Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

BUDAYA PELA-GANDONG DALAM KETERKAITANNYA DENGAN PANCASILA

DISUSUN OLEH

Niken Natalia Rianjelina Warkey

12162201200062

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA MALUKU

FAKULTAS EKONOMI

AKUNTANSI

2020
KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan Makalah tentang “Budaya Pela-Gandong dalam Keterkaitanya
dengan Pancasila” ini tepat pada waktunya.

Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas dari dosen pada mata kuliah
Pendidikan Pancasila guna dalam Penilaian Tengah Semester. Selain itu, makalah ini juga
bertujun untuk mengetahui, memahami dan menjelaskan bagaimana hubungan Pancasila
dengan Kearifan local di Maluku. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen
yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah wawasan dan pengetahuan sesuai
bidang studi yang ditekuni.

Penulis juga menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kata sempurna, karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari dosen, teman-teman maupun para pembaca lainnya guna
penyempurnaan makalah ini.

Ambon, 2020

Penulis
DAFTAR ISI

JUDUL………………………………………………………………………………………1

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………....2

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………...3

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………...4

A. Latar Belakang……………………………………………………………………...5
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………..6
C. Tujuan………………………………………………………………………………..7

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………….8

A. Hakikat Budaya Pela-Gandong……………………………………………………..9


B. Latar Belakang terjadinya Budaya Pela Gandong……………………………….10
C. Contoh dari hubungan Pela-Gandong……………………………………………..11
D. Keterkaitan budaya Pela-Gandong dengan Pancasila……………………………12

BAB III PENUTUP………………………………………………………………………….13

A. Kesimpulan…………………………………………………………………………..14
B. Saran……………………………………………………………………………….....15

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Nilai-nilai kebudayaan yang sudah ada sejak zaman dahulu telah mencerminkan
nilai-nilai Pancasila. Sebelum kita mengenal istilah Pancasila. Nilai-nilai tersebut sudah
diterapkan oleh nenek moyang kita, khususnya di Maluku. Suatu nilai luhur yang telah
berada di dalam kehidupan masyarakat Maluku adalah Pela-Gandong. Pela-Gandong
merupakan suatu sebutan yang di berikan kepada dua atau lebih negeri yang mengangkat
saudara satu sama lain. Pela-Gandong sendiri merupakan intisari dari kata “Pela” dan
“Gandong”. Pela adalah suatu ikatan persatuan sedangkan Gandong mempunyai arti
saudara. Jadi, pela-gandong merupakan suatu ikatan persatuan dengan saling mengangkat
saudara. Seperti yang kita ketahui sendiri baahwa pela-gandong atau budaya pemersatu
ini memiliki keterkitannnya dengan Pancasila atau ideologi bangsa kita ini. Pancasila
sendiri merupakan alat pemersatu bangsa di dalam negeri ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Hakikat budaya Pela-Gandong?
2. Apa yang melatarbelakangi terjadinya budaya Pela Gandong?
3. Bagaimana contoh dari hubungan pela-gandong tersebut?
4. Alasan apa yang membuat budaya Pela-Gandong memiliki keterkaitannya dengan
Pancasila dan bagaiamanakah hubungan keduanya?
C. Tujuan Penulisan
1. Dapat menjelaskan tentang Hakikat budaya Pela-Gandong.
2. Dapat mengetahui latar belakang terjadinya budaya Pela Gandong.
3. Dapat menguraikan contoh dari hubungan pela-Gandong tersebut.
4. Dapat menjelaskan keterkaitan budaya Pela-Gandon dengan Pancasila.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hakikat Budaya Pela Gandong


Pela Gandong merupakan suatu sebutan yang di berikan kepada dua atau lebih
negeri yang mengangkat saudara satu sama lain. Pela Gandong sendiri merupakan intisari
dari kata “Pela” dan “Gandong”. Pela adalah suatu ikatan persatuan sedangkan Gandong
mempunyai arti saudara. Jadi, pela-gandong merupakan suatu ikatan persatuan dengan
saling mengangkat saudara.
Secara filosofi, pela bukan sekedar berhubungan yang dimaknai sebagai ikatan
geneologis. Namun lebih dari pada itu merupakan ikatan sosial yang melintasi batas-batas
kesukuan maupun agama (Islam atau Kristen) dari tiap-tiap desa/negeri yang berPela.
Lokollo (1997:5) mengatakan Pela-gandong ialah perserikatan antara satu negeri di
pulau-pulau Ambon-Lease dengan satu atau beberapa negeri lain di Pulau Seram.
Perserikatan didasarkan pada hubungan persaudaraan sekandung sejati, dengan isi dan
atau perilaku perserikatan yang diatur dalam perjanjian baik lisan maupun tulisan, di
mana para pihak berjanji untuk tunduk kepada perjanjian dimaksud sebagai dasar hukum
bagi implementasinya dari waktu ke waktu. Pendapat Lokollo (1997:5) diperkuat oleh
Watloly, (2005:208), pela sesungguhnya mencirikan wacana kontekstual (local genius)
masyarakat Maluku yang memberi petunjuk tentang mesteri kehidupan manusia yang
hidup dan berkembang di Maluku yang bersifat antropormorphis dan sosia religius.
Bahkan daya eksis manusia Maluku merupakan bukti autentik bahwa imajinasi adat dan
religius yang berkembang mampu memproduksi serta menghadirkan identitas manusia
Maluku untuk memahami dan mentransformasi eksistensi sejarahnya yang khas melalui
budaya pela.

Ruhulessin, (2005:148) dalam disertasinya mengemukakan tiga macam pengertian pela yang
dipengaruhi oleh lingkungan kebahasaan.
Pertama, dalam lingkungan kebahasaan daerah Uli Hatuhaha di Pulau Haruku (Pelauw,
Kailolo, Kabaue, Rohomoni dan Hulaliu) kata pela berarti “sudah” ini terlihat pada
pengalimatan, “Ale Pamana Pela” yang artinya apakah kamu sudah makan.

Kedua, lingkungan kebahasaan Uli Solimata di Pulau Ambon (Tulehu, Tenggah-tenggah,


dan Tial), Pelaberarti “cukup”, contoh penggunaan bahasa terlihat dalam kalimat “Mahaya Taha
Pela” yang artinya makanan tidak cukup. Istilah Peia sama dengan istilah “pela nia” yang berarti
sampe jua atau berhentilah.

Ketiga dalam lingkungan bahasa mayarakat di Seram di aksarakan dengan kata “peia”
yang menujuk pada pengertian “saudara” yang ter-ambil dari tradisi kakehan. Tradisi kakehan
tidak menujuk pada hubungan yang berdasarkan faktor genelogis melainkan anggota suku.

Tetapi selain pengertian-pengertian di atas ada juga asumsi bahwa kata “pela” berasal dari kata
“Pila”, yang berarti “buatlah sesuatu untuk kita bersama-sama”. Kadang-kadang kata pila diberi
akhiran “tu” menjadi pilatu. Pilatu berarti menguatkan, mengamankan atau mengusahakan
sesuatu benda tidak mudah rusak atau pecah. Kemudian itu berubah artinya, yaitu dari sesuatu
usaha untuk mengamankan atau menyelamatkan, (Panitia Khusus Panas Pela, 1971:2).

Dalam implementasinya, hakikat Pela Gandong dapat terlihat dari lagu-lagu/kapata


daerah Maluku yang sering dinyayikan misalnya;

Judul Lagu: Gandong


Gandong, la mari gandong.
Mari jua ale o
Beta mau bilang ale Katong dua satu gandong
Hidup ade deng kaka
Sungguh manis lawang e
Ale rasa beta rasa
Katong dua satu gandong.
Reff.
Gandong e sio gandong e …
Mari beta gendong, beta gendong ale jua,
Katong dua cuma satu gandong e
Satu hati satu jantong e.

Selain nyayian, hakikat Pela juga dapat terlihat dari penggalan “Sumpah Pela” yang
dilaksanakan pada upacara adat “Panas Pela” antara Negeri Hunitetu dan Negeri Lohiatala di
pulau Seram.

Sumpa (baca=Sumpah):
“...Mata sakalale pelene kinu kwate kurule, pelekurule; saka
mimise, noa mimise, saka nunu rupu kena patu, patu rupu kena
nunuee, nunu pale tolase, tolase pali nunuee, hioooo…..!!
Artinya:
Kami sedang minum sumpah abadi, sumpah kekuatan;
perhatikanlah, ingatlah; kita harus bersatu sekuat pohon beringan dengan karang
terjal, sama seperti karang terjal ditumbuhi pohon beringin, seperti sebatang
pohon
(tolase) yang tumbuh bersama pohon beringan, hiooo………….!

Hakikat sumpah adat akan selalu mengikat masyarakat negeri-negeri yang berPela, serta menjadi
pedoman dalam membangun masyarakat yang lebih baik. Bakri, (2015:56) menjelaskan salah
satu isi “Sumpa Adat” antara Negeri Batu Merah [Agama Islam] dan Negeri Paso [Agama
Kristen] yang sampai dengan sekarang ini diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Adapun
berbunyi sumpah adat tersebut yakni:

“Demi Allah yang menguasai jagat raya ini, kami bersumpah mulai saat ini, kami
mengangkat orang-orang Batu Merah sebagai pela kakak kandong e dan berlanjut
sampai generasi penerus kami dan bila batu karang ini terbalik seperti semula,
maka barulah putus hubungan kami”.

Bapak Th. Frans [April, 2017] berpendapat bahwa: “Amat penting sumpah adat menurut
pandangan masyarakat Maluku karna merupakan suatu proses komunikasi/peristiwa sakral
antara anak cucu dengan datuk-datuk yang telah mematri hubungan itu, memiliki kekuatan sakal
magis dan mengandung nilai-nilai transedental. Nilai itu diyakini dan tidak pernah goyah dari
dulu sampai sekarang”.
Sementara Bapak Riko Rikumahu [Mei, 2017] menjelaskan bahwa: “Sumpah adat itu
dilakukan pertam kali saat belum ada agama resmi, karena itu disebut sumpah adat. Sumpah itu
dilakukan atas dasar Tuhan, yang dalam perspektif orang Maluku Tengah waktu itu disebut Upu
Lanite tidak bisa disebut sekarang seperti Yesus. jadi dalam upacara adat ada nama-nama atau
gelar-gelar yang dianggap tinggi dan dinggap setara Tuhan misalnya Upu Lanite, sebutan kepada
Tuhan sebenarnya dan alamat sumpah itu disampaikan, karena itu ia memiliki kekuatan
legitimasi religius sama dengan sumpah orang-orang Kristen saat ini, karena memiliki
pemaknaan yang sama bahwa bersumpah atas nama Tuhan, masyarakat dilarang untuk
melanggar”. Jadi semua orang yang terikat di dalam sumpah itu melakukan perjanjian untuk
tidak boleh saling melanggar. Pengingkaran terhadap sumpah dalam tradisi pela gandong
memiliki makna pengingkaran terhadap janji kepada Tuhan atau Upu Lanite.

Dalam perjanjian-perjanjian yang berkaitan dengan relasi antar manusia untuk hidup
bersama, juga ditemukan simbol atau tanda bagi orang untuk mengakat suatu perjanjian misalnya
darah, siri pinang, sopi. Simbol-simbol ini tidaklah penting, jika tidak ada satu “akta sumpah”
yang melegitimasi alat-alat itu. Di situ letak pentingnya sumpah adat di dalam negeri-negeri yang
membangun relasi pela. Rangkaian sumpah adat dan kapata merupakan simbol sejarah, dalam
membangun kesepakatan untuk hidup bersama yang didalamnya terkandung nilai-nilai luhur dan
riskan apabila dilanggar karena memiliki nilai ritual dan telah berlangsung turun temurun

(Thomas, 2010: 172). Nilai-nilai luhur yang diwariskan lewat adat budaya warga
masyarakat dilestarikan untuk menjalin persatuan dan kesatuan bangsa, terbangunnya hubungan
keseimbangan antarumat beragama. Makna dibalik sumpa adat dan kapata atau nyayian daerah
Maluku, secara gambalang mengisyaratkan makna persaudaraan sejati (ale rasa beta rasa)yang
harus tetap terpelihara walaupun badai dan gelombang terus menerpa kehidupan sosial budaya
masyarakat Maluku sebagai dampak dari perkembangan globalisasi dunia.

B. Latar Belakang Terjadinya Pela Gandong


Ada beberapa alasan terjadinya hubungan pela sebagai sebuah tradisi
sebagaimana disebutkan oleh para ahli (Uneputy, 1996; Bartels, 1977 dalam Ralahallo
2012; Sahusilawane, 2004), antara lain:
pertama, hubungan pela sebagai balas jasa dari negeri yang satu kepada negeri
yang lain yang pernah membantunya pada saat ada peperangan ataupun bencana alam.
Kedua, hubungan pela sebab ada hubungan persaudaraan antara negeri yang
bersangkutan menurut cerita dari datuk‐datuk mereka, bahwa mereka adalah saudara
kandung.
Ketiga, hubungan pela sebab terjadinya hal-hal yang luar biasa. Adapun kekuatan
mengikat perjanjian pela (Hukum Pela). Didasarkan pada asas “sei hale hatu, hatu hale
sei”. Dapat diterjemahkan “sapa bale batu, batu bale dia” yang bermakna “apa yang tua‐
tua bikin, harus dipelihara”.
Ada empat hal pokok yang mendasari pela gandong yaitu: negeri-negeri yang
berpela berkewajiban untuk saling membantu pada kejadian genting (perang, bencana
alam). Apabila diminta, maka negeri yang satu wajib memberikan bantuan kepada negeri
lain, misalnya hendak melaksanakan proyek kepentingan umum seperti pembangunan
sekolah, masjid, atau gereja. Apabila seseorang sedang mengunjungi negeri yang berpela
itu, maka orang-orang di negeri itu wajib untuk memberi makanan kepadanya dan tamu
yang sepela itu tidak perlu meminta izin untuk membawa pulang hasil bumi atau buah-
buahan yang menjadi kesukaannya, karena penduduk negeri-negeri yang berhubungan
pela itu dianggap sedarah, maka dua orang yang sepela tersebut dilarang untuk menikah.
Bagi orang-orang yang melanggar segala ketentuan tersebut, konon katanya akan
mendapatkan hukuman dari nenek moyang yang mengikrarkan pela.

C. Contoh Hubungan Pela Gandong


Menurut Bapak Sem Touwe [April, 2017] menjelaskan bahwa: “Pela adalah
hubungan antara satu atau dua atau tiga negeri di Maluku yang terjadi karena ada
peristiwa sejarah yang dialami oleh masyarakat negeri itu, atau pela itu sumpah dan janji
atau ikatan perjanjian antar negeri-negeri. Pela terbagi atas tiga yakni:

a) Pela Darah, pela ini terjadi karena adanya peperangan,


b) Pela Tampa Sirih, terjadi karena sebuah peristiwa sejarah yang pernah
dialami misalnya pela antara orang Batu Merah dan Orang Paso,
c) Pela Gandong, hubungan antara negeri satu dengan negeri yang lain
karena ada hubungan geneologi atau pertalian darah”.
Pendapat di atas, sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Pattikayhatu, (2005:2-3) pada
dasarnya, ada tiga jenis pela, yaitu:

1) Pela keras (baca; karas), bermula karena adanya peristiwa besar tertentu,
biasanya berkaitan dengan perang, seperti pertumpahan darah,
pertempuran yang tidak berakhir, atau bantuan luar biasa yang diberikan
oleh satu desa kepada desa lain.
2) Pela gandong atau bungsu (baca; bongso), Pela Gandong, didasarkan pada
ikatan keturunan keluarga; yaitu, satu atau beberapa suku/marga di desa-
desa yang berbeda mengklaim memiliki leluhur yang sama.
3) Pela tempat (baca; tampa) sirih, Pela tampa sirih dihasilkan setelah
peristiwa kecil, seperti untuk memulihkan kedamaian, setelah ada
pertikaian kecil atau setelah satu negeri memberi bantuan kepada negeri
lain.

Dalam hubungan pela gandong tersebut terdapat perjanjian antara dua negeri yaitu:

i. Orang Passo dan orang Batu Merah tidak boleh baku kawin.
ii. Orang Passo dan orang Batu Merah tidak boleh baku musuh.
iii. Orang Passo dan Orang Batu Merah harus saling Tolong menolong satu sama lain.

Pentingnya sumpah adat bagi negeri-negeri berPela, mengisyaratkan bahwa masyarakat mampu
membangun kehidupan yang diselaraskan dengan nilai budaya dan aturan hukum yang berlaku
dalam negara.

Yang sangat menarik dari Pela ini ialah kenyataan bahwa di Maluku hubungn pela ini bukan
sajaa terjadi antara negeri yang menganut agama yang sama, tetapi terjadi juga diantara negeri
yang berlainan agama. Misalnya hubungan Pela antara negeri:

 TITAWAI (Kristen) di Nusalaut dengan PELAU (Islam) di Pulau Haruku.


 TUHAHA (Kristen) di Saparua dengan ROHOMONI (Islam) di Pulau Haruku.
 HUTUMURY (Kristen) di Jazirah Leitimur dengan TAMILOUW di Seram Selatan

D. Keterkaitan Antara Budaya Pela Gandong dengan Pancasila


Pela dan Gandong telah menjadi pranata sosial yang berkembang sebagai suatu
perekat hubungan sosial di antara satu negeri dengan negeri lainnya baik yang beragama
islam maupun beragama Kristen. Oleh karena itu Pela dan Gandong sangaat berfungsi
dalam mengatur sis tem interaksi sosial masyarakat adat yang melampaui berbagai
bidang. Kecerdasan leluhur Maluku dalam membangun persaudaraan atas namaa
perbedaan begitu kuat hingg di Maluku menempatkan konsep persaudaraaan atas nama
toleransi menjadikan Maluku sebagai miniature keberagaman Indonesia.
Refleksi nilai budaya pela dan gandong telah membentuk budaya rukun yang
berasaskan kekerabatan adi-kaka, bongso, dengan berpegangan pada sumpah tete nene
moyang. Pela telah menjadi ikon perdamaian dengan memposisikan Maluku sebagai
model laboratorium perdamaian di Indoensia. Nilai-nilai tersebut tentu di munculkan
antara lain:
 Adanya semangat Tolong-Menolong yang sangat Kuat.
Apabila ada suatu pekerjaan pada suatu negeri yang terikat hubungan pela
misalnya pekerjaaan memperbaiki atau membangun masjid dan gereja atau baileu
rumah adat, wajib hukumnya untuk memberitahu negeri kerabatnya dan negeri
kerabat yang mengetahui harus membantunya. Hal ini menandakan adanya rasa
kepemilikan.
 Adanya Hak Istimewa.
Dalam hubungan kekerabatan dengan negeri yang berpela memiliki hak
istimewa artinya memiliki hak prioritas dalam aspek apapun dan hal ini telah
menjadi bagian dari keseharian masyarakat di Maluku.
 Adanya Kerukunan Beragama.
Dalam berbagai aktivitas komunal yang membutuhkan pengerahan tenaga dari
satu negeri yang berkerabat pela untuk kegiatan pembangunan masjid maupun
gereja bahkan tidak segan-segan seluruh ramuan bangunan di tanggung oleh
negeri yang berpela tersebut. Ketika Indonesia membicarakan toleransi umat
beragama, di Maluku sudah mempraktekannya. Budaya pela mengisyaratkan
adanya saling percaya sebagai bangunan sosial orang basudara salam-sarane di
Maluku.
 Solidaritas Tanpa Pamrih.
Nilai ini terbangun dalam saling membantu satu sama lain tanpa pamrih.
Solidaritas ini di bangun atas dasar keyakinan adanya orang basudara.
 Hormat Kepada Semua Kehidupan.
Semua masyarakat harus hormat kepada kehidupan, karena itu tidak boleh ada
diskriminasi, kebencian, fitnah dan marginalisasi suatu kelompok. Karena adanya
bertentangan dengan nilai budaya pela dan gandong di Maluku.
 Dialog Orang Basudara.
Dialog dalam pela dan gandong di lakukan secara elegan tanpa ada penghalang.
Dalam dialog itu, seorang bersedia di tegur, tanpa harus menjawab dengan kasar.
Siap dimarahi, tanpa harus dendam. Dialog seperti ini dilakukan tanpa harus takut
dan curiga. Suasana dialog yang terbuka karena adanya nilai orang basudara itu
sendiri. (Oleh: Mezak Wakim, S.Pd)

