Bulan Mei menandai dimulainya fase ketiga, yang secara luas dipandang
sebagai periode kekerasan terburuk dalam hal kerusakan dan jumlah korban.
Fase ini merupakan ajang balas dendam oleh kelompok Kristen setelah dua
fase sebelumnya yang sebagian besar didominasi oleh serangan dari pihak
Muslim, dan berlangsung sampai bulan Juli 2000. Fase ketiga ini memuncak
dalam sebuah peristiwa pembantaian di sebuah pesantren yang terjadi di
Desa Sintuwu Lemba yang mayoritas penduduknya Islam. Dalam fase ketiga
ini, ratusan orang jatuh menjadi korban, umumnya dari pihak Muslim.[1]
Latar belakang
Kronologi konflik
Kerusuhan Poso I
Sebab khusus
Spanduk, surat kaleng, dan grafiti yang menyerang para pejabat pemerintah
kabupaten Poso yang beragama Kristen mulai menjamur, terutama
menargetkan Parimo dan orang yang diduga mendukungnya, Yahya Patiro
yang juga mencalonkan diri sebagai Bupati.[6] Panglima Komando Militer
Daerah Wirabuana menyatakan bahwa yang mengobarkan kerusuhan adalah
delapan pengacau Kristen yang telah mereka tahan. Anggota Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan hasil penyelidikan
mereka menunjukkan bahwa kerusuhan di Poso terjadi bukan karena
ketegangan agama atau etnis. Mereka menyebut kekerasan terjadi karena
"miskomunikasi" dan mengklaim bahwa tidak ada pejabat lokal yang terlibat
dalam upaya untuk mengembalikan kedamaian. Pemerintah Provinsi
Sulawesi Tengah membentuk "Tim Klarifikasi" yang mewawancarai empat
puluh saksi dan juga menyimpulkan bahwa tidak ada pejabat daerah Poso
yang bertindak sebagai provokator.[7][8]
Kerusuhan Poso II
Setelah lebih dari satu tahun masa tenang, rangkaian peristiwa politik dan
hukum pada bulan April 2000 menimbulkan ketegangan.[10] Fase kedua
berlanjut di sepanjang garis pertempuran yang sama dengan fase pertama,
kali ini wilayah Kristen yang menderita kerusakan. Persidangan saudara
mantan bupati Agfar Patanga telah dimulai. Dalam persidangan korupsi
lainnya, seorang pengusaha lokal bernama Aliansa Tompo didakwa telah
menyalahgunakan dana dari program kredit pedesaan (Kredit Usaha Tani,
KUT). Ada desas-desus bahwa sebagian dari uang ini digunakan untuk
menyewa massa untuk menyerang gedung pengadilan dan membakar
dokumen-dokumen perihal keterlibatannya, yang memaksa penangguhan
kedua kasus tersebut. Pengadilan Patanga kemudian kembali diadakan di
Palu.[11] Selain itu, posisi tertinggi kedua di Poso, sekretaris wilayah atau
sekwilda sedang dipertimbangkan, dan persaingannya sangat ketat. Sebuah
surat kabar yang dicetak pada tanggal 15 April memuat pernyataan oleh
Chaelani Umar, seorang anggota DPRD provinsi dari Partai Persatuan
Pembangunan, yang memprediksi bahwa akan ada lebih banyak kekerasan
yang terjadi apabila mantan calon bupati, Damsik Ladjalani, tidak dipilih.
Bentrokan April-Mei
Kedatangan BRIMOB
Baru tiga minggu sejak fase kedua selesai, fase ketiga —yang menurut
beberapa pengamat, merupakan yang terbesar dan terparah— dimulai.
