Anda di halaman 1dari 13

KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA BALI DAN SASAK DI LOMBOK

(Judul yang disarankan)


IMPLEMENTASI NILAI-NILAI RELIGI DALAM AKULTURASI BUDAYA BALI
DAN SASAK

A. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara majemuk yang didalamnya terdapat banyak
keanekaragaman perbedaan, baik suku, agama, ras, dan antar golongan. Tercatat oleh Badan
Statistik Nasional bahwa Indonesia (2016:165) terdiri dari (1) sebanyak 1.340 suku bangsa;
(2) menganut 6 agama yang secara resmi; (3) terdapat ras 4 kelompok ras yaitu Papua
Melanezoid, Negroid, Weddiod, Melayu Mongoloid dan beberapa ras keturunan seperti
Tionghoa, Arab dan India; dan (4) terdapat banyak golongan di Indonesia. Keberagaman ini
tersebar dan membaur keseluruh wilayah Indonesia sehingga menjadi budaya berbeda-beda.
Diantara ribuan suku bangsa di Indonesia terdapat 2 suku bangsa yang memiliki
kedekatan geografis dan budaya yang menjalin hubungan sejak berabad-abad lamanya, yaitu
Bali dan Sasak. Pada sekitar abad ke XVI suku Bali dan Sasak dipertemukan para ranah
politik zaman kerajaan. Kerajaan Karangasem di Pulau Bali melebarkan kekuasaan
kerajaanya sampai ke sebelah timur kerajaan, tepatnya di Pulau Lombok yang dihuni oleh
suku Sasak. Hal ini mempertemukan suku Bali sebagai Imigran dengan suku Sasak sebagai
pribumi di Pulau Lombok.
Pertemuan kedua suku bangsa yang berlangsung cukup lama di Lombok antara suku
Bali dan Sasak antara abad ke XVI sampai XXI, jadi sudah berlangsung sekitar 500 tahun
lamanya telah mempertemukan dua kebudayaan besar antara Suku Bali dengan Sasak di
Lombok. Suku Bali sebagai imigran telah membangun kebudayaanya dalam rentangan waktu
yang panjang sebagai bagian dari enkulturasi yaitu proses menyesuaikan diri dengan keadaan
yang akan dilanjutkan sebagai proses penyesuaian diri dengan kebudayaan Sasak.
Penyesuaian diri bagi imigran dalam proses akulturasi dilakukan secara bertahap
dengan menciptakan situasi-situasi dan relasi-relasi yang tepat dalam masyarakat pribumi
sejalan dengan berbagai transaksinya yang dilakukan dengan orang-orang lain. Selain proses
penyesuaian diri dari imigran, pribumi juga melakukan penyesuaian diri untuk membuka
akses penerimaan terhadap budaya para imigran, sehingga tidak dapat dihindari terjadi
perubahan baik sisio-budaya imigran maupun pribumi. Hal inilah yang menarik untuk
dianalisis lebih jauh tentang akulturasi kebudayaan di Lombok antara suku Bali dengan suku
Sasak dalam ranah komunikasi antar budaya. Khususnya terkait penyesuaian kebudayaan
para imigran, penerimaan para pribumi, dan hasil akulturasi dari proses komunikasi
antarbudaya tersebut.
Proses akulturasi budaya, sangat berkaitan erat dengan sistem religi juga terjadi
penyesuaian penting pada ranah kebudayaan. Salah satu hal yang spesifik dalam kebudayaan
Bali adalah Sistem Religi. Agama Hindu menjadi pondasi penting dalam kebudayaan Bali.
Menjadi suprastruktur idiologis yang sangat berpengaruh. Sistem religi menurut
Koentjaraningrat (2009:294) merujuk pada dua pokok bahasan penting yaitu sistem religi
dan ilmu gaib. Sistem religi dalam sebuah kebudayaan ditandai dengan adanya ciri penting
seperti emosi keagamaan, sistem keyakinan, sistem upacara, dan umat yang menganut religi.
Emosi keagamaan menyangkut hal esensial tentang getaran jiwa yang dialami oleh setiap
manusia. Sistem keyakinan berkaitan tentang konsep tentang mahluk gaib baik yang
memiliki sifat baik maupun jahat seperti dewa-dewa, roh leluhur,hantu dan lain-lain. Hal
lainya adalah terkait tentang penciptaan alam semesta (kosmogoni), masalah sifat-sifat dunia
dan alam (kosmologi), konsepsi tentang maut, konsepsi tentang dunia roh, dunia akhirat dan
sebagainya.
Nilai atau sistem upacara menyangkut aspek-aspek yang berkaitan dengan upacara
yang dilakukan, seperti tempat dimana upacara dilakukan, saat-saat upacara dijalankan,
benda dan alat upacara yang diguanakan, dan orang yang memimpin upacara. Dalam
melakukan rangkaian upacara keagaaman pastinya melibatkan penganut yang diatur dalam
hubungan antara pemimpin dan umatnya.
Sistem religi merujuk pada kepercayaan yang ada pada masing-masing suku. Suku
Bali sejak datang ke Lombok sudah membawa Agama Hindu sebagai sistem kepercayaan
yang dianut. Sedangkan suku Sasak yang sebelumnya menjadi wilayah integral dari
Majapahit ditengarai juga memiliki kepercayaan yang serupa, akan tetapi perkembangan
selanjutnya suku Sasak menjadi bagian dari perkembangan agama Islam di Nusantara.
Sehingga terdapat kerajaan-kerajaan Sasak di Lombok yang Pra Islam dan kerajaan-kerajaan
pada masa Islam.
Sedangkan suku Sasak yang mayoritas saat ini beragama Islam sebenarnya memiliki
kisah yang panjang tenang sistem religinya. Pada prinsip kebudayaannya sangat dipengaruhi
oleh sistem religi Pra Hindu dan Islam. Sehingga masih terdapat kemiripan pada aspek
kebudayaan. Dengan demikian, sebagai fokus dalam penelitian ini adalah berkaitan dengan
implementasi nulai-nilai religi dalam akulturasi budaya Bali dan Sasak.

