Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) yang terbesar di dunia.
Secara historis, bangsa Indonesia adalah bangsa bahari yang ditunjukkan dengan berbagai
peradaban kerajaan Nusantara dalam berinteraksi dengan komunitas dunia. Bangsa indonesia
berasal dari berbagai etnik. Keragaman budaya telah mempengaruhi bangsa ini dalam
memahami pentingnya budaya bahari (Martin dan Meliono, 2011).
Kata budaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai pikiran, akal
budi atau adat-istiadat. Secara tata bahasa, pengertian kebudayaan diturunkan dari kata
budaya yang cenderung menunjuk pada pola pikir manusia. Kebudayaan sendiri diartikan
sebagai segala hal yang berkaitan dengan akal atau pikiran manusia, sehingga dapat
menunjuk pada pola pikir, perilaku serta karya fisik sekelompok manusia.
Budaya bahari hendaknya dipahami sebagai cara atau pola pikir sekelompok
masyarakat yang menetap di wilayah pesisir dengan memiliki cara pandang tertentu tentang
religi (pandangan hidup), bahasa, seni, mata pencaharian, organisasi, pengetahuan dan
teknologi. Melalui analogi dari tujuh unsur universal budaya, ketujuh unsur tersebut diarahlan
pada pemberdayaan dan sumber daya kelautan untuk pertumbuhan dan dinamika masyarakat
yang menetap di wilayah perairan, pesisir.
Bagi masyarakat pesisir, sikap hidup dasar masyarakat tersebut adalah memiliki atau
menganggap bahwa laut merupakan sumber daya untuk kelangsungan, pertumbuhan dan
kesejahteraan masyarakat. Oleh karenanya, masyarakat pesisir di wilayah Indonesia memiliki
cara pandang tertentu terhadap sumber daya laut dan persepsi kelautan.
Melalui latar belakang budaya yang dimilik oleh masyarakat pesisir, muncul suatu
tradisi untuk menghormati kekuatan sumber daya laut. Tradisi tersebut lazimnya diwujudkan
melalui ritual, yang bertujuan untuk mengungkapkan rasa syukur karena alam melalui sumber
daya laut telah memberikan kelimpahan serta rejeki dalam kelangsungan mereka. Oleh
karena itu ritual petik laut dapat dikatakan sebagai salah satu wujud kebudayaan yang perlu
kita bahas dalam makalah ini.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari pembuatan makalah yang berjudul “Ritual Petik Laut
Masyarakat Pesisir Muncar Banyuwangi Sebagai Wujud Kebudayaan Lokal” adalah sebagai
berikut.
1. Bagaimana wujud kebudayaan masyarakat pesisir Muncar Banyuwangi?
2. Seperti apa ritual petik laut di Muncar Banyuwangi?
3. Apa korelasi antara ritual petik laut dengan wujud kebudayaan bai masyarakat pesisir
Muncar Banyuwangi?

1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah yang berjudul “Ritual Petik Laut Masyarakat
Pesisir Muncar Banyuwangi Sebagai Wujud Kebudayaan Lokal” adalah sebagai berikut.
4. Untuk mengetahui wujud kebudayaan lokal masyarakat pesisir
5. Untuk mengetahui ritual petik laut di Muncar Banyuwangi

1.4. Manfaat
Adapun manfaat dari pembuatan makalah yang berjudul “Ritual Petik Laut
Masyarakat Pesisir Muncar Banyuwangi Sebagai Wujud Kebudayaan Lokal” adalah sebagai
berikut.
1. Dapat mengetahui wujud kebudayaan lokal masyarakat pesisir
2. Dapat mengetahui ritual petik laut di Muncar Banyuwangi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Budaya


Istilah kebudayaan merupakan tejemahan dari istilah culture dari bahasa Inggris. Kata
culture berasa dari bahasa latin colore yang berarti mengolah, mengerjakan, menunjuk pada
pengolahan tanah, perawatan dan pengembangan tanaman dan ternak. Upaya untuk mengola
dan mengembangkan tanaman dan tanah inilah yang selanjutnya dipahami sebagai culture.
Menurut Koentjaraningrat (1974: 80), jika dikaji dari asal kata yaitu bahasa
sansekerta, buddhayah sebagai bentuk jamak dari buddhi yang artinya budi atau akal.
Kata buddhi berarti budi dan akal. Kamu besar Bahasa Indonesia mengartikan kebudayaan
sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal ).
Kata budaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai pikiran, akal
budi atau adat-istiadat. Secara tata bahasa, pengertian kebudayaan diturunkan dari kata
budaya yang cenderung menunjuk pada pola pikir manusia. Kebudayaan sendiri diartikan
sebagai segala hal yang berkaitan dengan akal atau pikiran manusia, sehingga dapat
menunjuk pada pola pikir, perilaku serta karya fisik sekelompok manusia.
Beberapa pengertian budaya menurut para ahli adalah sebagai berikut.

1. Edward B. Taylor
Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya
terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adapt istiadat, dan
kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.

