Anda di halaman 1dari 28

1.

Karakteristik Tumbuh Kembang Fisik dan Motorik pada Remaja


Pertumbuhan fisik adalah pertumbuhan struktur tubuh manusia yang terjadi sejak
masih dalam kandungan hingga ia dewasa. Proses perubahannya adalah menjadi panjang
(pertumbuhan vertikal) dan menjadi tebal atau lebar (pertumbuhan horizontal) dalam
suatu proporsi bentuk tubuh.
Pertumbuhan fisik meliputi perubahan progresif yang bersifat internal eksternal.
Perubahan internal meliputi perubahan ukuran alat pencernaan makanan, bertambahnya
ukuran besar dan berat jantung serta paru-paru, bertambah sempurnanya sistem kelenjar
endoktrin/kelamin, dan berbagai jaringan tubuh. Adapun perubahan eksternal meliputi
bertambahnya tinggi badan, bertambahnya lingkar tubuh, perbandingan ukuran panjang
dan lebar tubuh, ukuran besarnya organ seks, dan munculnya tanda-tanda kelamin
sekunder.
Pertumbuhan atau perkembangan motorik adalah perkembangan mengontrol
gerakan-gerakan tubuh melalui kegiatan-kegiatan yang terkoordinasikan antara susunan
syaraf pusat, syaraf, dan otot. Proses tersebut dimulai dengan gerakan-gerakan kasar
(gross movement) yang melibatkan bagian-bagian besar dari tubuh dalam fungsi duduk,
berjalan, lari, meloncat, dan lain-lain. Kemudian, dilanjutkan dengan koordinasi halus
(finer coordination) yang melibatkan kelompok otot halus dalam fungsi meraih,
memegang, melempar, menulis, menggambar, mewarna, dan lain-lain yang kedua-duanya
diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Perkembangan anak tidak berlangsung secara
mekanis–otomatis, sebab perkembangan tersebut sangat tergantung pada beberapa faktor
secara simultan, yaitu:
1) Faktor Herediter (Warisan sejak lahir, bawaan)
2) Faktor Lingkungan yang menguntungkan, atau yang merugikan;
3) Kematangan fungsi–fungsi organis dan fungsi-fungsi psikis, dan;
4) Aktivitas anak sebagai subyek bebas yang berkemauan, kemampuan seleksi,
bisa menolak atau menyetujui, punya emosi, serta usaha membangun diri
sendiri.
Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi pertumbuhan fisik dan perkembangan
motorik adalah sebagai berikut:
1. Aliran Nativisme
Aliran ini berpendapat bahwa pertumbuhan dan perkembangan individu
lebih ditentukan oleh faktor keturunan, bawaan atau faktor internal.
2. Aliran Empirisme
Aliran ini menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan individu
lebih dipenagruhi oleh lingkungan atau pengalaman atau eksternal.
3. Aliran Konvergensi
Aliaran ini menjelaskan bahwa pertumbuhan dan perkembangan individu
dipengaruhi oleh pembawaan maupun lingkungan.

A. Pertumbuhan Fisik dan Motorik pada Masa Remaja


Fase remaja merupakan suatu perkembangan individu yang sangat penting,
yang di awali dengan matangnya organ-organ fisik (seksual) sehingga mampu
bereproduksi. Masa remaja meliputi:
a. Remaja awal adalah remaja usia 12 sampai 15 tahun
b. Remaja madya (pertengahan) adalah remaja usia 15 sampai 18 tahun
c. Remaja akhir adalah remaja usia 19 sampai 22 tahun.
Walaupun pembagian periode remaja berbeda, akan tetapi keseluruhan waktu
yang ada pada fase remaja adalah sama. WHO (World Health Organization)
menyatakan walaupun definisi remaja utamanya didasarkan pada usia kesuburan
(fertilitas) wanita, namun batasan itu juga berlaku pada remaja pria, dan WHO
membagi kurun usia dalam dua bagian yaitu remaja awal 10–14 tahun dan remaja akhir
15–20 tahun.

B. Perubahan Pertumbuhan Fisik Selama Masa Remaja


Perubahan fisik selama remaja secara umum adalah sebagai berikut:
Pada anak perempuan
1. Pertumbuhan tulang-tulang (badan menjadi tinggi, dll)
2. Pertumbuhan payudara
3. Tumbuh bulu yang halus berwarna gelap di kemaluan
4. Mencapai pertumbuhan ketinggian badan yang maksimum setiap tahunnya
6. Menstruasi atau haid
7. Tumbuh bulu-bulu ketiak
8. Suara menjadi agak nyaring
Pada anak laki-laki
1. Pertumbuhan tulang-tulang.
2. Testis (buah zakar) membesar.
3. Tumbuh bulu kemaluan yang halus, lurus, dan berwarna gelap.
4. Awal perubahan suara.
5. Ejakulasi (keluarnya air mani).
6. Pertumbuhan tinggi badan mencapai tingkat maksimum setiap tahunnya.
7. Tumbuh bulu ketiak.
8. Tumbuh bulu di dada
Adapun perubahan fisik yang penting dan yang terjadi pada masa remaja ialah
terbagi atas dua perubahan sebagai berikut:
a. Perubahan Eksternal
1. Perubahan Ukuran tubuh
Irama pertumbuhan mendadak menjadi cepat sekitar 2 tahun sebelum anak
mencapai taraf pematangan kelaminnya. Pertumbuhan tubuh selanjutnya masih terus
terjadi namun dalam tempo yang sedikit lamban. Selama 4 tahun pertumbuhan tinggi
badan anak akan bertambah 25 persen dan berat tubuhnya hampir mencapai dua kali
lipat. Anak laki-laki akan mencapai bentuk tubuh lebih cepat daripada anak
perempuan. Pertumbuhan anak laki-laki akan mencapai bentuk tubuh dewasa pada
usia 19 tahun sampai 20 tahun sedangkan bagi anak perempuan pada usia 18 tahun.
2. Perubahan proporsi tubuh
Ciri tubuh yang kurang proposional pada masa remaja ini tidak sama untuk
seluruh tubuh, ada pula bagian tubuh yang semakin proposional. Proporsi yang tidak
seimbang ini akan berlangsung terus sampai seluruh masa puber selesai dilalui
sepenuhnya sehingga akhirnya proporsi tubuhnya mulai tampak seimbang menjadi
proporsi orang dewasa.
3. Ciri kelamin yang utama
Ketika masa remaja alat kelamin mulai berfungsi pada saat berumur 14 tahun,
yaitu saat pertama kali anak laki-laki mengalami “mimpi basah”. Sedangkan pada anak
perempuan, indung telurnya mulai berfungsi pada usia 13 tahun, yaitu saat pertama kali
mengalami menstruasi atau haid. Bagian lain dari alat perkembangbiakan pada anak
perempuan saat ini, masih belum berkembang dengan sempurna, sehingga belum
mampu mengandung anak untuk beberapa bulan atau setahun lebih. Masa interval ini
disebut sebagai “saat steril” masa remaja.
4. Ciri kelamin kedua
Yang dimaksud dengan ciri kelamin kedua pada anak perempuan adalah :
 membesarnya buah dada,
 mencuatnya puting susu,
 pinggul melebar lebih lebar daripada lebar bahu,
 tumbuh rambut di sekitar alat kelamin,
 tumbuh rambut diketiak, dan
 suara bertambah nyaring.
Sedangkan ciri kelamin kedua pada anaka laki-laki adalah :
 tumbuh kumis dan jenggot,
 otot mulai tampak,
 bahu melebar lebih besar daripada pinggul,
 nada suara membesar,
 tumbuh jakun, bulu ketiak, bulu dada, dan sekitar alat kelamin,
 serta perubahan jaringan kulit menjadi lebih kasar dan pori-pori membesar.

b. Perubahan Internal
Perubahan yang terjadi dalam organ dalam tubuh remaja dan tidak tampak dari luar.
Perubahan ini nantinya sangat mempengaruhi kepribadian remaja. Perubahan tersebut
adalah:
1. Sistem Pencernaan
Perut menjadi lebih panjang dan tidak lagi terlampau berbentuk pipa, usus
bertambah panjang dan bertambah besar, otot-otot di perut dan dinding-dinding usus
menjadi lebih tebal dan kuat, hati bertambah berat dan kerongkongan bertambah
panjang.
2. Sistem Peredaran Darah
Jantung tumbuh pesat selama masa remaja, pada usia tujuh belas atau delapan
belas, beratnya dua belas kali berat pada waktu lahir. Panjang dan tebal dinding
pembuluh darah meningkat dan mencapai tingkat kematangan bilamana jantung
sudah matang.
3. Sistem Pernafasan
Kapasitas paru-paru anak perempuan hampir matang pada usia tujuh belas
tahun; anak laki-laki mencapat tingkat kematangan baru beberapa tahun kemudian.
4. Sistem Endokrin
Kegiatan gonad yang meningkat pada masa puber menyebabkan
ketidakseimbangan sementara dari seluruh sistem endokrin pada masa awal puber.
Kelenjar-kelenjar seks berkembang pesat dan berfungsi, meskipun belum mencapai
ukuran yang matang sampai akhir masa remaja atau awal masa dewasa.
5. Jaringan Tubuh
Perkembangan kerangka berhenti rata-rata pada usia delapan belas tahun.
Jaringan selain tulang, khususnya bagi perkembangan otot, terus berkembang sampai
tulang mencapai ukuran yang matang.

C. Pertumbuhan Fisik Terhadap Tingkah Laku Remaja


Pertumbuhan fisik mempunyai pengaruh terhadap tingkah laku. Pertumbuhan
fisik pada gilirannya akan membawa sampai pada suatu kondisi jasmaniah yang siap
untuk melaksanakan tugas perkembangan secara lebih memadai yaitu kesiapan individu
untuk melaksanakan tugas-tugas perkembangan pada periode berikutnya dan kemudian
terjadilah perubahan tingkah laku progresif yang semakin sempurna. Pertumbuhan pada
otak yang semakin sempurna menyebabkan susunan syaraf semakin lebih kompleks dn
sistem syaraf menjadi lebih sempurna sehingga kemampuan berfikir menjadi lebih
tinggi, hal ini menjadikan remaja bertingkah laku sesuai dengan pertumbuhan fisik
yang dialaminya.
D. Perkembangan Motorik pada Masa Remaja
Perkembangan motorik pada masa remaja meliputi pada aspek-aspek berikut:
1) Aspek intelektual
Perkembangan intelektual atau kognitif pada remaja dimulai sejak usia 11 atau
12 tahun. Remaja tidak lagi terikat pada realitas fisik yang kongkrit. Mereka mulai
memahami hal–hal yang bersifat hipotesis serta abstrak dari sebuah realitas.
Bagaimana dunia ini tersusun tidak lagi dilihat sebagai satu–satunya alternatif yang
mungkin terjadi, misalnya aturan– aturan dari orang tua, status remaja dalam
kelompok sebayanya dan aturan –aturan yang diterapkan padanya tidak lagi
dipandang sebagai hal–hal yang mungkin berubah. Kemampuan berpikir yang baru
ini memungkinkan mereka untuk berpikir secara abstrak, hipotesis dan kontekstual
yang akan memberikan peluang pada individu untuk mengimajinasikan kemungkinan
lain untuk segala hal.
2) Aspek Sosial
Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan
sosial atau proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma–norma kelompok,
moral, dan tradisi, meleburkan diri menjadi satu kesatuan, saling dan kerja sama.
Aspek ini meliputi kepercayaan kepada diri sendiri, berpandangan objektif,
keberanian menghadapi orang lain, dan lain–lain.
Pada masa remaja, orang mulai memahami orang lain sebagai individu yang
memilki sifat dan kepribadian yang unik sehingga mendorong mereka untuk
mengadakan interaksi sosial dengan teman sebaya juga lingkungannya baik itu berupa
persahabatan maupun percintaan. Pada usia remaja, orang cenderung menyerah dan
mudah mengikuti opini, pendapat, kebiasaan, dan kegemaran orang lain. Ada
lingkungan remaja yang penuh dengan perilaku yang baik seperti taat beribadah,
berbudi pekerti luhur dan lain–lain. Ada juga lingkungan remaja yang penuh dengan
prilaku yang buruk seperti free seks, narkotik dan lain sebagainya. Remaja harus
mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial yang tepat dalam kata lain
kemampuan untuk mereaksi secara tepat terhadap realitas sosial, situasi dan relasi
baik dilingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.
Diantara ciri–ciri penyesuaian sosial remaja adalah :
1. Lingkungan keluarga
a. Menjalin hubungan yang baik dengan orang tua dan saudaranya;
b. Menerima otoritas orang tua (menaati peraturan orang tua);
c. Menerima tanggung jawab dan batasan (norma) keluarga; dan
d. Berusaha membantu anggaran kalau sebagai individu atau kelompok.
2. Lingkungan sekolah
a. Bersikap respek dan mentaati aturan;
b. Berpartisipasi dalam kegiatan–kegiatan sekolah;
c. Menjalin persahabatan dengan teman sebaya;
d. Hormat kepada guru, pemimpin sekolah atau staf lainnya; dan
e. Berprestasi di sekolah.
3. Lingkungan Masyarakat
a. Respek terhadap hak–hak orang lain;
b. Menjalin dan memelihara hubungan dengan teman sebaya atau orang lain;
c. Bersikap simpati dan menghormati kesejahteraan orang lain; dan
d. Respek terhadap hukum, tradisi dan kebijakan masyarakat.
3) Aspek emosi (afektif)
Perkembangan aspek emosi berjalan konstan kecuali pada masa remaja awal
(13-14 tahun) dan remaja tengah (15-16 tahun). Masa remaja awal ditandai dengan
keceriaan dan optimisme dalam hidupnya dan diselingi dengan kebingungan dalam
menhadapi perubahan–perubahan dalam dirinya. Pada masa remaja tengan
kesenangan dan kesedihan datang silih berganti, kegembiraan berganti dengan
kedukaan, rasa akrab berganti dengan kerenggangan dan permusuhan. Gejolak ini
berakhir pada masa remaja akhir (18–21 Tahun).
Jika pada masa remaja tengah ia terombang ambing dalam sikap mendua
(ambivalensi), pada masa remaja akhir ia telah memilki pendirian, sikap yang relatif
mapan. Mencari kematangan emosional bagi remaja merupakan tugas yang sangat
sulit karena hal itu sangat dipengaruhi oleh kondisi sosio emosional lingkungannya
terutama lingkungan teman sebaya dan keluarga. Lingkungan emosional yang baik,
cenderung akan dapat mencapai kematangan emosional yang baik, seperti adolesensi
emosi (cinta, kasih, simpati, ramah) mengendalikan emosi (tidak mudah tersinggung,
tidak agresif, optimis dan dapat menghadapi situasi frustasi secara wajar). Sebaliknya
jika remaja tumbuh dalam lingkungan emosional yang kurang baik maka hal itu akan
menimbulkan sikap agresif (melawan, keras kepala, bertengkar, berkelahi dan senang
menggangu) melarikan diri dari kenyataan (melamun, pendiam, suka menyendiri,
meminum miras, dan narkoba)
Ciri–ciri remaja 12 sampai 15 tahun secara emosi:
1. Kemauannya tidak dapat diterka.
2. Bertingkah laku kasar untuk menutupi kekurangannya.
3. Cenderung tidak toleran dan egois.
4. Mulai mengamati orang tua dan gurunya secara objektif.
Ciri–ciri remaja usia 15 sampai 18 tahun:
1. Pemberontakan remaja mulai mengeluarkan ekspresinya.
2. Sering mengalami konflik dengan orang tua.
3. Sering melamun memikirkan masa depan.
4) Aspek bahasa
Perkembangan bahasa pada fase remaja adalah perkembangan bahasa
komunikasi, baik itu komunikasi secara bahasa lisan maupun komunikasi
menggunakan bahasa isyarat. Bahasa yang berkembang pada masa remaja lebih
terarah kepada bahasa–bahasa yang banyak dipergunakan dalam pergaulan dengan
tema sebayanya sehingga pembendaharaan bahasanya sangat banyak. Pada masa
remaja akhir remaja akan memilih satu bahasa asing tertentu, menggemari literatur
yang mengandung filosofis, etnis dan religius, penggunaan bahasa– bahasa ilmiah
mulai tumbuh sehingga bisa diajak berdialog seperti seorang ilmuan.
5) Aspek moral
Perkembangan moral pada remaja menurut teori kahlberg menempati tingkat
III pascakonvensional stadium 5 merupakan tahap orientasi terhadap perjanjian antara
remaja dengan lingkungan sosial. Ada hubugan timbal balik antara dirinya dengan
lingkungan sosial dan masyarakat. Pada tahap ini remaja lebih mengenal nilai-nilai
kejujuran, moral, dan remaja harus sesuai dengan norma sosial.
Peran orang tua sangat penting dalam pembentukan moral remaja, sehingga
orang tua harus konsisten dalam mendidik anaknya, bersikap terbuka dan dialogis,
tidak otoriter dan memaksakan kehendak.
6) Aspek Agama
Pemahaman remaja terhadap agama semakin matang, kemampuan berpikir abstrak
memungkinkan remaja untuk mentransformasikan keyakinan beragama serta
mengapresiasikan kualitas keabstrakan Tuhan.

2. Perubahan Kognitif Dan Emosi Yang Terjadi Pada Remaja


A. Perubahan Kognitif
1. Defnisi perkembangan kognitif
Perkembangan kognitif merupakan dasar bagi kemampuan anak untuk berpikir.
Hal ini sesuai dengan pendapat Ahmad Susanto (2011: 48) bahwa kognitif adalah
suatu proses berpikir, yaitu kemampuan individu untuk menghubungkan, menilai, dan
mempertimbangkan suatu kejadian atau peristiwa. Jadi proses kognitif berhubungan
dengan tingkat kecerdasan (intelegensi) yang menandai seseorang dengan berbagai
minat terutama sekali ditujukan kepada ide-ide belajar. Perkembangan kognitif
mempunyai peranan penting bagi keberhasilan anak dalam belajar karena sebagian
aktivitas dalam belajar selalu berhubungan dengan masalah berpikir. Menurut
Ernawulan Syaodih dan Mubair Agustin (2008: 20) perkembangan kognitif
menyangkut perkembangan berpikir dan bagaimana kegiatan berpikir itu bekerja.
Dalam kehidupannya, mungkin saja anak dihadapkan pada persoalan-persoalan yang
menuntut adanya pemecahan. Menyelesaikan suatu persoalan merupakan langkah
yang lebih kompleks pada diri anak. Sebelum anak mampu menyelesaikan persoalan
anak perlu memiliki kemampuan untuk mencari cara penyelesaiannya. (D. Gunarsa,
1992)
Berdasarkan beberapa pendapat di atas disimpulkan bahwa faktor kognitif
mempunyai peranan penting bagi keberhasilan anak dalam belajar karena sebagian
besar aktivitas dalam belajar selalu berhubungan dengan masalah mengingat dan
berpikir. Perkembangan kognitif dimaksudkan agar anak mampu melakukan
eksplorasi terhadap dunia sekitar melalui panca inderanya sehingga dengan
pengetahuan yang didapatkannya tersebut anak dapat melangsungkan hidupnya.
2. Perkembangan kognitif pada remaja
Pada masa remaja terjadi kematangan kognitif yaitu interaksi dari struktur otak
yang telah sempurna dan dilingkungan sosial yang semakin luas untuk eksperimentasi
yang memungkinkan remaja untuk berpikir secara abstrak. Secara garis besar, proses
perkembangan kognitif pada remaja dapat dikategorikan menjadi dua sisi perubahan –
perubahan kognitif, yaitu sebagai berikut:

a. Pemikiran Operasional Formal


Yang pertama adalah pemikiran operasional formal, yaitu suatu tahap
perkembangan kognitif yang dimulai pada usia kira – kira 11 sampai dengan 12
tahun dan terus berlanjut sampai seseorang berusia remaja, mencapai masa
tenang hingga mencapai dewasa. Pada tahap ini, seorang anak sudah bisa
berpikir secara abstrak dan hipotesis serta mampu memikirkan sesutau yang
akan terjadi ( sesuatu yang bersifat abstrak ). Proses perkembangan kognitif
remaja yang bersifat pemikiran operasionla formal ini , dibedakan menjadi tiga
hal penting, antara lain sebagai berikut :
1. Penenkanan pada kemungkinan versus kenyataan ( emphasizing the
possible versus the real ).
2. Penggunaan penalaran ilmiah ( using scensitif reason ) kualitas ini terlihat
ketika remaja harus memecahkan beberapa masalah secara sistematis.
3. Kecakapan dalam mengkombinasikan ide – ide ( sklillfully
combining ideas ).

Adapun ciri – ciri dari proses perkembangan kognitif remaja ini adalah
bahwasanya seorang remaja berpikir secara abstrak, idealis dan logis. Berpikir
secara abstrak, yaitu remaja dapat berpikir untuk memecahkan persamaan –
persamaan aljabar yang bersifat abstrak. Berpikir secara idealistis, yaitu
kemampuan remaja dalam berpikir sesuatu ang bersifat mungkin, mereka
berpikir tentang ciri ideal mereka sendiri, orang lain dan dunia. Berpikir secara
logis, yaitu berpikir seperti seorang ilmuwan, yang menyusun rencana untuk
memecahkan masalah – masalah dan mengujinya secara sistematis pemcahan –
pemecahan masalah tersebut.

b. Perkembangan Pengambilan Keputusan


Yang kedua adalah perkembangan pengambilan keputusan. Remaja
adalah masa dimana terjadi peningkatan pengambilan keputusan. Dalam tahap
ini, seorang remaja akan mulai bisa mengambil keputusan – keputusan tentang
masa depannya. Seperti contohnya keputusan dalam memilih seorang teman,
keputusan akan melanjutkan memilih kuliah dimana setelah lulus SMA atau
memutuskan untuk mencari kerja, keputusan untuk memilih mengikuti
bimbingan belajar untuk memperdalam pengetahuan, dan lain sebagainya.
Adapun tahap pengambilan keputusan ini dimulai sejak seseorang
berusia 11 hingga 12 tahun dan juga pada usia 15 sampai dengan 16 tahun.
Adapun pengambilan keputusan yang dilakukan oelh seorang remaja yang lebih
tua biasanya sering kali jauh lebih semurna jika dibandingkan dengan remaja
yang masih labil, karena pada umumnya seorang remaja yang lebih tua
memikirkan sisi negatif dan positif dari keputusan yang akan diambil.
Namun, kemampuan dalam pengambilan keputusan tidak menjamin
kedewasaan seorang remaja, dan juga keputusan yang diambil tidak bersifat
mutlak lebih baik dan semurna juga bagi pihak yang lainnya. oleh karena itu
sobat, seorang remaja perlu memiliki lebih banyak peluang untuk
mempraktekkan dan mendiskusikan pengambilan keputusan yang realistis agar
keputusan tersebut benar – benar keputusan nyang layak dan terbaik bagi semua
pihak.

Sebagaimana dikemukakan Santrock (2007), remaja menunjukkan


perkembangan bahasa sebagai berkut:

1. Terjadi peningkatan penguasaan dalam penggunaan kata-kata yang


kompleks (Fischer & Lazerson, 1984, dalam Santrok, 2007), dimana
remaja menjadi lebih baik dari anak-anak dalam menganalisis fungsi suatu
kata yang berperan dalam sebuah kalimat.
2. Mengalami kemajuan dalam memahami metafora (perbandingan makna
antara dua hal berbeda, menggunakan suatu kata untuk makna yang
berbeda) dan satir (menggunakan ironi, cemooh, atau lelucon untuk
mengekspos kekejian atau kebodohan).
3. Meningkatnya kemampuan memahami literatur yang rumit.
4. Lebih baik dari anak-anak dalam mengorganisasikan ide untuk menyusun
tulisan; menggabungkan kalimat-kalimat sehinga masuk akal; dan
mengorganisasikan tulisan dalam susunan pendahuluan, inti, dan
kesimpulan.
5. Berbicara dalam kalimat yang mengandung dialek, yaitu variasi bahasa
yang memilki kosa kata, tata bahasa, atau pengucapan yang khas (Berko
Gleason, 2005, dalam Santrock, 2007)

B. Perubahan dan Perkembangan Emosi pada Remaja


Secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan
masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang
yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya
dalam masalah hak. Transformasi intelektual yang khas dari cara berfikir remaja ini
memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan social orang dewasa,
yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan ini
(Azmi, 2015).
Pada masa ini remaja megalami perkembangan mencapai perkembngan fisik,
mental, social dan emosional. Masa ini biasanya dirasakan sebagai masa yang sulit,
baik bagi remaja sendiri maupun bagi keluarga dan lingkungannya. Menurut Asrori
(2005:105), secara garis besar, masa remaja beserta karakteristik emosinya dapat
dibagi ke dalam empat periode, yaitu: periode pra-remaja, remaja awal, remaja
tengah, dan remaja akhir. Adapun karakteristik untuk setiap periode.

1. Periode Pra-remaja
Selama periode ini terjadi gejala yang hamper sama antara remaja pria
maupun wanita. Perubahan fisik belum begitu tampak jelas, tetapi pada remaja
putrid biasanya memperlihatkan penambahan berat badan yang cepat sehingga
mereka merasa kegemukan. Gerakan-gerakan mereka mulai menjadi kaku.
Perubahan ini disertai sifat kepekaan terhadap rangsang-rangsang dari luar,
responnya biasanya berlebihan sehingga mereka mudah tersinggung dan cengeng,
tetapi juga cepat merasa senang atau bahkan meledak-ledak.
2. Periode Remaja Awal
Selama periode ini perkembangan gejala fisik yang semakin tampak jelas
adalah perubahan fungsi alat-alat kelamin. Karena perubahan alat-alat kelamin
serta perubahan fisik yang semakin nyata ini, remaja seringkali megalami
kesulitan dalam menyesuaikan diri denngan perubahan-perubahan itu. Akibatnya
tidak jarang mereka cenderung menyendiri sehingga tidak jarang pula merasa
terasing, kurang perhatian dari orang lain, atau bahkan merasa tidak ada orang
yang mau mempedulikannya. Kontrol terhadap dirinya bertambah sulit dan
mereka cepat marah dengan cara-cara yang kurang wajar untuk meyakinkan dunia
sekitarnya. Perilaku seperti ini sesunguhnya terjadi karena adanya kecemasan
terhadap dirinya sendiri sehingga muncul dalam reaksi yang kadang-kadang tidak
wajar.
3. Periode Remaja Tengah.
Tanggung jawab hidup yang harus semakin ditingkatkan oleh remaja
untuk dapat menuju kearah mampu memikul sendiri seringkali menimbulkan
masalah tersendiri bagi remaja. Karena tuntutan peningkatan tanggung jawab ini
tidak hanya datang dari orang tua atau anggota keluarganya melainkan juga dari
masyarakat sekitarnya, maka tidak jarang masyarkat juga terbawa-bawa menjadi
masalah bagi remaja. Melihat fenomena yang sring terjadi dalam masyrakat yang
seringkali juga menunjukkan adanya kontradiksi dengan nilai-nilai moral yang
mereka ketahui, maka tidak jarang juga remaja mulai meragukan tentang apa yang
disebut baik atau buruk. Akibatnya, remaja seringkali ingin membentuk nilai-nilai
mereka sendiri yang mereka anggap benar, baik dan pantas untuk dikembangkan
dikalangan mereka sendiri. Lebih-lebih jika orang tua atau orang dewasa
sekitarnya ingin memaksakan nilai-nilainya agar dipatuhi oleh remaja tanpa
disertai dengan alasan yang masuk akal menurut mereka atau bahkan orang tua
atau orang dewasa menunjukkan prilaku yang tidak konsisten dengan nilai-nilai
yang dipaksakannya itu.
4. Periode Remaja Akhir
Selama periode ini remaja memandang dirinya sebagai orang dewasa dan
mulai mampu menunjukkan pemikiran, sikap, dan perilaku yang makin dewasa.
Oleh sebab itu, orang tua dan masyarakat mulai memberikan kepercayaan yang
selayaknya kepada mereka. Interaksi dengan orang tua juga menjadi semakin
bagus dan lancar karena mereka sudah semakin memiliki kebebasan yang relative
terkendali dan emosinya pun mulai stabil. Pilihan arah hidup sudah semakin jelas
dan mulai mampu mangambil pilihan serta keputusan tentang arah hidupnya
secara lebbih bijaksana meskipun belum bias secara penuh. Mereka juga mulai
memilih cara-cara hidup yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap dirinya
sendiri, orang tua, dan masyarakat.
 Pengaruh Emosi Terhadap Perilaku Individu
Emosi sangat berpengaruh bagi kita khusunya remaja dalam kehidupan
pergaulannya, baik yang tampak langsung berupa tingkahlaku maupun yang
tersembunyi. Menurut Djawad Dahlan (2007:115), ada beberapa pengaruh emosi
terhadap prilaku individu diantaranya sebagai berikut :
1. Memperkuat semangat, apabila orang merasa senang atau puas atas hasil
yang dicapai.
2. Melemahkan semangat, apabila timbul rasa kecewa karena kegagalan dan
sebagai puncak dari keadaan ini ialah timbulnya rasa putus asa (frustasi).
3. Menghambat atau mengganggu konsentrasi belajar, apabila sedang
mengalami ketegangan emosi dan biasa juga menimbulkan sikap gugup
(nervous).
4. Terganggunya penyesuiaan sosial, apabila terjadi rasa cemburu dan iri hati
5. Suasana emosional yang diterima dan dialami individu semasa kecilnya
akan mempengaruhi sikapnya di kemudian hari, baik terhadap dirinya
sendiri maupun terhadap orang lain. Dengan kata lain, semakin baik
kondisi emosi seseorang, maka semakin baik pula prilaku yang
dimunculkan oleh individu tetsebut.

3. Teori Perkembangan Psikososial Erik Erikson


Teori perkembangan kepribadian yang dikemukakan Erik Erikson merupakan salah
satu teori yang memiliki pengaruh kuat dalam psikologi. Bersama dengan Sigmund Freud,
Erikson mendapat posisi penting dalam psikologi. Hal ini dikarenakan ia menjelaskan tahap
perkembangan manusia mulai dari lahir hingga lanjut usia; satu hal yang tidak dilakukan oleh
Freud. Selain itu karena Freud lebih banyak berbicara dalam wilayah ketidaksadaran
manusia, teori Erikson yang membawa aspek kehidupan sosial dan fungsi budaya dianggap
lebih realistis.
Teori Erikson dikatakan sebagai salah satu teori yang sangat selektif karena
didasarkan pada tiga alasan. Alasan yang pertama, karena teorinya sangat representatif
dikarenakan memiliki kaitan atau hubungan dengan ego yang merupakan salah satu aspek
yang mendekati kepribadian manusia. Kedua, menekankan pada pentingnya perubahan yang
terjadi pada setiap tahap perkembangan dalam lingkaran kehidupan, dan yang ketiga/terakhir
adalah menggambarkan secara eksplisit mengenai usahanya dalam mengabungkan pengertian
klinik dengan sosial dan latar belakang yang dapat memberikan kekuatan/kemajuan dalam
perkembangan kepribadian didalam sebuah lingkungan.
Melalui teorinya Erikson memberikan sesuatu yang baru dalam mempelajari
mengenai perilaku manusia dan merupakan suatu pemikiran yang sangat maju guna
memahami persoalan/masalah psikologi yang dihadapi oleh manusia pada jaman modern
seperti ini. Oleh karena itu, teori Erikson banyak digunakan untuk menjelaskan kasus atau
hasil penelitian yang terkait dengan tahap perkembangan, baik anak, dewasa, maupun lansia.
Di mana Erikson dalam teorinya mengatakan melalui sebuah rangkaian kata yaitu :
1. Pada dasarnya setiap perkembangan dalam kepribadian manusia mengalami
keserasian dari tahap-tahap yang telah ditetapkan sehingga pertumbuhan pada tiap
individu dapat dilihat/dibaca untuk mendorong, mengetahui, dan untuk saling
mempengaruhi, dalam radius soial yang lebih luas.
2. Masyarakat, pada prinsipnya, juga merupakan salah satu unsur untuk memelihara saat
setiap individu yang baru memasuki lingkungan tersebut guna berinteraksi dan
berusaha menjaga serta untuk mendorong secara tepat berdasarkan dari perpindahan
didalam tahap-tahap yang ada.
Delapan tahap/fase perkembangan kepribadian menurut Erikson memiliki ciri utama
setiap tahapnya adalah di satu pihak bersifat biologis dan di lain pihak bersifat sosial, yang
berjalan melalui krisis diantara dua polaritas. Adapun tingkatan dalam delapan tahap
perkembangan yang dilalui oleh setiap manusia menurut Erikson adalah sebagai berikut :
1. Trust vs Mistrust ( Percaya & Tidak Percaya)
Karena ketergantungannya, hal pertama yang akan dipelajari seorang anak
atau bayi dari lingkungannya adalah rasa percaya pada orang di sekitarnya, terutama
pada ibu atau pengasuhnya yang selalu bersama setiap hari. Jika kebutuhan anak
cukup dipenuhi oleh sang ibu atau pengasuh seperti makanan dan kasih sayang maka
anak akan merasakan keamanan dan kepercayaan.
Akan tetapi, jika ibu atau pengasuh tidak dapat merespon kebutuhan si anak,
maka anak bisa menjadi seorang yang selalu merasa tidak aman dan tidak bisa
mempercayai orang lain, menjadi seorang yang selalu skeptic dan menghindari
hubungan yang berdasarkan saling percaya sepanjang hidupnya.
2. Otonomi vs Malu dan Ragu – ragu (Autonomy vs Shame and Doubt)
Kemampuan anak untuk melakukan beberapa hal pada tahap ini sudah mulai
berkembang, seperti makan sendiri, berjalan, dan berbicara. Kepercayaan yang
diberikan orang tua untuk memberikannya kesempatan bereksplorasi sendiri dengan
dibawah bimbingan akan dapat membentuk anak menjadi pribadi yang mandiri serta
percaya diri.
Sebaliknya, orang tua yang terlalu membatasi dan bersikap keras kepada anak,
dapat membentuk sang anak berkembang menjadi pribadi yang pemalu dan tidak
memiliki rasa percaya diri, dan juga kurang mandiri. Anak dapat menjadi lemah dan
tidak kompeten sehingga selalu merasa malu dan ragu – ragu terhadap kemampuan
dirinya sendiri.
3. Initiative vs Guilt (Inisiatif vs Rasa Bersalah)
Anak usia prasekolah sudah mulai mematangkan beberapa kemampuannya
yang lain seperti motorik dan kemampuan berbahasa, mampu mengeksplorasi
lingkungannya secara fisik maupun social dan mengembangkan inisiatif untuk mulai
bertindak.
Apabila orang tua selalu memberikan hukuman untuk dorongan inisiatif anak,
akibatnya anak dapat selalu merasa bersalah tentang dorongan alaminya untuk
mengambil tindakan. Namun, inisiatif yang berlebihan juga tidak dapat
dibenarkan karena anak tidak akan memedulikan bimbingan orang tua kepadanya.
Sebaliknya, jika anak memiliki inisiatif yang terlalu sedikit, maka ia dapat
mengembangkan rasa ketidakpedulian.
4. Industry vs Inferiority ( Tekun vs Rasa Rendah Diri)
Anak yang sudah terlibat aktif dalam interaksi social akan mulai
mengembangkan suatu perasaan bangga terhadap identitasnya. Kemampuan akademik
anak yang sudah memasuki usia sekolah akan mulai berkembang dan juga
kemampuan sosialnya untuk berinteraksi di luar keluarga.
Dukungan dari orang tua dan gurunya akan membangun perasaan kompeten
serta percaya diri, dan pencapaian sebelumnya akan memotivasi anak untuk mencapai
pengalaman baru. Sebaliknya kegagalan untuk memperoleh prestasi penting dan
kurangnya dukungan dari guru dan orang tua dapat membuat anak menjadi rendah
diri, merasa tidak kompeten dan tidak produktif.
5. Identity vs Role Confusion ( Identitas vs Kebingungan Peran)
Tahap kelima merupakan tahap adolesen (remaja), yang dimulai pada saat
masa puber dan berakhir pada usia 18 atau 20 tahun. Masa Remaja (adolescence)
ditandai adanya kecenderungan Identity Confusion. Sebagai persiapan ke arah
kedewasaan didukung pula oleh kemampuan dan kecakapan-kecakapan yang
dimilikinya dia berusaha untuk membentuk dan memperlihatkan identitas diri, ciri-ciri
yang khas dari dirinya. Dorongan membentuk dan memperlihatkan identitas diri ini,
pada para remaja sering sekali sangat ekstrim dan berlebihan, sehingga tidak jarang
dipandang oleh lingkungannya sebagai penyimpangan atau kenakalan. Dorongan
pembentukan identitas diri yang kuat di satu pihak, sering diimbangi oleh rasa setia
kawan dan toleransi yang besar terhadap kelompok sebayanya. Di antara kelompok
sebaya mereka mengadakan pembagian peran, dan seringkali mereka sangat patuh
terhadap peran yang diberikan kepada masing-masing anggota.
Pencapaian identitas pribadi dan menghindari peran ganda merupakan bagian
dari tugas yang harus dilakukan dalam tahap ini. Menurut Erikson masa ini
merupakan masa yang mempunyai peranan penting, karena melalui tahap ini orang
harus mencapai tingkat identitas ego, dalam pengertiannya identitas pribadi berarti
mengetahui siapa dirinya dan bagaimana cara seseorang terjun ke tengah masyarakat.
Lingkungan dalam tahap ini semakin luas tidak hanya berada dalam area keluarga,
sekolah namun dengan masyarakat yang ada dalam lingkungannya. Masa pubertas
terjadi pada tahap ini, kalau pada tahap sebelumnya seseorang dapat menapakinya
dengan baik maka segenap identifikasi di masa kanak-kanak diintrogasikan dengan
peranan sosial secara aku, sehingga pada tahap ini mereka sudah dapat melihat dan
mengembangkan suatu sikap yang baik dalam segi kecocokan antara isi dan dirinya
bagi orang lain, selain itu juga anak pada jenjang ini dapat merasakan bahwa mereka
sudah menjadi bagian dalam kehidupan orang lain. Semuanya itu terjadi karena
mereka sudah dapat menemukan siapakah dirinya. Identitas ego merupakan kulminasi
nilai-nilai ego sebelumnya yang merupakan ego sintesis. Dalam arti kata yang lain
pencarian identitas ego telah dijalani sejak berada dalam tahap pertama/bayi sampai
seseorang berada pada tahap terakhir/tua. Oleh karena itu, salah satu point yang perlu
diperhatikan yaitu apabila tahap-tahap sebelumnya berjalan kurang lancar atau tidak
berlangsung secara baik, disebabkan anak tidak mengetahui dan memahami siapa
dirinya yang sebenarnya ditengah-tengah pergaulan dan struktur sosialnya, inilah
yang disebut dengan identity confusion atau kekacauan identitas.
Akan tetapi di sisi lain jika kecenderungan identitas ego lebih kuat
dibandingkan dengan kekacauan identitas, maka mereka tidak menyisakan sedikit
ruang toleransi terhadap masyarakat yang bersama hidup dalam lingkungannya.
Erikson menyebut maladaptif ini dengan sebutan fanatisisme. Orang yang berada
dalam sifat fanatisisme ini menganggap bahwa pemikiran, cara maupun jalannyalah
yang terbaik. Sebaliknya, jika kekacauan identitas lebih kuat dibandingkan dengan
identitas ego maka Erikson menyebut malignansi ini dengan sebutan pengingkaran.
Orang yang memiliki sifat ini mengingkari keanggotaannya di dunia orang dewasa
atau masyarakat akibatnya mereka akan mencari identitas di tempat lain yang
merupakan bagian dari kelompok yang menyingkir dari tuntutan sosial yang mengikat
serta mau menerima dan mengakui mereka sebagai bagian dalam kelompoknya.
Kesetiaan akan diperoleh sebagi nilai positif yang dapat dipetik dalam tahap
ini, jikalau antara identitas ego dan kekacauan identitas dapat berlangsung secara
seimbang, yang mana kesetiaan memiliki makna tersendiri yaitu kemampuan hidup
berdasarkan standar yang berlaku di tengah masyarakat terlepas dari segala
kekurangan, kelemahan, dan ketidakkonsistennya. Ritualisasi yang nampak dalam
tahap adolesen ini dapat menumbuhkan ediologi dan totalisme.
6. Intimacy vs Isolation ( Keintiman vs Isolasi)
Tahap pertama dalam perkembangan kedewasaan ini biasanya terjadi pada
masa dewasa muda, yaitu merupakan tahap ketika seseorang merasa siap membangun
hubungan yang dekat dan intim dengan orang lain. Jika sukses membangun hubungan
yang erat, seseorang akan mampu merasakan cinta serta kasih sayang.
Pribadi yang memiliki identitas personal kuat sangat penting untuk dapat
menembangkan hubungan yang sehat. Sementara kegagalan menjalin hubungan bisa
membuat seseorang merasakan jarak dan terasing dari orang lain.
7. Generativity vs Stagnation ( Bangkit vs Stagnan)
Ini adalah tahap kedua perkembangan kedewasaan. Normalnya seseorang
sudah mapan dalam kehidupannya. Kemajuan karir atau rumah tangga yang telah
dicapai memberikan seseorang perasaan untuk memiliki suatu tujuan. Namun jika
seseorang merasa tidak nyaman dengan alur kehidupannya, maka biasanya akan
muncul penyesalan akan apa yang telah dilakukan di masa lalu dan merasa hidupnya
mengalami stagnasi.
8. Integrity vs Despair (Integritas vs Keputusasaan)
Pada fase ini seseorang akan mengalami penglihatan kembali atau flash back
tentang alur kehidupannya yang telah dijalani. Juga berusaha untuk mengatasi
berbagai permasalahan yang sebelumnya tidak terselesaikan. Jika berhasil melewati
tahap ini, maka seseorang akan mendapatkan kebijaksanaan, namun jika gagal mereka
bisa menjadi putus asa.

