Anda di halaman 1dari 22

FILSAFAT ILMU

STRUKTUR ILMU PENGETAHUAN DAN TIGA


PARADIGMA FILSAFAT DALAM ILMU
PENGETAHUAN

Disusun Oleh:

DITA SEPTIANA 12030116420059

ERA ZSANNABELA 12030116420037

KARUNIA ZURAIDANING TYAS 12030116420060

MAGISTER AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2017
KATA PENGANTAR

Assalaamualaikum warahmatullaahi wabarakaatuh


Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kami kemudahan sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam kami curahkan kepada baginda Rasulullah
SAW.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu penulis dalam penyusunan makalah ini baik secara langsung maupun
tidak langsung.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu. Makalah ini
memuat tentang struktur ilmu pengetahuan dan tiga paradigma filsafat dalam ilmu
pengetahuan. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan, sehingga kami
mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun demi perbaikan di masa mendatang.

Demikian kata pengantar ini, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
semua.

Wassalamualaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

Semarang, Juli 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................................ii

DAFTAR ISI........................................................................................................................... iii

STRUKTUR ILMU PENGETAHUAN ................................................................................. 1

1.1 DESKRIPSI ............................................................................................................... 1

1.2 BANGUNAN ILMU PENGETAHUAN .................................................................. 1

1.2.1 Metode Ilmiah .................................................................................................... 2

1.2.2 Teori .................................................................................................................... 4

1.2.3 Hipotesis .............................................................................................................. 4

1.2.4 Logika.................................................................................................................. 5

1.2.5 Data Informasi ................................................................................................... 6

1.2.6 Pembuktian ......................................................................................................... 7

1.2.7 Evaluasi ............................................................................................................... 8

1.2.8 Paradigma ........................................................................................................... 9

TIGA PARADIGMA FILSAFAT DALAM ILMU PENGETAHUAN SOSIAL ............ 11

2.1 DESKRIPSI ............................................................................................................. 11

2.2 PARADIGMA MORAL TEOLOGIK KAUSATIF ARISTOTELIAN ....... 11

2.3 PARADIGMA RASIONAL CARTESIAN ........................................................... 13

2.4 PARADIGMA SAINTIFIK GALILEAN ............................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 19

iii
1 STRUKTUR ILMU PENGETAHUAN

1.1 DESKRIPSI
Pengetahuan merupakan khazanah kekayaaan mental yang secara langsung atau tidak
langsung turut memperkaya kehidupan kita. Sukar dibayangkan bagaimana kehidupan
manusia seandainya tidak adanya pengetahuan, sebab pengetahuan merupakan sumber
jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan manusia.
Pengetahuan merupakan hasil keingintahuan manusia terhadap sesuatu, atau segala
perbuatan manusia untuk memahami obyek yang dihadapi. Ilmu pengetahuan diambil dari
bahasa Inggris yaitu science, yang berasal dari bahasa latin yaitu scientia dari bentuk kata
kerja scire yang berarti mempelajari, mengetahui. Pertumbuhan selanjutnya pengertian
ilmu mengalami perluasan arti sehingga menunjuk pada segenap pengetahuan sistematik.
Menurut Gie (2004), ilmu merupakan rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari
penjelasan secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai segi, dan
keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin
dimengerti manusia. Pengetahuan ilmiah memiliki lima ciri pokok yaitu : (i) empiris; (ii)
sistematis; (iii) objektif; (iv) analitis; (v) verifikatif.

1.2 BANGUNAN ILMU PENGETAHUAN


Terdapat suatu anggapan yang luas bahwa ilmu pada dasarnya merupakan metode
induksi-empiris dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Memang terdapat beberapa alasan
untuk mendukung penilaian yang populer ini, karena ilmuwan mengumpulkan fakta-fakta
tertentu, melakukan pengamatan, dan mempergunakan data indrawi. Walaupun begitu,
analisis yang mendalam terhadap metode keilmuan akan menyingkapkan kenyataan, bahwa
apa yang dilakukan oleh ilmuwan dalam usahanya mencari pengetahuan lebih tepat
digambarkan sebagai suatu kombinasi antara prosedur empiris dan rasional.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa metode keilmuan adalah suatu cara dalam
memperoleh pengetahuan. Suatu rangkaian prosedur tertentu yang harus diikuti untuk
mendapatkan jawaban tertentu dari pertanyaan yang tertentu pula. Kerangka dasar prosedur
ini dapat diurutkan dalam delapan langkah sebagai berikut : (i) metode ilmiah; (ii) teori;

1
(iii) hipotesis; (iv) logika; (v) data informasi; (vi) pembuktian; (vii) evaluasi; dan (viii)
paradigma.

1.2.1 Metode Ilmiah


Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang
disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan melalui metode
ilmiah. Tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu karena ilmu merupakan
pengetahuan yang didapatkan dengan memenuhi syarat-syarat tertentu. Metode
merupakan suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu, yang mempunyai
langkah-langkah yang sistematis. Metodologi merupakan ilmunya pengkajian dalam
mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut. Jadi metodologi ilmiah
merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah.
Metodologi ini secara filsafari termasuk dalam apa yang dinamakan epistemologi, yaitu
pembahasan mengenai bagaimana mendapatkan pengetahuan; Apakah suber-sumber
pengetahuan? Apa hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Apakah
manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan? Sampai tahapan mana
pengetahuan yang mungkin ditangkap manusia?
Berpikir merupakan kegiatan mental tentang objek tertentu yang menghasilkan
pengetahuan. Metode ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara bekerja pikiran.
Dengan cara bekerja ini maka pengetahuan yang dihasilkan diharapkan dapat
mempunyai karakteristik tertentu yang diminta oleh ilmu pengetahuan, yaitu sifat
rasional dan teruji yang memungkinkan pengetahuan yang disusun dapat diandalkan.
Secara garis besar metode ilmiah digolongkan menjadi dua macam, yaitu yang
bersifat umum dan metode penyelidikan ilmiah. Berikut penjelasannya :

a) Metode Ilmiah yang Bersifat Umum


Metode ilmiah yang bersifat umum dibagi menjadi dua, yaitu metode analitiko-
sintesis dan metode non-deduksi. Metode analitiko-sintesis merupakan gabungan
dari metode analisis dan sintesis. Sedangkan metode non-deduksi merupakan
gabungan dari metode deduksi dan metode induksi.
Metode analisis merupakan cara penanganan terhadap suatu objek ilmiah
tertentu dengan cara memilah-milahkan pengertian yang satu dengan yang lainnya.
Pengetahuan analisis dibagi menjadi dua, yaitu pengetahuan analitik apriori dan
pengetahuan analitik aposteriori. Pengetahuan analitik apriori misalnya, definisi

2
segitiga mengatakan bahwa segitiga itu merupakan suatu bidang yang dibatasi oleh
tiga garis lurus saling beririsan yan membentuk sudut 180 derajat. Pengetahuan
analitik aposteriori berarti bahwa kita menerapkan metode analisis terhadap sesuatu
bahan yang terdapat di alam empiris atau dalam pengalaman sehari-hari
memperoleh suatu pengetahuan tertentu, misalnya setelah kita mengamati sejumlah
kursi yang ada, sehingga kita dapat menentukan apa yang dinamakan kursi itu?
Definisi yang dapat disusun misalnya, kursi adalah perabot kantor atau rumah
tangga yang khusus disediakan untuk tempat duduk.
Metode sintesis merupakan cara penanganan terhadap sesuatu objek tertentu
dengan cara menggabungkan pengertian yang satu dengan yang lainnya sehingga
menghasilkan suatu pengetahuan yang baru. Pengetahuan yang diperoleh dengan
menerapkan metode sintesis dapat berupa pengetahuan sintesis apriori dan sisntesis
aposteriori. Pengetahuan sistesis apriori misalnya, pengetahuan bahwa satu
ditambah satu sama dengan dua. Sedangkan aposteriori menunjuk kepada hal-hal
yang adanya berdasarkan atau terdapat melalui pengalaman atau dapat dibuktikan
dengan tangkapan indrawi.
Metode deduksi adalah cara penanganan terhadap sesuatu objek tertentu dengan
jalan menarik kesimpulan mengenai hal-hal yang bersifat khusus berdasarkan atas
ketentuan hal-hal yang bersifat umum. Metode induksi adalah cara penanganan
objek tertentu dengan jalan menarik kesimpulan yang bersifat lebih umum
berdasarkan atas pemahaman atau pengamatan terhadap sejumlah hal yang lebih
khusus.

b) Metode Penyelidikan Ilmiah


Metode penyelidikan ilmiah dapat dibagi menjadi dua, yaitu metode
penyelidikan yang berbentuk daur/metode siklus empiris dan metode vertikal atau
yang berbentuk garis lempang/metode linier. Metode siklus empiris merupakan
suatu cara penanganan terhadap suatu objek ilmiah tertentu yang biasanya bersifat
empiris-kealaman dan penerapannya terjadi di tempat yang tertutup, seperti di
dalam laboratorium, dan sebagainya. Sedangkan metode vertikal digunakan dalam
penyelidikan yang pada umumnya mempunyai objek material yang berupa hal-hal
yang pada dasarnya bersifat kejiwaan, yaitu yang lazimnya berupa dalam tingkah
laku manusia dalam berbagai bidang kehidupan, seperti bidang politik, ekonomi,
sosial, dan sebagainya.

3
1.2.2 Teori
Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta. Teori merupakan suatu
abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan
pengalaman empiris, artinya teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang
berkesesuaian dengan objek yang dijelaskannya.
Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu
faktot tertentu dari sebuah disiplin keilmuan. Sebenarnya tujuan akhir dari tiap disiplin
keilmuan adalah mengembangkan sebuah teori keilmuan yang bersifat utuh dan
konsisten, namun hal ini baru dicapai oleh keilmuan seperti fisika saja.
Sebuah teori biasanya terdiri dari hukum-hukum. Hukum pada hakikatnya
merupakan pernyataan yang menyatakan hubungan antara dua variabel atau lebih
dalam suatu kaitan sebab akibat. Pernyataan yang mencakup hubungan sebab akibat
ini, atau dengan perkataan lain hubungan kausalitas, memungkinkan kita untuk
meramalkan apa yang akan terjadi sebagai akibat dari sebuah sebab. Dapat dikatakan
bahwa teori adalah pengetahuan ilmiah yang memberikan penjelasan tentang
mengapa suatu gejala-gejala terjadi. Sedangkan hukum memberikan kemampuan
kepada kita untuk meramalkan tentang apa yang mungkin terjadi.
Secara rasional maka ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan
kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan antara pengetahuan yang sesuai
dengan fakta dengan yang tidak. Hal ini berarti bahwa semua teori ilmiah harus
memenuhi dua syarat utama, yaitu : (1) Harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya
yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara
keseluruhan; dan (2) Harus cocok dengan fakta-fakta empiris sebab teori yang
bagaimanapun konsistennya sekiranya tidak didukung oleh pengujian empiris tidak
dapat diterima kebenarannya secara ilmiah.

1.2.3 Hipotesis
Hipotesis merupakan pernyataan sementara tentang hubungan antar variabel.
Hubungan antar variabel dalam hipotesis ini diajukan dalam bentuk dugaan kerja, atau
teori, yang merupakan dasar dalam menjelaskan kemungkinan hubungan tersebut.
Hipotesis diajukan secara khas dengan dasar coba-coba (trial and error). Hipotesis
hanya merupakan dugaan yang beralasan, atau mungkin merupakan perluasan dari
hipotesis terdahulu yang telah teruji kebenarannya, yang kemudian diterapkan pada

4
data yang baru. Dalam kedua hal di atas, hipotesis berfungsi untuk mengikat data
sedemikian rupa, sehingga hubungan yang diduga dapat kita gambarkan, dan
penjelasan yang mungkin dapat kita ajukan.
Oleh karena itu, sebelum teruji kebenarannya secara empiris semua oenjelasan
rasional yang diajukan statusnya hanyalah bersifat sementara. Dalam perspektif teoritis
kita dapat mengajukan hipotesis sebanyak-banyaknya sesuai dengan hakikat
rasionalitas yang bersifat sementara. Perlu diperhatikan dari sekian hipotesis yang
diajukan itu hanya satu yang diterima berdasarkan kriteria kebenaran korespondensi
yakni hipotesis yang didukung oleh fakta-fakta empiris.

1.2.4 Logika
Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang membuahkan pengetahuan.
Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka
proses berpikir itu harus dilakukan suatu cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan baru
dianggap sahih (valid) saat proses penarikan kesimpulan itu dilakukan menurut cara
tertentu. Cara penarikan kesimpulan (inferensi) ini disebut logika, di mana logika secara
luas dapat didefinisikan sebagai pengkajian untuk berpikir secara sahih.
Menurut Gie (1980), logika dapat digolongkan menjadi lima macam, yaitu :
a) Logika dalam pengertian luas dan sempit
Dalam arti sempit, istilah logika dipakai searti dengan logika deduktif atau logika
formal. Sedangkan dalam arti luas, pemakaiannya mencakup kesimpulan-
kesimpulan dari berbagai bukti dan tentang bagaimana sistem penjelasan disusun
dalam ilmu alam serta meliputi pula pembahasan mengenai logika itu sendiri.
b) Logika deduktif dan logika induktif
Logika deduktif adalah suatu ragam logika yang mempelajari asas-asas penalaran
yang bersifat deduktif, yakni suatu penalaran yang menurunkan suatu kesimpulan
sebagai kemestian dari pangkal pikirnya sehingga bersifat benar menurut bentuknya
(saja). Sedangkan logika induktif merupakan suatu ragam logika yang mempelajari
asas-asas penalaran yang benar dari sejumlah hal khusus sampai pada kesimpulan
umum yang bersifat boleh jadi (probability).
c) Logika formal dan logika material
Logika formal mempelajari asas, aturan, atau hukum-hukum berpikir yang harus
ditaati, agar orang dapat berpikir dengan benar dan mencapai kebenaran. Sedangkan

5
logika material mempelajari langsung pekerjaan akal, serta menilai hasil-hasil
logika formal dan mengujinya dengan kenyataan praktis yang sesungguhnya.
d) Logika murni dan logika terapan
Logika murni merupakan suatu pengetahuan menganai asas dan aturan logika yang
berlaku umum pada semua segi dan bagian dari pernyataan-pernyataan dengan
tanpa mempersoalkan arti khusus dalam suatu cabang ilmu dari istilah yang dipakai
dalam pernyataan dimaksud. Sedangkan logika terapan adalah pengetahuan logika
yang diterapkan dalam setiap cabang ilmu, bidang-bidang filsafat, dan juga dalam
pembicaraan yang mempergunakan bahasa sehari-hari.
e) Logika filsafati dan logika matematik
Logika filsafati dapat digolongkan sebagai suatu ragam atau bagian logika yang
masih berhubungan sangat erat dengan pembahasa dalam bidang filsafat, seperti
logika kewajiban dengan etika atau logika arti dengan metafisika. Adapun logika
matematik merupakan suatu ragam logika yang menelaah penalaran yang benar
dengan menggunakan metode matematik serta bentuk lambang yang khusus dan
cermat untuk menghindarkan makna ganda (bias) yang terdapat dalam bahasa
Indonesia biasa.

1.2.5 Data Informasi


Tahap ini merupakan suatu yang paling dikenal dalam metode keilmuan.
Disebabkan oleh banyaknya kegiatan keilmuan yang diarahkan kepada pengumpulan
data, maka sejumlah orang yang menyamakan ilmuwan dengan pengumpuan fakta.
Hasil observasi ini kemudian dituangkan dalam bentuk pernyataan-pernyataan
(proposisi). Pengamatan yang teliti yang dimungkinkan oleh terdapatnya berbagai alat,
yang dibuat manusia dengan penuh akal, memberikan dukungan yang dramatis terhadap
konsep keilmuan sebagai suatu prosedur yang pada dasarnya adalah empiris dan
induktif. Tumpuan terhadap persepsi indra secara langsung atau tidak langsung, dan
keharusan untuk melakukan pengamatan secara teliti seakan menyita perhatian kita
terhadap segi empiris dari penyelidikan keilmuan tersebut.
Pada tahap penyusunan dan klasifikasi data ini menekankan kepada penyusunan
fakta dalam kelompok-kelompok, jenis-jenis, dan kelas-kelas. Dalam semua cabang
ilmu, usaha untuk mengidentifikasi, menganalisis, membandingkan, dan membedakan

6
fakta yang relevan tergantung kepada sistem klasifikasi disebut taksonomi, dan ilmuwan
modern terus berusaha untuk menyempurnakan taksonomi khusus bidang keilmuan.

1.2.6 Pembuktian
Langkah selanjutnya sesudah penyusunan hipotesis adalah menguji hipotesis
dengan mengonfrontasikannya dengan dunia fisik yang nyata. Seringkali dalam hal ini
kita harus melakukan langkah perantara yakni menentukan faktor-faktor apa yang dapat
diuji dalam rangka melakukan verifikasi terhadap keseluruhan hipotesis tersebut. Proses
pengujian ini merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang
diajukan. Sering pula dalam melakukan pembuktian, kita memerlukan bantuan alat-alat
seperti teleskop atau mikroskop atau alat-alat rumit lainnya untuk membantu dalam
mengumpulkan fakta. Hal ini menyebabkan penelitian ilmiah menjadi mahal yang
disebabkan karena mahalnya alat-alat pendukung pembuktiannya.
Seorang ilmuwan pada mulanya selalu bersikap skeptis yang meragukan segala
sesuatu. Jadi pertama-tama dia memerlukan penjelasan yang masuk akal dan tidak
bersifat kontradiktif dengan pengetahuan ilmiah yang telah diketahuinya. Setelah itu dia
minta pembuktian tidak hanya secara logis tetapi juga verifikasi secara empiris. Setelah
semua penjelasan itu didukung oleh fakta-fakta dalam dunia fisik yang nyata, maka
ilmuwan baru percaya akan sebuah teori tersebut.
Hal ini berbeda dengan penelaahan dalam bidang lain, misalnya agama, di mana
pengkajian agama tidak dimulai dengan ragu-ragu melainkan dimulai dengan percaya
dan diakhiri dengan dengan makin percaya atau malah menjadi ragu. Mengapa agama
harus dimulai dengan rasa percaya sedangkan ilmu dengan ragu-ragu? Jawabannya
adalah terletak pada daerah penelaahan (objek materi) agama yang menjangkau ke luar
daerah pengalaman manusia. Dalam keadaan seperti ini, maka pengetahuan agama yang
diwahyukan Tuhan harus diterima dulu sebagai hipotesis yang kebenarannya
kemudian diuji oleh kita. Kepercayaan keagamaan bersifat personal dan subjektif,
berbeda dengan ilmiah yang bersifat impersonal dan objektif. Kedua pengetahuan ini
bersifat saling melengkapi dan memperkaya kehidupan kita sesuai dengan hakikat,
kegunaan, dan konteksnya masing-masing.

7
1.2.7 Evaluasi
Evaluasi dalam hal ini yaitu penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian
apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima. Sekiranya dalam proses
pengujian hipotesis terdapat fakta yang mendukung maka hipotesis itu diterima.
Sebaliknya sekiranya dalam proses pengujian tidak terdapat fakta yang cukup
mendukung maka hipotesis itu ditolak. Hipotesis yang diterima kemudian dianggap
menjadi bagian dari pengetahuan ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan
yakni mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah
sebelumnya serta telah teruji kebenarannya. Pengertian kebenaran di sini berarti bahwa
sampai saat ini belum ada fakta yang menyatakan sebaliknya.
Evaluasi juga dapat berupa penjelasan dari seluruh rangkaian metode ilmiah.
Setelah ilmuwan melakukan pengamatan, membuat deskripsi dan menyusun data yang
menurut dia adalah relevan dengan masalahnya, dia menghadapi salah satu segi yang
terpenting dari usahanya yakni memberikan penjelasan. Di samping itu, cara
pengumpulan data yang berbeda akan menghasilkan penjelasan yang berbeda pula yang
dapat diterima dalam sistem ilmu. Penjelasan dalam ilmu pada dasarnya adalah
menjawab pertanyaan mengapa. Terdapat empat cara yang berbeda yang digunakan
dalam ilmu untuk menjawab pertanyaan ini, yaitu :
a) Penjelasan deduktif, yaitu sebuah penjelasan yang terdiri dari serangkaian
pertanyaan di mana kesimpulan tertentu disimpulkan setelah menetapkan aksioma
atau postulat. Contoh yang klasik adalah sebagai berikut: Semua manusia adalah
fana.Socrates adalah manusia. Oleh karena itu, Socrates adalah fana. Jadi
pertanyaan mengapa Socrates fana?, dalam penjelasan ini adalah karena dia
manusia. Penjelasan deduktif menjawab pertanyaan mengapa dengan melakukan
abstraksi dari karakteristik tertentu dan secara jelas merumuskan hubungan antara
tiap karakteristik tersebut.
b) Penjelasan probabilistik (kemungkinan), terdapat semacam pertanyaan dalam ilmu
yang tidak bisa dijawab secara pasti seperti yang dilakukan dalam metode deduktif.
Pertanyaan seperti ini hanya mungkin dijawab dengan kata-kata seperti mungkin,
hampir pasti, dalam batas 5% dan jawaban ini disebut probabilistik. Hal ini
terjadi bila kita berurusan dengan sejumlah besar manusia, atau individu dengan
bermacam tingkah lakunya, di mana kita tidak tahu faktor-faktor yang
mempengaruhi tindakan mereka.

8
c) Penjelasan genetis, penjelasan ini menjawab pertanyaan mengapa dengan apa
yang telah terjadi sebelumnya. Umpamanya jika kita ingin menerangkan mengapa
seorang anak mempunyai tipe rambut tertentu maka cara penjelasan genetis dapat
dipakai di sini, yakni dengan menerapkan faktor keturunan yang dihubungkan
dengan karakteristik orang tua si anak tersebut.
d) Penjelasan fungsional, penjelasan ini merupakan bentuk penjelasan yang sering
dijumpai dalam ilmu yang memberikan jawaban terhadap pertanyaan mengapa
dengan cara meyelidiki tempat dari objek yang sedang diteliti dengan keseluruhan
sistem di mana objek tersebut berada. Jadi jika kita bertanya mengapa anak-anak
sekolah menghormati bendera, penjelasan fungsional antara lain memberikan
jawaban bahwa penghormatan tersebut akan menjadikan anak-anak itu lebih
cinta/patriotik, dan sifat lebih patriotik akan menjamin kelangsungan bangsa dan
cita-citanya.

1.2.8 Paradigma
Paradigma diartikan sebagai seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang
menuntun seseorang dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Guba
(dalam Denzin dan Lincoln, 2009) paradigma dalam ilmu pengetahuan mempunyai
definisi bahwa seperangkat keyakinan mendasar yang memandu tindakan-tindakan
manusia dalam keseharian maupun dalam penyelidikan ilmiah. Paradigma dalam hal ini
dibatasi pada paradigma pencarian ilmu pengetahuan (discipline inquiry paradigm),
yaitu suatu keyakinan dasar yang digunakan berbagai kalangan untuk mencari
kebenaran realistis menjadi suatu ilmu atau disiplin ilmu pengetahuan. Dalam
mengembangkan suatu paradigma ilmu kita harus dapat melihat cara pandang yang
menjadi aspek filosofis dan metodologis dalam menemukan ilmu pengetahuan, yakni
dimensi ontologis, dimensi epistimologis, dimensi aksiologis, dimensi retorik dan
dimensi metodologis.
Menurut Guba (1990), terdapat empat paradigma ilmu pengetahuan yang
dikembangkan dalam menemukan hakikat realitas atau ilmu pengetahuan yaitu
Positivisme, Postpositivisme (Classical Paradigmn, Conventionalism Paradigm),
Critical Theory (Reulism), dan Constructivism. Dalam ilmu sosial perubahan terjadi
secara cepat dan dinamis, tergantung pada bukti empiris yang diyakini. Keragaman
paradigmatik dapat terjadi karena perbedaan pandangan filosofis, konsekuensi logis dari

9
perbedaan teori yang digunakan dan sifat metodologi yang digunakan untuk mencapai
kebenaran.

10
2 TIGA PARADIGMA FILSAFAT DALAM ILMU PENGETAHUAN
SOSIAL

2.1 DESKRIPSI
Paradigma merupakan suatu konsep yang diperkenalkan dan dijelaskan secara panjang
lebar oleh Kuhn (1970). Para ilmuwan social budaya telah menggunakan pengertian
paradigm yang bermakna kurang lebih setara yakni kerangka teoritis (theoretical
framework), kerangka konseptual (conceptual framework), kerangka pemikiran (frame of
thingking), orientasi theoritis (theoretical orientation), sudut pandang (perspektif) atau
pendekatan (approach). Dalam pengertian yang spesifik, paradigma didefinisikan sebagai
seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara logis membentuk sebuah
kerangka pemikiran yang berfungsi untuk memahami, menafsirkan dan menjelaskan
kenyataan dan atau masalah yang dihadapi.
Dalam ilmu sosial terdapat 15 paradigma yakni (i) evolusionisme, (ii) diffusionisme,
(iii) partikularisme historis, (iv) fungsionalisme structural, (v) studi perbandingan, (vi)
analisis variabel, (vii) kepribadian kebudayaan, (viii) tafsir kebudayaan, (ix)
strukturalisme, (x) etnosains, (xi) materialisme budaya, (xii) materisme historis, (xiii)
konstruksionisme, (xiv) actor oriented, (xv) post modernisme. Tiga paradigm yang saling
bertentangan dan berada dalam gerakan saling menggeser untuk merebut posisi
mainstream namun dapat pula bersifat komplementer untuk saling mengisi. Ketiga
paradigm tersebut yaitu (1) yang moralteologikal Aristotelian, (2) yang rasional Cartesian,
dan (3) yang saintifik Galilean.

2.2 PARADIGMA MORAL TEOLOGIK KAUSATIF ARISTOTELIAN


Aristoteles (384 322 SM) lahir di Stagira, Yunani Utara. Pada usia 18 tahun,
Aristoteles belajar di Akademi Plato di Athena hingga meninggalnya Plato (347 SM)
kemudian ia kembali ke Athena untuk mendirikan sekolah Lyceum. Karya Aristoteles
antara lain logika (Organon), Kategoriai, Peri Hermeneias, Analytika Protera, Analytika
Hystera, Topika, dan Peri Spohistikoon.

Paradigma moral-teologik Aristoteles berpangkal pada pandangan ontologik metafisika


yang kental dengan pengaruh gurunya yakni pandangan idealistis dan teleologis dari Plato.

11
Aristoteles menyatakan bahwa alam semesta diciptakan oleh sang pencipta, penyebab
pertama (causa prima) yang dilengkapi oleh seperangkat sistem keteraturan dan ketertiban
(order). Alam semesta merupakan adalah suatu dunia ideal, keseluruhan organis yang
saling berhubungan, suatu sistem idea-idea (forms) yang abadi dan tetap. Ketertiban alam
telah ditetapkan sebelumnya (pre-established) yang kesemua realitas terpusat dan
ditentukan, diprogram, dan ditata oleh serba keserasian oleh sang pencipta; keserasian yang
sempurna (perfect harmony), ini ditentukan oleh sang pencipta (teologik). Kesemua realitas
juga tunduk kepada keselaran dan keserasian. Dalam kenyataan dunia makhluqi, wujud
kenyataan Sang Causa prima adalah dalam keselaran, keharmonisan, dan keseimbangan.

Menurut Aristoteles, objek-objek adalah partikular sebagai substansi yang nyata: (i)
meteri mengandaikan bentuk-bentuk yang berbeda tetapi bentuk permulaan tidak berubah;
(ii) materi merupakan asas kebolehjadian sedangkan bentuk merupakan asas kenyataan
atau actual: materi dan bentuk itu menyatu. Aristoteles menyatukan materi dan bentuk ini.
Ia memasukkan sebab ke dalam tindakan (estelechy) pendekatan terhadap kesatuan dari
semua benda menjadi tujuan (teleology) dari alam semesta; bentuk-bentuk adalah kekuatan
yang bertujuanyang diciptakan oleh pikiran itu sendiri; setiap organisme menjadi suatu
hal melalui tindakan dari idea tujuan; bentuk dan materi merupakan suatu yang abadi.
Karenanya haruslah materi tunduk pada hukum kausalitas, yang mutlak berlaku pada
ciptaan tuhan, tetapi tidak berlaku pagi sang pencipta. Dengan demikian sebab (causa) itu
sarat (padat) dengan nilai-nilai (values loaded).

Realitas makhluk di alam semesta ini, telah menjadi anggapan aksiomamtik bagi
Aristoteles yang dipahaminya sebagai suatu keteraturan atau suatu tertib (disebut nomos
atau order dalam bahasa Inggris) yang sudah pre-establihed, dalam arti sudah tercipta
dan menjadi ada sejak awal mulanya. Paradigma Aristotelian ini bertolak dari anggapan
aksiomatik bahwa seluruh kenyataan alam semesta itu pada hakikatnya adalah suatu
totalitas kodrati yang telah tercipta secara final dalam bentuknya yang sempurna, dan serba
berkeselarasan (harmony) sejak awal mulanya. Rancang bangun ontologik Aristotelian
didasarkan atas satu kausa utama (kausa prima) yang diimplementasikan dalam empat
kausa. Kausa prima ada pada diri Tuhan sedangkan empat kausa lainnya berada dalam
realitas selain tuhan (makhluk). Keempat kausa atau sebab itu adalah : (i) sebab bahan
(material) berupa materi yakni bahan-bahan untuk membuat bangunan konstruksi rumah
misalnya; (ii) sebab bentuk (forma) berupa ide tentang benda-benda alam dan juga yang

12
dipahami oleh pikiran; (iii) sebab kerja (efisien) berupa aktivitas manusia; dan (iv) sebab
tujuan (final) berupa target yang hendak dicapai atas suatu rencana kegiatan.

Paradigma teologik-kausatif Aristotelian ini memiliki pengaruh sampai hampir 20 abad.


Kuatnya pengaruh tersebut karena para pemikir sesudahnya terus melakukan kritik dan
tanggapan di wilayah Timur Tengah. Pada saat itu Eropa sedang mengalami abad
kegelapan yang lelap. Pemikir dari Timur Tengah antara lain al Kindi (873 M.), al Farabi
(870 M.), ibn Sina (Aveciena=1037), serta ibn Rusyd (Averoes=1126) . Saat terjadi
keredupan pengaruh, pada masa renaisanse, Nama Gotfried Wilhelm Leibniz (1646-1716)
dapatlah disebut sebagai salah seorang representasi paham Aristotelian ini dari masa yang
lebih mutakhir. Sebagai pemikir dalam garis Aristotelian, Leibniz mau bernalar pada alur
yang metafisikal, yang berlangsung di dunia Sollen (alam keharusan, as what ought to be),
dan bukan di dunia Sein (alam kenyataan, as what it is). Alam pemikiran Leibniz amat
dikuasai oleh pemikiran metafisik yang meyakini kebenaran tentang kehidupan semesta
yang telah dikuasai imperativa keselarasan yang telah terwujud secara pasti sejak awal
mulanya. Inilah yang disebut a pre-established harmonius order. Leibniz bertolak dari
keyakinan bahwa Tuhan Mahakuasa dan Mahasempurna itu ada, dan Dialah pencipta
semesta ini (Baca: causa prima dari Aristoteles). Penciptaan tentulah didasari oleh suatu
intensi dan alasan yang mengisyaratkan adanya suatu tujuan final (causa finalis) yang Illahi.
Bagi Leibniz, keteraturan yang berkeselarasan tanpa pertentangan ini dapat digambarkan
sebagai suatu orkestra sebagai suatu pre-established harmony sebagaimana dimaksudkan
oleh Leibniz. Sekian banyak pemusik (ialah satuan-satuan yang oleh Leibniz disebut
monad yang independen) telah memainkan bagian masing-masing yang sekalipun
masing-masing bertindak sendiri-sendiri secara mandiri, namun secara total lalu menjadi
berkeselarasan.

2.3 PARADIGMA RASIONAL CARTESIAN


Cartesian merupakan predikat yang disematkan kepada Rene Descartes (1596-1650),
seorang filsuf dan ahli matematika Perancis yang lahir di La Haye Touraine, anak keluarga
bangsawan. Dia belajar ilmu pasti dan filsafat Skolastik. Ia senang merantau antara lain ke
Jerman, Belanda, Italy, dan Perancis yang kemudian menemukan ketenangan dan menetap
di negeri Belanda sejak 1629-1649. Pada masa inilah Descartes banyak menulis karya
ilmiah antara lain Discours de la Methode (diterbitkan 1937), Meditationes de Prima

13
Philosophia (1641), Principia Philosopiae (1644), dan Les Passiones de Lame (1650).
Melalui tulisantulisan tersebutlah ia kemudian terkenal dengan sebutan Cartesian.

Dalam buku Discours de la Methode (1637), Descartes mendobrak total seluruh


pemikiran yang berasal dari tradisi dan otoritas dengan menempatkan rasio subjek sebagai
titik pangkalnya yang menyatakan bahwa manusia yang berfikir sebagai pusat dunia.
Subjektivitas Descartes mengacu pada aktivitas rasio subjek (Harianto, 2010:34). Ia
memandang prinsip matematika sebagai paradigma dalam seluruh jenis pengetahuan
manusia. Bagian dari aliran rasionalisme ini menggunakan asumsi ontologo-kosmologi
yang berpandangan bahwa alam memiliki struktur matematis. Descartes menolak semua
kebenaran apabila tidak dapat dideduksi dengan prinsip matematika yang berangkat dari
pengertian-pengertian umum yang kebenarannya tidak dapat diragukan (clear and
distinct). Semua fenomena alam dapat dijelaskan dengan cara deduksi matematika.
Sebagaimana dinyatakan Gordon (Gordon, 1993:69, dan 72):

....Ren Descartes, in his Discourse on Method (1637), established the mechanistic


conception of the world as a fundamental philosophical principle of science. In this
book, he announced the invention of analytical geometry, important in itself. ...... the
conception of reality as consisting of mechanistically linked phenomena.

Epistemologi makrokosmos dan mikrokosmos. Descartes telah mematematikkan alm


dan berkesimpulan bahwa alam raya (makrokosmos) adalah mesin raksasa. Alam bekerja
sesuai dengan hukum-hukum mekanik. Segala sesuatu dalam alam materi dapat
diterangkan sebagai tatanan dan gerakan dari bagian-bagiannya. Kehidupan dan
spiritualitasdalam alam raya tidak memiliki tujuan. Adapun manusia (mikrokosmos) juga
seperti itu yang didalamnya terdapatunsur ruh dn tubuh. Cara pandang dualisme seperti ini
pada gilirannya menciptakan pola pikir yang serba dikotomis melalui logika biner
(Gordon,1993:69, dan 72).

Pada garis bearnya, fokus kajian rasionalisme Descartes adalah (i) menekankan akal
budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas
(terlepas) daripengamatan inderawi. (ii) Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal
yang memenuhi syarat semua oengetahuan ilmiah. (iii) Pengalaman hanya dipakai untuk
mempertegas pengetahuan yang diperoleh akal. Akal dapat menurunkan kebenaran dari
dirinya, yaitu atas dasar asas-asas pertama yang pasti. Adapun ciri-ciri rasionalisme adalah
(i) tidak mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman hanya dipandang sebagai

14
sejenis perangsang bagi pikiran; (ii) keyakinannya bahwa kebenaran dan kesesatan terletak
di dalam ide, dan bukannya di dalam barang sesuatu; (iii) kebenaran bermakna sebagai
keberadaan ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan, maka
kebenaran hanya tersedia di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal saja.

Cara kerja rasionalisme adalah (i) dimulai dengan sebuah pernyataan yang sudah pasti;
(ii)aksioma dasar yang dipakai membangun sistem pemikirannya diturunkan dan ide yang
menurut anggapannya adalah jelas, tegas dan pasti dalam pikiran manusia; (iii) pikiran
manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui ide tersebut, namun manusia tidak
menciptakannya, maupun tidak mempelajari lewat pengalaman; dan (iv) Ide tersebut
sudah tersedia di sana sebagai bagian dari kenyataan dasar dan pikiran manusia, karena
ia terlihat dalam kenyataan tersebutpun akan mengandung ide pula. Adapun tiga asumsi
paradigma Cartesian adalah (i)subjektif-antroposentrik; (ii) dualisme; dan (iii) mekanistik-
deterministik (Harianto, 2010:32-71).

Pertama, subjektif-antroposentrik merepresentasikan modus khas kesadaran


modernisme bahwa manusia merupakan pusat dunia. Descartes mengembalikan skema
pendekatan metafisis dengan menolak cara-cara yang bersifat tradisional.

Kedua, dualisme. Prinsip ini memilahkan realitas atas subjek dan objek, manusia dan
alam yang menempatkan superioritas subjek atas subjek. Dualisme memisahkan secara
mendasar antara kesadaran dan materi, ruh dan tubuh, jiwa dan benda, serta nilai dan fakta.
Gordon (1993: 212) menguraikan:

Descartes made a hard categorical distinction between body and mind, to which
stimulated intense efforts by metaphysicians to re-establish a monistic unity, which still
continues in the present day. Even philosophers who regard metaphysics as meaningles
nonsense, and are scornful of these earlt attempts to resolve the Cartesian dualism,
have nevertheless had to contend with some very difficult problems that are posed by
it.

Ketiga, mekanistik-deterministik. Realitas dipahami dengan memilah-milahkan hal


atau benda menjadi bagian kecil, yang dijelaskan dengan pengukuran kuantitatif. Hasil
penelitian dari bagian-bagian kecil itu digeneralisasikan untuk keseluruhan. Namun titik-
tolak utama dalam penggeneralisasian itu dalam pandangan Descartes, mendasarkan pada
kenyataan bahwa alam dan dunia hanyalah merupakan prinsip logika deduksi
(matematika) yang berpulang berupa prinsip-prinsip yang telah benar dengan sendirinya

15
(self-evident primary propositions) (Gordon, 1993:374;Mudhofir, 2001:125). Prinsip
matematika bermula dari aksioma dan asas-asas. Asas-asas ini membentuk titik-tolak
untuk deduksi yang melalui asas ini disusunlah proposisi.

2.4 PARADIGMA SAINTIFIK GALILEAN


Paradigma Galilean, mengacu kepada pemikiran Galileo Galilei (1564-1642) yang lahir
di Pisa, Itali. Ia belajar dan kemudian mengajar di Universitas Pisa. Beberapa tahun
kemudia ia bergabung dengan Universitas Universitas Padua dan menetpa di sana hingga
1610. Pada masa inilah produktivitas temuan ilmiah Galileo tersalurkan. Karya tulis
Galileo antara lain: Letter on Sunpots (1613); Letter to the Grand Duchess Christina
(1636); the Assayer (1623); Dialogue on the Chief in the Two System of the World (1632);
Discourse on Two New Sciences tahun 1638 (Mudhofir, 2001:188-189; Flew, 1983:129-
130).