Periode ini didominasi oleh gelombang serangan balasan oleh kelompok
merah Kristen terhadap warga Muslim.[15] Di samping bentrokan langsung
dengan kelompok putih Islam, ada juga penculikan dan pembunuhan orang-
orang yang tidak berkepentingan. Hasil wawancara yang dilakukan Human
Rights Watch mengonfirmasi bahwa para migran dari Sulawesi Selatan dan
Gorontalo yang umumnya menjadi korban atas tindakan tersebut, namun
kelompok etnis dan suku lainnya juga menderita.[16]
Pada awal bulan Mei, muncul desas-desus bahwa banyak pemuda Kristen
yang mengungsi telah melarikan diri ke sebuah kamp pelatihan kelompok
merah di Kelei. Pasukan Kristen yang beroperasi pada fase ini disebut
"kelelawar merah" dan "kelelawar hitam".[c] Kelelawar hitam yang bertopeng
seperti "ninja" ini, disebut-sebut menargetkan para Muslim di Kayamanya
yang dianggap bertanggung jawab atas serangan di Lombogia pada fase
sebelumnya.[d] Pasukan ninja ini disebut-sebut dipimpin oleh Fabianus Tibo,
seorang imigran sekaligus pekerja perkebunan beragama Katolik yang
datang dari pulau Flores (Nusa Tenggara Timur), yang pernah dipenjara atas
kasus pembunuhan seorang pria bertahun-tahun sebelumnya.[17] Selain itu,
seorang tokoh Kristen bernama Adven Lateka digambarkan oleh pers dan
kepolisian sebagai otak, pemodal keuangan, atau "aktor intelektual" di balik
kekerasan tersebut.[18]
Pembalasan dendam
Pada pagi hari tanggal 23 Mei, sekelompok pasukan bertopeng ala ninja
membunuh seorang polisi, Sersan Mayor Kamaruddin Ali, dan dua warga sipil
Muslim, yang masing-masing bernama Abdul Syukur dan Baba. Kelompok
ninja ini kemudian dilaporkan bersembunyi di sebuah gereja Katolik di
Kelurahan Moengko.[15] Kelompok tersebut, termasuk Tibo, mulai
bernegosiasi dengan polisi untuk menyerah.[17] Kerumunan warga Muslim
mulai berkumpul di depan gereja, dan bukannya menyerahkan diri, Tibo serta
yang lainnya justru melarikan diri ke perbukitan di belakang kompleks gereja.
Gereja tersebut dibakar pada pukul 10.00 pagi dan pertempuran terjadi di
seluruh kota, yang paling parah di Sayo, dimana sepuluh orang terluka
terkena panah dan lemparan batu. Gubernur kembali mengisyaratkan bahwa
ada pihak-pihak luar —merujuk kepada status imigran Tibo— yang menjadi
provokator, sementara kepolisian mengumumkan bahwa tiga tersangka dari
kelompok ninja telah ditahan dan dibawa ke Palu setelah dikeroyok oleh
massa Muslim. Dua minggu kemudian tiga orang yang diduga sebagai
provokator, diidentifikasi sebagai Yen, Raf, dan Leo, ditahan atas tuduhan
menghasut kerusuhan pada tanggal 23 Mei.[19]
Meluasnya pertempuran
Pasca kerusuhan
Dalam kekerasan dan kerusuhan yang terjadi antara masyarakat Kristen dan
Islam di ibu kota Poso, kedua belah pihak didukung oleh massa seiman dari
luar kota. Masyarakat Muslim dibantu oleh orang-orang yang berasal dari
Ampana yang termasuk wilayah Tojo Una-Una dan terletak di sebelah timur
laut kota Poso, dan Parigi yang berada di sebelah barat Kabupaten Poso. Di
sisi lain, masyarakat Kristen dibantu oleh orang-orang Lage dari desa-desa
seperti Sepe dan Silanca di Kecamatan Lage, sebelah tenggara ibu kota
Poso.
Islam
Milisi yang datang dari luar Poso dan Palu yang sudah berada di Poso pada
akhir tahun 2001 meliputi:
Jemaah Islamiyah
Mujahidin KOMPAK
Laskar Jundullah, dipimpin oleh Agus Dwikarna dengan markas lokal di
Pendolo, Pamona Selatan.
