Anda di halaman 1dari 6

Tugas

Budaya Lokal

Nama :
1. Pela

Pela adalah adalah sejarah hidup orang Maluku, khususnya Maluku Tengah, yang di
dalamnya terkandung penghayatan akan nilai-nilai relasi antar manusia, baik yang diawali
dengan atau tanpa ketegangan. Pela merupakan penciptaan relasi yang bersifat komunal dan
bukan personal. Dilihat dari sejarah terjadinya pela maka pela dapat dikatakan merupakan
solusi dalam menghadapi ketegangan dan persoalan-persoalan hidup dengan menekankan
perbaikan relasi antar manusia. Menurut bahasa asli negeri-negeri di Maluku Tengah, pela
memang bisa diartikan sebagai „sahabat (sahabat yang dipercaya)“ atau „saudara“, karena
mereka yang berada di dalam ikatan pela menganggap satu dengan yang lain, tanpa
memandang usia dan kedudukan, sebagai sahabat, bahkan lebih dari sekedar sahabat yaitu
sebagai saudara. Pela juga dapat diartikan sebagai „selesai“, „sudah berakhir“ atau
„berhentilah“. Hal ini bisa dikaitkan dengan berakhirnya ketegangan, termasuk peperangan
antar negeri, atau persoalan di dalam sebuah negeri atau di antara negeri-negeri dan mereka
mengikat diri dalam hubungan pela. Yang pasti orang Maluku hampir tidak pernah berusaha
mencari arti sesungguhnya dari pela. Mereka hanya memahami pela sebagai sebuah nama
dari ikatan atau hubungan yang dibangun antara dua (atau lebih) negeri. 1 Contohnya saja
hubungan Pela negeri Hatu dan Wakasihu. Pela ikatan dengan Hatu Negri, dijelaskan bahwa
landasan sejarah mereka berasal dari peristiwa masa lalu yaitu perang antar negara, akhirnya
menemukan titik perdamaian dari kedua belah pihak, yang kemudian meminum darahnya
sebagai sumpah adat untuk mengikat. Pela dalam masyarakat Wakasihu dan Negri Hatu
adalah Pela Dara. Tak hanya itu, Negri Wakasihu juga memiliki Pela Arumbai. Pela ini
terbentuk secara historis; leluhur pertama kali bertemu orang-orang dari negara lain dan
kemudian menjadi akrab.2

2. Gandong

Gandong (berasal dari kata kandung atau kandungan) dan pela pada dasarnya berbeda.
Namun pada masa kemudian sering disamakan saja. Bahkan ada yang menggolongkan
gandong juga sebagai salah satu bentuk pela. Jika dua (atau lebih) negeri memiliki hubungan
gandong hal itu karena mereka merasa memiliki asal usul yang sama, yaitu berasal dari satu
keturunan, dari nenek moyang yang sama. Orang Ouw di Saparua, misalnya, menggap orang
Sei di pulau Ambon sebagai gandong mereka karena merasa bahwa mereka berasal dari satu
garis keturunan. Jika kemudian kampung Ouw menjadi kampung Kristen dan kampung Sei
menjadi kampung Islam itu merupakan perkembangan yang kemudian, ketika agama Kristen
masuk ke Maluku dan dianut oleh penduduk setempat. Namun mereka percaya bahwa
sebelum mereka mendiami wilayah mereka masingmasing, mereka berasal dari tempat yang
1
Dicky Hastjarjo, ‘Sekilas Tentang Kesadaran (Consciousness)’, Jurnal Buletin Psikologi, 13.2 (2015), 79–90.
2
Umi Azizah and others, ‘Defending The Country on The Movement of The Younger Generation in Lafran
Pane’s Perspective’, Karsa: Journal of Social and Islamic Culture, 29.2 (2021), 56–77
<https://doi.org/10.19105/karsa.v29i2.3203>.
sama, khususnya dari garis keturunan yang sama. Perempuan atau laki-laki dari negeri-negeri
gandong tidak boleh saling mengawini. Itu merupakan salah satu larangan untuk hubungan
gandong. Larangan dan sanksi-sanksi dalam hubungan gandong hampir mirip dengan
larangan-larangan dan sanksi-sanksi dalam hubungan pela. Karena itu orang seringkali
menyebut pela-gandong, walaupun keduanya merupakan dua hubungan kekerabatan yang
latar belakang pembentukannya berbeda satu dengan yang lain. Namun ada juga ahli, seperti
Dieter Bartels, yang menyamakan gandong dengan pela, dengan memasukkannya ke dalam
bentuk pela adik-kakak atau pela saudara, seperti hubungan antara negeri Aboru, Kariu, Booi
dan Hualoi, dan juga antara negeri Kulur dan Oma.

