Anda di halaman 1dari 11

Nama : Heri Christian Silitonga

NIM : 17.3200

Mata Kuliah : Dogmatika II

Dosen : Pdt. Efran Mangatas Sianipar, M.Th

UPAYA MENGHADIRKAN KEKRISTENAN YANG RAMAH DAN


PEMBAWA DAMAI TERHADAP PENGANUT AGAMA LAIN
(SUATU TINJAUAN THEOLOGI –DOGMATIS MENGENAI PLURALITAS
AGAMA DAN DIPERHADAPKAN DENGAN TEORI GEMEINSCHAFT
OLEH GEREJA HKBP KM 55)

I. PENDAHULUAN

Indonesia adalah sebuah bangsa yang kaya, baik dalam hal hasil alamnya, maupun
keberagaman suku, budaya, kepercayaan dan agama yang sangat banyak. Keberagaman suku,
budaya, kepercayaan dan agama adalah salah satu peluang menjadikan Indonesia menjadi
negara yang kuat, negara yang memiliki kesatuan yang utuh, negara yang ditakuti dan
disegani oleh negara lain, negara yang dapat dijadikan teladan bagi negara lain dan
sebagainya, apabila negara indonesia dapat hidup dengan rukun, hidup dengan damai secara
berdampingan, hidup dengan saling bergandengan tangan dalam hal bekerjasama di dalam
kepelbagaian yang ada.

Dewasa ini, kita sering melihat dan diperhadapkan oleh realitas yang tidak sesuai
dengan keinginan dan cita-cita bangsa, yaitu adanya kesatuan dan persatuan yang kuat
melalui kepelbagaian atau keberagaman yang ada, baik itu dari segi kepercayaan, suku,
budaya dan agama yang ada. Perubahan realitas ini ternyata dipicu oleh adanya
kesalahpahaman dalam melihat dan menyikapi pluralisme yang ada saat ini, yang secara tidak
langsung dapat meningkatkan potensi terjadinya konflik dan perpecahan, serta terjadinya
eskalasi kesalahpemahaman yang cenderung tinggi.1

Pluralitas agama bagi masyarakat Indonesia selain menjadi kekuatan juga dapat
melahirkan berbagai persoalan sosial. Pertentangan dan konflik sosial dapat saja muncul
1
Umi Sumbulah, Pluralisme Agama Makna dan Lokalitas Pola Kerukunan Antarumat Beagama, (UIN Maliki
Press: Malang 2013) 1
1
sewaktu waktu, manakala perbedaan-perbedaan yang di masyarakat tidak dapat dikelola
dengan baik. Masyarakat majemuk memang rawan konflik, begitupula konflik dalam
masyarakat majemuk dapat berlangsung terus menerus di setiap tempat dan waktu. Konflik
bersumber pada perbedaan-perbedaan. Setiap perbedaan pasti mempertahankan
eksistensinya. Apabila setiap pihak ingin mempertahankan eksistensi, berarti ikut
memperjuangkan kepentingannya agar tetap eksis dan diakui keberadaannya. Hal inilah yang
dapat melahirkan kerawanan.2

Eksistensi yang muncul dari adanya pluralitas ini tidak terlepas dari adanya perubahan
sosial yang terjadi dalam masyarakat. Hal ini dapat kita lihat dengan menurunnya rasa
keperdulian, rasa saling memiliki, ikatan sosial yang terbentuk atas dasar lokasi tempat
tinggal dan lain sebagainya. Dalam menanggapi permasalahan ini, penulis ingin menawarkan
kembali teori Gemeinschaft, yang menurut penulis teori ini dapat digunakan oleh Gereja
sebagai media dalam menjadikan orang-orang Kristen di dalamnya menjadi garam dan terang
dunia, dengan cara menyadarkan kembali bahwa di dalam kepelbagaian yang ada ternyata
kita memiliki ikatan sosial yang murni, yang bersifat alami, yang dahulunya sudah pernah
dipakai sebagai dasar untuk membuat kesatuan oleh nenek moyang kita.

