1
H.T. Luckman Sinar, dkk, Mengenal Adat dan Budaya Pesisir Tapanuli Tengah-Sibolga (Medan:
Forkala : Sumut) hlm. 2
1
2
B. Pembahasan
1. Pengertian Akulturasi, Kebudayaan, dan Agama.
a. Pengertian Akulturasi
Secara etimologi akulturasi berasal dari bahasa Latin, yaitu :
acculturate yang berarti tumbuh dan berkembang bersama2. Akulturasi dapat
dideskripsikan sebagai suatu tingkat dimana seorang individu mengadopsi
nilai, kepercayaan, budaya dan praktek- praktek tertentu dalam budaya baru.
Menurut Redfield, Linton dan Herskovits akulturasi memahami fenomena
yang terjadi ketika kelompok individu yang memiliki budaya yang berbeda
datang ke budaya lain kemudian terjadi kontak berkelanjutan dari sentuhan
yang pertama dengan perubahan berikutnya dalam pola kultur asli atau salah
satu dari kedua kelompok3.
Mulyana menganggap bahwa definisi akulturasi itu merupakan
definisi otoritatif yang telah menjadi inspirasi bagi ilmuwan lainnya untuk
memberikan definisi akulturasi yang serupa, yaitu bahwa akulturasi adalah
suau bentuk perubahan budaya yang diakibatkan oleh kontak kelompok-
kelompok budaya, yang menekankan penerimaan pola-pola dan budaya baru
dan ciri-ciri masyarakat pribumi oleh kelompok-kelompok minoritas.
Akulturasi menurut Kim merupakan bentuk enkulturasi (proses belajar
dan penginternalisasian budaya dan nilai yang dianut oleh warga asli)
kedua. Kim mendefinisikan akulturasi sebagai suatu proses yang dilakukan
imigran untuk menyesuaikan diri dengan dan memperoleh budaya pribumi,
yang akhirnya mengarah kepada asimilasi4. Dari pengertian di atas,
akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok
2
NN, “Pengertian Akulturasi : “Apa itu Akulturasi ?”, diakses dari file: https://pengertianahli.id/
2014/04/pengertian-akulturasi-apa-itu-akulturasi.html, 09 April 2019
3
NN, “Akulturasi”, diakses dari file http://repository.uin-suska.ac.id/6776/3/BAB%20II.pdf,
09 April 2019
4
H. Khomsahrial Romli, “Akulturasi dan Asimilasi Dalam Konteks Interaksi Antar Etnik”, diakses
dari file http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/ijtimaiyya/article/view/859/738, 09 April 2019
4
5
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada) hlm. 188
6
ibid
7
Abdul Hadi W.M., “Kita dan Kebudayaan”, diakses dari file
https://ahmadsamantho.wordpress.com/2013/05/28/sekali-lagi-tentang-kebudayaan-dan-peradaban/, 23 Mei
2019
5
c. Pengertian Agama
Secara harfiah, agama berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu “a” yang
berarti tidak dan “gama” yang berarti kacau. Maka agama berarti tidak kacau
(teratur). Dengan demikian agama itu adalah peraturan, yaitu peraturan yang
mengatur keadaan manusia, maupun mengenai sesuatu yang gaib, mengenai
budi pekerti dan pergaulan hidup bersama8.
Menurut Daradjat (2005) agama adalah proses hubungan manusia
yang dirasakan terhadap sesuatu yang diyakininya, bahwa sesuatu lebih
tinggi dari pada manusia. Sedangkan Glock dan Stark mendefinisikan agama
sebagai sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan system perilaku
yang terlembaga, yang kesemuanya terpusat pada persoalan- persoalan yang
dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate Mean Hipotetiking)9.
2. Proses Pembentukan Etnis Pesisir Sibolga
Komunitas masyarakat yang tinggal disepanjang pinggiran pantai,
lazimnya disebut dengan masyarakat pesisir. Masyarakat yang bermukim
di sepanjang pantai barat disebut dengan masyarakat pesisir pantai barat,
demikian pula di sepanjang pantai timur. Karakter penduduk, bahasa, seni dan
budaya masyarakat pesisir sepanjang pulau Sumatera pada dasarnya hampir
sama. Perbedaannya hanya dalam hal budaya sekitar yang mempengaruhinya.
Berabad-abad lamanya ajaran Islam telah membentuk karakter dan
kepribadian masyarakat pesisir, tanpa meninggalkan petuah-petuah orangtua.
Secara turun temurun yang tidak bertentangan dan sesuai dengan ajaran Islam
tetap dipertahankan. Namun dalam perjalanannya telah terjadinya pergeseran-
pergeseran nilai budaya pesisir, terlebih pada era teknologi informasi yang
semakin canggih. Masalah ini bukan hanya terjadi dalam budaya pesisir saja,
tapi nilai budaya masyarakat adat lainnya di nusantara.
8
R. Muawanah, “Kajian Teori”, diakses dari file http://etheses.uin-malang.ac.id/1194/6/
10410066_Bab_2.pdf, 23 Mei 2019
9
ibid
6
Dari zaman pra Islam, sampai pada masuknya Islam ke nusantara sampai
ke zaman kolonialisme dan awal kemerdekaan, cikal bakal masyarakat pesisir
pantai barat khususnya Sibolga itu sudah ada dan eksis dalam mempertahankan
adat istiadat dan kepribadiannya. Komunitas ini yang menjadi embrio setelah
lahirnya NKRI, dan kemudian komunitas masyarakat adat pesisir ini, menyebut
dirinya sesuai dengan wilayah pemerintahannya, yakni pesisir Sibolga.
3. Adat Sumando dalam Pandangan Masyarakat Pesisir
Dalam adat istiadat dan budayanya, Kota Sibolga memiliki suatu tradisi
adat yang dikenal dengan budaya pesisir “Adat Sumando”. Budaya ini
meskipun sudah berabad-abad lamanya, akan tetapi adat pesisir Sumando ini
masih bertahan serta masih berlaku dalam suatu acara adat di daerah pesisir
Sibolga. Akulturasi dari adat Minang dan Batak serta ajaran Islam, telah
melahirkan adat Sumando pada masyarakat pesisir Sibolga.
Sumando adalah bertambahnya suatu anggota keluarga dari keluarga lain
dengan ikatan tali pernikahan secara Islam dengan memakai adat Pesisir10. Bagi
masyarakat pesisir Sibolga, Sumando merupakan ikatan batin yang sangat kuat
hubungan kekeluargaan dan salah satu jalur dalam menjembatani persaudaraan
sehingga dalam etnis masyarakat pesisir Sibolga sangat menghargai dan
menghormati ikatan kekeluargaan tersebut. Oleh karena itu, dalam masyarakat
pesisir, dalam mengatasi suatu peristiwa yang telah terjadi selalu diputuskan
dengan musyawarah yang melibatkan semua anggota keluarga. Secara umum
iklim kondusif adat seperti ini merupakan modal dalam mensukseskan
pembangunan di Kota Sibolga. Orang yang bersumando memiliki motto “Bulek
ai dek Pembulu, bulek kato dek mufakat, Saiyo sakato, dek sakato mangko
sapakat” (bila telah seiya-sekata, dapatlah diambil satu keputusan bersama).
Adapun praktek praktis maupun ketentuan adat Sumando antara lain,
pernikahan dapat terjadi apabila sang pria meminang wanita terlebih dahulu,
10
Radjoki Nainggolan, Adat Perkawinan Masyarakat Etnis (Suku) Pesisir Sibolga Tapanuli Tengah
(Medan: CV. Citra Mandiri) hlm. 46
7
dari “dialog telangkai” ini adalah orangtua dari pihak perempuan akan
meminta waktu untuk menanyakan terlebih dahulu kepada anak gadisnya
apakah ia menerima atau menolak lamaran tersebut. Andai diterima, pesan
berikutnya disampaikan kepada Talangke yang mewakili orang tua dan
keluarga pihak laki-laki. Prosesi risik-risik ini dilakukan dengan tertib dan
sopan untuk menjaga dan memelihara nama baik kedua belah pihak.
b. Sirih Tanyo
Sirih tanyo adalah sirih sebagai adat untuk mendapatkan keputusan
atau jawaban pasti dari pihak perempuan. Adapun kunjungan keluarga pihak
laki-laki ke rumah pihak perempuan untuk memperjelas kesediaan si gadis
yang hendak dilamar, apakah menerima lamaran dari pihak laki-laki atau
tidak sama sekali.