2. M. Jacobs dan B.J. Stern


Kebudayaan mencakup keseluruhan yang meliputi bentuk teknologi sosial, ideologi, religi,
dan kesenian serta benda, yang kesemuanya merupakan warisan sosial.

3. Koentjaraningrat
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.

4. Dr. K. Kupper
Kebudayaan merupakan sistem gagasan yang menjadi pedoman dan pengarah bagi manusia
dalam bersikap dan berperilaku, baik secara individu maupun kelompok.
5. William H. Haviland
Kebudayaan adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para
anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan perilaku
yang dipandang layak dan dapat di terima oleh semua masyarakat.

6. Ki Hajar Dewantara
Kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua
pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk
mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran didalam hidup dan penghidupannya guna
mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.

7. Francis Merill
Pola-pola perilaku yang dihasilkan oleh interaksi sosial
Semua perilaku dan semua produk yang dihasilkan oleh sesorang sebagai anggota suatu
masyarakat yang ditemukan melalui interaksi simbolis.

8. Bounded et.al
Kebudayaan adalah sesuatu yang terbentuk oleh pengembangan dan transmisi dari
kepercayaan manusia melalui simbol-simbol tertentu, misalnya simbol bahasa sebagai
rangkaian simbol yang digunakan untuk mengalihkan keyakinan budaya diantara para
anggota suatu masyarakat. Pesan-pesan tentang kebudayaan yang di harapkan dapat di
temukan di dalam media, pemerintahan, intitusi agama, sistem pendidikan dan semacam itu.

9. Mitchell (Dictionary of Soriblogy)


Kebudayaan adalah sebagian perulangan keseluruhan tindakan atau aktivitas manusia dan
produk yang dihasilkan manusia yang telah memasyarakat secara sosial dan bukan sekedar
dialihkan secara genetikal.

10. Robert H Lowie


Kebudayaan adalah segala sesuatu yang diperoleh individu dari masyarakat, mencakup
kepercayaan, adat istiadat, norma-norma artistic, kebiasaan makan, keahlian yang di peroleh
bukan dari kreatifitasnya sendiri melainkan merupakan warisan masa lampau yang di dapat
melalui pendidikan formal atau informal.

11. Arkeolog R. Seokmono


Kebudayaan adalah seluruh hasil usaha manusia, baik berupa benda ataupun hanya berupa
buah pikiran dan dalam penghidupan.

12. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (1946)


Kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat (Jayady, 2011).

Bila disimak lebih seksama, definisi Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi lebih
menekankan pada aspek hasil material dan kebudayaan. Sementara Koentjaraningrat
menekankan dua aspek kebudayaan yaitu abstrak (non material) dan konkret (material. Pada
definisi Koentjaraningrat, tampak bahwa kebudayaan merupakan suatu proses hubungan
manusia dengan alam dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik jasmaniah maupun
rohaniah. Dalam proses tersebut manusia berusaha mengatasi permasalahan dan tantangan
yang ada dihadapannya.
Terlepas dari perbedaan yang ada di antara pendapat di atas. Tampak bahwa belajar
merupakan unsur penting dari pengertian kebudayaan. Seperti terlihat pula pada definisi
kebudayaan menurut Kroeber (1948). Menurutnya, kebudayaan adalah keseluruhan realisasi
gerak, kebiasaan, tata cara, gagasan, dan nilai-nilai yang dipelajari dan diwariskan, serta
perilaku yang ditimbulkannya.
Pengertian kebudayaan tersebut mengispirasi penulis untuk menyimpulkan bahwa;
akal adalah sumber budaya, apapun yang menjadi sumber pikiran, masuk dalam lingkup
kebudayaan. Karena setiap manusia berakal, maka budaya identik dengan manusia dan
sekaligus membedakannya dengan makhluk hidup lain. Dengan akal manusia mampu
berfikir, yaitu kerja organ sistem syaraf manusia yang berpusat di otak, guna memperoleh ide
atau gagasan tentang sesuatu. Dari akal itulah muncul nilai-nilai budaya yang membawa
manusia kepada ketinggian peradaban (AL-Hafizh, 2012).
Dengan demikian, budaya dan kebudayaan telah ada sejak manusia berpikir, berkreasi
dan berkarya sekaligus menunjukkan bagaimana pola berpikir dan interpretasi manusia
terhadap lingkungannya. Dalam kebudayaaan terdapat nilai-nilai yang dianut masyarakat
setempat dan hal itu memaksa manusia berperilaku sesuai budayanya. Antara kebudayaan
satu dengan yang lain terdapat perbedaan dalam menentukan nilai-nilai hidup sebagai tradisi
atau adat istiadat yang dihormati. Adat istiadat yang berbeda tersebut, antara satu dengan
lainnya tidak bisa dikatakan benar atau salah, karena penilaiannya selalu terikat pada
kebudayaan tertentu (Al-Hafizh, 2012).
Kebudayaan sangat berpengaruh terhadap kepribadian seseorang, begitu pula
sebaliknya. Di dalam pengembangan kepribadian diperlukan kebudayaan, dan kebudayaan
akan terus berkembang melalui kepribadian tersebut. Sebuah masyarakat yang maju,
kekuatan penggeraknya adalah individu-individu yang ada di dalamnya. Tingginya sebuah
kebudayaan masyarakat dapat dilihat dari kualitas, karakter dan kemampuan individunya.
Manusia dan kebudayaan adalah dua hal yang saling berkaitan. Manusia dengan
kemampuan akalnya membentuk budaya, dan budaya dengan nilai-nilainya menjadi landasan
moral dalam kehidupan manusia. Seseorang yang berperilaku sesuai nilai-nilai budaya,
khususnya nilai etika dan moral, akan disebut sebagai manusia yang berbudaya. Selanjutnya,
perkembangan diri manusia juga tidak dapat lepas dari nilainilai budaya yang berlaku.

