Anda di halaman 1dari 7

MINGGU, 09 JANUARI 2011

Pancasila diera globalisasi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah telah mengungkapkan bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, yang
memberi kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia serta membimbingnya dalam mengejar
kehidupan lahir batin yang makin baik, di dalam masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.
Bahwasanya Pancasila yang telah diterima dan ditetapkan sebagai dasar negara seperti
tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan kepribadian dan
pandangan hidup bangsa, yang telah diuji kebenaran, kemampuan dan kesaktiannya, sehingga
tak ada satu kekuatan manapun juga yang mampu memisahkan Pancasila dari kehidupan bangsa
Indonesia. Menyadari bahwa untuk kelestarian kemampuan dan kesaktian Pancasila itu, perlu
diusahakan secara nyata dan terus menerus penghayatan dan pengamamalan nilai-nilai luhur
yang terkandung di dalamnya oleh setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara
serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di pusat maupun di daerah.

B. Rumusan Masalah

Untuk menghidari adanya kesimpangsiuran dalam penyusunan makalah ini, maka penulis membatasi
masalah-masalah yang akan di bahas diantaranya:

1. Bagaimana sejarah pancasila?

2. Bagaimanakah pancasila sebagai dasar negara?

3. Bagaimana pancasila di era globalisasi?

C. Tujuan Penulisan

Dalam menyusun makalah ini penulis mempunyai beberapa tujuan, yaitu:

1. Penulis ingin mengetahui sejarah pancasila.

2. Penulis ingin mengetahui pancasila sebagai dasar Negara.

3. Penulis ingin mengetahui bagaimana pancasila di era globalisasi.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pancasila Di Era Globalisasi

Realitas kontemporer memperlihatkan bahwa tantangan terhadap ideologi Pancasila, baik kini
maupun nanti, beberapa di antaranya telah tampak di permukaan. Tantangan dari dalam di
antaranya berupa berbagai gerakan separatis yang hendak memisahkan diri dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Apa yang terjadi di Aceh, Maluku, dan Papua merupakan sebagian contoh
di dalamnya. Penanganan yang tidak tepat dan tegas dalam menghadapi gerakan-gerakan tersebut
akan menjadi ancaman serius bagi tetap eksisnya Pancasila di bumi Indonesia. Bahkan, bisa jadi akan
mengakibatkan Indonesia tinggal sebuah nama sebagaimana halnya Yugoslavia dan Uni Soviet. Tidak
kalah seriusnya dengan tantangan dari dalam, Pancasila juga kini tengah dihadapkan dengan
tantangan eskternal berskala besar berupa mondialisasi atau globalisasi.

Globalisasi yang berbasiskan pada perkembangan teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi,
secara drastis telah mentransendensi batas-batas etnis bahkan bangsa. Jadilah Indonesia kini, tanpa
bisa dihindari dan menghindari, menjadi bagian dari arus besar berbagai perubahan yang terjadi di
dunia. Sekecil apa pun perubahan yang terjadi di belahan dunia lain akan langsung diketahui atau
bahkan dirasakan akibatnya oleh Indonesia. Sebaliknya, sekecil apa pun peristiwa yang terjadi di
Indonesia secara cepat akan menjadi bagian dari konsumsi informasi masyarakat dunia.

Pengaruh dari globalisasi ini dengan demikian begitu cepat dan mendalam. Menjadi sebuah
petanyaan besar bagi bangsa Indonesia, sanggupkah Pancasila menjawab berbagai tantangan
tersebut? Akankah Pancasila tetap eksis sebagai ideologi bangsa? Jawabannya tentu akan terpulang
kepada bangsa Indonesia sendiri sebagai pemilik Pancasila. Namun demikian, kalaulah kemudian
mencoba untuk mencari jawaban atas berbagai tantangan tersebut maka jawabannya adalah bahwa
Pancasila akan sanggup menghadapi berbagai tantangan tersebut asalkan Pancasila benar-benar
mampu diaplikasikan sebagai weltanschauung bangsa Indonesia. Implikasi dari dijadikannya
Pancasila sebagai pandangan hidup maka bangsa yang besar ini haruslah mempunyai sense of
belonging dan sense of pride atas Pancasila.