BAB II. PEMBAHASAN

2.1 Gereja
Secara Etimologi kata Gereja berasal dari bahasa Yunani ekklesia yang berarti
dipanggil keluar (ek=keluar; klesia dari kata kaleo=memanggil). Maka kata ekklesia diartikan
sebagai kumpulan orang yang dipanggil keluar (dari dunia ini). 3 Gereja sebagai wadah atau
tempat berkumpul dan bersekutunya orang Kristen diharapkan dapat berperan dalam
menyatukan kembali masyarat di dalam kepelbagaiannya.

2.1.2 Deskripsi Singkat Gereja HKBP KM 55


Gereja HKBP KM. 55 berdiri pada tahun 2008, di mana pada awal berdirinya Gereja
dipimpin oleh St. J P. Lumbantoruan dan didukung oleh para Sintua lainnya. Sebelum
2
P. Paul Nganggung, Pendidikan Agama Dalam Masyarakat Pluralistik, dalam Th. Sumartana, Pluralisme,
Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia, (Jakarta: Interpedei, 2003), 257

3
Aripin Tambunan, “Perubahan Sosial: Masa depan Gereja”, Jakarta (Oktober 2019), 7 (Dikunjungi pada 30
November 2020, 08.15 PM)
2
berdirinya Gereja HKBP KM. 55 ini jemaat HKBP melakukan kegiatan ibadah yang
digabung dengan jemaat GBKP, GKPS dan lainya setiap hari Minggu di gedung Gereja
Oikumene PTPN V yang secara khusus didirikan untuk tempat para pekerja buruh yang
bertempat tinggal di sekitaran perkebunan PTPN V, dan pada tahun 2008 warga jemaat
HKBP membangun bangunan gedung Gereja sendiri yang sederhana dengan bahan bangunan
dari papan. Pelayan Tahbisan di Gereja HKBP KM 55 terdiri dari 1 orang Pendeta Uluan
Huria, 11 orang parhalado dan dua orang calon Parhalado. Gereja HKBP KM. 55 berada di
Desa Sawit Permai, Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, Provinsi Riau yang mayoritas
penduduknya beragama Islam, dan terdiri dari beberapa suku, seperti suku Melayu, Jawa,
Batak, Nias dan lain sebagainya.

2.2 Gemeinschaft Sebagai Upaya Mengembalikan Kesatuan Dalam Pluralitas Yang


Ada.
Gemeinschaft yang berasal dari kata dasar gemein+-schaft yang dalam bahasa
Jerman memiliki arti sebuah komunitas, baik itu yang terhitung maupun yang tidak
terhitung4, dan biasanya gemeinschaft bagi orang Indonesia lebih dikenal dengan istilah
paguyuban, yaitu bentuk kehidupan bersama yang anggotanya diikat oleh hubungan batin
yang murni, bersifat alami dan kekal.5
Dari penjelasan di atas, penulis berpendapat bahwa sudah seharusnya Gereja melihat
peluang ini sebagai salah satu kesempatan Gereja untuk mengingatkan kembali tentang
hakikat Gereja yang khas dan tidak dapat dijelaskan hanya sebagai sebuah komunitas yang
institutif, kaku, dan sekedar ditandai kumpulan orang yang memiliki kepentingan bersama,
namun Gereja adalah sebuah komunitas yang bersekutu, yaitu persekutuan yang dibangun
dan membangun (saling membangun)6.

