Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Suku Sakai merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang hidup di pedalaman
Riau, Sumatera. Suku Sakai merupakan keturunan Minangkabau yang melakukan migrasi ke
tepi Sungai Gasib, di hulu Sungai Rokan, pedalaman Riau pada abad ke-14. Seperti halnya
Suku Ocu (penduduk asli Kabupaten Kampar), Orang Kuantan, dan Orang Indragiri, Suku
Sakai merupakan kelompak masyarakat dari Pagaruyung yang bermigrasi ke daratan Riau
berabad-abad lalu. Suku Sakai selama ini sering dicirikan sebagai kelompok terasing yang
hidup berpindah-pindah di hutan. Namun seiring dengan berjalannya waktu, alam asri tempat
mereka berlindung mulai punah. Kawasan yang tadinya hutan, berkembang menjadi daerah
industri perminyakan, usaha kehutanan, perkebunan karet dan kelapa sawit, dan sentra
ekonomi. Komposisi masyarakatnya pun menjadi lebih heterogen dengan pendatang baru dan
pencari kerja dari berbagai kelompok masyarakat yang ada di Indonesia (Jawa, Minang,
Batak, dsb). Akibatnya, masyarakat Sakai pun mulai kehilangan sumber penghidupan,
sementara usaha atau kerja di bidang lain belum biasa mereka jalani.
Ada yang berpendapat bahwa suku ini berasal dari keturunan Nabi Adam yang
langsung hijrah dari tanah Arab, terdampar di Sungai Limau, dan hidup di Sungai Tunu.
Namun, tidak ada sumber tertulis pasti tentang asal-usul sesungguhnya suku Sakai ini.
Pendapat lain mengatakan bahwa Sakai merupakan percampuran antara orang-orang Wedoid
dengan orang-orang Melayu Tua. Catatan sejarah mengatakan bahwa pada zaman dahulu
penduduk asli yang menghuni Nusantara adalah orang-orang Wedoid dan Austroloid,
kelompok ras yang memiliki postur tubuh kekar dan berkulit hitam. Mereka bertahan hidup
dengan berburu dan berpindah-pindah tempat. Sampai suatu masa, kira-kira 2.500-1.500
tahun sebelum Masehi, datanglah kelompok ras baru yang disebut dengan orang-orang
Melayu Tua atau Proto-Melayu. Gelombang migrasi pertama ini kemudian disusul dengan
gelombang migrasi yang kedua, yang terjadi sekitar 400-300 tahun sebelum Masehi.
Kelompok ini lazim disebut sebagai orang-orang Melayu Muda atau Deutro-Melayu. Akibat
penguasaan teknologi bertahan hidup yang lebih baik, orang-orang Melayu Muda ini berhasil
mendesak kelompok Melayu Tua untuk menyingkir ke wilayah pedalaman. Di pedalaman,
orang-orang Melayu Tua yang tersisih ini kemudian bertemu dengan orang-orang dari ras

