Konflik Poso adalah sebutan untuk serangkaian kerusuhan yang
terjadi di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Konflik ini terjadi
sejak 25 Desember 1998 hingga 20 Desember 2001. Peristiwa Konflik Poso dimulai dari sebuah bentrokan kecil antarkelompok pemuda sebelum akhirnya menjalar menjadi kerusuhan bernuansa agama. Kabupaten Poso adalah salah satu dari delapan kabupaten yang ada di Provinsi Sulawesi Tengah. Kabuten Poso ini memiliki penduduk mayoritas Muslim di desa-desa, sedangkan mayoritas Protestan di dataran tinggi. Kabupaten Poso ini juga menjadi fokus program transmigrasi pemerintah. Tujuan program transmigrasi ini adalah untuk membawa warga dari daerah padat penduduk mayoritas Muslim, seperti Jawa dan Lombok, serta pulau Bali yang dominan Hindu. Daerah padat penduduk ini akan dibawa ke daerah yang jarang penduduknya. Dari keadaan tersebut, akhir tahun 1990-an, penduduk di Kabupaten Poso mayoritas Muslim dengan persentase di atas 60 persen. Para pendatang ini kemudian membuat adanya persaingan ekonomi antara penduduk asli Poso yang mayoritas Kristen dengan para pendatang Bugis yang memeluk Islam. Kerusuhan Poso ini bisa dibagi menjadi tiga periode, sebagai berikut:
Desember 1998
Pada malam natal, 24 Desember 1998, yang kebetulan bertepatan
dengan Ramadan, seorang pemuda asal kelurahan mayoritas Protestan di Lambogia bernama Roy Runtu Bisalemba menikam Ahmad Ridwan, seorang Muslim. Informasi yang tersebar di pihak Kristen menyebutkan bahwa Ridwan melarikan diri ke masjid setelah ditikam. Sedangkan versi Muslim menggambarkan bahwa kejadian ini merupakan sebuah serangan terhadap pemuda Muslim yang tertidur di halaman masjid. Para tokoh pemuka agama kedua belah pihak kemudian bertemu. Keduanya sepakat bahwa sumber masalahnya terdapat pada minuman keras. Akibatnya, Polres Poso pun mulai menyita ribuan minuman keras yang kemudian dihancurkan. Suatu ketika, terdapat satu toko yang dijagai oleh para pemuda Kristen. Mereka pun bertemu dengan pemuda Muslim yang berniat menyegel toko tersebut. Pertemuan ini pun berakhir dengan bentrokan di antara keduanya. Selanjutnya, sekelompok orang Kristen besenjata yang menaiki truk dari Tentena tiba, dipimpin oleh Herman Parimo, anggota DPRD Poso. Parimo diketahui merupakan anggota dari Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah (GPST). Di sisi lain, sedikitnya terdapat sembilan truk Muslim tiba dari Palu,Parigi, dan Ampana. Bentrokan pun terjadi, di mana polisi tidak mampu menangkal mereka. Para pejabat pemerintah Kabupaten Poso banyak mendapat serangan melalui spanduk, surat kaleng, dan grafiti.
April 2000
Pada April 2000 terjadi persidangan mantan bupati Afgar
Patanga. Dalam persidangan tersebut, Patanga didakwa telah menyalahgunakan dana dari program kredit pedesaan. Ada rumor bahwa sebagian dana tersebut digunakan menyewa massa untuk menyerang gedung peradilan. Chaelani Umar seorang anggota DPRD provinsi dari Partai Persatua Pembangunan menyatakan sebuah pernyataan, bahwa akan ada lebih banyak kekerasan jika Damsik Ladjalani, calon bupati saat itu, tidak dipilh. Keesokan harinya, seorang pemuda Muslim mengatakan bahwa dirinya diserang oleh sekelompok pemuda Kristen. Ia menunjukkan sebuah luka di lengannya sebagai bukti. Pihak Muslim yang tidak terima pun membalas. Pertarungan terjadi antara para pemuda Kristen dan pemuda Muslim. Selama beberapa hari peperangan terus terjadi. Rumah-rumah milik umat Kristen Poso dibakar. Kejadian ini mengharuskan Kapolres Poso untuk mendatangkan pasukan Brimob dari Palu. Pada 17 April, anggota Brimob tidak sengaja menembaki kerumuman massa yang menewaskan Mohammad Yusni dan Yanto, serta melukai delapan pemuda Muslim lainnya.
Mei 2000
Kejadian bulan Mei 2000 ini merupakan pertempuran terbesar dan
terparah. Periode ini didominasi oleh serangan balasan kelompok Kristen terhadap Muslim. Selain itu, terjadi juga berbagai kejadian penculikan dan pembunuhan Berdasarkan wawancara yang dilakukan Human Rights Watch, para migran dari Sulawesi Selatan dan Gorontalo yang umumnya menjadi korban dari tindakan tersebut. Pada awal Mei, muncul rumor bahwa banyak pemuda Kristen telah melarikan diri ke sebuah kamp pelatihan di Kerei. Pasukan Kristen menamai operasi ini "kelelawar merah" dan "kelelawar hitam". Pasukan ini disebut-sebut dipimpin oleh Fabianus Tibo, seorang imigran dari Flores, NTT. Pagi hari tanggal 23 Mei, sekelompok pasukan kelelawar hitam membunuh seorang polisi, Sersan Mayor Kamaruddin Ali dan dua warga sipil Muslim, Abdul Syukur dan Baba. Kelompok ninja (kelelawar hitam) ini kemudian bersembunyi di sebuah gereja katolik di Kelurahan Moengko. Mereka pun mulai bernegosiasi dengan polisi untuk menyerah. Para warga Muslim juga telah menunggu di depan gereja. Pasukan ninja bukannya menyerahkan diri, justru kabur ke perbukitan belakang gereja. Aksi ini kemudian menyulut kemarahan para Muslim. Mereka membakar gereja tersebut. Pada 28 Mei, serangan semakin meluas terhadap warga Islam. Para wanita dan anak-anak ditangkap, bahkan beberapa di antarnya mengalami pelecehan seksual. Sekitar 70 orang berlari ke pesantren terdekat, Pesantren Walisongo, di mana banyak warga Muslim dibunuh dengan senjata api dan parang. Orang-orang yang kabur pun berhasil ditangkap yang kemudian dieksekusi dan mayatnya dilempar ke Sungai Poso. Terdapat jenazah ditemukan di tiga kuburan massal.