Untuk menumbuhkembangkan kedua rasa tersebut maka melihat realitas yang tengah berkembang
saat ini setidaknya dua hal mendasar perlu dilakukan. Penanaman kembali kesadaran bangsa
tentang eksistensi Pancasila sebagai ideologi bangsa. Penanaman kesadaran tentang keberadaan
Pancasila sebagai ideologi bangsa mengandung pemahaman tentang adanya suatu proses
pembangunan kembali kesadaran akan Pancasila sebagai identitas nasional. Upaya ini memiliki
makna strategis manakala realitas menunjukkan bahwa dalam batas-batas tertentu telah terjadi
proses pemudaran kesadaran tentang keberadaan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Salah satu
langkah terbaik untuk mendekatkan kembali atau membumikan kembali Pancasila ke tengah rakyat
Indonesia tidak lain melalui pembangunan kesadaran sejarah. Tegasnya Pancasila didekatkan
kembali dengan cara menguraikannya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan rakyat
Indonesia, termasuk menjelaskannya bahwa secara substansial Pancasila adalah merupakan jawaban
yang tepat dan strategis atas keberagaman Indonesia, baik pada masa lalu, masa kini maupun masa
yang akan datang.
B. Pemahaman Tentang Pancasila Dalam Era Globalisasi

Kata Pancasila terdiri dari dua kata dari bahasa Sansekerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip
atau asas. Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia berisi :

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

2. Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab

3. Persatuan Indonesia

4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan

5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Dan globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan
ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui perdagangan,
investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas
suatu negara menjadi bias. Negara Republik Indonesia memang tergolong masih muda dalam
pergaulan dunia sebagai bangsa yang merdeka. Tetapi, perlu diingat, sejarah dan kebudayaan
bangsa Indonesia telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Kebesaran dan kegemilangan Kerajaan
Sriwijaya, Majapahit, atau Mataram, menjadi bukti nyata. Kekuasaan kerajaan-kerajaan di Nusantara
bahkan sampai negeri seberang. Sayangnya, masa emas kerajaan-kerajaan tersebut hilang dan
berganti dengan kehidupan masa kolonialisme dan imperialisme. Selama tiga setengah abad bangsa
dan rakyat Indonesia hidup dalam kegelapan dan penderitaan. Baru pada 17 Agustus 1945, bangsa
dan rakyat Indonesia dapat kembali menegakan kepala melalui proklamasi kemerdekaan. Jadi,
Pancasila bukan mendadak terlahir pada saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, tetapi
melalui proses panjang sejalan dengan panjangnya perjalanan sejarah bangsa Indonesia.

C. Proses Perjalanan Pancasila menuju Era Globalisasi

Pancasila terlahir dalam nuansa perjuangan dengan melihat pengalaman dan gagasan-gagasan
bangsa lain, tetapi tetap berakar pada kepribadian dan gagasan-gagasan bangsa Indonesia sendiri.
Oleh sebab itu, Pancasila bisa diterima sebagai dasar negara Indonesia merdeka. Sejarah telah
mencatat, kendati bangsa Indonesia pernah memiliki tiga kali pergantian UUD, tetapi rumusan
Pancasila tetap berlaku di dalamnya. Kini, yang terpenting adalah bagaimana rakyat, terutama
kalangan elite nasional, melaksanakan Pancasila dalam segala sendi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Jangan lagi menjadikan Pancasila sekadar rangkaian kata-kata indah tanpa makna. Jika
begitu, maka Pancasila tak lebih dari rumusan beku yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Pancasila akan kehilangan makna bila para elite tidak mau bersikap atau bertindak sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila.