Wedoid dan Austroloid. Hasil kimpoi campur antara keduanya inilah yang kemudian
melahirkan nenek moyang orang-orang Sakai.
Sementara pendapat kedua mengatakan bahwa orang-orang Sakai berasal dari
Pagarruyung dan Batusangkar. Menurut versi cerita ini, orang-orang Sakai dulunya adalah
penduduk Negeri Pagarruyung yang melakukan migrasi ke kawasan rimba belantara di
sebelah timur negeri tersebut. Waktu itu Negeri Pagarruyung sangat padat penduduknya.
Untuk mengurangi kepadatan penduduk tersebut, sang raja yang berkuasa kemudian
mengutus sekitar 190 orang kepercayaannya untuk menjajaki kemungkinan kawasan hutan di
sebelah timur Pagarruyung itu sebagai tempat pemukiman baru. Setelah menyisir kawasan
hutan, rombongan tersebut akhirnya sampai di tepi Sungai Mandau. Karena Sungai Mandau
dianggap dapat menjadi sumber kehidupan di wilayah tersebut, maka mereka menyimpulkan
bahwa kawasan sekitar sungai itu layak dijadikan sebagai pemukiman baru. Keturunan
mereka inilah yang kemudian disebut sebagai orang-orang Sakai. Bagi orang Sakai sendiri,
pendapat ini dianggap yang lebih benar, karena mereka meyakini bahwa leluhur mereka
memang berasal dari Negeri Pagarruyung. Bisa jadi anggapan pertama benar adanya, namun
bisa juga kedua anggapan tersebut benar. Karena begitu banyaknya tersebar masyarakat suku
Sakai ini di sepanjang daratan Riau dan juga Jambi. Populasi Suku Sakai yang terbesar
hingga saat ini terdapat di Kabupaten Bengkalis (Pulau Bengkalis dan Pulau Rupat).
Nama Sakai konon berasal dari huruf awal kata Sungai, Kampung, Anak, dan Ikan.
Maknanya, mereka adalah anak-anak negeri yang hidup di sekitar sungai dan mencari
penghidupan dari hasil kekayaan yang ada di sungai berupa ikan. Jelas julukan ini diprotes
oleh masyarakat suku Sakai yang sudah maju, karena hal tersebut berkonotasi pada hal yang
tidak kuno dan bodoh, serta tidak mengikuti kemajuan jaman. Sedangkan kenyataannya kini,
masyarakat Sakai sudah tidak lagi banyak yang masih melakukan tradisi hidup nomadennya,
karena wilayah hutan yang semakin sempit di daerah Riau.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk menggali lebih dalam mengenai
suku Sakai yang ada di Riau dengan melihat ke tujuh unsur kebudayaan suku Sakai itu
sendiri ke dalam sebuah makalah yang berjudul Suku Sakai Dengan Tujuh Unsur
Kebudayaanya.
Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan penulis, maka penulis membuat sebuah
rumusan masalah dalam penulisan makalah ini, yaitu bagaimana ke tujuh unsur kebudayaan
suku Sakai yang ada di Riau?
Tujuan dan Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk melengkapi tugas dalam proses
pembelajaran mata kuliah pendidikan kewarganegaraan dengan tujuan untuk memberikan
penyegaran tentang pengetahuan mengenai salah satu suku pedalaman yang ada di Riau yaitu
Suku Sakai.

BAB II
PEMBAHASAN

Lingkungan dan Demografi Suku Sakai


Suku Sakai merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang hidup di pedalaman
Riau, Sumatera. Suku Sakai merupakan keturunan Minangkabau yang melakukan migrasi ke
tepi Sungai Gasib, di hulu Sungai Rokan, pedalaman Riau pada abad ke-14. Seperti halnya
Suku Ocu (penduduk asli Kabupaten Kampar), Orang Kuantan, dan Orang Indragiri, Suku
Sakai merupakan kelompak masyarakat dari Pagaruyung yang bermigrasi ke daratan Riau
berabad-abad lalu. Sebagian besar masyarakat Sakai hidup dari bertani dan berladang. Tidak
ada data pasti mengenai jumlah orang Sakai. Data kependudukan yang dikeluarkan oleh
Departemen Sosial RI menyatakan bahwa jumlah orang Sakai di Kabupaten Bengkalis
sebanyak 4.995 jiwa. Dari tempat tinggal, masyarakat Sakai dapat dibedakan menjadi sakai
Luar dan sakai Dalam. Sakai dalam merupakan warga sakai yang masih hidup setengah
menetap dalam rimba belantara, dengan mata pencarian berburu, menangkap ikan dan
mengambil hasil hutan. Sakai luar adalah warga yang mendiami perkampungan
berdampingan dengan pemukiman-pemukiman suku melayu dan suku lainnya.
Suku Sakai berada dalam wilayah desa Kuala Penaso, alasan mereka berada di Kuala
Penaso adalah terdapatnya keramat, yaitu makam Datuk Darah Putih yang diperkirakan
meninggal di tahun 1600. Datuk Darah Putih ini merupakan salah seorang yang dibolehkan
oleh Raja Siak untuk menguasai tempat/hutan di antara dua sungai yaitu Sungai Kuala
Penaso dan Mandau. Definitifnya tahun kematian Datuk Darah Putih merupakan suatu
proklamasi atas kesahihan asalusul mereka menempati tanah di dusun Jait Kramat. Makam
keramat ini sekarang (dikonstruksikan) menjadi tempat ziarah bagi orangorang Sakai. Dan
dijadikan monumen ingatan akan kehadiran orang Sakai di desa Kuala Penaso. Desa Kuala
Penaso mempunyai luas wilayah 139 km2 dengan keadaan tanahnya datar dan letak desanya
di dalam hutan. Desa Kuala Penaso mempunyai 2 dusun, 7 RT dan 2 RW. Desa Kuala Penaso
dibagi dalam 2 dusun, dusun Jait Kramat yang berisi orang Siak dan dusun Kuala Penaso
4

yang berisi orang Melayu, di kedua dusun tersebut ada bagian yang agak terpisah yang berisi
permukiman pendatang dari Sumatera Utara dan JawaPujakusuma (putera Jawa Kelahiran
Sumatera). Batasbatas desa Kuala Penaso untuk sebelah utara berbatasan dengan kecamatan
Bukit Batu, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Siak, sebelah barat berbatasan
dengan Kecamatan Mandau dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Siak (Data
Kecamatan Pinggir Tahun 2012).
Untuk dapat mengetahui dan mengenal lebih jelas kebudayaan suku sakai, kita dapat
melihatnya melalui tujuh unsur kebudayaanya, yaitu:
Bahasa Suku Sakai
Bahasa Sakai digunakan oleh masyarakat Suku Sakai sebagai alat komunikasi antar
etnik dan terkadang juga digunakan dalam berkomunikasi dengan penduduk yang berlainan
etnis. Komunikasi dengan penduduk yang berlainan etnis dapat terlaksana karena struktur
maupun kosa kata bahasa Sakai memiliki banyak persamaan dengan bahasa Melayu dan
Bahasa Minangkabau. Penduduk di Kecamatan Mandau pada umumnya dapat berbahasa
Melayu dan berbahasa Minangkabau. Selain untuk berkomunikasi, banyak kata dalam bahasa
Sakai yang digunakan untuk menamai jenis kayu yang ada disekitar lingkungan mereka.
Bahasa Sakai ini juga digunakan sebagai bahasa pergaulan dan bahasa budaya dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat suku Sakai.
Sistem Pengetahuan Suku Sakai
Sistem pengetahuan yang dimiliki tergolong cukup maju, hal ini bisa tergambarkan
jelas lewat pembuatan rumah adat suku Sakai. Rumah mereka dibangun diatas tiang-tiang
kira-kira 130 cm sampai 180 cm, tiangnya terbuat dari kayu-kayu gelondongan besar dan
kecil, tantai dan dindingnya terbuat dari kulit kayu, atap rumahnya terbuat dari jalinan daun
kapau,tumah mereka tidak berjendela, dan pintunya hanya satu, dan pintu ini ditutup dari
dalam dengan palang kayu, untuk masukan kedalam rumah, mereka menggunakan tangga,
rumah mereka dibuat tanpa menggunakan paku, semua yang tersambung diikat dengan tali
dari rotan, rumah mereka tidak memiliki kamar-kamar, hanya terdiri dari bagian dapur dan
bagian tempat tidur mereka. Dapur mereka terletak dekat pintu rumah, dan dekat pintu
tersebut dibuat tungku untuk memasak, dan ditempat ini jjuga mereka makan, di dalam
rumahnya terdapat para, dan setiap rumah orang sakai mempunyai para, hal ini digunakan
sebagai tempat penyimpanan barang-barang berharga mereka(baju bagus, senjata berburu,dll)
dan juga sebagai tempat penyimpanan persediaan makanan, dan di dalam rumah mereka juga
5

terdapat peti, yang kurang lebih panjangnya sekitar 70 cm, lebar 35 cm, dan tinggi sekitar 30
cm dan peti ini digembok, dihalaman rumah mereka terdapat kayu-kayu, ranting-ranting,
cabang-cabang atau juga belahan-belahan kayu, ukuran luas rumah mereka ada yang luasnya
4 m x 6 m, dan ada juga yang 6 m x 10 m. Dan suku sakai juga telah mengenal sistem gotong
royong dan sistem barter dalam hal memenuhi kebutuhan hidupnya.
Selain itu sistem pengetahuan suku Sakai juga tampak dalam proses perladangan, dalam hal
ini mereka mengenal beberapa tahapan dalam proses perladangan, yaitu: memilih tempat
untuk membuat ladang; pembukaan lahan, dalam membuka hutan untuk berladang biasanya
suku sakai mempunyai tradisi yang unik yaitu, hutan yang telah mereka bersihkan atau
mereka tebas mempunyai ukuran tertentu, masing-masing panjangnya 50 M dan lebar 20 M,
dalam aturan perladangan orang sakai jarak ladang muka-belakang tergabung dalam sebuah
ke tetanggaan haruslah sama sedangkan bedanya dapat berbeda-beda, orang sakai mengikuti
secara ketat aturan ini, bila sekiranya batas muka tidak merupakan garis lurus tertapi bagian
ladang akan ikut bengkok mengikuti bengkok garis muka, aturan-aturan atau tradisi seperti
ini sanagat di patuhi oleh suku sakai, karena jika mereka tidak mengikuti aturan yang telah
menjadi tradisi ini maka sebutan suku sakai yaitu HANTU TANAH atau penunggu ladang
akan marah, dengan akibat sipeladang akan sakit dan hasil ladangnya akan jelek di serang
hama, babi hutan, dan binatang lainnya; menunggal padi; dan tahapan yang terakhir adalah
panen.
Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial Suku Sakai
Masyarakat Sakai pada masa lalu mempunyai sistem pemerintahan yang mereka sebut
Perbatinan yang dipimpin oleh Batin. Orang Sakai menempati 13 anak sungai, permukiman
mereka disebut batin. Perbatinan ini terdiri atas Perbatinan Lima dan Perbatinan Delapan.
Disebut dengan Perbatinan Lima mereka masingmasing perbatinan mempunyai tanah hak
ulayat dan hutan di (1) Minas; (2) Kuala Penaso; (3) Beringin; (4) Belutu; dan (5) Tengganau.
Perbatinan Delapan adalah kelompok orang Sakai yang di beri hak untuk membuka hutan
oleh Raja Siak Sri Indrapura meliputi wilayah (1) Petani; (2) Sebanga; (3) Air Jamban; (4)
Pinggir; (5) Semunai; (6) SamSam; (7) Kandis; (8) Balai Makam.
Sistem kekerabatan Suku Sakai menganut matrilineal yaitu dititik beratkan menurut
garis keturunan ibu/perempuan. Yang lebih diutamakan adalah kedudukan anak perempuan
dari anak lakilaki. Anak perempuan penerus keturunan ibunya, sedangkan anak lakilaki
hanya seolaholah pemberi bibit keturunan kepada isteri. Dalam budaya Sakai hak
6

perempuan Sakai besar, semua barang milik baik yang bergerak maupun tidak bergerak
adalah milik wanita. Kedudukan kepala suku diwariskan dari wanita, dan anakanak
mengikuti ibu, bukan ayah. Karena itu menurut masyarakat Sakai apabila suatu keluarga
tidak memiliki anak perempuan, maka seolaholah hidup tidak berkesinambungan. Namun
demikian bukan berarti anak lakilaki tidak berfungsi dalam keluarga. Anak lakilaki
membantu orang tua meringankan beban hidup keluarga. Namun menurut Bosniar dalam
kehidupan masyarakat Sakai sekarang banyak juga yang memakai hukum Islam dalam
lembaga waris mereka, artinya sistem matrilineal digunakan untuk menentukan kerabat tapi
dalam pembagian waris mereka sebagian menggunakan hukum Islam.
Sistem kekerabatan bagi orang Sakai merupakan kerangka acuan yang penting dalam
menentukan dengan siapa ego (saya) dapat berhubungan dan bekerjasama dalam berbagai
kehidupan sosial, ekonomi dan keluarga. Bagi orang Sakai kelompokkelompok kekerabatan
dalam kehidupan mereka terwujud dalam kegiatan pengelolaan ladang, biasanya satuan
pemukiman dihuni oleh satu atau dua kelompok keluarga. Namun sistem ini (pola kerjasama)
di antara mereka tidak selamanya dapat diaplikasikan ke semua jenis gotong royong,
semisal yang diinisiasi pemerintah seperti Jumat bersih atau tanggung renteng dalam
pengelolaan dana bergulir. Halhal demikian tidak dikenal oleh masyarakat, dan terkesan
mengadaada. Ego perorangan dalam masyarakat Sakai sangat kuat, Suparlan (1995)
menyebutkan bahwa ego diri sendiri bukan ego kelompok merupakan pusat dalam
pertukaran. Jika orang Sakai berutang atau memberikan sesuatu barang kepada orang lain,
maka kewajiban yang memberikan sesuatu barang tersebutlah yang menagih. Artinya orang
yang berkepentingan itulah yang harus meminta kembali apa yang diberikannya. Termasuk
dalam hal memberikan jasa dan timbalbaliknya (balasjasa).
Sistem Teknologi dan Peralatan Hidup Suku Sakai
Sistem teknologi dan peralatan yang digunakan masyarakat suku Sakai dalam
kesehariannya dapat terlihat pada aktivitas berburu dan berladangnya, dalam hal berburu
Peralatan yang digunakan oleh suku Sakai adalah parang, panah dan juga memakai jerat
sentakserta konjouw. Konjouw adalah tombak yang terbuat dari besi yang dipanaskan,
konjouw itu dibekali oleh mantra-mantra hewan. Tidak hanya berburu, orang sakai sangat
terkenal dengan mencari ikan dengan menggunakan perahu serta kail tradisional hasil buatan
mereka sendiri dan suku Sakai juga senang menangkap udang dan kepiting dengan

menggunakan perangkap yang berbentuk kerucut yang terbuat dari anyaman bambu atau
rotan.
Sistem Mata Pencaharian Hidup Suku Sakai
Masyarakat suku sakai memiliki banyak bentuk mata pencaharian, hal ini dikarenakan
system ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat suku sakai di pengaruhi kondisi daerah
yang mereka tempati atau yang mereka huni. Oleh karena itu masyarakat suku sakai
mempunyai banyak bentuk mata pencarian demi menghidupi keluarganya di antara banyak
mata pencarian yang dilakukan masyarakat suku sakai antara lain adalah:
1. Berladang
Dalam kehidupan sosial mereka setiap orang sakai atau setiap keluarga mereka harus
mempunyai sebidang tanah atau sebidang ladang. Pada umumnya anak-anak laki-laki yang
lajang atau yang belum mempunyai istri seharusnya atau wajib sudah mempunyai ladang,
setidaknya sedikit bidang ladang. Jika anak bujang dari keluarga suku sakai tersebut tidak
mempunyai ladang maka anak bujang ini ikut membantu dan mempunyai bagian ladang
sendiri, dari sebuah ketetanggaan ladang bersama dengan kerabat dekat yaitu kakak
perempuan ( dalam urut pertama ) atau kakak laki-laki ( yang sudah berkeluarga ). Karena
dengan hasil berladang ini lah membuat mereka dapat memenuhi kebutuhan makanan seharihari. Ladang merupakan faktor pertama dalam memenuhi kehidupan suku sakai, karena
ladang merupakan tempat mereka di hidupkan dari kecil sehingga menjadi dewasa. Rumahrumah mereka dibangun di atas ladang, serta diladang inilah mereka merasa kehidupan yang
dapat membedakan antara hak pribadi dan hak-hak sosial keluarga mereka masing-masing.
2. Menanam ubi manggalo
Orang sakai dalam kegiatan mata pencaharian dalam budaya tradisional mereka di samping
berladang mereka juga menanam ubi manggalo ( Ubi beracun ). Ubi ini biasanya ditanam di
lain dari lokasi ladang. Ubi manggalo ditanam setelah berumur 1-2 tahun baru dapat dimakan
langsung karena mengandung racun. Untuk mengkonsumsi ubi ini maka orang sakai
melakukan beberapa cara untuk menghilangkan racun tersebut dengan cara disimpan:
1. Ubi manggola tidak boleh disimpan selama 1-2 hari, setelah ubi dicabut langsung
dicuci disungai atau rawa
2. Ubi manggalo yang sudah bersih kulitnya dari kotoran lalu ditaruh di dalam keranjang
anyaman lalau ubi ini di rendam selama 3 hari 3 malam
8

3. Setelah di rendam, ubi ini diparut oleh pihak wanita sehingga halus, lalu ubi yang
telah halus ini di masukan kedalam goni untuk memeras atau membuang air yang
terdapat dalam ubi tersebut
4. Racun yang terdapat pada ubi ini pun hilang dikarenakan air yang terkandung pada
ubi ini telah diperas. Lalu ubi manggalo ini dimasukan kedalam kuali yang diletakan
di atas api secara maksimal
5. Dengan menggunakan sebuah sendok kayu besar dan panjang parutan ubi manggalo
di adukan dan diratakan sampai hasil parutan menjadi kering. Orang sakai
menyebutkan proses ini dengan Menyangga
6. Proses terakhir yang dilakukan suku sakai adalah menyimpan ubi yang telah kering
tersebut karena ubi ini tidak memiliki racun lagi. Hasil ini disebut dengan Manggalo
Mersik
Manggalo mersik mirip dengan kerak nasi, berbutir-butir atau bergumpal-gumpal
kecil.manggalo mersik dapat juga di gunakan sebagai makanan pokok suku sakai, biasanya
manggalo mersik ini di sajikan dengan lauk pauk seperti gulai ikan, sayur-sayuran dan
berbagai macam makanan lainnya.
3. Berburu dan Mencari Ikan di Sungai
Berburu atau mencari ikan merupakan mata pencaharian asli suku sakai, sedangkan berladang
dipengaruhi oleh pada masa kesultanan siak. Pengertian berburu oleh orang sakai bukanlah
kegiatan yang membunuh hewan tetapi mereka melakukan dengan menjerat alat buruan
mereka yaitu KONJOUW. Konjouw adalah tombak yang terbuat dari besi yang dipanaskan,
konjouw itu dibekali oleh mantra-mantra hewan. Hewan yang mereka sering buru adalah
kera, babi hutan, kijang, dan kancil. Hasil tangkapan buruan ini mereka gunakan untuk
kebutuhan hidup sehari-hari biasanya mereka jadikan sebagai lauk pauk. Tidak hanya
berburu, orang sakai sangat terkenal dengan mencari ikan. Cara yang mereka lakukan adalah
dengan mengail, serta mereka juga senang menangkap udang dengan menggunakan tangguk,
suku sakai mengenal lebih dari 30 jenis ikan. Di rawa-rawa atau di sungai-sungai kecil
mereka menangkap ikan dengan menggunakan lukah dan jarring, orang-orang sakai pada
masa lalunya memasang lukah dari jarring pada sore hari menjelang malam dan pada pagi
hari dapat dilihat hasil tangkapannya. Pada biasanya ikan yang mereka tangkap langsung
mereka goreng. Jika jumlah tangkapannya relative banyak maka sebagian dari ikan itu untuk
dijual kepada orang lain, bahkan suku sakai biasanya membarter ikan tangkapan dengan
barang yang mereka perlukan.
9

Sistem Religi Suku Sakai


Salah satu ciri masyarakat Sakai adalah agama mereka yang bersifat animistik.
Meskipun banyak di antara orang Sakai yang telah memeluk Islam, namun mereka tetap
memraktekkan agama nenek moyang mereka yang masih diselimuti unsur-unsur animisme,
kekuatan magis, dan tentang mahkuk halus. Inti dari agama nenek moyang masyarakat Sakai
adalah kepercayaan terhadap keberadaan antu, atau mahluk gaib yang ada di sekitar mereka.
Masyarakat Sakai menganggap bahwa antu juga memiliki kehidupan layaknya manusia.
Mereka bergerombol dan memiliki kawasan pemukiman. Pusat dari pemukiman antu ini
menurut orang Sakai berada di tengah-tengah rimba belantara yang belum pernah dijamah
manusia. Akan tetapi kepercayaan animisme yang dahulu dianut oleh sebagian besar suku
Sakai, kini berganti dengan beberapa agama seperti Islam, atau pun juga Kristen. Sehingga
keyakinan terhadap makhluk halus yang sering disebut Antu, tidak lagi menyelimuti
kehidupan mereka. Hal ini terjadi akibat banyaknya pembukaan hutan untuk perkebunan
sawit dan juga pemukiman penduduk baru serta program transmigrasi yang telah
mempengaruhi cara pemikiran dan juga pola hidup suku sakai.
Sistem Kesenian Suku Sakai
Salah satu bentuk kesenian yang terdapat pada masyarakat suku Sakai adalah tarian
makan sirih atau tari persembahan, tari persembahan merupakan tarian yang biasa
dipentaskan untuk menyambut kedatangan tamu agung. Tari ini dibawakan oleh 8 sampai 10
orang perempuan. Gerak tari persembahan sangat sederhana, bertumpu pada gerakan tangan
dan kaki. Gerakan menunduk sambil merapatkan telapak tangan merupakan bentuk
penghormatan kepada para tamu yang datang. Para penari mengenakan baju yang biasa
dipakai mempelai perempuan, yaitu baju adat yang disebut dengan baju kurung teluk
belanga. Pada bagian kepala, terdapat mahkota yang dilengkapi dengan hiasan-hiasan
berbentuk bunga. Sementara, bagian bawah tubuh para penari dibalut oleh kain songket
berwarna cerah. Tari persembahan dipentaskan dengan iringan musik Melayu yang
bersumber dari perpaduan antara suara marwas, gendang, gambus, dan lain sebagainya. Saat
pertunjukan, salah satu penari dalam tari persembahan akan membawa kotak yang berisi
sirih. Sirih dalam kotak tersebut kemudian dibuka dan tamu yang dianggap agung diberi
kesempatan pertama untuk mengambilnya sebagai bentuk penghormatan, kemudian diikuti
oleh tamu yang lain. Karenanya, banyak orang yang menyebut tari persembahan ini dengan
sebutan tari makan sirih.
10

upacara adat suku sakai

pakaian sehari suku sakai

11

BAB III
KESIMPULAN
Suku Sakai adalah salah satu suku keturunan Minangkabau yang telah hidup di
pedalaman Riau sejak Abad ke 14. Saat ini belum ada data yang pasti mengenai jumlah
keseluruhan masyarakat suku Sakai, namun berdasarkan data kependudukan yang dihimpun
oleh Departemen Sosial RI menyatakan bahwa jumlah orang Sakai yang saat ini mendiami
Kabupaten Bengkalis sebanyak 4.995 jiwa.
Bahasa yang digunakan masyarakat suku sakai adalah bahasa Sakai yang hampir mirip
dengan bahasa melayu dan minangakabau, sehingga hal ini memungkinkan mereka untuk
berkomunikasi dengan menggunakan bahasa sakai tidak hanya dengan sesama etnisnya,
namun juga dengan etnis lainnya yang ada disekitar mereka.
Sistem pengetahuan yang dimiliki masyarakat suku sakai sudah cukup maju, hal ini terlihat
dari cara mereka membangun sebuah rumah, dimana pengelolaan tata ruang dan fungsinya
sangat terstruktur, selain itu mereka juga mampu membangun sebuah rumah dengan
menngunakan bahan-bahan dari alam bahkan tampa menggunakan paku.
Masyarakat suku sakai menerapkan Sistem kekerabatan matrilineal yaitu dititik
beratkan menurut garis keturunan ibu/perempuan. Namun dalam kehidupan masyarakat Sakai
sekarang banyak juga yang memakai hukum Islam dalam lembaga waris mereka, artinya
sistem matrilineal digunakan untuk menentukan kerabat tapi dalam pembagian waris mereka
sebagian menggunakan hukum Islam.
Sistem teknologi dan peralatan yang digunakan masyarakat suku Sakai terdiri dari
parang, panah dan juga memakai jerat sentakserta konjouw. Benda-benda ini selalu
digunakan masyarakan suku sakai pada saat berburu hewan. Selain itu ada juga perahu, kail
tradisional serta perangkap yang berbentuk kerucut yang terbuat dari anyaman bambu atau
rotan hasil buatan mereka sendiri yang biasa mereka gunakan untuk menangkap ikan, udang
dan kepiting.

12

Masyarakat suku sakai memiliki banyak sistem mata pencaharian yang hampir
seluruhnya dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada disekitarnya
termasuk berladang, berburu, menangkap ikan dirawa-rawa, dan lain sebagainya.
Sistem religi yang dianut oleh masyarakat suku sakai masih bersifat animsitik.
Meskipun banyak di antara orang Sakai yang telah memeluk Islam, namun mereka tetap
mempraktekkan agama nenek moyang mereka yang masih diselimuti unsur-unsur animisme,
kekuatan magis, dan tentang mahkuk halus. Mereka memiliki kepercayaan mengenai konsep
antu yang memiliki kehidupan layaknya seperti manusia, kebanyaka dari mereka masih
mempercayai bahwa segala yang terjadi dalam kehidupan mereka seperti sakit dan lain
sebagainya itu disebabkan oleh antu.
Unsur kebudayaan yang terakhir adalah sistem kesenian, suku sakan terkenal dengan
seni tari makan sirih atau tari persembahan, tari yang dipentaskan oleh 8 sampai 10 orang ini
merupakan tarian yang biasa dipentaskan untuk menyambut kedatangan tamu agung. Saat
pertunjukan, salah satu penari dalam tari persembahan akan membawa kotak yang berisi
sirih. Sirih dalam kotak tersebut kemudian dibuka dan tamu yang dianggap agung diberi
kesempatan pertama untuk mengambilnya sebagai bentuk penghormatan, kemudian diikuti
oleh tamu yang lain.

13

DAFTAR PUSTAKA

Suparlan, Parsudi. 1995. Orang Sakai di Riau: Masyarakat Terasing dalam Masyarakat
Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
Thamri Husni.2003. Sakai Kekuasaan Pembangunan dan Marjinalisasi. Pekanbaru: IAIN
Suska Riau,http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Sakai
http://www.indonesiakaya.com/kanal/detail/memberi-sirih-memberi-hormat
http://www.academia.edu/2912003/sakai_maju

14

Anda mungkin juga menyukai