2.3 Dasar Hukum Yang Membahas Dan Menjamin Pluralitas Agama

4
“Etimologi kata Gemeinschaft” https://www.google.com/search?
q=etimologi+kata+gemeinschaft&oq=etimologi+kata+gemeins&aqs=chrome.1.69i57j35i39.9350j1j7&sourceid
=chrome&ie=UTF-8
(dikunjungi: Senin, 5 Oktober 2020, pkl. 10.30).
5
Dio Bastiawan, “Gereja dan Pelayanan Tim: Melihat Pelayanan Tim Sebagai Sebuah Model Pelayanan
Gerejawi Dalam Perspektif Koinonia”, Yogyakarta (Januari 2017), 8,
(Dikunjungi pada 30 November 2020, 10.00 PM.)
6
Aripin Tambunan dalam tulisannya Perubahan Sosial: Masa Depan Gereja Oktober 2019, mengatakan bahwa
gemeinschaft sebagai sebuah komunitas pada masyarakat pra modren yang dibangun berdasarkan norma-
norma yang tidak tertulis dan setiap individu diikat dalam jalinan saling kebergantungan mulai dari keluarga,
kerja dan aspek kesenangan lainnya.
3
Undang-undang 1945 pasal 29 ayat 2 sebagai dasar hukum yang pertama adalah
pedoman bagi kita untuk tidak takut dalam beragama dan memeluk kepercayaan tanpa
adanya paksaan dan tekanan dari pihak manapun. Selanjutnya lahirnya Undang-undang
No.1/PNPS/ Tahun 1965 yang meneguhkan posisi agama dalam negara indonesia dan
sekaligus bukti pengakuan negara terhadap eksistensi agama-agama. Undang-undang ini juga
sekaligus menjamin perlindungan negara terhadap agama akan upaya-upaya penodaan atau
pelecehan. Kemudian Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama
No. 1 Tahun 1969, juga SKB Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No1/Tahun 1979
dapat dilihat sebagai tanggungjawab pemerintah untuk menghindari konflik dan memelihara
kerukunan umat beragama.7 Jika di lihat dari banyaknya dasar hukum yang sudah dikeluarkan
pemerintah terkait kebebasan dalam memeluk kepercayaan dan agama, maka seharusnya
pluralitas dan kepelbagaian yang ada saat ini tidak menjadi halangan atau hambatan bagi kita
untuk saling merangkul dan bersatu kembali seperti pada zaman penjajahan dahulu yang
tanpa melihat suku, ras, dan agama mau bersatu untuk membebaskan diri dari para penjajah.

2.4 Pluralitas Agama Menurut Pandangan Konfessi HKBP 1951 & 1996

Pada Pengakuan Iman HKBP tahun 1996 terdapat dua penambahan pengakuan yang
bentuknya disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Dua dari tiga pengakuan yang
ditambahkan, menurut hemat penulis sangat berkaitan dengan isu Pluralitas agama saat ini.
Pada pasal tiga redaktur beserta tim penyusunnya menambahkan pembahasan mengenai
manusia. Adapun manusia menurut Konfessi HKBP yaitu ciptaan Allah, yang memiliki akal
dan pikiran sebagai kelebihannya dari ciptaan yang lain, selain itu manusia yang
digambarkan menurut gambar-Nya, baik itu laki-laki maupun perempuan diciptakan dengan
martabat yang sama dan juga memiliki tugas yang sama, yaitu untuk mengolah, memelihara
dan menguasai seluruh ciptaannya. Dari pemahaman di atas dapat kita pahami bahwa
ternyata semua manusia adalah ciptaan Allah, dan Allah memang sengaja menciptakan
manusia dengan kepelbagaian yang ada dengan tujuan yang sama yaitu menjaga dan
mengolah alam sekitar.8

Pada pasal ke-4, Konfessi HKBP juga menambahkan pembahasan mengenai


masyarakat. Masyarakat dipahami sebagai sekelompok orang yang memiliki berbagai

7
Frans Magnis- Suseno SJ, Ahmad Syafii dkk, Agama, Keterbukaan dan Demokrasi: Harapan dan Tantangan
(Jakarta Selatan: Pusat Studi Agama dan Demokrasi Yayasan Paramadina, 2015) 72-75
8
Pengakuan Iman HKBP Tahun 1951 & Tahun 1996 (Pematangsiantar: Percetakan HKBP Pematangsiantar,
2013) 128-129
4
perbedaan di dalamnya. Dalam pasal ke-4 ini kita di ajak untuk mempercayai dan
menyaksikan bahwa: seluruh manusia adalah satu kesatuan di hadapan Allah (Kejadian 1:27)
tanpa membeda-bedakan antara hak dan kewajiban dari laki-laki dan perempuan. Pada pasal
ini kita juga diingatkan akan pentingnya iman dan tanggungjawab kita dalam masyarakat
Indonesian yang majemuk dalam melayani orang miskin, yang sakit, yang melarat, yang
terbelakang, orang bodoh, korban ketidakpastian hukum (penyelewengan hukum), dan kita
juga ditekankan untuk saling menghargai dalam kepelbagaian yang ada di dalam masyarakat
yang majemuk ini. 9

