Anda di halaman 1dari 9

Kerusuhan Poso (bahasa Inggris: Poso riots) atau konflik komunal Poso

(bahasa Inggris: Poso communal conflict), adalah sebutan bagi serangkaian


kerusuhan yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah, Indonesia. Peristiwa ini
melibatkan kelompok Muslim dan Kristen. Kerusuhan ini umumnya terbagi
menjadi beberapa fase. Fase pertama berlangsung pada bulan Desember
1998, kemudian berlanjut pada bulan April 2000, dan yang terbesar terjadi
pada bulan Mei hingga Juni 2000.

Fase pertama dan kedua berawal dari serangkaian bentrokan antara


kelompok pemuda Islam dan Kristen. Beberapa faktor berkontribusi terhadap
pecahnya kekerasan, termasuk persaingan ekonomi antara penduduk asli
Poso yang mayoritas Kristen dan para pendatang seperti pedagang Bugis
Muslim dan transmigran dari Jawa, ketidakstabilan politik dan ekonomi
menyusul jatuhnya Orde Baru, persaingan antar pejabat pemerintah
mengenai posisi birokrasi, dan pembagian kekuasaan daerah antara pihak
Kristen dan Islam. Situasi dan kondisi yang tidak stabil, dikombinasikan
dengan penegakan hukum yang lemah, menciptakan lingkungan yang
menjanjikan untuk terjadinya kekerasan.

Bulan Mei menandai dimulainya fase ketiga, yang secara luas dipandang
sebagai periode kekerasan terburuk dalam hal kerusakan dan jumlah korban.
Fase ini merupakan ajang balas dendam oleh kelompok Kristen setelah dua
fase sebelumnya yang sebagian besar didominasi oleh serangan dari pihak
Muslim, dan berlangsung sampai bulan Juli 2000. Fase ketiga ini memuncak
dalam sebuah peristiwa pembantaian di sebuah pesantren yang terjadi di
Desa Sintuwu Lemba yang mayoritas penduduknya Islam. Dalam fase ketiga
ini, ratusan orang jatuh menjadi korban, umumnya dari pihak Muslim.[1]

Pada tanggal 20 Desember 2001, Deklarasi Malino ditandatangani antara


kedua belah pihak yang bertikai di Malino, Sulawesi Selatan, dan diinisiasi
oleh Jusuf Kalla. Kesepakatan ini sekaligus mengurangi kekerasan frontal
secara bertahap, dan angka kriminal mulai menurun dalan beberapa tahun
sesudahnya.

Latar belakang

Sulawesi Tengah adalah sebuah provinsi yang didominasi dataran tinggi,


yang terletak di antara wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara di pulau
Sulawesi. Poso adalah salah satu dari delapan kabupaten —kabupaten lain
baru berdiri setelah tahun 2002— di provinsi ini. Ibu kota kabupaten Poso
(kota Poso) terletak di teluk, sekitar enam jam perjalanan sebelah tenggara
dari ibu kota provinsi Palu. Kabupaten Poso memiliki populasi mayoritas
Muslim di kota dan desa-desa pesisir, dan masyarakat adat mayoritas Kristen
di dataran tinggi. Selain penduduk Muslim asli, ada banyak pendatang dari
Sulawesi Selatan, terutama suku Bugis, dan juga dari daerah Gorontalo di
utara. Tradisi panjang pedagang Arab yang menetap di wilayah ini sudah
lama terjadi, dan keturunan mereka memainkan peran penting dalam
lembaga-lembaga keagamaan dan pendidikan Islam. Kabupaten ini juga
merupakan sasaran program transmigrasi pemerintah, yang memindahkan
warga dari daerah padat penduduk, seperti pulau-pulau yang didominasi
Muslim termasuk Jawa dan Lombok, dan juga pulau mayoritas Hindu seperti
Bali. Warga Muslim Poso terdiri dari masyarakat adat, transmigran resmi, dan
para imigran ekonomi dari berbagai etnis. Banyak imigran yang telah
menetap di kabupaten ini selama beberapa dekade. Pada akhir tahun 1990-
an, penduduk Muslim menjadi mayoritas di Poso dengan angka di atas 60
persen. Kelompok etno-linguistik yang meliputi Pamona, Mori, Napu, Besoa
dan Bada mendiami pedalaman dan dataran tinggi kabupaten. Banyak dari
kelompok suku ini, dulunya berbentuk kerajaan dan memiliki sejarah perang
antar suku. Kegiatan misionaris Belanda dimulai pada pergantian abad ke-20.
Kota Tentena merupakan pusat ekonomi dan religius untuk warga Kristen
Poso, dan merupakan pusat dari Gereja Kristen Sulawesi Tengah. Kota kecil
ini terletak di sebelah utara Danau Poso di kecamatan Pamona Puselemba,
salah satu dari beberapa kecamatan dengan mayoritas etnis Pamona.
Meskipun konflik pada awalnya berpusat pada ketegangan antara pendatang
Bugis beragama Muslim dan etnis Pamona yang mayoritas Kristen, banyak
kelompok lain yang ditarik melalui ikatan etnis, budaya, atau ekonomi
mereka.[2][3]

