Anda di halaman 1dari 16

TUGAS INDIVIDU MAKALAH

MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN INDONESIA


“SUKU LAUT RIAU”

Dosen Pengampu :
Dr. Muhammad Bahar Akase Teng. LC
Pammuda, S.S., M.Si.

Di susun oleh
Nama : Iqlima Riawan
NIM : F041201060

Program Studi Sarjana Sastra Inggris


Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Hasanuddin
Makassar
2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah. Saya ucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang senantiasa kita ucapkan. Atas rahmat, nikmat dan karunia-Nya yang berupa
iman dan kesehatan hingga detik ini, akhirnya saya dapat menyelesaikan makalah
ini. Shawalat serta salam tetap tercurah kepada junjungan besar kita nabi
Muhammad SAW. Semoga syafaatnya mengalir pada kita semua kelak.

Makalah tugas individu yang membahas “Suku Laut Riau” dibuat untuk
melengkapi tugas mata kuliah masyarakat dan kebudayaan Indonesia. Pada isi
makalah disampaikan mengenai penjelasan lebih dalam tentang sejarah suku Laut
Riau dan serta di paparkan pula seluruh aspek kebudayaan yang meyangkut suku
tersebut.

Saya mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah mendukung serta
membantu saya dalam penyelesaian makalah ini. Dengan kerendahan hati, saya
memohon maaf sebesar-besarnya apabila ada kesalahan penulisan ataupun dalam
hal lain. Kritik yang terbuka dan membangun sangat saya sebagai penulis nantikan
demi kesempurnaan makalah. Demikian kata pengantar ini saya sampaikan.

Masamba, 5 Desember 2020

Iqlima riawan
BAB I

A. PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Keragaman budaya yang ada di Indonesia merupakan suatu kekayaan


bangsa. Berbagai suku yang terdapat di Indonesia dengan ciri khas kebudayaannya
masing-masing, hal itu di anggap merupakan suatu aset yang sangat berharga yang
tidak dimiliki oleh bengsa lain di dunia. Maka dari itu kekayaan budaya ini harus
tetap ada, terawat dan terus dilestarikan oleh kita sebagai generasi penerus, karena
kita ketahui hal itu menjadi identitas yang melekat suatu suku bangsa yang bisa
menunjukkan jati diri masing-masing.

Budaya merupakan suatu hal yang perlu dihormati dan dijaga serta perlu
dilestarikan agar kebudayaan kita tidak hilang dan bisa menjadi warisan generasi
berikutnya. Hal ini tentu menjadi tanggung jawab para generasi muda dan juga
perlu dukungan dari berbagai pihak, karena ketahanan budaya merupakan salah
satu Identitas suatu negara. Kebanggaan bangsa indonesia akan budaya yang
beraneka ragam sekaligus mengundang tantangan bagi seluruh rakyat untuk
mempertahankan budaya lokal agar tidak hilang ataupundicuri oleh bangsa lain.
Sudah banyak kasus disekitar kita tentang budaya kita banyak yang dicuri karena
ketidak pedulian para generasi penerus, dan ini merupakan pelajaran berharga
karena Kebudayaan Bangsa Indonesia adalah harta yang mempunyai nilai yang
cukup tinggi di mata masyarakat dunia. Dengan melestarikan budaya lokal kita bisa
menjaga budaya bangsa dari pengaruh budaya asing, dan menjaga agar budaya kita
tidak diakui oleh Negara lain.

Makalah ini bertujuan untuk memberikan pemahaman serta pengetahuan


tambahan mengenai salah satu suku yang terletah di perairan Kepulauan Riau,
dimana di zaman ini semua orang terutama generasi penerus bangsa Indonesia
jarang yang ingin mengetahui hal ini. Selain itu, di dalam makalah ini akan di
bahas mengenai sejarah serta segala aspek kebudayaan yang dimiliki oleh suku
Laut Riau

2. RUMUSAN MASALAH

a. Penjelasan umum mengenai suku dan kebudayaan


b. Sejarah Suku Laut Riau
c. Klasifikasi orang laut di perairan kepulauan Riau
d. Aspek kebudayaan suku Laut Riau

B. METODE PUSTAKA

1. Sumber dan Jenis Data


Data-data yang dipergunakan dalam penyusunan makalah ini berasal dari
berbagai literatur studi yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.
Beberapa jenis referensi utama yang digunakan seperti artikel, jurnal serta
makalah terdahulu tentang pokok bahasan utama dalam makalah ini yaitu
semua yang mencakup Suku Laut Riau di Kepulauan Riau yang
bersumber dari internet. Jenis data yang diperoleh adalah variatif, bersifat
deskriptif.