Kearifan budaya lokal dapat dikemas, dipelihara dan dilaksanakan dengan baik. Bisa
berfungsi sebagai alternative pedoman hidup manusia. Mengapa nilai-nilai ini begitu penting,
karena nilai-nilai kearifan budaya lokal ini dapat digunakan sebagai filter dalam menyaring nilai
baru atau asing, serta resolusi konflik, dan juga pembangunan masyarakat Maluku pada masa
yang akan datang. Nilai-nilai ini tidak bertentangan dengan kepribadian bangsa Maluku, maka
melalui kearifan budaya lokal dapat kita jaga keharmonisan hubungan manusia dengan Sang
Khalik, alam dan sesama manusia. Selain itu kearifan budaya lokal juga dapat menjadi benteng
kokoh menanggapi modernitas dengan tidak kehilangan nilai-nilai lokal yang telah mengakar
dalam komunitas masyarakat Maluku.

Dari semua yang dipaparkan, budaya pela gandong memiliki keterkaitaan yang erat dengan
Pancasila. Budaya pela gandong ini sudah mencakup semua nilai-nilai Pancasila.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Eksistensi pela gandong sebagai salah satu keunggulan budaya bangsa penting
diwariskan kepada generasi Maluku sehingga tujuan bangsa dalam mewujudkan civic
culture/budaya kewarganegaraan dapat direalisasikan dengan baik, dan yang pada
gilirannya dapat membantu masyarakat untuk dapat membangun kehidupan yang lebih
baik dalam irama “hidup orang basudara”. Hidup orang basudara dalam konsep pela
gandong sesungguhnya mengisyaratkan akan hidup saling cinta, menghargai,
menghormati, menjaga tanpa membedakan suku, agama, ras, budaya, status sosial, status
ekonomi di dalam masyarakat nilai-nilai tersebut sangant ert kaitannya dengan nilai-nilai
Pancasila. Hal ini telah berdampak pada berkembangnya bangunan harmonisasi
masyarakat Maluku yang berbasis pada nilai-nilai budaya pela gandong. Karena itu, nilai-
nilai pela gandong/civic culture menjadi mutlak diinternalisasikan melalui pendidikan
sebagai lembaga pewarisan nilai-nilai budaya bangsa. Pewarisan nilai budaya bangsa
melalui pendidikan dapat diwujudkan melalui implementasi pembelajaran yang berbasis
pada nilai-nilai budaya yang berkembang dalam masyarakat. Karena itu, penting bagi
setiap guru baik guru mata pelajaran matematika, IPA, IPS, Bahasa Indoensia, PPKn
memahami dengan baik nilai budaya yang berkembang dalam masyarakat dan
mengintegrasikannya dalam setiap rigid pembelajaran di kelas.

B. Saran
Demikian Makalah ini dibuat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Apabila ada saran
dan kritik yang ingin disampaikan, silahkan sampaikan kepada penulis. Apabila ada
terdapat kesalahan mohon dapat dimaafkaan dan memakluminya, karena penulis adalah
manusia yang biasa yang tak luput dari salah.

DAFTAR PUSTAKA
https://www.kompasiana.com/ivan79/budaya-pela-gandong-sebagai-bingkai
pemersatu_56837bad917a619007ae5960
https://www.kompasiana.com/lettyrettob/bhineka-tunggal-ika-dalam-pela-gandong-
maluku_5940aa4cd466c103f5137cf2
http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/SOSIO-FITK/article/download/10554/pd
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbmaluku/pela-dan-gandong-memetik-makna-di-
balik-dialog-budaya-daerah-maluku-2017/
https://www.kompasiana.com/ammpersiang/merawat-nilainilai-hidup-orang-basudara-di-
maluku-dari-bangku-sekolah_591f1e3b7497735550e171a8

Anda mungkin juga menyukai