B. RUMUSAN MASALAH:
Sebagai rumusan dalam masalah penelitian ini adalah: Bagaimana proses implementasi
nilai-nilai religi dalam akulturasi budaya Bali dan Sasak?

C. KAJIAN PUSTAKA
Komunikasi Antarbudaya
Sebagai landasan analisis dalam penelitian ini, maka digunakanlah teori komunikasi
antar budaya dari Gudykunst dan Kim. Model komunikasi antarbudaya menurutnya (dalam
Mulyana, 2011, 169-171) adalah komunikasi antara orang-orang yang berasal dari budaya
berlainan, atau komunikasi dengan orang asing. Kedudukan antara sender/decoder dengan
receiver/decoder sama. Pribadi A dan B dapat berperan sebagai pengirim sekaligus penerima.
Masing-masing pribadi dapat melakukan penyandian pesan sekaligus penyandian balik
pesan. Pesan suatu dari pribadi A dapat juga menjadi umpan balik bagi pribadi B. Begitu
pula sebaliknya. Dalam hal penyampaian pesan, terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi receiver untuk menanggapi pesan itu. Hal tersebut berupa filter-filter
konseptual yang terdiri dari faktor budaya, sosiobudaya, psikobudaya, dan lingkungan.
Penyandian pesan dan penyandian-balik pesan merupakan proses interaktif yang
dipengaruhi oleh filter-filter konspetual yang dikategorikan menjadi faktor-faktor budaya,
sosiobudaya, psikobudaya dan faktor lingkunga. Teori ini memberikan gambaran fenomena
komunukasi anatar budaya sebagai sebuah arena transaksional, proses simbolik yang
mencakup pertalian antar individu dan sosial. Model teori ini memperlihatkan bahwa
komunikasi antar budaya adalah pertemuan kebudayaan pendatang dengan pribumi yang
melakukan penyesuaian diri melalui ranah-ranah komunikasi individu maupun komunikasi
sosial.
Suku Bali sebagai pendatang melakukan penyesuaian diri dengan kebudayaan
pribumi yang lebih dulu ada di Lombok melalui interaksi individu-individu dan juga melalui
kelompok sosial, bahkan melalui media-media. Hal ini dapat dianalisi dalam tiga pokok
pembahasan, yaitu tentang Bagiamana penyesuaian kebudayaan Bali di Lombok,
Penerimaan suku Sasak atas kebudayaan Bali dan Hasil Akulturasi Kebudayan Bali dan
Sasak di Lombok.