 
2. Pengumpulan Data
Metode penulisan bersifat studi kasus karena mengangkat fenomena yang
berkaitan dengan Suku Laut Riau. Informasi didapatkan dari  berbagai
literatur dan disusun berdasarkan hasil studi dari informasi yang diperoleh.
Penulisan diusahakan saling terkait antar satu sama lain dan sesuai dengan
topik bahasan yang dibahas.

3. Analisis data
Data yang terkumpul diseleksi dan diurutkan sesuai dengan pokok
bahasan. Kemudian dilakukan penyusunan makalah berdasarkan data yang
telah dipersiapkan menurut fakta dan secara runtun. Teknik analisis data
bersifat deskriptif argumentatif.

4. Penarikan kesimpulan
Simpulan didapatkan setelah merujuk kembali pada rumusan masalah,
tujuan penulisan, serta pembahasan. Simpulan yang ditarik
mempresentasikan  pokok pembahasan makalah.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Penjelasan umum mengenai suku dan kebudayaan

1. Suku

- Pengertian suku
Suku adalah suatu kelompok etnik atau etnis yang
merupakan suatu golongan sosial yang terdapat di kalangan
masyarakat dan anggota-anggotanya telah mengidentifikasikan
dirinya bahwa telah terikat dengan suatu kebudayaan tertentu,
biasanya hal ini bisa di lihat berdasarkan garis keturunan yang
dianggap sama. Selain itu, pengertian tentang suku menurut
Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu
Antropologi, ia menyatakan menyatakan bahwa suku merupakan
sekelompok manusia yang memiliki kesatuan dalam budaya dan
terikat oleh kesadarannya akan identitasnya.

- Pembentukan suku bangsa

Karl Marx (Pardue. 1986:312) menyatakan bahwa


sociability manusia lebih dari sekedar pengertian bahwa manusia
membutuhkan yang lainnya untuk memenuhi kebutuhannya.
Ketika seorang individu lahir dalam suatu keluarga dimana
keluarga tersebut merupakan bagian dari suatu kelompok sosial.
Kelompok sosial (macionis, 19879:174) pada umumnya
didefinisikan sebagai dua atau lebih orang yang memiliki suatu
identitas bersama dan yang berinteraksi secara regular. Apapun
bentuknya, kelompok sosial terdiri dari orang-orang yang memiliki
kesadaran keanggotaan yang sama dan didasarkan pada suatu
pengalaman, loyalitas, dan kepentingan yang sama. Pada dasarnya
mereka sadar tentang individualitas mereka, sebagai anggota dari
kelompok sosial yang secara spesifik disadari sebagai “kita”

Suku bangsa atau biasa disebut kelompok etnik, menurut


pertemuan internasional tentang tantangan-tantangan dalam
mengukur dunia etnis pada tahun 1992, "Etnisitas adalah sebuah
faktor fundamental dalam kehidupanmanusia. Ini adalah sebuah
gejala yang terkandung dalam pengalaman manusia" meskipun
definisi ini seringkali mudah diubah-ubah.

Proses-proses yang melahirkan suatu identifikasi seperti


itu biasa disebut dengan sebutan etnogenesis. Secara keseluruhan,
semua anggota dari sebuah kelompok suku bangsa mengklaim
kesinambungan budaya yang telah di dokumentasikan bahwa
banyak dari nilai-nilai, praktik-praktik, dan norma-norma yang
dianggap menunjukkan kesinambungan dengan masa lalu, hal itu
pada dasarnya di anggap sebagai temuan yang relatif baru. Ciri
khas dari suatu kebudayaan bisa tampil karena kebudayaan fisik
dengan bentuk khusus, atau karena di antara pranata-pranatanya
ada fisik dengan bentuk khusus, atau dapat juga karena warganya
menganut suatu tema budaya khusus. Dalam kenyataan, konsep
“suku bangsa “ lebih kompleks daripada yang terurai di atas. Ini
disebabkan karena dalam kenyataan, batas dari kebudayaan itu
dapat meluas atau menyempit, tergantung pada keadaan.

