Anda di halaman 1dari 10

ANALISIS PENGARUH KESULTANAN TIDORE TERHADAP

KERUKUNAN UMAT BERAGAMA PADA MASYARAKAT


KAMPUNG MARIBU (PERSPEKTIIF PENDETA AKAWILA
BEMEY PIMPINAN JEMAAT GKI BETHESDA MARIBU)
Sofyan1, Satrama Royal Hadinata2 Arie Rissing Nathalia 3
Abstrak
Tulisan ini menjelaskan potret moderasi beragama di kampung Maribu. Adapun yang
menjadi isu dan fokus pendampingan dalam tulisan ini ialah terdapat oknum profokator
terhadap orang muslim, yang mana bertempat tinggal dekat dengan masjid dan terganggu
dengan segala aktifitas muslim, peristiwa ini berlangsung selama 2 tahun. Sehingga, tujuan
pengabdian ini tidak lain adalah untuk meneguhkan nilai nilai moderasi beragama pada
kmpung maribu yang kental dengan myoritas kristen dengan budaya sukunya. Dalam
menyusun penelitian ini, penulis mengunakan metode ABCD (Asset Based Community
Development). Keberukunan agama sendiri disinyalir sebab adanya pengaruh atas
Kesultanan Tidore yang merupakan seorang muslim, itu mengapa umat islam disana dapat
diterima dengan baik serta mampu hidup berdampingan dengan agama lainnya. Islam
sebagai masyarakat minoritas dirangkul, sedangkan Kristen sebagai agama mayoritas tidak
mempermasalahkan soal agama. Hasil penelitian ini ditinjau melalui perspektif Akawila
Bemey selaku Pimpinan Jemaat GKI Bethesda Maribu dan Forum Kerukunan Umat
Beragama di jayapura. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa konsep moderasi beragana
tidaklah mengenal perbedaan, moderasi berarti menghormati, menghargai dan tidak saling
mengganggu kegiatan peribadatan agama lain. Moderasi menurut pendeta disana telah
diamalkan sejak dahulu, bagaikan pelangi yang menggambarkan bahwa perbedaan itu
kehendak Tuhan sebagaimana termaktub dalam salah satu ayat Injil untuk saling mengasihi.
Kendati demikian, Islam tidak terlalu mengalami penyiaran dengan masif.
Kata Kunci : Kesultanan, Kerukunan, Pendeta.
Abstract
This paper describes the portrait of religious moderation in Maribu village. The issue and
focus of assistance in this paper is that there are provocateurs against Muslims, who live close
to the mosque and are disturbed by all Muslim activities, this incident lasted for 2 years. Thus,
the purpose of this service is none other than to affirm the values of religious moderation in
the Maribu Village, which is thick with the Christian majority and its tribal culture. In
compiling this research, the author uses the ABCD (Asset Based Community Development)
method. Religious harmony itself is allegedly due to the influence of the Tidore Sultanate
which is a Muslim, that's why Muslims there can be well received and are able to live side by
side with other religions. Islam as a minority community is embraced, while Christianity as
the majority religion does not have a problem with religion. The results of this study were
reviewed from the perspective of Akawila Bemey as the Leader of the GKI Bethesda Maribu
Congregation and the forum for religious harmony in Jayapura. The results of this study
indicate that the concept of moderation of religion does not recognize differences, moderation
means respecting, respecting and not interfering with the worship activities of other religions.
Moderation according to the pastor there has been practiced since ancient times, like a

1
rainbow that depicts the differences that are God's will as stated in one of the Bible verses to
love one another. Nevertheless, Islam has not experienced massive broadcasting.
Keywords: Sultanate, Harmony, Pastor.

PENDAHULUAN
Transmigran pertama memasuki kampung Maribu pada tahun 1922, kampung
disana mayoritas memeluk agama kristen protestan sebanyak 250 KK sementara
agama muslim begitu minoritas kisaran 20 KK. Disana dapat kita jumpai beberapa
tempat peribadatan ssetiap agama yakni misalnya seperti Masjid Al-Muhajirin di
Dukuh Panjangrejo, Gereja Bethel di Panjangrejo, GKI Bethesda di Maribu
Kampung, dan GKI Masa Mariba di Maribu Tua. Jarak tempuh menuju kampung
Maribu harus melalui akses jalan yang rusak dan cukup jauh dari Kota Sentani.
Kampung Maribu sendiri terbagi menjadi 5 RW 3 Dukuh (Panjangrejo, Maribu
Kampung, dan Maribu Tua). Hampir sebagian besar dari penduduk disana berprofesi
sebagai petani di hutan, dan kuli bangunan.
Berangkat dari kondisi kehidupan yang tergambar disana, penulis menaruh
perhatian terhadap isu tidak terpotret nya kerukunan di Kampung ini, sehingga
menjadi masyarakat Kampung lain mengira bahwa di sini umat Muslim di musuhi
atau di usik kehidupannya. Penelitian terkait moderasi beragama tentu telah banyak
dilakukan oleh para peneliti terdahulu di berbafai daerah dengan cakupan isu yang
beragam. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Muhajir Al Fairusy 1, Haidlor Ali
Ahmad2, Hanna Dewi Aritonang 3, Arskal Salim4, Muhammad Nur5, serta masih
banyak lagi.
Fokus penelitian ini adalah pada pembangunan non-fisik (peneguhan nilai-
nilai moderasi beragama dan fisik (tugu moderasi beragama). Peneliti berupaya
memberikan pemahaman kepada 6 kepala adat (ondoafi) tentang pentingnya hidup
damai berdampingan dan rukun sesama manusia dan umat beragama. Disamping itu,
dilakukan pula pembangunan Tugu Moderasi Beragama sebagai simbol dan
kebanggaan warga Kampung Maribu yang sangat menghormati dan melindungi
ibadah umat muslim yang notabennya adalah kaum minoritas, serta sebagai bukti
nyata bahwa masyarakat Kampung Maribu lebih dahulu mengamalkan moderasi

1
Muhajir Al Fairusy, “Menjadi Singkel Menjadi Aceh, Menjadi Aceh Menjadi Islam’
(Membaca Identitas Masyarakat Majemuk Dan Refleksi Konfilk Agama Di Wlayah Perbatasan-Aceh
Singkel),” Jurnal Sosiologi USK 9, No. 1, 2016, hlm. 17–33.
2
Haidlor Ali Ahmad, “Resolusi Konflik Keagamaan Di Aceh Singkil Dalam Perspektif
Budaya Dominan” Harmoni 15, No. 3, 2016.
3
Hanna Dewi Aritonang “Kehadiran Allah Di Tengah Penderitaan Aceh Singkil” GEMA
TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian, Vol. 6, No. 1, 2021, hlm. 35–50.
4
Arskal Salim, “Shara and the Politics of the Dominat Culture in Aceh-North Sumatera
Boreder”, ICRS UGM, 2018.
5
Muhammad Nur, “Kearifan Lokal Sintuwu Maroso Sebagai Simbol Moderasi Beragama”,
Pusaka, Vol. 8, No. 2, 2020, hlm. 241–252.

2
beragama. Sehingga, tercapailah tujuan penelitian ini untuk memberikan semangat
religiusitas masyarakat.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini meggumakan metode ABCD (Asset Based Community
Development). Tahapan kegiatan riset ini diawali dengan observasi yakni wawancara,
diskusi serta berdialog selama kurang lebih 1 Minggu bersama masyarakat
lingkungan setempat. Mengumpulkan masyarakat dan mengajak berdiskusi untuk
perumusan program kerja KKN. Selanjutnya, melakukan kerja sama dengan Ondoafi
di Maribu, Pemerintah Kampung, Organisasi Pemuda Gereja dan Karangtaruna.
Memohon restu dan melibatkan Ondoafi untuk mensosialisasikan maupun
mendukung program kerja kepada masyarakat untuk mewujudkan perubahan yang
bermanfaat.
Adapun tempat kegiatan yang peneliti pilih untuk melakukan pengamatan
diantaranya seperti balai kampung, rumah baca masyarakat, GKI Bethesda Maribu.
Masjid Al-Muhajirin, hakaman rumah Ondoafi bapak Welem. Kegiatan KKN
berlangsung selama 35 hari dengan berbagai aktivitas yang mampu menunjang
percepatan kemajuan Kampung Maribu dan Meneguhkan Moderasi Beragama.

HASIL PENELITIAN
Dalam menjalankan penelitian, penulis tentu mengamalami berbagai
dinamika ketika proses pengambilan data. Beberapa dinamika proses yang penulis
alami ialah seperti pertama, sulitnya membangun komunikasi dengan pengurus
Masjid, sebab keseharian mereka menjalankan pekerjaan di kebun berangkat pagi
pulang petang. Kedua, terdapat 2 siswa Muslim yang bersekolah di SD YPK
Bethesda Maribu dimana mereka mengikuti pelajaran agama Kristen. Ketiga, masih
dijumpai masyarakat bersikap acuh ataupun kurang peka terhadap program kerja
yang peneliti ajukan. Keempat, tidak terfokusksnnya pembangunan, sebab pemasukan
dana désa dihabiskan untuk pembagian rata. Kelima, semangat gotong royong yang
semakin meluntur.
Berdasarkan dinamika proses yang terjadi, melalui berbagai kegiatan peneliti
bersama mahasiswa KKN-Nusantara lainnya berusaha memberikan pemahaman
pentingnya moderasi beragama, semangat gotong royong, serta menjaga keutuhan
potensi desa. Kegiatan-kegiatan tersebut berupa, pendampingan UMKM,
menghidupkan kembali taman baca, sosialisasi moderasi beragama, kerjabakti di
Gereja setiap hari sabtu dan di Masjid setiap hari Jumat, pembuatan Tugu Moderasi
Beragama yang melibatkan masyarakat sekitar.
Upaya yang dilakukan oleh peneliti telah menghasilkan suatu perubahan baru
yang bersifat positif, yakni ditandai oleh lahirnya kembali semangat gotong royong
serta sokap saling membantu dalam ranah kepentingan umum. Masyarakat menjadi
lebih saling akrab dan menghormati perbedaan. Tidak kalah pentingnya, Ondoafi

3
mampu mempengaruhi masyarakat menjadi lebih displin, cerdas, kritis terhadap
pemembangunan desa.

PEMBAHASAN
A. Profil Kampung Maribu
Desa Maribu terletak di bagian barat Kabupaten Jayapura, dengan ketinggian
120 MDPL. Desa ini dibagi menjadi tiga kampung yaitu Panjang Rejo, Maribu
Kampung dan Maribu Tua. Jumlah penduduk di Kampung Maribu Tua lebih sedikit
dibandingkan kedua kampung yang lainnya.6 Kampung Maribu terdiri dari 5 RW, 10
RT. Yang terbentuk dari serangkaian dan peristiwa-peristiwa masa lalu seperti
tercatat dalam dokumen kampung maupun berdasarkan informasi atau catatan dari
sejumlah tokoh masyarakat setempat.7
Tabel. Data Tokoh dan Pejabat Maribu
1. Kepala Kampung Maribu Bapak Simon Nyaro, S.H.
2. Kepala Suku (Ondoafi) Daud Nasendi
3. Kepala Suku (Ondoafi) Yotam Yarusabra
4. Kepala Suku (Ondoafi) Welen Yabransabra
5. Kepala Suku (Ondoafi) Yotam Yarusalora
6. Kepala Suku (Ondoafi) Zakarias Bonyadone
7. Kepala Suku (Ondoafi) Elyakim Andatu
8. Bapak Yosias Nasendi
9. Ketua Bamuskam
10. Ibu Oktovina Yabansabra (Tokoh Perempuan)
11. Tokoh Karang Taruna
12. Saudara Evander Tonggroi Tou (Tokoh Pemuda Gereja)

6
Euniche Ramandey, “Survei Awal Keragaman Kumbang di Desa Maribu, Kabupaten
Jayapura”, 2019, http://www.sugapa.org/wp-content/uploads/2019/03/Start-Survey-about-diversity-
of-beetles-at-Desa-Maribu-Kabupaten-Jayapura-Euniche-Ika-Ramanday-SUGAPA-12-II-2006.pdf
diakses pada 8 Agustus 2022.
7
Maribu, “Sejarah singkat Kampung Maribu”, dikutip pada
https://maribu.kampungjayapurakab.id/2020/03/10/sejarah-singkat-kampung-maribu/, pada 10 Agustus
2022.
4
Tabel. Data Ketua RW Maribu
Ketua RT 1 RW 1
1. Ketua RW 1
Ketua RT 2 RW 1
Ketua RT 1 RW 2
2. Ketua RW 2
Ketua RT 2 RW 2
Ketua RT 1 RW 3
3. Ketua RW 3
Ketua RT 2 RW 3
Ketua RT 1 RW 4
4. Ketua RW 4
Ketua RT 2 RW 4
Ketua RT 1 RW 5
5. Ketua RW 5
Ketua RT 2 RW 5

B. Pengaruh Kesultanan Tidore


Sejak abad abad 16-17 M, kesultanan Tidore terus berkembang hingga masa
dominasi kolonial di abad 18-19 M. Tidore sendiri merupakan satu pilar dari empat
pilar peradaban dan kekuasaan Islam di Kepulauan Maluku. Bersama Ternate, Tidore
menjadi dua pilar yang paling berkembang. Perluasan kekuasaan keduanya meluas ke
wilayah lain sebagai daerah ekspans. Tidore telah disebutkan sebagai wilayah yang
besar, dengan 2000 penduduk dan 200 diantaranya sudah menganut Islam pada masa
Raja Almancor. Dalam catatan sejarah dikatakan pula bahwa pada abad 16-17, Tidore
bahkan sudah meluaskan pengaruhnya hingga ke wilayah Papua. Peluasan tersebut
diperantarai oleh bahasa Melayu. Ternate maupun Tidore memiliki posisi penting
dalam bidang politik, ekonomi, perluasan jaringan niaga, militer, budaya, hingga
konteks penyebaran pengaruh agama. Dengan demikian, mengenai Tidore ini, tidak
hanya persoalan sebatas sebuah wilayah budaya saja, dan bukan pula hanya tentang
pusat pemerintahan Kesultanan Tidore melainkan juga mencakup wilayah lain di luar
Pulau Tidore, yang menjadi bagian dari wilayah pengaruh pusat kekuasaan
Kesultanan Tidore 8
Sebagai bukti nyata bahwa papua turut menjadi tempat persebaran Islam yang
hingga kini terlihat aman damai adalah melalui data jumlah Muslim yang signifikan.
Pada tahun 2006 penduduk Papua yang beragama Islam mencapai hingga 41,27%.
Misalnya Manokwari, umat Islam disana mencapai angka 30,7%. Di Kabupaten
Keerom umat Islam bahkan menjadi agama mayoritas melampaui kaum Protestan
maupun Katolik. Kabupaten Fakfak, umat Islam merupakan 60,63% dari total
penduduk. Kendati demikian, Muslim Fakfak tak lantas menyematkan label
8
Wuri Handoko, Syahruddin Mansyur, “Kesultanan Tidore : Bukti Arkeologi Sebagai Pusat
Kekuasan Islam Dan Pengaruhnya Di WilayahPeriferi”, Berkala Arkeologi, Vol.38, No.1, 2018, hlm.
18-19.
5
wilayahnya dengan “Kota Qur'an” seskalipun sejarah Islam di tanah ini (dan wilayah
wilayah lain di propinsi Papua Barat) jauh lebih tua dibandingkan sejarah eksistensi
Kristen. Sehingga apabila melihat realitas yang ada, nampaknya sulit melabeli Papua
identik dengan agama Kristennya saja.9
C. Makna Moderasi Beragama
Moderasi (wathasiyyah) menurut M. Quraish Shihab, tidak hanya sekadar
urusan atau kepentingan per-individu, melainkan urusan dan kepentingan setiap
kelompok, masyarakat, serta negara. 10 Terkait moderasi, M. Quraish Shihab
menafsirkan Qs. Al-Baqarah ayat 143 dalam kitab tafsirnya Al-Misbah.
َْ َ َ ََ ً ْ َ ْ ُ ََْ ُ ْ ُ َ َ ُْ َ َ َ َ َ َ َ َ ُ ْ ُ ْ ُ َ ً َ َ ً َُ ْ ُ ٰ ْ َ َ َ ٰ َ َ
‫اس ويكون الرسول عليكم ش ِهيداۗ وما جعلنا‬ ِ ‫وكذ ِلك جعلنكم امة وسطا ِلتكونوا شهداۤء على الن‬
َ ً َ َ ْ َ َ ْ ََْ ْ َ َ ْ َ ُ ََ َ َْ َ ََ َ ْ ُ َ ََ ْ
َ َ ٰ َ
‫ال ِق ْبلة ال ِت ْي كنت عل ْي َهآ ِالا ِلنعل َم َم ْن يت ِبع الر ُسول ِممن ينق ِل ُب على ع ِقب ْي ِهۗ َواِ ن كانت لك ِب ْي َرة ِالا‬
َ َ َٰ َ ْ ُ َ َ ْ َْ ُ ُٰ َ َ ََ ُٰ َ َ
ٌ‫الناس ل َر ُء ْو ٌف َرح ْيم‬ َ َ َْ َ
ِ ِ ‫على ال ِذين هدى اللهۗوما كان الله ِلي ِضيع ِايمانكمۗ ِان الله ِب‬
“Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan4 agar
kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad)
menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menetapkan kiblat (Baitulmaqdis)
yang (dahulu) kamu berkiblat kepadanya, kecuali agar Kami mengetahui (dalam
kenyataan) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang.
Sesungguhnya (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah
diberi petunjuk oleh Allah. Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya
Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia”.
Umat Islam dijadikan umat pertengahan (moderat) dan teladan, sehingga
dengan demikian keberadaan umat Islam adalah dalam posisi pertengahan. Posisi
pertengahan menjadikan manusia tidak memihak ke kiri dan ke kanan dan dapat
dilihat oleh siapapun dalam penjuru yang berbeda, hal ini mengantarkan manusia
berlaku adil dan dapat menjadi teladan bagi semua pihak.11
Dalam konteks Indonesia yang plural, “moderasi beragama” bukan hanya
dialamatkan pada Islam, melainkan seluruh agama yang ada. Moderasi beragama
sesungguhnya adalah esensi agama itu sendiri dan pengamalannya menjadi
keniscayaan dalam konteks masyarakat yang plural dan multikultur seperti Indonesia.
Moderasi beragama berorientasi menciptakan kerukunan intra ataupun antarumat
beragama. Oleh karenanya, dalam mengimplementasikan makna moderasi beragama

Dhurorudin Mashad, “Muslim Papua: Membangung Harmoni Berdasar Sejarah Agama di


9

Bumi Cendrawasih, (Pustaka Al-Kautsar, 2020), hlm. 19-20.


10
M Quraish Shihab, “Wasathiyyah Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama”, (Lentera
Hati: Tangerang, 2019).
11
M. Quraish Shihab, “Tafsir Al-Misbah”, (Tangerang: Lentera Hati, 2000), Vol. I, hlm. 325.
6
setiap individu haruslah bersikap adil dan seimbang, baik dalam keyakinan, pikiran,
sikap, maupun perilaku.12
D. Peran Pendeta Meneguhkan Moderasi Beragama
Dalam menjaga nilai-nilai kerukunan umat beragama sebenarnya merupakan
hal yang dapat diupayakan, khusunya melalui peran toh agama setempat.
Sebagaimana tokoh agama lainnya, para pendeta agaknya turut sepakat dalam
menjalankan perannya meneguhkan moderasi beragama yaitu diantaranya pertama,
senantiasa melakukan dialog sesama tokoh agama pada umumnya maupun tokoh
agama yang tergabung dalam FKUB. Kedua, menampung dan menyalurkan aspirasi
masyarakat yang berpotensi memelihara kerukunan. Ketiga, memberi rekomendasi
perijinan terhadap pendirian rumah ibadah yang telah memenuhi syarat serta
ketentuan.
Keempat, mensosialisasikan kebijakan ataupun UU berkenaan dengan
kerukunan dengan mengajarkan paham agama kepada umat dengan sebaik-baiknya.
Sebab, sudah barang tentu tidak ada satupun agama yang mengajarkan konflik atau
anti kedamaian. Kelima, antar tokoh agama memberikan teladan yakni bersikap akur,
aman, damai, dan rukun sehingga dapat memberi stimulan positif terkait moderasi
beragama pada umatnya masing-masing. Keenam, para tokoh agama diharapkan
berperilaku sebagaimana harapan umatnya, seperti menyampaikan nasihat,
memberikan perlindungan, menciptakan kedamaian, bijaksana dan adil.
Ketujuh, mengamalkan nilai-nilai toleransi dengan saling memahami,
menghormati, menghargai, menghindari konflik, cinta damai, harmonis, tenang,
nyaman, tenggang rasa, dan tidak memaksakan kehendak. Kedelapan, sebagaimana
umumnya pendeta ketahui bahwa agama Islam sendiri mengajarkan kerukunan,
kedamaian, serta kebebasan. Karena perihal agama adalah persoalan individu, tidak
ada yang bisa dicampuri apalagi diintervensi, dalam hal ini dikembalikan pada qaidah
“bagimu agamamu bagiku agamaku”.13
E. Moderasi Beragama Perspektif Pendeta Akawila Bemey
Berdasarkan hasil data observasi melalui wawancara langsung dan sering
berinteraksi bersama di lingkungan Kampung Maribu, bahwa menurut beliau
moderasi beragama ini sudah dari dahulu sejak nenek moyang ada, dan sebelum
Kemenag menegaskan kembali. Seperti halnya Pelangi bahwa semakin banyak warna
indah di pandang. Moderasi Beragama ini adalah bentuk pengamalan Firman Tuhan
yang berhubungan dengan sesama manusia, yakni berhak mendapatkan kehidupan
yang layak. Hidup rukun baku berdampingan, baku hormat, dan menghargai ibadah
orang lain. Perbedaan itu adalah kehendak Tuhan, maka harus kita siap dan hadapi
dengan baik. Perbedaan bukan hal yang buruk, justru itu yang bisa menjadikan kita
lebih baik dan Tuhan menyukai persekutuan (persaudaraan komunitas).
12
Edi Junaedi, “Moderasi Beragama: Inilah Moderasi Beragana Perspektif Kementrian
Agama”, (Jakarta Pusat: Kementerian Agama RI, 2019), hlm. 396-397.
13
M. Ikhwan, “Tokoh Lintas Agama Merawat Kerukunan Umat (Belajar Multikultural Dari
Kota Malang)”, Palita: Journal of Social Religion Research, Vol. 5, No. 2, 2020, hlm. 128-130.
7
Di tambah lagi, Kampung Maribu adalah Kampung pertama yang menerima
transmigran di Kabupaten Jayapura. Persoalan beda Agama bukan masalah di
Kampung ini, adapun masalah-masalah yang dulu pernah muncul itu hanya
provokator saja yang tidak suka dan kemudian menimbulkan gesekan sedikit terhadap
umat muslim. Pada dasarnya masyarakat Maribu sangat menghormati dan
menghargai serta melindungi Umat Muslim. Ketika ada ibadah sholat Jumat pun
tidak ada seseorang dari kaum Nasrani (Kristen) yang menyalakan klakson dan
sebalik nya kaum muslim juga sangat menghormati ketika ibadah Minggu berjalan.
Konsep Moderasi juga kita harus benar-benar mengamalkan ajaran ayat-ayat Tuhan
secara baik dan maksimal. Sehingga menjadi pribadi yang baik dan menjauhkan diri
dari kegelapan.
Pendekatan-pendekatan yang harus sering kita lakukan, membina remaja dan
pemuda yang tidak taat beribadah dengan mendatangi rumah nya ketika dia sedang
dalam kondisi yang kurang baik atau sedang jatuh-jatuh nya. Maka segera ada
pelayanan jemaat untuk bertobat dan kembali kepada jalan Tuhan. Moderasi
beragama juga merupakan sebuah pengamalan dari Pancasila sebab kita ini berada
dalam Negara Indonesia, banyak Agama dan banyak Suku Budaya. Ketika kita
mengayomi dan melindungi umat Agama lain, sebenar nya kita juga sedang menjaga
dan melindungi umat agama kita sendiri di luar daerah sana. Jadi ketika Muslim di
Papua terlindungi dan hidup bebas beribadah dengan baik, maka umat Kristen yang
ada di luar sana (Jawa, Sulawesi, Sumatra, dll) juga mereka otomatis di lindungi
dengan baik. Adanya pekabaran Injil yang masuk menyatukan 3 suku di Kampung
Maribu yakni Suku Moy, Suku Koantomey, dan Suku Bonya. Mereka di satukan oleh
Injil dari Tahun 1935, bahwa Injil adalah acuan hidup yang menjadi penerang dari
kegelapan. 14

Dok. Kegiatan Monitoring dan Dok. Prasasti Tugu Peringatan Pekabaran


Pengamanan Ibadah Minggu di GKI Injil di Kampung Maribu Tahun 1935.
Bethesda Maribu.

