Anda di halaman 1dari 11

Kliping Sosiologi

Konflik Ambon

Disusun Oleh
1. Amirunisa Intan K. ( 01 )
2. Eti Widiyaningrum ( 07 )
3. Nabilla Herningtyas ( 21 )
4. Naufal Hanif N. ( 22 )
5. Rizqi Alma R. S ( 24 )
6. Yesi Noor Azura W. ( 29 )

SMA N 2 PATI
TAHUN AJARAN 2016/2017

A. Konflik Ambon
1. Kerusuhan Ambon Tahun 2011
Kerusuhan Ambon 2011 adalah serangkaian kerusuhan yang dipicu oleh
bentrokan antarwarga di Kota Ambon, Maluku, Indonesia tanggal 11 dan 12
September 2011. Dua kelompok massa saling melempar batu, memblokir jalan, dan
merusak kendaraan di sejumlah titik di Kota Ambon serta sejumlah rumah warga
dibakar. Akibat peristiwa ini, tujuh orang tewas, lebih dari 65 orang luka-luka, dan
ribuan orang mengungsi. Kerusuhan ini sempat dikabarkan bermuatan SARA,
walaupun pihak berwenang kemudian membantah hal tersebut.

Menurut keterangan Kepolisian kepada pers pada 11 September 2011, kerusuhan


ini bermula dari kematian seorang tukang ojek bernama Darkin Saimenatau Darmin
Saiman atau Darvin Saiman atau Darwis Saiman. Pria ini mengalami kecelakaan
tunggal dari arah stasiun TVRI, Gunung Nona, menuju pos Benteng. Di daerah
sekitar tempat pembuangan sampah, yang bersangkutan hilang kendali dan menabrak
pohon gadihu. Ia kemudian menabrak rumah seorang warga di sana bersama Okto.

Nyawa tukang ojek itu tak terselamatkan sebelum sampai ke rumah sakit. Hal
inilah yang menimbulkan dugaan ia sebenarnya dibunuh, bukan karena kecelakaan.
Sedangkan dari hasil otopsi dari dokter, dinyatakan bahwa dia mengalami kecelakaan
murni. Berdasarkan keterangan saksi dan hasil otopsi, semua tidak ada tanda-tanda
kekerasan

Pertikaian akibat kematian pria tersebut, terjadi antara dua kelompok. Mereka
saling melempar batu dan merusak sejumlah fasilitas. Dua kelompok melakukan
lempar-melempar dan sekarang sudah diredam.

Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Anton Bachrul Alam mengatakan korban tewas
dalam kerusuhan Ambon akibat luka tembak.

Untuk bangunan yang dirusak tiga rumah, empat motor dan dua mobil. Namun
Polisi belum dapat memastikan tembakan tersebut berasal dari aparat atau warga.

Dalam peristiwa tersebut tiga orang meninggal dunia di RS Al Fatah sama RS


umum selain itu ada warga yang mengalami luka tembak menurut Kadiv Humas
Mabes Polri, Irjen Anton Bachrul Alam, di Mabes Polri, Jakarta Senin (12/9/2011).

Selanjutnya, Anton menambahkan puluhan warga lainnya juga mengalami luka


berat dan ringan. Luka berat 24 orang, luka ringan 65 orang. Data Kecelakaan
berbeda lagi, ini yang rusuh. Ada yang terkena lempar batu.

Dua hari pasca bentrok di sejumlah tempat, aktivitas Kota Ambon masih belum
kembali normal. Belum ada perkantoran yang buka, toko-toko pun masih tutup.
Bahkan, Ambon Plasa yang biasanya penuh sesak dengan pengunjung, tak
beraktivitas.

Kegiatan belajar-mengajar juga belum sepenuhnya aktif. Hari ini mereka sudah
mulai kembali sekolah. Namun, tak semua murid bisa masuk, terutama mereka yang
harus melewati daerah bekas bentrokan.