- Dalam sosiologi, pada umumnya suku bangsa dapat


dikelompokkan berdasarkan dua hal seperti di bawah ini:

a. Garis keturunan, garis keturunan menjadi faktor utama bagi


suku bangsa. Dalam praktiknya dikenal tiga macam
pendekatan garis keturunan yang biasa dilakukan, yaitu :

1. Garis keturunan ayah (patrilinial), ini banyak terjadi di


dalam suku-suku yang terdapat di Indonesia suku Batak,
Ambon, Timor dan yang lainnya.
2. Garis keturunan ibu (matrilineal), biasanya garis keturunan
ibu terjadi di dalam suku Minangkabau di Sumatra
Selatan.
3. Garis keturunan ayah dan ibu (parental/bilateral), garis
keturunan ini dijalankan oleh suku Jawa.

b. Suku bangsa campuran, suku bangsa ini terjadi dengan adanya


percampuran antar ras yang mendiami satu kawasan/wilayah
tertentu. Contohnya: suku Peranakan yang merupakan
percampuran antar ras Tionghoa dengan Melayu.

2. Kebudayaan
- Pengertian kebudayaan
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta
yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi
atau akal) diartikan sebagai hal- hal yang berkaitan dengan budi
dan akal manusia, dalam bahasa inggris kebudayaan disebut
culture yang berasal dari kata latin colereyaitu mengolah atau
mengerjakan dapat diartikan juga sebagai mengolah tanah atau
bertani, kata culture juga kadang sering diterjemahkan sebagai
“Kultur” dalam bahasa Indonesia1. Hal yang sama juga
diungkapkan oleh Kuntjaraningrat bahwa “kebudayaan” berasal
dari kata sansekerta buddhayah bentuk jamak dari buddhi yang
berarti budi atau akal, sehingga menurutnya kebudayaan dapat
diartikan sebagai hal- hal yang bersangkutan dengan budi dan akal,
ada juga yang berpendapat sebagai suatu perkembangan dari
majemuk budi- daya yang artinya daya dari budi atau kekuatan
dari akal2.

- Unsur kebudayaan

Unsur-unsur kebudayaan bersifat universal, yakni terdapat


dalam semua masyarakat di mana pun di dunia, baik masyarakat
“primitif” dan terpencil, masyarakat sederhana atau prapertanian,
maupun masyarakat berkembang atau mengindustri dan
masyarakat maju atau masyarakat industri dan pascaindustri yang
sangat rumit dan canggih.Unsur-unsur kebudayaan tersebut dapat
dirinci dan dipelajari dengan kategori-kategori sub-unsur dan sub-
sub-unsur, yang saling berkaitan dalam suatu sistem budaya dan
sistem social, beberapa aspek kebudayaan yang dipaparkan oleh
Koentjaraningrat pada tahun 1974 :

1. Sistem dan organisasi kemasyarakatan


2. Sistem religi dan upacara keagamaan
3. Sistem mata pencaharian
4. Sistem (ilmu) pengetahuan
5. Sistem teknologi dan peralatan
6. Bahasa
7. Kesenian

- Sistem sosial budaya di Indonesia

Para ahli kebudayaan memandang tidak mudah


menentukan apa yang disebut kebudayaan Indonesia, antara lain
dengan melihat kondisi masyarakat yang majemuk. Namun secara
garis besar, setidak-tidaknya terdapat 3 (tiga) macam kebudayaan
dalam masyarakat Indonesia, yakni:

1. Kebudayaan Nasional Indonesia yang berlandaskan


Pancasila dan UUD 45
2. Kebudayaan suku-suku bangsa
3. Kebudayaan umum lokal sebagai wadah yang
mengakomodasi lestarinya perbedaan-perbedaan
identitas suku bangsa serta masyarakat-masyarakat
yang saling berbeda kebudayaannya yang hidup dalam
satu wilayah, misalnya pasar atau kota (Melalatoa,
1997: 6).
Sementara itu, Harsya W. Bachtiar (1985: 1-17) menyebut
berkembangnya 4 (empat) sistem budaya di Indonesia, yakni :

1. Sistem Budaya Etnik : bermacam-macam etnik


yang masing-masing memiliki wilayah budaya (18
masyarakat etnik, atau lebih)
2. Sistem Budaya Agama-agama Besar, yang
bersumber dari praktek agama-agama Hindu,
Budha, Islam, Kristen, dan Katolik
3. Sistem Budaya Indonesia: bahasa Indonesia (dari
Melayu), nama Indonesia, PancasiladanUUD-RI.
4. Sistem Budaya Asing: budaya-budaya India,
Belanda, Arab/Timur Tengah, Cina, Amerika,
Jepang, dsb.Selain itu, dapat ditambah “Sistem
Budaya Campuran.”

