Anda di halaman 1dari 5

TEORI PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL ERIK ERIKSON

Teori perkembangan kepribadian yang dikemukakan Erik Erikson merupakan salah


satu teori yang memiliki pengaruh kuat dalam psikologi. Bersama dengan Sigmund Freud,
Erikson mendapat posisi penting dalam psikologi. Hal ini dikarenakan ia menjelaskan tahap
perkembangan manusia mulai dari lahir hingga lanjut usia; satu hal yang tidak dilakukan oleh
Freud. Selain itu karena Freud lebih banyak berbicara dalam wilayah ketidaksadaran
manusia, teori Erikson yang membawa aspek kehidupan sosial dan fungsi budaya dianggap
lebih realistis.

Teori Erikson dikatakan sebagai salah satu teori yang sangat selektif karena
didasarkan pada tiga alasan. Alasan yang pertama, karena teorinya sangat representatif
dikarenakan memiliki kaitan atau hubungan dengan ego yang merupakan salah satu aspek
yang mendekati kepribadian manusia. Kedua, menekankan pada pentingnya perubahan yang
terjadi pada setiap tahap perkembangan dalam lingkaran kehidupan, dan yang ketiga/terakhir
adalah menggambarkan secara eksplisit mengenai usahanya dalam mengabungkan pengertian
klinik dengan sosial dan latar belakang yang dapat memberikan kekuatan/kemajuan dalam
perkembangan kepribadian didalam sebuah lingkungan.

Melalui teorinya Erikson memberikan sesuatu yang baru dalam mempelajari


mengenai perilaku manusia dan merupakan suatu pemikiran yang sangat maju guna
memahami persoalan/masalah psikologi yang dihadapi oleh manusia pada jaman modern
seperti ini. Oleh karena itu, teori Erikson banyak digunakan untuk menjelaskan kasus atau
hasil penelitian yang terkait dengan tahap perkembangan, baik anak, dewasa, maupun lansia.
Di mana Erikson dalam teorinya mengatakan melalui sebuah rangkaian kata yaitu :

1. Pada dasarnya setiap perkembangan dalam kepribadian manusia mengalami


keserasian dari tahap-tahap yang telah ditetapkan sehingga pertumbuhan pada tiap
individu dapat dilihat/dibaca untuk mendorong, mengetahui, dan untuk saling
mempengaruhi, dalam radius soial yang lebih luas.
2. Masyarakat, pada prinsipnya, juga merupakan salah satu unsur untuk memelihara saat
setiap individu yang baru memasuki lingkungan tersebut guna berinteraksi dan
berusaha menjaga serta untuk mendorong secara tepat berdasarkan dari perpindahan
didalam tahap-tahap yang ada.
Delapan tahap/fase perkembangan kepribadian menurut Erikson memiliki ciri utama
setiap tahapnya adalah di satu pihak bersifat biologis dan di lain pihak bersifat sosial, yang
berjalan melalui krisis diantara dua polaritas. Adapun tingkatan dalam delapan tahap
perkembangan yang dilalui oleh setiap manusia menurut Erikson adalah sebagai berikut :

1. Trust vs Mistrust ( Percaya & Tidak Percaya)


Karena ketergantungannya, hal pertama yang akan dipelajari seorang anak atau
bayi dari lingkungannya adalah rasa percaya pada orang di sekitarnya, terutama pada ibu
atau pengasuhnya yang selalu bersama setiap hari. Jika kebutuhan anak cukup dipenuhi
oleh sang ibu atau pengasuh seperti makanan dan kasih sayang maka anak akan
merasakan keamanan dan kepercayaan.

Akan tetapi, jika ibu atau pengasuh tidak dapat merespon kebutuhan si anak, maka
anak bisa menjadi seorang yang selalu merasa tidak aman dan tidak bisa mempercayai
orang lain, menjadi seorang yang selalu skeptic dan menghindari hubungan yang
berdasarkan saling percaya sepanjang hidupnya.

2. Otonomi vs Malu dan Ragu – ragu (Autonomy vs Shame and Doubt)


Kemampuan anak untuk melakukan beberapa hal pada tahap ini sudah mulai
berkembang, seperti makan sendiri, berjalan, dan berbicara. Kepercayaan yang diberikan
orang tua untuk memberikannya kesempatan bereksplorasi sendiri dengan dibawah
bimbingan akan dapat membentuk anak menjadi pribadi yang mandiri serta percaya diri.

Sebaliknya, orang tua yang terlalu membatasi dan bersikap keras kepada anak,
dapat membentuk sang anak berkembang menjadi pribadi yang pemalu dan tidak
memiliki rasa percaya diri, dan juga kurang mandiri. Anak dapat menjadi lemah dan tidak
kompeten sehingga selalu merasa malu dan ragu – ragu terhadap kemampuan dirinya
sendiri.

3. Initiative vs Guilt (Inisiatif vs Rasa Bersalah)


Anak usia prasekolah sudah mulai mematangkan beberapa kemampuannya yang
lain seperti motorik dan kemampuan berbahasa, mampu mengeksplorasi lingkungannya
secara fisik maupun social dan mengembangkan inisiatif untuk mulai bertindak.

Apabila orang tua selalu memberikan hukuman untuk dorongan inisiatif anak,
akibatnya anak dapat selalu merasa bersalah tentang dorongan alaminya untuk
mengambil tindakan. Namun, inisiatif yang berlebihan juga tidak dapat
dibenarkan karena anak tidak akan memedulikan bimbingan orang tua kepadanya.
Sebaliknya, jika anak memiliki inisiatif yang terlalu sedikit, maka ia dapat
mengembangkan rasa ketidakpedulian.

4. Industry vs Inferiority ( Tekun vs Rasa Rendah Diri)


Anak yang sudah terlibat aktif dalam interaksi social akan mulai mengembangkan
suatu perasaan bangga terhadap identitasnya. Kemampuan akademik anak yang sudah
memasuki usia sekolah akan mulai berkembang dan juga kemampuan sosialnya untuk
berinteraksi di luar keluarga.

Dukungan dari orang tua dan gurunya akan membangun perasaan kompeten serta
percaya diri, dan pencapaian sebelumnya akan memotivasi anak untuk mencapai
pengalaman baru. Sebaliknya kegagalan untuk memperoleh prestasi penting dan
kurangnya dukungan dari guru dan orang tua dapat membuat anak menjadi rendah diri,
merasa tidak kompeten dan tidak produktif.

5. Identity vs Role Confusion ( Identitas vs Kebingungan Peran)

Tahap kelima merupakan tahap adolesen (remaja), yang dimulai pada saat masa
puber dan berakhir pada usia 18 atau 20 tahun. Masa Remaja (adolescence) ditandai
adanya kecenderungan Identity Confusion. Sebagai persiapan ke arah kedewasaan
didukung pula oleh kemampuan dan kecakapan-kecakapan yang dimilikinya dia berusaha
untuk membentuk dan memperlihatkan identitas diri, ciri-ciri yang khas dari dirinya.
Dorongan membentuk dan memperlihatkan identitas diri ini, pada para remaja sering
sekali sangat ekstrim dan berlebihan, sehingga tidak jarang dipandang oleh
lingkungannya sebagai penyimpangan atau kenakalan. Dorongan pembentukan identitas
diri yang kuat di satu pihak, sering diimbangi oleh rasa setia kawan dan toleransi yang
besar terhadap kelompok sebayanya. Di antara kelompok sebaya mereka mengadakan
pembagian peran, dan seringkali mereka sangat patuh terhadap peran yang diberikan
kepada masing-masing anggota.

Pencapaian identitas pribadi dan menghindari peran ganda merupakan bagian dari
tugas yang harus dilakukan dalam tahap ini. Menurut Erikson masa ini merupakan masa
yang mempunyai peranan penting, karena melalui tahap ini orang harus mencapai tingkat
identitas ego, dalam pengertiannya identitas pribadi berarti mengetahui siapa dirinya dan
bagaimana cara seseorang terjun ke tengah masyarakat. Lingkungan dalam tahap ini
semakin luas tidak hanya berada dalam area keluarga, sekolah namun dengan masyarakat
yang ada dalam lingkungannya. Masa pubertas terjadi pada tahap ini, kalau pada tahap
sebelumnya seseorang dapat menapakinya dengan baik maka segenap identifikasi di masa
kanak-kanak diintrogasikan dengan peranan sosial secara aku, sehingga pada tahap ini
mereka sudah dapat melihat dan mengembangkan suatu sikap yang baik dalam segi
kecocokan antara isi dan dirinya bagi orang lain, selain itu juga anak pada jenjang ini
dapat merasakan bahwa mereka sudah menjadi bagian dalam kehidupan orang lain.
Semuanya itu terjadi karena mereka sudah dapat menemukan siapakah dirinya. Identitas
ego merupakan kulminasi nilai-nilai ego sebelumnya yang merupakan ego sintesis.
Dalam arti kata yang lain pencarian identitas ego telah dijalani sejak berada dalam tahap
pertama/bayi sampai seseorang berada pada tahap terakhir/tua. Oleh karena itu, salah satu
point yang perlu diperhatikan yaitu apabila tahap-tahap sebelumnya berjalan kurang
lancar atau tidak berlangsung secara baik, disebabkan anak tidak mengetahui dan
memahami siapa dirinya yang sebenarnya ditengah-tengah pergaulan dan struktur
sosialnya, inilah yang disebut dengan identity confusion atau kekacauan identitas.

Akan tetapi di sisi lain jika kecenderungan identitas ego lebih kuat dibandingkan
dengan kekacauan identitas, maka mereka tidak menyisakan sedikit ruang toleransi
terhadap masyarakat yang bersama hidup dalam lingkungannya. Erikson menyebut
maladaptif ini dengan sebutan fanatisisme. Orang yang berada dalam sifat fanatisisme ini
menganggap bahwa pemikiran, cara maupun jalannyalah yang terbaik. Sebaliknya, jika
kekacauan identitas lebih kuat dibandingkan dengan identitas ego maka Erikson
menyebut malignansi ini dengan sebutan pengingkaran. Orang yang memiliki sifat ini
mengingkari keanggotaannya di dunia orang dewasa atau masyarakat akibatnya mereka
akan mencari identitas di tempat lain yang merupakan bagian dari kelompok yang
menyingkir dari tuntutan sosial yang mengikat serta mau menerima dan mengakui mereka
sebagai bagian dalam kelompoknya.

Kesetiaan akan diperoleh sebagi nilai positif yang dapat dipetik dalam tahap ini,
jikalau antara identitas ego dan kekacauan identitas dapat berlangsung secara seimbang,
yang mana kesetiaan memiliki makna tersendiri yaitu kemampuan hidup berdasarkan
standar yang berlaku di tengah masyarakat terlepas dari segala kekurangan, kelemahan,
dan ketidakkonsistennya. Ritualisasi yang nampak dalam tahap adolesen ini dapat
menumbuhkan ediologi dan totalisme.

6. Intimacy vs Isolation ( Keintiman vs Isolasi)


Tahap pertama dalam perkembangan kedewasaan ini biasanya terjadi pada masa
dewasa muda, yaitu merupakan tahap ketika seseorang merasa siap membangun
hubungan yang dekat dan intim dengan orang lain. Jika sukses membangun hubungan
yang erat, seseorang akan mampu merasakan cinta serta kasih sayang.

Pribadi yang memiliki identitas personal kuat sangat penting untuk dapat
menembangkan hubungan yang sehat. Sementara kegagalan menjalin hubungan bisa
membuat seseorang merasakan jarak dan terasing dari orang lain.

7. Generativity vs Stagnation ( Bangkit vs Stagnan)


Ini adalah tahap kedua perkembangan kedewasaan. Normalnya seseorang sudah
mapan dalam kehidupannya. Kemajuan karir atau rumah tangga yang telah dicapai
memberikan seseorang perasaan untuk memiliki suatu tujuan. Namun jika seseorang
merasa tidak nyaman dengan alur kehidupannya, maka biasanya akan muncul penyesalan
akan apa yang telah dilakukan di masa lalu dan merasa hidupnya mengalami stagnasi.

8. Integrity vs Despair (Integritas vs Keputusasaan)


Pada fase ini seseorang akan mengalami penglihatan kembali atau flash back
tentang alur kehidupannya yang telah dijalani. Juga berusaha untuk mengatasi berbagai
permasalahan yang sebelumnya tidak terselesaikan. Jika berhasil melewati tahap ini,
maka seseorang akan mendapatkan kebijaksanaan, namun jika gagal mereka bisa menjadi
putus asa.

Anda mungkin juga menyukai