3. Ain ni Ain

Ain ni Ain merupakan falsafah hidup yang sangat berperan penting dalam kehidupan
masyarakat di Kepulauan Kei. Fungsinya adalah untuk menyatukan kemajemukan (sosial dan
agama) masyarakat Kepulauan Kei yang telah terwariskan sejak dulu. Ain ni Ain secara
holistik dimaknai sebagai persatuan. Makna ini sejalan dengan sila ketiga Pancasila yakni
Persatuan Indonesia yang berfungsi untuk menyatukan masyarakat Indonesia yang majemuk.
Ain dalam bahasa Kei artinya “satu”, namun bukan tunggal tetapi jamak. Dalam perhitungan
masyarakat Kei, satu (tunggal) adalah “Sa” yang dalam perhitungan selalu disebut: ain sa, ain
ru, ain tel (satu-satu=satu, satu-dua=dua, satu-tiga=tiga, dan seterusnya); sedangkan Ni
berarti “punya atau memiliki”. Berdasarkan terminologi tersebut, maka Ain ni Ain berarti
“satu memiliki satu”. Individu atau kelompok orang menempatkan/memandang orang lain
(liyan) sebagai saudaranya. Makna lain adalah, ain yang sudah ada (yang asli) menempatkan
dan menerima ain “yang datang” sebagai saudaranya, bahkan sebagai saudara kandung.
Makna Ain ni Ain atau “satu memiliki satu” masih terus dipraktekan dalam kehidupan
masyarakat Kepulauan Kei. Hal ini tergambar melalui wawancara para informan yang sudah
dipaparkan pada bagian awal tulisan ini. Masyarakat Kepualaun Kei menjadikan falsafah Ain
ni Ain sebagai dasar bagi kehidupan bersama dalam kemajemukan, seperti saling membantu
antara satu dengan yang lain. Lebih daripada itu, maka falsafah hidup masyarakat Kepulauan
Kei ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk membangun kehidupan bersama dalam perbedaan
oleh masyarakat Kepulauan Kei, Maluku Tenggara. Makna Ain ni Ain tidak hanya menjadi
slogan dan symbol budaya, tetapi juga berhasil digunakan untuk merekonsiliasi konflik yang
terjadi di Kepulauan Kei. Konflik kepentingan yang mengatasnamakan agama yang terjadi
tahun 1999 di Maluku, turut memporak-porandakan tatanan sosial masyarakat, termasuk di
Kepulauan Kei. Namun, Ain ni Ain sebagai falsafah hidup bersama (kekeluargaan)
merupakan modal sosial yang berhasil untuk mempersatukan dan mendamaikan keragaman
(agama, bahasa dan sosial) yang ada. 3

4. Cuci Negeri

3
Weldemina Yudit Tiwery, ‘Larvul Ngabal Dan Ain Ni Ain Sebagai Pemersatu’, Sodality: Jurnal Sosiologi
Pedesaan, Vol 6 No 1 (2018), 8–15.
Cuci Negeri di Maluku merupakan kearifan lokal yang dilaksanakan setahun sekali dalam
sebuah upacara adat dengan tahapan pelaksanaan yang mengandung makna sejarah
terbentuknya negeri, juga menggambarkan relasi manusia dengan lingkungan alam untuk
menjaga keseimbangan ekosistem sebagai sumber kehidupan bersama dalam membangun
hidup berkelanjutan. Namun seiring dengan perkembangan zaman, cuci negeri semakin
lemah bahkan menghilang dalam tatanan masyarakat adat. Cuci negeri sarat dengan nilai-
nilai historis dan sosial budaya yang telah teruji melalui proses panjang bersama masyarakat.
Kearifan lokal cuci negeri berisi nilai-nilai kepedulian lingkungan, demokrasi, religi,
tanggung jawab, nilai gotong royong/kerjasama atau di Maluku lebih di kenal dengan istilah
Masohi. Cuci negeri mengandung nilai-nilai kebaikan untuk hidup bersama seperti nilai
persaudaraan, kekeluargaan persatuan dan kesatuan.4 Contohnya salah satu tradisi atau
upacara yang menunjukkan identitas adatis anak negeri di Pulau Ambon, khususnya beberapa
negeri di Leitimur, adalah cuci negeri. Negeri Soya dan negeri Hukurila adalah dua negeri
yang selama ini melakukan tradisi tersebut secara rutin setiap tahunnya. Inti dari tradisi cuci
negeri di kedua negeri ini sama, yaitu menjaga keseimbangan alam sebagai ruang kehidupan
bagi manusia. Alam harus terus dijaga karena ada ketergantungan yang sangat besar terhadap
alam sebagai sumber kehidupan. Penjagaan alam itu dilakukan dalam bentuk kerja bakti
terhadap wilayah-wilayah yang dianggap potensial dalam menjaga kestabilan alam, baik itu
yang sifatnya fisik seperti mata air, hutan, pemukiman dan sebagainya, atau juga yang
bersifat psikis dalam hubungan dengan nilai-nilai ritual masyarakat. Namun jika ditilik lebih
jauh, terdapat perbedaan khususnya dalam sistem adatis mereka. Sistem pengetahuan adatis
Negeri Soya dalam penyelenggaraan upacara cuci negeri didasari oleh para leluhur di waktu
dahulu memilih pelaksanaan upacara adat tersebut tepat di bulan Desember, saat permulaan
musim barat (waktu bertiup angin darat). Sehabis musim timur/hujan, biasanya keadaan yang
diakibatkan selama musim hujan itu sangat banyak, antara lain : tanah longsor, rumah-rumah
bocor, pagar dan jembatan rusak, sumur-sumur menjadi kotor dan banyak lagi hal-hal lain
yang harus dibersihkan, dibetulkan, diperbaharui. Selain itu dalam keyakinannya, mereka
percaya bahwa dengan bertiupnya angin barat, akan membawa serta datuk-datuk. Bagi
mereka, pada saat itu arwah leluhur biasanya kembali dari tempat-tempat peristirahatannya ke
tempat-tempat dimana mereka pernah hidup.5

