PENDAHULUAN
sistem
lingkaran-lingkaran
hukum
adat
yang
mula-mula
1.2
Rumusan Masalah
Tujuan
Untuk mengetahui tentang kehidupan, kesehatan, pengobatan, kehamilan dan
kelahiran pada Suku Sakai dalam sudut pandang antropologi kesehatan.
1.4
Manfaat
Dapat mengetahui tentang kehidupan, kesehatan, pengobatan, kehamilan dan
kelahiran pada Suku Sakai sudut pandang antropologi kesehatan.
BAB II
PEMBAHASAN
tempat mereka berlindung mulai punah. Kawasan yang tadinya hutan, berkembang
menjadi daerah industri perminyakan, usaha kehutanan, perkebunan karet, kelapa
sawit, dan ekonomi. Komposisi masyarakatnya pun menjadi lebih heterogen dengan
pendatang baru dan pencari kerja dari berbagai kelompok masyarakat yang ada di
Indonesia (Jawa, Minang, Batak, dsb). Akibatnya, masyarakat Sakai pun mulai
kehilangan sumber penghidupan. Sementara, usaha atau kerja di bidang lain belum
biasa mereka jalani.
2.2.1 Asal-Usul Suku Sakai
Menurut Moszkowski (1980) dan kemudian juga dikutip oleh Leob (1935)
dalam Orang Sakai di Riau (1995:72) orang Sakai adalah orang veddoid yang
merupakan keturunan minangkabau yang datang bermigrasi sekitar abad ke 14 ke
daerah riau, yaitu ke Gasib, di tepi sungai Gasib dihulu sungai Rokan. Gasib
kemudian menjadi sebuah kerajaan dan kerajaan Gasib kemudian dihancurkan oleh
kerajaan Aceh sehingga masyarakat ini melarikan diri ke hutan-hutan disekitar daerah
sungai-sungai Gasib, Rokan, dan Mandau serta seluruh anak-anak sungai Siak.
Mereka adalah nenek moyang orang Sakai. Sedangakan menurut keterangan dari
Boechary Hasny dalam Orang Sakai di Riau (1995:72) yang memperoleh keterangan
mengenai asal-muasal orang sakai dari para orang tua sakai, dan juga menurut
keterangan dari bapak Saepel, mantan Batin Beringin Sakai yang saya wawancarai,
orang sakai berasal dari Pagarruyung, Batusangkar dan dari Mentawai. Dalam uraian
mereka mengenai asal-muasal orang Sakai tercakup sejarah asal mula adanya
Perbatinan Lima dan Perbatinan Delapan yang coraknya seperti dua buah moiety
atau paruh masyarakat, tetapi struktur paru masyarakat ini tidak befungsi di dalam
struktur kehidupan masyarakat orang sakai.
a. Perbatinan Lima
besi, untuk membuat peralatan berbagai alat pertanian dan rumah tangga. Meraka
membuka hutan bagi tempat-tempat pemukiman baru yaitu: (1) Desa Petani, (2) Desa
Sebangga, (3) Desa Air jamban duri, (4) Desa Pinggir, (5) Desa Semunai, (6) Desa
Syam-syam, (7) Desa Kandis, (8) Desa Balaimakam. Kedelapan tempat pemukiman
tersebut masing-masing di sahkan sebagai sebuah perbatinan (dukuh) dengan
kepalanya seorang batin (kepala dukuh). Oleh karena itu kedelapan tempat tersebut
disebut sebagai Perbatinan Delapan.