B. Sejarah suku Laut Riau

Gambar 1 : Sebaran suku laut di kepulauan Riau


Sumber : kebudayaan.kemdikbud.go.id

Vivienne Wee (1993) berpendapat orang laut adalah keturunan


raja-raja Melayu. Ini berdasarkan analisisnya pada naskah Sulalatus
Salatin. Seseorang yang disebut Raja Chulan turun ke dalam laut dan
kawin dengan putri laut. Kalau putri laut simbolis dari orang laut, maka Sri
Tri Buana dan saudaranya adalah anak dari ayah dan ibu yang berasal dari
orang laut. Argumen menarik lainnya adalah orang laut di Kepri diduga
kuat sejumlah peneliti merupakan suku bangsa asli Melayu keturunan
bangsa Melayu tua. Atau, masuk dalam proto Melayu yang menyebar di
Pulau Sumatra, melalui Semenanjung Malaka pada sekitar 2500-1500 SM.
Dalam perkembangannya kemudian atau pasca-1500 SM, terjadi arus besar
migrasi bangsa deutro Melayu ke Asia Tenggara yang membuat bangsa
proto Melayu terdesak ke wilayah pantai (pesisir daratan) di Pulau
Sumatra. Sebagian dari kelompok yang terdesak inilah yang saat ini
dikenal sebagai orang laut.

Asal muasal orang laut tak dapat dipisahkan dari persebaran


(migrasi) orang-orang yang tergolong ras Proto Melayu. Orang laut adalah
sisa-sisa mereka. Parsudi (1995), menyebutkan, ras Deutro Melayu
mendesak orang-orang Melayu ke pedalaman, sehingga terdapat
percampuran antara orang-orang dengan ciri-ciri was weddoid dan
austroloid dengan ras proto Melayu. Ada juga yang berdampingan dan
bercampur dengan orang ras Deutro Melayu.

Orang laut memiliki peranan besar dalam kerajaan sejak Sriwijaya


berkuasa hingga Kesultanan Riau-Johor. Loyalitas orang laut terhadap
sultan sangat kuat. Menurut Tom Pires, loyalitas orang laut yang
disebutnya orang selat telah dimulai sejak di Palembang. Orang laut
membantu sultan saat mendirikan Kesultanan Melaka. Beberapa suku
orang laut jadi tentara raja. Orang Mepar, Galang, Gelam, Sekanak, Sugi,
Bulo menjadi tentara sultan. Pendayung armada sultan dari suku Ladi,
Galang, Tambus, Terong, Klong dan Sugi. Orang Mantang sebagai
pembuat senjata dari besi. Suku Mepar tugasnya mengangkut duta atau
utusan dari luar negeri dan mengurus surat-surat. Orang Moro, Sugi,
Terong dan Kasu menyuplai agar-agar dan sangu (semacam rumput laut).
Pemimpin suku Mepar di Lingga tugasnya mengatur suku-suku yang
mengembara di Perairan Lingga.

Orang laut selalu setia. Saat Portugis menaklukan Melaka 1511,


orang laut menjemput sultan di Bintan dan membawanya untuk
mengungsi. Peranan orang laut dalam Sejarah Johor menonjol saaat terjadi
krisis kerajaan 1688.Orang laut setia pada sultan yang usianya masih muda
dan memihak pada sultan saat terjadi konflik dalam istana kerajaan. Orang
laut juga setia pada Raja Kecik saat berkonflik dengan Raja Johor yang
dapat bantuan dari Orang Bugis. Saat Raja Kecik kalah dan lari ke Siak,
peranan orang laut dalam Kesultanan Johor semakin kecil dan hilang.
Orang Bugis berkuasa untuk menjabat posisi sentral dalam istana.