2.2. Wujud Budaya


Menurut J.J. Hoenigman dalam Koentjoroningrat (1986), wujud kebudayaan
dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak.
a. Gagasan (Wujud ideal)
Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba
atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di dalam pemikiran
warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk
tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil
karya para penulis warga masyarakat tersebut.
b. Aktivitas (tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam
masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri
dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul
dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan.
Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan
didokumentasikan.
c. Artefak (karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya
semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat,
dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.
2.3. Tujuh Unsur Kebudayaan
Budaya merupakan hasil cipta dari manusia. Setiap budaya yang lahir dimanapun
berada pastinya mengandung sedikitnya 7 unsur kebudayaan yang bisa kita analisis. Budaya
juga akan mencerminkan pola dan sikap dari masyarakat sekitar.
Ketika kita melakukan kunjungan ke luar daerah, ke luar kota, bahkan sampai ke luar
negeri, kita akan selalu menemukan tujuh aspek budaya dalam masyarakat yang kita kunjungi
tersebut. Ketujuh unsur tersebut adalah sebagai berikut.
a. Sistem bahasa
Bahasa adalah alat yang digunakan oleh manusia untuk saling berkomunikasi antara
yang satu dengan yang lainnya. Dalam fungsinya bahasa hanya sebagai pengantar saja dalam
proses komunikasi tersebut. Bahasa di setiap wilayah atau daerah atau bahkan Negara
memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut sangatlah kompleks dan unik.
Bahasa juga hanya dapat dimenegrti oleh pengguna bahasa tersebut saja. Namun bahasa
bisa juga dipelajari. Pembelajarannya menyangkkut tentang keunikan dan kompleksitas dari
bahasa tersebut sehingga proses komunikasi bisa berjalan dengan baik dan efektif.
Bahasa merupakan hasil dari budaya yang diciptakan manusia untuk berkomunikasi atau
berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya. Komunikasi yang dijalin dengan
menggunakan bahasa bisa dilakukan dengan media tulis, lisan, isyarat. Semua itu dilakukan
dnegan maksud satu yakni tersampaikannya informasi atau keinginan dari pembicara kepada
lawan bicara.
Ada dua fungsi yang dimiliki oleh bahasa, yakni fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi
khusus adalah untuk menjalin hubungan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu juga sebagai
alat untuk mewujudkan jiwa seni yang ada dalam diri. Seni yang lahir dari bahasa adalah seni
sastra. Bahasa secara khusus juga berfungsi untuk memplajari berbagai macam ilmu
pengetahuan dan teknologi dan teknologi yang ada demi tercapaiinya kemakmuran hidup
umat manusia.
Fungsi umum yang dimiliki oleh bahasa adalah sebagai alat berkomunikasi dan sebagai
alat adaptasi serta masuknya dalam lingkup sosial yang ada di dalam masyarakat. Dengan
adanya bahasa maka proses adaptasi atau penyesuaian diri dalam suatu lingkup sosial yang
baru akan menjadi lebih mudah.
b. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Sistem peralatan hidup merupakan salah satu hasil dari budaya yang diciptakan oleh
manusia. Diciptakannya peralatan oleh manusia merupakan salah satu tujuan untuk
mempermudah memperoleh sesuatu yang diinginkan manusia.
Dengan tercitanya peralatan tersebut maka beban dalam menjalankan hidup lebih mudah.
Contohnya saja adalah diciptakannya tombak yang digunakan untuk berburu. Sebelum
adanya tombak manusia selalu menggunakan alat yang sudah ada pada dirinya, yakni tangan.
Hanya dnegan menggunakan tangan saja tentu akan lebih merepotkan dan membutuhlan
waktu yang lebih lama/
Dengan adanya alat bantu semacam tombal maka kegiatan berburu menjadi lebih mudah
dan dapat dilakukan dengan waktu yang lebih singkat pula. Inilah salah satu fungsi dan
penyebab terciptanya peralatan yang dimiliki oleh manusia.
Teknologi akan selalu terus berkembang selama manusia masih ada. Manusia merupakan
makhluk yang paling serakah yang dicitakan dengan rasa keingintahuan yang luar biasa.
Rasa ingin tahu tersebutlah yang mendorong manusia menjadi makhluk yang serakah.
Jikalau pada waktu dulu teknologi penyampaian pesan dilakukan dnega menggunakan
surat maka hal itu sudah jarang dilakukan lagi karena manusia sekarang lebih suka
menggunakan alat telekomunikasi lain yakni handphone. Terciptanya handphone juga karena
rasa ingin tahu manusia yang menginginkan komunikasi dapat dilakkan dnegan tanpa adanya
masalah jarak. Selain itu juga dilakukan dengan sangat cepat. Tanpa harus menunggu kurir