5. Sasi Adat

Definisi sasi berasal dari kata “sanksi” yang artinya larangan. Sasi merupakan larangan
pemanfaatan sumber daya alam di darat maupun di laut dalam jangka waktu tertentu yang
dimaksudkan untuk kepentingan ekonomi masyarakat. Sasi juga dapat diartikan dengan
larangan untuk mengambil dan merusak sumber daya alam tertentu dalam jangka waktu
tertentu untuk menjaga kelestarian sumber daya alam. Sasi memiliki aturan-aturan dan tata
4
Bety D.S Hetarion, Yosina Hetarion, and Vando Makaruku, ‘Implementasi Pendidikan Karakter Berbasis
Kearifan Lokal Cuci Negeri Dalam Pembelajaran IPS’, JTP - Jurnal Teknologi Pendidikan, 22.1 (2020), 1–12
<https://doi.org/10.21009/jtp.v22i1.15328>.
5
Agustinus O Lopuhaa and A Watloly, ‘CUCI NEGERI DAN TINDAKAN BERTEOLOGI: Analisis
Interpenetrasi Agama Dalam Praktek Adat Di Hukurila’, ARUMBAE: Jurnal Ilmiah Teologi Dan Studi Agama,
1.1 (2019), 1–13 <https://doi.org/10.37429/arumbae.v1i1.178>.
cara pelaksanaan, pemanfaatan, pemeliharaan, pengawasan sehingga keseimbangan
lingkungan terjaga dan sumber daya alam yang yang ada di dalamnya dapat dimanfaatkan
oleh generasi berikutnya. Hukum adat ini mengajarkan bahwa manusia hendaknya
mempertahankan kelangsungan makhluk hidup lain dan tidak menggunakan sumber daya
alam secara berlebihan yang dapat mengakibatkan terganggunya keseimbangan alam. Sasi
dapat memiliki nilai hukum, karena memiliki norma dan aturan yang berhubungan dengan
cara, kebiasaan, tata kelakuan dan adat yang memuat unsur etika dan norma.Tidak ada
catatan sejarah yang pasti, tentang kapan diberlakukan sasi, namun diyakini praktek sasi
sudah ada sejak dahulu kala. Aturan adat ini menjadi komitmen atau perjanjian mengenai
pemeliharaan dan pemanfaatan sumber daya alam antara kepala adat, tokoh masyarakat dan
masyarakat desa/kampung tersebut. Sebagai praktek konservasi sumber daya alam yang
bersifat tradisional, sasi telah dilakukan secara turun-temurun di berbagai wilayah Kepulauan
Maluku dan meluas sampai wilayah Papua Barat. Sasi yang ada di Kepulauan Maluku terdiri
dari wilayah Halmahera, Ternate, Buru, Seram, Ambon, Kep. Lease, Watubela, Banda, Kep.
Kei, Aru dan Kep. Barat Daya dan Kep. Tenggara di bagian barat daya Maluku. Sasi juga
memiliki nama lain, yakni Yot di wilayah Kei Besar dan Yutut di wilayah Kei Kecil.6