Akulturasi Budaya
Agama Hindu di Bali merupakan agama yang secara historis terkait perkembangan
agama Hindu di Indonesia. Agama Hindu berkembang secara perlahan mulai awal abad
masehi sampai mengalami puncak-puncak kejayaaan pada masa kerajaan Hindu di Jawa.
Kerajaan-kerajaan Hindu memperlihatkan peninggalan-peninggalan arkeologis yang
menandai perkembangan agama Hindu. Agama Hindu ke Bali disertai dengan kekuasaan
Majapahit atas Bali. Agama Hindu di Bali dikembangkan lagi oleh para rohaniawan dan
kerajaan Hindu di Bali. Karangasem menjadi kerajaan yang membawa secara langsung
peradaban Hindu di Lombok melalui suku Bali.
Prinsip dasar kemampuan penyesuaian suku Bali dalam membangun akulturasi
budaya di Lombok tidak terlepas dari 5 faktor yang mendasarinya sebagai dipaparkan oleh
Mulyana dan Rahmad (20014). Pertama, Kemiripan budaya asli dengan budaya pribumi yang
ditandai memiliki latar ras dan kebudayaan masyarakat agraris sebagai kunci kemiripan
budaya dengan letak geografis yang tidak berjauhan. Kedua, Usia pada saat migrasi.
Terjalinya komunikasi antar budaya sekitar 500 tahun menjadi bukti penting bahwa suku Bali
memiliki kemampuan beradaptasi yang panjang. Ketiga, Latar belakang pendidikan. Sejak
awal bermigrasi ke Lombok, suku Bali merupakan para bangsawan pembesar dari kerajaan
Karangasem yang memiliki fasilitas untuk melakukan penyesuaian diri dengan baik.
Keempat, Karakteristik kepribadian suka bersahabat dan toleransi. Suku-suku bangsa di
Indonesia pada prinsipnya memiliki karaktersitik yang sama sebagai pribadi-pribadi yang
suka bersahabat dan sangat toleransi terhadap keragaman. Hal ini dibuktikan dengan bangsa
Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dan tetap harmonis sebagai sebuah negara.
Kelima, pengetahuan tentang budaya pribumi oleh suku Bali jelas sudah dipelajari dan
dipahami sebagai bagian bangsa yang masih serumpun. Hal-hal tersbut menjadi indikasi
penting dalam mempermudah penyesuaian suku Bali di Lombok.

Nilai-Nilai Religi Dalam Akulturasi Budaya


Akulturasi Kebudayaan Bali dan Sasak di Lombok dapat analisis melalui pemetaan
wujud kebudayaan oleh Koentjaraningrat (2009:150) yang terbagi menjadi tiga, yaitu (1)
Ideas, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, peraturan dan
sebagainya; (2) activities, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan
berpola dari manusia dalam masyarakat; (3) artifacts, wujud kebudayaan sebagai benda-
benda hasil karya manusia. Oleh karena itu, Bentuk Geneologi Akulturasi Kebudayaan Bali
dengan Sasak di Lombok dapat dijabarkan kedalam tiga klasifikasi yaitu (1) Akulturasi
Kebudayaan Bali dan Sasak dalam Bentuk Ideas; (2) Akulturasi Kebudayaan Bali dan Sasak
dalam Bentuk Activities; dan (3) Akulturasi Kebudayaan Bali dan Sasak dalam Bentuk
Artifacts.
Tataran Ideas merupakan wujud kebudayaan yang sifatnya sangat abstrak, tidak dapat
diraba atau difoto, lokasinya ada di kepala atau dalam pikiran warga masyarakat tempat
kebudayaan itu berlangsung. Ide dan gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam
suatu masyarakat, memberi jiwa kepada masyarakat itu. Gagasan satu dengan yang lainya
selalu berkaitan menjadi suatu sistem yang disebut sebagai sistem budaya. Budaya ideal
mempunyai fungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada tindakan, kelakuan
dan perbuatan manusia dalam masyarakat sebagai sopan santun. Kebudayaan ideal ini bisa
juga disebut adat-istiadat.
Adat-istiadat dapat dipahami sebagai sistem nilai budaya, pandangan hidup, dan
ideologi. Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan abstrak dari adat-
istiadat. Sistem nilai budaya berada dalam alam pikiran sebagaian besar dari masyarakat yang
dianggab bernilai,berharga, dan penting dalam kehidupan, sehingga berfungsi sebagai
pedoman yang memberi arahan dan orientasi pada kehidupan. Sifatnya yang sangat umum
mempunyai ruang lingkup yang sangat luas dan sulit diterangkan secara rasional dan nyata.
Sifat umum ini juga menjadikan sistem nilai budaya berada pada wilayah emosional dari
suatu masyarakat.
C. Kluckhohn dan F. Kluckhohn (dalam Koentjaraningrat, 2009:154)
mengembangkan suatu kerangka analisis secara universal untuk sistem nilai budaya yang
didasarkan atas lima masalah dasar dalam kehidupan manusia, yaitu (1) masalah dari hakikat
hidup manusia; (2) masalah hakikat dari karya manusia; (3) masalah hakikat kedudukan dari
kedudukan manusia dalam ruang dan waktu; (4) masalah hakikat dari hubungan manusia
dengan alam sekitarnya; dan (5) masalah hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya.
Ranah Ideas berisi tentang sistem nilai budaya menjadi pedoman dalam memberikan
arahan dan orientasi terhadap hidup, bersifat umum dan sistem norma yang berisikan tentang
aturan-aturan untuk bertindak yang bersifat khusus dengan perumusan yang sangat
terperinci, jelas, tegas, dan tidak meragukan. Norma-norma yang khusus dapat digolongkan
menurut pranata yang ada dimasyarakat, yaitu pranata ilmiah,pranata pendidikan, pranata
peradilan, pranata ekonomi, pranata estetika, pranata keagamaan, dan sebagainya.
Dengan demikian ranah Ideas yang diwujudkan sebagai adat-istiadat, yaitu sistem
nilai budaya dan sistem norma menjadi dasar manusia berkebudayaan. Adat-istiadat ini dapat
berkembang dari nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat. Salah satu sumber nilai yang
paling penting dalam mempengaruhi kebudayaan adalah sistem religi. Sistem religi menjadi
ranah superstruktur ideologis yang dijelaskan oleh Sanderson (2010:62) meliputi cara-cara
yang telah terpolakan, yang dengan cara tersebut para anggota masyarakat berfikir,
melakukan konseptualisasi, menilai dan merasa, sebagai lawan kata dari apa yang mereka
lakukan secara aktual.
Tataran selanjutnya adalah activities merupakan kompleks aktivitas serta tindakan
berpola dari manusia dalam masyarakat. Hal ini berkaitan dengan sistem sosial yang terdiri
dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, dan bergaul satu sama lain
dari detik ke detik, dari hari ke hari, dan dari tahun ke tahun, selalu menurut pola-polatertentu
yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam
suatu masyarakat, sistem sosial bersifat kongkrit, terjadi disekeliling pada sehari-hari, bisa
diobservasi, difoto dan didokumentasikan (Koantjaraningrat, 2009:151).
Serta tataran selanjutnya adalah bentuk artifact merupakan kebudayaan fisik yang
dapat berupa seluruh hasil dan aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam
masyarakat. Sifat paling kongkrit dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba,
dilihat dan difoto (Koantjaraningrat, 2009:151).