2.5 Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Pluralitas Agama Menjadi Pemicu Terjadinya


Konflik

Ada banyak faktor yang menjadikan Pluralitas Agama sebagai pemicu terjadinya
konflik, di antaranya yaitu: terjadinya perubahan realitas, perubahan tanda dan makna, serta
perubahan penafsiran, yang mendorong perubahan pada perilaku masyarakat dalam bidang
sosial, ekonomi, moral dan agama. Pada bidang sosial, perilaku masyarakat yang berubah
dapat terlihat dari ikatan sosial yang dibangun. Ikatan sosial telah dibangun berdasarkan
kontrak sosial yang melihat segala sesuatu dari kaca mata uang/modal (nilai uang), sehingga
tidak ada lagi tenggang rasa dan kerja sosial yang murni.

Hilangnya ikatan sosial atau rasa saling membutuhkan yang sebelumnya sudah
diwariskan oleh para orang tua dahulu juga disebabkan oleh beberapa orang yang memiliki
kepentingan tertentu, yang dengan sadar dan sengaja menggunakan agama sebagai kendaraan
politiknya untuk dapat memecah belah orang-orang atau masyarakat dari agama lain, dan
sebagai alat untuk menimbulkan kebencian di antara sesama manusia.10

Menurut Azyumardi Azra dalam bukunya Memahamai Hubungan Antaragama


(2007), menegaskan bahwa konflik yang terjadi antara pemeluk agama saat ini adalah akibat
dari kesalahan fatal pengajaran dan sikap keagamaan yang ditunjukan oleh masing-maisng
pemeluknya.11 Sebab menurutnya, banyak faktor lain yang lebih mendukung terjadinya
konflik dan kekerasan, seperti faktor ekonomi, sosial, sikap elit agama, dan lain-lain. Namun
jika pangatasnamaan agama dalam konflik dan kasus-kasus kekerasan tersebut didasarkan
pada kesalahan dalam menginterpretasi dan memahami ajaran agama, maka jelas hal tersebut
9
Pengakuan Iman HKBP Tahun 1951 & Tahun 1996,, 130-131
10
Ulfat Aziz Us Samad “The Great Religion of the World” Peshawar (Juni 1990) 6,
(Dikunjungi pada 30 November 2020, 10.30 PM.)
11
Azyumardi Azra, Memahami Hubungan Antaragama, (Jogjakarta: eLSAQ PRESS, 2007) 126
5
berhubungan dengan pendidikan. Artinya pendidikan (dalam hal ini pendidikan agama) juga
dapat dikatakan gagal dalam memenuhi fungsi dan perannya untuk mencetak manusia yang
beragama secara benar, saling menghargai dan menghormati antarsesama umat beragama.

2.6 Upaya Atau Peran Gereja HKBP KM 55 Dalam Menghadirkan Gereja Yang
Ramah Dan Pembawa Damai Terhadap Penganut Agama Lain
Siak yang terletak di Provinsi Riau merupakan salah satu kabupaten yang memiliki
budaya, etnis, adat istiadat bahkan agama yang plural. Dari sisi agama, di daerah ini terdapat
enam agama besar yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Budha, Hindu, dan Konghucu.
Selama ini konflik sosial yang di latarbelakangi agama memang belum pernah terjadi, namun
kerukunan yang ada jika tidak terus dibina, maka konflik bisa saja terjadi. Sebab pluralitas
dimanapun dan kapanpun selalu berpotensi menimbulkan konflik dan perpecahan. Oleh
karena itu untuk mengatasi konflik yang kapan saja bisa terjadi, maka peran Gereja sangat
dibutuhkan untuk senantiasa menjaga dan membina kerukunan umat beragama di daerah ini.