Selain asal usul di atas, pendapat kedua mengenai asal usul Suku Sakai yaitu
Suku Sakai ini berasal dari keturunan Nabi Adam yang langsung hijrah dari tanah
Arab, terdampar di Sungai Limau, dan hidup di Sungai Tunu. Namun, tidak ada
sumber tertulis pasti tentang asal-usul sesungguhnya Suku Sakai ini. Catatan sejarah
mengatakan bahwa pada zaman dahulu penduduk asli yang menghuni Nusantara
adalah orang-orang Wedoid dan Austroloid, kelompok ras yang memiliki postur
tubuh kekar dan berkulit hitam. Mereka bertahan hidup dengan berburu dan
berpindah-pindah tempat. Sampai suatu masa, kira-kira 2.500-1.500 tahun sebelum
Masehi, datanglah kelompok ras baru yang disebut dengan orang-orang Melayu Tua
atau Proto-Melayu.
Gelombang migrasi pertama ini kemudian disusul dengan gelombang migrasi
yang kedua, yang terjadi sekitar 400-300 tahun sebelum Masehi. Kelompok ini lazim
disebut sebagai orang-orang Melayu Muda atau Deutro-Melayu. Akibat penguasaan
teknologi bertahan hidup yang lebih baik, orang-orang Melayu Muda ini berhasil
mendesak kelompok Melayu Tua untuk menyingkir ke wilayah pedalaman. Di
pedalaman, orang-orang Melayu Tua yang tersisih ini kemudian bertemu dengan
orang-orang dari ras Wedoid dan Austroloid. Hasil campur antara keduanya inilah
yang kemudian melahirkan nenek moyang orang-orang Sakai.
Sementara pendapat ketiga mengatakan bahwa orang-orang Sakai berasal dari
Pagarruyung dan Batusangkar. Menurut versi cerita ini, orang-orang Sakai dulunya
adalah penduduk Negeri Pagarruyung yang melakukan migrasi ke kawasan rimba
7
belantara di sebelah timur negeri tersebut. Waktu itu Negeri Pagarruyung sangat padat
penduduknya. Untuk mengurangi kepadatan penduduk tersebut, sang raja yang
berkuasa kemudian mengutus sekitar 190 orang kepercayaannya untuk menjajaki
kemungkinan kawasan hutan di sebelah timur Pagarruyung itu sebagai tempat
pemukiman baru. Setelah menyisir kawasan hutan, rombongan tersebut akhirnya
sampai di tepi Sungai Mandau. Karena Sungai Mandau dianggap dapat menjadi
sumber kehidupan di wilayah tersebut, maka mereka menyimpulkan bahwa kawasan
sekitar sungai itu layak dijadikan sebagai pemukiman baru. Keturunan mereka inilah
yang kemudian disebut sebagai orang-orang Sakai. Bagi orang Sakai sendiri,
pendapat ini dianggap yang lebih benar karena mereka meyakini bahwa leluhur
mereka memang berasal dari Negeri Pagarruyung. Populasi Suku Sakai yang terbesar
hingga saat ini terdapat di Kabupaten Bengkalis (Pulau Bengkalis dan Pulau Rupat).
2.2.2 Kepercayaan Suku Sakai
Salah satu ciri masyarakat Sakai yang juga melahirkan penilaian negatif dari
orang Melayu adalah agama mereka yang bersifat animistik. Meskipun banyak di
antara orang Sakai yang telah memeluk Islam, namun mereka tetap mempraktekkan
agama nenek moyang mereka yang masih diselimuti unsur-unsur animisme, kekuatan
magis, dan tentang mahkuk halus. Inti dari agama nenek moyang masyarakat Sakai
adalah kepercayaan terhadap keberadaan antu atau mahluk gaib yang ada di sekitar
mereka. Masyarakat Sakai menganggap bahwa antu juga memiliki kehidupan
layaknya manusia. Mereka bergerombol dan memiliki kawasan pemukiman. Pusat
dari pemukiman antu ini menurut orang Sakai berada di tengah-tengah rimba
belantara yang belum pernah dijamah manusia.
2.2.3 Kehidupan Suku Sakai Sekarang
Kehidupan masyarakat Sakai saat ini sudah banyak dipengaruhi oleh pendatang
serta pekerja perkebunan dari tanah Jezawa, Medan, Padang dan juga beberapa
daerah di Sumatra lainnya. Banyaknya pembukaan hutan untuk perkebunan sawit dan
8
juga pemukiman penduduk baru serta program transmigrasi telah mempengaruhi cara
pemikiran dan juga pola hidup suku sakai.
Mereka kini jarang yang hidup di hutan tetapi menetap bersama-sama dengan
pendatang. Kepercayaan animisme yang dahulu dianut oleh sebagian besar suku
Sakai, kini berganti dengan beberapa agama seperti Islam atau pun Kristen. Sehingga
keyakinan terhadap makhluk halus yang sering disebut 'antu, tidak lagi menyelimuti
kehidupan mereka. Anak-anak Suku Sakai pun sudah memasuki sekolah. Harapan
kedepan, keterbelakangan Suku Sakai bisa diatasi dengan mengikutsertakan mereka
pada program-program pembangunan.
2.3 Kesehatan Suku Sakai
Secara pengamatan orang awam atau orang biasa kesehatan fisik orang sakai
yang menjadi warga Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat Terasing (PKMT) adalah
jelek. Hampir semua terjangkit satu penyakit atau berbagai macam penyakit dan
penyakit yang di alami langsung dapat dilihat oleh mata dan di dengar oleh telinga.
Salah satu contoh penyakit adalah penyakit kulit atau kurap, karena penyakit tersebut
tidak memandang usia atau kalangan.
Pada tahun 1908 salah satu tokoh yaitu Miszkiwski dalam Orang Sakai di
Riau (1995:304) menyebutkan bahwa penyakit kurap adalah penyakit yang
menyerang hampir semua orang sakai. Hal ini di sebabkan karena mutu gizi makanan
yang rendah serta kebersihan tubuh yang tidak terawat dengan baik. Menurut
Muszkiwski ada pula penyakit yang sering menyarang anak-anak yaitu penyakit
batuk dan cacingan. Karena pada daerah tersebut ketidak adaan kakus sehingga
menyebabkan anak-anak membuang air besar di halaman rumah, di jalan raya dan di
kebun. Kotoran mereka digelimangi cacing gelang dan selalu di keerumuni lalat.
Di kantor PKMT sialang rumbun terdapat sejumlah botol obat berisi pil
namun label yang terdapat di botol obat-obatan tersebut tertulis dengan bahasa latin
9
yang sejak tahun 1908 tidak ada seorang pun petugas yang mengerti dan memahami
untuk apa obat-obatan tersebut. Obat yang tersedia lainya hayalah obat luka dan
perban sedangkan beberapa obat seperti bodrex dan eterovoform yang da di kantor
PKMT itu hanya di pergunakan untuk petugas itu sendiri.
Salah satu bentuk berobat dari warga PKMT adalah kalau mereka sakit kepala
atau sakit perut selalu datang ke petugas PKMT untuk meminta obat. Begitu pula
apabila warga tersebut mengetahui bahwa bapak petugas memiliki vitamin maka
mereka akan segera datang meminta vitamin untuk kesehatan mereka. Sehingga dari
kenyataan tersebut tidak ada hambatan untuk warga menikmati pengobatan modern.
Tetapi hambatan lainnya adalah biaya karena warga yang ingin berobat harus
mengeluarkan biaya transportasi dan juga mahalnya biaya pemeriksaan yang ditarik
oleh mantra sebesar Rp. 1000,- dan biaya obat Rp.5000,- maka dari itu orang sakai
lebih memilih membeli obat di warung setempat untuk mengobati penyakit di
antaranya obat bodrex atau obat sakit kepala cap bintang tujuh,obat gosok balsam
atau minyak kayu putih untuk sakit kepala dan demam dam mereka akan berobat jika
penyakit yang di deritanya sudah tidak dapat di sembunyikan lagi parah.