Bila Pancasila tidak tersentuh dengan kehidupan nyata, Pancasila tidak akan bergema. Maka, lambat-
laun pengertian dan kesetiaan rakyat terhadap Pancasila akan kabur dan secara perlahan-lahan
menghilang. Maka, guna meredam pengaruh dari luar perlu dilakukan akulturasi kebudayaan.
Artinya, budaya dari luar disaring oleh budaya nasional sehingga output yang dikeluarkan seusai
dengan nilai dan norma bangsa dan rakyat Indonesia. Memang masuknya pengaruh negatif budaya
asing tidak dapat lagi dihindari, karena dalam era globalisasi tidak ada negara yang bisa menutup diri
dari dunia luar.
Oleh sebab itu, bangsa Indonesia harus mempunyai akar-budaya dan mengikat diri dengan nilai-nilai
agama, adat istiadat, serta tradisi yang tumbuh dalam masyarakat. Di depan Sidang Umum PBB, 30
September 1960, Presiden Soekarno menegaskan bahwa ideologi Pancasila tidak berdasarkan faham
liberalisme ala dunia Barat dan faham sosialis ala dunia Timur. Juga bukan merupakan hasil kawinan
keduanya. Tetapi, ideologi Pancasila lahir dan digali dari dalam bumi Indonesia sendiri. Secara
singkat Pancasila berintikan Ketuhanan Yang Maha Esa (sila pertama), nasionalisme (sila kedua),
internasionalisme (sila ketiga), demokrasi (sila keempat), dan keadilan sosial (sila kelima). Dalam
kehidupan kebersamaan antar bangsa di dunia, dalam era globalisasi yang harus diperhatikan,
pertama, pemantapan jatidiri bangsa. Kedua, pengembangan prinsip-prinsip yang berbasis pada
filosofi kemanusiaan dalam nilai-nilai Pancasila, antara lain:

1. Perdamaian bukan perang.

2. Demokrasi bukan penindasan.

3. Dialog bukan konfrontasi.

4. Kerjasama bukan eksploitasi.

5. Keadilan bukan standar ganda.

D. Pancasila Bersifat Universal

Tata nilai universal yang dibawa arus globalisasi saat ini sebenarnya tak lebih nilai-nilai Pancasila
dalam artian yang luas. Cakupan dan muatan globalisasi telah ada dalam Pancasila. Karena itu,
mempertentangkan ideologi Pancasila dengan ideologi atau faham lain tak lebih dari sekadar kesia-
siaan belaka. Selain itu, selama masih terjadi pergulatan pada faham dan pandangan hidup, bangsa
dan rakyat Indonesia akan terus berada dalam kekacauan berpikir dan sikap hidup. Menggantikan
Pancasila sebagai dasar negara tidak mungkin karena faham lain tidak akan mendapat dukungan
bangsa dan rakyat Indonesia.

Pancasila dapat ditetapkan sebagai dasar negara karena sistem nilainya mengakomodasi semua
pandangan hidup dunia internasional tanpa mengorbankan kepribadian Indonesia. Sesungguhnya,
Pancasila bukan hanya sekadar fondasi nasional negara Indonesia, tetapi berlaku universal bagi
semua komunitas dunia internasional. Kelima sila dalam Pancasila telah memberikan arah bagi
setiap perjalanan bangsa-bangsa di dunia dengan nilai-nilai yang berlaku universal. Tanpa
membedakan ras, warna kulit, atau agama, setiap negara selaku warga dunia dapat menjalankan
Pancasila dengan teramat mudah. Jika demikian, maka cita-cita dunia mencapai keadaan aman,
damai, dan sejahtera, bukan lagi sebagai sebuah keniscayaan, tetapi sebuah kenyataan. Mengapa?
Karena cita-cita Pancasila sangat sesuai dengan dambaan dan cita-cita masyarakat dunia. Bukankah
kondisi dunia yang serba carut-marut seperti sekarang ini diakibatkan oleh faham-faham di luar
Pancasila? Bukankah secara de facto faham komunisme telah gagal dalam memberikan kedamaian
dan kesejahteraan bagi rakyat Uni Soviet? Bukankah faham liberalisme banyak mendapat tentangan
dari negara-negara berkembang? Sebetulnya Indonesia bisa melepaskan diri dari perangkap
hegemonik negara-negara maju. Cina, Korea Selatan, Brazil, India, dan masih banyak negara lain
yang notabene sebelumnya termasuk negara berkembang, berhasil menunjukkan jalan keluar untuk
lepas dari perangkap neoliberalisme. Upaya melepaskan diri dari jerat neoliberalisme tersebut
mampu mereka lakukan dengan mengandalkan kekuatan lokal yang terus dibangun dan digunakan
sebagai senjata dalam menghadapi pasar bebas. Dominasi negara-negara berkembang dapat
mencapai titik lelahnya jika, kekuatan-kekuatan lokal negara berkembang mampu ditingkatkan.
Dalam hal ini tentu saja peran negara menjadi sangat strategis dalam mengembangkan kekuatan
lokal tersebut. Negeri ini jelas membutuhkan sistem penyeimbang untuk masuk dalam pasar bebas,
baik struktural maupun kultural. Indonesia perlu menata kekuatan struktural guna melakukan proses
penguatan potensi lokal. Negara-negara maju dengan segala kekurangannya telah terlebih dulu
melakukan penguatan struktural. Mereka memang memiliki sumberdaya alam yang sangat terbatas,
namun keterbatasan itu disiasati dengan manajerial yang sangat kuat dan ketat. Negara maju
memiliki kemampuan lebih dalam merasionalkan sumber-sumber lokalnya dan membuat
mekanisme hukum yang cukup rinci dengan batas-batas yang jelas sebagai langkah proteksi
terhadap aset nasional mereka—hal mana yang belum mampu dilakukan di Indonesia.