Gereja HKBP KM 55 melalui Pimpinan jemaat dan para Parhalado beserta seluruh
warga jemaat di dalamnya menurut pengamatan penulis selalu berusaha untuk bersikap
ramah dan menjadi pembawa damai bagi penganut agama lainnya. Hal ini penulis katakan
karena berdasarkan pengamatan penulis selama mengikuti kegiatan Praktik Lapangan 1 di
Gereja HKBP KM 55 selama kurang lebih dua bulan, dan penulis juga melihat adanya upaya
atau peran yang selalu dilakukan Gereja dalam hal menyikapi pluralitas yang ada. Seperti
yang dikatakan oleh Azyumardi Azra, dalam bukunya Memahamai Hubungan Antaragama
(2007), penulis setuju bahwa pluralitas ini adalah sebuah anugrah dari Allah kepada manusia
(jika dalam pemahaman yang benar), namun untuk sampai kepada pemahaman yang benar
mengenai pluralitas agama ini dibutuhkan adanya pendidikan atau ajaran agama yang baik
oleh lembaga keagamaan, seperti Mesjid dan gereja sebagai contohnya. Untuk sampai kepada
pemahaman yang benar tersebut, maka Gereja melalui Pemimpin Jemaat dan para parhalado
harus dengan serius memberikan pendidikan atau ajaran yang benar kepada para warga
jemaatnya, dan hal ini dapat dilakukan melalui Khotbah-Khotbah pada saat peribadahan,
memberikan pertemuan kepada warga jemaat dalam rangka membahas masalah pluralitas
yang terjadi pada saat ini sebagai contoh pembunuhan empat orang yang beragama Kristen di
Sigi, Palu, Sulawesi Selatan, serta pembakaran Pos Pelayanan Gereja Bala Keselamatan yang
di lakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab 12, namun di dalam pertemuan
12
https://kabar24.bisnis.com/read/20201128/15/1323795/pembantaian-di-palu-4-orang-tewas-dan-tempat-
ibadah-dibakar-pihak-gereja-minta-perlindungan
6
tersebut gereja tidak mengadudomba atau menghasut agar warga jemaatnya menjadi benci
dan dendam terhadap agama lain, melainkan mendoakannya baik itu para korban maupun
tersangka atau pelaku kejahatan agar dia dapat tersadar akan perbuatannya dan kembali ke
jalan yang benar.

Dewasa ini salah satu faktor yang menghambat atau yang mempersulit Gereja HKBP
KM 55 dalam menghadirkan gereja yang ramah bagi penganut agama lain, yaitu hilangnya
kesadaran dari para warga jemaat gereja dalam hal melihat keberadaan agama lain sebagai
saudara “sesama manusia” yang memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama, yaitu untuk
mewujudkan keadilan, perdamaian dan bahkan keutuhan ciptaan, 13 yang disebabkan oleh
hilangnya ikatan sosial atau rasa saling membutuhkan, saling memiliki dan lainnya yang
dahulu sudah menjadi ciri khas dari bangsa kita yang terkenal kuat akan kesatuannya dan
keperduliannya di antara sesama umat manusia tanpa memandang suku, ras dan budaya yang
beragam. Untuk itu penulis menawarkan kepada Gereja khususnya Gereja HKBP KM 55
agar dalam rangka mempersatukan kembali, mempererat kembali hubungan warga jemaat
dengan masyarakat di luar gereja di dalam kepelbagaiannya khususnya pluralitas agama yang
saat ini menjadi isu penting, agar gereja melalui para parhalado dan pimpinan jemaat dapat
menyadarkan kembali akan pentingnya kesatuan di antara umat beragama melalui ikatan
sosial dalam teori gemeinschaft. Salah satu tujuan penulis agar teori gemeinschaft ini dipakai
kembali ialah karena menurut penulis teori ini secara tidak langsung mengajarkan kepada kita
sebuah kasih yang benar, kasih yang tidak hanya kepada sesama anggota jemaat gereja saja,
namun juga kepada penganut agama lain tanpa ada paksaan, sama seperti kasih yang
diajarkan oleh Tuhan Yesus dalam Matius 22:39 yang isinya “dan hukum yang kedua yang
sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”. Dan teori
gemeinschaft ini juga mengajarkan kepada kita bagaimana menyikapi pluralitas agama yang
ada, yaitu dengan adanya rasa saling memiliki, saling membutuhkan, dan lainnya maka
secara tidak langsung kemungkinan terjadinya konflik akan dapat diatasi dengan adanya
toleransi yang secara tidak kita sadari akan tumbuh dan berakar di dalam pribadi kita masing-
masing.