Para petugas PKMT mengatakan bahwa mereka telah berhasil membimbing
para warga untuk tidak minum air mentah minum air yang telah di masak mendidih
air, tetapi masalahnya adalah meraka sehari-hari minum air putih(air mentah) dan
kesempatan minum teh manis hanya setelah makan dan pada saat ada tamu yang
berkunjung . menutur mereka merebus air sampai mendidih memekan waktu lama
dan menghabiskan kayu bakar saja,sedangkan air mentah yang mereka minum itu
cukup bening dan bersih(kata mereka).
Petugas pun juga mengajari bagaimana membuang air besar di kakus dan
bagaimana membuat kakus yang cepat dan mudah,dan tanggapan mereka adalah
membuat kakus itu hanya menghabiskan biaya dan tenaga saja padahal kebun-kebun
10
masih cukup luas untuk pembuangan kotoran mereka. Dan tida tidak seorangpun dari
mereka yang melakukan apa yang telah di jelaskan olek para petugas PKMT.
2.4 Pengobatan Suku Sakai
Sejak dulu Indonesia terkenal dengan aneka pengobatan tradisional dengan
berbagai macam metode alternatif. Salah satunya adalah pengobatan menggunakan
perantaraan ruh, arwah atau makhluk dari dimensi lain sebagai terapi. Konsep
pengobatan ini diterapkan suku Sakai yang menetap di kabupaten Bengkalis Provinsi
Riau.
Suku Sakai merupakan salah satu bagian dari masyarakat suku luar atau
terasing di Indonesia. Mereka tinggal di daerah hutan dan hidup dengan berburu hasil
hutan, mencari kulit kayu dan barter dengan para pedagang yang tinggal di luar
komunitas mereka. Suku ini nomaden atau hidup berpindah-pindah dari satu lahan ke
lahan yang lainnya, meskipun tetap berada di areal hutan. Mereka percaya bahwa
lingkungan mereka dihuni makhluk gaib yang disebut antu.
Meskipun kehidupan mereka saat ini sudah modern, mereka masih
mengandalkan dukun untuk pengobatan. Ini merupakan tradisi yang diwariskan
turun-temurun oleh leluhur mereka. Dukun bagi suku Sakai bertindak sebagai seorang
dokter yang mendiagnosa penyakit pasien dengan bantuan arwah dan kemudian
mentransfer pengetahuannya ke pasien. Tidak sembarang orang dapat jadi dukun.
Seseorang diperbolehkan jadi dukun jika dia telah mendapatkan wangsit dari arwah,
mewarisi keahlian bapak atau saudara lelaki, dan menuntut ilmu dari dukun lain.
Menurut Nathan yang meneliti mengenai pengobatan tradisional suku Sakai
selama satu setengah tahun, dalam tradisi pengobatan Sakai, dukun atau disebut
semanggeh mengalihkan kesadarannya ke dimensi arwah dan memanggil arwah
yang dilihat mata batinnya. Dukun kemudian berkelana dengan ruh tersebut untuk
mencari obat atau ubet. Setelah menemukan jawaban, dukun akan menafsirkannya
ke dalam pertunjukan fisik bagi sang pasien berupa tari-tarian, musik serta pantun.
11
Bagi Nathan, aksi fisik tersebut merupakan cermin atas apa yang dilakukan oleh jiwa
pasien di dimensi arwah.
Selama melakukan proses penyembuhan, pihak keluarga si sakit juga mesti
melakukan beberapa ritual seperti: membuat miniatur rumah dilengkapi dengan
obyek bunga, lebah dan burung tiruan serta menyalakan obor. Miniatur tersebut tidak
mesti rumah, bisa berupa benda atau obyek lain tergantung dari permintaan sang
antu atau arwah yang nantinya akan menetap di miniatur tersebut. Umumnya
setelah pengobatan selesai dan antu dari tubuh pasien berpindah ke rumah miniatur,
maka miniatur tersebut akan dibuang sang dukun. Kemudian dukun tersebut akan
mengenakan atribut upacara seperti ikat kepala berwarna merah, selempang berwarna
merah dan bertelanjang dada dan membacakan mantra serta berdiri mengambil
campuran beras putih dan kuning untuk disebar ke seluruh sudut ruangan selama tiga
kali. Ritual itu dilakukan hingga dukun menemukan jawaban atas sakit sang pasien.