Kronologi konflik

Kerusuhan Poso I

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kerusuhan Poso I

Fase pertama termasuk singkat dan terbatas pada beberapa lingkungan di


kota Poso, meskipun iring-iringan truk yang mengangkut kelompok tertentu
dari daerah lain bergabung dalam keributan. Para pendukung teori
provokator menunjukkan bahwa kekerasan dimulai tepat setelah
pengumuman Arief Patanga pada tanggal 13 Desember 1998, yang
menyatakan bahwa dirinya tidak akan mengikuti pemilihan ulang sebagai
Bupati Poso, sekaligus membuka peluang bagi sejumlah kandidat yang
ambisius. Secara kebetulan, fase ini juga bertepatan dengan pecahnya
rangkaian kekerasan dan unjuk rasa yang terjadi di seluruh Indonesia pasca
kejatuhan Orde Baru.

Sebab khusus

Pada malam Natal tanggal 24 Desember 1998, yang secara kebetulan


bertepatan dengan bulan Ramadan, seorang pemuda yang berasal dari
kelurahan mayoritas Protestan di Lombogia bernama Roy Runtu Bisalemba
menikam Ahmad Ridwan, seorang pemuda Muslim dari kelurahan
Kayamanya. Informasi yang beredar di pihak Kristen menyebutkan bahwa
Ridwan melarikan diri ke masjid setelah ditikam. Sedangkan versi Muslim
menggambarkannya sebagai serangan terhadap seorang pemuda Muslim
yang tertidur di halaman masjid, dan dalam beberapa versi menyebutkan
bahwa korban sedang shalat atau bahkan menjadi imam. Para tokoh dan
pemuka agama dari kedua belah pihak kemudian bertemu, dan menyepakati
bahwa alkohol-lah yang merupakan sumber masalah dan setuju untuk
melarangnya selama bulan Ramadan. Polres Poso berikutnya mulai menyita
ribuan minuman keras untuk kemudian dihancurkan. Dalam sebuah
kesempatan, saat para pemuda Kristen berusaha melindungi sebuah toko
miras milik orang Tionghoa Kristen, mereka bertemu dengan para pemuda
Muslim yang awalnya berniat untuk menyegel toko tersebut, dan bentrokan
antar kelompok pun tidak dapat dihindari.[4] Rumor beserta kabar burung
yang beredar di pihak Kristen pada umumnya menyatakan bahwa ada sebuah
gereja yang dibakar. Pada tanggal 27 Desember, sekelompok orang Kristen
bersenjata yang menaiki truk dari Tentena tiba, dipimpin oleh seorang
anggota DPRD Poso, Herman Parimo. Parimo diketahui merupakan anggota
dari Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah (GPST), bekas milisi pro-pemerintah
yang bertempur melawan Permesta dan DI/TII pada periode tahun 1950-an
hingga 1960-an di Poso. Di sisi lain, sedikitnya sembilan truk Muslim tiba dari
ibu kota Palu, Parigi, dan Ampana. Laporan dari seorang narasumber Muslim
memperkirakan bahwa 1000 orang Muslim tiba dengan menggunakan 27
truk, mobil pikap, dan kapal motor.[5] Bentrokan meningkat, dan polisi tidak
mampu berbuat banyak, meskipun mereka mengaku telah menutup jalur-jalur
yang menuju ke Poso. Setelah seminggu, bentrokan kembali meruncing di
tengah hujan deras, dan mereka yang kehilangan tempat tinggal memilih
mengungsi di Tentena, Parigi, dan Ampana.