Gereja HKBP KM 55 sudah saatnya kembali menjadi penggerak bagi warga


jemaatnya dalam melestarikan atau menghidupkan kembali teori gemeinschaft ini, yaitu

(Dikunjungi pada 30 November 2020, 11.30 PM.)


13
Catatan Kuliah Theologi Kontekstual oleh Bapak Pdt. Victor Tinambunan pada pertemuan ke-2, Selasa 8
September 2020
7
dengan mengajak mereka turut serta dalam hal saling tolong menolong, saling menghargai
baik itu pendapat maupun keberadaan agama lain, bersikap ramah, mau bekerjasama, dan
yang terpenting ialah mengajarkan mereka untuk selalu mendoakan saudara-saudara yang
mengalami penindasan akibat konflik antar agama dan para penindasnya agar segera sadar
dan kembali ke jalan yang benar.

III. REFLEKSI

Pluralitas adalah sebuah anugrah dari Allah kepada kita bangsa Indonesia, di dalam
pluralitas kita dapat melihat bahwa ternyata Tuhan dengan sengaja menciptakan kita manusia
dengan berbagai kepelbagaian yang ada. Kepelbagaian yang ada itu diciptakan Tuhan untuk
menunjukkan bahwa Tuhan itu adalah Esa, Tuhan itu Maha Besar, Tuhan itu Maha Pencipta,
dan melalui kepelbagaian itu kita juga diingatkan bahwa ternyata di dalam dunia ini Tuhan
tidak hanya menciptakan kita yang beragama Kristen saja, namun sebaliknya, semua manusia
adalah sama, yaitu sama-sama ciptaan yang segambar dan serupa dengan Allah atau yang
disebut dengan Imago Dei. Tuhan menciptakan pluralitas kepada manusia bukanlah secara
kebetulan tanpa memiliki tujuan yang jelas, namun Tuhan menciptakan pluralitas dengan
tujuan agar manusia di dalam kepelbagaiannya dapat secara bersama-sama bertanggungjawab
untuk mewujudkan keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan.

Sebagai calon Theolog dan pemimpin di tengah-tengah jemaat, sudah saatnya kita
menyadari akan pentingnya menjaga kesatuan dan persatuan di tengah Pluralitas agama yang
ada saat ini, karena kita tidak tahu apakah kelak ketika kita menjadi pemimpin di gereja, kita
dapat mengatasi konflik yang mungkin saja dapat terjadi akibat pluralitas dan
ketidakpahaman yang ada di tengah-tengah masyarakat yang majemuk.

Ada banyak bentuk tindakan aksi yang dapat kita lakukan untuk menjadikan gereja
yang ramah dan pembawa damai dan secara tidak langsung apabila gereja sudah dapat
melakukannya, maka kita sebagai pemimpin jemaat beserta para parhalado dan seluruh warga
jemaat sudah melakukan perintah Tuhan, khususnya dalam Matius 5:13-16 yang
mengingatkan kita bahwa di dalam kehidupan ini hendaklah kita menjadi garam dan terang
dunia, yang dapat memberikan rasa atau bumbu kepada makanan agar makanan itu tidak
hambar dan cepat menjadi basi, dan begitupula dengan fungsi terang yang dapat membantu
banyak orang untuk menerangi gelapnya malam dan banyak fungsi lainnya.

8
Melalui adanya pluralitas ini, kita juga diingatkan Tuhan untuk tidak lupa pada
hukum yang kedua, yaitu mengasihi sesama manusia. Seperti yang tertulis dalam 1 Yohanes
4:10-11, kita diingatkan bahwa Allah telah mengasihi kita umat manusia dengan mengutus
anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita, maka sekarang hendaklah kita saling
mengasihi di antara sesama manusia. Kata mengasihi sesama manusia di sini tidak hanya
ditunjukkan kepada sesama umat Kristen maupun sesama gereja saja, namun kata mengasihi
di sini lebih ditekankan kepada saudara-saudara kita yang memliki agama dan kepercayaan
yang berbeda dari kita.