14
Wawancara Akawila Bemey (Pimpinan Jemaat GKI Bethesda Kampung Maribu), 14 Agustus 2022.

8
Kesimpulan
Perdamaian dalam relasi antara kelompok Islam dan Kristen terbentuk karena
kesadaran diri dan masyarakat kedua agama untuk saling hidup berdampingan dan
bekerjasama. Hal tersebut tentu dipengaruhi oleh faktor inklusivitas dalam beragama
dan nilai budaya yang dapat menghidupi toleransi antar kelompok agama yang
berbeda. Hakikat relasi damai diwujudkan dengan semangat keagamaan serta prinsip
bahwa setiap orang berhak memeluk agama dan menjalankan ibadahnya.
Budaya tenggang rasa, tindak tanduk, tolong menolong, saling berkunjung
menjadi media interaksi antar agama dalam membangun komunikasi dan memperkuat
solidaritas sosial dengan prinsip mengindahkan eksistensi setiap agama melalui sikap
dan perilaku masyarakat. Relasi damai antara umat Islam dan Kristiani Maribu turut
terbangun karena adanya pola hubungan berbasis adat dan budaya. Penghormatan dan
aktualisasi nilai kearifan lokal menyebabkan interaksi kedua umat bagama tidak
saling mendominasi aktivitas politik, sosial hingga ekonomi.
Kunci relasi harmonis lainya dapat diciptakan antara Islam dan Kristen di
dengan membangun pola hubungan keagamaan, misalnya penyiaran dakwah agama
dengan pengajian (Islam) dan KKR (Kristen). Kendati demikian, merasa waspada
haruslah tetap terpupuk agar tidak terpicu ketegangan antara kelompok Islam dan
Kristen yang diakibatkan oleh perbedaan konsepsi, saling curiga dan lemahnya
mekanisme lokal dalam mengelola konflik antar kelompok agama.

9
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, H. A. (2016). “Resolusi Konflik Keagamaan Di Aceh Singkil Dalam
Perspektif Budaya Dominan”. Harmoni 15, No. 3.
Aritonang, H. D. (2021). “Kehadiran Allah Di Tengah Penderitaan Aceh Singkil”.
GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian,
Vol. 6, No. 1, 35–50.
Bemey, A. (2022, Agustus 14). Pimpinan Jemaat GKI Bethesda Kampung Maribu.
(Sofyan, Interviewer)
Fairusy, M. A. (2016). “Menjadi Singkel Menjadi Aceh, Menjadi Aceh Menjadi
Islam’ (Membaca Identitas Masyarakat Majemuk Dan Refleksi Konfilk
Agama Di Wlayah Perbatasan-Aceh Singkel)”. Jurnal Sosiologi USK, Vol.
9, No. 1, 17–33.
Handoko, W., & Mansyur, S. (2018). “Kesultanan Tidore : Bukti Arkeologi
Sebagai Pusat Kekuasan Islam Dan Pengaruhnya Di WilayahPeriferi”.
Berkala Arkeologi, Vol.38, No.1, 18-19.
Ikhwan, M. (2020). “Tokoh Lintas Agama Merawat Kerukunan Umat (Belajar
Multikultural Dari Kota Malang)”. Palita: Journal of Social Religion
Research, Vol. 5, No. 2, 128-130.
Junaedi, E. (2019). “Moderasi Beragama: Inilah Moderasi Beragana Perspektif
Kementrian Agama”. Jakarta Pusat: Kementerian Agama RI.
M Quraish Shihab, “. W. (2019). “Wasathiyyah Wawasan Islam tentang Moderasi
Beragama”. Tangerang: Lentera Hati.
Maribu. (2020, Maret 10). “Sejarah singkat Kampung Maribu”. Retrieved Agustus
10, 2022, from
https://maribu.kampungjayapurakab.id/2020/03/10/sejarah-singkat-
kampung-maribu/
Mashad, D. (2020). “Muslim Papua: Membangung Harmoni Berdasar Sejarah
Agama di Bumi Cendrawasih". Pustaka Al-Kautsar.
Nur, M. (2020). “Kearifan Lokal Sintuwu Maroso Sebagai Simbol Moderasi
Beragama”. Pusaka, Vol. 8, No. 2, 2020, hlm. 241–252, 241–252.
Ramandey, E. (2019). Survei Awal Keragaman Kumbang di Desa Maribu,
Kabupaten Jayapura. Retrieved Augustus 8, 2022, from www.sugapa.org:
http://www.sugapa.org/wp-content/uploads/2019/03/Start-Survey-
about-diversity-of-beetles-at-Desa-Maribu-Kabupaten-Jayapura-Euniche-
Ika-Ramanday-SUGAPA-12-II-2006.pdf
Salim, A. (2018). “Shara and the Politics of the Dominat Culture in Aceh-North
Sumatera Boreder”. ICRS UGM.
Shihab, M. Q. (2000). “Tafsir Al-Misbah”, Vol. I. Tangerang: Lentera Hati.

10

Anda mungkin juga menyukai