Spanduk, surat kaleng, dan grafiti yang menyerang para pejabat pemerintah
kabupaten Poso yang beragama Kristen mulai menjamur, terutama
menargetkan Parimo dan orang yang diduga mendukungnya, Yahya Patiro
yang juga mencalonkan diri sebagai Bupati.[6] Panglima Komando Militer
Daerah Wirabuana menyatakan bahwa yang mengobarkan kerusuhan adalah
delapan pengacau Kristen yang telah mereka tahan. Anggota Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan hasil penyelidikan
mereka menunjukkan bahwa kerusuhan di Poso terjadi bukan karena
ketegangan agama atau etnis. Mereka menyebut kekerasan terjadi karena
"miskomunikasi" dan mengklaim bahwa tidak ada pejabat lokal yang terlibat
dalam upaya untuk mengembalikan kedamaian. Pemerintah Provinsi
Sulawesi Tengah membentuk "Tim Klarifikasi" yang mewawancarai empat
puluh saksi dan juga menyimpulkan bahwa tidak ada pejabat daerah Poso
yang bertindak sebagai provokator.[7][8]

Parimo, yang disebut-sebut sebagai pemimpin iring-iringan kendaraan


Kristen yang berangkat dari Tentena, ditangkap.[a] Desas-desus terus
berlanjut bahwa ada pejabat tinggi di Poso yang berada di balik kekerasan
ini, seperti Bupati Arief Patanga yang beragama Islam, atau Sekretaris
Kabupaten Yahya Patiro yang beragama Kristen. Patiro diberi jabatan di
pemerintahan provinsi di Palu, meyebabkan kemarahan umat Islam Poso.
Pada bulan Februari 1999, polisi menahan adik laki-laki Bupati, Agfar
Patanga, dengan tuduhan memberikan hasutan untuk melakukan kekerasan.
Pada bulan Juni 1999, Gubernur H.B. Paliudju mencopot Arief sebagai bupati.
Laboratorium forensik di Sulawesi Selatan kemudian menyimpulkan bahwa
Agfar Patanga adalah penulis dari surat tanpa nama yang isinya menuduh
para pejabat Kristen Poso sebagai pihak yang memulai kerusuhan.

Pemilihan kepala daerah


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Bupati Poso 1999

Setelah undang-undang baru tentang desentralisasi disahkan, posisi bupati


harus diisi bukan melalui pengangkatan tapi oleh pemilihan di DPRD Poso.
Beberapa kandidat termasuk Patiro, seorang Protestan, dan Damsyik
Ladjalani dari partai Muslim PPP, dicoret. Keadaan ini menyisakan tiga calon:
seorang anggota Muslim dari Partai Golkar yang berkuasa sebelumnya
bernama Muin Pusadan; seorang Muslim bernama Ismail Kasim; dan seorang
politikus Kristen bernama Eddy Bungkundapu. Pada bulan Juni 1999,
pemilihan umum secara demokratis untuk yang pertama kali dalam lebih dari
empat dekade pasca kejatuhan Orde Baru, dilaksanakan secara nasional
untuk memilih anggota DPRD di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten.
Berbanding terbalik dengan partai oposisi seperti Partai Demokrasi
Indonesia-Perjuangan (PDI-P) yang menang di Jawa, partai Golkar yang
berkuasa mampu meraih kemenangan di Sulawesi, dan di pulau-pulau terluar
lainnya. Keberhasilan mereka memastikan bahwa calon dari Golkar, Muin
Pusadan, terpilih sebagai Bupati Poso dalam sebuah pemungutan suara yang
ketat pada bulan Oktober 1999, meskipun hasil ini mengecewakan para
pendukung Muslim dan Protestan dari kandidat lainnya.[b][9]