4. Sumber-sumber Kecemasan Pada Remaja


Simpson menyatakan definisi kecemasan bahwa Anxiety is a personality
characteristic of responding to certain situations with a stress syndrome of response.
Anxiety states are then a function of the situations that evoke them and the individual
personality that is prone to stress (Edelmann, 2002). Kecemasan adalah suatu
karakteristik kepribadian dalam menjawab ke situasi tertentu dengan suatu
sindrom/gejala respon stres/tekanan. Kemudian kondisi kecemasan adalah suatu fungsi
dari situasi yang membangkitkan/menstimulir kepada kecemasan dan kepribadian
individu yang cenderung tertekan.
Menurut Freud (dalam Alwisol, 2005) mengatakan bahwa kecemasan adalah fungsi
ego untuk memperingatkan individu tentang kemungkinan datangnya suatu bahaya
sehingga dapat disiapkan reaksi adaptif yang sesuai. Kecemasan berfungsi sebagai
mekanisme yang melindungi ego karena kecemasan memberi sinyal kepada kita bahwa
ada bahaya dan kalau tidak dilakukan tindakan yang tepat maka bahaya itu akan
meningkat sampai ego dikalahkan.
Menurut Bunder Keinlholz dan Garden (dalam Arbaryatiningsih, 2001). kecemasan
dapat dibagi menurut sumber sebabnya, yaitu : Kecemasan yang berasal dari lingkungan,
disebut kecemasan obyektif yaitu kecemasan yang disebabkan oleh lingkungan dan tidak
perlu pengobatan, karena merupakan salah satu faktor "penjagaan diri" Kecemasan
dalam tubuh disebut kecemasan vital, yaitu kecemasan yang berasal dari dalam tubuh
dan berfungsi sebagai mekanisme pertahanan yang melindungi individu. Kecemasan
akan kesadaran yang disebut dengan Kecemasan hati nurani, yaitu individu punya
kesadaran akan moralitas yang akan melindungi individu terhadap perbuatan-perbuatan
yang bersifat amoral.
Blacburn & Davidson (dalam Triantoro Safaria & Nofrans Eka Saputra, 2012: 51)
menjelaskan faktor-faktor yang menimbulkan kecemasan, seperti pengetahuan yang
dimiliki seseorang mengenai situasi yang sedang dirasakannya, apakah situasi tersebut
mengancam atau tidak memberikan ancaman, serta adanya pengetahuan mengenai
kemampuan diri untuk mengendalikan dirinya (seperti keadaan emosi serta fokus
kepermasalahannya). Kemudian Adler dan Rodman (dalam M. Nur Ghufron & Rini
Risnawita, S, 2014: 145- 146) menyatakan terdapat dua faktor yang dapat menimbulkan
kecemasan, yaitu.
1. Pengalaman negatif pada masa lalu
2. Sebab utama dari timbulnya rasa cemas kembali pada masa kanak-kanak, yaitu
timbulnya rasa tidak menyenangkan mengenai peristiwa yang dapat terulang lagi
pada masa mendatang, apabila individu menghadapi situasi yang sama dan juga
menimbulkan ketidaknyamanan, seperti pengalaman pernah gagal dalam
mengikuti tes.
3. Pikiran yang tidak rasional
Pikiran yang tidak rasional terbagi dalam empat bentuk, yaitu
a) Kegagalan ketastropik, yaitu adanya asumsi dari individu bahwa sesuatu yang
buruk akan terjadi pada dirinya. Individu mengalami kecemasan serta perasaan
ketidakmampuan dan ketidaksanggupan dalam mengatasi permaslaahannya.
b) Kesempurnaan, individu mengharapkan kepada dirinya untuk berperilaku
sempurna dan tidak memiliki cacat. Individu menjadikan ukuran
kesempurnaan sebagai sebuah target dan sumber yang dapat memberikan
inspirasi.
c) Persetujuan
d) Generalisasi yang tidak tepat, yaitu generalisasi yang berlebihan, ini terjadi
pada orang yang memiliki sedikit pengalaman.
Gangguan kecemasan pada masa kanak-kanak dan remaja adalah umum dan
melumpuhkan (Costello et al. 2004). Mereka sering menjalankan perjalanan kronis dan
berhubungan dengan perkembangan gangguan lain, seperti depresi, gangguan perilaku
atau gangguan defisit perhatian (Bittner et al. 2007). Ada beberapa untaian penelitian
tentang perkembangan kecemasan anak. Pertama, penelitian memperhatikan faktor
kerentanan, terutama karakteristik biologis (genetik, temperamental), dan gaya
pemrosesan informasi. Kedua, penelitian telah memperhatikan pengaruh lingkungan yang
dapat meningkatkan risiko gangguan, baik sendiri atau dalam kombinasi dengan beberapa
faktor kerentanan. Ini termasuk peristiwa kehidupan yang merugikan dan rute
pembelajaran, seperti pemodelan dan transfer informasi.
Gangguan kecemasan yang ditemukan pada orang dewasa juga telah ditemukan
dalam studi keturunan antar generasi tentang agregasi keluarga. Dengan demikian, anak-
anak yang orang tuanya memiliki gangguan kecemasan menunjukkan peningkatan
gangguan kecemasan lebih dari tingkat dasar sendiri. Sebagian besar pencaian substrat
genetik untuk kecemasan anak berpusat di sekitar polimorfisme fungsinal di wilayah
promotor serotonin [5- hydroxytryptamine (5-HT)] transporter (5-HTT) gen. Sebuah
meta-analisis studi yang melibatkan orang dewasa menemukan bahwa alel pendek
dikaitkan dengan kecenderungan kegelisahan dan emosi negatif dan juga telah dikaitkan
dengan peningkatan aktivasi amigdala untuk presentasi wajah-wajah yang ketakutan.
Investigasi peran efek samping kehidupan dalam etiologi gangguan kecemasan
masa kanak-kanak telah dipengaruhi oleh akun asosiatif, yang menunjukkan bahwa
ketakutan dan fobia merupakan respons kecemasan terkondisikan secara klasik; yaitu,
mereka berkembang dari asosiasi berpasangan dari stimulus netral dengan peristiwa
traumatis. Studi tentang peran yang berbeda, peristiwa traumatis umumnya tidak memiliki
kelompok kontrol dan telah retrospektif dan karena itu tunduk pada 'bias plaintive' dan
meskipun banyak orang dengan fobia menghubungkan onset dengan peristiwa tertentu,
banyak yang tidak. Demikian pula, banyak orang mengalami trauma tetapi tidak
mengembangkan gangguan kecemasan. Untuk menjelaskan variabilitas seperti itu, akun
pembelajaran kontemporer menggabungkan peran kerentanan individu yang sudah ada
sebelumnya, pengalaman belajar sebelumnya dan pemicu stres, di samping pengalaman
pasca-stresor.
Selain pemodelan respon cemas dari orang tua, dan pemberian informasi kepada
anak yang secara langsung dapat menimbulkan rasa takut dan kecemasan, fokus utama
untuk penelitian tentang peran hubungan orang tua-anak dalam perkembangan kecemasan
anak adalah kurangnya perhatian orang tua. kehangatan atau penolakan, dan kontrol
orangtua yang berlebihan. Kurangnya kehangatan orang tua telah dianggap penting
karena dapat menyebabkan anak percaya bahwa lingkungan pada dasarnya bermusuhan
dan mengancam, dan rasa harga diri dan kompetensi yang rendah. Berkenaan dengan
kontrol orangtua yang berlebihan, peraturan orangtua yang berlebihan tentang kegiatan
dan rutinitas anak, dan keputusasaan mereka terhadap kemandirian, kemungkinan akan
meningkatkan rasa kompetensi dan penguasaan yang terbatas, dan dapat berfungsi untuk
memperkuat penghindaran anak dari tantangan.