Indonesia sendiri yang memiliki aset-aset strategis, malah bertindak jauh lebih liberal dari apa yang
dilakukan negara-negara maju pencetus liberalisme itu sendiri. Indonesia tidak membangun
mekanisme kontrol yang cukup efektif guna memproteksi aset nasional agar jangan sampai jatuh ke
tangan asing. Kemampuan manajerial Indonesia dalam menata aset-asetnya inilah yang seharusnya
menjadi kunci penentu sebesar apa peluang kita dalam kancah globalisasi. Penguatan struktural
yang perlu dilakukan adalah pengarusutamaan ekonomi rakyat dan industri lokal dalam kebijakan
dan regulasi pemerintah. Selain penguatan struktural, pembenahan mental (kultural) bangsa inipun
perlu dipikirkan. Harus jujur dan lapang dada kita akui bahwa saat ini bangsa Indonesia memiliki
kebiasaan kultural “mentalitas orang kalah”. Kerap kali kita terlalu terbuka menerima pengaruh dari
luar. Ironisnya, pengaruh luar yang masuk ditelan begitu saja. Harusnya ada transformasi
kebudayaan yang cukup besar untuk bisa membendung pengaruh tersebut.

Indonesia perlu menggali betul segala potensi yang tersimpan dalam bumi pertiwi ini. Ambil contoh,
Cina. Sejarah kebudayaan panjang yang mereka lalui telah mampu membangun Cina seperti
sekarang yang mampu menegakkan kepala saat berhadapan dengan kepentingan asing. Identitas
kolektif kebangsaan mereka pun malah semakin menguat. Indonesia seharusnya mampu melakukan
perubahan sebagaimana yang telah ditunjukkan negara berpopulasi terpadat tersebut. Akan tetapi,
langkah yang ditempuh Indonesia tentu saja harus berbeda dengan Cina. Bukan semata ingin tampil
beda, akan tetapi perbedaan realitas objektif dari masing-masing negara harus disikapi dengan cara
berbeda pula. Dalam menyikapi konstelasi global, Indonesia dituntut untuk bermain dengan caranya
sendiri.

Kondisi objektif pluralitas masyarakat Indonesia merupakan salah satu ciri khas yang harus mampu
ditata dengan membangkitkan kekuatan-kekuatan lokal. Apa yang menjadi kekurangan kita selama
ini adalah belum terbangunnya sebuah kebanggaan atas apa yang kita miliki sebagai bagian integral
dari diri kita sendiri—sebuah problem mentalitas yang hingga hari ini belum mampu kita rubah. Di
sinilah sesungguhnya sikap maupun peran kepemimpinan nasional diharapkan. Sikap kepemimpinan
nasional pada akhirnya akan sangat menentukan bagaimana identitas kolektif kebangsaan melalui
potensi lokal dapat terbangun. Nation character building yang dilakukan Soekarno pada fase awal
pemerintahan Republik kini seakan tak lagi nampak. Pembangunan karakter nasional tidak lain
adalah upaya membangun identitas kolektif kebangsaan dalam wadah Republik. Akan tetapi, dalam
proses itu, pendekatan top-down yang dilakukan orde baru tidak perlu diulang lagi. Pendekatan
tersebut justru menimbulkan sinisme masyarakat terhadap potensi lokal, termasuk Pancasila.