D. METODE
Penelitian ini mengunakan pendekatan kualitatif tentang implementasi nilai-nilai
religi sebagai hasil akulturasi suku Bali dan Sasak di Lombok dengan mengunakan metode
deskriptif kualitatif. (Tolong tambahkan satu definisi tentang deskriptif kualitatif, lihat di
buku metodologi. Serta kutipan wawancara harus muncul sedikit dalam hasil penelitian).
sebagai teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menekankan pada mekanisme thick
description tentang hasil akulturasi budaya suku Bali dan Sasak di Lombok. Penelitian
lapangan ini bersifat holistik-integratif dengan menggunakan analisis kulitatif dalam rangka
mendapatkan native's point of view. Teknik pengumpulan data yang utama adalah observasi-
partisipasi, wawancara terbuka dan mendalam yang dilakukan dalam jangka waktu yang
relatif lama.

E. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil Penelitian
Sistem Religi di Lombok dari masa ke masa mengalami dinamika yang cukup variatif.
Hal ini didasarkan atas fakta historis bahwa Lombak dengan suku Sasaknya pernah
mengalami masa pengaruh kebudayaan megalitikum, pengaruh kebudayaan Hindu dan
Budha, dari Kerajaan Sriwijaya sampai Majapahit abad ke VII sampai abad ke XIV, pengaruh
kebudayaan Islam terjadi setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit dan berdirinya Kerajaan
Islam Demak sekitar abad ke XIV sampai abad ke XVI, dan Pengaruh kebudayaan Hindu
Bali setelah Kerajaan Karangasem melebarkan kekuasaannya sampai wilayah Lombok pada
abad ke XVII sampai abad ke XIX (Sudirman, 2012).
Dinamika sistem religi di Lombok ini sangat berpengaruh besar pada sistem nilai
budaya suku sasak. Suku Sasak pada umumnya memiliki akar yang sama dengan Suku Bali
pada kebudayaan yang dipengaruhi masa Pra Sejarah, Hindu, dan Budha. Sehingga
memungkinkan adanya penerimaan kebudayaan Bali pada kebudayaan Sasak. Walaupun
Pengaruh Islam juga cukup kuat untuk menentukan pola kebudayaan Sasak. Tidak menutup
kemungkinan juga terjadi penerimaan kebudayaan Sasak dalam kebudayaan Bali.
Akulturasi wilayah ideal kebudayaan Bali dengan Sasak terjadi dapat terlihat aktivitas
religius suku Sasak dan Bali. Suku Sasak yang sebagaian besar saat ini menganut Agama
Islam, akan tetapi masih melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak ada dalam ajaran Islam.
Prilaku-prilaku tersebut dapat dilihat pada tradisi tentang sesajen pada suku Sasak.
Sesajen masih menjadi hal yang penting dalam kehidupan suku Sasak. Hal ini dapat
dilihat dari jenis sesajen dalam bentuk kecil seperti Bunga Rampai. Bunga rampai dipakai
dalam persembahan sebagian suku sasak untuk pemujaan ditempat-tempat yang dianggab
sakral. Seperti yang terlihat pada gambar berikut.