Jumlah orang laut di Kepulauan Riau lumayan besar. Data tahun


1972 dari Jawatan Sosial Tanjungpinang, jumlah orang laut di Riau
(dimekarkan menjadi Kepri), 5205 orang. Jumlah suku terasing totalnya
21.711 orang. Perinciannya, Suku Sakai 4075 orang, Talang Mamak 6165
orang, Suku Orang Hutan 2938, Suku Bonai 1428 orang dan Suku Akik
1900 orang. Kini 40-an tahun berlalu, orang laut di Kepri masih banyak
ditemukan. Ada yang sudah bermukim dan ada yang masih mengembara di
laut. Banyak pemukiman orang laut yang dibangun pemerintah. Sebut saja
di Pulau Lipan, Kelumu, Sungai Buluh, Tanjungkelit, Kelumu dan Tajur
Biru di Kabupaten Lingga. Di Bintan juga ada di Air Kelubi, sementara di
Batam, orang laut dibuat pemukiman di Pulau Bertam.

Mereka menjalani hidup dengan sangat sederhana sekali jauh dari


kehidupan modern, mereka tetap bersahaja walaupun zaman telah banyak
mengalami perubahan. Suku Laut bekerja turun-temurun sebagai nelayan
tradisional. Mengarungi lautan pada siang hari maupun malam hari, hujan,
badai dan gelombang besar bukanlah sesuatu yang menakutkan bagi
mereka tetapi merupakan tantangan yang harus disikapinya dengan arif dan
bijak. Berdasarkan ketergantungan mereka pada alam (laut) inilah yang
menjadikan mereka semakin arif dan peka terhadap tanda-tanda yang
diberikan alam sehingga mereka mampu menyesuaikan diri dengan alam.
Dan pada akhirnya dapat memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam
sebagaimana mestinya.

Dengan berbekal kebudayaan dan memiliki nilai-nilai budaya


tersebut yang membedakan jati dirinya dengan masyarakat yang lain. Suku
Laut menyebar hampir di seluruh Kepulauan Riau. Dan di Batam sendiri,
salah satu Suku Laut ada yang bermukim di Tanjung Gundap Kelurahan
Tembesi Kecamatan Sagulung dekat dengan Jembatan Satu Barelang.

C. Klasifikasi orang laut di perairan kepulauan Riau

Gambar 2 : Potret kehidupan suku Laut


Sumber : batam.tribunnews.com

1. Urak Lawoi'/Orak Lawoi'/Lawta/Chaw Talay/Chawnam/Lawoi yang


memiliki habitasi di perairan Pulau Phuket, Phi Phi, Jum, Lanta, Bulon,
Lipe, Andang di Kepulauan Andang, dan Andaman Thailand Selatan
dimana sebagian mereka menganut Traditional Religion (Animisme),
Theravada Buddhis, dan Kristiani serta berbahasa Melayu Cho Lai/Melayu
Urak Lawoi.
2. Suku Moken yang memiliki habitasi di perairan Thailand Selatan,
Myanmar (Birma), dan Malaysia (Laut Andaman) dimana mereka
berbahasa Moken.
3. Suku Laut/Orang Laut/ Orang Sampan, subgrup terdir dari Orang (Suku)
Mantang, Orang (Suku) Mapor, Orang (Suku) Barok, dan Orang (Suku)
Galang yang memiliki habitasi di perairan Provinsi Kepulauan Riau
Indonesia yang sebagian dari mereka masih memuja Dewa Laut dan
sebagian lainnya telah memeluk Islam dengan dialek Melayu yang khas
Orang Laut.
4. Suku Ameng Sewang yang memiliki habitasi di perairan Provinsi Bangka
Belitung, Indonesia yang mana 90% dari mereka telah memeluk agama
Islam dan berbahasa Melayu Bangka.
5. Badjao/Badjau, Bajao, Bajaw yang memiliki habitasi di perairan Pulau
Kalimantan bagian timur, Sulawesi Utara (Indonesia), Malaysia, dan
Filipina. Sebagian dari mereka masih percaya akan keyakinan lokal dan
sebagian lagi telah menganut agama Kristiani. Bahaya Malayu Polinesian
digunakan secara khas oleh mereka sesuai dengan kelompok-kelompok
mereka masing-masing.

D. Aspek kebudayaan suku Laut Riau

Penjelasan mengenai aspek kebudayaan suku Laut Riau akan di


jabarkan berdasarkan pembagian aspek menurut Koentjaraningrat pada
tahun 1974.