atau pengantar pesan seperti tukang pos.
c. Sistem Ekonomi dan Mata Pencaharian Hidup
Sistem ekonomi dan mata pencaharian juga merupakan salah satu unsur kebudayaan.
Budaya ini tercipta dari masyarakat yang berkelompok dan membentuk sebuah sistem
ekonomi demi terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari.
Sistem ekonom dan mata pencaharian pada waktu dulu dilakukan secara sederhana.
Semua dilakukan dnegan cara tradisional yang hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan
hidup dalam jangka yang pendek.
Pada waktu dulu, mata pencaharian dilakukan dengan cara bertani, beternak, dan
menagkap ikan. Walaupun sekarang masih tetap ada namun cara pelaksanaannya yang
berbeda. Pelaksanaan waktu dulu masih sangat tradisional sednagkan sekarang banyak
melibatkan cara-cara modern yang menggunakan teknologi mutakhir.
Semuanya itu tidak lain merupakan perkembangan budaya ang dimiliki oleh masyarakat
tersebut. Perkembangan tersebut menyangkut ke dalam penggunaan teknologi yang semakin
lama semakin berkembang.
d. Sistem Kemasyarakatan dan Organisasi Sosial
Sistem kemasyarakatan atau lebih dikenal dengan sistem kekerabatan merupakan hal
yang penting dari struktur sosial. Dengan adanya sistem kekerabatan ini maka bisa mewakili
struktur sosial yang dimiliki oleh individu dari masyarakat yang bersangkutan.
Kekerabatan merupakan hubungan status sosial yang masih memiliki hubungan darah
atau perkawinan. Anggota dari kekerabatan adalah ayah, ibu, anak, mertua, menantu, cucu,
kakek, adik, nenek, dan lain-lain.
Organisasi sosial merupakan sebuah perkumpulan yang dibentuk oleh masyarakat yang
memiliki ungsi sebagai pemberdaya dan meningkatkan tara sosial yang ada di dalam
masyarakat. Organisasi sosial biasanya ada dua macam, yakni yang memiliki status badan
hukum dan yang tidak berbadan hukum.
Dengan adanya organisasi sosial juga akan mempermudaj tiap individu untuk tercapaiya
keinginannya yang tidak bisa dilakukannya secara sendirian atau individu. Karena tidak bisa
dilakukan secara individu tersebut maka dibentuklah organisasi sosial yang memang
membutuhkan banyak tangan untuk dapat mencapai atau menjalankannya.
e. Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan merupakan hal yang terpenting yang mampu membuat manusia
bertahan hidup. Dengan adanya ilmu pengetahuan maka kemampuan manusia untuk bertahan
smeakin bertambah. Tanpa adanya ilmu pengetahuan manusia hanya akan dibimbing leh
naluri saja yang pada akhirnya tidak akan mampu untuk bertahan lebih lama.
f. Kesenian
Kesenian merupakan hasil budaya yang diciptakannya oleh manusia untuk mengagumi
keindahan atau mengutamakan nilai-nilai keindahan. Nilai-nilai keindahan atau estetika ini
merupakan hal yang bisa dinikmati oleh mata dan telinga manusia atau panca indera manusia.
Kesenian merupakan ekspresi yang dituangkan oleh manusia yang berasal dari perasaan
emosionalnya. Benda yang memiliki nilai seni ada bebagai macam. Beberapa contoh benda
yang merupakan hasil karya manusia yang memiliki nilai seni adalah lukisan dan patung.
Keduanya merupakan tuangan ekspresi dari emosional sang seniman.
g. Kepecayaan atau Agama
Kepercayaan atau agama adalah hal terpenting lainya yang dianggap merupakan hasil
dari budaya. Agama atau kepercayaan yang dimiliki oleh manusia merupakan fenomena atas
ketidakmampuan akan menjawa beberapa pertanyaan yang dimiliki oleh manusia.
Selain itu juga agama muncul karena adanya keyakinan pada diri setiap manusia bahwa
ada penguasa teringgi yang memimpin jagat raya ini atau alam semesta. Agama juga berperan
penting dalam menyeimbangkan kehidupan spiritual manusia (Ahira, 2013).
2.4. Budaya Masyarakat Pesisir
Bagi masyarakat nelayan, kebudayaan merupakan sistem gagasan atau sistem
kognitif yang berfungsi sebagai ”pedoman kehidupan”, referensi pola-pola kelakuan sosial,
serta sebagai sarana untuk menginterpretasi dan memaknai berbagai peristiwa yang terjadi di
lingkungannya (Keesing, 1989:68-69). Setiap gagasan dan praktik kebudayaan harus bersifat
fungsional dalam kehidupan masyarakat. Jika tidak, kebudayaan itu akan hilang dalam waktu
yang tidak lama. Kebudayaan haruslah membantu kemampuan survival masyarakat atau
penyesuaian diri individu terhadap lingkungan kehidupannya. Sebagai suatu pedoman untuk
bertindak bagi warga masyarakat, isi kebudayaan adalah rumusan dari tujuan-tujuan dan cara-
cara yang digunakan untuk mencapai tujuan itu, yang disepakati secara sosial (Kluckhon,
1984:85, 91)
Masyarakat pesisir pada umumnya telah menjadi bagian masyarakat yang pluraristik
tapi masih tetap memiliki jiwa kebersamaan. Artinya bahwa struktur masyarakat pesisir rata-
rata merupakan gabungan karakteristik masyarakat perkotaan dan pedesaan. Karena, struktur
masyarakat pesisir sangat plurar, sehingga mampu membentuk system dan niali budaya ynag