Kerusuhan Poso II

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kerusuhan Poso II

Setelah lebih dari satu tahun masa tenang, rangkaian peristiwa politik dan
hukum pada bulan April 2000 menimbulkan ketegangan.[10] Fase kedua
berlanjut di sepanjang garis pertempuran yang sama dengan fase pertama,
kali ini wilayah Kristen yang menderita kerusakan. Persidangan saudara
mantan bupati Agfar Patanga telah dimulai. Dalam persidangan korupsi
lainnya, seorang pengusaha lokal bernama Aliansa Tompo didakwa telah
menyalahgunakan dana dari program kredit pedesaan (Kredit Usaha Tani,
KUT). Ada desas-desus bahwa sebagian dari uang ini digunakan untuk
menyewa massa untuk menyerang gedung pengadilan dan membakar
dokumen-dokumen perihal keterlibatannya, yang memaksa penangguhan
kedua kasus tersebut. Pengadilan Patanga kemudian kembali diadakan di
Palu.[11] Selain itu, posisi tertinggi kedua di Poso, sekretaris wilayah atau
sekwilda sedang dipertimbangkan, dan persaingannya sangat ketat. Sebuah
surat kabar yang dicetak pada tanggal 15 April memuat pernyataan oleh
Chaelani Umar, seorang anggota DPRD provinsi dari Partai Persatuan
Pembangunan, yang memprediksi bahwa akan ada lebih banyak kekerasan
yang terjadi apabila mantan calon bupati, Damsik Ladjalani, tidak dipilih.

Bentrokan April-Mei

Keesokan harinya, seorang pemuda Muslim mengklaim telah diserang oleh


sekelompok pemuda Kristen, dan menunjukkan luka di lengannya sebagai
bukti. Pihak Islam membalas, dan pertarungan antara pemuda-pemuda dari
kelurahan mayoritas Kristen Lombogia dan para pemuda Islam dari
kelurahan Kayamanya dan Sayo meningkat menjadi kekerasan yang meluas.
Selama beberapa hari berikutnya, rumah-rumah yang dimiliki umat Kristen
Poso di dekat terminal bus dan di Lombogia dibakar. Peristiwa ini memaksa
Kapolres Poso saat itu untuk mendatangkan pasukan Brigade Mobil
(BRIMOB) dari Palu.[12]

Kedatangan BRIMOB

Pada tanggal 17 April, anggota BRIMOB secara tidak sengaja menembaki


kerumunan massa, menewaskan Mohammad Yusni (23) dan Yanto (13) dan
melukai delapan orang Muslim lainnya, termasuk seorang pria bernama Rozal
Machmud yang dilaporkan meninggal kemudian karena luka-lukanya. Setelah
penguburan korban pada siang yang sama, Muslim yang marah menyerang
Lombogia dan membakar rumah, gereja, dan sekolah.[13] Keesokan harinya,
Gubernur Paliudju mengunjungi Poso dan disambut oleh sekelompok Muslim
yang dipimpin oleh pengusaha dan tersangka penipuan Aliansa Tompo.
Mereka menuntut agar Ladjalani menerima posisi sekwilda, agar kasus
melawan Agfar Patanga ditutup, agar Kapolres dipecat, dan agar pasukan
BRIMOB dikirim kembali ke Palu.[11] Human Rights Watch menilai tuntutan
tersebut mencerminkan tema konflik yang mendasar: persaingan politik,
sistem peradilan yang dipolitisir, dan ketidakpuasan terhadap para penegak
hukum. BRIMOB dikirim pulang, namun pembakaran rumah berlanjut setelah
sebuah mayat tak dikenal ditemukan di samping sejenis topi yang biasanya
dikenakan oleh pihak Islam. Muslim dari kota dan sekitarnya membakar
rumah, gereja, dan kantor cabang PDI-P, meninggalkan Lombogia dan
Kasintuwu dalam kondisi hancur. Razia dalam bentuk pengecekan identitas
—terutama terkait agama— dimulai di wilayah mayoritas Muslim. Beberapa
orang Kristen dilaporkan ditarik paksa untuk keluar dari mobil dan dibunuh.