Jika telah ditemukan, maka api obor yang dipersiapkan akan dipadamkan.
Suku Sakai menggunakan keahlian mereka berhubungan dengan dunia arwah
hanya untuk kepentingan pengobatan. Dalam kaitannya dengan dunia medis yang
modern, Suku Sakai bersikap terbuka dalam pengertian para dukun tidak melarang
anggota masyarakat Sakai berobat ke dokter di klinik terdekat di luar pemukiman
mereka.
Meskipun tidak ada larangan pergi ke dokter, pada kenyataannya suku Sakai
masih enggan berobat ke dokter karena takut dengan pengobatan modern yang
dianggap menyakitkan seperti jarum suntik. Dalam banyak kasus, Nathan melihat
dukun justru mendorong pergi ke dokter jika mereka tidak berhasil menyembuhkan
pasien. Penelitian atas pengobatan tradisional yang berfokus pada medium dunia
arwah ini mulai menarik perhatian peneliti dunia medis sejak tahun 1960. Dunia
medis mencoba mencari adanya hubungan antara pengobatan tradisional yang
supranatural dengan kesembuhan pasien. Meski dianggap mistis, pada kenyataannya
terapi yang dilakukan Suku Sakai berhasil menyembuhkan pasien.
12
13
5. Mempunyai tempat beras atau cupak dua buah yang ditaruh dalam satu
rumah. Mereka percaya jika bayinya lahir nanti aka ada yang tidak selamat
baik itu ibu atau anaknya.
6. Dilarang membawa cucian basah ke dalam rumah atau dari ruma dalam ke
luar rumah karena untuk membawa cucian basah itu membutuhkan energi
yang besar sehingga akan menekan pertumbuhan janin yang ada di dalam
rahimnya.
7. Pekerjaan pekerjaan yang berat yang memerlukan banyak tenaga tidak boleh
dilakukan oleh si istri melainkan dikerjakan oleh si suami. Contoh : Menanam
padi dan ubi menggalo.
Dalam kesempatan datangnya dukun ke rumah tersebut, dukun juga diminta
untuk bersedia membantu kelancaran dan keselamatan pada saat melahirkan. Si
dukun biasanya bersedia di panggil, bahkan pemanggilan kedatangan si dukun
kerumah mereka sudah merupakan suatu permintaan yang tidak di ungkapkan dengan
kata-kata bahwa sesungguhnya keluarga tersebut meminta si dukun untuk bersedia
membantu kelahiran si bayi. Tiga bulan sebelum bayi lahir keluarga tersebut meminta
secara resmi kesediaan si dukun untuk bersedi menangani kelahiran bayi bila tiba saat
melahitkan. Permintaan secara resmi tersebut merupakan suatu kontrak bila di setujui
oleh si dukun yaitu si dukun harus menepati janjinya atau dia akan menerima
hukuman denda dan sanksi gaib karena pelanggaran atas ketentuan yang belaku. Cara
permintaan secara resmi tersebut adalah dengan mengirimkan nempah yaitu
makanan yang terdiri atas nasi ketan kuning yang di atasnya di taruh sebuah ayam
panggang utuh. Nempah itu sendiri, dalam bahasa sakai sama artinya dengan
mengikat sebuah perjanjian antara dukun dengan keluarga yang bersangkutan.
Setelah dilakukan nempah sampai dengan kelahiran bayi tersebut harus membiayai
makanan sehari-hari dari si dukun sesuai dengan kemampuan ekonomi tersebut.
14
Saat-saat yang paling menegangkan pada kelahiran bayi dan membuat mereka merasa
tertimpa bencana ketika mereka menganggap bahwa kelahiran bayi tersebut lebih
lambat dari pada waktu yang seharusnya. Dalam keadan demikian maka upacara
dikir dilakukan dengan tujuan untuk mengusir berbagai roh atau hantu jahat yang
ada di rumah atau di ladang mereka yang mengganggu kelancaran kelahiran si bayi.
Setelah bayi lahir, usus yang menghubungkan dengan tembuni atau ari-ari itu di
potong menggunakan bilah bambu yang tajam. Tembuni tersebut kemudian
dirwawat dengan cara di garami dan di asami ( dengan asam ) lalu di asap di atas
tungku api dapur sampai kering ; seperti membuat ikan asap. Orang sakai percaya
bahwa tembuni tersebut sebetulnya adalah saudara tua dari si bayi. Dan dalam
kehidupan si bayi
Setelah bayi itu lahir, bayi tersebut menyusui susu ibunya. Ketika bayi berusia
satu tahun dia mulai di beri makanan (pisang, nasi , dan makanan-makanan lunak
lainnya). Menjelang umur 2 tahun bayi mulai di beri makanan nasi atau pisang yang
di campur dengan menggalo mersik. Pada waktu umurnya mencapai 3 tahun, dia di
beri makanan menggalo mersik atau sama dengan makanan yang dimakan oleh orang
tuanya atau keluarganya.
Pada umumnya, anak-anak disapih ( pemberian ASI diberhentikan) ketika
berumur 2 tahun. Tetapi ada juga anak-anak yang baru disapih oleh ibunya setelah
berumur 4 tahun. Pada waktu seorang anak laki-laki berumur 12 tahun, dia disunat.
Cara penyunatan yang di lakukan pada zaman dahulu, yaitu sebelum masuk dan
diterimanya agama islam dalam kehidupan orang sakai adalah
dengan cara
memasukkan sepotong kayu kecil ke ujung kulit kemaluan kulup si anak tersebut
sampai menyentuh ujung kepala kemaluan, lalu dengan menggunakan sebuah pisau
yang tajam kulit bagian kepala tersebut di belah di bagian atasnya menjadi dua.
Setelah mereka memeluk agama islam cara sunat sakai ini mereka tinggalkan.
Mereka mengikuti cara sunat yang lazim di lakukan oleh orang islam yaitu ujung
kulit kepala kemaluan di potong sama sekali dan dibuang. Sedangkan pada anak-anak
perempuan tidak disunat.
16
BAB III
KESIMPULAN
penyakit dan penyakit yang di alami langsung dapat dilihat oleh mata dan di dengar
oleh telinga. Salah satu contoh penyakit adalah penyakit kulit atau kurap,karena
penyakit tersebut tidak memandang usia atau kalangan.
Pengobatan menggunakan perantaraan ruh, arwah atau makhluk dari
dimensi lain sebagai terapi. Konsep pengobatan ini diterapkan suku Sakai yang
menetap di kabupaten Bengkalis Provinsi Riau.Kehamilan pada suku bangsa Sakai
dianggap sebagai hal yang wajar. Wanita hamil suku bangsa sakai di berikan
pantangan-pantangan tertentu oleh dukun. Mereka masih mempercayai mitos tentang
kehamilan. Sedangkan pada kelahiran, masyarakat suku sakai masih menggunakan
jasa dukun beranak untuk bersedia membantu kelahiran si bayi.
18
DAFTAR PUSTAKA
Suparlan, parsudi. 1995. Orang Sakai di Riau, Masyarakat Terasing dalam
Masyarakat Indonesia. Yayasan Obor Indonesia; Jakarta
Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Aksara Baru.
Rohman Dhohiri,Taufiq.2007.Sosiologi 2 untuk SMA kelas XI.Yudistira:Jakarta
Maryati Kun, Juju Suryawati.2001.Sosiologi 2 untuk SMA kelas XI.Erlangga:Jakarta.
http://id.shvoong.com/social-sciences/anthropology/2307598-pengertian-definisisuku-bangsa/#ixzz2Q4yTo3Xm
19