Anda di halaman 1dari 6

Suku Cia-Cia Ditinjau dari Perspektif Kebebasan dan Tanggung Jawab Etika.

I. Pendahuluan
Latar Belakang
Seiring dengan kemajuan zaman, kemerosotan budaya lokal yang termasuk di dalamnya juga
bahasa atau dikenal dengan bahasa daerah sangat rentan terjadi. Salah satu contoh budaya lokal yang
tidak mampu mempertahankan kebudayaannya terhadap pengaruh budaya modern, yaitu bahasa
daerah Suku Cia-Cia. Bahasa dari suku yang terletak di wilayah Kota Baubau, Sulawesi Tenggara,
tersebut diklaim terancam punah oleh beberapa pakar linguistik. Hal ini yang melatarbelakangi suku
Cia-Cia menjadi suku pertama di dunia yang secara resmi mengadopsi sistem penulisan aksara Korea
hanggul untuk mendokumentasikan bahasa mereka yang hanya merupakan bahasa lisan.
Selain itu, seperti yang kami kutip dari situs Old.unhas.ac.id (26 – 03 – 2015), Prof. Dr.
Lukman, M.S. yang merupakan Ketua Program Studi Linguistik Program S-3 Pascasarjana Unhas,
mengatakan bahwa salah satu faktor penyebab merosotnya penggunaan bahasa ibu (bahasa daerah)
adalah tidak adanya pentransmisian bahasa daerah itu dari generasi tua ke generasi muda. Hal ini
terjadi di kebanyakan orang/keluarga di Kota Makassar dan juga daerah-daerah lain di Indonesia.
Di dalam kebudayaan sekelompok manusia tertanam nilai-nilai etika, yang kaitannya sangat
mencerminkan nilai moral manusianya. Dalam hal ini, nilai-nilai etika atau moralitas sebagai
penentu keberlansungan suatu kebudayaan dalam menghadapi tantangan zaman modern. Mudji
Sutrisno & Hendar Putranto (2005:70) menyebutkan bahwa peradaban akan runtuh bila gagal
memunculkan kreativitas dalam menghadapi tantangan. Puncak keruntuhan akan terjadi bila ada
disintegrasi peradaban dimana kesatuan sosial pecah dan ketidakmampuan kebudayaan itu memberi
tanggapan kreatif pada tantangan zaman.
Dalam kondisi modern saat ini, pada umumnya kebudayaan lokal tidak dapat dipungkiri
apabila dikemudian hari akan terjadi kemerosotan. Mengingat masyarakat yang sebagai pelestari
kebudayaan juga kurang meresapi nilai-nilai moral yang telah sejak dulu terbangun dan tertanam
dalam kebudayaan lokal, yang juga sebagai indentitasnya. Atas dasar itulah dengan
mempertimbangkan hasil diskusi kelompok kami, maka diputuskan untuk memilih judul “Suku Cia-
Cia Ditinjau Dari Perspektif Kebebasan dan Tanggung Jawab Etika,” sebagai judul dari makalah
penelitian ini, sekaligus refleksi terhadap budaya lokal (Suku Cia-Cia) dan perkembangannya dengan
kehidupan bernegara di Indonesia saat ini.
- Kata Kunci -
Krisis – identitas, Etika , Suku Cia-cia, kebebasan dan tanggung jawab.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana bentuk tanggung jawab masyarakat suku Cia-Cia dalam mempertahankan dan
melestarikan nilai-nilai kebudayaannya jika ditinjau dari perspektif Etika?
2. Bagaimana wujud kebebasan masyarakat suku Cia-Cia dalam mempertahankan bahasa lokal
jika ditinjau dari perspektif Etika?

II. Pembahasan
Bentuk tanggung jawab masyarakat suku Cia-Cia
Suku Cia-cia merupakan suku minoritas yang tinggal di pulau Buton, Sulawesi Tenggara,
Indonesia. Suku ini memiliki populasi sekitar 80.000 jiwa. Sebagian besar warga Cia-cia
bepekerjaan sebagai petani jagung, padi dan singkong, sementara beberapa laki-laki menangkap ikan
dan membuat kapal. 95% penduduknya menganut agama Islam, tapi agama daerah sendiri juga
masih banyak berpengaruh dalam kehidupan mereka. Sekitar 60.000 orang penduduk tinggal di kota
Bau-Bau, yang merupakan kota terbesar dan pusat administrasi di pulau Buton. Mereka memiliki
bahasa asli Cia-Cia, namun terancam punah karena tidak memiliki sistem aksara sendiri. Upaya-
upaya untuk melestarikan bahasa ini dengan mengadopsi aksara asing, yang kemudian menjadika
suku cia-cia ramai diperbincangkan.
Sebelum beranjak ke pembahasan masalah lebih lanjut, patutlah dahulu diketahui apa yang
dimaksud dengan “tanggung jawab”. Dikutip dalam buku Drs. H. Burhanuddin Salam Etika Sosial
(1997: 28) bahwa, tanggung jawab itu diterjemahkan dengan kata“reponsilibity = having the
character of a free moral agent; capable of determining one’s own acts; capable of deterred by
consideration of sanction or consecuences.” Definisi tersebut memberikan pengertian bahwa
tanggung jawab lebih menitik beratkan pada:
a. Harus ada kesanggupan untuk menetapkan sikap terhadap sesuatu perbuatan.
b. Harus ada kesanggupan untuk memikul risiko dari sesuatu perbuatan.
Bentuk tanggunag jawab masyarakat Cia-cia berdasarkan pengertian diatas bisa dilihat dari
upaya pelestarian upacara adat suku tersebut. Hal ini dapat dibuktikan dengan upacara mataa dan
acara pikadawu yang masih secara rutin dilakukan. Upacara-upacara ini telah diadakan selama turun-
temurun beratus-ratus tahun silam, dan masih diadakan sampai sekarang.
Upacara pertama yaitu mataa, upacara ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur dalam rangka
sukses panen. Upacara ini biasanya dilakukan dua kali yaitu, pada saat musim angin barat dan musim
angin timur. Dalam upacara ini disajikan makanan dan minuman khas Suku Cia-cia. Sementara itu,
upacara Pikadawu merupakan tradisi tolak bala Suku Cia-cia. Tradisi ini dilakukan setiap pergantian
musim. Pikadawu bersifat sakral dan religius. Upacara ini bersifat terbatas dan cenderung tertutup.
Upacara ini dilakukan untuk tolak bala dari berbagai wabah penyakit. Menurut kepercayaan
masyarakat Suku Cia-cia wabah penyakit ini disebabkan oleh gangguan roh halus. Dengan
diadakanya upacara ini, masyarakat berharap kampung dapat dilingungi oleh Yang Maha Kuasa dari
roh jahat tersebut.
Selain upacara-upacara adat, masyarakat Suku Cia-cia pun mencoba untuk melestarikan
bahasanya. Bahasa ini rawan akan kepunahan. Karena jumlah penutur yang semakin sedikit. Disisi
lain bahasa ini tidak memiliki sistem aksara tersendiri. Sehingga pendokumentasian Bahasa Cia-cia
urung dilakukan. Sehingga kemudian masyarakat Suku Cia-cia berinisiatif mengadopsi aksara
hanggul (Korea) untuk diintegrasikan dalam penulisan Bahasa Cia-cia.
Berawal dari diselenggarakannya Simposium Internasional “Bahasa Bahasa Daerah” yang
berlokasi di Kota Bau-Bau pada saat itu, Simposium Pernaskahan Nusantara IX yang dihadiri oleh
para pakar linguistik, budayawan, sejarahwan baik lokal maupun internasional di Kota Baubau pada
tanggal 5 agustus 2005 yang kemudian disusul oleh kedatangan delegasi Korea yang dipimpin oleh
Dr. Lee salah seorang pakar linguistik dari Seoul National University yang menyatakan kehendaknya
untuk menawarkan kerjasama kebudayaan dalam bentuk penulisan salah satu bahasa di Kota Baubau
yang belum ada ejaannya. Dipilihnya bahasa Cia-cia oleh delegasi Korea yang menurut salah satu
pakar dari delegasi tersebut memiliki kesamaan fonetik dalam ilmu linguistik terhadap bahasa Korea.
Sehingga rangkaian peristiwa tersebut menjadi cikal bakal lahirnya kerjasama sister city Kota
Baubau dan Kota Seoul. Sampai tahap ini suku Cia-cia telah selaras dengan point pertama tanggung
jawab seperti diungkapkan diatas, yaitu kesanggupan menentukan sikap.
Lebih lanjut, terkait point kedua dari pengertian tanggunag jawab seperti disebutkan diatas
yaitu terkait adanya kesanggupan untuk memikul resiko hal ini dapat dilihat dari munculnya
dampak-dampak nyata dari keputusan menggunakan aksara hagul. Penggunaan aksara hagul
sekaligus Kerjasama sister city Kota Baubau-Seoul yang diteguhkan melalui kerjasama pendidikan
dan kebudayaan, pada dasarnya merupakan misi pelestarian Bahasa Cia-cia. Bagaikan bola salju
(snow ball theory) pengajaran hanggul di Suku Cia-cia membawa dampak yang sosiologis terhadap
perilaku anak-anak Suku Cia-Cia khusus di SMA Negeri 6 Baubau. Seperti yang diutarakan oleh
Syahrir Ramadhan, pengamat budaya Kota Baubau, seperti dikutip dari hasil skripsi Muhammad
Nurckhalik, menyatakan : “Catatan saya terkait kerjasama kebudayaan dan pengajaran Bahasa Korea
di SMAN 6 Baubau ternyata siswa-siswa yang belajar, tidak hanya belajar bahasa saja, tetapi pelan-
pelan belajar tentang kebudayaan orang Korea.” Hal ini berkaitan dengan intensitas kedatangan
orang Korea semakin tinggi. hal ini menyebabkan mereka langsung berinteraksi langsung dengan
orang Korea, melihat cara berpakaian orang Korea, dsb. Disisi lain mereka juga diajarkan seni
tradisional Korea dan seni bela diri yang mana hal ini merupakan hal-hal diluar kerjasama yang
pelan-pelan membentuk imajinasi mereka terhadap kebudayaan Korea.
Bila ditinjau dari segi kefilsafatan lebih mendalam, suatu tanggung jawab itu setidaknya
didukung oleh 3 unsur, yaitu: Kesadaran, Kecintaan/kesukaan, dan Keberanian. Kesadaran disini
dalam artian : tahu, kenal, mengerti dapat memperhatikan arti, guna sampai kepada soal akibat dari
suatu perbuatan atau pekerjaan yang dihadapi. Kemudian, kecintaan disini diartikan sebagai cinta
atau suka yang menimbulkan rasa kepatuhan kerelaan dan kesediaan berkorban. Terakhir, keberanian
dalam konteks ini diartikan sebagai berani berbuat, berani bertanggungjawab. Karena adanya
tanggunajawab itulah, maka seorang yang berani, juga memerlukan adanya pertimbangan-
pertimbangan, perhitungan dan kewaspadaan sebelum bertindak.
Jika ketiga unsur ini dikaitkan dengan proses asimilasi kebudayaan Korea yang terbilang
modern dengan kebudayaan orang Cia-cia, maka perlahan dapat nampak sedikit benturan-benturan.
Sebagai contoh, pada waktu diadakannya pesta adat Mataa di Sorawolio, dimana tiba-tiba beberapa
gadis-gadis Korea datang ke lokasi pesta adat itu dengan menggunakan celana pendek dan baju ketat.
Contoh kecil lagi, seperti yang diutarakan oleh pengalaman Syahrir Ramadhan dalam wawancara
ketika menghadiri pesta adat Mataa Suku Cia-cia. Hal yang paling menarik saat momen pesta adat
Mataa tersebut terlihat pada momen jamuan makan, dimana menurut aturan adat bahwa dalam
jamuan makan pesta adat tersebut seharusnya yang disuguhkan dengan menggunakan gelas adalah
kopi dan teh, akan tetapi pada saat itu pihak-pihak tertentu menggantikannya dengan minuman sprite
dan fanta. Pada tahap ini timbul kesadaran dari masyarakat cia-cia bahwa hal ini tidak sesuai dengan
nilai-nilai suku cia-cia yang selama ini junjung. Kecintaan suku cia-cia terhadap budayanya pada
akhirnya menimbulkan keberanian. Hal tersebut membuat penduduk lokal dan tokoh-tokoh kampung
menanggapi hal kejadian ini dengan reaktif. Penduduk lokal menegur secara halus orang Korea
tersebut. Proses inilah yang disebut benturan-benturan kebudayaan di atas.

Wujud kebebasan masyarakat suku Cia-Cia


Salah satu filsuf yang mendifinisikan kebebasan yaitu Immanuel Kant yang menguraikan
bahwa Kebebasan adalah pembebasan manusia dari ketidakdewasaan yang diciptakannya sendiri.
Ketidakdewasaan adalah ketidakmampuan manusia untuk memakai pengertiannya tanpa pengarahan
orang lain. Lagi dikatakan, diciptakan sendiri berarti bahwa ketidakmatangan ini tidak disebabkan
oleh kekurangan dalam akal budi, melainkan dalam kurangnya ketegasan dan keberanian untuk
memakainya tanpa pengarahan dari orang lain.
Sedangkan Soedjatmoko (1984: xiii) mengartikan bahwa kebebasan (freedom) yaitu
pembebasan dari rasa tak berdaya dan dari ketergantungan – dari rasa cemas, dari rasa keharusan
untuk mempertanyakan apakah tindakan-tindakan mereka diizinkan atau tidak diizinkan oleh
wewenang yang lebih tinggi ataupun oleh adat kebiasaan.
Masyarakat Cia-cia bebas menetukan masa depan dari bahasa mereka. Mereka telah memilih
cara yang baik bila dilihat dari upaya mereka untuk melestarikan bahasa adat mereka. Namun hal ini
mulai menjadi perdebatan ketika pilihan Suku Cia-cia jatuh pada penggunaan aksara hanggul.
Walaupun pada mulanya penggunaan aksara ini dinilai cocok. Namun aksara hanggul tidak semata-
mata datang berupa aksara saja. Aksara ini juga datang disertai dengan seperangkat budaya yang
menyertainya. Misalnya saja lagu-laguan, tari-tarian dst. Hal ini terbukti bahwa kebudayaan Korea
mulai diajarkan secara intens di beberapa sekolah di kawasan Bau-bau. Hal ini mirip seperti snow
ball theory. Dimana aksara hanggul hanyalah gerbang pembuka bagi masuknya budaya Korea secara
utuh.
Sesuai dengan perngetian yang dikemukakan diatas, disamping kebebasan masyarakat cia-cia
untuk mengambil keputusan harus juga dibarengi dengan tindakan yang tepat dalam kaitanya
pertimbangan akan wewenang yang labih tinggi ataupun oleh adat kebiasaan. Masyarakat Cia-cia
dan pemerintah Bau-bau harus mulai melakukan tindakan strategis menanggapi hal ini.

III. Penutup
Penerapan masuknya kebudayaan Korea melalui frame kerjasama sister city Kota Baubau-Seoul
diawali dengan misi penyelamatan bahasa suku Cia-Cia yang terletak diwilayah Kota Baubau yang
diklaim terancam punah oleh beberapa pakar linguistik. Hal ini menyebabkan suku Cia-Cia di Kota
Baubau merupakan suku pertama didunia yang secara resmi mengadopsi sistem penulisan Korea
hanggul untuk mendokumentasikan bahasa mereka yang hanya merupakan bahasa lisan. Hal tersebut
dianggap dan disambut baik oleh sebagian pihak yang menilai hadirnya Korea dikebudayaan mereka
dianggap mampu mengangkat kebudayaan mereka yang selama ini terabaikan dan jauh dari
pembangunan serta kurang mendapat perhatian dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.
Sehingga, antara suku Cia-Cia dan hanggul merupakan dua hal penting yang menjadi perekat
kerjasama Pemerintah Kota Baubau-Seoul. Namun, masalah mulai muncul ketika penerapan aksara
hagul berpotensi menjadi pintu gerbang bagi masuknya budaya. Penelitian mendalam dan serius
hendaknya dilakukan untuk mengkaji hal ini. Karena bila dibiarkan, bukan tidak mungkin ironi akan
terjadi. Suku Cia-cia akan kehilangan identitasnya justru ketika mereka sedang berusaha
mempertahankan sebagian dari identitasnya yaitu bahasa mereka.
IV. Daftar Pustaka

Djirimu, Muhammad Nurckhalik. 2013. Peluang dan Tantangan Kerjasama Sister City Kota
Baubau-seoul (skripsi). Makasar : Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Hasanuddin
Salam, Burhanudin, Drs. H.. 1997. Etika Sosial : Asal Moral dalam Kehidupan Manusia. Jakarta :
Rineka Cipta.
Soedjatmiko. 1984. Etika Pembebasan. Jakarta : Yayasan Obor.
http://www.jpnn.com/m/news.php?id=197069 (diakses pada 29/03/2015)
http://www.wisatamelayu.com/id/news/11816-Suku-Cia-cia-Gelar-Pesta-Adat-Mataa (diakses pada
29/03/2015)
http://amaholugeneration.blogspot.com/2012/11/pikadawu-tradisi-menangkal-penyakit_12.html
(diakses pada 29/03/2015)

Anda mungkin juga menyukai