Menyikapi hal tersebut, Indonesia sesungguhnya memiliki satu pamungkas yang sesungguhnya
menyatukan sekian potensi lokal dalam sebuah perahu untuk mengarungi arus globalisasi, yakni
Pancasila. Sayangnya, pamungkas itu bak pusaka yang tak tersentuh dan diperlakukan bak
kendaraan bemo. Pancasila merupakan sebuah kekuatan ide yang berakar dari bumi Indonesia untuk
menghadapi nilai-nilai dari luar, sebagai sistem syaraf atau filter terhadap berbagai pengaruh luar,
nilai-nilai dalam Pancasila dapat membangun sistem imun dalam masyarakat kita terhadap
kekuatan-kekuatan dari luar sekaligus menyeleksi hal-hal baik untuk diserap, dan sebagai sistem dan
pandangan hidup yang merupakan konsensus dasar dari berbagai komponen bangsa yang plural ini.
Lewat Pancasila, moral sosial, toleransi, dan kemanusiaan, bahkan juga demokrasi bangsa ini
dibentuk.

Pancasila seharusnya dijadikan sebagai poros identitas untuk menghadapi bermacam identitas yang
ditawarkan dari luar. Sangat disayangkan jika wacana Pancasila belakangan ini mulai berkurang.
Mengingat berbagai potensi yang tersimpan di dalamnya, wacana nasional ini perlu untuk
dimunculkan kembali, dibangkitkan kembali dan digali terus nilai-nilainya agar terus berdialektika
dalam jaman yang terus bergulir. Untuk itu Pancasila harus bisa kita telaah secara analitis. Pancasila
dengan kekayaan nilainya sudah selayaknya digali, diperdalam, lalu dikontekstualisasikan lagi pada
perkembangan situasi kekinian yang kita hadapi; terlebih jika Pancasila benar-benar ingin diteguhkan
sebagai ideologi bangsa. Satu hal yang menjadi tanya atas Pancasila adalah bagaimana nilai-nilai
lokal tersebut diturunkan menjadi mode of production untuk menjawab kebutuhan pragmatis hari
ini.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Peran Pancasila sangat penting dalam menghadapi arus globalisasi. Karena Pancasila merupakan
sebuah kekuatan ide yang berakar dari bumi Indonesia untuk menghadapi nilai-nilai dari luar,
sebagai sistem syaraf atau filter terhadap berbagai pengaruh luar, nilai-nilai dalam Pancasila dapat
membangun sistem imun dalam masyarakat kita terhadap kekuatan-kekuatan dari luar sekaligus
menyeleksi hal-hal baik untuk diserap, dan sebagai sistem dan pandangan hidup yang merupakan
konsensus dasar dari berbagai komponen bangsa yang plural ini. Lewat Pancasila, moral sosial,
toleransi, dan kemanusiaan, bahkan juga demokrasi bangsa ini dibentuk. Pancasila seharusnya
dijadikan sebagai poros identitas untuk menghadapi bermacam identitas yang ditawarkan dari luar.
Tetapi sangat disayangkan jika wacana Pancasila belakangan ini mulai berkurang. Mengingat
berbagai potensi yang tersimpan di dalamnya, wacana nasional ini perlu untuk dimunculkan kembali,
dibangkitkan kembali dan digali terus nilai-nilainya agar terus berdialektika dalam jaman yang terus
bergulir. Untuk itu Pancasila harus bisa kita telaah secara analitis. SARAN Perlu ditanamkannya nilai –
nilai dalam Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat. Agar kita mampu memfilterisasi arus
globalisasi yang ada. Sesuaikah dengan nilai – nilai Pancasila. Pancasila dapat berperan dalam era
globalisasi apabila dari diri masing – masing sudah tertanam nilai – nilai luhur Pancasila. Tentu akan
percuma peran Pancasila dalam era globalisasi ini, apabila dalam diri sendiri tidak mempunyai
kesadaran akan pentingnya nilai – nilai Pancasila dalam kehidupan.

B. Saran – Saran
Sebagai warga Negara Indonesia kita wajib menghargai segala nilai-nilai yang terkandung dalam
pancasila, mengingat pancasila adalah falasah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersatu dan
berdaulat.

DAFTAR PUSTAKA

www.google.com www.wikipedia.org

Anda mungkin juga menyukai