Pangdam Wirabuana Mayor Jenderal TNI Slamet Kirbiantoro di Makassar,


Sulawesi Selatan, akhirnya mengirim 600 tentara dan pertempuran mereda.
Gubernur meminta masyarakat Kristen Poso, yang banyak di antaranya telah
melarikan diri ke Tentena atau bukit-bukit di sekitar kota Poso, untuk tidak
membalas dendam namun menyerahkannya kepada Tuhan. Polisi
mengumumkan tahap kedua selesai pada tanggal 3 Mei 2000.[14] Selama fase
kedua, kedua belah pihak mulai menggunakan ikat kepala berwarna dan ban
lengan untuk membedakan diri. Para pejuang Kristen dikenal sebagai
pasukan merah atau kelompok merah, dan kelompok Islam sebagai pasukan
putih atau kelompok putih. Meskipun pentingnya agama tidak boleh
diabaikan, kedua kelompok ini juga mengatur jalur sosial, etnis, dan ekonomi,
dan dengan demikian istilah pejuang Protestan atau Muslim berisiko terlalu
menyederhanakan konflik.

Kerusuhan Poso III

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kerusuhan Poso III

Baru tiga minggu sejak fase kedua selesai, fase ketiga —yang menurut
beberapa pengamat, merupakan yang terbesar dan terparah— dimulai.
Periode ini didominasi oleh gelombang serangan balasan oleh kelompok
merah Kristen terhadap warga Muslim.[15] Di samping bentrokan langsung
dengan kelompok putih Islam, ada juga penculikan dan pembunuhan orang-
orang yang tidak berkepentingan. Hasil wawancara yang dilakukan Human
Rights Watch mengonfirmasi bahwa para migran dari Sulawesi Selatan dan
Gorontalo yang umumnya menjadi korban atas tindakan tersebut, namun
kelompok etnis dan suku lainnya juga menderita.[16]

Pada awal bulan Mei, muncul desas-desus bahwa banyak pemuda Kristen
yang mengungsi telah melarikan diri ke sebuah kamp pelatihan kelompok
merah di Kelei. Pasukan Kristen yang beroperasi pada fase ini disebut
"kelelawar merah" dan "kelelawar hitam".[c] Kelelawar hitam yang bertopeng
seperti "ninja" ini, disebut-sebut menargetkan para Muslim di Kayamanya
yang dianggap bertanggung jawab atas serangan di Lombogia pada fase
sebelumnya.[d] Pasukan ninja ini disebut-sebut dipimpin oleh Fabianus Tibo,
seorang imigran sekaligus pekerja perkebunan beragama Katolik yang
datang dari pulau Flores (Nusa Tenggara Timur), yang pernah dipenjara atas
kasus pembunuhan seorang pria bertahun-tahun sebelumnya.[17] Selain itu,
seorang tokoh Kristen bernama Adven Lateka digambarkan oleh pers dan
kepolisian sebagai otak, pemodal keuangan, atau "aktor intelektual" di balik
kekerasan tersebut.[18]

Pembalasan dendam

Pada pagi hari tanggal 23 Mei, sekelompok pasukan bertopeng ala ninja
membunuh seorang polisi, Sersan Mayor Kamaruddin Ali, dan dua warga sipil
Muslim, yang masing-masing bernama Abdul Syukur dan Baba. Kelompok
ninja ini kemudian dilaporkan bersembunyi di sebuah gereja Katolik di
Kelurahan Moengko.[15] Kelompok tersebut, termasuk Tibo, mulai
bernegosiasi dengan polisi untuk menyerah.[17] Kerumunan warga Muslim
mulai berkumpul di depan gereja, dan bukannya menyerahkan diri, Tibo serta
yang lainnya justru melarikan diri ke perbukitan di belakang kompleks gereja.
Gereja tersebut dibakar pada pukul 10.00 pagi dan pertempuran terjadi di
seluruh kota, yang paling parah di Sayo, dimana sepuluh orang terluka
terkena panah dan lemparan batu. Gubernur kembali mengisyaratkan bahwa
ada pihak-pihak luar —merujuk kepada status imigran Tibo— yang menjadi
provokator, sementara kepolisian mengumumkan bahwa tiga tersangka dari
kelompok ninja telah ditahan dan dibawa ke Palu setelah dikeroyok oleh
massa Muslim. Dua minggu kemudian tiga orang yang diduga sebagai
provokator, diidentifikasi sebagai Yen, Raf, dan Leo, ditahan atas tuduhan
menghasut kerusuhan pada tanggal 23 Mei.[19]

Meluasnya pertempuran

Pada tanggal 28 Mei, serangan meluas terhadap warga Islam terjadi di


beberapa desa di kabupaten ini. Dalam sebuah peristiwa yang paling
terkenal, sekelompok orang Kristen —beberapa sumber menyebut bahwa
Tibo dan kelompoknya ikut berpartisipasi— mengelilingi Desa Sintuwu
Lemba, yang juga dikenal sebagai Kilo Sembilan.[e][20] Para wanita dan anak-
anak ditangkap dan beberapa di antaranya mengalami pelecehan seksual.
Sekitar tujuh puluh orang berlari ke pesantren terdekat —Pesantren
Walisongo— dimana banyak warga Muslim dibunuh dengan senjata api dan
parang, tanpa peduli mereka menyerah atau tidak. Mereka yang kabur,
berhasil ditangkap untuk kemudian dieksekusi dan mayatnya dilemparkan ke
Sungai Poso.[21] Tiga puluh sembilan mayat kemudian ditemukan di tiga
kuburan massal, meskipun sebuah sumber Islam memperkirakan total 191
kematian dalam serangan tersebut. Seorang warga yang selamat dari
serangan tersebut mengatakan kepada wartawan bahwa dirinya kembali
ditangkap empat hari kemudian dan dibawa ke sungai untuk dieksekusi,
namun ia sekali lagi berhasil lolos dan selamat.[22]

Pasca kerusuhan

Operasi militer dan polisi

Setelah kerusuhan mulai surut, Mabes Polri di Jakarta bergerak dengan


mendirikan Komando Lapangan Operasi. Melalui kebijakan dari Jakarta,
operasi militer di Poso dilaksanakan dengan berbagai sandi operasi. Operasi
Sadar Maleo digelar pada tahun 2000, dengan BKO (badan kendali operasi)
Polres Poso. Satuan-satuan TNI yang bergabung dalam operasi tersebut
adalah Batalyon Infanteri 711/Raksatama Poso, Batalyon Infanteri
726/Tamalatea Makassar, Batalyon Infanteri 721/Makassau Palopo, dan
Batalyon Zeni Tempur 8 Makassar. Di sisi lain, satuan kepolisian termasuk
Brimob Polres Pare-Pare, Brimob Polres Makassar, Perintis dan Satuan Intel
Polda Sulawesi Tengah.[23]

Mobilisasi kekuatan TNI-Polri melalui sandi Operasi Sintuwu Maroso terjadi


setiap tahunnya, dan pada pertengahan bulan April 2004, operasi ini kembali
diperpanjang.[24] Satuan TNI dan Polri yang dimasukkan ke dalam BKO
operasi ini, termasuk Brimob Polda Papua, Brimob Polda Kalimantan Timur,
Brimob Kelapa Dua Bogor, Brimob Polda Jawa Tengah, Brimob Polda
Sulawesi Utara, Brimob Kendari, Brimob Polres Pare-Pare, Brimob Polres
Makassar, Resimen Pelopor dan Brimob Polda Sulawesi Tengah. Untuk TNI,
satuan yang di BKO-kan adalah Batalyon Infanteri 711/Raksatama Palu,
Batalyon Infanteri 712/Wiratama Manado, Batalyon Infanteri 713/Satyatama
Gorontalo, Batalyon Infanteri 721/Makassau Palopo, dan Batalyon Artileri
Medan 6/Tamarunang Makassar. Pasukan gabungan ini ditempatkan di 142
pos penjagaan, dimulai dari Desa Tumora hingga ke perbatasan Sulawesi
Tengah dengan Sulawesi Selatan, Desa Mayoa.[23]

Pihak yang terlibat

Dalam kekerasan dan kerusuhan yang terjadi antara masyarakat Kristen dan
Islam di ibu kota Poso, kedua belah pihak didukung oleh massa seiman dari
luar kota. Masyarakat Muslim dibantu oleh orang-orang yang berasal dari
Ampana yang termasuk wilayah Tojo Una-Una dan terletak di sebelah timur
laut kota Poso, dan Parigi yang berada di sebelah barat Kabupaten Poso. Di
sisi lain, masyarakat Kristen dibantu oleh orang-orang Lage dari desa-desa
seperti Sepe dan Silanca di Kecamatan Lage, sebelah tenggara ibu kota
Poso.

Islam

Milisi yang datang dari luar Poso dan Palu yang sudah berada di Poso pada
akhir tahun 2001 meliputi:

 Jemaah Islamiyah
 Mujahidin KOMPAK
 Laskar Jundullah, dipimpin oleh Agus Dwikarna dengan markas lokal di
Pendolo, Pamona Selatan.
 Laskar Wahdah Islamiyah, sebuah kelompok yang berbasis di
Makassar dan berafiliasi dengan Wahdah Islamiyah dan dipimpin oleh
Zaitun Rusmin.
 Laskar Bulan Sabit Merah, dipimpin oleh seorang tokoh Darul Islam
dari Jawa Barat dan menjalin hubungan erat dengan Laskar Jundullah.
 Laskar Jihad, dengan pemimpin lokal Mohamed Harits dan Abu
Ibrahim, dan dikirim ke Poso sekitar bulan Juli tahun 2001.
 Laskar Khalid bin Walid, sebuah milisi kecil yang berasosiasi dengan
Partai Keadilan dan dipimpin oleh Sugianto Kaimudin.

Milisi dan organisasi lokal yang berpihak pada Muslim meliputi:

 Forum Perjuangan Ummat Islam, dipimpin oleh Adnan Arsal dan


merupakan organisasi dimana banyak anggota Jundullah direkrut.
 Majelis Dzikir Nurkhaerat Poso, dipimpin oleh Habib Saleh al-Idrus.
 Gerakan Anak Monginsidi, dipimpin oleh Mohammed Dong.
 Anak Tanah Runtuh, sebuah milisi kecil yang dipimpin oleh Adnan Arsal
dan berbasis di kelurahan Gebangrejo, Poso Kota.
 Brigade Pemuda Hisbullah Sulteng, sebuah pasukan kecil yang
berkaitan dengan cabang lokal dari Partai Bulan Bintang.

Kristen

Berbeda dengan milisi Islam, milisi Kristen sedikit sulit untuk diidentifikasi.
Salah satu di antara beberapa kelompok milisi yang berhasil diidentifikasi
adalah Brigade Manguni. Milisi ini berpusat di Manado, Sulawesi Utara
dengan jumlah personel sekitar 700 orang. Dalam kerusuhan Poso, pasukan
ini diduga berbasis di daerah Sepe dan Silanca, Lage. Brigade Manguni
memiliki divisi di masing-masing daerah yang membawahi cabang satuan.
Pada fase ketiga yang berlangsung pada bulan Mei 2000, muncul milisi
dengan nama Laskar Kristus. Kelompok ini disebut-sebut terdiri dari tiga
kelompok, yaitu pasukan Macan, pasukan Kelelawar, dan pasukan kipas
(sisiru).