Gambar 5.6 : Bunga Rampai dan Kinangan


Persembahan seperti Bunga Rampai dan Kinangan menjadi salah satu yang
dipersembahkan dalam tradisi ritual suku Sasak di Pura Lingsar. Bunga Rampai mirip dengan
persembahan yang digunakan oleh suku Bali dalam pemujaan yaitu Canang Sari. Selain
Bunga Rampai masih juga terdapat sesajen yang berisikan makanan, buah dan lauk-pauk
yang dipersembahkan seperti terlihat dibawah ini.

Gambar 5.7: Sesajen


Ritual biasanya dilakukan terkail hari-hari besar keagamaan Islam, atau berkaitan
tentang siklus hidup, seperti upacara potong rambut pada balita, upacara khitanan, upacara
pegat kemalik, atau hajatan. Terdapat juga tradisi unik lainya yang berkaitan dengan ritual
untuk mohon kesehatan dan kesembuhan, mohon rezeki. Seperti terlihat pada gambar
berikut.

Gambar 5.8 : Ritual Suku Sasakdi Pura Lingsar

Tradisi ritual persembahan seperti diatas, semestinya sudah tidak dilakukan oleh suku
Sasak yang menganut Agama Islam. Hal tersebut didasarkan pada ideologi agama Islam
bahwa kegiatan mempersembahkan sesajen adalah tindakan yang tidak patut dilakukan.
Demikian pula dengan Suku Bali yang beragama Hindu juga memilik tambahan pada
sistem pemujaan. Didalam sebuah pura terdapat sebuah bangunan yang dinamakan Kemaliq.
Tempat ini secara spesifik berhubungan dengan pemujaan Suku Sasak di sebuah Pura Hindu.
Walaupun dalam aktivitasnya tidak nampak terang-terangan.
Selanjutnya berkaitan dengan akulturasi Kebudayaan Bali dan Sasak terjadi pada
ranah sistem bahasa. Bali dan Sasak merupakan satu bagian keluarga se rumpun dalam
bahasa. Interaksi kedua suku yang intensif dalam waktu yang lama memberikan pengaruh
bagi masing-masing bahasa. Hal ini terjadi dalam pengunaan aksara suku Sasak dan Bali,
keduanya mengunakan sistem aksara HANACARAKA yang ditengarai berasal dari Aksara
Jawa. Aksara Bali masih intensif digunakan oleh orang Bali di Lombok dalam kesusatraan
dengan beberap mengadopsi bahasa sasak dalam karyanya. Aksara Lombok yang disebut
dengan JEJAWEN dapat diprediksi bahwa pengaruh aksara Jawa dan Bali begitu kuat
pengaruhnya yang didasarkan atas kekuasaan Kerajaan Mataram atau Cakranegara yang
berasal dari Kerajaan Karangasem.
Pengunaan bahasa sehari-hari juga mengalami akulturasi. Bahasa Bali Karangasem
memang memiliki warna tersendiri dalam dialek diantara suku Bali yang ada di Bali. akan
tetapi Bahasa Bali dipengaruhi juga oleh bahasa Sasak yang digunakan oleh masyarakat
Lombok pada umumnya, sehingga terjadi perbedaan pada logat bahasa Bali versi Lombok.
Selain itu juga terdapat bahasa serapan dari bahasa Sasak yang digunakan oleh Etis Bali di
Lombok dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya miko yang artinya adalah kesana.
Organisasi Sosial Sistem patrilineal berpengaruh pada tradisi pernikahan dan hak
waris. Suku Bali dan Sasak sama-sama menganut sistem patrilineal. Interaksi yang panjang
dalam satu wilayah yang sama memicu terjadi percampuran perkawinan antar kedua suku.
Terdapat satu tradisi unik di Lombok dalam pernikahan, yang terkenal dengan Kawin Lari.
Kawin Lari merupakan perkawinan adat di Lombok yang dilakukan oleh sebagain besar suku
Sasak dan sebagian oleh suku Bali. Perkawinan itu dilakukan atas dasar suka-sama suka dari
mempelai, akan tetapi tanpa didahului dengan upacara meminan. Upacara pernikahan pada
umumnya dilakukan dirumah mempelai Laki-laki. Sistem patrilineal juga berimbas pada
sistem waris yang di dominasi oleh kaum laki-laki.
Sistem mata pencaharian menjadi satu bagian dari akulturasi suku Bali dan Sasak di
Lombok. Bercocok tanam baik di kebun maupun disawah menjadi satu hal penting
masyarakat agraris. Dalam sistem pertanian dikenal sistem pembagian air yang sama antara
Suku Bali dan Sasak dengan istilah Subak. Istilah dan jenis kegiatan subak terlihat merupakan
adopsi dari sistem pengairan yang ada di Bali. sebagai contoh adalah sistem subak di daerah
Lingsar seperti terlihat dalam struktur kepengurusan sebagai berikut.