merupakan akulturasi budaya dari masing-masing komponen yang membentuk struktur
masyarakatnya (Wahyudin, 2003).
Hal menarik adalah bahwa bagi masyarakat pesisir, hidup di dekat pantai meruakan
hal yang paling diinginkan untuk dilakukan mengingat segenap aspek kemudahan dapat
mereka peroleh dalam berbagai aktivtas kesehariannya. Dua contoh sederhana dari
kemudahan-kemudahan tersebut diantaranya:
1. Bahwa kemudahan aksesibilitas dari dan ke sumber mata pencaharian lebih terjamin,
mengingat sebagian masyarakat pesisir menggantungkan kehidupannya pada pemanfaatan
potensi perikanan dan laut yang terdapat di sekitarnya, seperti penangkapan ikan,
pengumpulan atau budidaya rumput laut, dan sebagainya.
2. Bahwa mereka lebih mudah mendapatkan kebutuhan akan MCK (mandi, cuci, dan kakus),
dimana mereka dapat dengan serta merta menceburkan dirinya untuk membersihkan
tubuhnya, mencuci segenap peralatan dan perlengkapan rumah tangga, seperti pakaian, gelas
dan piring; bahkan mereka lebih mudah membuang air (besar maupun kecil). Selain itu,
mereka juga dapat dengan mudah membuang limbah domestic langsung ke pantai/laut.
Masyarakat pesisir mempunyai sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang khas/unik.
Sifat ini sangat erat kaitannya dengan sifat usaha di bidang perikanan itu sendiri. Karena sifat
dari usaha-usaha perikanan sangat dipengaruhi oleh factor-faktor seperti lingkungan, musim
dan pasar, maka karakteristik masyarakat pesisir juga terpengaruhi oleh factor-faktor tersebut.
Beberapa sifat dan karakteristik usaha-usaha masyarakat pesisir diuraikan sebagai berikut.
a. Ketergantungan pada Kondisi Lingkungan
Salah satu sifat usaha perikanan yang sangat menonjol adalah bahwa keberlanjutan atau
keberhasilan usaha tersebut sangat bergantung pada kondisi lingkungan, khususnya air.
Keadaan ini mempunyai implikasi yang snagat penting bagi kondisi kehiduan social ekonomi
masyarakat pesisir. Kehidupan masyarakat pesisir menjadi sangat tergantung pada kondisi
lingkungan itu dan sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan, khususnya pencemaran,
karena limbah industry maupun tumpahan minyak, misalnya, dapat menggoncang sendi-sendi
kehidupan social ekonomi masyarakat pesisir. Pencemaran di pantai Jawa beberapa waktu
lalu, contohnya, telah menyebabkan produksi udang tambak anjlok secara drastis. Hal ini
tentu mempunyai konsekuensi yang besar terhadap kehidupan para petani tambak tersebut.
b. Ketergantungan pada Musim
Karakteristik lain yang sangat menyolok di kalangan masyarakat peisisir, khususnya
mesyarakat nelayan, adalah ketergantungan ,ereka pada musim. Ketergantungan [ada musim
ini semakin besar bagi para nelayan kecil. Pada musim penangkapan para nelayan sangat
sibuk melaut. Sebaliknya, pada musim peceklik kegiatan melaut menjadi berkurang sehingga
banyak nelayan yang terpaksa menganggur.
Kondisi ini mempunyai implikasi besar pula terhadap kondisi social ekonomi masyarakat
pantai secara umum dan kaum nelayan khususnya. Mereka mungkin mampu membeli
barang-barang mahal seperti kursi-meja, lemari, dan sebagainya. Sebaliknya, pada musim
paceklik pendapatan emreka menurun drastic, sehingga kehidupan mereka juga semakin
buruk.
Secara umum pendapatan nelayan memang sangat berfluktuasi dari hari ke hari. Pada satu
hari mungkin memperoleh tangkapan yang sangat tinggi, tapi pada hari berikutnya bisa saja
“kosong”. Hasil tangkapan, dan pada gilirannya pendapatan nelayan, juga sangat dipengaruhi
oleh jumlah nelayan yang beroperasi di suatu daerah penangkapan (fishing ground). Di
daerah yang padat penduduknya seperti daerah pantai utara Jawa, misalnya, sudah terjadi
kelebihan tangkap (overfishing). Hal ini mengakibatkan hasil tangkapan para
nelayan menjadi semakin kecil, sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi pendapatan
mereka (Wahyudin, 2003).
2.5. Ritual Petik Laut
Ritual petik laut adalah upacara yang diselenggarakan sekali setiap tahun pada awal
bulan Muharam atau bulan Suro oleh penduduk yang tinggal di pesisir pantai. Dalam
penyelenggaraannya, serangkaian acara petik laut ini menggabungkan ajaran Islam dan
adat Osing.
Maksud dan tujuan dari berbagai upacara sedekah laut tersebut biasanya sama, yaitu
memohon pada Tuhan agar para nelayan dianugerahi hasil laut yang melimpah pada tahun
yang akan datang dan dihindarkan pula dari malapetaka selama melaut. Kebanyakan
masyarakat nelayan tersebut meyakini bahwa laut memiliki penunggu (penjaga berupa
makhluk ghaib). Karena itu, di setiap penyelenggaraan ritual slametan laut, mereka selalu
memberikan sesaji yang dipersembahkan untuk makhluk-makhluk ghaib penunggu laut.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Ritual Petik Laut Masyarakat Pesisir Muncar Banyuwangi


Selama ini, ritual slametan laut banyak terdapat di sejumlah masyarakat pesisir,
terutama di Pulau Jawa. Di setiap daerah, ritual itu memiliki ciri khas tersendiri. Ritual
tersebut juga memiliki nama berbeda-beda. Di Lamongan, misalnya, disebut “Tutup Layang”,
sementara di Madura disebut “Rokatan” dan di Banyuwangi, terutama di pesisir daerah
Muncar, disebut Petik Laut (Farisa, 2010).
Pada awal bulan Muharam (tahun Islam) atau bulan Suro (tahun Jawa) tahun lalu,
tepatnya sekitar bulan Desember tahun 2008 lalu, penyusun sendiri sempat melihat
penyelenggaraan salah satu ritual slametan laut, yaitu ritual Petik Laut, saat mengunjungi
daerah pesisir Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur. Upacara ini diselenggarakan sekali setiap
tahun pada awal Muharam atau bulan Suro oleh penduduk pesisir Muncar(Farisa, 2010).
Penyelenggaraan ritual Petik Laut dipadati dengan serangkaian acara yang biasa
berlangsung selama tiga hari. Hari pertama,sebelum melepas semua sesaji ke laut, masyarakat
nelayan mengadakan di masjid dengan membaca surat Yaasin dan membaca tahlil. Hari
berikutnya, acara pengajian dilanjutkan dengan membaca keseluruhan isi Al-Qu’an
(khataman). Di hari terakhir, yang merupakan acara puncak, masyarakat nelayan
mengadakan acara pemberian sesaji ke laut. Sebelum sesaji dilarung ke laut, ditampilkan
terlebih dahulu tari-tarian tradisional masyarakat Osing, yaitu tarian gandrung (Farisa, 2010).
Tari gandrung sendiri, dalam tradisi osing, memiliki makna semangat perjuangan dan
kebersamaan. Tari gandrung, pada mulanya, merupakan tarian untuk memperingati
terjadinya perang Puputan Bayu. Puputan Bayu adalah perang perlawanan komunitas Osing
terhadap pemerintah colonial Belanda yang terjadi pada tahun 1771-1773. Dalam
perkembangannya kemudiaan, tari gandrung semakin meluas pengaruhnya di masyarakat
Banyuwangi, sehingga menjadi kesenian tradisional Banyuwangi yang banyak menghiasi
berbagai ritual tradisional Osing dan juga berbagai ritual keagamaan masyarakat Banyuwangi
lainnya.
Setelah pementasan tari gandrung dan pembacaan doa-doa tertentu, sesaji dibawa
dalam satu perahu kecil (bitek) bersama para penari gandrung menuju ke laut dan diikuti oleh
perahu-perahu lain yang jumlahnya puluhan. Seetelah berlayar beberapa saat, perahu
pengangkut sesaji itu berhenti di suatu tempat, yang telah ditentukan sebelumnya, untuk
menurunkan penari gandrung dari kalangan Osing. Setelah melaju lagi, perahu pengangkut
sesaji kembali berhenti di suatu tempat untuk menurunkan penari gandrung dari kalangan
muslim. Setelah itu, baru sesaji dilarungkan dengan cara melepasnya ke laut. Sesaji dalam
upacara petik laut ini bermacam-macam, ada nasi enam warna, kepala kerbau, tiga ekor
ayam, telor rebus yang jumlahnya ratusan dan dicat berwarna-warni serta digunakan
menghiasi perahu saji dengan cara ditusuk atau digantung, tiga jenis bubur (bubur putih,
bubur merah dan bubur campuran merah putih), aneka buah-buahan, berbagai hasil pertanian,
emas, sejumlah perhiasan lainnya, dan uang. Di dasar bitek diberi pemberat agar bitek bisa
cepat tenggelam ketika dilepas ke laut. Pada saat bitek dilepas ke laut, secepat mungkin para
nelayan melompat ke laut untuk mengambil aneka sesaji. Para nelayan itu percaya bahwa
berbagai sesaji tadi bisa mendatangkan berkah berupa rezeki dan keselamatan bagi keluarga
mereka.
Bercampurnya berbagai unsur Islam dan Osing (local) dalam penyelenggaraan
ritual Petik Laut sebenarnya merupakan bentuk kontemporer dari ritual ini. Hal ini karena
pada mulanya ritual Petik Laut lebih merupakan ritual yang didominasi unsur animism dan
dinamisme yang merupakan bagian dari tradisi osing (local). Menurut catatan sejarah,
ritual Petik Laut sudah diselenggarakan nelayan Muncar sejak tahun 1901 dengan dipimpin
seorang dukun. Namun, dalam proses perkembangannya di kemudian hari, karena ada
keterlibatan para kyai dan kalangan pesantren di daerah Muncar dalam penyelenggaraan
ritual ini, maka berbagai unsur Islam pun hadir.
Munculnya berbagai unsur Islam dalam ritual Petik Laut ini merupakan hasil
dari pertemuan antara budaya local Banyuwangi dan menyebar lewat tumbuhnya sejumlah
islam besar di daerah yang dulu dikenal dengan Blambangan ini. Menurut catatan
zamakhsyari dhofier dalam karyanya “Tradisi Pesantren” (1985) disebutkan bahwa
perkembangan pesantren di daerah Banyuwangi memang baru mengalami pertumbuhan
sangat pesat pada pertengahan abad ke-20.
Meluasnya pengaruh guru-guru Islam (kyai) di Banyuwangi dan berkembang
pesatnya ekonomi Muncar sebagai salah satu tempat pelelangan ikan terbesar di Indonesia
setidaknya turut mewarnai perkembangan ritual Petik Laut di kemudian hari. Ritual Petik
Laut yang semula hanya merupakan ritual kecil para nelayan masih terpengaruh kuat dengan
animism-dinamisme dalam budaya Osing berkembang menjadi ritual besar yang banyak
dihiasi unsur-unsur Islam. Menurut penyusun, secara sekilas bisa diamati bahwa kehadiran
migrasi nelayan dari Madura, yang mayoritas adalah muslim, merupakan salah satu factor
yang turut mempengaruhi perkembangan itu.
3.2. Wujud Budaya Dalam Ritual Petik Laut Muncar Banyuwangi
Wujud kebudayaan itu sendiri oleh J.J. Hoenigman dibedakan menjadi
tiga yaitu gagasan, aktivitas, dan artefak. Dari ritual petik laut tersebut dapat diidentifikasi
wujud kebudayaannya dari tiga jenis yang telah dikemukakan oleh J.J. Hoenigman.
Identifikasi tersbeut dapat dilihat sebagai berikut.
a. Gagasan
Wujud ideal kebudayaan meliputi kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-
norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau
disentuh. Dalam konteks ritual petik laut ini dapat dilihat dari adanya gagasan atau
kepercayaan akan sumber penghidupan mereka yang berasal dari laut. Masyarakat pesisir
yang mayoritas bekerja sebagai nelayan menggantungkan hidup mereka pada laut.
Adanya gagasan tersebutlah yang melatarbelakangi mereka untuk menghormati laut
sebagai sumber penghidupan mereka. Dengan memohon pada Tuhan mereka berharap agar
diberikan keselamatan saat melaut dan selalu diberikan hasil laut yang melimpah. Atas dasar
ide atau gagasan yang tertanam, para masyarakat pesisir ini beranggapan bahwa ada
sosok ghaib penunggu laut. Oleh karena itu mereka menyandingkan sesaji yang diletakkan
dalam bitek untuk persembahan.
Berbagai latar belakang di atas maka menjadikan ritual petik laut ini sebagai bagian
dari wujud kebudayaan yang pertama yaitu gagasan. Wujudnya yang tak terlihat nyata,
abstrak, dan tidak dapat diraba ataupun disentuh.

b. Aktivitas
Aktivitas dalam ritual petik laut ini dapat dilihat secara jelas dari rangkaian acara
yang tersusun dalam tiga hari. Aktivitas yang terjadi dalam ritual petik laut di Muncar
Banyuwangi ini merupakan perpaduan antara tradisi Osing dan agama Islam. Hal ini terlihat
dari rangkaian acara yaitu pada hari pertama merupakan pembacaan tahlil dan Yaasin. Hari
selanjutnya adalah dilakukannya khataman Al-Quran. Barulah pada hari ketiga acara puncak
dilangsungkan, yaitu pelepasan sesaji di tengah laut dengan diiringi Tari Gandrung. Tari
Gandrung inilah yang merupaka sisi tradisi Osing, sedangkan dua rangkaian acara
sebelumnya adalah bagian dari agama Islam.
Rangkaian acara di atas dapat digolongkan dalam sebuah wujud budaya yaitu
aktivitas karena di dalamnya manusia saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul
dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan.
Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan
didokumentasikan.

c. Artefak
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan,
dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat
diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Wujud kebudayaan artefak ini dalam konteks ritual
petik laut dapat dilihat dari dibuatnya sesaji yang di dalamnya terdiri dari nasi enam warna,
kepala kerbau, tiga ekor ayam, telor rebus yang jumlahnya ratusan dan dicat berwarna-warni
serta digunakan menghiasi perahu saji dengan cara ditusuk atau digantung, tiga jenis bubur
(bubur putih, bubur merah dan bubur campuran merah putih), aneka buah-buahan, berbagai
hasil pertanian, emas, sejumlah perhiasan lainnya, dan uang.
Selain itu bitek yang digunakan untuk membawa sesaji di tengah laut merupaka wujud
kebudayaan dari ritual petik laut ini karena wujudnya yang kongkrit dan nyata. Berbeda
dengan aktivitas dan gagasan yang tidak terlihat secara nyata.
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar
2. Wujud budaya ada tiga yaitu gagasan, aktivitas, dan artefak
3. Unsur kebudayaan meliputi bahasa, sistem mata pencaharian, sistem pengetahuan, sistem
kepercayaan, kesenian, sistem kemasyarakatan, dan sistem peralatan hidup.
4. Ritual petik laut adalah salah satu bentuk budaya lokal di Muncar Banyuwangi
5. Wujud gagasan dari ritual petik laut adalah adanya pemikiran/ide jika
6. Wujud aktivitas dari ritual petik laut adalah adanya pembacaan Yaasin, tahlil,
khataman, pelepasan sesaji, dan traian Gandrung.
7. Wujud artefak dari ritual petik laut adalah dibuatnya sesaji yang berisi berbagai barang dan
makanan, serta dibuatnya bitek.

4.2. Saran
Perlu adanya pelestarian ritual petik laut karena ritual ini merupakan salah satu bentuk
budaya lokal Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku
1. Farisa, Tomi Latu. 2010. Ritual Petik Laut Dalam Arus Perubahan Sosial di Desa Kedungrejo,
Muncar, banyuwangi, Jawa Timur. Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga.
2. Keesing, Roger M. 1989. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta:
Erlangga.
3. Kluckhon, Clyde 1984. “Cermin bagi Manusia”, dalam Parsudi Suparlan (Ed.). Manusia,
Kebudayaan, dan Lingkungannya. Jakarta: Rajawali Pers, hal. 69-109.
4. Koentjaraningrat. 1974. Pengantar Antropologi. Jakarta: Aksara Baru
5. Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Antropologi Sosial dan Budaya. Jakarta: Karunika.
6. Kusnadi. 2010. Kebudayaan Masyarakat Nelayan. Jember: Universitas Jember.
7. Martin, Risnowati dan Meliono, Irmayanti. 2011. Ritual Petik Laut pada Masyarakat Nelayan
Sendang Biru, Malang: Sebuah Teladaah Budaya Bahari. Jakarta: FIPB UI
8. Soemardjan, Selo dan Soemardi, Soelaeman. 1964. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta:
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
9. Wahyudin, Yudi. 2003. Sistem Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Pesisir. Bogor:
PKSPL IPB.

Sumber Internet
1. Ahira, Anne. 2013. Mengenal dan Memahami 7 Unsur Kebudayaan. http://www.anneahira.
com/7-unsur-kebudayaan.htm. [25 Maret 2013]
2. Al-Hafizh, Muslihin. 2012. Pengertian Budaya dan Kebudayaan. http://www.referensimakalah
.com/2012/11/pengertian-budaya-dan-kebudayaan.html. [25 Maret 2013]
3. Jayady. 2011. Manusia dan Kebudayaan. http://jayady19.blogspot.com/2011/02/bab-1-
manusia-dan-kebudayaan_12.html. [25 Maret 2013]
Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Sumber Jurnal
1. Kroeber (1948) dalam Marzali, A. dalam tulisan yang berjudul “Konsep Peisan dan Kajian
Masyarakat Pedesaan Di Indonesia” diterbitkan oleh Journal Antropologi No. 54.

Anda mungkin juga menyukai