Anda di halaman 1dari 6

“Perspektif Gender terhadap Kesenian Lengger Lanang”

Oleh : Achmad Saugy


1.Pendahuluan

Indonesia adalah bangsa yang berkesenian, khususnya seni tari. Mulai dari Aceh sampai
ke Papua, memiliki tradisi seni tari. salah satunya adalah tari lengger lanang yang
berasal dari daerah Banyumas. Kesenian Lengger Lanang merupakan salah satu bentuk
kesenian yang dilaksanakan berkaitan dengan upacara syukuran keberhasilan pasca
panen di daerah Karesidenan Banyumas khususnya di kabupaten Purbalingga.

2. Asal Usul Tari Lengger

Lengger atau lenggeran merupakan kesenian yang banyak berkembang di Jawa,


terutama daerah Jawa Tengah. Lengger juga telah ada di wilayah Banyumas sejak tahun
1755 di daerah Jatilawang Kabupaten Banyumas dan kemudian menyebar di daerah
Kalibagor, Kabupaten Banyumas. Istiah lengger muncul karena pada zaman dahulu
seorang atau beberapa wanita menampilkan tari-tarian dengan gerakan sederhana seperti
hanya menggeleng-gelengkan kepala. Gerakan tersebut kemudian diiringi dengan musik
dan dilangsungkan pada acara pra dan pasca panen yang mampu mengundang
masyarakat untuk berkumpul dan ikut bergoyang. Tarian dalam upacara tersebut
kemudian dinamakan lengger dan dijadikan sebagai upacara wajib pada acara-acara
tertentu. Beberapa pendapat juga megatakan bahwa istilah lengger muncul saat Kiai
Nurdaiman mengisyaratkan santri laki-lakinya untuk menari mengikuti iringan lagu dari
alat musiknya pada saat acara Maulid Nabi tahun 1755 di Daerah Kalibagor Kabupaten
Banyumas.
awal mula tarian lengger memang diperankan oleh laki-laki. Hal ini terjadi
karena adanya keyakinan bahwa penari pria tidak mengalami masa haid maka akan
selalu dalam keadaan suci mengingat peran seni tradisi ini sebagai media religius
maupun media hiburan.
Sementara alasan yang lain mengatakan, bahwa adanya penari ini dikarenakan tidak ada
penari wanita dimasa perang, sehingga saat prajurit ingin mengadakan hiburan maka
salah satu prajurit harus bersedia memerankan diri sebagai penari lengger dan berbusana
layaknya wanita cantik yang melenggak lenggok mneggunakan seutas selendang.

3.Proses untuk melakukan Tarian Lengger Lanang

Tarian khas Banyumas ini dimainkan oleh laki-laki yang mengubah dirinya
menjadi perempuan secara utuh dalam keseharian. Sebagian dari penari, tetap menjadi
laki laki dan hidup sebagai laki laki, Namun sebagiannya memang transgender.
Lengger Lanang bukan sebuah tarian biasa. Tarian ini lahir dari tradisi pemujaan
terhadap Dewi Kesuburan dan sudah terus dipraktekkan sejak dulu. Tidak hanya
Lengger Lanang, tari Ronggeng juga berasal dari tradisi yang sama. Namun, yang
membedakannya adalah tari Ronggeng hanya dilakukan oleh penari perempuan.
Sedangkan,tarian Lengger Lanang hanya dilakukan oleh laki-laki namun mereka
berpakaian dan berdandan sebagai perempuan
Untuk menjadi penari lengger yang sebenarnya harus mengikuti ritual khusus.
Orang yang ingin melakukan tarian ini tiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon
harus tidur di depan pintu, Selain itu, ia harus melakukan puasa mutih alias tidak makan
apa pun kecuali nasi putih sekepal dalam sehari. Calon penari harus melakukan tirakat
agar menjiwai dan bisa diterima khalayak. Di dunia lengger ada kepercayaan kuat
tentang kehadiran indang atau roh lengger yang merasuk dalam tubuh penari. Seseorang
yang mendapat ‘indang’ bisa melakukan tarian lengger dan menembang tanpa belajar.
Jika ‘indang’ lengger memasuki raga seseorang, baik laki-laki maupun perempuan,
maka tidak ada yang bisa menolaknya.