Namun Gubernur Maluku, Karel Albert Rahalu, pagi menyatakan situasi


keamanan di Ambon telah kondusif, menyusul penambahan 200 personel Brimob
Makassar ke Kota Ambon. Sementara, Wakil Walikota Ambon, Sam Latuconsina
menyatakan, sampai saat ini belum ada aktivitas perkantoran pada lingkup
Pemerintah Kota Ambon.

Sedangkan para tokoh agama setempat dengan sigap turut memulihkan keamanan.
Selanjutnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maluku dan Sinode Gereja Protestan
Maluku (GPM) mengimbau warga untuk hidup dengan damai. Sehingga kondisi
yang sebelumnya tegang kembali berangsur pulih.
2. Konflik Agama di Ambon Tahun 1999

Pada bulan tahun 1999 sampai dengan tahun 2000, Ambon (Maluku) terlibat
dalam konflik yang berdasarkan atas identitas agama yaitu Islam dengan Kristen.
Bukan hanya sebagai konflik antar agama yang menimbulkan konflik ini tetapi ada
faktor lain yaitu adanya kesenjangan ekonomi dan sosial yang menjadi penyebab
konflik. Konflik yang terjadi antara warga Muslim baik pribumi maupun pendatang,
yang perekonomiannya dianggap relatif baik karena pekerjaannya sebagai pedagang
dan lebih banyak berperan dalam pemerintahan menyebabkan kelompok Kristen
merasa termarjinalisasi oleh keadaan tersebut. Konflik ini terbagi menjadi empat
babak yang latar belakangnya berbeda. Dijelaskan bahwa isu SARA yang dilakukan
oleh orang-orang yang berkepentingan merupakan ikut menjadi pemicu terjadinya
konflik agama tersebut.
Salah satu konflik yang terjadi di Indonesia adalah konflik Ambon (Maluku) pada
September 1999 yang merenggut hampir 5.000 nyawa melayang dan menyebabkan
penderitaan berupa kemiskinan, menghancurkan sistem sosial pada masyarakat yaitu
konflik yang terjadi karena berdasarkan atas identitas agama yaitu agama Islam
dengan agama Kristen. Konflik Ambon 1999 ini adalah merupakan tragedi
kemanusiaan terbesar dalam sejarah hubungan antar umat beragama di Indonesia.
Dimana sebenarnya konflik tersebut berawal dari individu dengan individu bukan
antar kelompok, yang kemudian meluas hingga menjadi konflik antar kelompok.
Semula konflik ini dipahami oleh kalangan masyarakat sebagai sebuah
tragedi kemanusiaan yang disebabkan oleh suatu tindak atau peristiwa kriminal biasa.
Pada kenyataannya konflik yang terjadi ini adalah sebuah rekayasa yang dirancang
oleh orang atau kelompok tertentu demi kepentingannya dengan menggunakan isu
SARA dan beberapa faktor lain seperti kesenjangan ekonomi, dan diskriminasi
pemerintahan dan lain-lain.
Sebenarnya antara masyarakat baik beragama Islam maupun Kristen yang
ada di Ambon ini sebenarnya mempunyai tradisi Pela Gandong yang gunanya untuk
mempersatukan masyarakat atas dasar perbedaan yang ada baik agama, suku, maupun
tujuan yang berbeda. Selain itu juga sebagai media penyelesaian konflik apabila
terjadi konflik antar masyarakatnya. Namun, Pela Gandong ini sudah luntur seiring
dengan berkembangnya zaman dan semakin banyaknya pendatang yang datang maka
menyebabkan tradisi ini hilang. Akibatnya Pela Gandong sudah tidak dapat menjadi
lembaga mekanisme penyelesaian konflik lagi. Sementara pada saat ini Pela Gandong