Gambar 5.9 : Struktur Pengurus Perlindungan Air (Dokumen Pribadi, 2013)

Hasil akulturasi budaya selanjutnya adalah berkaitan dengan sistem religi antar kedua
suku terlihat dalam aktivitas ritual-ritual yang dijalankan. Suku Bali dan Sasak sama-sama
mengenal istilah makemit, mayah kaul, megat kemalik, dan upacara perang topat. Makemit
merupakan aktivitas kedua suku untuk bermalam di sebuah tempat suci, khususnya di
Lingsar. Megat Kemalik merupakan upacara untuk memohon keselamatan dari hal-hal
negatif yang dibawa sejak lahir. Upacara peran topat merupakan upacara yang dilaksanakan
bersama di Pura Lingsar oleh kedua suku. Upacara ini berkaitan dengan permohonan
kesuburan dalam masa bercocok tanam untuk semua suku. Seperti terlihat pada gambar
berikut.
Gambar 5.10: Perang Topat di Pura Lingsar (Dokumen Pribadi, 2013)
Kesenian terdapat sistem adopsi dari kedua belah pihak. Suku Sasak juga memiliki
seni suara dalam pelantunan tembang yang identik dengan di Jawa dan Bali. jenis-jenis
tembang istilahnya sama seperti Dandang Gula, Maskumambang, Asmarandhana dan lain-
lain, akan tetapi memiliki gaya yang sedikit berbeda dalam pelantunannya. Gamelan juga
mengalami beberapa akulturasi, hal yang sangat nampak adalah satu tentang Gendang Beliq.
Dalam tarian ada tari gandrung dan joget yang menjadi tari pergaulan di kedua suku namun
memiliki improvisasi dalam garapan gending maupun gerakan.
Terdapat peninggalan-peninggalan kuno di Lombok, baik peningalan Suku Bali
maupun Suku Sasak. Jenis peninggalaan dari kedua suku ini masing-masing dipengaruhi oleh
sistem kebudayaan antara keduanya. Peninggalan antar kedua suku sangat erat hubungannya
dengan sistem religi yang dianut. Suku Sasak dengan Agama Islam, sedangkan Suku Bali
dengan Agama Hindu. Peninggalan suku Sasak seperti Masjid Kuno Bayan Beleq, Masjid
Kuno Gunung Pujut, Masjid Kuno Rembitan, dan Makam Sriwa Pejangik. Peninggalan Suku
Bali seperti Pura Meru Cakranegara, Taman Lingsar, Pura Suranadi, Taman Narmada,
Taman Mayura Cakranegara.
Masjid Kuno Bayan terletak di Dusun Bayan Beleq, Desa Bayan, Kecamatan Bayan,
Kabupaten Lombok Utara. Bayan merupakan daerah perbukitan dengan latar kaki Gunung
Rinjani disebelah selatan. Masjid ini terletak diatas sebidang tanah yang tidak rata, bangunan
intinya terletak pada permukaan tanah yang paling tinggi. Posisi utama dalam kompleks suci
dilatekkan pada tempat yang paling tinggi ini merupakan ciri dari peradaban Hindu yang
berorientasi kesucian pada posisi yang tinggi seperti Gunung, Bukit dan sebagainya. Hal lain
yang berbeda pada Masjid pada umumnya adalah tinggi tiang keliling yang hanya 125 cm
jauh dari ukuran normal tinggi orang dewasa, sehingga orang yang akan memasuki Masjid
ini harus merunduk. Pada bagian blandar atas terdapat sebuah jait sebagai tempat menaruh
hiasan-hiasan yang terbuat dari kayu berbentuk ikan dan burung. Melambangkan dunia atas
dan dunia bawah. Pada mimbar terdapat juga hiasan berbentuk naga, pohon,ayam, telur, dan
rusa. Ragam hias ini ditengarai sebagi pengaruh masa Pra Islam di Lombok.
Gambar 5.11 : Masjid Bayan Beleq

Masjid Kuno Gunung Pujut, terletak di sebuah bukit yang disebut sebagai Gunung
Pujut. Letaknya berada di Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah.
Kompleks bangunan ini menurut Sudirman (2012:47) termasuk pedewa sebagai sarana
kegiatan ritualbagi penganut ajaran Wetu Telu. Banunan masjid yang juga disebut sebagai
pedewa ini dibangun diatas perbukitan yang diperkirakan mengambil nilai kesucian dari
sistem religi megalitikum dan juga pengaruh Hindu. Dahulu sistem ritual di masjid ini di
pimpin oleh seorang pemuka agama yang di sebut dengan pemangku. Pemangku sebagai
sarana penghubung dengan roh nenek moyang dan dewa-dewa Hindu seperti Bhatara Wisnu
dan Bhatara Guru.