6. Makan Patita Adat (Oma)

Makan Patita Adat tidak dapat dipisahkan dari kosmologi masyarakat Maluku terkhususnya
di Oma dan memiliki tindakan simbolik yang bermakna. Bahkan, simbol menjadi penanda
yang membedakan mereka dari masyarakat lain karena melalui simbol atau ritual itu,
masyarakat Oma membangun relasi dengan Tuhan, para leluhur, sesama dan alam semesta.
Makan Patita Adat yang dilakukan oleh negeri Oma ini yaitu merupakan sebuah tradisi yang
diwariskan secara turun temurun, dianggap sebagai sakral atau suci, dan dilakukan oleh
masing-masing Soa. Tujuan pelaksanaan tradisi ini yaitu agar masyarakat dapat hidup dengan
rukun dan damai. Ada 4 Soa di dalam negeri Oma, yaitu Soa Pari, Soa Latu Ey, Soa Tuni dan
Soa Latu/Raja. Soa Pari memulai dengan tahapan teriakan anak-anak kepada Om-Om bahwa
mereka lapar, teriakan itu diberi respon oleh Om-Om, membuat kesepakatan, persiapann,
pelaksanaan yaitu puncaknya, dan terakhir doa syukur. Kedua Soa Latu Ey, diawali dengan
teriakan anak-anak kepada Om-Om, direspon, musyawarah, persiapan, pelaksanaan makan
patita adat, dan berdoa sebagai ucapan syukur. Ketiga Soa Tuni, diawali dengan teriakan
anak-anak kepada Om-Om bahwa mereka lapar, direspons, musyawarah, persiapan,
pelaksanaan makan patita adat, dan ditutup dengan doa syukur. Terakhir Soa Latu/Raja,
diawali dengan teriakan anak-anak kepada Om-Om, direspons, pertemuan, persiapan,
pelaksanaan dan diakhiri dengan doa syukur. Setelah semua selesai makan, mereka pergi ke
Baileo untuk doa, dilanjutkan dengan mara dansa/acara resepsi dan tamah yang dilakukan
pada malam hari diikuti oleh kapata/pemberian nasihat oleh para tetua adat, setelah itu

6
N.P.R Persada, F.M. Mangunjaya, and I.S.L Tobing, ‘Sasi Sebagai Budaya Konservasi Sumberdaya Alam Di
Kepulauan Maluku’, Jurnal Ilmu Dan Budaya, 41.59 (2018), 6869–6900
<http://dx.doi.org/10.47313/jib.v41i59.453>.
dilanjutkan dengan tari-tarian untuk memeriahkan acara Makan Patita Adat yang melibatkan
semua orang muda maupun yang sudah tua.7

Daftar Pustaka

Azizah, Umi, Djono Djono, Akhmad Arif Musadad, and Eko Ariwidodo, ‘Defending The Country on
The Movement of The Younger Generation in Lafran Pane’s Perspective’, Karsa: Journal of
Social and Islamic Culture, 29.2 (2021), 56–77 <https://doi.org/10.19105/karsa.v29i2.3203>

Hastjarjo, Dicky, ‘Sekilas Tentang Kesadaran (Consciousness)’, Jurnal Buletin Psikologi, 13.2
(2015), 79–90

Hetarion, Bety D.S, Yosina Hetarion, and Vando Makaruku, ‘Implementasi Pendidikan Karakter
Berbasis Kearifan Lokal Cuci Negeri Dalam Pembelajaran IPS’, JTP - Jurnal Teknologi
Pendidikan, 22.1 (2020), 1–12 <https://doi.org/10.21009/jtp.v22i1.15328>

Lopuhaa, Agustinus O, and A Watloly, ‘CUCI NEGERI DAN TINDAKAN BERTEOLOGI: Analisis
Interpenetrasi Agama Dalam Praktek Adat Di Hukurila’, ARUMBAE: Jurnal Ilmiah Teologi
Dan Studi Agama, 1.1 (2019), 1–13 <https://doi.org/10.37429/arumbae.v1i1.178>

Patty, Febby Nancy, Teologi Patita: Menggali Nilai Simbolik Makan Patita Adat Di Oma Dan
Mendialogkannya Dengan Jamuan Makan Bersama Dalam Injil Lukas 22 (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2018)

Persada, N.P.R, F.M. Mangunjaya, and I.S.L Tobing, ‘Sasi Sebagai Budaya Konservasi Sumberdaya
Alam Di Kepulauan Maluku’, Jurnal Ilmu Dan Budaya, 41.59 (2018), 6869–6900
<http://dx.doi.org/10.47313/jib.v41i59.453>

Tiwery, Weldemina Yudit, ‘Larvul Ngabal Dan Ain Ni Ain Sebagai Pemersatu’, Sodality: Jurnal
Sosiologi Pedesaan, Vol 6 No 1 (2018), 8–15

7
Febby Nancy Patty, Teologi Patita: Menggali Nilai Simbolik Makan Patita Adat Di Oma Dan Mendialogkannya
Dengan Jamuan Makan Bersama Dalam Injil Lukas 22 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018).

Anda mungkin juga menyukai