IV. KESIMPULAN

Pluralitas agama adalah salah satu dari banyaknya kekayaan yang di miliki oleh
negara Indonesia. Pluralitas agama sering dipakai oleh beberapa orang dan kelompok sebagai
alat kendaraan untuk memecah-belah persatuan dan kesatuan di Indonesia ini. Selain untuk
kepentingan politik, ada banyak faktor lain yang dapat membuat pluralitas agama sebagai
pemicu terjadinya konflik dan permasalahan, dan salah satunya yaitu hilangnya rasa
persaudaraan dan ikatan sosial yang sebelumnya sudah di miliki oleh bangsa kita ini.

Gereja sebagai wadah persekutuan umat percaya dalam melihat dan menanggapi
bahwa pluralitas agama yang saat ini sudah mulai tidak sesuai dengan tujuan Allah dalam
menciptakannya, harus dapat mengambil langkah untuk memperbaiki pemahaman para warga
jemaat dan masyarakat sekitar yang sebelumnya sudah salah. Walaupun sebenarnya gereja
tidak dapat banyak berperan dalam hal mengembalikan persatuan dan persaudaraan yang
telah memudar, namun Gereja HKBP KM 55 melalui pimpinan jemaat dan para parhalado
tetap berusaha agar persatuan dan persaudaraan itu dapat tumbuh kembali, atau agar
setidaknya konflik yang dapat terjadi akibat isu pluralitas agama ini dapat dihambat dengan
dilakukannya atau diberikannya pemahaman yang benar kepada warga jemaat melalui
program-program yang sudah disediakan. Penulis juga menawarkan agar kiranya gereja dapat
menumbuhkan kembali teori gemeinschaft yang sebelumnya sudah dipakai, dengan tujuan
agar sesama umat beragama memiliki rasa keterikatan, baik itu secara lokasi wilayah dan
sebagainya, memiliki rasa tanggungjawab bersama, memiliki rasa saling membutuhkan dan
lain sebagainya.

9
DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, Memahami Hubungan Antaragama, Jogjakarta: eLSAQ PRESS, 2007

Bastiawan, Dio, “Gereja dan Pelayanan Tim: Melihat Pelayanan Tim Sebagai Sebuah Model
Pelayanan Gerejawi Dalam Perspektif Koinonia”, Google Scholar, Yogyakarta (2017), 8,

Nganggung, P, Paul, Pendidikan Agama Dalam Masyarakat Pluralistik, dalam Th.


Sumartana, Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia, Jakarta: Interpedei,
2003

Pengakuan Iman HKBP Tahun 1951 & Tahun 1996 Pematangsiantar: Percetakan HKBP
Pematangsiantar, 2013

Samad, Ulfat Aziz Us, “The Great Religion of the World” Google Schoolar, Peshawar (1990)
6,
10
Sumbulah, Umi, Pluralisme Agama Makna dan Lokalitas Pola Kerukunan Antarumat
Beragama, Malang: UIN Maliki Press, 2013

Suseno, Frans, Magnis SJ, Syafii, Ahmad dkk, Agama, Keterbukaan dan Demokrasi:
Harapan dan Tantangan, Jakarta Selatan: Pusat Studi Agama dan Demokrasi Yayasan
Paramadina, 2015

Tambunan, Aripin, “Perubahan Sosial: Masa depan Gereja”, Google Scholar, Jakarta, (2019),
7

Sumber Internet

https://kabar24.bisnis.com/read/20201128/15/1323795/pembantaian-di-palu-4-orang-tewas-
dan-tempat-ibadah-dibakar-pihak-gereja-minta-perlindungan
(Dikunjungi pada 30 November 2020, 11.30 PM.)

https://www.google.com/search?
q=etimologi+kata+gemeinschaft&oq=etimologi+kata+gemeins&aqs=chrome.1.69i57j35i39.9
350j1j7&sourceid=chrome&ie=UTF-8
(Dikunjungi: Senin, 5 Oktober 2020, pkl. 10.30).

11

Anda mungkin juga menyukai