Apabila keluarga pihak perempuan menyetujui menerima lamaran
dari pihak laki-laki, pihak laki-laki pun menanyakan tempo waktu adat
meminang. Biasanya menurut adat, pihak perempuan memberi waktu 2 (dua)
minggu atau paling lama 3 (tiga) bulan dalam mengadakan adat bertunangan
kepada pihak keluarga laki-laki.
c. Maminang
Maminang adalah lanjutan dari jawaban kesediaan orangtua si gadis
yang akan dipersunting oleh pemuda yang menginginkannya yang sekaligus
merundingkan pemberian mahar.
d. Manganta Kepeng
Manganta kepeng ialah mengantarkan suatu pemberian hantaran yang
telah disepakati dan sekaligus menentukan hari pernikahan yang telah
disetujui kedua belah pihak.
Acara mengantarkan uang dan menerima uang ini memiliki prosesi
dan tata cara sesuai dengan adat yang berlaku bagi masyarakat pesisir. Selain
keluarga dan sanak famili, jiran tetangga pun diundang. Begitu pula
9
kenaziran Masjid setempat, tokoh adat dan aparat kelurahan mewakili dari
unsur pemerintah.
e. Mato Karajo
Mato karajo adalah hari pernikahan yang akan dilangsungkan sesuai
dengan hukum Islam yang diyakini oleh kedua calon pengantin disertai
dengan adat pesisir yang lazim disebut oleh masyarakat pesisir Sibolga
dengan nama Sumando.
f. Manjalang-jalang
Manjalang-jalang dapat diartikan sebagai berkunjung kepada orang
tua, sanak saudara, dan famili dari mempelai perempuan dan mempelai laki-
laki. Acara manjalang-jalang berjalan dengan sederhana dan penuh
kekeluargaan yang dilengkapi dengan makan bersama.
Diakhir acara manjalang-jalang, biasanya para orang tua akan
memberikan petuah dan nasehat dalam menempuh hidup baru agar
senantiasa saling percaya, ikhlas dan penuh kesabaran antara suami isteri.
Hal lain yang pantas dipuji pada acara manjalang-jalang ini adalah para
orang tua akan memperkenalkan sanak keluarga dan famili termasuk bahasa
penuturan yang harus dipergunakan untuk selanjutnya.
10
C. Penutup
Kesimpulan
Akulturasi dapat dideskripsikan sebagai suatu tingkat dimana seorang
individu mengadopsi nilai, kepercayaan, budaya dan praktek- praktek tertentu
dalam budaya baru. Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan
dengan budi atau akal. Sedangkan agama itu adalah peraturan, yaitu peraturan
yang mengatur keadaan manusia, maupun mengenai sesuatu yang gaib, mengenai
budi pekerti dan pergaulan hidup bersama.
Komunitas masyarakat yang tinggal disepanjang pinggiran pantai,
lazimnya disebut dengan masyarakat pesisir. Masyarakat yang bermukim
di sepanjang pantai barat disebut dengan masyarakat pesisir pantai barat, demikian
pula di sepanjang pantai timur. Karakter penduduk, bahasa, seni dan budaya
masyarakat pesisir sepanjang pulau Sumatera pada dasarnya hampir sama.
Perbedaannya hanya dalam hal budaya sekitar yang mempengaruhinya.
Adat pernikahan masyarakat pesisir Sibolga menurut tradisi, dapat
dilaksanakan melalui beberapa tahap, yaitu :
1. Risik-risik
2. Sirih Tanyo
3. Maminang
4. Manganta Kepeng
5. Mato Karajo
6. manjalang-jalang