3.Proses Pelaksanaan Tari Lengger


Seorang laki-laki yang menjadi penari lengger harus bersikap, berbusana dan
berlenggak-lenggok layaknya perempuan di atas panggung sebagai syarat dan
pelengkap sebelum menari lengger.
Jumlah penari lengger antara dua sampai empat orang. Mereka harus berdandan
sedemikian rupa sehingga kelihatan sangat menarik, rambut kepala disanggul, leher
sampai dada bagian atas biasanya terbuka, sampur atau selendang biasanya dikalungkan
dibahu, mengenakan kain/jarit dan stagen. Lengger menari mengikuti irama khas
Banyumasan yang lincah dan dinamis dengan didominasi oleh gerakan pinggul
sehingga terlihat sangat menggemaskan.
Alat-alat yang digunakan dalam pementasan Lengger, antara lain Calung
(sejenis alat musik pukul yang berjajar dan mempunyai nada bunyi tersendiri dalam
setiap lajurnya), bongkel (sejenis angklung dengan tiga balok bamboo sebagai
instrument penghasil suara ini masuk pada alat musik bongkel bukan calung),
Angklung, Gong tiup , Gamelan bamboo, dan Kendang. Peralatan gamelan calung
terdiri dari gambang barung, gambang penerus, dhendhem, kenong dan gong yang
semuanya terbuat dari bambu wulung (hitam), sedangkan kendang atau gendang sama
seperti gendang biasa. Dalam penyajiannya calung diiringi vokalis yang lebih dikenal
sebagai sinden. Satu grup calung minimal memerlukan tujuh orang anggota terdiri dari
penabuh gamelan dan penari/lengger. Tidak hanya itu, untuk mengakomodasi
permintaan penonton, penabuh juga memiliki drum dan organt untuk mengiringi
pesindennya yang serigkali diminta untuk menyanyikan lagu dangdut ataupun
campursari. Sang penabuh dituntut untuk bisa memainkan musik apa saja, meskipun ia
mengaku lebih senang memainkan langgam Banyumasan yang menjadi pakem
tembangnya.
Di awal kemunculannya, pementasan Lengger diadakan pada tengah malam
sampai menjelang waktu subuh. Di kemudian hari, waktu pementasan mengalami
perubahan, bergantung pada kebutuhan yang ada di masyarakat sekitar.

4.Perubahan yang terjadi terhadap Tari Lengger

Secara turun-temurun, masyarakat meyakini kesenian Lengger bersifat sakral.


Karenanya, Lengger Lanang dipentaskan pada kegiatan dan ritus adat tertentu, meliputi
daritan, bersih desa, nadar atau kaulan yang identik dengan upacara adat pada
masyarakat agraris.
Seiring waktu, selain untuk kebutuhan ritual adat, pementasan Lengger Lanang perlahan
ditampilkan pada kegiatan publik, seperti resepsi pernikahan, sunatan, juga acara di
lingkungan pemerintahan.
Perkembangan dalam kesenian Lengger yang dulu ditarikan oleh laki-laki sekarang oleh
perempuan, gerak-gerak yang dulu mengandung unsur erotis dan terkesan tidak tertata
sekarang gerak-geraknya sudah diperhalus dan dibakukan.