Galileo, sangat berjasa pada ilmu fisika dan astronomi, khususnya penggunaan teleskop
untuk observasi. Ia menemukan rumus-rumus matematik untuk hukum fisika. Galileo juga
mengembangkan prinsip observasi objektifsertaanalisa teoritis yang rasional yang
kemudian menjadi sifat pendekatan ilmiah dalam ilmu pengetahuan, itulah yang dikenal
dengan prinsip causa effect, sebab akibat. Dari penemuannya itu Galileo membuka jalan
formulasi sistematik atas hukum mekanika fisika yang dikemukakan Isaac Newton (1642-
1727) dalam kurun satu setengah abaf kemudian. Tapi ia sempat bertentangan dengan
gereja Katolik, bahkan bukunya, Dialogue on the Chief in the Two System of the World
(1632) dilarang. Pertentangannya dengan Gereja meynagkut pemihakan Galileo pada teori
Copernicus, yang mengatakan, matahari adalah pusat sistem planet, bukan bumi
sebagaimana yang diyakini gereja, dalam ajaran-ajaran kitab sucinya (Gordon, 1993:20).
Melalui buku Letter on Sunpots (1613), ia menerima teori Copernicus. Galileo dipanggil
Gereja diadili dan diminta menjelaskan gagasannya. Pada akhirnya Galileo mampu
membenarkan teori Copernicus pada Gereja. Disitulah ia dianggap mempengaruhi para
bangsawan untuk menerima suatu teori ilmiah yang dasar penelitiannya empiris, bukan
kitab suci. Namun demikian ia tidak mengklaim bahwa ilmu pengetahuan lebih unggul
dari agama (Gordon, 1993:20).

Pandangan ontologi-metafisika Galileo dapat digambarkan bahwa alam semesta


tidaklah harmoni, serasi, selaras, dan seimbang, melainkan terdiri dari unsur-unsur yang

16
beragam dan penuh kesemrawutan (chaos), bagaikan keberserakan dedaunan yang terjatuh
dari pepohonan di musim gugur. Kesemrawutan seperti ini merupakan koreksi total atas
peradaban manusia yang terjadi selama hampir 19 abad, tidak bergeming dari pengaruh
paradigma normativeteologik-kausatif Aristotelian. Galileo menetapkan paradigma yang
berbeda. Secara cerdas dan cermar Galileo menetapkan fenomena dan pengamatan empiris
sebagai titik tolak ilmu pengetahuan. Ia meralat teori Aristoteles yang mengajarkan bahwa
benda yang lebih berat, membutuhkan waktu jatuh yang lebih cepat dari pada benda yang
lebih ringan. Melalui eksperimen, Galileo berkesimpulan bahwa benda ringan dan benda
berat jatuh pada kecepatan yang sama kecuali sampai batas mereka berkurang
kecepatannya alibat pergeseran udara (Mudhofir,2001:187). Alam semesta itu pada
akhirnya merupakan himpunan fragmen-pada perkembangannya disebut variabel-yang
jumlahnya tak terhingga, yang secara interaktif berhubungan dalam suatu proses
kocokan yang berlangsung secara berterus tanpa mengenal titik henti, sampai kelak tiba
pada titik finalnya. Semesta adalah jaringan kausalitas, eksis di tengah alam indrawi yang
objekti, berada di luar rencana dan kehendak siapapun, yang karena itu tak sekali-kali
tunduk kepada imperativa alami yang berlaku universal (Gordon, 1993:24;
Wignjosoebroto, 2010).

Hakekat pengetahuan (episteme) Galilean berangkat dari premis dasar ontologik-


metafisika bahwa alam semesta dan isinya merupakan himpunan fragmen yang terdiri atas
variable-variabel yang jumlahmya tidak terhingga. Hubungan antar unsur dalam fragmen
itu selalu dapat disaksikan sebagai suatu yang faktual dan aktual. Hubungan antar variabel
berlangsung secara kausal-mekanistik. Setiap gejala dapat diidentifikasi yang karenannya
memiliki kecenderungan-kecenderungan (trend) dalam penggerakannya berupa; (a) Ilmu
pengetahuan (science) manusia berlangsung di ranah yang indrawi-penglihatan,
pendengaran, pencecapan, perasaan, perabaan, dan penciuman. Proses hubungan antar-
unsur selalu dapat disimak sebagai sesuatu yang faktual dan aktual. Hubungan antar-
variable itu berlangsung secara kausal-mekanistik di tengah alam objektif yang karena itu
tunduk kepada imperativa alami yang berlaku universal serta berada di luar rencana dan
kehendak siapapun, (b) Kecuali objektif, hubungan antar-fragmen itu berlangsung di ranah
yang indrawi, dan yang karena itu pula selalu dapat disimak sebagai sesuatu yang faktual
dan aktual, (c) Hubungan kausal antar vaiabel itu berlangsung secara mekanistik dan dapat
direproduksi, dan oleh sebab itu pula setiap kejadian atau terjadinya peristiwa selalu dapat
diprakirakan atau bahkan diramalkan. Penguasaan atas berbagai hubungan kausal antar-

17
faktor variabel ini dapat dilakukan untuk memproduksi hubungan-hubungan baru dalam
kombinasi antar-variabel yang akan menghasilkan fakta-fakta baru yang sebagian besar
tidak diprakirakan sebelumnya. Dari pengetahuan tentang dan penguasaan atas berbagai
kausa dan effek yang tak kunjung final inilah lahirnya ilmu pengetahuan (science=sains)
berikut berbagai metodenya untuk memanipulasi hubungan-hubungan sebab-akibat ke
arah ragam-ragamnya yang tak hanya bernilai ilmiah/saintifik tetapi juga teknologik. Pada
intinya, paradigma Galillean berpandangan bahwa hukum alam semesta sebagai
keteraturan hasil akhir proses yang acak sebab-akibat antar-faktor.

18
DAFTAR PUSTAKA

Adib, M. (2015). Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Pengetahuan (3rd ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

19

Anda mungkin juga menyukai