5. Gambaran Reaksi Emosi dan Perilaku dalam Perawatan Gigi dan Mulut Pada
Remaja
Masa remaja adalah masa transisi dari kanak-kanak ke dewasa. Masa remaja menurut
Olds dimulai pada usia dua belas tahun sampai awal dua puluhan tahun. Masa ini hampir
selalu merupakan masa masa sulit bagi remaja. Perkembangan secara emosionalnya
antara lain :
a. Remaja mulai menyampaikan kebebasan dan haknya untuk mengemukakan
pendapatnya sendiri. Ini dapat menciptakan ketegangan dan perselisian serta dapat
menjauhkan diri.
b. Remaja lebih muda dipengaruhi teman-temannya daripada ketika masih lebih
muda.
c. Remaja mengalami perubahan fisik yang luar biasa seperti penakut,
membingungkan dan menjadi sumber perasaan salah dan frustasi.
d. Emosi biasanya meningkat mengakibatkan ia sukar menerima nasihat

Selain yang telah disebutkan diatas, anak yang baru memasuki masa remaja
cenderung akan berperilaku aktif, menerima pemikiran orang dewasa, menyukai
berkelompok dengan teman sebayanya, memiliki perilaku lebih dewasa berupa kontrol
emosional yang baik, mudah menyesuaikan diri dengan situasi sekitar, dan berusaha
mematuhi instruksi yang diberikan dokter gigi. Hal ini juga dikarenakan pada usia remaja
mereka sudah dapat merasakan kekurangan dalam dirinya dan berusaha untuk
memperbaiki penampilannya. Apabila ada masalah pada gigi dan mulutnya, mereka akan
merasa tidak percaya diri terbukti dari hasil penelitian Paula dkk (2009) tentang
Psychosocial Impact of Dental Esthetics on Quality of Life in Adolescents dari 301 remaja
dengan rentang usia 13 sampai 20 tahun yaitu adanya dampak lisan masalah gigi dan
mulut yaitu menurunnya interaksi sosial karena masalah pada gigi dilaporkan oleh 88%
dari remaja, dan 98,3% dari subyek menunjukkan beberapa tingkat dampak psikososial
dan ketidakpuasan dengan beberapa bagian tubuh yang diungkapkan oleh 72% dari
sampel. Pemaparan diatas menggambarkan bahwa masalah kesehatan gigi dan mulut
memainkan peranan penting dalam interaksi sosial dan psikologis pada remaja. Dampak
kondisi kesehatan mulut terhadap kualitas hidup yaitu dapat mempengaruhi kepuasan
dengan penampilan, menyebabkan perasaan malu dalam kontak sosial dan mempengaruhi
efek psikologis.
Biasanya anak pada usia ini bisa menangani ketakutan terhadap prosedur
perawatan gigi karena dokter gigi bisa menjelaskan apa yang akan dilakukan dan alasan
kenapa perawatan tersebut dilakukan. Faktor umur sangat mempengaruhi perilaku anak
terhadap perawatan gigi dan mulut. Anak dengan usia sangat muda sering menunjukkan
perilaku kurang kooperatif terhadap perawatan gigi dan mulut. Penelitian yang dilakukan
oleh Mittal dan Sharma pada tahun 2013 pada 180 anak usia 6 - 12 tahun menunjukkan
bahwa semua anak pada penelitian tersebut berperilaku kooperatiif. Sebanyak 92.22%
anak memiliki persepsi yang positif terhadap perawatan gigi dan mulut. Mereka
menunjukkan sikap senang dan bahagia. Bahkan lima anak di antara mereka
menunjukkan ambisi atau cita-citanya untuk menjadi dokter gigi. Berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Klein yang mengatakan bahwa terdapat persentase yang
tinggi (52.23%) dari 111 anak-anak yang berumur 3-6 yang menunjukkan perilaku
negatif.
Menurut Soemartono pada tahun 2003, rasa takut dan cemas menghadapi
perawatan gigi merupakan reaksi yang pada umumnya dirasakan pasien, baik itu anak-
anak, remaja maupun orang dewasa. Usia remaja memiliki prevalensi kecemasan dental
lebih rendah dibandingkan anak-anak, kemungkinan disebabkan karena anak remaja telah
memiliki lebih banyak pengalaman menjalani penyuluhan dan pemeriksaan rutin di
sekolah. Prevalensi kecemasan dental akan berkurang seiring bertambahnya usia anak.
Anak dengan usia lebih muda umumnya memiliki perasaan lebih takut terhadap
perawatan gigi dibandingkan anak dengan usia lebih dewasa. Hal ini juga sesuai dengan
penelitian-penelitian sebelumnya. Beberapa penelitian juga banyak mengemukakan
bahwa masalah perilaku terhadap perawatan gigi dan mulut paling banyak ditemukan
pada usia prasekolah.
Perasaan cemas sering kali menjadi penyebab seseorang menghindar dari
perawatan gigi. Menurut Gao et al., rasa takut dan cemas terhadap perawatan gigi (dental
fear and anxiety, DFA) merupakan masalah besar bagi sebagian individu, terutama anak
dan remaja. Prevalensi DFA pada anak dan remaja berkisar antara 5-20% di berbagai
negara, dengan beberapa kasus menunjukkan kasus yang mengarah pada dental phobia
(DFA berat). Perilaku anak dan remaja dengan DFA dapat mempengaruhi hasil
perawatan, menciptakan stres kerja pada dokter gigi dan stafnya, serta tidak jarang
menjadi penyebab perselisihan antara dokter gigi dengan pasien atau orang tua mereka.
Anak akan mencoba segala cara untuk menghindari atau menunda pengobatan, sehingga
kesehatan rongga mulut tidak terjaga. Selain dampaknya terhadap perawatan gigi, DFA
juga dapat menyebabkan gangguan tidur, mempengaruhi kehidupan sehari-hari dan
memiliki dampak negatif pada seseorang fungsi psikososial. DFA diperoleh di masa
kanak-kanak dapat bertahan hingga dewasa dan merupakan prediktor signifikan untuk
menghindari kunjungan ke dokter gigi pada usia dewasa. Hal tersebut merupakan tahap
penting untuk mencegah DFA sehingga kesehatan mulut dapat dicapai secara optimal.

6. Kecemasan Pada Remaja menurut Perspektif Kognitif

Remaja memiliki potensi untuk mengalami kecemasan, hal ini terlihat dari beberapa
cirri khas pda masa remaja, antara lain: pertama, masa remaja sebagai periode peralihan.
Pada masa ini, pengalaman masa lalu remaja sangat berpengaruh terhadap apa yang terjadi
saat ini dan yang akan datang. Selain itu, makin sukarnya untuk mempelajari tanggung
jawab dalam masa dewasa. Kedua, masa remaja sebagai masa perubahan. Pada masa ini
timbul lebih banyak dan lebih sulit pemasalahan untuk diselesaikan. Selain itu sikap yang
ambivalen yaitu keinginan untuk mendapatkan kebebasan dan adanya ketakutan untuk
bertanggung jawab akan akibatnya, serta meragakan kemampuan mereka untuk mengatasi
tanggung jawab tersebut. Ketiga, masa remaja sebagai usia bermasalah. Pada masa ini
mereka merasa mandiri, ingin menyelesaikan masalahnya sendiri dan menolak bantuan
orang lain. Padahal sebagian besar dari mereka tidak memiliki pengalaman dalam
mengatasi masalah karena sepanjang masa kanak-kanak orang lain yaitu orang tua dan
guru-gurulah yang selalu terlibat dalam mengatasi masalah mereka.

Pada prinsip kognitif Ciri-ciri dari kecemasan, diantaranya:

1. khawatir tentang sesuatu


2. perasaan terganggu akan ketakutan atau aprehensi terhadap sesuatu yang terjadi di
masa depan
3. keyakinan bahwa sesuatu yang mengerikan akan segera terjadi, tanpa ada penjelasan
yang jelas
4. terpaku pada sensasi ketubuhan
5. sangat waspada terhadap sensasi ketubuhan
6. merasa terancam oleh orang atau peristiwa yang normalnya hanya sedikit atau tidak
mendapat perhatian
7. ketakutan akan kehilangan control
8. ketakutan akan ketidakmampuan untuk mengatasi masalah
9. berpikir bahwa dunia mengalami keruntuhan
10. berpikir bahwa semuanya tidak lagi bisa dikendalikan
11. berpikir bahwa semuanya terasa sangat membingungkan tanpa bisa diatasi
12. khawatir terhadap hal-hal yang sepele
13. berpikir tentang hal mengganggu yang sama secara berulang-ulang
14. berpikir bahwa harus bisa kabur dari keramaian, kalau tidak pasti akan pingsan
15. pikiran terasa bercampur aduk atau kebingungan
16. tidak mampu menghilangkan pikiran-pikiran terganggu
17. berpikir akan segera mati, meskipun dokter tidak menemukan sesuatu yang salah
secara medis
18. khawatir akan ditinggal sendirian
19. sulit berkonsentrasi atau memfokuskan pikiran
Dilihat dari ciri ciri tersebut ada beberapa poin yang sesuai dengan kecemasan
remaja seperti khawatir tentang sesuatu, perasaan terganggu akan ketakutan atau
aprehensi terhadap sesuatu yang terjadi di masa depan, terpaku pada sensasi ketubuhan
dan ketakutan akan ketidakmampuan untuk mengatasi masalah. Ditinjau dari perspektif
kognitif, kecemasan terjadi karena adanya evaluasi diri yang negatif. Perasaan negatif
tentang kemampuan yang dimiliki tersebut sering terjadi pada masa remaja dimana
mereka biasanya setelah melakukan sesuatu merasa tidak bisa mengatasi dampak/akibat
yang terjadi.

7. Kecemasan Pada Remaja menurut Perspektif Kognitif


Klasifikasi Kecemasan Perawata Gigi
Menurut Moore et al. klasifikasi kecemasan perawatan gigi dapat dibagi menjadi 4
subtipe, yaitu :
a. Tipe I
Tipe ini merupakan ketakutan akibat rangsangan yang menyakitkan atau tidak
menyenangkan seperti jarum, suara, dan bau.
b. Tipe II
Tipe ini merupakan kecemasan tentang reaksi somatik selama pengobatan atau
perawatan gigi (reaksi serangan panik).
c. Tipe III
Pasien dengan kecemasan yang rumit atau multiphobia.
d. Tipe IV
Tipe ini tergolong kepada ketidakpercayaan pasien terhadap dokter gigi.

Menurut Sumiati (2009:14) remaja mengalami beberapa perubahan pada masa


pubertas, yaitu:

Perubahan fisik berhubungan dengan aspek anatomi dan aspek fisiologis, di masa
remaja kelenjar hipofise menjadi masak dan mengeluarkan beberapa hormone, seperti
hormon gonotrop yang berfungsi untuk mempercepat pematangan sel telur dan sperma, serta
mempengaruhi produksi hormon kortikortop berfungsi mempengaruhi kelenjar suprenalis,
testosterone, estrogen, dan suprenalis yang mempengaruhi pertumbuhan anak sehingga
terjadi percepatan pertumbuhan (Monks dkk dalam Sumiati, 2009:14). Perubahan emosional,
pola emosi pada masa remaja sama dengan pola emosi pada masa kanak-kanak. Pola-pola
emosi itu berupa marah, takut, cemburu, ingin tahu, iri hati, gembira, sedih, dan kasih sayang.
Perbedaan terletak pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan pengendalian dalam
mengekspresikan emosi. Remaja umumnya memiliki kondisi emosi yang labil pengalaman
emosi yang ekstrem dan selalu merasa mendapatkan tekanan (Hurlock dalam Sumiati,
2009:20). Bila pada akhir masa remaja mampu menahan diri untuk tidak mengekspresikan
emosi secara ekstrem dan mampu mengekspresikan emosi secara tepat sesuai dengan situasi
dan kondisi lingkungan dan dengan cara yang dapat diterima masyarakat, dengan kata lain
remaja yang mencapai kematangan emosi akan memberikan reaksi emosi yang stabil.
Stimulasi sistem saraf otonom menyebabkan gejala-gejala tertentu seperti: kardiovaskuler
(misalnya takikardi), muskuler (misalnya nyeri kepala), gastrointestinal (misalnya diare), dan
respirasi (misalnya takipneu). Sistem saraf otonom pada pasien dengan gangguan kecemasan
menunjukkan peningkatan tonus simpatik yang beradaptasi lambat terhadap stimulus yang
berulang dan beradaptasi secara berlebihan terhadap stimulus dengan intensitas sedang.
Ada tiga neurotransmiter yang berkaitan dengan kecemasan yaitu: norepinefrin,
serotonin, dan gamma-aminobutyric acid (GABA). Teori mengenai peranan norepinefrin
dalam kecemasan yaitu adanya sistem noradrenergik yang tidak teregulasi dengan baik
disertai ledakan aktivitas pada saat-saat tertentu seperti yang tampak pada gejala kronik
kecemasan. Penelitian mengenai peranan serotonin dalam kecemasan menunjukkan hasil
yang berbeda-beda sehingga pola abnormalitasnya belum dapat dijelaskan.
Peranan GABA dalam kecemasan didukung kuat oleh efikasi benzodiazepin dalam
mengatasi gangguan kecemasan. Obat tersebut meningkatkan aktivitas GABA pada reseptor
GABA tipe A di mana resptor tersebut diduga mengalami abnormalitas pada penderita
gangguan kecemasan.
Asrori, 2005. Perkembangan Peserta Didik. Malang: Wineka Media

Azmi, Nurul. 2015. Potensi Emosi Remaja Dan Pengembangannya. Jurnal Pendidikan
Sosial. Vol. 2, No. 1. ISSN 2407-5299. Pontianak.

Berk, Laura E. ̧2003, Child Development, sixth edition, USA: Allyn and Bacon.

D. Gunarsa, Singgih. 1992, Psikologi Remaja, Gunung Mulia. Jakarta.

Dahlan, M. D. 2007. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja


Rosdakarya.

Gleason, Jean Berko. 2005. The Development of Language. Boston: Pearson

Gao X, Hamzah SH, Yiu YCK, McGrath C, King MN. Dental fear and anxiety in
children and adolescents: qualitative study using YouTube. J Med Internet Res 2013;
15(2): e29.

Hurlock, Psikologi Perkembangan (Jakarta: Erlangga, 1991), hlm 109

Jeffrey S. Nevid, dkk. (2005). Psikologi Abnormal. Edisi Kelima. Jilid 1. Jakarta:
Erlangga

John W. Santrock (2007). Perkembangan Anak. Jilid 1 Edisi kesebelas. Jakarta : PT.
Erlangga.

Mittal R, Sharma M. Assessment of psychological effects of dental treatment on


children. Contemp Clin Dent; 2012:3:S5-7.

Paula, Delcides F. De dkk (2009). Psychosocial Impact of Dental Esthetics on Quality of


Life in Adolescents. Association with Malocclusion, Self-Image, and Oral Health–
Related Issues, 79(6).

Sumiati., Dinarti., Nurhaeni, H. & Aryani, R. 2009. Kesehatan Jiwa Remaja Dan
Konseling. Jakarta:
Trans Info Media.

Anda mungkin juga menyukai