Gambar 5.12 : Masjid Kuno Gunung Pujut


Makam Seriwa Pejangik terletak di sebuah perbukitan kecil Dusun Seriwa, Desa
Pejanggik, Kecamatan Praya, Kabupaten Lombok Tengah. Pemakaman diatas bukit
merupakan salah satu bukti pengaruh sistem religi Hindu tentang nilai kesucian yang berada
pada tempat tinggi yang dipercaya sebagai tempat suci bersemayamnya roh-roh
nenekmoyang dan juga para dewa. Dengan memakamkan pada tempat yang tinggi berarti
memberikan penghormatan kepada yang sudah meninggal terutama kepada raja sebagai
pemimpin.
Gambar 5.14: Makam Seriwa Pejanggik
Artefact karya suku Bali di Lombok cukup banyak, mengingat secara historis suku Bali
di Lombok pernah mendirikan sebuah kerajaan bernuansa Hindu. Kerajaan Cakranegara atau
Mataram merupakan sistem pemerintahan yang dibangun masa kekuasaan kerajaan Bali di
Lombok. Wilayah lombok bagian barat menjadi wilayah dominan yang dihuni oleh suku Bali
bersama suku Sasak. Dari banyaknya peningalan masa lalu tercatat dan masih berdiri sampai
sekarang adalah Pura Meru Cakranegara, Taman Lingsar, Pura Suranadi, Taman Narmada,
dan Taman Mayura Cakranegara. Dari beberapa peninggalan kejayaan kerajaan Hindu pada
masa lalu terdapat hal yang tidak ditemukan di daerah lain di Bali.
Monumen pengaruh suku Sasak dalam peninggalan suku Bali dapat di temukan pada
beberapa bangunan Pura. Didalam beberapa bangunan pura di Lombok terdapat satu
pelinggih istimewa yang sering disebut sebagai Kemaliq. Kemaliq ini merupakan pelinggih
yang biasanya di tempatkan beberapa temuan batu yang disakralkan yang disebut pedewak.
Kemaliq dapat ditemukan di Pura Lingsar dan Pura Suranadi dibagian pura pengklukatan.
Pura Lingsar selain menjadi tempat umat Hindu melakukan ritual keagamaan, tetapi juga
menjadi tempat pemujaan sebagian suku sasak khususnya pada Kemaliq. Bahkan di Pura
Lingsar suku sasak secara bersama-sama pada upacara Perang Topat melakukan aktivitas
ritual.
Bangunan Kemaliq dipercaya oleh suku Sasak dan suku Bali sebagai bagian dari sistem
religi kedua suku. Sampai saat ini Kemaliq menjadi tempat pemujaan suku Sasak yang
ditengarai menganut Islam Wetu Telu. Untuk beberapa Kemaliq ditempat lain, suku Sasak
tidak secara terang terangan mengunakanya. Namun masih menjadi tempat yang dijadikan
referensi ritual suku Sasak di Lombok. Bentuk bangunan Kemaliq dapat di lihat seperti pada
gambar berikut.
Gambar 5.15: Kemaliq di Pura Lingsar (Dokumen Pribadi, 2013)

Akulturasi kebudayaan Bali dan Sasak di Lombok berimplikasi terhadap kebudayaan


Bali di Lombok. Terjadi serapan unsur-unsur kebudayaan Sasak kedalam kebudayaan Bali,
baik dalam sistem bahasa, sistem pengetahua, sistem, Organisasi Sosial, Sistem Peralatan
Hidup dan Teknologi, Sistem Mata Pencarian Hidup, Sistem Religi, dan Kesenian. Hal
tersebut menjadikan suku Bali mengalami krisis identitas. Akibat suku Bali di Lombok tidak
diakui sebagai suku asli di Lombok, sedangkan di Bali tidak memiliki domisili. Suku Bali di
Lombok menjadikan Lombok tempat berkativitas kehidupan yang mapan sejak ratusan
tahun. Beberapa generasi telah tumbuh berkembang di Lombok. Bahkan suku Bali sudah
mengangab Lombok merupakan tanah kelahiranya, yang tidak mungkin lagi meninggalkan
Lombok.