Laskar Wahdah Islamiyah, sebuah kelompok yang berbasis di
Makassar dan berafiliasi dengan Wahdah Islamiyah dan dipimpin oleh
Zaitun Rusmin.
Laskar Bulan Sabit Merah, dipimpin oleh seorang tokoh Darul Islam
dari Jawa Barat dan menjalin hubungan erat dengan Laskar Jundullah.
Laskar Jihad, dengan pemimpin lokal Mohamed Harits dan Abu
Ibrahim, dan dikirim ke Poso sekitar bulan Juli tahun 2001.
Laskar Khalid bin Walid, sebuah milisi kecil yang berasosiasi dengan
Partai Keadilan dan dipimpin oleh Sugianto Kaimudin.
Kristen
Berbeda dengan milisi Islam, milisi Kristen sedikit sulit untuk diidentifikasi.
Salah satu di antara beberapa kelompok milisi yang berhasil diidentifikasi
adalah Brigade Manguni. Milisi ini berpusat di Manado, Sulawesi Utara
dengan jumlah personel sekitar 700 orang. Dalam kerusuhan Poso, pasukan
ini diduga berbasis di daerah Sepe dan Silanca, Lage. Brigade Manguni
memiliki divisi di masing-masing daerah yang membawahi cabang satuan.
Pada fase ketiga yang berlangsung pada bulan Mei 2000, muncul milisi
dengan nama Laskar Kristus. Kelompok ini disebut-sebut terdiri dari tiga
kelompok, yaitu pasukan Macan, pasukan Kelelawar, dan pasukan kipas
(sisiru).
Kelompok lain yang terorganisir oleh warga Kristen di Poso adalah Angkatan
Muda Sintuwu Maroso (ANSIMAR). Kelompok ini pada umumnya terdiri dari
para kaum muda terpelajar di kota Poso. Para anggota ANSIMAR sebagian
besar terdiri dari warga kelurahan Lombogia. Rumah-rumah mereka dibakar
massa Islam saat fase kedua kerusuhan yang terjadi bulan April tahun 2000,
sehingga sebagian besar dari mereka terpaksa mengungsi ke Tentena.
Mereka tidak berpartisipasi dalam bentrokan fisik, melainkan lebih kepada
upaya untuk mencari penyelesaian konflik.
Korban
Pertanyaan tentang jumlah korban sangat sensitif dan berunsur politis. Hal ini
didorong oleh rasa keberatan yang dibuat lebih kuat oleh laporan berita yang
tidak lengkap atau kabar miring tentang serangan dan desas-desus terbaru
tentang pembantaian yang akan terjadi. Kurangnya pelaporan yang jelas oleh
media atau investigasi oleh pemerintah, ditambah dengan medan yang luas
dan durasi konflik yang panjang, meenyulitkan untuk menentukan jumlah
korban yang sebenarnya. Meski demikian, Human Rights Watch mencatat
bahwa kedua belah pihak telah menderita banyak korban dalam kerusuhan
ini.[26] Meski ada beberapa perkiraan yang mencapai sekitar 2.000 korban
jiwa, sebagian besar memperkirakan antara 500 hingga 1.000 korban. Versi
pemerintah, yang dikeluarkan pada tanggal 5 Desember 2001 —tepat
sebelum penandatanganan Deklarasi Malino— dirinci menjadi 577 korban
tewas, 384 terluka, 7.932 rumah hancur, serta 510 fasilitas umum terbakar
atau rusak. Sebuah kelompok Muslim, Tim Evakuasi Pencari Fakta Korban
Muslim Kerusuhan Poso (Victims of the Poso Conflict Evacuation and Fact
Finding Team), mengklaim bahwa antara bulan Mei 2000 hingga Desember
2001, 840 mayat Muslim ditemukan, kebanyakan ditemukan di Sungai Poso
dan hutan-hutan di tepi kota. Jumlah yang tidak diketahui juga dikatakan
hilang. Kebanyakan korban jiwa diperkirakan sampai pada kerusuhan ketiga,
pada bulan Mei dan Juni 2000.[27]