5.Perspektif Gender Terhadap Kesenian Lengger

Lengger adalah seni pertunjukan tradisional yang berangkat dan berkembang


dari kalangan masyarakat jelata yang jauh dari hegemoni kekuasaan kraton. Di sini
penari lengger melebur diri dan menyerahkan diri secara total kepada tradisi leluhur
dengan mengorbankan citra dirinya sebagai laki-laki. Seorang pria penari lengger telah
menanggalkan maskulinitasnya dan menggantinya dengan femininitas untuk keperluan
pertunjukan dan daya tarik penonton. Dan ini membuka peluang hingga perlakuan
terhadap dirinya di luar pementasan. Ia merelakan dirinya dipandang berada di bawah
hegemoni kaum pria sebagai “wanita”. Seorang lengger harus merelakan dirinya
diposisikan layaknya seorang wanita seperti pada kasus ledhek Nurwitri pada Serat
Centhini.
Pertunjukan lengger adalah kesenian yang dapat diisi oleh penari pria maupun
wanita. Persoalannya adalah penari pria yang berdandan wanita lebih sering dimaknai
sebagai sosok banci dan kegagalan berekspresi dalam kesejatiannya. Namun demikian
di setiap penampilannya selalu dilihat lebih seksama, dinilai lebih dalam, disbanding
jika sosok penari itu dilakukan oleh wanita yang sesungguhnya.
Dalam konteks pengembangan lengger, mungkin diperlukan menempatkan sosok pria
sebagai pria, dengan tanpa menghilangkan tampilan, kebiasaan dan pola pertunjukan
yang feminin dengan penari sebagai obyek imajiner perempuan. Hal yang telah
dilakukan oleh Didik Nini Thowok yang senantiasa hadir sebagai sosok perempuan di
panggung pertunjukan tanpa meninggalkan kodrat kelaki-lakiannya.
Di karisedenan Banyumas, terdapat seorang maestro ronggeng Lengger Lanang, yaitu
Dariah. Selain karena keuletannya merawat tradisi budaya leluhur selama hidupnya, di
luar panggung, Dariah melakoni hidup sebagai seorang transgender yang dapat
membawa obor bagi spirit keragaman identitas melalui kesenian rakyat.
Dilihat dari sudut pandang kodrat kemanusiaan, tari Lengger Lanang menyalahi
nilai kebenaran kodrat manusia. Hal ini dilihat dari karakter tari lengger yang seha-
rusnya adalah perempuan namun ditari-kan oleh kaum laki-laki, maka terjadi lintas
gender pada kesenian lengger. Namun jika dilihat dari nilai budaya, hal tersebut dapat
dibenarkan karena adanya kreativitas pelaku dalam mengespresikan peran yang
dituangkan dalam kesenian lengger.
Dalam perlakuan yang khusus, Dariah membenarkan bahwa lintas gender yang
dilakukannya adalah hasil dari kepercayaan dan keyakinan yang turun-temurun yang
terjadi pada adat istidat masyarakat di Banyumas yang memiliki istilah wandu yang
sudah menjadi hal yang biasa pada masyarakat Jawa.
Masyarakat Banyumas sangat menghargai adanya Lengger Lanang Dariah.
Sikap menghargai dari masyarakat tersebut berkaitan dengan nilai kemanusiaan dan
kejujuran yang tedapat pada lengger lanang Dariah. Menurut masyarakat setempat, me-
reka harus memperlakukan lengger dengan baik, artinya jangan membuat penari lengger
marah karena merasa diperlakukan dengan tidak sopan karena dapat menimbulkan
perpecahan di masyarakatnya itu sendiri. Pendapat ini membuktikan bahwa pertun-
jukan lengger dianggap sebagai pertunjukan yang sakral sebagai pembawa keberhasilan
proses tanam padi dan palawija.
Daftar Pustaka
Astrid,S. Menilik Tari Lengger Lanang Asal Banyumas.diakses pada 27 Oktober 2020.
Tersedia pada https://phinemo.com/menilik-tari-lengger-lanang-asal-banyumas/
Husnun Nadhiroh.2020. Mbok Dariah, Laku Budaya Seorang Lengger Lanang: Sebuah
Awal diakses pada 27 Oktober 2020. Tersedia pada
https://matatimoer.or.id/2020/07/02/mbok-dariah-laku-budaya-seorang-lengger-lanang-
sebuah-awal/
Purwanto. Bambang. 2007. Topeng Dan Lengger. Yogyakarta: Perpustakaan Fakultas
Ilmu Budaya UGM
Sunaryadi. 2000. Lengger Tradisi dan Transformasi. Yogyakarta: Yayasan Untuk
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai