0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
235 tayangan5 halaman
Dokumen tersebut menyajikan ringkasan sejarah lima jenis tari tradisional Indonesia, yaitu Tari Pendet dari Bali, Tari Serimpi dari Yogyakarta dan Surakarta, Tari Tor-Tor dari Sumatera Utara, Tari Piring dari Sumatera Barat, dan Tari Saman dari Aceh. Masing-masing tari tradisional memiliki asal usul dan perkembangan tersendiri sejak zaman kerajaan hingga saat ini.
Dokumen tersebut menyajikan ringkasan sejarah lima jenis tari tradisional Indonesia, yaitu Tari Pendet dari Bali, Tari Serimpi dari Yogyakarta dan Surakarta, Tari Tor-Tor dari Sumatera Utara, Tari Piring dari Sumatera Barat, dan Tari Saman dari Aceh. Masing-masing tari tradisional memiliki asal usul dan perkembangan tersendiri sejak zaman kerajaan hingga saat ini.
Dokumen tersebut menyajikan ringkasan sejarah lima jenis tari tradisional Indonesia, yaitu Tari Pendet dari Bali, Tari Serimpi dari Yogyakarta dan Surakarta, Tari Tor-Tor dari Sumatera Utara, Tari Piring dari Sumatera Barat, dan Tari Saman dari Aceh. Masing-masing tari tradisional memiliki asal usul dan perkembangan tersendiri sejak zaman kerajaan hingga saat ini.
Sejarah Tari Pendet Dari berbagai jenis tari daerah yang berasal dari Bali, tari pendet merupakan tarian tertua di Pulau Dewata. Tarian ini diperkirakan ada sejak tahun 1950. Awalnya tarian pendet adalah tari sembahan yang dilakukan di pura-pura umat Hindu sebagai bentuk ucapan selamat datang atas turunnya dewa ke bumi. Tarian ini merupakan hasil gubahan maestro seni tari Bali yang bernama I Wayan Rindi. I Wayang Rindi adalah seniman tari yang memiliki penguasaan gerak tari yang luar biasa. Oleh sebab itu, perkembangan dan sebaran tarian ini merupakan jasa dari beliau. Gerakan tari diambil dari pakem-pakem gerakan tarian pendet dewa atau tari pendet asli yang ditujukan untuk persembahan. Tanpa menghilangkan nilai sakral, religi dan keindahannya, I Wayan Rindi bersama rekannya bernama Ni Ketut Reneng berhasil memasukkan unsur tarian pendet dewa ke dalam tari pendet yang kita kenal saat ini. Seiring berkembangnya zaman turut pula merubah fungsi asli tari pendet. Kini tarian ini juga digunakan sebagai sarana pertunjukkan serta tarian ucapan selamat datang. Tari Serimpi
Asal tarian dari Yogyakarta dan Surakarta.
Sejarah Tari Serimpi Tarian ini berawal pada masa kerajaan Mataram saa Sultan Agung bertahta pada tahun 1613 hingga 1646. Tari serimpi termasuk karya seni tertua di Jawa dan dianggap memiliki keskaralan serta kesucian karena hanya digelar di Kawasan keraton sebagai bagian dari ritual. Pada masa itu, hanya penari-penari terpilih yang diperbolehkan membawakan tarian ini. Kemudian saat kerajaan Mataram mengalami perpecahan pada tahun 1755 menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasultanan Surakarta, tarian ini pun terkenan dampaknya. Dampaknya adalah adanya perbedaan gerakan antara tari serimpi Jogja dan Surakarta, meskipun keduanya memiliki inti tarian yang sama. Tarian ini terpecah menjadi beberapa jenis, seperti Serimpi Dhempel, Serimpi Babul Layar, Serimpi Genjung, Serimpi Padhelori, Serimpi Among Beksa, Serimpi Cina, dan Serimpi Pramugari yang berkembang di keratorn Yogyakarta. Selanjutnya pada tahun 1788 sampai 1820, tarian ini muncul kembali di lingkungan Keraton Surakarta. Bahkan sejak tahun 1920 hingga saat ini, tarian ini masuk dalam pelajaran Taman Siswa Jogja, serta kelompok tari dan karawitan Krida Beksa Wirama. Tari Tor-Tor
Asal tarian dari daerah Batak Toba, Sumatera Utara.