telah digantikan dengan pendekatan keamanan (ABRI) dimana jika terjadi konflik
maka akan dikenakan sanksi berat.
Latar Belakang Terjadinya Konflik horizontal antar umat beragama Islam dengan
umat beragama Kristen diawali dengan adanya kerusuhan pada tanggal 19 Januari
1999 bertepatan dengan hari raya Idul Fitri. Yang diawali dengan perkelahian pemuda
keturunan Bugis yang beragama Islam dengan pemuda asal Mardika beragama
Kristen. Pemuda asal Mardika yang bekerja sebagai supir angkot ini dimintai uang
oleh pemuda keturunan Bugis tadi yang dikenal sebagai preman, kejadian ini terjadi
di terminal Batu Merah. Karena pemuda asal Mardika tersebut tidak dapat memenuhi
keinginan pemuda keturunan Bugis tadi. Kejadian ini terjadi berulang sampai tiga kali
dan tetap pemuda asal Mardika ini tidak dapat memenuhi keinginan pemuda
keturunan Bugis sehingga menimbulkan amarah dan perkelahian diantara mereka.
Mereka adu pukul dan ingin membunuh satu sama lain.
Pemuda asal Mardika ini merasa terancam dan dia pulang kerumah
mengambil parang dan kembali lagi ke terminal Batu Merah untuk menemui preman
tersebut. Kemudian terjadilah aksi kejar-kejaran dimana preman tersebut berlari
masuk ke kompleks pasar Desa Batu Merah. Kemudian preman tersebut ditahan oleh
warga Batu Merah dan ia ditanyai tentang permasalahan yang terjadi, maka preman
tersebut menjawab dengan jawaban bahwa ia akan dibunuh oleh orang Kristen.
Jawabannya ini kemudian memicu terjadinya kerusuhan yang terjadi di Ambon yang
dimana antara warga Muslim dengan warga Kristen saling menyerang. Warga Muslim
menyerang warga Kristen dan sebaliknya warga Kristen yang muncul untuk
mempertahankan diri.
Awalnya masa Muslim muncul dari Desa Batu Merah bangkit menyerang
warga Kristen di kawasan Mardika yang merupakan tetangga Desa Batu Merah
dengan menggunakan berbagai alat tajam seperti parang, tombak, panah dan lain-lain
dengan menggunakan ikat kepala warna putih yang seragam. Mereka sempat melukai
dan membakar rumah-rumah warga Kristen. Demikian pula pada saat yang
bersamaan beberapa lokasi pemukiman Kristen seperti Galunggung, Tanah Rata,
Kampung Ohiu, Silale, dan Waihaong serta mendengar bahwa gereja Silale telah
dibakar maka bangkitlah amarahnya dan kemudian melalukan penyerangan balik ikut
diserang oleh kelompok Muslim yang menyebabkan beberapa warga Kristen
terbunuh, ratusan rumah dibakar dan sebuah gereja di kawasan Silale dirusak dan
kemudian ikut dibakar.
Warga Kristen yang mendiami Batu Gantung, Kudamati dan
sebagainya setelah mendengar penyerangan warga Muslim terhadap warga Kristen di
Mardika, Galunggung, Tanah Rata, Kampung Ohiu, kawasan Silale, dan Waihaong
Konflik berkembang dengan sangat pesat dengan sebab-sebab yang tidak sepenuhnya
dimengerti oleh masyarakat setempat. Konflik tersebut meluas dan disertai dengan
aksi-aksi pembakaran rumah-rumah warga dan tempat ibadah, pembunuhan serta
penghancuran fasilitas-fasilitas umum. Konflik ini menjadi semakin meluas dan
banyak terjadi kerusuhan dimana-mana hal ini disebabkan karena adanya isu SARA
yang disebarkan oleh orang-orang yang berkepentingan.