- Sistem dan organisasi kemasyarakatan

Secara struktur sosial yaitu sistem kekerabatan dan relasi


antar gender, menurut penelitian yang dilakukan Lenhart, orang
laut masih hidup dalam lingkup kelompok yang tidak terlalu besar
atau sekitar lima sampai delapan keluarga inti. Kelompok yang
masih dalam satu kerabat ini dipimpin seorang laki-laki yang
ditunjuk melalui sebuah musyawarah. Pemimpin ini berfungsi
sebagai perantara ketika menjalin komunikasi dengan suku laut
yang tersebar di Kepulauan Riau. Walau pemimpinnya seorang
laki-laki, relasi antargender (laki-laki dengan perempuan) cukup
egaliter dalam praktik kehidupan sosialnya. Hal ini didasari
kesepakatan bersama, biasanya dimulai dari himpunan keluarga
terkecil (nuclear family) yang telah menetapkan pembagian peran
secara seksual (division of labour) serta posisi sosial masing-
masing.

Sistem hubungan kekerabatan Suku Laut cenderung


bilateral dan garis keturunan yang ambilineal, tetapi rumah tangga
mereka biasanya terbentuk dari keluarga inti neolokal. Dalam
mencari pasangan kawin mereka memakai ketentuan eksogami
klen. Pasangan-pasangan baru cenderung untuk tinggal dekat
kelompok orang tua si isteri, tetapi kemudian setelah mampu
berdiri sendiri mereka bebas untuk bergabung dengan kelompok
lain.

- Sistem religi dan upacara keagamaan

Religi yang mengatur perilaku orang Laut mengandung


konsep dasar animisme-shamanisme (sopher 1977: hlm. 279, 294),
tetapi tidak meliputi semua aspek kehidupan mereka. Keyakinan
mengenai hal-hal yang bersifat gaib mempengaruhi perilaku
menanggapi ruh-ruh, kekuatan-kekuatan gaib, hari baik dan naas,
hantu-hantu, mambang dan peri, dan sekaligus mencerminkan
kekhawatiran mereka terhadap berbagai ancaman dunia gaib yang
dapat merugikan atau mencelakakan kehidupan mereka.

Hampir semua orang Laut yakin bahwa ruh Datuk


Kemuning dan isterinya, yaitu saka (leluhur) datuk-moyang orang
Laut, bersemayam di Gunung Daik (Lingga). Ruh-ruh para
anggota keluarga berada di tanjung, di pantai, kuala, suak, atau di
bukit-bukit berbatu. Agar mereka aman melewati tempat-tempat
tersebut, orang Laut selalu memberi pemakan (sesaji), atau mereka
minum air laut sedikit di tempat tersebut untuk menandakan bahwa
mereka adalah “orang sendiri”, dan karena itu mereka berharap
agar mereka tidak diganggu.

Orang Laut juga percaya akan kekuatan gaib, yang antara


lain bersumber pada benda-benda seperti buntat, batu akik, akar
bahar, keris dan sebagainya, dan pada benda-benda yang
bersumber pada manusia. Bomoh (dukun) dianggap memiliki
kekuatan gaib, yang dapat digunakan untuk tujuan baik maupun
buruk, mencelakakan lawan, atau menghalau serangan lawan, serta
menyembuhkan penyakit yang berasal dari perbuatan manusia
maupun karena tersampuk (“kemasukan” atau diganggu) ruh,
hantu, dan sebagainya. Dengan kekuatan gaibnya, seorang bomoh
dianggap mampu mengatasi gejala-gejala alam yang merugikan
manusia, seperti menenangkan ombak dan badai.

Saat ini Orang Suku Laut di Kepulauan Riau memiliki


keberagaman agama yang tinggi yang terdiri dari Islam, Kristen
Protestan, Khatolik dan Budha. Kebebasan memilih agama ini
sangat dipengaruhi oleh program pendampingan agama yang
berlokasi di sekitaran tempat tinggal mereka. Sebagai contoh, di
kelompok Orang Suku Laut Pasir Panjang dan Pulau Lipan
Kabupaten Lingga, kelompok ini menyatakanbeberapa kali telah
berganti agama sesuai dengan tokoh penyiar agama yang
mendampingi mereka. Mirisnya, keberagaman agama ini justru
menjadi penghambat program pemberdayaan untuk Orang Suku
Laut. Beberapa program sosial sangat spesifik memberikan
bantuan kepada pengikut agama tertentu. Hal ini menimbulkan
kesejangan sosial pastinya.

