan penelitian yang telah diuraikan di atas, melalui

penelitian ini penulis berharap dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat adat

Kei Besar, pemerintah daerah Kecamatan Kei Besar, dan Gereja (Klasis GPM Kei

Besar). Kontribusi tersebut tidak lain untuk memperkaya dan mempertajam serta

mempertahankan budaya lokal yakni makna yang terkandung dalam ain ni ain

sebagai pendekatan konseling perdamaian berbasis budaya di Kei Besar. Selanjutnya

melalui penelitian ini, penulis mengharapkan dapat menstimulasi Program Studi

Pascasarjana Sosiologi Agama–Universitas Kristen Satya Wacana agar lebih aktif

dalam menggali setiap potensi budaya lokal sebagai wujud pengembangan dari

pastoral masyarakat. Akhirnya, penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi

penulis agar dapat mengembangkan potensi akademis yang telah diperoleh untuk

tugas dan tanggung jawab kepada masyarakat.

10
C. Metodologi Penelitian

Mengacu pada rumusan masalah dan tujuan penelitian yang hendak dicampai

maka metode penelitian yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif

analitis12 yakni penelitian yang berusaha menggambarkan atau melukiskan keadaan

subjek yang diteliti. Setelah data diperoleh, kemudian data-data tersebut dianalisis

dan diinterpretasi atau penafsiran data-data tersebut.13 Dengan menggunakan

pendekatan kualitatif yakni penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena

tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi,

tindakan, dan lain-lain secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-

kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan

berbagai metode alamiah.14 Mengingat luasnya cakupan wilayah Kabupaten Maluku

Tenggara, maka lokasi penelitian akan difokuskan pada masyarakat di Kecamatan

Kei Besar.

Dalam penelitian yang penulis lakukan, penulis menggunakan beberapa teknik

pengumpulan data, yakni Wawancara, bertujuan untuk mencoba mendapatkan

keterangan secara lisan dari beberapa responden, dengan bercakap-cakap berhadapan

muka dengan orang itu. Wawancara ini pun bermaksud mengumpulkan keterangan

tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta pendirian-pendirian

12
W. Lawrence Neuman, Social research methods: Qualitative and Quantitative Approaches,
(USA:
Allyn and Bacon, 1999), 21.
13
Winarno Surakhmad, Pengantar Penulisan Ilmiah : Dasar Metode dan Teknik, (Bandung :
Tarsito, 1985), hal.139.
14
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung : PT Remaja Rosdakarya,
2006),6.

11
mereka.15 Pemilihan sampel penelitian menggunakan purposive sampling. Menurut

Sugiyono, purposive sampling16 adalah teknik pengambilan sampel sumber data

dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini, misalnya orang tersebut

yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin dia sebagai

penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi obyek atau situasi sosial

yang diteliti. Dengan demikian para informan/narasumber yang dapat memberikan

informasi akurat serta sesuai dengan kebutuhan penelitian ini yaitu tokoh-tokoh adat,

tokoh-tokoh gereja, tokoh-tokoh pemuda, tokoh-tokoh pemeritahan, dll. Selain itu,

masyarakat umum baik itu masyarakat asli Kei maupun pendatang yang sudah lama

menetap di Kei Besar akan dijadikan informan dalam penetian ini. Kemudian

observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala

yang diteliti. Jenis observasi yang dipakai yaitu observasi partisipasi sebagian yaitu

dengan cara mengikuti sebagian dari kehidupan responden sesuai dengan data yang

diinginkan.17

D. Sistematika Penulisan

Penulisan Tesis ini terdiri dari enam bab, yaitu bab satu, terdiri dari

Pendahuluan, menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan Sistematika penulisan. Bab

ini sebagai pengantar ke dalam substansi penulisan. Bab dua tentang konseling

multikultural, konseling perdamaian, dan teori perdamaian yang meliputi pengertian

15
Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1981), 162.
16
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2013),
2018-219.
17
Dr. Eko Dudiarto, Dr. Dewi Anggraeni, Epidemiologi

12
konseling multikultural, aspek kultur dasar dalam konseling multikultural, aspek

kultur diamati secara eksternal, pengertian konseling perdamaian, serta perdamaian

dan rekonsiliasi. Bab tiga merupakan bab yang berisi temuan penelitian yang meliputi

profil makro masyarakat Kei, deskripsi pemaknaan, pelaksanaan, dan asal-usul ain ni

ain dalam budaya masyarakat Kei Besar, dan deskripsi ain ni ain sebagai resolusi

konflik internal antardesa di Kei Besar. Bab empat merupakan pembahasan dan

analisa penulis terhadap hasil penelitian yang meliputi kajian ain ni ain sebagai

resolusi konflik internal antardesa di Kei Besar dari perspektif konseling

multikultural, teori perdamaian, dan konseling perdamaian. Bab lima penulis akan

memaparkan tentang ain ni ain sebagai pendekatan konseling perdamaian berbasis

budaya yang meliputi landasan filosofis, nilai spiritual, dan desain pendekatan

konseling perdamaian ain ni ain. Bab enam merupakan bagian penutup yang meliputi

kesimpulan dari setiap tahapan penulisan yang ditemui serta mengupayakan untuk

memberikan saran yang berfungsi sebagai kontribusi kelangsungan hidup masyarakat

di Kei Besar khususnya kepada pemerintah kecamatan, pemerintah adat, dan gereja.

13

Anda mungkin juga menyukai