Konflik ini terjadi dengan latar belakang yang berbeda yang mana terjadi dalam
empat babak yaitu:
1. Januari-Maret 1999 Peristiwa sepele, dan dianggap biasa oleh masyarakat,
yaitu konflik antara preman Batu Merah yang beragama Muslim dengan supir angkot
yang beragama Kristen. Yang kemudian menyebabkan pertikaian antar kelompok
agama dan suku bangsa yang kemudian meledak menjadi kerusuhan yang besar di
Ambon. Akhirnya kerusuhanpun meluas keseluruh pulau Ambon tanpa dapat
terkendali. Kota dan desa-desa di Ambon dibakar dan diratakan dengan tanah.
Kerusuhan yang berlarut-larut itu memakan banyak korban jiwa.
Kota Ambon dan sebagian desa-desa sekitarnya tersegregasi ketat dan terbagi menjadi
dua wilayah yaitu wilayah Islam dan Kristen. Masyarakat dan wilayah Kristen disebut
dengan merah, dan yang Muslim disebut dengan putih. Pemerintah daerah, aparat
keamanan, pemuka-pemuka agama dan adat kemudian sibuk melakukan rekonsiliasi
dengan berbagai gebrakan. Upacara Panas Pela dilakukan disana-sini, sehingga pada
akhir Maret sampai dengan pertengahan Juli 1999, Ambon mulai reda dari kerusuhan
besar. 2. Juli-November
1999 Suasana Ambon dalam keadaan tenang-tenang tegang bersamaan dengan
adanya kampanye menjelang pemilu. Setelah pemilu ketegangan pun meningkat dan
pecah didaerah Poka dan kemudian meluas di bagian lain di ambon. Segregasi
semakin ketat. Di Ambon hanya tersisa satu desa yang masyarakatnya masih tetap
berbaur yaitu Wayame. Masyarakat semakin mempersenjatai diri dengan berbagai
bentuk senjata, mulai dari parang. 3. Akhir Desember 1999-
Pertengahan Januari 2000 Pada saat itu konflik mereda namun kesiap siagaan
masih tinggi. Hal ini terjadi di Pulau Seram dan Pulau Buru. Tanda-tanda akan
meledaknya kerusuhan menguat setelah adanya kunjungan dari presiden dan wakil
presiden konflik kembali memanas dan terjadi lagi kerusuhan diberbagai wilayah.
Akibatnya banyak korban jiwa yang berjatuhan. 4. April-
Agustus 2000 Situasi di Ambon sudah kembali tenang sedangkan upaya rekonsiliasi
dilakukan di berbagai tempat. Tapi gerakan Jihad yang berpusat di Yogyakarta,
Jakarta, Bogor mulai meresahkan masyarakat Ambon. Isu-isu tentang ancaman Jihad
mulai muncul dan pernolakan kedatangan Jihad muncul juga dari masyarakat
Muslim, apalagi Kristen. Setelah wakil presiden berkunjung di Ambon dalam acara
SBJ, yang juga dihadiri oleh kelompok Milisia Batumerah yang beragama muslim
dengan Kudamati yang beragama kristen, meyebabkan kerusuhan mulai merebak dan
menjadi berkepanjangan. Ketidak mampuan
pemerintah untuk menangani konflik menyebabkan kebangkitan Front Kebangkitan
Maluku (FKM) pada 2000 yang merupakan sebuah gerakan yang mengangkat
warisan Republik Rakyat Maluku (RMS). RMS kemudian dianggap sebagai gerakan
Kristen yang memperburuk dinamika konflik antar Agama.
Analisis