Beberapa penelitian yang didampingi Yayasan Kajang


menemukan konsep ketuhanan dan agama versi Orang Suku Laut
saat ini sebenarnya belum sekuat masyarakat melayu dominan di
darat. Bagi Orang Suku Laut agama masih berupa kebutuhan
administratif dan normatif. Beberapa kelompok tetap menjalankan
kepercayaan adat yang dibuktikan dengan mantra, pengasih, dan
ilmu yang masih mereka gunakan walaupun mereka sudah
memeluk agama tertentu. Menariknya, ada pendapat dari petua-
petua adat Orang Suku Laut yang menyatakan diri mereka berasal
dari nenek moyang Melayu yang beragama Islam. Argumen ini
dibuktikan dari beberapa mantra yang mereka punyai dengan
menggunakan kata-kata pujian kepada Tuhan dalam versi agama
Islam.
- Sistem mata pencaharian

Ketergantungan orang Suku Laut terhadap orang Suku


Darat dalam memenuhi segalakebutuhannya,mencerminkan
ketergantungan nya dengan kehidupan di daratsangat besar. Untuk
memenuhi keinginannya, merekatidak dapat lagi mempertahankan
simbol-simbol yang selama ini dipedomani,termasuk simbol sama
dan bagai. Hal itu berdampak pada sistem produksinyayang tidak
lagi sekedar berorientasi untuk konsumsi tetapi sudah
berorientasipada pengumpulan modal. Oleh sebab itu, alasan
ekonomi menjadi salah satufaktor perubahan makna sama dan
bagai pada masyarakat suku laut di Desa Berakit.

- Sistem pengetahuan atau pendidikan

Pada tahun 2010, tingkat pendidikan anak-anak suku laut


di daerah Kepulauan Riau hampir 99% hanya sampai pada Sekolah
Dasar. Untuk level SMA, jumlahnya semakin kecil. Biasanya
setelah tamat SD, anak-anak akan dilatih ke laut oleh orang tuanya
sehingga kembali menjadi sahabat laut. Hampir tidak ada suku laut
di Kepulauan Riau yang memiliki taraf kehidupan baik atau
bekerja pada profesi tertentu seperti guru. Terlebih lagi mengecapi
pendidikan di Perguruan Tinggi.

- Sistem teknologi dan peralatan

Mulai sinarnya siklus kehidupan masyarakat air asin, kini


mulai tampak. Perubahan pola hidup membuat mereka tidak lagi
menyenangi perjalanan jauh mencari ikan dengan menggunakan
sampan. Sendi-sendi dunia modern yang telah menyentuh mereka,
telah mengajarkan satu hal, kehidupan daratan lebih nyaman
ketimbang harus terombang ambing di atas lautan luas.Kehidupan
yang telah melangka moderen memang mulai ditapaki oleh
masyarakat suku laut, tak hanya TV, handphone pun sudah mereka
miliki.

- Bahasa

Bahasa yang digunakan orang suku laut hampir sama


dengan bahasa melayu. Sering disebut sebagai bahasa melayu
lokal. Karena kebiasaannya yang suku berkelana di lautan, suku
laut ini sering dijuluki sebutan ‘kelana laut’.

- Kesenian

1. Upacara adat

a. Upacara Kematian
Apabila ada kematian, mayat segera dimandikan berturut-
turut dengan air pasir, air daun jeruk nipis atau jeruk purut, dan
terakhir dengan air bersih. Mayat juga diberi kafan. Sebelum
mayat dimasukkan ke dalam liang lahat, ada orang yang terlebih
dahulu masuk ke liang lahat itu untuk menyampaikan pesan sang
mayat kepada malaikat Nungka Wanangkir. Dalam cara
penguburan itu tampak adanya pengaruh Islam. Pada masa ini
sebagian besar orang Laut sudah memeluk agama Islam.

b. Upacara pernikahan
Dimasa lalu, orang laut semenjak masa pertumbuhan anak-
anak mereka biasanya telah “dijodohkan” dengan sepupu, karena
mereka percaya bahwa bentuk perkawinan yang ideal adalah
perkawinan dengan sepupu. Alasannya untuk melindungi dan
menjaga kelompok mereka, dan sistem perkawinan ini dapat
menghindari perpecahan. Prosesi adat pernikahan orang suku laut
tidak jauh beda dengan pernikahan orang melayu. Prosesi jemput
nikah orang laut diawali pasangan pengantin berkiyau
(bersampan)menuju pulau panuba, jaraknya dekat hanya
selemparan batu.

2. Tari tradisional

Gambar 3 : Tari Merawai


Sumber : disbud.kepriprov.go.id

Tari merawai adalah sebuah tarian tradisional Orang Laut


berhubungan dengan kehidupan mereka sebagai nelayan
tradisional. Tarian tradisional yang hidup dan berkembang di
tengah kehidupan Orang Laut yakni tari merawai. Tari merawai
mengisahkan kehidupan Orang Laut yang bersama-sama
menggunakan satu sampan pergi merawai mencari ikan.

Tarian dilakukan dengan berbaris, berkeliling mengitari


panggung. Baris pertama menirukan orang melempar pancing kiri
dan kanan, baris kedua menirukan orang berkayuh sampan, baris
ketiga menirukan orang menimba air dan baris terakhir paling
belakang, beradegan seperti orang mengemudi sampan. Sambil
menari berkeliling mengitari panggung atau tempat diiring dengan 
nyanyian yang menceritakan adegan tari merawai. Tari Merawai
masuk kategori tarian hampir punah karena jarang ditampilkan.
BAB III

PENUTUP

Sebagai penutup dari makalah ini, dapat di simpulkan bahwa


secara lebih luas istilah orang laut mecakup “Berbagai suku dan kelompok
orang yang bermukim di muara di kepulauan Riau-Lingga, pulau tujuh,
kepulauan Batam, dan pesisir pulau-pulau di lepas pantai Sumatra Timur
dan Semenanjung Malaya bagian Timur. Masyarakat suku laut sering
disebu juga orang Laut. Suku Luat memiliki sistem keperayaan yana
berbeda. Mereka percaya bahwa kekuatan gaib sangat mempengaruhi
kehidupan mereka sehari-hari. Beberapa aspek kebudayaan suku laut
termasuk yang paling unik dan menarik meskipun beberapa hampir punah.
DAFTAR PUSTAKA

Evawarni. 2005, Kearifan Lokal Adat Orang Laut di Kepulauan Riau,


Dokumentasi dan Perpustakaan Balai Kajian Sejarah Tanjung Pinang

Siti, Suprihatin. (2017). Studi Masyarakat Indonesia. Promosi : Jurnal program


studi Pendidikan ekonomi 5(1), 11 -13. https://repository.ummetro
.ac.id/files/artikel/04434f531592ed2d40284914f1cb5fdb.pdf.

Agasta Adhiguna. (2019). Suku di Indonesia: Pengertian, Sebaran, Jumlah, dan


Daftar Lengkap. [di akses pada 2020 Des 5]. Tersedia pada:
https://foresteract.com /suku-di-indonesia/.

Nurdien Harry kistanto. (2017). Tentang Konsep Kebudyaan. Jurnal Kajian


Kebudayaan 10(2), 6- 7.https://ejournal.undip.ac.id/index.php/
sabda/article/viewFile/13248/10033.

Desma Yulia, (2016). Sejarah perkembangan suku laut di Tanjung Gundap


Kelurahan Tembesi Kecamatan Sagulung Batam Tahun 1982-2012
1(2), 147-150. https://media.neliti. com/media/publications/79987-ID-
sejarah-perkembangan-suku-laut-di-tanjun.pdf.

Dedi Arman. (2016). Orang laut kepulauan Riau.[di akses pada 2020 Des 5].
Tersedia pada : https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkepri/orang-laut-
kepulauan-riau/

Sistem kepercayaan orang laut di Kepulauan Riau. (2010). [di akses pada 2020
Des 6]. Tersedia pada:https://uun-halimah.blogspot.com/2007/12/sistem-
kepercayaan-orang-laut-di.html

Jefri Saputra. (2015). Perubahan kolektif komunitas suku laut di desa berakit
kecamatan teluk sebong kabupaten bintan. Naskah publikasi. http://jurnal.
umrah.ac.id/wp-content/uploads/gravity_forms/1 ec61c9cb232a03a96d09
47c6478e525e/2015/09/ JURNAL-SUKU-LAUT.pdf

Mengenal Suku Laut di Kepulauan Riau. (2019). [di akses pada 2020 Des 6].
Tersedia pada : https://www.kompasiana.com/petraoetamawahyoe
/5dd03125d 541df7d685881b4/mengenal-suku-laut-di-kepulauan-
riau?page=all#sectionall

Resti. (2018). Suku Laut. [ di akses pada 2010 Des 7]. Tersedia pada :
https://restihanora. blogspot.com/2018/04/v-behaviorurldefaultvmlo.html

Anda mungkin juga menyukai