PEMBAHASAN
Secara kebudayaan Suku Bali di Lombok tidak termasuk suku Asli penguhuni Pulau
Lombok. Sehingga dalam catatan resmi kependudukan akan tercatat sebagai bagian dari
Suku Bali. Mendiami suatu wilayah dalam waktu yang lama tidak serta merta menjadikan
suku Bali menjadi suku Sasak. Kelahiran generasi ke generasi tidak menjadikan suku Bali
diterima menjadi suku Sasak. Identitas lainya masih kuat menunjukan suku Bali di Lombok
masih memiliki hubungan erat dengan suku Bali di Bali.
Suku Bali juga tidak diterima secara penuh oleh suku Bali di Bali. hal ini disebabkan
perbedaan wilayah geografi tempat tinggal yang sudah tidak lagi di Bali. Tempat tinggal
yang dibangun dari generasi ke generasi menjadikan Suku Bali “di Tolak menjadi Bali”.
ketika suku Bali dari Lombok datang ke keluarganya di Bali pastilah di katakan berasal dari
Lombok disebut “Nyame Lombok”. Hal ini menjadikan suku Bali di Lombok sebenarnya
mengalami krisis Identitas. Dengan demikian maka dibangunlah satu istilah “Balok” sebagai
singkatan Bali Lombok.
Istilah “Balok” muncul sebagai reaksi krisi identitas akibat akulturasi kebudayaan
Bali dan Sasak yang unik dan berbeda dengan tempat asalnya. Balok menjadi indetitas baru
bagi orang Bali yang berasal dari Lombok, sehingga dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan
ketika dalam pergaulan sehari-hari. Akan tetapi istilah ini juga memberikan implikasi kepada
suku Bali yang baru datang ke Lombok yang bukan berasal dari masa Kerajaan Cakranegara.
Sehingga Bali di Lombok terpecah menjadi dua identitas yaitu Bali Pendatang dan Bali Asli
atau Bali Lombok.
Implikasi dari akulturasi kebudayaan Sasak dengan Bali terjadi pada ranah religius.
Munculnya sinkritisme Islam dengan Hindu pada masyarakat sasak menjadi tanda akulturasi
kedua suku. Singkritisme ini sering disebut sebagai Islam wetu telu. Banyak peneliti yang
sudah mencoba menelusuri tentang keberadaan sistem ini. Akan tetapi secara nominal tidak
nampak secara langsung karena dianggap Islam wetu telu merupakan penganut Islam yang
belum murni oleh persepsi luar.
Penelitian Budiwanti (200) tentang Islam wetu telu di Bayan memberikan gambaran
tentang sistem religi itu. Wetu telu berasal dari kata wetu yang berasal dari kata metu, yang
berarti muncul atau datang dari. Sedangkan telu berarti tiga. Jadi wetu telu dapat dipahami
dengan pengengertian bahwa semuah mahluk hidup muncul dengan tiga cara. Tiga cara
reproduksi yaitu melahirkan (menganak), bertelur (menteluk), berbuah atau benih (mentiuk).
Selanjutnya terdapat konsep kosmologi wetu telu yang membicarakan tentang jagad besar
dan jagad kecil. Jagad besar adalah alam semesta, sedangkan jagad keji adalah manusia.
Terdapat unsur sumber yang sama dari jagad kecil dan besar yaitu tanah, udara, air, dan api.
Hal ini sama dengan yang ada dalam konsp Hindu Bali tentang Panca Maha Butha. Konsep
wetu telu juga dimaknai sebagai siklus kehidupan manusia tentang lahir (menganak), hidup
(hidup), dan mati (mate).
Dalam sistem kepercayaan wetu telu diyakini adanya dunia roh seperti arwah leluhur
dan roh penunggu. Arwah leluhur yang berasal dari nenek moyang (papukbaluk) terutama
orang tua dan juga orang-orang yang telah berjasa pada perkembangan masyarakatnya seperti
para raja atau pemuka adat. Selain roh leluhur, dipercaya juga adanya roh penunggu, yaitu
makhluk-makhluk yang tinggal di rumah (apen bale), dan yang hidup di desa atau lingkungan
tempat tinggal (epen gubug). Roh dipercaya menempati segala benda mati seperti tanah,
bukit, gunung, pepohonan, hutan, mata air, sungai, laut, air terjun, dan batu.
Kepercayaan dasar tentang beberapa aspek dalam sistem religi adalah wetu telu yang
dipekirakan dipengaruhi sistem kepercayaan Hindu menjadikannya memiliki sistem ritual
yang sangat dekat dengan ritual oleh suku Bali yang beragama Hindu. Para ahli sering
menyebut wetu telu sebagai hasil sinkritisme Islam dengan Hindu pada suku Sasak. Hal ini
sering mempertemukan suku Bali dengan suku Sasak dalam beberapa aktivitas religius
seperti pada perayaan perang topat di Pura Lingsar.
Tambahkan sedikit analisis tentang (1) Ideas, (2) activities, (3) artifacts.

SIMPULAN
Buat simpulannya sendiri yaa……

DAFTAR PUSTAKA
Deddy Mulyana. Ilmu Komunikasi. Bandung: Rosda, 2011, halaman. 169-171
Retrieved on September 28, 2012

Anda mungkin juga menyukai