Sejarah Tari Tor Tor Tarian ini diperkirakan telah ada sejak zaman Batak purba. Pada masa itu, tarian tor tor dijadikan sebagai tari persembahan bagi roh leluhur. Nama tari ini berasal dari kata tor tor, yaitu bunyi hentakan kaki penari di lantai papan rumah adat Batak. Meski berasal dari Batak, ternyata jika ditelusuri tarian ini mendapat pengaruh dari India, bahkan lebih jauh lagi tarian ini juga memiliki kaitan dengan budaya Babilonia. Ada pendapat yang memperkirakan jika tari tor tor ada sejak abad ke-13 Masehi dan telah menjadi bagian dari kebudayaan Batak. Pendapat ini disampaikan oleh mantan anggota anjungan Sumatera Utara periode 1973 hingga 2010, sekaligus pakar tor tor. Perkembangan awal tarian ini dulunya hanya di kehidupan masyarakat Batak di kawasan Samosir, Toba dan sebagaian kawasan Humbang. Dalam praktiknya, tarian tor-tor juga melibatkan beberapa patung batu yang telah dimasuki roh dan patung tersebut akan “menari”. Tari Piring
Asal tarian dari Sumatera Barat.
Sejarah Tari Piring Tari piring (bahasa Minang: tari piriang) adalah tarian tradisional Minangkabau yang menampilkan atraksi menggunakan piring. Para penari mengayunkan piring di tangan mengikuti gerakan-gerakan cepat yang teratur, tanpa satu pun piring terlepas dari tangan. Gerakannya diambil dari langkah dalam silat Minangkabau atau silek. Secara tradisional, tari ini berasal dari Solok, Sumatra Barat. Menurut legenda, tari ini awalnya merupakan ritual ucapan rasa syukur masyarakat setempat kepada dewa-dewa setelah mendapatkan hasil panen yang melimpah ruah. Ritual dilakukan dengan membawa sesaji dalam bentuk makanan yang diletakkan di dalam piring sembari melangkah dengan gerakan yang dinamis. Setelah masuknya agama Islam ke Minangkabau, tari piring tidak lagi digunakan sebagai ritual ucapan rasa syukur kepada dewa-dewa. Akan tetapi, tari tersebut digunakan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat banyak yang ditampilkan pada acara-acara keramaian. Tari Saman
Asal tarian dari Aceh.
Sejarah Tari Saman Tari Saman merupakan sebuah tarian asal Suku Gayo, Aceh yang mulai dikembangkan pada abad ke 14 oleh seorang ulama besar bernama Syekh Saman. Tarian ini awalnya hanyalah sebuah permainan rakyat bernama Pok Ane. Kebudayaan Islam yang masuk ke daerah Gayo pada masa itu berakulturasi dengan permainan Pok Ane, sehingga nyanyian pengiring permainan Pok Ane yang awalnya hanya bersifat pelengkap, berubah menjadi nyanyian penuh makna dan pujian pada Allah. Kebudayaan Islam juga merubah beberapa gerakan pada tari saman mulai dari tepukan dan perubahan tempat duduk. Tari saman di masa Kesultanan Aceh hanya ditampilkan pada acara perayaan Maulid Nabi Muhammad di surau-surau atau masjid di daerah Gayo, namun pada perkembangannya ia juga kemudian dimainkan pada acara-acara umum seperti acara pesta ulang tahun, pernikahan, khitan, dan acara lainnya hingga sekarang.