3. Tragedi Konflik Idul Fitri Berdarah di Ambon

AMBON (Voa-Islam)- Peristiwa yang bertepatan dengan tanggal 1 Syawal 1420H


itu menjadi tragedi berdarah dan memilukan bagi umat Islam Maluku pada khususnya
dan seluruh kaum Muslimin pada umumnya. Peristiwa tersebut menunjukkan wajah
asli kaum Salibis yang secara biadab dan brutal melakukan pembantaian dan
penyerangan terhadap kaum Muslimin Ambon yang tengah merayakan Hari Raya
Idul Fitri. Ribuan nyawa
Muslim melayang, puluhan ribu dari mereka harus eksodus atau mengungsi dari
Ambon demi keselamatan mereka tanpa membawa barang apapun karena rumah-
rumah atau barang-barang mereka telah hangus terbakar dan dijarah para perusuh
salibis. Peristiwa Idul Fitri
berdarah 19 Januari 1999 bukanlah satu-satunya peristiwa yang menjadi fakta
kebrutalan salibis terhadap kaum Muslimin di Maluku. Bisa dikatakan, peristiwa
tersebut adalah yang terbesar sekaligus awal dari berbagai peristiwa pembantaian
secara masif terhadap kaum Muslimin di Maluku sejak tahun 1998.
Tragedi Idul Fitri
berdarah juga telah menjadi awal letupan terjadinya perang agama antara kaum
Muslimin dan kaum salibis secara berkepanjangan hingga perjanjian damai tahun
2002. Rangkaian peristiwa pembantaian terhadap kaum Muslimin oleh para teroris
salibis yang bermula di Ambon berlanjut sampai Maluku Utara. Salah satu peristiwa
paling mengenaskan, setelah Tragedi Idul Fitri berdarah adalah pembantaian kaum
Muslimin yang tengah berlindung di dalam masjid di kecamatan Tobelo, Halmahera
Maluku Utara. Ketika itu mereka diserang kaum salibis.
Ratusan kaum Muslimin menjadi
korban dalam peristiwa pembantaian tersebut. Saking banyaknya mayat yang ada di
dalam masjid, sebagian besarnya hangus terbakar. Untuk membersihkan masjid dan
mengangkat jenazah yang akan dikuburkan secara massal itu, sampai-sampai
diperlukan buldozer untuk mengangkutnya.
Perang besar antara kaum Muslimin dan
kaum salibis yang berlangsung cukup lama akhirnya berakhir pada tahun 2002
melalui perjanjian damai yang ditandatangani oleh perwakilan dari kedua belah
pihak. Perjanjian damai yang kemudian dikenal dengan istilah perjanjian Malino
bukanlah perjanjian damai pertama, sebab sebelumnya telah berulangkali dilakukan
perjanjian damai namun selalu dilanggar oleh salibis dengan melakukan penyerangan
ke wilayah Muslim. Namun Perjanjian Malino yang ditandatangani pada tahun
2002 itu ternyata tidak menghentikan kebrutalan salibis untuk kembali membantai
kaum Muslimin. Dua tahun setelah perjanjian Malino, tepatnya pada tanggal 25 April
2004, kaum salibis dengan dikomando oleh RMS (Republik Maluku Sarani=Nasrani)
kembali berulah menyerang kaum Muslimin.
Peristiwa penyerangan terhadap warga muslim Ambon terjadi
setelah para salibis mengadakan upacara bendera memperingati HUT RMS yang
jatuh pada tanggal 25 April 2004. Upacara HUT gerakan separatis salibis RMS yang
ke lima puluh tersebut telah memicu bentrokkan antara warga Muslim dan Kristen di
Ambon. Bentrokkan tersebut kemudian berlanjut dengan penyerangan oleh
kaum salibis terhadap permukiman Muslim di Kampung Waringin. Akibat serangan
teroris salibis tersebut ratusan rumah milik warga Muslim habis terbakar, 28 warga
muslim tewas terkena tembakan senjata api dan terkena ledakan bom dan ratusan
orang terluka parah. Sampai hari ini tidak ada satupun perusuh salibis yang ditangkap
oleh polisi yang dianggap sebagai pelaku dan bertanggung jawab terhadap peristiwa
penyerangan kampung muslim waringin.

4. Ambisi Salibis
Ambisi salibis untuk mendirikan negara Kristen RMS telah menyebabkan mereka
secara brutal mengadakan penyerangan terhadap kaum Muslimin. Dan ambisi salibis
untuk mendirikan negara Kristen RMS tidak pernah mati, itu artinya sampai
kapanpun potensi konflik masih terus ada di Maluku seperti halnya konflik di
Palestina. Dan pada waktu-waktu selanjutnya terjadi beberapa kali upaya salibis
untuk kembali menyulut peperangan di Ambon. Di antara peristiwa-peristiwa tersebut
adalah:

Peristiwa penembakkan rombongan jamaah Haji pada bulan Maret 2005 oleh oknum
Polisi Kristen bernama Otnil Layaba alias Otis. Peristiwa ini menewaskan seorang
warga muslim bernama Ismail pellu. Peristiwa penembakkan ini pun direkayasa oleh
polda Maluku sebagai peristiwa kecelakaan Lalu lintas.

Pelemparan granat kearah masjid Al Fatah oleh salibis pada tahun 2007.

Peledakkan bom di pelabuhan ambon oleh salibis bernama Betus Saiya pada tahun
2007.

Peledakkan bom di Mardika oleh salibis bernama Betus Saiya pada tahun 2007. Betus
saiya yang ditangkap oleh Polisi dengan tuduhan sebagai pelaku pengeboman
Mardika dan pelabuhan Ambon akhirnya dibebaskan oleh hakim sebelum pengadilan
selesai dilaksanakan dengan alasan tidak cukup bukti dan tidak cukup saksi.

Rangkaian peristiwa teror terhadap kaum muslimin oleh salibis pada tahun 2007
tersebut tidak berlanjut menjadi kerusuhan yang lebih besar.

Dan peristiwa terakhir fakta kebrutalan salibis terhadap kaum Muslimin Ambon
terjadi antara September sampai Desember 2011. Diantara peristiwa kebrutalan
salibis pada bulan September sampai desember 2011 diantaranya adalah:

Pembunuhan keji terhadap Darfin Saiman, seorang tukang ojek Muslim oleh salibis di
perkampungan Kristen Gunung Nona. Peristiwa ini menyulut kemarahan kaum
muslimin karena pembunuhan ini direkayasa oleh Polisi Polda Maluku sebagai
kecelakaan Lalu lintas tunggal hingga akhirnya peristiwa ini menjadi pemicu
terjadinya bentrokkan besar antara warga Muslim dan Kristen di Ambon pada tanggal
11 September 2011.

Penyerangan Kampung muslim Waringin oleh salibis pada tanggal 11 September


2011. Akibat penyerangan ini 8 warga Muslim tewas terkena tembakkan, seratus
orang lebih terluka terkena lemparan batu dan panah, dan ratusan rumah milik warga
muslim di kampung Waringin hangus terbakar. Sampai sekarang tidak ada satupun
pelaku penyerangan dari kelompok salibis yang ditangkap oleh polisi.

Penyerangan permukiman muslim di Jalan Baru ambon oleh perusuh salibis pada
tanggal 20 oktober 2011 pukul 04.00 WIT dinihari. Dalam peristiwa ini tiga bangunan
milik warga Muslim habis dibakar oleh para perusuh salibis dan dua orang warga
Muslim terluka parah. Hingga kini tidak satupun pelaku penyerangan yang ditangkap
oleh Polisi.

Penyerangan Kampung Muslim Air Mata Cina (Amaci) Ambon pada tanggal 13
Desember 2011. Penyerangan oleh salibis terhadap kampung Amaci terjadi sejak
pukul 01.00 WIT sampai pukul 05.00 WIT menjelang subuh. Keterlambatan aparat
keamanan menyebabkan 5 rumah milik warga Muslim habis dibakar oleh para
perusuh salibis dan 12 warga Muslim terluka parah terkena lemparan batu dan
ledakkan bom. Dan lagi-lagi, seperti kasus-kasus sebelumnya sampai hari ini tidak
ada satupun dari pelaku penyerangan yang ditangkap oleh polisi.

Pelemparan bom oleh salibis kearah permukiman muslim di Air mata cina pada
tanggal 25 desember 2011 pukul 04.00 WIT.Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa
tersebut.
B. Cara menyelesaikan Konflik Di Ambon