Kelompok lain yang terorganisir oleh warga Kristen di Poso adalah Angkatan
Muda Sintuwu Maroso (ANSIMAR). Kelompok ini pada umumnya terdiri dari
para kaum muda terpelajar di kota Poso. Para anggota ANSIMAR sebagian
besar terdiri dari warga kelurahan Lombogia. Rumah-rumah mereka dibakar
massa Islam saat fase kedua kerusuhan yang terjadi bulan April tahun 2000,
sehingga sebagian besar dari mereka terpaksa mengungsi ke Tentena.
Mereka tidak berpartisipasi dalam bentrokan fisik, melainkan lebih kepada
upaya untuk mencari penyelesaian konflik.

Korban

Pertanyaan tentang jumlah korban sangat sensitif dan berunsur politis. Hal ini
didorong oleh rasa keberatan yang dibuat lebih kuat oleh laporan berita yang
tidak lengkap atau kabar miring tentang serangan dan desas-desus terbaru
tentang pembantaian yang akan terjadi. Kurangnya pelaporan yang jelas oleh
media atau investigasi oleh pemerintah, ditambah dengan medan yang luas
dan durasi konflik yang panjang, meenyulitkan untuk menentukan jumlah
korban yang sebenarnya. Meski demikian, Human Rights Watch mencatat
bahwa kedua belah pihak telah menderita banyak korban dalam kerusuhan
ini.[26] Meski ada beberapa perkiraan yang mencapai sekitar 2.000 korban
jiwa, sebagian besar memperkirakan antara 500 hingga 1.000 korban. Versi
pemerintah, yang dikeluarkan pada tanggal 5 Desember 2001 —tepat
sebelum penandatanganan Deklarasi Malino— dirinci menjadi 577 korban
tewas, 384 terluka, 7.932 rumah hancur, serta 510 fasilitas umum terbakar
atau rusak. Sebuah kelompok Muslim, Tim Evakuasi Pencari Fakta Korban
Muslim Kerusuhan Poso (Victims of the Poso Conflict Evacuation and Fact
Finding Team), mengklaim bahwa antara bulan Mei 2000 hingga Desember
2001, 840 mayat Muslim ditemukan, kebanyakan ditemukan di Sungai Poso
dan hutan-hutan di tepi kota. Jumlah yang tidak diketahui juga dikatakan
hilang. Kebanyakan korban jiwa diperkirakan sampai pada kerusuhan ketiga,
pada bulan Mei dan Juni 2000.[27]

Meskipun pertanyaan seperti ini adalah sesuatu yang dapat diselesaikan


melalui penyelidikan independen secara menyeluruh, namun pengaruh
lingkungan yang sangat terpolitisasi, hasil jangka panjang Deklarasi Malino,
dan kelemahan Komnas HAM membuat usaha semacam itu tidak mungkin
terjadi. Jika tidak dilakukan dengan tingkat profesionalisme yang tinggi,
penyelidikan perihal jumlah korban bisa memperburuk kondisi lebih jauh.
Tetapi rekonsiliasi juga mungkin akan terhambat, kecuali jika kedua belah
pihak merasa bahwa keadilan telah ditangani dalam kejahatan terburuk.
Masih ada kejahatan berat dimana tidak ada yang bertanggung jawab,
seperti pembunuhan terhadap empat belas Muslim di Dusun Buyung Katedo
pada bulan Juli 2001 dan serangan sporadis terhadap desa-desa Kristen
pada bulan November. Keluarga dan kerabat dari mereka yang hilang —
kebanyakan di antaranya diculik selama masa kerusuhan— masih menunggu
informasi tentang saudara mereka yang diculik.[28]

Anda mungkin juga menyukai