Titik terang untuk menyelesaikan konflik di Ambon mulai terlihat dengan


kesediaan dua pihak-yang terlibat dalam konflik-hadir mengikuti pertemuan pendahuluan
di Makassar, Rabu (30/1). Rencananya, hasil pertemuan ini akan diteruskan dalam
perundingan di Malino, Kabupaten Gowa, yang dijadwalkan berlangsung 5-7 Februari
2002. Pertemuan tertutup dengan 15 orang perwakilan kelompok Nasrani
dilakukan di Tanaberu Room, Hotel Losari Beach, Jalan Penghibur, dari pukul 16.20
sampai pukul 19.00. Sementara, pertemuan dengan kelompok Muslim dilakukan di Hotel
Kenari mulai pukul 19.30. Hadir sebagai fasilitator pertemuan tersebut Menteri
Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) HM Jusuf Kalla, Gubernur
Maluku Saleh Latuconsina, Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) HZB Palaguna, dan
Kepala Badan Intelijen Polri Inspektur Jenderal W Simatupang. Jusuf Kalla
menyatakan, bahwa dalam pertemuan tersebut sudah terlihat adanya kemajuan jika
dibandingkan dengan hasil pertemuan informal sebelumnya yang dilakukannya bersama
Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Susilo Bambang
Yudhoyono di Ambon akhir pekan lalu. Hal senada dinyatakan oleh Saleh Latuconsina,
meski ia mengaku bahwa dalam pertemuan tertutup ini belum dibahas materi
perundingan secara mendetail. Karena itu, keduanya mengaku optimis dengan
penyelesaian konflik di Ambon ini. Sumber Kompas dalam pertemuan tersebut
menyatakan, kehadiran perwakilan kelompok tersebut ke Makassar untuk kemudian
diteruskan ke meja perundingan di Malino awal Februari mendatang menunjukkan
keinginan kedua belah pihak untuk menghentikan konflik. Diakuinya, sejauh ini, model
pertemuan seperti yang dilakukan saat ini belum pernah dilakukan sebelumnya, sehingga
diharapkan pertemuan ini akan menghasilkan perdamaian nyata di Ambon. Ia melukiskan
pergulatan yang terjadi di Ambon, terutama dengan kesediaan para pemimpin dua
kelompok yang bertikai itu untuk menyelesaikan konfliknya justru di luar Ambon.
Selain akan ditindaklanjuti dengan penyiapan agenda terperinci untuk dimajukan
dalam perundingan nantinya, dalam pertemuan tersebut juga tertangkap keinginan untuk
memperbesar titik temu dengan memperkecil peluang terjadinya konflik. Dalam
pertemuan tertutup itu, empat agenda yang disepakati untuk dibahas meliputi masalah
keamanan, sosial politik, sosial ekonomi, dan hukum. Karena itu, diharapkan selepas
pertemuan pendahuluan itu akan muncul konsolidasi untuk kemudian mengarahkan
perdamaian nyata di Ambon. Penyelesaian konflik di Ambon
nantinya juga diharapkan diletakkan dalam kerangka penyelesaian konflik sosial yang
mencakup lebih banyak dimensi ketimbang sekadar persoalan agama. Pertikaian
horizontal yang terjadi bukan sekadar dilatarbelakangi nilai-nilai dan muatan lokal,
namun juga melibatkan muatan vertikal dari tingkat pusat yang mendorong pecahnya
konflik. Dalam kondisi tersebut, sentimen agama pun menjadikan persoalan semakin
membesar.

Siap amankan

Sementara, Kepala Polda Sulsel Inspektur Jenderal Firman Gani menyatakan


polisi siap mengamankan pertemuan Malino untuk Ambon itu. Untuk pengamanan di
Malino nanti, Firman menyatakan akan menugaskan tiga satuan setingkat kompi (SSK)
dari Polda Sulsel. Menurut Firman kepada wartawan seusai acara latihan
penjinakan bahan peledak di Markas Satuan Brimob Polda Sulsel di Makassar, Rabu
(30/1) siang, pemahaman akan kompleksitas persoalan konflik Ambon menjadikan polisi
di Sulsel juga lebih mewaspadai kemungkinan adanya kelompok-kelompok yang tidak
menginginkan kesuksesan pertemuan tersebut. "Bisa saja mereka berasal dari kelompok
yang merupakan korban kerusuhan yang saat ini berada di Ambon ataupun di daerah
lain," kata Firman, sambil menekankan kemungkinan adanya kelompok dari luar yang
selama ini secara sosial, politik, ataupun ekonomi mendapatkan keuntungan dari konflik
di Ambon. Oleh karenanya,
pengamanan nantinya akan diarahkan sejak awal dengan mengantisipasi kemungkinan
penyusupan orang yang ingin mengacaukan pertemuan tersebut lewat kegiatan intelejen.
Polisi secara ketat akan memeriksa orang-orang yang keluar-masuk lokasi pertemuan
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai